Digital - 20367230-SP-Tetra Saktika PDF
Digital - 20367230-SP-Tetra Saktika PDF
Dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, saya mendapatkan dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada Ibu. DR. Ratna Sitorus, S.Kp, M. App, Sc selaku
supervisor utama dan Ibu Yulia, S.Kp., MN., Ph.D selaku supervisor yang telah
banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan dengan penuh kesabaran.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Ibu Astuti Yuni Nursasi, SKp., MN selaku Ketua Program Studi Magister dan
Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Ernawati, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB sebagai penguji
4. Ibu Yunizar Gultom, S.Kp, M.ClN selaku supervisor klinik
5. Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Direktur Rumah
Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta yang telah memberikan izin
melaksanakan praktik residensi
6. Orangtua dan saudara yang selalu memberikan doa serta dukungan.
7. Segenap civitas akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
8. Keluarga dan rekan-rekan mahasiswa Program Ners Spesialis Keperawatan
Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan
tahun 2013
iv
Penulis
ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis dan jumlah kejadian terus meningkat
di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Penerapan dari model keperawatan
dibutuhkan untuk pencegahan dan pengelolaan diabetes. Pendekatan model
adaptasi Roy diaplikasikan pada perawatan kasus pasien dengan diabetes..
Evidence-based nursing dalam teknik penyuntikan insulin 900 dan dicubit dapat
memberikan keselamatan dari kejadian hipoglikemi. Sebuah audiovisual sebagai
media pendidikan kesehatan pasien, berjudul “Perawatan diri untuk pasien
diabetes melitus” yang dibuat untuk sebuah proyek inovasi keperawatan berguna
untuk meningkatkan pengetahuan pasien diabetes melitus.
Kata kunci :
Diabetes melitus, perawat, model adaptasi Roy, penyuntikan insulin, perawatan
diri.
vii
ABSTRACT
Keywords :
Diabetes mellitus, nurse, Roy’s adaptation model, insulin injection, self-care.
viii
ix
xi
Hal
Tabel 3.1 Rencana asuhan keperawatan Ny D berdasarkan pada 38
pendekatan model adaptasi Roy…....................................
Tabel 4.1 Tingkatan evidence based................................................. 71
Tabel 5.1 Karakteristik pengunjung DM berdasarkan jenis kelamin 80
dan usia.............................................................................
Tabel 5.2 Persepsi pengunjung DM terhadap video “edukasi 80
perawatan diri bagi orang diabetes mellitus”....................
xii
Hal
Tabel 4.1 Skema penerapan EBN..................................................... 72
xiii
Hal
Gambar 2.1 Riwayat alami pasien DMT1.................................................. 5
Gambar 2.2 Riwayat alami pasien DMT2.................................................. 6
Gambar 2.3 Riwayat alami Pasien DMT2 dengan komplikasi ................ 6
Gambar 2.4 Manusia sebagai sistem ......................................................... 22
Gambar 2.5 Hubungan manusia sebagai sistem, keperawatan, sehat dan 23
lingkungan ...........................................................................
Gambar 2.6 Modifikasi teori model adaptasi untuk pasien DM 24
Whittemore & Roy................................................................
Gambar 4.1 Teknik cubitan benar ............................................................. 70
xiv
xv
Diabetes melitus tidak hanya banyak ditemukan di Indonesia namun juga dialami
oleh penduduk di dunia. International Diabetes Federation (IDF) melaporkan 382
juta penduduk didunia hidup dengan diabetes pada tahun 2013. Indonesia
menyumbang sejumlah 8,5 juta penduduk diabetes dunia, dan merupakan
peringkat ketujuh di dunia. IDF memperkirakan penduduk yang hidup dengan
DM akan meningkat 55% pada tahun 2035 (International Diabetes Federation,
2013). Sepanjang tahun 2012 Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
mencatat kasus diabetes di unit rawat jalan sejumlah 1167 pasien, 1017
diantaranya dengan DMT2 dan sejumlah 150 lainnya dengan DMT1 dan tipe
lainnya. Sedangkan untuk unit rawat inap didapatkan sejumlah 1631 pasien baik
sebagai diagnosis utama maupun penyerta. Selama melakukan praktik residensi
juga ditemukan gangguan endokrin lain selain diabetes yaitu gangguan tiroid.
Jumlah pasien DM terus meningkat dan masalah terkait penyakit ini sedemikian
kompleks, sehingga memerlukan penanganan dari seluruh tenaga kesehatan
termasuk pelayanan keperawatan dalam pencegahan dan pengelolaan. Layanan
keperawatan tersebut diberikan dalam bentuk manajemen asuhan keperawatan,
pemberikan dukungan, penilaian awal terhadap komplikasi, serta perencanaan dan
pemberian edukasi kepada pasien diabetes (James, et al., 2009). Perawat spesialis
selain bertanggungjawab terhadap penyediaan layanan keperawatan bagi pasien
DM juga dituntut agar mampu melakukan praktik berdasarkan temuan riset (Rose,
All, & Gresham, 2002)
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.3 Manfaat
a. Bagi pelayanan keperawatan, hasil analisis ini diharapkan memberikan
gambaran pemikiran dalam memberikan asuhan keperawatan menggunakan
pendekatan teori keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin
terutama pada pasien dengan diabetes melitus sehingga klien mampu
beradaptasi dengan kondisi yang dihadapi.
b. Bagi perkembangan ilmu keperawatan, hasil analisis praktik residensi ini
diharapkan dapat menjadi bahan dalam pengembangan ilmu, kurikulum,
kompetensi keilmuan spesialis keperawatan medikal bedah khususnya
endokrin
Universitas Indonesia
Bab ini menggambarkan landasan teori maupun konseptual sebagai dasar dalam
pemberian asuhan keperawatan termasuk kajian model adaptasi Roy.
4 Universitas Indonesia
Sifat DMT2 biasanya tersembunyi dan pasien mengetahui bahwa dirinya memiliki
DMT2 bila telah mengalami komplikasi. Sebelum didiagnosis DMT2 tubuh masih
dapat menjaga keseimbangan kadar glukosa darah atau homeostatis glukosa
darah. Homeostatis glukosa darah meliputi dua kategori yaitu gangguan glukosa
puasa (IFG) dengan pencapaian nilai normal 100-125 mg/dl atau toleransi glukosa
tergangu (IGT) dengan pencapaian nilai normal 140-199 mg/dl. Pada pasien
diabetes atau pradiabetes akan mengalami hiperinsulinemia, kondisi ini akan
dinetralkan oleh sel beta pankreas untuk mempertahankan euglycemia dengan
cara melakukan sintesis dan mensekresi insulin. Sehingga terjadi ledakan yang
besar dari insulin namun karena lambat laun pankreas tidak dapat melakukan
fungsi penetralisasi ini atau sel beta mengalami kelelahan dan kerusakan. Dengan
ketidakmampuan pankreas ini maka terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia sendiri
dapat mejadi toksik bagi sel beta, kondisi ini diperparah dengan adanya faktor-
faktor pendukung seperti diit, aktivitas dan lainnya. Ketika kadar glukosa tidak
terkontrol mendekati normal maka terjadi defisiensi insulin (Mazze, Strock,
Simonson , & Bergenstal, 2006).
Ketika orang mulai diabetes maka glukosa puasa akan mulai meningkat
sedangkan glukosa postpandrial telah dimulai 5-10 tahun sebelum muncul
diabetes. Sedangkan kadar insulin mengalami titik puncaknya saat seseorang
mendapatkan DM dan kadar insulin akan semakin menurun, sedangakan aksi dari
inkretin mulai berkurang 10 tahun sebelum didapatkan diabetes (Gambar 2.2).
Universitas Indonesia
Dari gambaran riwayat DMT2 (Gambar. 2.3) terlihat bahwa fungsi sel beta mulai
menurun 10 tahun sebelum pasien didiagnosis DMT2. Kondisi pada waktu ini
dikenal dengan kondisi pradiabetes. Sedangkan kondisi dimana mulai adanya
kenaikan kadar glukosa darah puasa atau postpandrial dikenal dengan kondisi
diabetes melitus tipe 2 yang ditandai dengan titik puncak insulin resisten dan
penurunan sekresi insulin. Kondisi hiperglikemia berkepanjangan dapat
mengakibatkan komplikasi mikrovaskuler yang mulai terjadi 5 tahun sebelum
pasien didiagnosa DMT2 sedangkan komplikasi terhadap makrovaskuler dapat
dimulai ketika 10 tahun sebelum pasien didiagnosa DMT2.
Universitas Indonesia
2.1.2 Komplikasi
Kondisi hiperglikemi pada orang dengan DM berdampak terhadap komplikasi
akut dan kronik. Pada bagian ini dijelaskan komplikasi akut sedangkan
komplikasi kronik dijelaskan secara singkat pada bagian pengeloaan DM dalam
mencegah komplikasi kronik.
a. Hipoglikemi
Hipoglikemi merupakan kondisi dimana kadar glukosa darah menurun dengan
hasil pemeriksaan gula darah < 70 mg/dl (3.9 mmol/l). Hipoglikemi biasanya
disebabkan oleh penggunaan insulin yang tidak tepat baik dosis, cara, kesengajaan
tidak menggunakan, tertundanya konsumsi karbohidrat serta latihan fisik
(LeMone & Burke, 2008). Gejala dari hipoglikemi meliputi gejala berkeringat,
tremor, cemas, hipotensi, palpitasi, kelaparan, sakit kepala, pandangan kabur,
gangguan fungsi kognitif seperti kesuliltan dalam berkonsentrasi dan ketiadaan
kordinasi (LeMone & Burke, 2008).
Pengelolaan hipoglikemi pertama adalah melihat jika pasien sadar maka dapat
diberikan 30g karbohidrat (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal, 2006). Dapat
pula diberikan 15 g karbohidrat yang setara dengan gelas jus atau 3 sendok. Jika
pasien tidak sadar maka dapat diberikan dextrose IV dengan prosedur 10-20 ml
bolus dari 50% dextrose kemudian 5-10% dextrose dalam 100 ml/jam atau
glukagon pada dosis dewasa 1.0 mg (1ml) disertai dengan pemantauan kadar gula
darah setiap 30 menit hingga kadar gula darah mencapai lebih dari 100 mg/dl dan
stabil. Jika telah stabil yang dilakukan adalah mencari penyebab hipoglikemi dan
edukasi kesehatan untuk mencegah terjadi kembali (Mazze, Strock, Simonson , &
Bergenstal, 2006).
b. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) suatu kondisi dimana didahului defisiensi insulin
akut dan penurunan penggunaan glukosa. Kondisi ini menyebabkan proses
proteolisis pada otot, lipolisis pada sel lemak, dan peningkatan hormon kontra-
regulasi (glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan dan katekolamin) yang
Universitas Indonesia
mempertambah kondisi hiperglikemi. Hasil dari lipolisis yaitu asam lemak bebas
dan gliserol. Asam lemak bebas di hati diubah menjadi keton (beta-hidrosibutirat
dan asetoasetat) dalam proses ketogenesis. Sedangkan produk dari proteiolisis
yaitu glukosa subrat dengan gliserol di dalam hati diubah menjadi glukosa dalam
proses glycogenolysis dan glukoneogenesis. Hasil dari glycogenolysis,
glukoneogenesis dan ketogenesis adalah peningkatan kadar glukosa dan keton
dalam darah. Kelebihan keton dalam pembuluh darah pada sistem respirasi
mengakibatkan asidemia ditandai dengan peningkatan respirasi. Pada organ ginjal
akan mengakibatkan glukosuria dan berakibat terhadap penurunan cairan dan
elektrolit dan hipovolemi. Penurunan elektrolit seperti natrium, klorida dan
kalium. Kondisi hipovolemi akan mengakibatkan dehidrasi dan menyebabkan
gangguan fungsi renal yang ditunjukkan dengan penurunan eGFR, kreatinin
serum dan albumin (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal, 2006).
Gejala yang digambarkan dalam kondisi KAD adalah mual, muntah, perasaan
haus, poliuria, sakit perut, dehidrasi, respirasi asidosis, napas keton, nafas
kusmmaul, hipotensi dan gangguan kesadaran. Penyebab terjadinya ketoasidosis
pada pasien DM dapat diakibatkan oleh adanya infeksi atau penyakit kekambuhan
yang lain (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal, 2006). Beberapa hasil temuan
laboratorium yang menandakan adanya KAD adalah nilai kadar glukosa darah >
250 mg/dL menandakan hiperglikemi, nilai pH < 7.3 menandakan asidosis, nilai
bikarbonat < 15 mEq/l, temuan serum keton, temuan keton dan glukosa dalam
urin, ketidaknormalan elektrolit (LeMone & Burke, 2008).
Pengelolaan yang dilakukan pada saat KAD adalah dengan melakukan dehidrasi
segera pemberian 1 liter normal salin selama satu jam diikuti dengan 1 liter
normal salin selama 2 jam berikutnya. Pemberian cairan dilakukan terus sekitar
250-500 ml/jam dengan 0.45% saline (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal,
2006). Pemberian normal saline untuk mengatasi dehidrasi dengan mencukupi
volume cairan intravaskuler dan perbaikan fungsi ginjal. Penggunaan normal
saline lebih baik dibandingkan dengan ringer laktat karena normal saline lebih
cepat menurunkan kadar glukosa darah 14 mmol/dL dibandingkan dengan ringer
Universitas Indonesia
laktat (Van Zyl, Rheeder, & Delport , 2012). Selanjutnya diberikan insulin bolus
0.1U/kgBB, kemudian mulai dengan 0.1U/kgBB/jam dalam infus. Ketika gula
darah mencapai 250 mg/dl, tambahkan dextrose 5% selain untuk membantu
mengganti cairan yang hilang juga mencegah terjadinya hipoglikemi karena
insulin yang diberikan untuk koreksi ketonemia. Insulin infus dipertahankan untuk
menjaga kadar gula darah antara 150-200 mg/dl dan hindari gula darah dibawah
150 mg/dl serta monitor gula darah setiap 30 – 60 menit, elektrolit pada dua jam
pertama dan 8 jam sesudahnya dan asidosis hingga pH > 7.0. Pemberian potasium
diberikan dimulai dati 20 mEq/L KCL dengan cairan IV, jika terjadi hipokalemia
mulai dengan 40 mEq/l KCL dengan cairan IV. Jika telah stabil yang dilakukan
adalah mencari penyebab ketoasidosis dan edukasi kesehatan untuk mencegah
terjadi kembali (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal, 2006).
Universitas Indonesia
Kegiatan kedua yaitu pemantauan HbA1c yang dilaksanakan dua kali setahun
untuk pasien yang memenuhi pengobatan, karena pemantauan ini mencerminkan
glikemia selama beberapa bulan. Pemeriksaan HbA1c dianggap sebagai pilihan
pengukuran untuk kontrol glikemik, pemantauan pengobatan dan pencegahan
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi (Al-hamdi, 2004).
Target dari pemantauan HbA1c pada pasien dewasa adalah ≤ 7 % atau 53
mmol/mol karena telah terbukti mengurangi risiko mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Sedangkan pada pasien yang sering mengalami hipoglikemi dan
memiliki komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler maka target dari
HbA1c adalah tidak ketat seperti ≤ 8 %. Pada pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa 5.5 mmol/l atau 100 mg/dl (normal) nilai target 6.5 mmol.l atau 115 mg/dl
(target). Sedangkan untuk nilai gula darah kapiler setelah makan nilai target
Universitas Indonesia
adalah 9.0 mmol/l atau 160 mg/dl dan nilai normal 7.8 mmol/dl atau 140 mg/dl
(ADA, 2013; IDF, 2012).
b. Terapi farmakologi
Pengelolaan farmakologi pada DMT1 yaitu dengan memberikan insulin 3 kali
atau lebih tiap hari yang diberikan menggunakan suntikan subkutan, infus insulin
berkelanjutan atau dengan pompa. Sedangkan pada pasien DMT2 pada saat mulai
diagnosis maka dilakukan perubahan gaya hidup. Jika perubahan gaya hidup tidak
mampu akan diberikan obat anti diabetes oral seperti metformin bersama dengan
mengubah gaya hidup. Pada diagnosa yang sudah pasti dan dengan nilai glukosa
darah atau HbA1c tinggi maka dipertimbangkan untuk pemberian insulin. Jika
penggunaan monoterapi noninsulin tidak mempertahankan nilai HbA1c maka
diberikan obat oral kedua, reseptor GLP-1 atau insulin. (ADA, 2013; IDF, 2012).
Obat oral antidiabetes yang ada memiliki beberapa golongan dan tujuan yang
berbeda. Golongan alpha glucosidase inhibitor bertujuan untuk menurunkan
penyerapan glukosa, golongan sulphonyfureas dan meglithimides untuk
meningkatkan sekresi insulin, golongan biguanida untuk menurunkan produk
glukosa hati, golongan glitozem untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Sedangkan jenis farmakoloi dari produk insulin dibagi dalam reaksi cepat (lispro,
aspart, glulisin), reaksi pendek atau reguler, reaksi menengah seperti NPH, dan
reaksi panjang seperti lantus. Jenis insulin berdasarkan cara kerjanya memiliki
onset, masa puncak dan durasi berbeda (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Universitas Indonesia
c. Terapi nutrisi
Tujuan dari pemberian nutrisi adalah mencapai target kadar gula darah,
menurunkan berat badan dengan diet rendah karbohidrat, rendah lemak, kalori
terbatas, mencapai kadar serum lipid, menjaga asupan protein untuk
mempertahankan fungsi ginjal. Terapi nutrisi untuk penurunan berat badan bagi
pasien obese adalah 7% dari berat badan. Dengan melakukan diet nutrisi yang
tepat dapat mencegah terhadap komplikasi. Pasien diabetes harus didorong untuk
makan makanan yang berserat untuk memberikan rasa kenyang dan membatasi
asupan dari minuman manis untuk menghindari kondisi hiperglikemi. Pemantauan
karbohidrat baik dari sisi perhitungan, pilihan untuk mencapai kontrol gula darah,
menurunkan asupan lemak jenuh menurunkan LDL kolesterol dan meningkatkan
HDL kolesterol. Terapi nutrisi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dalam pencegahan diabetes dan edukasi perawatan diri (ADA, 2013: IDF 2012).
Beberapa literatur dan ahli gizi berpedoman terapi nutrisi yang diberikan pada
pasien DM berdasarkan kebutuhan kalori harian. Dalam menentukan kebutuhan
kalori dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, kehamilan,
komplikasi dan berat badan (ADA, 2008).
d. Edukasi
Pasien DM mendapatkan edukasi yang pada prinsipnya berfokus pada upaya
peningkatan kualitas hidup melalui perawatan diri dengan memperhatikan aspek
ekonomi. Edukasi perawatan diri pasien DM meliputi perilaku diet, aktifitas fisik,
perawatan kaki, monitoring kadar gula darah dan berhenti merokok. Perawatan
diri terkait perilaku diet meliputi upaya peningkatan intake energi dari
karbohidrat, gula total, menambah porsi buah dan sayuran dalam menu makanan,
pengurangan makanan tinggi lemak, pembatasan gula terhadap produk tertentu
dan mengkonsumsi makanan yang memiliki indeks glikemik rendah. Perawatan
diri dalam aktivitas fisik meliputi peningkatan frekuensi maupun jenis latihan
aktifitas fisik yang dipantau mulai minggu sampai tahun tertentu. Fokus
Universitas Indonesia
Teknik edukasi yang paling tepat adalah menggunakan pendekatan berpusat pada
pasien yang diberikan sekitar pada waktu diagnosis, dilakukan secara
berkelanjutan, dan sesuai kebutuhan pasien. Pemberian edukasi harus
mempertimbangkan budaya etnis dan psikososial (ADA 2013; IDF 2012).
Edukasi dapat diberikan dalam bentuk kelompok atau individu. Edukasi kesehatan
diabetes dapat dilakukan secara individual oleh care provider, tetapi jika
memungkinkan harus diberikan oleh tim multidisiplin. Baik metode group
maupun one-on-one membutuhkan untuk tatap muka langsung sehingga memiliki
efek positif dalam meningkatkan pengetahuan, perubahan gaya hidup dan
beberapa aspek psikologis pasien. Edukasi yang berfokus pada partisipasi pasien
dalam menetapkan tujuan pencapaian dan pembuatan keputusan meningkatkan
efektifitas edukasi dan HbA1c. Manfaat yang lebih baik dapat dicapai dalam
edukasi pada pasien dengan DMT2 bila mengikutkan atau memperhatikan
komponen psikologis pasien. Edukasi yang diberikan dalam waktu yang lebih
lama dan dengan reinforcement secara berkesinambungan menunjukan hasil yang
lebih efektif daripada satu kali pertemuan atau intervensi singkat. Edukasi pasien
diabetes hendaknya menyertakan pertimbangan intervensi yang diberikan dapat
mengurangi pembiayaan dan memperhitungkan kebutuhan secara sosioekonomi
terkait DMT2. (NHMRC , 2008)
Universitas Indonesia
e. Aktivitas fisik
Pasien DM disarankan untuk melakukan aktifitas fisik 150 menit/minggu dengan
intensitas aktivitas fisik atau aerobik sedang atau dalam rata-rata denyut jantung
maksimum (THR) 50-70% yang dilakukan minimal 3 kali tiap minggu, tidak
dilakukan 2 hari berturut-turut bila tidak terdapat kontraindikasi. Olahraga secara
teratur terbukti untuk dalam meningkatkan kontrol glukosa darah dan mengurangi
risiko kardiovaskuler, penurunan berat badan serta komplikasi. Pada pasien
dewasa usia lebih dari 65 tahun dapat melakukan aktivitas fisik 150 menit namun
jika tidak kuat maka sesuai dengan kemampuan. Pada penelitian ditemukan rata-
rata aman untuk melakukan latihan yaitu 3-4 kali tiap minggu dan setiap latihan
dilakukan 50 menit. Pada pasien dengan risiko tinggi perlu dilakukan pemeriksaan
awal atau instruksikan latihan dengan intensitas yang ringan dan dilakukan secara
perlahan dan bertahap (ADA, 2013: IDF 2012).
Latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa darah namun bila kadar gula darah
sangat tinggi pada batas lebih dari 250 mg/dl hingga 300mg/dl akan
mengakibatkan kadar glukosa darah lebih tinggi yang dapat mengakibatkan
ketosis. Sedangkan pada kadar glukosa darah rendah kurang 100 mg/dl akan
berakibat hipoglikemi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan terhadap
kadar glukosa darah sewaktu pasien DM akan, selama dan setelah melakukan
latihan fisik atau aktivitas fisik (Sigal, Kenny, Wasserman, Castaneda-Sceppa, &
White, 2006)
Terdapat kekurangan dari penelitian mengenai risiko dan manfaat dari latihan
terhadap komplikasi. Latihan dan aktivitas tidak diketahui memiliki efek buruk
pada penglihatan retinopati diabetes. Namun adanya proliferasi atau beratnya
retinopati diabetes dengan latihan yang keras akan berpotensi memicu perdarahan
vitreous atau ablasi retina. Pada pasien dengan penurunan sensasi nyeri pada
ekstermitas akan mengakibatkan peningkatan risiko kerusakan kulit, infeksi dan
charcot foot atau kerusakan sendi. Pasien dengan neuropati berat untuk didorong
kegiatan yang tidak menggunakan beban seperti berenang, bersepeda atau latihan
lengan. Pasien dengan neuropati otonom akan dapat meningkatkan risiko cedera
akibat menurunnya respon jantung, hipotensi postural, gangguan termoregulasi
Universitas Indonesia
akibat gangguan reaksi papiler dan rasa haus terganggu sehingga dapat
meningkatkan risiko dehidrasi dan gastroparesis. Sehingga pada pasien dengan
gangguan otonom harus menjalani pemeriksaan jantung di awal sebelum
melakukan aktivitas fisik atau latihan. Aktivitas fisik dapat meningkatkan rasa
berkemih dan eksresi protein, sehingga beberapa ahli merekomendasikan pasien
DM dengan penyakit ginjal hanya melakukan latihan ringan atau sedang (Sigal,
Kenny, Wasserman, Castaneda-Sceppa, & White, 2006).
f. Psikososial
Pengelolaan psikososial merupakan bagian integrasi dari tata laksana pasien
diabetes. Pengkajian psikososial tidak terbatas dari sikap dan harapan terhadap
penyakit, kualitas hidup, sumber daya keuangan, sosial dan emosioal namun juga
melihat pada depresi, distress yang berhubungan dengan diabetes, kecemasan,
gangguan makan, gangguan kognitif. Masalah psikososial dapat mengganggu
individu dalam melakukan perawatan diabetes. Dalam studi Ismail, Winkley &
Rabe-Hesketh (2004) menunjukkan bahwa intervensi terhadap psikososial dapat
meningkatkan kontrol terhadap HbA1c. Dalam melakukan pengelolaan
psikososial pasien DM menggunakan pendekatan pribadi yang utuh dimana
melihat pasien sebagai peran sentral dan menghormati dalam peran tersebut
dalam memberikan perawatan pada mereka serta mengunakan komunikasi yang
tidak menghakimi (ADA, 2013: IDF 2012)
Universitas Indonesia
Retinopati diabetikm katarak dan glaukoma merupakan tiga hal dari diabetes yang
terkait dengan diabetes. Retinopati diabetik ditandai dengan oleh dilatasi kapiler
dan oklusi, mikro aneurisma, perdarahan dan eksudat yang keras. Diabetik
retinopati adalah komplikasi okular utama terkait dengan diabetes. Patogenesis
retinopati diabetik masih belum jelas. Hiperglikemi persisten terlibat dalam onset
dan perkembangan retinopati diabetes. Katarak dapat berkembang mengikuti
kontrol glukosa darah terganggu. Sedangkan glaukoma terdiri dari dua bentuk
paling sering terjadi pada individu dengan diabetes. Saat ini perkembangan
retinopati diabetes dipengaruhi hipertensi dan lipid. Hipertensi memainkan peran
dalam peningkatan aliran darah akibat tekanan tinggi diduga merusak kapiler
retina. Dislipidemia khususnya trigliserida dan kolesterol LDL terkait dengan
peningkatan risiko pembentukan lipid atau eksudat yang ditemukan di makula dan
Universitas Indonesia
Komplikasi retinopati dapat dilakukan melalui skrining mata pada pasien diabetes
yang dilakukan ketika pasien didiagnosa DM. Pemeriksaan selanjutnya dapat
dilakukan setiap 1-2 tahun sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan mata pada
pasien diabetes meliputi ketajaman penglihatan, menilai retinopati dengan
menggunakan fotografi retina dan pemeriksaan spesialis mata. Alasan dilakukan
pemeriksaan mata perlu didiskusikan dengan pasien. Pasien perlu dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan ulang 1-2 tahun bila didapatkan hasil pemeriksaan
tidak ada retinopati, anjurkan pemeriksaan 12 bulan jika retinopati tidak berubah
dan pemeriksaan 3-6 bulan jika penglihatan semakin memburuk (IDF, 2012).
Penyakit ginjal dapat mendahului diabetes atau penyakit ginjal sebagai akibat dari
hiperglikemi yang terus menerus. Terdapat hubungan antara nefropati diabetik,
glukosa darah dan tekanan darah. Hipertensi sudah diketahui hubungan dengan
kejadian nefropati diabetik sedangakan hiperglikemi dan dislipidemia menjadi
faktor risiko untuk nefropati diabetes dan terlibat dalam patogenesis. Diabetes
nefropati ditandai dengan morfologi yang berbeda dan perubahan biokimia di
ginjal yang bertepatan dengan onset dan perkembangan penyakit ginjal.
Pembesaran mesangium, membran terdiri dari sel-sel mesangial dan matriks
ekstraseluler mendukung loop kapiler glomerulus, merupakan salah satu
perubahan morfologi yang paling menonjol. Kadar glukosa telah terbukti
meningkatkan produksi kolagen, fibronectin, dan laminin dalam matriks
ekstraseluler mesangial, mengakibatkan penebalan signifikan dari mesangia
basement membrane. Penebalan ini menekan kapiler glomerulus, mengubah
hemodinamik intraglomerular. Perubahan lain termasuk berkurangnya luas
permukaan kapiler dan penurunan kadar heparin sulfat dalam matrix ekstraselular
secara dramatis. Nefropati diabetik berlangsung melalui tahap berbeda yang
dicirikan oleh jumlah albumin berlebih ke dalam urin. Tahap awal kejadian
nefropati diabetes ditandai dengan rendahnya tingkat albumin dalam urin
(mikroalbuminuria). Albumin ini berfungsi sebagai penanda perkembangan
Universitas Indonesia
nefropati diabetik namun juga merusak glomerulus (Mazze, Strock, Simonson , &
Bergenstal, 2006).
Komplikasi terhadap ginjal dilakukan setiap tahun untuk pemeriksaan tes urin
guna melihat albuminuria, pengukuran kreatinin serum dan perhitungan eGFR.
Ketiga pemeriksaan ini menandakan bahwa kemampuan menyaring atau
mereabsorpsi oleh tubulus ginjal mengalami penurunan fungsi. Pengukuran rasio
kreatinin dilakukan dipagi hari, jika nilai rasio kretinin (mikroalbuminuria ACR >
2.5 mg/mmol pada pria dan > 3,5 mg/mmol pada wanita) ulangi ACR dua kali
selama 4 bulan berikutnya. ACR > 30 mg/mmol menunjukkan makroalbumin.
Penyakit ginjal dapat ditegakkan atas dasar penurunan nilai albumin urin atau
protein atau eGFR (< 60ml/min1.73 mg). Pengelolaan dapat dilakukan
menggunakan ACE inhibitor atau ARB pada pasien dengan mikro atau
makroalbuminuria, meintensifkan manajemen tekanan darah dengan target ≤
130/80 mmHg, meintensifkan pengelolaan glukosa darah, memantau ACR, eGFR
dan serum kalium, sarankan membatasi asupan protein 1g/kg/hari jika proteinurim
(IDF, 2012)
Kaki diabetik melibatkan beberapa faktor termasuk aliran darah abnormal karena
penyakit pembuluh darah, penekanan sistem kekebalan tubuh, cacat struktural dan
neuropati. Individu dengan diabetes, memberikan kontribusi untuk terjadinya
aliran darah yang abnormal. Gangguan pembuluh ini mengurangi dan
menghambat aliran darah ke kulit, terutama di titik-titik tubuh distal. Neuropati
diabetes, baik perifer dan otonom, berkontribusi untuk gangguan dalam umpan
balik sinyal sakit sebagai respon adanya cedera atau infeksi. Neuropati diabetes
perifer menyebabkan hilangnya sensasi dan mati rasa kaki. Hal ini menyebabkan
rasa sakit, trauma, ulserasi, infeksi, dan akhirnya ganggren. Saraf motorik juga
akan terpengaruh oleh neuropati perifer, yang menyebabkan ketidakseimbangan
otot interoseus dan jari kaki. Cacat ini membuat jari-jari kaki rentan terhadap
ulserasi. Neuropati otonom dapat mengakibatkan penurunan keringat sehingga
menyebabkan kulit kering dan pecah-pecah. Celah di kulit sebagai portal masuk
bagi bakteri dan infeksi. Faktor-faktor fisik (berat badan, tekanan, dan trauma)
Universitas Indonesia
pada kaki dapat mengakibatkan cedera. Jika ditangani secara tidak benar atau
terlambat, infeksi dapat menjadi gangren dan akhirnya amputasi kaki. Adanya
infeksi berkaitan erat dengan kontrol glikemik, karena tingginya kadar glukosa
darah mengganggu fungsi leukosit (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal,
2006).
Komplikasi pada kaki dapat dikelola dengan melakukan penilaian kaki pasien
diabetes meliputi riwayat luka sebelumnya, penyakit arteri perifer, kesulitan fisik
atau visual saat perawatan kaki, kelainan bentuk kaki, tanda neuropati, melakukan
pemeriksaan neuropati dengan monofilamen 10g dan biothesiometer, palpasi
denyut kaki, pemeriksaan ankle brakial indeks. Pasien diabetes perlu diberikan
penjelasan pentingnya pemeriksaan dan perawatan kaki sesuai kebutuhan,
melakukan perawatan luka kaki diabetes baik dari klasifikasi, jenis balutan,
penggunaan alas kaki serta kontrol gula darah secara optimal (IDF, 2012)
Elemen penyusun model adaptasi Roy meliputi manusia sebagai sistem adaptasi,
lingkungan, sehat dan tujuan keperawatan. Manusia dipandang sebagai sistem
yang holistik dan adaptif secara keseluruhan dengan bagian-bagian yang berfungsi
sebagai unit untuk tujuan tertentu. Sebagai sistem mencakup individu atau
Universitas Indonesia
kelompok yang kontak dengan lingkungan dan menerima rangsang dan menuntut
untuk suatu tanggapan yang dapat dilihat dari perilaku (Roy & Andrews, 2009).
Sistem digambarkan sebagai proses dimana terdapat input, output, control dan
feedback. Menurut Sister Callista Roy dalam teori sistem adaptasi, input pada
proses adaptasi merupakan stimulus yang didefinisikan sebagai sesuatu yang
menimbulkan suatu respon. Stimulus dapat berasal dari dalam atau luar
lingkungan. Output digambarkan sebagai bentuk perilaku dari fungsi penerimaan
stimulus yang merupakan hasil dari proses tingkat adaptasi dan menandakan
kemampuan orang dalam merespon dari kondisi yang ada. Perilaku sebagai output
dalam sistem adaptasi dapat berbentuk respon yang adaptif maupun tidak efektif.
Control dalam sistem adaptasi digambarkan oleh Roy sebagai proses koping
seseorang dibagi menjadi subsistem yaitu kognator maupun regulator (Roy &
Andrews, 2009).
Stimulus dibagi menjadi tiga jenis yaitu stimulus fokal, stimulus kontekstual dan
stimulus residual. Stimulus fokal diartikan suatu stimulus yang didapatkan pada
kondisi saat ini dan disadari oleh pasien. Stimulus kontekstual merupakan seluruh
stimulus yang ada pada kondisi sekarang dan berkontribusi dalam mempengaruhi
stimulus fokal. Karena pasien mengalami banyak perubahan lingkungan sehingga
stimulus fokal dapat menjadi stimulus kontekstual untuk stimulus fokal yang lain.
Stimulus residual adalah faktor lingkungan dimana efek yang ditimbulkan belum
dapat dijelaskan dalam situasi sekarang. Tiga jenis stimulus tersebut sangat
penting bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
menggunakan model sistem adaptasi (Roy & Andrews, 2009).
Universitas Indonesia
Output dalam sistem adaptasi yaitu perilaku. Perilaku merupakan suatu aksi atau
reaksi baik internal maupun eksternal dalam keadaan tertentu. Sebagai respon
dari sistem adaptasi, perilaku dapat dimunculkan secara individu mapun
kelompok yang dapat diobservasi, diukur, dan terkadang dapat dilaporkan. Dari
perilaku ini, menjadi kunci perawat dalam melakuan pengkajian atau intervensi
karena perilaku menunjukkan sikap manusia sebagai hasil adaptasi dari interaksi
dengan lingkungan (Roy & Andrews, 2009).
Proses koping merupakan proses menanggapi dari stimulus yang ada melalui dua
jalan yaitu kognator dan regulator. Regulator merujuk pada mekanisme koping
melibatkan fungsi anatomi dan fisiologis dari tubuh sedangkan kognator
melibatkan proses persepsi dan informasi, pembelajaran, penilaian dan emosi.
Pada aspek regulator, tidak hanya melibatkan satu sistem namun beberapa sistem
dalam proses mekanisme koping tersebut begitu pula dengan aspek kognator (Roy
& Andrews, 2009).
Roy membagai model adaptasi dalam 4 bagian mode yaitu fisik atau fisiologis,
konsep diri, fungsi peran, dan interdependen. Fisiologis meliputi 5 kebutuhan
dasar yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat serta proteksi dan
4 proses kompleks dalam adaptasi fisiologis yang meliputi sensasi, cairan dan
elektrolit, keseimbangan asam basa, fungsi neurologi, dan fungi endokrin. Konsep
diri adalah keyakinan atau perasaan terhadap keadaan fisik (sensasi tubuh, citra
tubuh) dan pribadi diri (konsistensi diri, ideal diri, moral-etika-personal diri).
Fungsi peran fokus terhadap hubungan interaksi seseorang dengan orang lain pada
peran primer, sekunder dan tersier. Ketergantungan berfokus terhadap memberi
dan menerima cinta, perhatian, penghargaan (Roy & Andrews, 2009).
Universitas Indonesia
Dari gambaran manusia sebagai sistem (Gambar. 2.4) terlihat bahwa manusia
terdiri dari empat mode yaitu fisiologis-fisik, konsep diri-identitas kelompok,
fungsi peran, ketergantungan. Dalam suatu sistem adaptasi stimulis dapat
mempengaruhi keempat mode kemudian terjadi proses koping dan dihasilkan
suatu perilaku.
Lingkungan oleh Roy dijelaskan sebagai seluruh kondisi, keadaan dan sekitarnya
yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang atau kelompok
sebagai sistem adaptasi (Roy & Andrews, 2009). Faktor lingkungan merupakan
sebagai bentuk stimulus internal maupun eksternal pada sistem adaptasi karena
manusia dan lingkungan selalu berinteraksi (Alligood & Tomey, 2010)
Konsep sehat sehubungan dengan konsep adaptasi dan respon adaptif mencapai
keutuhan. Sehat menurut Roy adalah keadaan dan proses menjadi dan menuju
manusia yang terintegrasi dan utuh. Sehat sebagai refleksi dari proses adaptasi
dengan tujuan menjadi manusia yang utuh baik fisik, konsep diri, fungsi peran dan
ketergantungan (Roy & Andrews, 2009).
Universitas Indonesia
Lingkungan
Lingkungan
Gambar 2.5 Manusia sebagai sistem adaptasi, keperawatan, sehat dan lingkungan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
bau keton dan perubahan status mental. Komplikasi dari DM salah satunya adalah
gangguan arteri perifer yang dapat dikaji dari respon intermitten claudication,
penurunan nadi perifer, tanda insufiensi vaskuler (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2010).
Pengkajian nutrisi meliputi berat badan, nafsu makan, jumlah dan tipe asupan
makanan merupakan respon kebutuhan nutrisi pada pasien DM (Roy & Andrews,
2009). Pasien DM dengan kondisi ketoasidosis akan memimbulkan respon mual,
muntah bahkan nyeri perut sehingga asupan nutrisi berkurang (Lewis, Dirksen ,
Heitkemper, Bucher, & Camera, 2011).
Pengkajian eliminasi meliputi perilaku berkemih maupun fekal baik secara jumlah
dan karakteristik sehubungan dengan respon dari indikator pasien DM seperti
poliuri maupun dengan komplikasi pada pasien neufropati (Roy & Andrews,
2009). Pada pasien dengan komplikasi ketoasidosis diabetikum secara riwayat
klinis maka akan ditemukan adanya respon poliuria dan kandungan keton dalam
urin (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal, 2006).
Pengkajian aktivitas dan istirahat meliputi respon dari tingkat energi, gangguan
tidur dan koordinasi tubuh perlu dilakukan pengkajian. Secara umum pada pasien
dengan gangguan insulin melaporkan adanya kelemahan (Roy & Andrews, 2009).
Pengkajian proteksi pada pasien DM dapat dilihat respon sebagai refleksi dari
proteksi pada pasien DM dapat diliat pada karakteritik kulit, rambut dan kuku.
Pada pasien dengan diabetes melitus yang mengalami insufiensi vaskuler akan
mengalami pertumbuhan rambut jarang, kulit menipis, mengkilap, kering dan
pecah-pecah. Pada pasien DM dengan komplikasi adanya gangguan sensori
neuropathy akan mengakibatkan adanya ulserasi pada kaki (Lewis, Dirksen ,
Heitkemper, Bucher, & Camera, 2011).
Universitas Indonesia
Pada pengkajian respon terhadap cairan dan elektrolit dan keseimbangan asam
basa akan terdapat hubungan dengan adanya disfungsi endokrin. Perilaku pasien
yang menunjukkan adanya diaphoresis dan edema. Pada pasien dengan
ketoasidosis diabetik, kondisi keseimbangan asam basa menjadi suatu hal yang
krisis pada pasien DM (Roy & Andrews, 2009).
Respon dari neurologis pada pasien DM dapat dilihat dari mengkaji perilaku dari
tingkat kesadaran, terutama dalam kondisi kritis seperti ketoasidosis atau
hipoglikemi Efek komplikasi dari diabetes adalah autonom neuropati yang
sehubungan dengan jantung, gastrointestinal dan ginjal. Pada jantung akan
memunculkan gejala nyeri dada, irama jantung takikardi, iskemi hingga infark.
Pada sistem gastrointestinal dapat muncul adanya mual dan muntah akibat
keterlambatan dalam pengosongan lambung serta adanya konstipasi atau diare
diabetik yang diakibatkan tidak konsisten penyerapan glukosa dari makanan
terletelan hingga pengosongan lambung (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2010).
Pengkajian untuk perilaku endokrin pada pasien DM karena pada pasien dengan
DM dapat mengalami suatu kondisi hiperglikemi. Hiperglikemi merupakan hasil
akhir dari produksi glukosa meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh
menurun sebagai akibat defisiensi insulin pada kasus ketoasidosis diabetik. Selain
dapat terjadi hiperglikemi, pada pasien DM juga dapat terjadi hipoglikemi.
Hipoglikemi merupakan kumpulan gejala klinis yang disebabkan konsentrasi
glukosa darah rendah. Hipoglikemi datpat ditunjukkan dengan mengenal Triad
Universitas Indonesia
Sebagian besar pasien DM tidak memiliki dampak peran negatif pada kehidupan
sehari-hari, pribadi dan keluarga mereka. Kecuali pada kelompok dengan usia 41-
60 tahun dengan pendapatan yang rendah dan edukasi yang rendah
mengungkapkan DM memberikan efek negatif terhadap peran mereka di keluarga
dan masyarakat karena seluruh peran diambil oleh keluarga muda, hal ini
mengakibatkan pasien DM merasa tidak dikenal oleh orang lain, kehilangan
Universitas Indonesia
bagian dari hubungan sosial mereka, dan memiliki lebih sedikit energi untuk
menjaga hubungan sosial mereka (Dudzinska, Kurowska, Tarach, Chityn, &
Wdowiak-Barton, 2008)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Bagian ini menggambarkan penerapan model adaptasi Roy pada kasus diabetes
melitus tipe 2 disertai dengan beberapa landasan konsep dan teori keperawatan
yang telah ada.
Pasien datang di IGD pukul 01.04 dengan keluhan lemas sejak 2 hari SMRS dan
semakin memberat. Keluhan disertai dengan mual, muntah sebanyak 2 kali,
mengigil, nafsu makan menurun kurang lebih satu minggu, tidak ada keluhan
nyeri, tidak ada nyeri dada, tidak ada jantung berdebar, tidak ada penurunan
kesadaran, tidak ada sesak nafas, tidak ada luka, tidak ada batuk pilek, tidak ada
keluhan BAK dan BAB. Pasien memiliki DM 3 tahun yang lalu dan TB paru.
Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 134x/menit, frekuensi pernafasan 25x/menit
dan suhu 36.60C. Pemeriksaan fisik didapatkan mata tidak anemis, tidak sianosis,
suara paru vesikuler, tidak ada ronki dan whezing pada kedua lapang paru, S1-S2
reguler, tidak ditemukan murmur dan gallop, perut datar lemas, bising usung
normal, akral hangat dan tidak ada oedem. Pemeriksaan laboratorium (30 Oktober
2013) didapatkan Hb 14,2 (12.0-15.0 g/dL), Ht 40.3 (36.0 - 46.0 %), Trom 332
(150 – 400 10^3/ L), Leu 112 (5.0 – 10.0 10^3/ L), MCV 80.9 (80-95 tL), H
28.4 (27.0-31.0 pg), HC 35.2 (32.0-36.0 g/dL), Na 130 (132-147 mEq/L), K 5.1
(3.30-5.40 mEq/L), Cl 93 (94.0 -111.0 mEq/L), AGD: pH 7.4 (7.35-7.45), pCO2
21.0 (35.0-45.0 mmHg), p O2 83.9 (75.0-100.0 mmHg), HCO3 13.5 (21.0-25.0
mmol/L), SaO2 97 (95.0-98%), Ureum 94.5 (< 50mg/dL), Kreatinin 2.30 (0.60-
1.20 mg/dL), SGOT 34 (< 27U/L), SGPT 19 (<34U/L), Albumin 2.88 (3.4-4.8
31 Universitas Indonesia
g/dL), Globumin 3.41 (1.80-3.90 g/dL), Protein 6.29 (6.4-8.7 g/dL), GDS 834
mg/dL, Keton 2,1. Pemeriksaan penunjang pada foto thorax didapatkan kesan TB
Paru, EKG : Takikardi, HR 150x/mnt , p wave normal, gelombang QRS normal,
gelombang T-inverted tidak ditemukan .
Pasien telah dilakukan tatalaksana KAD sesuai dengan protokol. Terapi lain yang
diberikan yaitu O2 3 l/mnt, Ampicilin Sulbactan 1.5 g 4x1 IV, cefritiaxon 2 g 1x1
IV, azitomicin 500 mg 1x1 PO, inhalasi Ventolin: B: NS = 1:1:1/ 6 jam,
paracetamol 500 mg 3x 1PO, Fluimucil 3x 1 PO, omeperazole 40 mg 1x1 IV,
ondansentron 8 mg 3x1 IV. Insulin drip 50 unit (0.5cc/jam).
Universitas Indonesia
10.0 g/dL. d-dimer 200 g/l. Tidak ada riwayat hipertensi, tidak ada riwayat
penyakit jantung pada keluarga. Stimulus fokal : peningkatan produksi sekret.
Stimulus kontekstual : riwayat pengobatan TB paru namun putus OAT tahun
kemarin karena dirasa sudah sembuh, pasien tidak mengetahui efek dari putus
obat, riwayat KAD. Stimulus residual: keluarga ada yang merokok.
b. Nutrisi
Klien mengeluh tidak nafsu makan, makan hanya habis 4 sendok, klien merasa
tidak ada tenaga untuk makan, tidak ada alergi makanan, keluhan rasa penuh pada
lambung tidak ada, keluhan mual tidak ada, keluhan muntah tidak ada, tidak ada
keluhan kesulitan dalam menelan, tidak ada nyeri perut. Stomatis pada bibir, gusi
atau rongga mulut tidak ditemukan, gigi tidak lengkap pada bagian depan atas,
tidak ada asites. BB 50 kg TB 160 cm, IMT 21.48 kg/cm2 dengan BB ideal 54 kg
((160-100)-10%(160-100)), nilai MST 4 dengan baju serasa longgar, tidak nafsu
makan dan diagnosa khusus DM. Pemeriksaan fisik abdomen didapatkan perut
datar, lemas, bising usus normal, hati dan limpa tidak teraba, nyeri tekan tidak
ada. (01 November 2013) Hb 10.0 g/dL (menurun), Ht 28.4 % (menurun),
albumin 2.08 g/dL (menurun), protein total 4.7 g/dL (menurun). GDS (30 Oktober
2013) jam 03.00 = 834 mg/dL, GDS (31 Oktober 2013) jam 06.00 = 65 mg/dL,
jam 08.00 = 219 mg/dL, jam 12.00 = 297 mg/dL , jam 17 =135 mg/dL. HbA1c
12.3 % (DM).
Universitas Indonesia
c. Eliminasi
Klien tidak ada keluhan pada BAK dan BAB. Tidak ada nyeri saat BAK atau
BAB. Frekuensi BAB sehari satu kali, tidak ada perubahan dengan sebelum sakit,
warna coklat kuning, konstitensi lunak, pemeriksaan perut didapatkan datar,
lunak, bising usus 10x/mnt. Tidak ada keluhan BAK, klien mengatakan sering
berkemih sebelumnya (poliuri), warna urin kuning, keruh, distensi kandung kemih
tidak ditemukan. (1 November 2013) protein dalam urin yaitu (1+) glukosa dalam
urin yaitu (1+), keton dalam urin yaitu (1+), ureum 80 mg/dL (meningkat),
kreatinin 2.30 mg/dL (meningkat), eGFR 23.1 mL/min/1.73 m^2 (68-102). Saat
ini klien memakai kateter urin. Klien memiliki riwayat DM sudah 3 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur. Stimulus fokal : proses metabolik glukosa.
Stimulus kontekstual : DM 3 tahun, pengetahuan dan kepatuhan terhadap
pengobatan tidak dipahami, kurangnya motivasi diri dan lingkungan. Stimulus
residual: komplikasi nefropati
Universitas Indonesia
e. Proteksi
Penilaian terhadap risiko dekubitus (Skala Norton) didapatkan 16 (tidak ada risiko
terjadi luka dekubitus), tidak ditemukan luka, keadaan kuku normal, pengujian
menggunakan 10g monofilamen normal, suhu 36.70C, leukosit 12.2 10^3/ L.
meningkat. Stimulus fokal, kontekstual dan residual tidak ditemukan
f. Sensasi
Pada pola sensasi dan indera, pasien tidak mengalami gangguan pendengaran,
tidak ada keluhan pandangan kabur, berkabut dan berbayang-bayang. Pasien tidak
melaporkan ada gangguan dalam pengecapan, tidak ditemukan adanya sensasi
nyeri. Stimulus fokal, kontekstual dan residual tidak ditemukan
h. Neurologis
Pasien masih mengenal tempat, waktu dan orang. Tidak ditemukan gangguan
memori jangka panjang dan jangka pendek, tidak terdapat gangguan bahasa, tidak
ditemukan kelainan pada keduabelas saraf kranial. Reflek achiles +/+. Stimulus
fokal, kontekstual dan residual tidak ditemukan
i. Endokrin
Riwayat 3 P (+), tidak ditemukan pembesaran kalenjar tiroid, GDS (30 Oktober
2013) jam 03.00 = 834 mg/dL, GDS (31 Oktober 2013) jam 06.00 = 65 mg/dL,
jam 08.00 = 219 mg/dL, jam 12.00 = 297 mg/dL , jam 17 =135 mg/dL. HbA1c
12.3 % (DM). Klien mengatakan sudah memiliki DM 3 tahun dan ini kedua
kalinya dirawat dirumah sakit karena gula tinggi, klien tidak teratur minum obat,
klien tahu kalau punya DM tidak boleh minum yang manis-manis tapi pasien
terbiasa minum teh manis di rumah. Klien terbiasa dirumah menyediakan 4500 ml
Universitas Indonesia
Pengkajian untuk mode adaptasi konsep diri tidak dapat dikaji diawal pasien
masuk karena pasien merasakan lemas. Keluarga menanyakan perkembangan
penyakitnya. Pengkajian baru dapat dikaji pada tanggal (11 November 2013). Dari
pengkajian cara pandang pasien terhadap kondisi fisiknya sekarang, pasien
mengatakan kondisi saat ini lebih baik dibanding sebelumnya, pasien mampu
menggambarkan keadaan fisiknya dan tidak perlu mengubah keadaan fisiknya
sekarang, karena sudah tua dan itu normal. Klien menanyakan bagaimana biar
kondisi tidak berulang karena ini sudah yang ketiga kalinya karena gula, setiap
dilakukan pemeriksaan gula darah kapiler pasien merasa cemas dengan hasil.
Klien mengatakan sudah bosan dengan pengobatan yang ada sehingga klien tidak
teratur minum obat. Dari aspek kepribadian, klien mengatakan bahwa dirinya
lebih cenderung diam tetapi mudah berhubungan dengan lingkungan sekitar.
pasien percaya terhadap Tuhan, pasien menjalankan kewajiban ibadah sesuai
keyakinannya dan meminta diperingankan penyakitnya dan klien bisa kembali
pulang. Stimulus fokal: kurang informasi terhadap pengobatan dan penyakit
Stimulus kontekstual: riwayat KAD 3 kali, DM 3 tahun dan TB dengan putus
obat. Stimulus residual tidak ditemukan.
Pengkajian untuk mode adaptasi fungsi peran didapatkan data pasien merupakan
seorang istri dan ibu dari 2 anak dan nenek dari 5 cucu. Kedua anaknya sudah
besar dan berkeluarga. Salah satu anaknya tinggal bersama pasien dan 2 cucu.
Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga dan tidak
bekerja maupun aktif dalam organisasi tertentu. Saat di rumah sakit, pasien
ditunggu oleh suami dan anaknya bergantian. Pasien mengatakan urusan rumah
selama pasien dirawat dirumah sakit dikerjakan oleh menantu. Pasien mengatakan
sebagai seorang ibu rumah tangga sudah wajar melakukan pekerjaan rumah
tangga seperti masak menyiapkan makan buat keluarga. Stimulus fokal,
kontekstual dan residual tidak ditemukan.
Universitas Indonesia
Untuk rencana asuhan keperawatan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 3.1
Universitas Indonesia
38 38
Analisis penerapan…, Tetra Saktika Adinugraha, FIK UI, 2014
Tabel 3.1 (lanjutan)
No Perilaku Stimulus Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
g. Berikan sesi edukasi untuk
pengenalan putus OAT dan
TB (K)
h. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan (R)
i. Berikan bronkodilator (R)
j. Program untuk rongsen dada
untuk evauasi akhir (R)
2 Subyektif: Stimulus fokal Nutrisi kurang dari Nafsu makan. Status nutrisi: Manajemen nutrisi. Terapi
a. Tidak nafsu makan insufiensi insulin, kebutuhan tubuh b.d biokimi, Pengetahuan: nutrisi. Konseling nutrisi.
b. Makan habis 4 intake tidak adekuat insufiensi insulin, intake Manajemen diabetes. Monitoring nutrisi.
sendok tidak adekuat
Kriteria : a. Identifikasi perubahan
Universitas Indonesia
39 39
makan.
mg/dl (06.00), 219 e. Hematokrit (36.0 – 46.0) terapi DM atau insulin (K)
mg/dl (12.00), 135 f. Albumin (3,4 – 4.8) g. Diskusikan tentang sumber-
mg/dl (17.00). g. Glukosa sewaktu 140 – sumber nutrisi pada pasien
HbA1c 12.3% 180 mg/dl DM pada pasien dan
(tinggi) keluarga (K)
40 40
Analisis penerapan…, Tetra Saktika Adinugraha, FIK UI, 2014
Tabel 3.1 (lanjutan)
No Perilaku Stimulus Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
h. Diskusikan dan latih pasien
dalam perencanaan makan
dan perencaan menghindari
minum minuman manis (K)
i. Berikan pujian atas upaya
pasien untuk memenuhi
intake makanan (K)
j. Evaluasi dan rencanakan
kebutuhan kalori dan jenis
makanan dengan ahli gizi
k. Kolaborasi pemberian
transfusi albumin bila intake
tidak adekuat
Universitas Indonesia
3 Subyektif: Stimulus fokal Kelelahan b.d penurunan Tingkat kelelahan. Manajemen energi.
Lemas tidak bertenaga Penurunan metabolik metabolik energi, a. Kaji status fisik pasien (R)
energi, insufisiensi insufisiensi insulin Kriteria: b. Monitor intake makanan
insulin a. Tidak melaporkan untuk memastikan
kelemasan atau kelelahan keadekuatan sumber energi
41 41
(R)
berkeringat banyak penurunan kerja ginjal cairan b.d penurunan Tingkat kelebihan cairan. cairan
kerja ginjal Fungsi ginjal.
a. Kaji dan observasi adanya
Kriteria : edema dan status hidrasi (R)
a. Tekanan darah (120-
42 42
130/75-80 mmHg)
mL/min1.73m^2
5 Subyektif: Stimulus fokal: Manajemen kesehatan Tingkat glukosa darah. Manajemen hiperglikemi.
a. DM 3 tahun Ketidakcukupan akan diri tidak efektif b.d Pengetahuan: Manajemen Manajemen hipoglikemia
b. Tidak teratur kebutuhan insulin. ketidakcukupan insulin, diabetes. Diabetes self Pendidikan kesehatan :
minum obat. pengetahun DM kurang. manajemen Pengobatan oral, insulin dan
43 43
perawatan kaki
44 44
pemberian serta rotasi) kebutuhan (R)
45 45
sebelumnya. darah (K)
R : Regulator K : Kognator
Universitas Indonesia
46 46
Analisis penerapan…, Tetra Saktika Adinugraha, FIK UI, 2014
47
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
perilaku inefektif yaitu tidak makan makanan ringan atau mengurangi porsi
makan malam.
3.3 Pembahasan
Pada bagian pembahasan ini dijelaskan berdasarkan dari masalah keperawatan
yang muncul pada Ny. DJ.
Studi menunjukkan bahwa semakin tua usia pasien DM maka semakin besar pula
dapat ditemukan adanya TB yang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya
ketidakpatuhan dan ketidaklengkapan dalam pengobatan (Nissapatorn, et al.,
2005). Dalam literatur lain dijelaskan peningkatan insulin pada pasien DM dapat
menurunkan sitokonin Th1 yang berperan dalam pengendalian TB (Jeon &
Murray, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme hiperglikemi dapat
mempengaruhi pasien DM dalam berespon terhadap kekebalan TB.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dalam kondisi hiperglikemi terjadi penumpukan glukosa dalam tubuh akibat dari
defisensi insulin. Hal ini yang mengakibatkan glukosa tidak dapat dipecah sebagai
sumber energi kemudian tubuh meningkatkan glukogenesis di hati, dan
menurunkan penyerapan glukosa oleh otot dan lemak. Sehingga dapat
menemukan beberapa pasien DM tidak merasa lemas, lesu dan tidak bertenaga.
Pada data didapatkan nilai albumin dibawah normal. Albumin sendiri merupakan
protein plasma dimana konstentrasi serum albumin merupakan fungsi dari tingkat
sintesis dan degradasi dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan
ekstravaskular tubuh. Tiap harinya albumin akan melewati membran gromerulus
ginjal namun diserap kembali dan jumlah kehilangan tidak lebih dari 10-20 mg
tiap harinya. Pada kondisi sakit distribusi albumin antara kompartemen
intravaskular dan ekstravaskular serta perubahan tingkat sintesis dan degradasi
protein akan menyebabkan serum albumin menurun (Nicholson , Wolmarans, &
Park , 2000). Hal ini terjadi pula pada pasien dengan adanya proteolisis
menyebabkan albumin yang merupakan protein ikut terpecahkan di perparah
dengan kerusakan ginjal yang tidak mampu menyerap kembali albumin
menyebabkan serum albumin mengalami penurunan.
Adanya perilaku tidak efektif dengan pasien tidak nafsu makan, makan habis 4
sendok. Maka diagnosa yang diangkat dan disesuaikan dengan NANDA adalah
ketidakseimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh.. Masalah ini disesuaikan dengan
definisi ketidakseimbangan nutrusi kurang dari kebutuhan tubuh pada NANDA
yaitu asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Dengan batasan karakteristik yang dipakai adalah pasien kurang minat terhadap
Universitas Indonesia
Pada data didapatkan HbA1c 12.3%, hal ini membuktikan bahwa selama tiga
bulan terakhir ini pasien tidak melakukan perawatan dengan baik. Oleh karena itu
dalam intervensi untuk mengurangi stimulus yang ada perlu dilakukan tindakan
edukasi kesehatan terhadap makan dan minum, karena pasien memiliki pola
makan yang mengganggu pengontrolan kadar gula darah. Pada edukasi kesehatan
yang disampaikan utama adalah mengubah kebiasaan pasien makan yang semula
lebih sering mengemil dibandingkan makan rutin. maka pasien diajarkan untuk
menyiapkan makan besar berdasarkan sumber nutrisinya, pasien juga diajarkan
mengatur porsi makan dan mengubah konsumsi teh manis dengan mulai bertahap
mengurangi jumlah, penggunaan gula berkalori tinggi dan penggantian dengan air
Universitas Indonesia
c. Kelelahan
Respon tidak adaptif pada mode aktivitas yang ditemukan pada pasien adalah
lemas tidak bertenaga. Melalaui proses metabolisme, energi akan dihasilkan
dalam bentuk ATP dan kalor panas. Proses ini dimulai secara keseluruhan proses
metabolime glukosa menghasilkan produk samping berupa karbondioksida dan
air. Pada kondisi hiperglikemi tubuh terjadi penumpukan glukosa akibat proses
glikogenesis hati dan penyeran pada otot dan lemak namun karena defisensi
insulin sehingga terjadi penumpukan glukosa pada pembuluh darah dalam jumlah
banyak karena, hal ini yang mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk dalam sel
dan dipecah sebagai sumber energi. (Mazze, Strock, Simonson , & Bergenstal,
2006)
Adanya perilaku tidak efektif terhadap keluahan lemas dan tampak pasien ada
ditempat tidur dengan lesu. Maka masalah yang diangkat dan disesuaikan dengan
NANDA adalah keletihan. Masalah ini disesuaikan dengan definisi keletihan
pada NANDA yaitu rasa letih luar biasa dan penurunan kapasistas kerja fisikd an
jiwa pada tingkat yang biasanya secara terus menerus. Dengan batasan
karakteristik yang dipakai adalahkurang energi, lesu, lelah. (NANDA, 2012).
Pengelolaan yang dilakukan pada pasien adalah mengatasi stimulus yang ada
disamping itu ada menyiapkan pasien dalam kondisi sekarang ini. Dalam
mengatasi stimulus intervensi yang dilakukan berhubungan dengan masalah mode
oksigen dan nutrisi, hal ini dilakukan untuk membantu proses metabolisme
glukosa menjadi ATP yang membutuhkan kecukupan oksigen serta karbohidrat
unutk dipecah menjadi glukosa. Intervensi lain yang dilakukan terhadap pasien
dengan keletihan adalah membatasi pengeluaran energi yang berlebih (Ackley &
Ladwig, 2011) sehingga pasien diistirahatkan. Sedangkan untuk kebutuhan
aktivitas sehari-hari dibantu oleh orang lain. Ketika pasien sudah mampu
Universitas Indonesia
memenuhi asupan nutrisi dan tanda-tanda vital stabil, intervensi yang dilakukan
adalah mengajarkan pasien untuk melakukan rentang gerak selama 10 menit
setiap hari otot sebelum pasien untuk dapat duduk secara mandiri diatas tidur dan
memenuhi aktivitasnya hal ini akan bertujuan untuk menyiapkan otot.
Respon pada pasien dimulai dari ketika terjadi hiperglikemia maka terjadi diuresis
osmotik yang mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit kemudian terjadi
dehidrasi. Dehidrasi ini akan berdampak pada gangguan fungsi ginjal dan
memperburuk kondisi hiperglikemi. Pemberian cairan pada kasus hiperglikeme
diarahkan kepada eksparasi dari intravaskular, interstisial dan volume intraseluler
yang semuanya berkurang pada krisis hiperglikemi dan restorasi perfusi ginjal.
(Kitabchi, Umpierrez, Miles, & Fisher , 2009). Dari penanganan ini
dimungkinkan pada hari setelah dilakukan terapi akan ditemukan pehitungan
keseimbangan cairan yang berlebih dan tidak seimbang, terkadang juga ditemukan
adanya edema karena terjadi penurunan fungsi ginjal.
Universitas Indonesia
Respon adaptasi yang ditunjukkan oleh pasien yaitu GDS ketika datang 834
mg/dl dan pemeriksaan HbA1c 12.3% diatas normal serta beberapa perilaku
sehari–hari menunjukkan perawatan terhadap DM kurang. Beberapa studi
menunjukkan bahwa proporsi pasien deengan HbA1c tinggi memperlihatkan
kontrol glikemik yang buruk. Kontrol glikemik yang buruk lebih banyak
didapatkan pada pasien yang tidak patuh untuk obat, asupan gizi, pemantauan
glukosa darah, dan aktivitas fisik (Khattab, Khader, Al-Khawaldeh, & Ajlouni,
2010)
Universitas Indonesia
kesehatan yang spesifik. Dengan batasan karakteristik yang dipakai adalah adanya
kegagalan pengobatan dalam kehidupan sehari-hari, kegagalan melakukan
tindakan untuk mengurangi faktor risiko, pilihan tidak efektif dalam kehidupan
sehari-hari, mengungkapkan keinginan untuk mengatasi penyakit. (NANDA,
2012).
f. Kecemasan
Respon yang muncul dalam mode konsep diri didapatkan keluarga menanyakan
kondisi pasien, pasien mengatakan cemas kalau gula darahnya tinggi, keluarga
tampak cemas dan pasien menunjukkan bingung bila diberitahu nilai gula
darahnya lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini menggambarkan perilaku
kecemasan dari stimulus kurang informasi terhadap kondisi yang ada.
Universitas Indonesia
Kecemasan adalah perasaan samar takut atau ketakutan yang diakibatkan oleh
rangsangan eksternal atau internal baik yang dapat mengubah perilaku, emosi,
kognitif dan fisik. Kecemasan yang dialami oleh keluarga atau pasien dipengaruhi
oleh kondisi yang mengancam jiwa, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
keluarga mengalam tingkat kecemasan tinggi ketika pasien dalam kondisi yang
lemah dan dianggap mengancam jiwa. (Acaroglu, Kaya, Sendir, Tosun, & Turan,
2008)
Adanya respon terhadap kondisi pasien dalam status kesehatan. Maka masalah
yang diangkat dan disesuaikan dengan NANDA adalah kecemasan. Masalah ini
disesuaikan dengan definisi kecemasan pada NANDA yaitu perasaan tidak
nyaman atau kekwatiran yang samar disertai reespon autonom. Dengan batasan
karakteristik yang dipakai adalah adanyaada gerakan melihat secara
sepintas,mengekspresikan kekwatiran, bingung, wajah tegang. (NANDA, 2012).
Universitas Indonesia
dan penyerta sejumlah 16 orang, DMT2 dengan non ulkus sejumlah 11 orang dan
DMT2 dengan gangguan tiroid sejumlah 2 orang.
Masalah yang sering dijumpai dalam pengelolaan kasus adalah masalah dengan
gangguan nutrisi. Telah diakui bahwa peningkatan DMT2 dikaitkan dengan gaya
hidup terutama makanan sebagai sumber nutrisi. Kelebihan gizi pada obesitas
akan mengembangkan resistensi insulin dan DMT2. Penelitian menunjukkan
asupan sukrosa yang berlebihan menjadi prediposisi untuk DMT2 oleh karena itu
pada pasien dengan DM tipe disarankan untuk mengurangi minuman yang manis.
Penelitian lain menunjukkan bahwa diet rendah serat , tinggi lemak jenuh akan
meningkatkatkan hiperglikemia (Goldstein & Muller-Wieland , 2008).
Pada pasien DM ditemukan adanya nilai albumin yang rendah. Albumin telah
diakui sebagai indikator kesehatan gizi individu. DM adalah penyakit kronis yang
ditandai dengan hiperglikemi dan gangguan karbohidrat, lemak dan metabolisme
protein. Kondisi DM yang tidak terkontrol terdapat hubungan dengan adanya
metabolisme protein, dari anabolisme protein dari otot rangka, sehingga keadaan
katabolik akibat defisiensi insulin atau resistensi dapat menyebabkan kehilangan
massa otot. Hal ini yang mendasari penelitian terdapat hubungan albumin yang
rendah pada pasien DM (Castaneda, Bermudez, & Tucker, 2000).
Intervensi yang diberikan adalah terapi nutrisi medis dengan tujuan mencapai dan
mempertahankan metabolisme yang optimal termasuk didalamnya adalah
pencapaian kadar glukosa normal, profil lipid dan lipoprotein, serta tekanan darah.
Pemberian terapi nutrisi bagi pasien DM dengan insulin, dilakukan untuk
mencegah terjadinya hipoglikemi, penyediaan edukasi nutrisi, pencegahan
penyakit akut. Beberapa jenis makanan seperti karbohidrat sederhana dan lemak
jenuh perlu dipertimbangkan. (ADA, 2004).
Beberapa temuan masalah nutrisi diakibatkan pasien dalam proses adaptasi dari
makanan yang disediakan oleh RS. Pasien menerima pembatasan makanan selama
di RS yang memberatkan, biasanya pasien tidak menghabiskan porsi makan
Universitas Indonesia
Masalah lain yang sering ditemukan selama praktik adalah gangguan integritas
jaringan yang ditemukan pada pasien dengan ulkus diabetik. Banyak ditemui luka
pada kaki dikibatkan karena luka yang tidak diketahui penyebabnya sehingga
terjadi ulserasi, infeksi, kerusakan jaringan. luka pada kaki diawali dengan kondisi
hiperglikemi yang kronis menyebabkan gangguan vaskuler perifer, neuropati
otonom dan neuropati perifer yang semuanya berujung pada ulkus, infeksi,
ganggren serta amputasi. Kondisi ini sering didapatkan di RSCM dimana pasien
datang sudah dalam kondisi luka yang berat dan ganggren dan datang ke ruangan
sudah dilakukan debridement ataupun amputasi. Penelitian menunjukkan bahwa
kelompok berisiko tinggi terhadap terjadi ulkus diabetik pada pasien dengan
riwayat sejarah yang lebih panjang, lebih buruk kontrol glikemik, lebih neuropati,
dan peningkatan plantar (Peters & Lavery, 2001).
Intervensi yang dapat dilakukan pada pasien dengan gangguan integritas jaringan
pada ulkus diabetes adalah melakukan pengkajian kaki, perawatan luka,
perawatan kaki, edukasi perawatan kaki, selain itu mengontrol kadar gula darah
dan memperbaiki nutrisi. Kondisi hiperglikemi dan nutrisi merupakan suatu faktor
intriksik yang dapat menggangu proses adaptasi penyembuhan luka.
Pengkajian kaki meliputi jenis luka, lokasisasi luka, keadaan kulit kaki, kuku kaki,
telapak kaki, dan jari kaki hal ini untuk melihat kelainan dari komplikasi
neuropati atonom. Pemeriksaan vaskuler dengan melakukan menggunakan
pemeriksaan Ankle Brachial Index untuk melihat adanya gangguan pembuluh
Universitas Indonesia
darah perifer, selain pemeriksaan ini untuk memastikan adanya PAD dilakukan
pemeriksaan arteriografi. Beberapa temuan kasus didapatkan pada luka yang yang
makin memberat telah terdapat stenosis ataupun oklusi. Pemeriksaan neuropati
dilakukan dengan melakukna pemeriksaan dengan monofilament 10g, serta
kondisi luka PEDIS. Pengkajian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
komplikasi terjadi pada pasien sehingga dapat dilakukan intervensi pencegahan.
Perawatan luka dilakukan dengan prinsip menjaga kondisi luka kondisi lembab,
menghilangkan faktor pengganggu seperti jaringan nekrotik dan eksudat yang
berlebihan. Pemilihan topikal dan dressing yang tepat dapat membantu dalam
penyembuhan luka, serta pemilihan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur.
Edukasi kesehatan untuk perawatan kaki sangat penting dilakukan kepada pasien
baik yang beresiko atau yang sudah mengalami ulkus. Diharapkan dengan
memberikan edukasi kesehatan ini pasien dapat menjaga kondisi kaki yang sehat
atau beradaptasi mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Edukasi yang diberikan
kepada pasien adalah dengan mengajarkan membersihkan kaki, penggunaan alas
kaki yang tepat, menghindari trauma kaki, berhenti merokok, membuat keputusan
jika terdapat tanda-tanda kelainan pada kaki (ADA, 1992). Kegiatan ini dilakukan
melibatkan keluarga untuk melakukan perawatan kaki.
Masalah lain yang sering ditemukan selama praktik adalah nyeri. Nyeri diartikan
sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. (NANDA, 2012).
Beberapa temuan pada 16 pasien DM didapatkan keluhan nyeri pada luka
terutama saat digerakkan dan dibersihkan. Penelitian menunjukkan bahwa respon
nyeri sering terjadi pada diabetes neuropati terlepas dari ada atau tidaknya luka
pada kaki, hal ini dipengaruhi oleh sindrom neuropati dari menyakitkan untuk
pasien dengan luka pada kaki (Veves, Manes, Murray, Young, & Boulton , 1993)
Respon nyeri yang muncul pada pasien dapat diadaptasi dengan pemberian terapi
farmakologi maupun terapi nonfarmakologi. Pemberian farmakologi dapat
dilakukan dengan kolaborasi pemberian analgesik sedangkan tindakan
norfarmakologi dapat dilakukan dengan teknik relaksasi, distraksi dan spiritual.
(Varvogli & Darvin, 2011). Hasil evaluasi penggunaan teknik nonfarmakologi,
Universitas Indonesia
Pada mode konsep diri, peran dan ketergantungan dari 31 pasien yang dikelola
ditemukan 18 pasien mengalami proses adaptasi terhadap mode tersebut.
Didapatkan perilaku mengkhuwatirkan tentang kondisi sakitnya sekarang yang
berhubungan dengan kondisi luka, amputasi ulang, kadar gula darah yang tidak
stabil, berat badan yang terlalu kurus. Pada mode peran didapatkan data pasien
mengalami proses adaptasi terhadap peran sebagai ibu pada pasien wanita dan
pada pasien pria sebagai pencari sumber pendapatan. Pada mode ketergantungan
terlihat pada pasien lansia yang tergantung pada keluarga, ditemukan beberapa
pasien lansia tidak ditunggui oleh keluarga sedangkan mereka tergantung dengan
keluarganya. Dari kondisi ini muncul masalah keperawatan yang sering muncul
pada mode konsep diri, peran dan ketergantungan adalah kecemasan dan
kesepian.
Proses adaptasi terhadap mode konsep diri, peran dan ketergantungan pada pasien
DM memperlihatkan kondisi DM menjadi sumber stimulus atau stress yang
berpengaruh terhadap kondisi psikososial pasien. Telah diketahui stress akan
mempengaruhi kondisi hiperglikemi yang dapat dijelaskan dalam neuroendokrin.
Neuroendokrin merupakan suatu zat yang memiliki peranan penting mengatur
sistem endokrin di dalam tubuh manusia yang digerakkan otak serta regio
neuroendokrin hipotalamus. Untuk menjaga homeostatis maka otak memiliki alat
kontrol hormon yang secara sistematik sehingga dapat bereaksi terhadap adanya
stressor baik dari lingkungan, penyakit dan trauma. Hipotalamus bagian dari
tubuh yang memiliki peranan penting menerjemahkan antara kondisi eksternal
tubuh dengan internal tubuh. Selain itu hipotalamus menerima masukan langsung
dan tidak langsung peptide hormon dan sitokin sirkulasi darah (Mahfoed, 2005).
Universitas Indonesia
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan dan kesepian ini
diantaranya adalah menyediakan waktu untuk pasien dengan mendengarkan
secara aktif apa yang dirasakan dan dialami pasien sehingga dapat menggali
sumber kecemasan maupun memberikan sara diperhatikan oleh perawat. Pasien
diajarkan untuk memotivasi diri sendiri terhadap kondisi yang ada dan
mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki. Pasien diajarkan pula mengatasi
masalah dengan strategi koping yang tepat dan meyakinkan pada pasien bahwa
pasien mendapatkan dukungan dari keluarga serta meningkatkan kepercayaan
secara spiritual.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada bagian ini akan diuraikan tentang critical review, praktik keperawatan
berdasarkan evidence, dan pembahasan terkait penerapan evidence based nursing
terkait teknik penyuntikan insulin menggunakan 900 dan cubitan
64 Universitas Indonesia
Suntikan insulin diberikan pada lapisan subkutan. Lapisan ini merupakan lapisan
lemak yang mana aliran darah lambat dibandingkan lapisan otot dimana aliran
darah lebih cepat dan selalu berubah tergantung dari aktivitas otot (Thow, et al.
1990; Frid A et al. 1988 dalam Presti, Ingegnossi & Strauss, 2012). Oleh karena
itu lapisan subkutan merupakan lapisan yang ideal dalam memberikan suntikan
insulin. Terdapat hubungan antara farmakokinetik dari insulin dengan tempat
penyuntikan. Pemberian suntikan insulin ke lapisan intramuskular berisiko tinggi
untuk kejadian hipoglikemi (Galloway, et al. 1981; Vaag, et al. 1990; Frid, et al.
1988 & Frid, et al. 1990 dalam Polak, et al. 1996).
Hipoglikemi merupakan efek dari pemberian suntikan insulin yang tidak benar.
Hal ini mendukung bahwa pemberian teknik suntikan insulin yang dilakukan
secara benar merupakan faktor kunci dalam mengoptimalkan kontrol kadar gula
darah (Vaag, et al, 1990; Matsumura, et al. 2007 & Thow, et al. 1990 dalam
Presti, Ingegnossi & Strauss, 2012). Pemberian medikasi dan mengajarkan teknik
suntikan insulin yang benar kepada pasien merupakan salah satu bagian dari peran
perawat, sehingga sangat penting untuk melakukan teknik suntikan insulin
berdasarkan sebuah bukti ilmiah tentang cara terbaik dalam melakukan hal
tersebut (Annersten & Willman, 2005).
Teknik penyuntikan, pemilihan jarum, dan area penyuntikan yang tidak tepat
mengakibatkan terjadi di intramuskular (Hansen, Kirketerp, Ehlers, Nordentoft, &
Hansen, 2007). Sebagai upaya mencegah risiko terjadinya injeksi di intramuskular
maka penggunaan jarum injeksi yang lebih pendek 4, 5 dan 6 mm sangat
disarankan. Selain jarum sangat dipertimbangkan pula dengan teknik injeksi baik
dari sudut injeksi apakah memakai sudut 900 atau 450, teknik dicubit atau tanpa
cubitan (Frid, et al., 2010).
Universitas Indonesia
kesehatan melakukan suntikan insulin di lengan atau perut, dengan sudut 900 atau
tidak tegak lurus, ada yang menggunakan cubitan dan tidak memakai cubitan.
Universitas Indonesia
Berdasarkan metode PICO diatas, maka masalah klinis yang diidentifikasi dengan
pertanyaan klinis yaitu “Apakah injeksi insulin di perut menggunakan jarum 5
mm dengan insersi 900 dan memakai cubitan aman diterapkan?”
a. Chocrane Database
Penelusuran dibatasi pada penggunaan bahasa inggris, tahun 2000 hingga 2013.
Dengan kata kunci “subcutaneous injection” OR “insulin injection” didapatkan
775 jurnal. Dengan kata kunci “needles” AND “angle” AND “prependicular”
AND “injection” AND “insulin” AND “subcutaneous” didapatkan 34 jurnal.
Dengan kata kunci “skin folds” AND “pinchup” AND “injection” AND
“insulin” didapatkan 2 jurnal. Dari proses analisa jurnal yang didapatkan, belum
memberikan jawaban atas pertanyaan klinis.
b. JoannaBrigs Database
Penelusuran dilakukan dengan kata kunci “subcutaneous injection” OR “insulin
injection” didapatkan 2 Evidence Based Praktis yang direkomendasikan dan 4
Evidence summaries. Dari hasil tersebut dianalisa yang berhubungan dengan
pertanyaan adalah:
1) Evidence summaries dari Jayasekara, Rasika (2012) yang menjawab
pertanyaan evidence dalam injeksi subkutan. Dari proses analisa evidence
summaries juga didapatkan sumber yang sehubungan dengan pertanyaan
yaitu dari King L, Subcutaneous insulin injection technique. Nurs Stand
2003; 17(34):45-54
2) Evidence summaries dari Anonymous. (2012) dengan judul Injection:
Subcutaneous insulin in an acute care setting. Dari summaries ini
didapatkan sumber yang berhubungan dari pertanyaan yaitu:
Down S & Kirkland F (2002) Injection technique in insulin therapy.
Nurs Time.
Universitas Indonesia
c. Clinicalkey Database
Penelusuran dilakukan dengan kata kunci dengan menggunakan kata
kunci:“administration of insulin” dengan pembatasan terhadap spesialisasi
endokrin dan tipe yang dicari adalah jurnal didapatkan 811 jurnal. Dari hasil
tersebut yang berhubungan dengan petanyaan adalah dari Frid, et al (2010)
dengan judul “New injection recommendation for patients with diabetes”.
d. PubMed
Penelusuran dilakukan dengan kata kunci dengan menggunakan kata kunci
“insulin injection technique” dengan batasan clinical trial, journal article, meta-
analysis, randomized contrrolled trials, revie, systematic review, dengan subyek
manusia, pemakaian bahasa inggris, MEDLINE, Nursing Journal, Core cilnical
journal, dipublikasikan dari tahun 2000 – 2013 didapatkan 198 jurnal. Setelah
dianalisa yang berhubungan dengan pertanyaan adalah:
Down S & Kirkland F, 2002, Injection technique in insulin therapy. Nurs Time.
Frid et al ,2010,. New injection recommendation for patients with diabetes.
Diabetes Metab: 36:2:S3-18
e. ProQuest
Penelurusan jurnal dilakukan melalui ProQuest dengan menggunakan kata kunci
“injection technique”AND “insulin” dengan pembatasan pada jurnal akademik,
tesis dan disertasi, subyek manusia, bahasa inggris dari tahun 2000-2013
didapatkan 70 jurnal. Setelah dianalisa ditemukan 2 jurnal yang berhubungan
yaitu:
Hofman et al, 2010 dengan judul “Defining the ideal injection techniques when
using 5 mm needles in children and adults”. Diabetes care
King L, 2003 dengan judul “Subcutaneous insulin injection technique”.
Nursing Standard
Universitas Indonesia
Dari hasil penelusuran diatas, maka dilakukan analisis terhadap jurnal utama yaitu
Hofman et al, 2010 dengan judul “Defining the ideal injection techniques when
using 5 mm needles in children and adults”. Diabetes care.
b. Important
Penelitian ini memberikan informasi pemberian injeksi insulin dengan
menggunakan jarum 5mm, insersi 900 dan teknik dicubit secara benar
meminimalkan risiko penyuntikan di intramuskular. Karena evidence yang
didapatkan masih sangat rendah maka perlu diperhatikan kehatian-hatiannya
dalam melakukan.
c. Applicability
Subyek penelitian merupakan pasien diabetes mellitus tipe 1 dan 2 dengan usia
20 – 85 tahun dimana sesuai dengan pasien dalam perawatan di lantai 7 gedung A
RSCM. Penelitian ini menggunakan jarum suntik 5 mm yang sekiranya dapat
dengan mudah diperoleh di rumah sakit. Penerapan lebih lanjut nantinya bagi
rumah sakit masih perlu dilakukan penelitian dengan metode yang lebih tinggi
yaitu RCT.
Universitas Indonesia
Pasien harus diajarkan teknik cubitan yang benar [A3] yaitu menggunakan
dua jari yaitu ibu jari dan jari telunjuk, dapat menggunakan pula jari
tengah. Pencubitan menggunakan tangan akan berisiko terhadap
penyuntikan IM (Gambar 4.1)
a b
Gambar. 4.1. Teknik cubitan benar (a). Tehnik cubitan salah (b)
(Sumber: Frid A et al. 2010)
Universitas Indonesia
Berdasarkan analisis tingkatan evidance based Pollit & Beck. 2008 (Tabel 4.1)
didapatkan:
Tabel 4.1
Tingkatan evidence based (Pollit & Beck, 2008)
Universitas Indonesia
Tindakan Evaluasi
PASIEN
Tidak hipoglikemi
Penyuntikan
insulin
PERAWAT
Kenyamanan
Kepercayaan diri
4.2.2 Hasil
Hasil penerapan EBN penyuntikan insulin dengan sudut 900 dengan teknik cubitan
dan jarum 5 mm di abdomen terhadap 13 pasien diabetes yang mendapatkan
terapi insulin subkutan dengan insulin humolog, novorapid, humulin R dengan
dosis 6 – 20 unit, BMI antara 16.89 - 29.38 menunjukkan sebanyak 100%
pasien tidak mengalami hipoglikemi akibat dari penyuntikan. Hal ini didukung
oleh data pemeriksaan gula darah serta pernyataan secara subyektif dari beberapa
perawat.
Dalam penerapan EBN ini, penulis mengevaluasi rasa nyaman dan percaya diri
dalam menggunakan teknik ini terhadap 10 perawat yang menunjukkan bahwa
sebanyak 100% perawat merasa nyaman. Menilai teknik tersebut dapat
meningkatkan percaya diri bawah suntikan tepat di subkutan sebanyak 100%
perawat merasa percaya diri.
4.3 Pembahasan
Hasil dari penerapan evidence based menunjukkan penggunakan penyuntikan
insulin dengan menggunakan jarum pendek 5 mm dengan sudut 900 dan teknik
cubitan tidak berdampak terhadap terjadinya hipoglikemi. Dikarenakan teknik
penyuntikan tersebut tidak mengenai jaringan otot. Karena penyuntikan insulin
yang mengenai jaringan otot dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemi.
Penelitian menunjukkan penyuntikan insulin di jaringan otot akan meningkatkan
Universitas Indonesia
Dari penerapan evidence based ini menunjukkan bahwa penggunaan jarum lebih
pendek (4 mm, 5mm dan 6 mm) lebih aman mengurangi peningkatan risiko
injeksi intramuskular. Selain dari panjangnya jarum maka pemilihan tempat
penyuntikan menjadi pertimbangan dalam pemberian suntikan insulin. Hal ini
selain adanya perbedaan penyerapan antara area penyuntikan. Akkus, Oguz,
Uzunlulu & Kizilgul (2012) membuktikan adanya perbedaan penyebaran jaringan
lemak pada area penyuntikan insulin, selain itu juga membuktikan perbedaan
ketebalan kulit dan lapisan subkutan pada area penyuntikan insulin dan hubungan
BMI dengan lingkar pinggang dan ketebalan lapisan subcutan. Dari penelitian
tersebut ditemukan bahwa abdomen memliki lapisan kulit dan subkutan lebih
tebal dibandingkan dengan daerah paha dan lengan.
Penerapan Evidence based ini membuktikan pada kelompok pasien tertentu dan
tidak dapat diterapkan untuk semua pasien khususnya bagi mereka yang ketebalan
jaringan subkutan kurang daari 5 mm yang kemungkinan dapat kita temukan pada
pasien diabetes melitus tipe 1 dan tidak adanya standarisasi dalam penyuntikan
insulin serta level dari EBN ini rendah. Perlu direkomendasikan untuk melakukan
penelitan lanjut dengan metode RCT untuk berlaku pada kelompok tertentu.
Universitas Indonesia
Bab ini menguraikan kegiatan inovasi keperawatan yang telah dilakukan berupa
edukasi kesehatan melalui media audiovisual tentang perawatan diri bagi orang
diabetes yang dilaksanakan di unit rawat jalan RS Cipto Mangunkusumo yang
dilakukan oleh kelompok peminatan endokrin.
Dari data RSCM didapatkan bahwa sepanjang tahun 2012, kasus yang ditangani
unit rawat jalan endokrin sejumlah 1167 orang dengan kasus DM. Angka ini
merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan kasus endokrin lainnya.
74 Universitas Indonesia
Edukasi kesehatan bagi orang diabetes merupakan investasi yang bertujuan jangka
panjang diantaranya dapat meningkatkan pengetahuan dan perubahan gaya hidup,
meningkatkan hasil penanda biomedis orang diabetes seperti berat badan, HbA1c
dan lipid, meningkatkan tingkat aktivitas fisik, mengurangi kebutuhan akan
pengobatan serta mengurangi biaya perawatan (NHS, 2009)
Saat ini unit rawat jalan endokrin menerima pasien dengan jumlah kunjungan
hingga ratusan pasien DM yang ditangani oleh 3 hingga 4 tenaga dokter dalam 4
kamar periksa setiap harinya. Hal ini berdampak terhadap lamanya waktu tunggu
dan pemberian edukasi kesehatan sangat minimal. Hasil observasi didapatkan
jumlah perawat 4 di bagian administrasi, pengkajian awal dan perawatan kaki dan
jumlah pasien lebih dari 80 orang tiap harinya sehingga ratio antara pasien dengan
perawat tidak seimbang. Peran perawat di unit rawat jalan ini tidak hanya
memberikan layanan keperawatan tetapi dibebani dengan tugas administasi dan
kelengkapan administrasi lainnya.
Berdasarkan wawancara dengan pasien, tujuan mereka datang karena obat telah
habis. Sedangkan manajemen pasien DM tidak hanya melalui pengobatan tetapi
ditunjang dengan peningkatan terhadap edukasi kesehatan terhadap perawatan
diri, pengaturan diet, serta aktivitas fisik.
Universitas Indonesia
diberikan seperti diet, komplikasi diabetes melitus, perawatan kaki dan lainnya
dan yang memberikan materi adalah dokter, ahli gizi dan perawat sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Media yang digunakan adalah dengan powerpoint,
flip chart, demonstrasi, model dan map. Evaluasi pada cara kelompok tidak
dilakukan secara terstruktur. Saat ini di unit rawat jalan endokrin tersedia televisi
yang akan digunakan sebagai televisi edukasi namun belum terlaksana dan media
untuk edukasi perawatan diri bagi orang diabetes dengan nursing oriented belum
ada.
Universitas Indonesia
Strength (Kekuatan)
Kekuatan yang dimiliki RSCM dalam penerapan edukasi kesehatan perawatan diri
orang diabetes dengan media audiovisual adalah:
a. RSCM merupakan rumah sakit rujukan nasional dan menjadi tolak ukur dari
pelayanan klinik umum milik pemerintah.
b. RSCM memiliki unit rawat jalan secara khusus yaitu unit rawat jalan
endokrin yang melayani kasus DM pada hari senin – jumat.
c. Tenaga kesehatan khususnya perawat yang secara langsung terlibat dalam
kegiatan edukator diabetes serta kegiatan diabetes lainnya.
d. Unit rawat jalan memiliki fasilitas televisi yang dapat digunakan sebagai
media edukasi kesehatan.
Weakness (Kelemahan)
a. Tenaga perawat di unit rawat jalan endokrin sebanyak 5 orang dan jumlah
kunjungan tiap harinya melebihi dari 100 orang sehngga kebutuhan rasio
antara perawat dengan pasien tidak sesuai sehingga layanan edukasi yang
diberikan terbatas.
b. Penyuluhan yang dilakukan setiap 2 minggu sekali di unit rawat jalan terbatas
pada kelompok PERSADIA. Sedangkan untuk pasien yang tidak rutin
berkunjung terkadang tidak mendapatkan penyuluhan kelompok
c. Sistem dan alur layanan di unit rawat jalan yang panjang dan membutuhkan
waktu tunggu lama.
Opportunity (Peluang)
a. Tingginya jumlah kunjungan pasien DM di unit rawat jalan endokrin setiap
harinya.
b. Angka kejadian DM yang mengalami peningkatan tiap tahunnya dan edukasi
kesehatan merupakan salah satu manajemen perawatan orang diabetes yang
utama.
c. Pengetahuan perawatan diri bagi orang diabetes yang masih kurang.
Universitas Indonesia
Threath (Ancaman)
a. Tidak adanya edukasi kesehatan yang mudah dipahami serta tidak menjadi
kebutuhan pasien yang datang akan berdampak terhadap komplikasi dan
beban biaya perawatan yang harus ditanggung oleh rumah sakit maupun
pemerintah
b. Persaingan antara rumah sakit dalam menjamin mutu layanan kesehatan
mereka.
5.2.1 Persiapan
Persiapan kegiatan inovasi dilaksanakan bulan September – November 2013.
Pelaksanaan kegiatan inovasi ini diawali dengan menganalisis fenomena dan
diusulkan kepada supervisor untuk mendapatkan pertimbangan dan persetujuan
tentang kegiatan inovasi yang dilakukan. Setelah supervisor menyetujui dilakukan
analisis situasi dan SWOT dengan melakukan pencarian data ke rekam medik
untuk melihat jumlah kunjungan, wawancara dengan kepada unit rawat jalan,
pasien atau pengunjung serta menyebarkan survei pendahuluan tentang
pengetahuan pasien terhadap DM serta edukasi kesehatan yang pernah mereka
dapatkan. Setelah disetujui untuk melakukan inovasi penerapan audiovisual dalam
edukasi kesehatan tentang perawatan diri bagi orang diabetes. Kelompok
melakukan pembuatan materi dalam bentuk skenario yang meliputi nutrisi, latihan
fisik, pengobatan oral, pengobatan insulin dan penangan hipoglikemi. Skenario
yang kelompok susun berdasarkan dari proses studi kepustakaan dan wawancara
dengan praktisi dibidangnya seperti ahli gizi dan dokter kedokteran olahraga.
Skenario baik isi maupun bentuk tampilan dikonsultasikan kepada supervisor
untuk mendapatkan arahan. Setelah skenario disetujui, kelompok menentukan
pemain serta mencari sarana dan prasarana guna pengambilan gambar serta
Universitas Indonesia
5.2.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan inovasi dilakukan pada tanggal 3 Desember 2013 yang
dilakukan di ruang tunggu unit rawat jalan endokrin. Pelaksanaan diawali dengan
perkenalan, penjelasan kepada pengujung tentang kegiatan yang akan dilakukan
dimana pengungjung akan melihat penanyangan video edukasi kesehatan dan
akan diminta melakukan pengisian kuesioner. Video ini diputar terus menerus
sewaktu pengunjung menunggu antrian di ruang tunggu. Kuesioner diberikan
kepada pengunjung DM yang masih dapat melihat dan mendengar. Kuesioner ini
terdiri dari 10 item pertanyaan untuk menilai persepsi pengunjung tentang video
yang telah dibuat. Saat pengisian kuesioner didampingi oleh pratikan untuk
memberikan penjelasan tentang pengisian kuesioner. Dalam pelaksanaan kegiatan
inovasi, pratikan berada diruang tunggu. Berdasarkan data yang didapatkan
pengunjung di unit rawat jalan endokrin sejumlah 102 orang dengan jumlah
pengunjung DM sebesar 67 orang dan yang memenuhi kriteria dalam pengisian
kuesioner sejumlah 32 orang.
5.2.3 Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan cara menggunakan kuesioner tentang persepsi video
yang telah diberikan terhadap 32 pengunjung dan melihat dari reaksi para
pengunjung setelah melihat tayangan video edukasi kesehatan. Dari hasil evaluasi
didapatkan data berdasarkan jenis kelamin dan usia pada tabel 5.1 berikut:
Universitas Indonesia
Tabel 5.1
Karakteristik pengunjung DM berdasarkan jenis kelamin dan usia (n = 32)
Karakteristik Jumlah %
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 37
Perempuan 20 63
Usia
31 – 40 tahun 3 9
41 – 50 tahun 7 22
51 – 60 tahun 13 41
60 tahun 9 28
Dari evaluasi kuesioner persepsi terhadap video didapatkan hasil pada tabel 5.2
berikut:
Tabel 5.2
Persepsi pengunjung DM terhadap video “edukasi perawatan diri bagi orang
diabetes mellitus” (n = 32)
Dari hasil evaluasi terhadap reaksidan saran dari pengunjung mengatakan bahwa
diperlukan televisi yang lebih besar dan lebih jelas, video tersebut dinilai
bermanfaat bagi orang diabetes karena terdapat demonstrasi sehingga lebih
memberikan penjelas. Video ini lebih jelas karena bagi pasien sendiri jarang
menerima hal tersebut saat berinteraksi dengan dokter, volume kurang keras dan
Universitas Indonesia
perlu ditambahkan pengeras suara dibelakang. DVD tersebut ingin dimiliki oleh
pasien agar dapat diputar dirumah, perlu adanya leaflet dan booklet sebagai
pendamping untuk bahan bacaan di rumah. Pasien lebih cenderung berminat
terhadap metode demonstrasi. Perlu dilakukan pengaturan suara antara televisi
dengan suara untuk pemanggilan pasien di unit rawat jalan endokrin. Hasil dari
penerapan kegiatan inovasi ini telah disampaikan kepada perawat ruangan dan
unit rawat jalan endokrin pada tanggal 6 Desember 2013
5.3 Pembahasan
Edukasi kesehatan kepada pasien menjadi tanggung jawab dari tenaga kesehatan
sebagai sumber informasi dan penyedia layanan media edukasi kesehatan. Namun
dalam praktik, kurangnya waktu, tenaga dan beban kerja sering menjadi masalah
tidak adanya layanan edukasi kesehatan bagi pasien hal ini juga didukung dari
strategis yang belum dimanfaatkan.
Dari hasil inovasi didapatkan data pasien yang berkunjung di unit rawat jalan
endokrin dan telah memanfaatkan waktu tunggunya dengan melihat video edukasi
kesehatan tersebut memberikan pengaruh kepada pasien ditunjukkan dengan
pasien ingin memiliki media edukasi kesehatan tersebut. Hal ini mendukung
beberapa studi yang menilai dampak dari strategi edukasi kesehatan di ruang
tunggu (Eubelen, et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Eubelen, et al
(2011) menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam peresepan vaksinasi
setelah dilakukan edukasi kesehatan menggunakan audiovisual tentang vaksinasi
di ruang tunggu yang diputar terus menerus. Penelitian lain dilakukan oleh Khan,
et al (2011) yang menunjukkan pemanfaatan multimedia audiovisual di ruang
tunggu dapat diterima sebagai pendekatan edukasi kesehatan dalam memberikan
layanan edukasi diabetes.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Inovasi yang telah dilakukan merupakan bagian dari strategi edukasi kesehatan
dalam bentuk media dan pemanfaatan tehnologi serta ruang tunggu. Jika melihat
terhadap tujuan perubahan perilaku masih diperlukan pendampingan dari perawat
atau edukator diabetes untuk melakukan pendekatan dengan metode melibatkan
pasien dalam perawatan diri.
Universitas Indonesia
6.1 KESIMPULAN
1. Penerapan model adaptasi Roy memberikan kerangka berfikir perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan. Model adaptasi Roy sangat sesuai
untuk penerapan dalam penyakit kronis seperti DM dimana perjalanan
penyakit DM berpengaruh terhadap semua mode yang menggambarkan
holistik dari suatu masalah dan dapat mempengaruhi hidup pasien.
2. Penerapan EBN dengan melakukan penyuntikan insulin 900 dengan teknik
cubitan yang benar tidak mengakibatkan kejadian hipoglikemi.
3. Inovasi edukasi kesehatan pada pasien diabetes yang telah dilakukan
merupakan bagian dari strategi edukasi kesehatan dalam bentuk media dan
pemanfaatan tehnologi serta ruang tunggu.
6.2 SARAN
1. Penerapan model adaptasi Roy masih perlu dilakukan pengembangan dan
penelitian dalam asuhan keperawatan secara holistik pada pasien DM
dengan jumlah pasien yang lebih banyak
2. Berdasarkan hasil penerapan EBN perlu melakukan pembuktian lebih
lanjut pada kelompok dan setting lain sehingga prosedur dalam melakukan
intervensi dapat dijadikan protokol tetap.
3. Perlu dilakukan pendampingan dari perawat atau edukator diabetes untuk
melakukan pendekatan dengan metode melibatkan pasien dalam perawatan
diri.Serta perlu dilakukan untuk penelitian lebih lanjut menggunakan
media yang telah dikembangkan.
84 Universitas Indonesia
Acaroglu, R., Kaya, H., Sendir, M., Tosun, K., & Turan, Y. (2008). Levels of
anxiety and ways of coping of family members of patients hospitalized in
neuorosurgery intensive care unit. Neurosciences, 41-45.
ADA. (1992). Foot care in patient with diabetes mellitus . Diabetes Care, 19-20.
ADA. (2013). Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care, 36(1), S11-
S66.
Akkus, O., Oguz, A., Uzunlulu, M., & Kizilgul, M. (2012). Evaluation of skin and
subcutaneous adipose tissue thickness for optimal insulin injection.
Journal Diabetes Metabolisme, 3(8), 1-5.
Alligood, M. R., & Tomey, A. M. (2010). Nursing Theorists and Their Work (7th
ed.). Missouri: Mosby Elseiver.
Castaneda, C., Bermudez, O., & Tucker, K. (2000). Protein nutritional status and
function are associated with type 2 diabetes in Hispanic elders. The
American Journal of Clinical Nutrition , 89-95.
Cotoi, B., & Iliescu, A. (2013). Patient's adaptation difficulties to the hospital
enviroment. Nurse's part in that transition. Current Health Sciences
Journal, 259-262.
Dudzinska, M., Kurowska, M., Tarach, J., Chityn, A., & Wdowiak-Barton, B.
(2008). Social problems of diabetics. The influence of diabetes on patiens'
daily, family and personal lives. Diabet Dosw I Klin, 150-156.
Eubelen, C., Brendel , F., Belche, J.-L., Freyens , A., Vanbelle, S., & Giet, D.
(2011). Effect of an audiovisual message for tetanus booster vaccination
broadcast in the waiting room. BMC Family Practice, 12(104), 1-5.
Frid, A., Hirsch, L., Gaspar , R., Hicks, D., Kreugel, G., Liersch, J., . . . Strauss,
K. (2010). New injection recommendations for patients with diabetes.
Elseiver Masson, S3-S18.
Hansen, B., Kirketerp, G., Ehlers, G., Nordentoft, E., & Hansen, G. (2007).
Evidence-based clinical guidelines for injection of insulin for adults with
diabetes mellitus. Denmark: Danish Nurses Organization.
Hofman, P. L., Derraik, J. G., Pinto , T. E., Tregurtha, S., Faherty, A., Peart, J. M.,
. . . Cutfield, W. S. (2010). Defining the ideal injection techniques when
using 5-mm needles in children and adults. Diabetes Care, 33(9), 1940-
1944.
IDF. (2012). Global gideline for type 2 diabetes. Diunduh 12 6, 2013, dari IDF:
http://www.idf.org/global-guideline-type-2-diabetes-2012
James, J., Gosden, C., Winocourt, P., Walton, C., Nagis, D., Turner, B., . . . Holt ,
R. (2009). Diabetes specialist nurses and role evolvement: a survey by
Diabetes UK and ABCD of specialist diabetes. Dibetic Medicine, 26, 560-
565.
Jeon, C. Y., & Murray, M. (2008). Diabetes mellitus increases the risk of active
tuberculosis: A systematic review of 13 observational studies. Plos
Medicine, 1091-1101.
Johson, K., & Mayenburg, T. (2009). Physiological rationale and current evidence
for theraupeutic positioning of critically ill patient. AACN Advenced
Critical Care , 228-240.
Kalra, S., Sridhar, G., Balhara, Y., Sahay, R., Bantwal, G., Baruah, M., . . .
Prasanna , K. K. (2013). National recommendations : Psychosocial
management of diabetes in India. Indian Journal Endocrinol Metabolism,
17(3), 376-395.
Khan, M., Shah, S., Grudzien, A., Onyejekwe, N., Banskosta, P., Karim, S., . . .
Gerber, B. (2011). A diabetes education multimedia program in the
waiting room setting. Diabetes Therapy, 2(3), 178-188.
Khattab, M., Khader, Y., Al-Khawaldeh, A., & Ajlouni, K. (2010). Factors
accociated with poor glycemic control among patients with type 2
diabetes. Journal of Diabetes and Its Complication, 84-89.
Kitabchi, A., Umpierrez, G., Miles, J., & Fisher , J. (2009). Hyperglycemic crisies
in adult patients with diabetes. Diabetes Care, 1335 - 1343.
Lewis, S., Dirksen , S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Camera, I. (2011).
Medical-Surgical Nursing: Assessment and management of clinical
problems (8th ed., Vol. 2). Misssouri : Elseiver Mosby .
Mazze, R., Strock, E., Simonson , G., & Bergenstal, R. (2006). Staged diabetes
management: A systematic approach. England: John Wiley & Sons.
NHS. (2012). Guidelines for insulin initiation and adjustment in primary care in
patient with type 2 diabetes: for the guidance of diabetes specialist nurses.
Diunduh 12 6, 2013,
darihttp://library.nhsggc.org.uk/mediaAssets/My%20HSD/Guidelines%20
for%20Insulin%20Initiation%202010-01.pdf
Nicholson , J. P., Wolmarans, M. R., & Park , G. R. (2000). The role of albumin
in critical illness. British Journal of Annesthesia, 599-610.
Nissapatorn, V., Kuppusamy, I., Jamaiah, I., Fong, M., Rohela, M., & Anuar, A.
(2005). Tuberculosis in diabetic patients: a clinical perspective . Southeast
Asian Journal of Tropical Medical Public Health , 213-220.
PERKENI. (2011). Terapi insulin pada pasien diabetes mellitus. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Peters, E., & Lavery, L. A. (2001). Effectiveness of the diabetic foot risk
clasification system of the international working group on the diabetic foot
. Diabetes Care , 1442-1447.
Polit, D. F., & Beck , C. T. (2008). Nursing Research: generating and assessing
evidence for nursing practice (8th ed.). Philadephia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Porte, D., & Sherwin, R. (1997). Ellenberg & Rifkins Diabetes Mellitus .
Stamford: Appleton & Lange.
Presti, D. L., Ingegnosi, C., & Strauss, K. (2012). Skin and subcutaneous
thickness at injecting sites in children with diabetes: ultrasound findings
and recommendations for giving injection. Pediatric Diabetes , 1-9.
Rose, S., All, A., & Gresham, D. (2002). Role preservation of the clinical nurse
specialist and the nurse practitioner. Journal of Advanced Nursing
Practice, 5(2).
Roy, S. C., & Andrews, H. (2009). The Roy Adaptation Model . New Jersey:
Pearson Education.
Samadi, N., Safavi , M., & Mahmoodi , M. (2011). Impact of quality of life
education on self concept among type 2 diabetes patients. Journal
Diabetes Metabolism, 1-5.
Shepherd, A. (2011). Measuring and managing fluid balance . Nursing Times, 12-
14.
Shrivastava, S. R., Shrivastava, P. S., & Ramasamy, J. (2013). Role of self care in
management of diabetees mellitus . Journal of Diabetes & Metabolic
Disorders , 12-14.
Sigal, R., Kenny, G., Wasserman, D., Castaneda-Sceppa, C., & White, R. (2006).
Physical activity or exercise and type 2 diabetes. Diabetes Care, 1433-
1438.
Van Zyl, D., Rheeder, P., & Delport , E. (2012). Fluid management in diabetic-
acidosis--Ringer's lactate versus normal saline: a randomized controlled
trial. QJM, 337-343.
Veves, A., Manes, C., Murray, H., Young, M., & Boulton , A. (1993). Painful
neuropathy and foot ulceration in diabetic patient. Diabetes Care, 11187-
1189.
Woo, V., Cheng, A., Hanna, A., & Berard, L. (2010). Self-monitoring of blood
glucose in individuals with type 2 diabetes not using insulin: commentary.
Canadian Journal Of Diabetes, 19-23.
PROTOKOL KAD
Koreksi K+
50 mEq/6 jam (dalam infus) bila kadar K+ <3
diberikan 75mEq/6 jam, 3-4,5 diberikan 50
mEq/6 jam, 4,5 -6 diberikan 25 mEq/ 6 jam
dan > 6 tidak diberikan
Bila sudah kadar beri K+ oral selama
seminggu
Pengobatan Umum
Ketika nilai bicarbonat normal dan pasien dapat Antibiotik yang adekuat
makan dilakukan pengkajian untuk penyebab
O2 bila PO2 < 80 mmHg
atau faktor pencetus KAD (infeksi, infark, dll)
Sumber : RSCM
Penyuluhan merupakan hal yang penting dan mendasar dari perawatan diri bagi
orang diabetes. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
adalah penyuluhan dengan menggunakan audiovisual tentang “Perawatan Diri
bagi Orang Diabetes”. Penting bagi kami mengetahui pendapat bapak/ibu/saudara
tentang video tersebut. Kami menghargai dan mengucapkan terima kasih, apabila
bapak/ibu/saudara dapat meluang waktu untuk mengisi dan melengkapi
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Kami akan menjaga kerahasiaan informasi
yang anda berikan.
Hormat Kami,
Mahasiwa Ners Spesialis Peminatan Endokrin
A. Data Demografi
Beri tanda (√) pada jawaban yang sesuai dengan identitas bapak/ ibu/ saudara
Nama :_______________________________
B. Data Persepsi
Dibuat oleh :
1 Ny. SR ; usia 59 tahun ; agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; Nutrisi : mual, makan ½ porsi, GDS 227mg/dl , A1C
janda, pendidikan tamat SD ; tidak bekerja; 11.5 % , albumin 2.63g/dl , Hb 8.8 g/dl . Eliminasi fekal : keluhaan tidak bisa BAB, teraba padat
Dx Medis : Ulkus DM tipe 2 pada perut. Aktivitas dan istirahat : ketergantungan ringan. Proteksi : ulkus pedis dekstra post amputasi
transmetatarsal, luas 20x15 cm jaringan nekrotik +, slough +, kategori ulkus dalam, leukosit 13.35
Dirawat di RS karena luka pada telapak kaki 10^3/μL, ABI kiri 0.9 , pulsasi a dorsalis teraba, a tibialis posterior teraba. Sensasi : nyeri vas 3 hilang
kanan, bernanah, nyeri hingga tidak bisa timbul, bila dibersihkan vas 5, mengeluh pandangan kabur. Endokrin: riwayat hipoglikemi berulang.
tidur, DM sudah 8 tahun, GD masuk 340 Konsep diri : memikirkan luka untuk segera sembuh, belum bisa memutuskan apa yang harus
mg/dl dan lebih sering diatas 200 mg/dl, dilakukan dirumah. Stimulus fokal: peningkatan kadar gula darah, stress, luka, Stimulus kontekstual :
pengobatan tidak teratur. riwayat DM sudah 8 tahun, pengetahuan tentang DM kurang, Stimulus residual: pertama kali
dilakukan amputasi. Masalah: 1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2)
Konstipasi 3) Hambatan mobilitas fisik 4) Risiko infeksi 5) Ketidakefektifan manajemen diri: diabetes
6) Nyeri 7) Meningkatkan kesiapan koping. Intervensi: 1) Manajemen nutrisi, 2) terapi nutrisi, 3)
manajemen konstipasi, 4) terapi latihan, 5) manajemen nyeri, 6) perawatan amputasi, 7) perawatan
Lampiran 3
luka, 8) peningkatan koping. Evaluasi: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien sudah mampu
makan 1 porsi dan makanan ringan, konstipasi tidak ada, pasien mampu memenuhi kebutuhan sehari-
hari ditempat tidur, nyeri berkurang tidak adakeluhan, infeksi tidak terjadi luka bergranulasi dengan
2 Tn. YD, usia 44 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; Oksigenasi: nafas vesikuler, batuk (+), keluahan sesak
menikah, pendidikan tamat SMA, sangat, RR: 30x/menit, ronchi (+), bernafas paru kanan tertinggal, retraksi didinding dada,
pekerjaan swasta pekejaan: swasta. Dx menggunakan otot bantu pernafasan, lebih nyaman dengan duduk, Hasil lab: pH: 7,29, PCO2: 62,10
Medis : Pneumothorax + DM tipe 2 mm Hg, PO2: 86,20 mm Hg, HCO3: 30,60. Nutrisi : tidak ada nafsu makan, setiap makan klien merasa
mual, makanan yang dihidangkan hanya habis ½ porsi, Hb 10,2 gr/dl, albumin: 2,40; IMT : 17
Dirawat di RS dengan keluhan sesak nafas, (kurus). Aktifitas dan istirahat: ketergantungan terhadap orang lain, tidak mampu memenuhi kebutuhan
sebelumnya sudah dirawat di RS lain dan sehari-hari BAB, BAK, personal hygiene dibantu sepenuh oleh keluarga, nyeri saat bergerak, skala
dipasang WSD. Namun sesak tidak juga nyeri 2 (ringan), sesak jika beraktifitas. Fungsi peran: masalah keperawatan adalah ketidakpatuhan
mengalami perbaikan. Klien mempunyai terhadap regimen terapeutik, hal ini muncul karena adanya data klien tidak patuh terhadap pengobatan
riwayat DM setahun yang lalu dan yang dilakukan, riwayat tidak teratur suntik insulin, HbA1C 7,7%. Stimulus fokal: penurunan fungsi
menggunakan insulin namun tidak teratur . paru, penurunan nutrisi sel (GDS: 256 gr/dl) stres fisik (pemasangan WSD), kelemahan fisik,
glukosa darah tidak stabil. Hasil RO thorax: kurangnya pengetahuan tentang manajemen diabetes. Stimulus kontekstual: pneumothorax, intake yang
penumothorax kanan dengan penebalan tidak adequat, penurunan energi tubuh, kurang terpapar dengan informasi. Stimulus residual: CAP,
pleura kanan, infiltrat pada kedua lapang riwayat DM tidak terkontrol, pengalaman nyeri jika bergerak, tindakan medis, keperawatan, diit RS,
paru, WSD dengan ujung tip disela iga 5-6. kurang dukungan keluarga dalam mendapatkan informasi. Masalah: 1) gangguan pertukaran gas, 2)
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, 3) intoleransi aktifitas. Intervensi 1) terapi
oksigen, 2) manajemen nutrisi, 3) perawatan 4) kebersihan diri, 5) manajemen hiperglikemi. Evaluasi:
3 Tn. GB, usia 44 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; oksigenasi: sesak (+), sesak semakin terasa bila tidur
menikah, pendidikan tamat SD, pekerjaan telentang, RR: 28x/menit, ronchi basah (+), TD: 100/60, HR: 89x/menit, konjungtiva anemis, Hb
swasta. Dx Medis : DM tipe 2 + CKD + 7,6gr/dl, kapiler refill > 3 detik. Nutrisi: tidak ada nafsu makan, jika makan mual dan muntah, porsi
ulkus yang dihidangkan hanya habis 4-5 sendok, Hb 7,9 gr%, Ht 24, Albumin 2,20. Cairan, elektrolit dan
asam basa: edema pada tangan, kaki, derajat 4, perut asites, efusi pleura, urine tampung: 1000 cc intake
Dirawat di RS sesak nafas , sesak makin 1200. kulit kaki mengkilap. Proteksi: ulkus pada plantar sinistra, ukuran luka 6x 6 cm, dasar luka kuing
bertambah jika tidur telentang, dan sesak dan coklat, slough (+), eksudat berlebih, demam. leukosit: 7 ribu, neutrofil: 85,3%, limposit 8,6%.
makin bertambah berat, disertai mual, Stimulus fokal: penurunan fungsi paru, penurunan nutrisi sel, stimulus stres fisik dengan adanya ulkus,
muntah, demam, terdapat ulkus bernanah penurunan fungsi ginjal, kontrol gula darah yang tidak adekuat. Stimulus kontektual: akumulasi cairan
dan menimbulkan bau, riwayat DM tidak ke paru (edema paru), nefropati, ketidaktahuan akan penyakit. Stimulus residual: riwayat DM tidak
diketahui, edema anasarka. Hb 7,6gr/dl, Ht diketahui. Masalah: 1) gangguan pertukaran gas, 2) penurunan perfusi jaringan ginjal 3) kelebihan
23,0%, albumin 3,07, ureum 111 kreatinin volume cairan 3) kerusakan integritas jaringan Intervensi 1) manajemen jalan nafas, 2) terapi oksigen
3,6 3) manajemen nutrisi 4) manajemen cairan dan elektrolit 5) manajemen asam basa, 5) perawatan luka.
Evaluasi: klien tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan kearah perbaikan, kondisi semakin
memburuk sepsis, dan akhirnya pasien meninggal
5 Ny G, usia 43 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; Proteksi: terdapat luka amputasi below knee sinistra,
menikah, pendidikan tamat SMA, tidak kulit disekitar luka tampak kemerahan, luka dekubitus di area sakrum 10 x 6 derajat 2. GDS dalam
bekerja. Dx Medis : Post amputasi below batas normal, leukosit 7,43 ribu,/ul, neutrofil 64,2%, LED 120. Aktifitas dan istirahat: tingkat
knee, ganggren pedis sinistra dengan ketergantungan: total care, kebutuhan sehari-hari dibantu sepenuhnya oleh perawat dan keluarga.
ascending infection. Rentang gerak ekstermitas kanan atas/bawah = -/- . Sensasi: penurunan sensasi pada ekstremitas
6 Ny A, usia 61 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Nutrisi : makan ¾ porsi, diet 2100 kalori, IMT 18,5 Hb
menikah, pendidikan tamat SD, pekerjaan 8.5 Albumin 2,67, GDS 302 mg/dl. HbA1C 8,5%. Proteksi : masalah keperawatan kerusakan integritas
IRT. Dx Medis : DM Tipe 2 dengan ulkus kulit dan resiko infeksi, berdasarkan data: terdapat ulkus yang luas (6x6 cm) dasar luka berwarna
diabetik, CAP dd TB Paru. merah, terdapat slought pada beberapa area luka, leukosit 10.840/uL, neutrofil: 66,6%, limfosit:
19,7%., pemeriksaan monofilamin (+). Sensasi : gangguan pendengaran ↓, Fungsi konsep diri: klien
Dirawat di RS 2 minggu SMRS kaki pegal, mengatakan tidak ada keluhan karena takut ada penyakit lain, Fungsi interdependensi: pasien
kesemutan dan digosokin remason. Kaki mengatakan bingung dirumah sakit karena tidak ada yang nunggu kalau pagi, anak tidak bekerja.
7. Ny M, usia 55 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan :Oksigenasi: sesak nafas (+), RR 30x/menit, irama
menikah, pendidikan tamat SD, pekerjaan regular, suara nafas: ronchi basah, penggunaan otot bantu pernafasan, konjungtiva anemis, HR
IRT. Dx Medis : Selulitis cruris dextra 89x/menit, TD 140/90, edema anasarka, kapiler refill > 3 detik. AGD: pH: 7,385, PCO2: 20,20, PO2:
dengan osteomilitis, CHF fc II ec CAD, 134,60, HCO3: 12,20,. Nutrisi: tidak ada nafsu makan, jika makan mual dan muntah, porsi yang
CAP dd TB paru, akut on HD ec CKD stage dihidangkan hanya habis 4-5 sendok, Hb 9,8 gr%, Ht 26,9, Albumin 2,07 gr/dl. Cairan, elektrolit dan
V. asam basa: edema pada tangan, kaki, derajat 4, urine tampung: 200 cc intake 600cc. Kulit kaki
mengkilap, sesak, natrium: 124, kalium: 4,13, klorida: 90 mEq/l, ureum: 182, kreatinin: 3,10, GFR:
16,2 Proteksi: selulitis cruris dextra dengan ostomilitis, leukosit:9,56 ribu, neutrofil: 73,6, LED 36
8 Ny NS, usia 76 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; Nutrisi : keluhan mual dan muntah 2 x 150 ml/hr
tidak menikah, pendidikan tamat SMA, terutama ketika membuka makanan, mengurangi makanan tempe tahu atau yang berprotein karena
tidak bekerja. Dx Medis : Post amputasi takut merusak ginjalnya. Klien makan abon atau terkadang gorengan. penilaian terhadap mini
digiti V dengan KAD. nutritional assessment (MNA) didapatkan nilai 9, Hb 9.8 g/dl , Ht 28,4 %, HbA1C 5.2 %, Albumin
3.58 g/dL, GDS 246. Cairan dan elektrolit : nilai keseimbangan cairan +450, ureum 113, kreatinin 2,
Natrium 134 mEq/l, Kalium 4.7 mEq/l, Klorida 108 mEq/l. Proteksi : kesadaran komposmentis, dengan
9. Tn YP, usia 68 th, agama katolik, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan ; Oksigenasi dan sirkulasi : batuk meskipun kadang-
menikah, pendidikan tamat sarjana, pensiun. kadang, kluar berwana putih. klien juga mengeluh sesak dan saat ini sesak nafas dirasakan berkurang.
Dx Medis : NSTEMI + PAD + DM tipe2 + Pernafasan 24 x/mnt, pernafasan dalam, suara nafas didapatkan vesikuler dengan roncki pada kedua
Ganggren ulkus DM lapang paru, hasil perkusi resonan. Dengan didukung hasil x-ray thorax didapatkan infiltrat di kedua
paru dengan kardiomegali aorta kalsifikasi, nilai AGD didapatkan nilai pH 7.30/ pCO2 34.2/pO2 57.8/
HCO3 17.3/Total CO2 18.3/ BE -7.5/ Sa O2 88.8/HCO3 Standard 18.2/BE standard -9.2. TD 110/60
10. Tn ID, usia 27 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigenasi dan sirkulasi : batuk, RR 20x/mnt, ronki
belum menikah, pendidikan tamat SD, pada kedua lapang paru, rongsen dada kesan pneumonia. Nutrisi :pasien makan porsi habis, IMT
buruh. Dx Medis : DM tipe I, underweight tergolong underweght, BB 57kg, Hb 10.4 g/dL Ht 29.4 % , Erit 3.36 10^6/μL, Albumin 2.28 g/dL.
riwayat ketoasidosis GDS 171 mg/dl. Proteksi: mengeluh gatal sekujur tubuh, digaruk. Fungsi peran: klien mengatakan
11 Ny M, usia 50 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Nutrisi : Porsi makan habis, TB 150, BB 30, IMT
menikah, pendidikan tamat SD, pedagang. tergolong 16.89 underweight, Hb 8.6 g/dl, Ht 26.7%, Erit 3.46 10^6/μL, Albumin 4.84 g/dl. Eliminasi:
Dx Medis : CKD st V pro CAPD + DM tipe mengeluh tidak bisa BAB sudah 3 hari. Biasanya diberikan ramuan herbal tapi karena dirumah sakit
2 + Struma Nodusa Toksik + Post amputasi tidak berani. Sensasi : terganggu pendengaran, mengatakan masih mendengar suara-sara aneh di kepala
below knee + Hasulinasi pendengaran seperti lagu-lagu lama, suara tangis namun tidak ada perintah yang aneh-aneh dan akan hilang
sendirinya. penglihatan : retinopati (+)/(+), Cairan dan elektrolit : input 1000 output 1400 = -400,
Dirawat di RS dengan rencana progran pro kreatinin 4mg/dl . Na 141 mEq/L , K 5.78 mEq/L , Cl 100.1 mEq/l . Fungsi peran: pasien
CAPD. Diagnosa gagal ginjal sejak 1 tahun mengatakan ingin pulang, ia tidak tahu harus mengerjakan apa di rumah sakit, sudah terbiasa bekerja di
yll. Sudah dianjurkan HD oktober 2012 dapur kalau di rumah. Selalu menanyakan kapan akan dilakukan tindakan. Stimulus fokal: penurunan
12. Ny FO, usia 44 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Nutrisi : tidak nafsu makan, makan habis beberapa
menikah, pendidikan tamat SMP, tidak sendok, TB 165 cm, BB 35 kg. Hb 13.2 g/dl, Ht 36.3 % ↓, Alb 4.12 g/dl, Mg 1.47 mg/dl , Eliminasi:
bekerja. Dx Medis : DM tipe 2 underweight mengeluh susah BAB, konstipasi, ada massa di pada abdomen. Konsep diri: rambut mulai rontok,
+ Struma difusa bilateral nontoksik + nyeri badan kurus, lemak pipi menurun, klien tidak percaya diri dengan tubuhnya. Konsep peran: saat ini
perut sering keluar masuk rumah sakit jarang berperan sebagai ibu meskipun anak sudah besar. Klien
mengatakan menggantungkan insulin untuk DM. Sensasi : nyeri skala 4 pada perut, mudah
Dirawat di RS dengan nyeri perut sejak 5 kedinginan, nyeri pada ujung jari . Stimulus fokal : motilitas usus menurun. Stimulus kontekstual :
tahun, 1 th SMRS makin berat, rasa nyeri status kesehatan riwayat DM, riwayat hipertiroid. Stimulus residual : penurunan sistem imun.
lebih berat. 13 tahun SMRS suka Masalah: 1) keseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh 2) konstipasi 3) nyeri 4) gangguan
berkeringat, tidak tahan panas, mata citra tubuh 5) ketidakefektifan manajemen kesehatan diri. 6) ketidakmampuan menjadi orangtua
melotot, jantung berdebar-debar, BB turun. Intervensi 1) manajemen nutrisi 2) manajemen hipoglikemi 3) edukasi tentang insulin 4) manajemen
13. Ny N, usia 47 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigen dan sirkulasi : batuk tidak disertai sekret,
menikah, tidak tamat SD, tidak bekerja. Dx ronchi +, infiltrat pada paru bilateral. Nutrisi : rasa mual, porsi makan habis ½ porsi. nyeri tekan pada
Medis : DM tipe 2 + ganggren DM post epigrasrik, riwayat hipoglikemi. Hb 8.7 g/dl , Ht 25.6 , Erit 3.35 Neu 70.9% , Alb 2.87 g/dl ↓.
debridement. Proteksi : kaki kanan, ganggren pada ibu jari ukuran 2x4cm, sensorik berkurang, kaki kiri : ganggren
pada ibu jari, jari kelingking, ulkus dan pus pada bagian dorsal ukuran 10-15cm, hipereremik pada
Dirawat di RS karena ada luka dan bagian dorsal, sensorik berkurang. Sensasi : Nyeri pada luka terutama ketiak dibersihkan vas 3.
menghitam pada jempol kaki kanan dan kiri Endokrin: glukosa darah tidak terkontrol, tidak mengetahui perawatan DM dan perawatannya. Mode
sejak 7 hari disertai demam. DM sudah 1 konsep diri : kontak mata kurang, pasien memikirkan kakinya, menanyakan apakan kakinya
tahun. Kadar gula darah paling tinggi dimungkinkan untuk diamputasi. Stimulus fokal : penumpukan sekret, paparan patogen pneumonia,
500an, minum obat tidak teratur, 3P + , nyeri tekan epigastrik, kontrol glukosa darah tidak teratur. Stimulus kontekstual : riwayat DM, tidak
pasien masuk ke IGD dengan kadar gula 55 mengetahui komplikasi, Stimulus residual : fasilitas sumber informasi kurang, Masalah: 1)
mg/dl, pingsan diberi minum manis kembali ketidakefektifan kebersihan jalan nafas 2) keseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh 3)
14. Ny AT, usia 55 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigen dan sirkulasi : terdapat luka pada jempol kaki,
menikah, tamat SMP, tidak bekerja. Dx ABI kanan 0.9 dan kiri 0.9. Hasil arteriografi didapatkan stenosis pada a femoralis kiri 1/3 tengah,
Medis : DM tipe 2 + ganggren DM digiti I oklusi total pada a. Tibialis posterior, stenosis a. Tibialis anterior kiri 1/3 distal. Nutrisi : Mual muntah
pedis post debridement , makan ½ porsi, Alb 2.79 g/dL .Hb 11.1 g/dL Ht 33.0 % Eliminasi : belum bab 3 hari, teraba pada
pada abdomen bawah. Sensasi : nyeri pada kaki dengan vas 3. Proteksi : Didapatkan luka ulkus dm
Dirawat di RS karena luka pada jempol kaki post amputasi digiti 1 di kaki kiri dengan luas 8 x6 cm, slough (+), sekitar luka eritema hingga ke digiti
kiri yang makin meluas, demam hilang 2. Konsep diri: pasien tidak banyak bicara, mengatakan kuatir karena luka tak kunjung sembuh dan
timbul, DM sudah 13 tahun, rutin suntik kemungkinan akan dilakukan amputasi ulang, klien belum siap akan itu, klien tampak bingung.
insulin Humulin. Riwayat keluarga positif Stimulus fokal : penurunan sirkulasi perifer, penurunan motilitas usus, Stimulus kontekstual :
DM. GDS masuk 518. HbA1c = 8.5 % kecemasan, hospitalisasi, usia, riwayat DM 13 tahun, neuropati. Masalah: 1) gangguan perfusi perifer
2) keseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh 3) konstipasi 4) nyeri 5) gangguan integritas
jaringan 5) kecemasan . Intervensi 1) Perawatan sirkulasi: insufisiensi arteri 2) pencegahan emboli 3)
15 Ny. S , usia 59 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigen dan sirkulasi: batuk tidak keluar dahak,
menikah, tamat SMP, tidak bekerja, Dx rongsen ada infiltrat pada apek kedua paru, rongki positif, BTA (-). ABI kanan 1, ABI kiri 0.9. Nutrisi:
Medis : Ulkus DM Pedis Bilateral DM tipe makan habis, kalau lapar masih menambah dari luar, gula darah belum terkontrol, Aktivitas:
2 ketergantungan ringan dengan nilai 13. Sensasi: Retinopati (+). Proteksi :merasa tidak terasa baal, alas
kaki sering tertinggal, luka pada kedua kaki bilateral, slough +70%, granulasi sebagian 30%, nekrotik
Dirawat di RS karena luka pada kedua kaki (-), leukosit 7.5 rb. Sensasi: Nyeri seperti dicokot-cokot , vas 3. Mode Konsep diri: pasien merasa
bagian plantar disebabkan jalan di aspal dan sendiri, tidak dipedulikan oleh anaknya. Mode interdependensi : pasien mengatakan tidak memiliki
tidak memakai alas. DM sudah 5 tahun. hubungan yang baik dengan anak dan menantunya. Stimulus fokal : kadar glukosa tak terkontrol,
GDS masuk 228. HbA1c = 9.9 % neuropati perifer . Stimulus kontekstual : riwayat DM 5 tahun, pengetahuan tentang nutrisi kurang,
ketidakpatuhan. Stimulus residual : kegagalan peran sebagai orangtua. Masalah: 1) ketidakefektifan
kebersihan jalan nafas 2) pemeliharan diri atas kesehatan kurang 3) hambatan berjalan 4) risikojatuh,
cedera 5) gangguan integritas jaringan 6) nyeri .7) risiko kesepian Intervensi 1) manajemen jalan nafas
16 Tn. Z, usia 48 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigen dan sirkulasi: sesak, lemas, TD 150/80 R
menikah, tamat SMA, tidak bekerja, Dx 16x/mnt ronki (+) bilateral bawah, infiltrat kedua lapang paru. Jantung kesan kardiomegali. Nutrisi:
Medis : DM tipe 2 dengan riwayat nafsu makan kurang, makan ¼ porsi, tambahan dari luar RS, IMT termasuk obese, pasien ingin
penurunan kesadaran, hipoglikemi. + CKD menurunkan kadar gula darahnya sehingga makan dikit bahkan tidak makan namun obat terus
diminum. Cairan dan elektrolit: umu -600cc, Na 113 mEq/L . K 3.87 mEq/l, Cl 78.5 mEq/L ,
Dirawat di RS karena penurunan kesadaran ureum darah 139 mg/dL , kreatinin darah 15.30 eGFR 3.3 . Stimulus fokal: penurunan fungsi ginjal,
disertai lemas dan keringat dingin. DM 1 penuruntn kontrol glukosa darah. Stimulus kontekstual: pengetahuan terhadap perawatan DM kurang,
tahun, berobat tidak teratur, porsi makan Stimulus residual: kebiasaan merokok, 10 tahun, CKD, neufropati. Masalah: 1) ketidakefektifan
kurang. penglihatan katarak, riwayat kebersihan jalan nafas 2) kelebihan volume cairan 3) pemeliharan diri atas kesehatan kurang efektif:
penyakit CKD. merokok berhenti 1.5 tahun. perawatn DM Intervensi 1) manajemen jalan nafas 2) manajemen cairan dan elektrolit 3) edukasi
GDS awal IGD 37. GDS awal masuk 128. nutrisi, pengobatan DM 4) manajemen hipoglikemi. Evaluasi: keluhan sesak lemas berkurang, umu -
HbA1c = 5.1 % 650, elektorlit normal, ureum 47 mg/dl. kreatinin darah 5.80 , klien mengatakan memahami efek dari
17 Ny S, usia 62 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Nutrisi : TB 155 cm, BB 45 Kg, BMI = 14.51
menikah, tamat SMP, tidak bekerja, Dx (Underweight < 18.5). pasien kesusahan makan karena gigi sudah tidak lengkap, pasien mengatakan
Medis : Ulkus Ganggren Digiti II-IV, post ada penurunan berat badan. pasien mengatakan jarang makan sayur-sayuran, pasien makan setengah
STSG porsi. Alb 2.5 g/dl, GDS 98, LDL 177 Kolesterol 290 . Proteksi : ekstermitas kanan: Luka post
amputasi dengan STSG. luka resepier panjang 6 cm dengan luas 4 cm, kedalaman 1cm. ekstermitas kiri
Dirawat di RS karena sejak ± 10 hari SMRS : Luka di tumit warna merah dengan diameter 4 cm . Kaki kiri terdapat kulit yang pecah-pecah, kering,
pasien mengeluh luka lecet kemerahan di dan terkelupas. Konsep diri : pasien mengatakan ingin pulang, karena dokter sudah memperbolehkan
kulit pungung kaki kanan, berisi cairan, luka pulang namun anak tidak pernah datang, di hubungi tidak bisa., pasien berkaca-kaca dan menangis,
lama-lama makin membesar dan keluar pasien ingin melarikan diri. Stimulus fokal: penurunan saraf perifer dan sirkulasi perifer Stimulus
cairan, muncul nanah, berbau, luka kontekstual: kontrol glukosa tidak teratur, tidak mengerti cara merawat selama DM Stimulus residual :
kemudian meluas, bengkak, lama kelamaan riwayat DM. Masalah: 1) nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2) gangguan integritas jaringan 3)
kaki menjadi hitam tidak ada riwayat gangguan integritas kulit 4) pemeliharan diri atas kesehatan kurang efektif: perawatn DM 5) risiko
trauma sebelumnya, dirujuk ke poliklinik kesepian Intervensi 1) manajemen nutrisi 2) manajemen hiperglikemi 3) perawatan luka 3) perawatan
RSCM dan diperiksakan GDS 400an, pasien kaki 4) edukasi nutrisi, penyuntikan insulin dan mobilisasi 5) dengar secara aktif Evaluasi: luka dan
mengeluh sering haus, sering buang air sekitar luka membaik, nutrisi tercukupi, klien lebih tenang setelah ditemani dan didengarkan cerita
kecil, selama satu tahun pasien sering serta penjelasan. Klien akan dipulangkan oleh pihak RS karena tidak di jemput anak dan setelah
merasakan kaki kesemutan/baal danterasa mendapatkan cruch
tebal bila diinjakkan, nyeri kaku saat
18 Tn. MN, usia 58 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Proteksi : luka pada bagian dorsalis pedis kaki kanan,
menikah, tamat SMA, tidak bekerja, Dx 15x10 cm, granulasi 10%, slought 90%., kedalaman luka hingga otot dan tendon, kulit kaki kering,
Medis : DM tipe 2 dengan + ganggren DM menipis tidak ada rambut. Eliminasi : mengeluh tidak bisa BAB selama 2 hari, teraba massa pada
post Debredement, bagian bawah umbilikus bagian kiri. Endokrin: pasien menanyakan bagaimana gula darah bisa turun
Dirawat di RS karena ulkus DM kaki kanan karena gula darah pasien selalu diatas 200, pasien duah memakai insulin. Masalah: 1) gangguan
ada tumit ganggren. DM 10 tahun, gula integritas jaringan 2) gangguan integritas kulit 3) pemeliharan diri atas kesehatan kurang efektif:
selalu diatas 200. Hipertensi sejak 20 tahun,. perawatn DM : luka Intervensi 1) perawatan luka 2) perawatan kaki 3) edukasi nutrisi, dan
GDS awal masuk 305. HbA1c = 6.8% penyuntikan insulin 4) manajemen hiperglikemi. Evaluasi: luka rencana STSG, klien paham dan dapat
merencanakan makan, klien menunjukkan cara penyuntikan yang benar, GDS dalam rentang 200
19 Ny S, usia 71 th, Dx Medis : CKD + Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan : Oksigen dan sirkulasi : kontak pasien tidak adekuat,
Penurunan kesadaran Hipoglikemi. Dirawat GCS E3M5V4 =12 . TD 170/96,nadi 90x/mnt RR 30x/mnt, konjuntiva anemis. AGD pH 7.20, pCo2
di IGD RS karena penurunan kesadaran 30.3, HCO3 18.6 SaO2 96.6 Endokrin: GDS 57. Stimulus fokal: penurunan masukan makan . Stimulus
secara tiba-tiba 3 hari setelah HD di RS. kontekstual: HD, Riwayat CKD. Masalah: 1) Risiko ketidakefktifan jaringan serebral Intervensi 1)
GDS 57. CKD st V 11 tahun manajemen hipoglikemi. Evaluasi: GDS 175 setelah 1 jam., pasien belum sadar.
21 Ny. S. usia 67 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Nutrisi : makan 3/ 4porsi, TB 155, BB 65 IMT 27 Hb
menikah, tamat SD, pedagang, Dx Medis : 7.9 Albumin 2,19, GDS 342 mg/dl. HbA1C 9.4%. Proteksi : terdapat luka post amputasi blow knee
Ulkus DM Pedis Sinistra + DM tipe 2 tidak ada tanda kemerahan sekitar luka, tidak ada perdarahan, leukosit 12.38/uL, pemeriksaan
monofilamin (-) untuk kaki kiri. Aktivitas: Gangguan mobilitas fisik. Stimulus fokal: penurunan nutrisi
Dirawat di RS karena luka pada kaki kanan sel, cidera fisik jaringan, kadar gula darah tinggi. Stimulus kontekstual penurunan sirkulasi, neuropati
tidak kunjung sembuh. DM 3 tahun, gula perifer, kurang pengetahuan terhadap luka dm, DM lebih dari 3 tahun, Masalah: 1) masalah
selalu diatas 300. Hipertensi sejak 20 tahun,. keperawatan kerusakan integritas jaringan, 2) risiko infeksi 3) manjemen kesehatan diri tidak efektif 4)
GDS awal masuk 346. HbA1c =9.4% gangguan berjalan Intervensi 1) perawatan luka 2) edukasi perawatan diri: perawatan kaki DM ,
insulin, nutrisi 3) manajemen hipoglikemi 4) manajemen hiperglikemi 5) dukung terhadap koping.
Evaluasi: Klien makan habis 1 porsi, tidak ada pendarahan, atau warna kemerahan pada luka, tidak ada
demam, tidak teraba hanga, keluarga mampu menunjukkan cara menyuntik insulin, klien mampu
menunjukkan cara perawatan kaki. Klien diperbolehkan pulang dan rencana selanjutnya untuk konsul
22 Tn. ES. usia 29 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Nutrisi : makan habis 1 porsi, BB 90 kg, TB 170 cm,
belum menikah, tamat Sarjana, pegawai IMT 31,14 obese, klien tidka mengerti bagaiaman makan untuk pasien DM, klien mengatakan makan
swasta, Dx Medis : Hipogonadisme + DM asal sehingga gula jadi naik. klien tidak mengerti tentang penyuntikan insulin. GDS saat ini tidak
stabil. Stimulus fokal: ketidaktahuan tentang pengelolaan DM terutama makan dan insulin Masalah:
Dirawat di RS karena pemeriksaan MRI dan 1) Risiko ketidakstabilan gula darah 2) Perawatan kesehatan diri kurang efektif Intervensi 1)
pemeriksaan hormon TSH dll. Riwayat DM Manajaemen hiperglikemi 2) manajemen hipoglikemi 3) edukasi perawatan diri: insulin, nutrisi
3 bulan . GDS awal masuk 96. HbA1c Evaluasi: hipoglikemi tidak terjadi terendah 81 dan tertinggi 168, MRI sudah dilaksanakan,
=7.8% pemeriksaan TSH 0.4 rendah, T3 0.5 rendah , LH 0.2 rendah. Pasien diperbolehkan pulang
23 Ny. A. usia 47 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Sensasi : pasien mengeluhkan pandangan kabur
menikah, tamat SD, tidak bekerja, Dx Medis kemudian tidak bisa melihat secara tiba-tiba. Nyeri seperti ada pasir pada mata. Aktivitas : pasien untuk
: Endoftamaditis endogen + DM tipe 2 pemenuhan kebutuhan sehari –hari dibantu oleh keluarga, aktivitas di atas tempat tidur kurang,
penilaian risiko jatuh 30 (tinggi). Endokrin : gula darah 187 dan HbA1C 8 % Mode konsep diri :
Dirawat di RS karena mata kanan dan kiri pasien mengatakan kecemasan nya kalau tidak bisa melihat lagi. Stimulus fokal : kerusakan fungsi
mendadak buram 5 hari sebelumnya. pengliatan Stimulus kontekstual : Gula darah tidak terkontrol, tekanan darah juga tidak terkontrol
Riwayat DM 8 tahun dan Hipertensi 12 Stimulus residul. Riwayat DM dan riwayat Hipertensi Masalah: 1) Risiko ketidakstabilan gula darah
tahun. GDS awal masuk 187. HbA1c = 8 % 2) Risiko jatuh atau cedera. Intervensi 1) Manajaemen hiperglikemi 2) manajemen hipoglikemi 3)
pencegahan jatuh 4) penurunan kecemasan Evaluasi: Hipoglikemi tidak terjadi, kadar gula darah 100
24 Tn. RH. usia 51 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Nutrisi : pasien makan ½ porsi, tidak nafsu makan, Hb
menikah, tamat SMP, bekerja, Dx Medis : 10.4 g/dl, Ht 30.4 % dan Albumin 2.45 g/dl. GDS 226, HbA1C 12.7. Proteksi : Terdapat luka 1 4x3 cm
Ulkus DM pedis dextra + DM tipe 2 sloguht +, dasar sampai otot, II 3x2 cm, slought +, sampai otot. Sensasi: mengeluh nyeri dengan skala
2. Mode peran: pasien mengatakan saat ini tidak bekerja, untuk keperluan sehari-hari tergantung dari
Dirawat di RS karena luka pada kaki kanan anak, pasien merasa tidak berdaya dengan kondisi sekarang ini. Stimulus fokal : kontrol gula darah
1 minggu tidak kunjung sembuh. Luka kurang, neuropati, perawatan terhadap kaki kurang. Stimulus kontekstual: usia, kepatuhan tentang
kedua setelah tahu 2011 menjalani amputasi perawatan pasien DM kurang. Stimulus residual. Riwayat DM 13 tahun. Masalah: 1)
digiti 2.3.&4. Riwayat DM 13 tahun. GDS ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2) gangguan integritas jaringan 3) nyeri 4)
awal masuk 226. HbA1c = 12.7 % Ketidakefektifan manajemen diri: diabetes 6) meningkatkan kesiapan koping. Intervensi: 1)
manajemen nutrisi, 2) terapi nutrisi, 3) manajemen hipoglikemi 4) manajemen hiperglikemi 5)
perawatan luka 6) manajemen nyeri 7) edukasi perawatan kaki, nutrisi dan insulin, 8) perawatan luka,
9) peningkatan koping. Evaluasi: makan 1 porsi dan makanan ringan, nyeri berkurang hilang timbul,
infeksi tidak terjadi luka bergranulasi dengan baik, klien mencoba untuk menerima ini semua dan
berencana akan kembali bekerja setelah luka pada kaki ada perbaikan
26 Ny. S, umur 54 tahun, agama Islam, Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan data : Oksigen: keluhan sesak, lemas RR 24x/mnt, ronki
menikah, pendidikan tidak diketahui. tidak kasar pada keda paru. hasil AGD didapatkan pH 7.33, p CO2 35.4, P O2 39.20, HCO3 19.0, SaO2
bekerja, Dx medis : Ulkus DM dekstra digiti 66.2%. Nutrisi: makan masih mampu ¾ porsi. Alb 2.47 g/dL 3.4 - 4.8 Hb: 9.4 g/dL Ht 28.2 % .
I-III + CKD Proteksi: luka ada slough, pus tidak ada, granulasi minimal, kulit jadi kering, timbul bercak bercak
27 Tn. W. usia 56 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Nutrisi: nafsu makan menurun, makan habis ¼ porsi.
menikah, tamat SMA, pedagang , Dx Medis BB 58 kg TB 170 , IMT 20 kg/cm2, BB ideal 63 kg. Hb 9.3 g/dl, Ht 27.4 %, Albumun 1.75 g/dl
: KAD + DM tipe II + ulkus Eliminasi: diare sudah 3 hari, tanda dehidrasi ringan (+), bising usus meningkat, Sensai: nyeri.
Proteksi : luka pada kaki dan membengkak memerah di tungkai bagian bawah, 1 tahun lalu luka
Dirawat di RS karena badan terasa nyeri direncanakan amputasi namun menolak. Stimulus : luka, peningkatan peristaltik usus, kontrol gula
terutama pada kaki dan kanan, nafsu makan darah teratur. Stimulus kontekstual: riwayat DM 12 tahun, kurangnya kepatuhan perawatan diri
menurun, lemas, diare 3-4 kali/hari. DM 12 Stimulus Residual konsep diri menurun. Masalah: 1) ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tahun jarang kontrol dan jarang minum obat, tubuh 2) gangguan integritas jaringan 3) nyeri 4) ketidakefektifan manajemen diri: diabetes Intervensi:
gula darah tertinggi 400. GDS awal masuk 1) manajemen nutrisi, 2) terapi nutrisi, 3) manajemen hipoglikemi 4) manajemen hiperglikemi 5)
149. HbA1c = 16.4 % perawatan luka 6) manajemen nyeri 7) edukasi perawatan kaki, nutrisi. Evaluasi: makan habis 1 porsi,
28 Tn. J. usia 51 th, agama islam, status Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan: Nutrisi: nafsu makan menurun, porsi makan dari RS 1/2
menikah, Sarjana, bekerja PNS. Dx Medis : mual., BB 65 kg, TB 165 cm, IMT 23.87, BB ideal 58.5. Sensasi: Nyeri pada perut dengan vas 4,
Susp Ca Recti + DM tipe 2 wajah meringis sambil memegang perut. Eliminasi: tidah bisa BAB, kolonoskopi didapatkan massa
sirkuler 110 cm dan hemoroid interna grade 1. Stimulus fokal : massa pada saluran pencernaan.
Dirawat di RS karena sulit BAB sejak 1 Stimulus kontekstual: riwayat DM, pola makan kurang serat Masalah: 1) ketidakseimbangan nutrisi
bulan, BAB hanya keluar ketika buang kurang dari kebutuhan tubuh 2) nyeri 3) gangguan eliminasi fekal 4) ketidakefektifan manajemen diri:
angin fan dalam jumlah sedikit. Disertai diabetes Intervensi: 1) manajemen nutrisi, 2) terapi nutrisi, 3) manajemen hiperglikemi 4) manajemen
mual namun muntah. Nafsu makan nyeri 5) edukasi nutrisi dan insulin. Evaluasi: pasien sudah mampu makan 2/3 porsi RS, tidak ada rasa
berkurang. BB turun 3 kg. DM 8 tahun GDS mual, nyeri berkurang vas 3. GDS 100 – 200.
awal masuk 104.
29 Ny DS, usia 54 th, agama islam, tamat Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan data : Nutrisi : TB : 158 cm, BB: 50 kg, menghabis
SMU, menikah, tidak bekerja. Dx medis : porsi makan rumah sakit 8 sendok karena rasa mual yang dirasa., klien sudah tidak kuat untuk makan
Ulkus DM Pedis, + DM tipe 2 karena merasa mual, gula tidak terkontrol, riwayat hipoglikemi. Sensasi: mengeluh nyeri pada kaki vas
4 terutama saat dibersihkan Proteksi: luka ulkus dm digiti IV grade III pedis sinistra. Fungsi peran:
Dirawat di RS dengan keluhan ada luka di klien mengatakan sebagai ibu sebenarnya tidak ingin merepotkan anaknya karena di rumah sakit, klien
jari kaki ke IV kaki kiri selama 2 minggu lebih senang dengan aktivitasnya. Stimulus fofal: penurunan fungsi sel, kontrol gula tidak teratur,
30 Tn.SP, usia 62 tahun, agama Islam, Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan data : Nutrisi : TB : 166 cm, BB : 70 kg, IMT : 25,4,
menikah, pekerjaan pensiunan, diagnosa GDS : 467, pasien mengeluh mual dan nafsu makan menurun, hanya bisa menghabiskan ½ porsi
medis : Septic Arthritis + DM tipe 2 makanan dari RS, pasien tidak menyukai olahan ayam dan yang berbau amis. Aktivitas : klien
mengurangi aktivitas terutama ektermitas karena digerakkan sakit, serasa nyeri selama 2-3 menit.
Dirawat di RS dengan keluhan nyeri dan Untuk berdiri harus dibantu orang lain dan saat berjalan harus diawasi karena jatuh. kemampuan
bengkak di lutut kanan sejak 3 minggu yang pergerakan ekstermitas atas baik. Mode konsep diri: pasien saat ini sedih karena sakit tak kunjung
lalu yang diikuti dengan susah berjalan/ sembuh dan selesai. Stimulus fokal: gangguan sendi lutut. Stimulus kontekstual: kadar gula darah tidak
berdiri. Keluhan lain ada demam sejak 5 teratur,ketidaksesuaian dengan menu makan. Stimulus residual: riwayat trauma atau jatuh. DM 18
hari yang lalu. Telah diperiksakan hasilnya tahun. Masalah: 1) ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh 2) nyeri, 3) gangguan
terdapat pus pada cairan sendi lutut. mobilitas fisik 4) kecemasan Intervensi 1) manajemen nutrisi 2) manajemen nyeri 3) latihan
Riwayat DM sejak 18 tahun yang lalu, mobilisasi 4) manajemen hiperglikemi/hipoglikemi 5) turunkan kecemasan Evaluasi: pasien
riwayat hipertensi, riwayat TBC. Riwayat menghabiskan porsi makan ¾ dari RS, nyeri dilaporkan berkurang namun masih terasa jika bergerak.
31 Tn.C, usia 19 tahun, belum menikah, Pengkajian perilaku dan stimulus didapatkan data : Aktivitas: klien mengeluh pegal-pegal, lemas :
mahasiswa, Dx medis : DM tipe 1 dengan Endokrin : keluhan kadar gula darah masih tinggi 433, sering lapar dimalam hari, klien mengatakan
riwayat KAD tidak menyuntik insulin karena tidak sempat denga aktivitas yang padat. klien mengtakan ini adalah
Klien dirawat di RS dengan keluhan sesak yang kedua kalinya. Stimulus fofal : manajemen diri daan pengobatan kurang, bed rest. Stimulus
napas sejak 6 jam SMRS. Dua hari SMRS kontekstual : DM tipe 1 riwayat 7 tahun. Masalah: 1) Keletihan 2) Risiko ketidakstabilan gula darah
klien tidak menyuntik insulin, dan 6 jam 3) ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan diri. Intervensi: 1) Manajemen energi 2) manajemen
SMRS klien merasa sesak, pusing dan mual. hiperglikemi 3) pendidikan kesehatan: insulin Evaluasi: pasien dapat berjalan di ruangan tampa
Pada saat di IGD, klien muntah-muntah keluhan lemas, GDS terakhir 428. pasien minta pulang.
warna kecoklatan. Kejadian kedua kali.
Riwayat DM sejak usia 12 tahun. GDS saat
masuk 433.
Riwayat Pendidikan
1989 - 1995 : SDN Wonodri 05 Semarang
1995 - 1998 : SLTPN 10 Semarang
1998 - 2001 : SMUN 15 Semarang
2001 - 2006 : Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro
2006 - 2007 : Program Profesi Ners Universitas Diponegoro
2010 - 2012 : Program Magister Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Riwayat Pekerjaan
Agustus 2007 - Sekarang : Staf Pengajar Sekolah Tinggi Kesehatan Jenderal
Ahmad Yani Yogyakarta