Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN LANJUT

Aktivitas Antimikroba Minyak Cengkeh Terhadap Mikroorganisme

Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah


Mikrobiologi Pangan Lanjut

OLEH
Muhamad Ikhsan Prawira Negara
240120180001

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas kasih
sayang dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Review. Adapun judul
dari Makalah Review ini adalah “Aktivitas Antimikroba Minyak Cengkeh
Terhadap Mikroorganisme ”.
Makalah Review ini merupakan salah satu tugas Matakuliah Mikrobiologi
Pangan Lanjut. Penulis menyadari bahwa makalah Review ini masih jauh dari
sempurna. Namun, penulis berharap semoga makalah review ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Jatinangor, 21 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi....................................................................................................ii

Daftar Tabel...............................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1


1.2 Maksud dan Tujuan...................................................................... 3

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Deskripsi Tanaman Cengkeh.....................................................4

2.2 Komponen Kimia Tanaman Cengkeh........................................5

2.3 Eugenol......................................................................................6

2.4 Ekstraksi....................................................................................7

2.5 Antimikroba dan Mikroorganisme Pantogen............................9

BAB 3 PEMBAHASAN

3.1 Senyawa Bioaktif Cengkeh (Zyzygium Aromaticium)


dapat Menghambat Pertumbuhan Mikroba pada
Daging Burger.............................................................................13
3.2 Hasil dan Pembahasan.................................................................14

BAB 4 KESIMPULAN............................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 17

ii
DAFTAR GAMBAR dan TABEL

1. Cengkeh................................................................................................ 5
2. Eugenol ................................................................................................ 6
3. E.Coli ................................................................................................... 12
4. Hasil Penelitian .................................................................................... 14

iii
I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terpenting


sehingga harus aman, layak dan bermutu. Pangan menjadi layak atau tidak
dikonsumsi tidak terlapas dari adanya mikroba perusak dan pantogen pada
pangan. Mikroba yang terkandung dalam bahan pangan terkontaminasi pada saat
proses pengolahan atau pada saat penyimpanan. pada saat penyimpanan pangan
seringkali mengalami kerusakan, salah satu untuk mengatasi hal tersebut adalah
menggunakan bahan pengawet.

Bahan pengawet merupakan bahan yang ditambahkan dengan maksud


memperpanjang daya simpan dan mencegah terjadinya fermentasi, pengasaman
atau penguraian terhadap bahan pangan yang disebabkan oleh mikroba. Bahan
pengawet digunakan terhadap pangan yang mudah rusak oleh mikroba.

Pengawet dibagi menjadi dua yaitu sintetik dan alami, pengawet sintetik
memiliki resiko untuk kesehatan manusia, sedangkan bahan pengawet alami
adalah bahan pengawet yang berasal dari tumbuhan ataupun hewan dan umumnya
tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Pengawet alami biasanya diperoleh dari
rempah-rempah yang sering digunakan dalam pencampuran bahan pangan.

Rempah-rempah memiliki sifat antimikroba. Efek penghambatan terhadap


pertumbuhan mikroba, hal ini disebabkan perbedaan kandungan jenis senyawa
antimikroba pada rempah-rempah. Komponen-komponen aktivitas antimikroba
ini dapat membunuh atau memperlambat pertumbuhan mikroba.

Senyawa antimikroba yang diektrak dari rempah-rempah termasuk


kedalam Generally Recognized As Safe (GRAS) karena bersifat alami dan sudah
sering digunakan dalam produk pangan. Penggunaan ekstrak rempah-rempah
dalam makanan sebagai pengawet masih sangat terbatas karena fungsinya sebagai
komponen citarasa. Sebagai komponen citarasa maka penggunaannya pun masih
dalam konsentrasi yang rendah.

1
Minyak atsiri atau disebut juga dengan essential oils adalah komoditi
ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian
bahkan putik bunga. Kegunaan dari minyak atsiri sangat banyak, bisa digunakan
sebagai perisa, obat antiinfeksi dan bahan pengawet makanan.

Cengkeh merupakan salah setu tanaman berpotensi sebagai penghasil


minyak atsiri. Minyak cengkeh diperoleh dari bunga cengkeh. Kandungan
terbesar dari minyak cengkeh adalah eugenol mencapai 70%-96% (Hadi, 2012).
Kandungan eugenol yang dijadikan sebagai pengawet alami karena dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau sebagai antibakteria.

2
1.2 Maksud dan Tujuan

Mengetahui kandungan antikmikroba dari cengkeh sebagai bahan pengawet dan


mengetahui aktivitas antimikroba yang ditimbulkan dari minyak cengkeh

3
II. Tinjauan Pustaka

2.1 Deskripsi Tanaman Cengkeh

Klasifikasi tanaman cengkeh yaitu sebagai berikut:


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus : Syzygium
Spesies : Syzygium aromaticum (L.) Merr. & L. M. Perry

Tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum), L. berasal dari kepulauan Maluku.


Awalnya, oleh penduduk setempat cengkeh digunakan untuk obat-obatan, seperti
pemeliharaan gigi. Namun kegunaannya berkembang, seperti sebagai rempah-
rempah, bahan parfum, industri rokok, obat-obatan, dan sumber eugenol.
Karenanya cengkeh menjadi salah satu komoditas perdagangan penting di dunia
(Agus Kardinan, 2005).

Cengkeh termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki batang pohon besar
dan berkayu keras. Cengkeh mampu bertahan hidup puluhan bahkan sampai
ratusan tahun, tingginya dapat mencapai 20-30 meter dan cabang-cabangnya
cukup lebat. Cabang-cabang dari tumbuhan cengkeh tersebut pada umumnya
panjang dan dipenuhi oleh ranting-ranting kecil yang mudah patah. Mahkota atau
juga lazim disebut tajuk pohon cengkeh berbentuk kerucut. Daun cengkeh
berwarna hijau berbentuk bulat telur memanjang dengan bagian ujung dan
pangkalnya menyudut, rata-rata mempunyai ukuran lebar berkisar 2-3 cm dan
panjang daun tanpa tankai berkisar 7,5-12,5 cm.

Bunga dan buah cengkeh akan muncul pada ujung ranting daun dengan tangkai
pendek serta bertandan. Pada saat masih muda bunga cengkeh berwarna keungu-
unguan, kemudian berubah menjadi kuning kehijau-hijauan dan berubah lagi
menjadi merah muda apabila sudah tua. Sedang bunga cengkeh kering akan
berwarna coklat kehitaman dan berasa pedas sebab mengandung minyak atsiri.

4
Umumnya cengkeh pertama kali berbuah pada umur 4-7 tahun. Tumbuhan
cengkeh akan tumbuh dengan baik apabila cukup air dan mendapat sinar matahari
langsung. Di Indonesia, cengkeh cocok ditanam baik di daerah daratan rendah
dekat pantai maupun di pegunungan pada ketinggian 900 meter diatas permukaan
laut. Bunga cengkeh selain mengandung minyak atsiri, juga mengandung senyawa
kimia yang disebut eugenol, asam oleanolat, asam galotanat, fenilin, karyofilin,
resin dan gom.

Gambar 1. Cengkeh (Agus Kardinan, 2005)

2.2 Komponen Kimia Tanaman Cengkeh

Bunga cengkeh kering mengandung minyak atsiri, fixed oil (lemak), resin, tannin,
protein, cellulosa, pentosan dan mineral. Karbohidrat terdapat dalam jumlah dua
per tiga dari berat bunga. Komponen lain yang paling banyak adalah minyak atsiri
yang jumlahnya bervariasi tergantung dari banyak faktor diantaranya jenis
tanaman, tempat tumbuh dan cara pengolahan (Purseglove, et al., 1981 dalam
Nurdjannah, 2004).

Kandungan fixed oil di dalam bunga cengkeh berkisar antara 5-10 % yang terdiri
dari minyak lemak dan resin (Purseglove, et al., 1981 dalam Nurdjannah, 2004).
Minyak lemak tersebut sebagian besar terdiri dari asam lemak tidak jenuh (94%
dari total asam lemak), dan asam lemak tersebut sebagian besar terdiridari asam
stearat yaitu sekitar 89% dari total asam lemak jenuh.

5
Kandungan kimia yang utama pada cengkeh yang berfungsi sebagai sumber flavor
alami yaitu senyawa eugenol. Senyawa eugenol yang merupakan cairan bening
hingga kuning pucat, dengan aroma menyegarkan dan pedas seperti bunga
cengkeh kering, memberikan aroma yang khas pada minyak cengkeh, dimana
senyawa ini banyak dibutuhkan oleh berbagai industri yang saat ini sedang
berkembang (Kardinan, dalam Towaha, 1999). Kandungan senyawa ini dalam
minyak cengkeh dapat mencapai 70-96%.

Senyawa eugenol yang mempunyai rumus molekul C10H12O2 mengandung


beberapa gugus fungsional yaitu alil (-CH2-CH=CH2), fenol (-OH) dan metoksi
(-OCH3), sehingga dengan adanya gugus tersebut dapat memungkinkan eugenol
sebagai bahan dasar sintesis berbagai senyawa lain yang bernilai lebih tinggi
seperti isoeugenol, eugenol asetat, isoeugenol asetat, benzil eugenol, benzil
isoeugenol, metil eugenol, eugenol metil eter, eugenol etil eter, isoeugenol metil
eter, vanilin dan sebagainya (Mann, A 2010).

Gambar 2. Eugenol

2.3 Eugenol

Senyawa eugenol merupakan senyawa penting dalam minyak cengkeh. Semakin


tinggi kandungan eugenolnya, semakin tinggi pula kualitas yang dimiliki oleh
minyak cengkeh. Senyawa eugenol merupakan senyawa berwujud cairan bening
hingga kuning pucat dengan aroma menyegarkan dan pedas seperti bunga
cengkeh kering, memberikan aroma yang khas pada minyak cengkeh. Senyawa ini
banyak dibutuhkan oleh berbagai industri yang saat ini sedang berkembang
(Kardinan, 2005).

Minyak cengkeh dapat digunakan sebagai antibiotik karena komponen


eugenol yang terkandung di dalamnya mampu memerangi bakteri. Selain itu,
eugenol juga dapat berfungsi sebagai antivirus yang menghambat DNA

6
polimerisasi virus sehingga senyawa eugenol mampu bekerjasama dalam menjaga
stabilitas sel pada tubuh.

Senyawa eugenol memiliki sifat lipofilik yang dapat mengakibatkan


terjadinya adhesi dengan membran sel bakteri sehingga tekanan osmotik
meningkat, menyebabkan kerusakan pada membran sel dan menghambat respirasi
bakteri. Terhambatnya proses respirasi pada bakteri akan menimbulkan
terganggunya transpor ion pada sel sehingga bakteri akan mengalami kematian.

Di dalam senyawa eugenol juga terdapat ikatan fenol yang jika menempel pada
sel bakteri akan membuat bakteri mengalami lisis kemudian mati. Hal ini terjadi
karena protein yang dimiliki mengalami penggumpalan sehingga enzim
transpeptidase mengalami perubahan. Selanjutnya, muncul gangguan pada proses
pembentukan dinding sel bakteri yang tersusun oleh peptidoglikan dengan gugus
polisakarida dan polipeptida. Dinding sel yang telah rusak dan tak terbentuk
mengakibatkan bakteri mati.

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut


sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif
yang terdapat dalam berbagai simplisia (bahan alami yang digunakan untuk obat
dan belum mengalami perubahan proses apa pun) dapat digolongkan ke dalam
golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Proses ekstraksi bertujuan
untuk mendapatkan komponen yang diinginkan dari bahan yang mengandung
komponen-komponen aktif. Hal yang harus diperhatikan diantaranya yaitu tujuan
ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, sifat pelarut yang
aka digunakan, penggunaan ekstrak serta penggunaan ulang pelarut (Houghton
dan Raman, 1998)

Menurut Rahayu (2009) yang dikutip Pangaribuan (2014), sifat penting


yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang
dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus –OH, -COOH, dan lain sebagainya),
selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak saling bercampur, kerapatan, reaktivitas,

7
dan titik didih. Ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara
penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan tidak boleh
terlalu dekat .

Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan


cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,
sedangkan cara panas antara lain dengan refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap,
dan infuse. Harborne (1996) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua,
yaitu:

a. Ekstraksi sederhana, meliputi:

1. Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam


pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

2. Perkolasi, yaitu ekstraksi secara berkesinambungan;

3. Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk


melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

4. Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

b. Ekstraksi khusus, meliputi:

1. Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk


melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

2. Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana


sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;

3. Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang


menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

Faktor – faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi dari suatu sampel


menurut Harborne (1996) adalah:

1. Jangka waktu kontak antara sampel dan cairan pengekstrak (waktu


ekstraksi). Waktu ekstraksi berpengaruh terhadap hasil ekstraksi, misalnya

8
semakin lama waktu ekstraksi maka kontak bahan dengan pelarut akan
semakin lama dan hasil yang didapatkan akan semakin tinggi.

2. Perbandingan antara jumlah sampel dan jumlah cairan pengekstrak


(jumlah bahan pengekstraksi). Perbandingan jumlah pelarut harus
disesuaikan dengan jumlah bahan yang akan diekstrak, jumlah pelarut
yang terlalu banyak tidak akan mengekstrak yang lebih banyak, namun
pada jumlah tertentu pelarut dapat bekerja secara optimal.

3. Ukuran bahan dan suhu ekstraksi

Proses ekstraksi akan lebih cepat bekerja pada suhu tinggi, akan tetapi hal
ini akan mengakibatkan rusaknya beberapa komponen. Suhu ekstraksi harus
optimal tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah,

2.5 Antimikroba dan Mikroorganisme pantogen

Antimikroba adalah suatu senyawa atau agen yang dapat membunuh atau
menginhibisi pertumbuhan suatu mikroorganisme dan terutama mikroorganisme
patogen manusia (Syarif et al., 2007). Agen senyawa antimikroba dapat
digolongkan menurut jasad renik yang dibasmi, yaitu antibiotik, antivirus,
antifungi, antiprotozoa dan antihelmintes. Antimikroba juga dibagi menjadi dua
kelompok luas, yaitu golongan bakteriostatik yang menghambat replikasi
mikroba, dan golongan bakterisidal yang bekerja secara utama membunuh
mikroba (Bennet et al., 2012). Antibiotik adalah salah satu jenis antimikroba yang
digunakan untuk mengobati atau mencegah infeksi bakteri. Menurut Departemen
Farmakologi (2007), berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi menjadi
5 kelompok, yaitu :

1. Menghambat Sintesis Dinding Sel

Bakteri memiliki dinding sel dengan tekanan osmotic yang tinggi di dalam
sel dan berfungsi untuk mempertahankan bentuk dan ukuran sel. Kerusakan
dinding sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis. Dinding sel bakteri
mengandung peptidoglikan. Lapisan peptidoglikan pada dinding sel bakteri
meliputi penisilin, sefalosforin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.

9
2. Menghambat Metabolisme Sel

Bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Asam


folat tersebut harus disintesis sendiri oleh bakteri dari asam benzoate (PABA).
Antibakteri seperti sulfonamide, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan
sulfon menghambat proses pembentukan asam folat tersebut.

3. Mengganggu Keutuhan Membran Sel

Membrane sitoplasma berfungsi dalam perpindahan molekul aktif dan


menjaga keseimbangan zat di dalam sel. Kerusakan membrane sitoplasma akan
meyebabkan keluarnya makromolekul seperti protein, asam nukleat dan ion-ion
penting sehingga sel menjadi rusak. Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini
adalah polimiksin.

4. Menghambat Sintesis Protein

Sintesis protein bakteri berlangsung di dalam ribosom. Bakteri memiliki 2


subunit ribosom yaitu ribosom 30S dan ribosom 50S. Kedua komponen ini akan
bersatu menjadi ribosom 70S. Penghambatan pada komponen ribosom-ribosom
tersebut akan menyebabkan gangguan protein sel. Antibiotic yang dapat
menghambat sintesis protein sel antara lain golongan aminoglikosida, makrolid,
linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.

5. Mengahambat Sintesis Asam Nukleat

Antibiotik yang dapat menghambat sintesis asam nukleat bakteri yaitu


kuinolon, rifampisin, sulfonamide, dan trimetropim. Rifampisin berikatan dengan
enzim polymerase-RNA sehingga menhambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim
tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada bakteri.

Kandungan aktif pada minyak cengkeh yang paling besar adalah eugenol dan
terdapat ikatan fenol yang jika menempel pada sel bakteri akan membuat bakteri
mengalami lisis kemudian mati. Hal ini terjadi karena protein yang dimiliki
mengalami penggumpalan sehingga enzim transpeptidase mengalami perubahan.
Selanjutnya, muncul gangguan pada proses pembentukan dinding sel bakteri yang

10
tersusun oleh peptidoglikan dengan gugus polisakarida dan polipeptida. Dinding
sel yang telah rusak dan tak terbentuk mengakibatkan bakteri mati.

Efek antimikroba pada cengkeh disebabkan bahan aktif yang terkandung


didalamnya, yaitu eugenol, tanin, fenol dan alkaloid, bahan tersebut
mempengaruhi struktur dari bakteri. Eugenol merupakan senyawa hidrofobik
yang dengan mudah melewati dan merusak dinding sel bakteri gram negatif yang
memiliki lipid tinggi (Maryati, 2007)

Kemampuan senyawa antimikroba untuk menghambat aktivitas


pertumbuhan mikroba dalam sistem pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya konsentrasi atau intensitas zat antimikrobial, jumlah
mikroorganisme, suhu, spesies mikroorganisme, adanya bahan organik, dan pH.
Cara kerja suatu zat antimikroba dapat diduga dengan meninjau struktur serta
komposisi sel mikroba. Kerusakan pada salah satu bagian sel dapat mengawali
terjadinya perubahan-perubahan yang menuju kepada matinya sel tersebut.
Berbagai cara yang digunakan zat antimikroba dalam merusak sel mikroba
diantaranya, kerusakan pada dinding sel, perubahan permeabilitas sel, perubahan
molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan
sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan,2005 dikutip dalam Keloko,
2016).

Penggunaan antibakteri harus diperhatikan, karena penggunaannya terlalu


berlebihan akan menyebabkan bakteri yang awalnya sensitif menjadi resisten.
Resistensi sel mikroba merupakan suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroba oleh antimikroba. Sifat ini merupakan sifat alamiah dari mikroba untuk
bertahan hidup. Pengelompokan dari resistensi adalah resistensi genetik, resistensi
non-genetik, dan resistensi silang. Mekanisme resistensi terhadap antimikroba
antara lain: perubahan tempat kerja (target site) antimikroba pada mikroba,
mikroba menurunkan permeabilitasnya hingga antimikroba sulit masuk ke dalam
sel, inaktivasi antimikroba oleh mikroba, mikroba membentuk jalan pintas untuk
menghindari tahap yang dihambat oleh antimikroba, dan meningkatkan produksi
enzim yang dihambat oleh antimikroba (Ganiswara, 1995).

11
Bakteri yang umum digunakan menjadi indikator sanitasi suatu bahan
pangan adalah Escherichia coli. Escherichia coli termasuk basil coliform,
merupakan flora komensal yang paling banyak terdapat pada usus manusia dan
hewan. E. coli merupakan bakteri yang berbentuk batang, gram negatif, tidak
berkapsul, umumnya mempunyai fimbria dan bersifat motil, panjang 1,0 – 6,0µm
dengan lebar 1,1 - 1,5 µm, tersusun tunggal berpasangan dengan flagella
peritrikat. E.coli tumbuh pada suhu antara 10°C-40°C dengan suhu optimum
37°C. pH untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 4,0–9,0 dan pH optimum untuk
pertumbuhannnya berkisar 7,0–7,5. Nilai Aw minimum untuk pertumbuhan
bakteri ini adalah 0,96 (Supardi dan Sukamto, 1999). Menurut Kusuma (2010),
penyakit-penyakit yang dapat disebabkan oleh E. coli antara lain infeksi saluran
kemih dan penyakit diare.

Gambar 3. E. Coli

12
III PEMBAHASAN

3.1 senyawa bioaktif cengkeh (Zyzygium Aromaticium) dapat


menghambat pertumbuhan mikroba pada daging burger

Proses pengawetan pangan bertujuan untuk menghindari atau mencegah


serta menghambat pertumbuhan bakteri dalam pangan agar bahan pangan dapat
bertahan lama. Daging segar adalah salah satu dari produk pangan yang
merupakan media yang ideal bagi pertumbuhan mikroba, mudah rusak
disebabkan daging kaya zat yang mengandung nitrogen, mineral, karbohidrat,
dan kadar air yang tinggi serta pH yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan
pembusuk untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroorganisme ini dapat
mengakibatkan perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan,
sehingga daging tersebut rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk
meningkatkan kualitas daging dapat dilakukan dengan proses pengawetan
(Dhanze, 2013). Selama ini berbagai jenis bahan pengawet banyak
digunakan oleh industri – industri pangan dalam mengolah makanan Beberapa
hasil penelitian mengemukakan bahwa bahan tambahan pangan dapat
menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan. Sebagai alternatif pemecahan dapat
digunakan bahan- bahan tambahan alami yang mempunyai kelebihan
tersendiri, aman untuk dikonsumsi.

Bunga cengkeh merupakan rempah-rempah yang beraroma,


mempunyai rasa pedas dan hangat, dan umumnya digunakan sebagai bahan
penambah citarasa pada produk-produk seperti pada pembuatan daging burger.
Menurut Thomas (1984) dan Foster (2000), cengkeh mengandung aktivitas
antimikroba yang dapat digunakan untuk menekan atau menghentikan
pertumbuhan (bakteriostatik dan fungistatik) E. coli (Hapsari, 2000).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajaripengaruh penambahan


cengkeh dan lama penyimpanan yang berbeda terhadap total mikrobaburger.
Penambahan cengkeh ini diharapkan dapat mengawetkan sehingga dapat
memperpanjang masa simpan burger.

Penelitian ini menggunakan daging sapi sebanyak 1,2 kg dibagi empat


bagian masing-masing berat 300 g/ daging kemudian diolah menjadi burger.

13
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium MIPA Biologi Universitas
Brawijaya. Malang. Cengkeh yang digunakan pada pembuatan burger dalam
bentuk bubuk. Selanjutnya cengkeh tersebut ditambahkan kedalam adonan
daging. Satu sampel daging dijadikan sebagai kontrol yaitu tanpa penambahan
cengkeh (0%), lalu sampel berikutnya ditambahkan cengkeh 0,25 %, 0,50 % dan
0,75%kemudian dipanggang dalam oven selama 15 menit , temperatur
1500C,setiap sampel dikemas dan disimpan berdasarkan masing-masing
penyimpanaan 10, 20 dan 30 hari dalam lemari pendingin suhu 50C.

Analisis sampel burger dimulai pada hari ke-0 kemudian dilanjutkan


pada penyimpanan 10, 20 dan 30 hari. Pengujian Total Mikroba menggunakan
Total Plate Count. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
pola faktorial 4 x 3 dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah level
cengkeh terdiri dari 0%, 0,25%, 0,50% dan 0,75% dan faktor kedua adalah lama
penyimpanan yaitu 10, 20 dan 30hari.

3.2 Hasil dan Pembahasan

Total mikroba daging burger mentah (kontrol) dengan penambahan cengkeh


dan lama penyimpanan 10, 20 dan 30 hari dapat dilihat pada Tabel

Level Cengkeh/gr

Lama penyimpanan R0 R1 R2 R3

(Kontrol) (0,25) (0,50) (0,75)


10 2,8 x 103 1,1 x 103 1,1 x 103 1,0 x 103
20 td 3,1 x 103 3,1 x 103 3,0 x 103
30 td 2,5 x 103 2,4 x 102 2,4 x 102
TABEL 1. HASIL PENELITIAN

Data tabel menunjukkan bahwa total mikroba pada kontrol berkisar


antara 2,8 x 103 cfu/g sampai tidak dapat terdeteksi.`Pengaruh interaksi
antara penambahan cengkeh dan lama simpan memberikan pengaruh yang nyata
(P < 0,05). terhadap totalmikroba burger.Pada tabel I menunjukkan bahwa total
mikroba dengan penambahan cengkeh 0,25%, 0,50% dan 0,75% terlihat
adanya peningkatan mikroba pada burger dan dengan lama penyimpanan 20

14
hari terjadi peningkatan total mikroba burger sebesar 3,14 cfu/g, namun terlihat
adanya penurunan jumlah mikroba burger yang ditambahkan cengkeh yang
disimpan selama 30 hari total mikroba sebesar 2,43 cfu/g ini disebabkan adanya
senyawa anti mikroba dalam cengkeh yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri.

Penurunan total mikroba burger disebabkan adanya aktifitas antimikroba


cengkeh yaitu adanya senyawa eugenol yang bersifat hydrophobicity.
Interaksi penambahan cengkeh dan lama penyimpanan memberikan
pengaruh terhadap total mikroba burger. Burt, (2004) menyatakan bahwa
kemampuan minyak cengkeh dalam menghambat pertumbuhan bakteri
disebabkan karena adanya kandungan eugenol yang tinggi yang mampu masuk
kedalam lipopolisakarida yang terdapat dalam membran sel bakteri Gram negatif
dan merusak strukturnya sel. Mann, (2010) menyatakan kombinasi rempah-
rempah pada pengolahan pangan mempunyai sifat anti mikroba berbeda-beda.
Pernyataan ini didukung oleh Lai dan Roy (2004) yang melaporkan bahwa
kombinasi beberapa jenis rempah dapat menghambat terhadap
pertumbuhan mikroba yang kurang efektif. Syarat mutu daging sapi untuk jumlah
mikroba maksimum adalah 5 x 105 cfu/g, sedangkan tingkat maksimum total
mikroba yang menentukan akhir dari masa simpannya, menurut Ockerman
(1984), adalah 3,39 x 106 cfu/g.

15
IV Kesimpulan

1. Minyak cengkeh mempunyai peran sebagai pengawet bahan


pangan yang aman.
2. Kandungan utama dari minyak cengkeh adalah eugenol yang
terdapat fenol yang mampu membunuh mikroba
3. Eugenol merupakan senyawa hidrofobik yang mampu menembus
dinding sel bakteri terutama bakteri gram negatif
4. Bedasarkan penelitian (senyawa bioaktif cengkeh (Zyzygium
Aromaticium) dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada
daging burger) terdapat pengaruh nyata pemberian cengkeh
terhadap pertumbuhan mikroba.
5. Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa penambahan cengkeh
(Zyzygium Aromaticium) dan lama penyimpanan 30 hari dapat
menurunkan total mikroba burger, serta aman untuk dikonsumsi

16
DAFTAR PUSTAKA

Agus Kardinan, Ir.MSc., APU. 2005. Tanaman Pengusir & Pembasmi


Nyamuk.AgroMedia. Hal 92p 23 September 2005.
Bennet P, Brown M, Sharma P. 2012. Clinical Pharmacology. London: Elsevier.
Burt, S., 2004. Essential Oils: Their Antibacterial Properties and Potential
Applications in Foods - a Review. International Journal of Food
Dhanze H, Khurana SK and Mane BG (2013). Effect of seabuck thorn leaf
extract on microbiological qualityof raw chicken during extended
perMicrobiology (94), 223–253. lm.
Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Gaya Baru.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-5, 10-11.
Ganiswara S. G. 1995. Farmakologi dan Terapi ed. 4. UI-Fakultas Kedokteran.
Jakarta.
Hapsari, D.2000. Identifikasi dan kajian keamananmikrobiologi produk-
produk minuman sari jahe yang beredar di sekitar kota Bogor.
Skripsi.Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FakultasTeknologi
Pertanian, Institut PertanianBogor, Bogor.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. ITB Press, Bandung.
Saiful, Hadi. 2012. Pengambilan Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (cloves oil)
Menggunakan
Pelarut n-Heksana dan Benzena. Semarang.
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Alumni, Bandung.
Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B, et al., 2007.
Farmakologi Dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI
Kardinan, A., 1999. Prospek minyak daun (Melalenca bracteata) sebagai
pengendali populasi hama lalat buah (Broctocera dorsalis) di Indonesia.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 18 (1) : 10 – 16.
Keloko, L.L.O. 2016. Efektivitas Ekstrak Kulit Biji Kakao (Theobroma cacao L.)
Fraksi Semipolar (1:1) untuk Meningkatkan Daya Tahan Simpan Daging
Ayam pada Suhu Ruang. Skripsi, Fakultas Teknologi Industri Pertanian.
Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Available online at
http://www.lordbroken.com (Diakses 20 November 2018).
Kusuma, S.A.F. 2010. Makalah Escherichia coli. Fakultas Farmasi Universitas
Padjadjaran, Jatinangor.
Lai, P.K., and Roy, J.,2004. Antimicrobial and Chemopreventive Properties of
Herbs and Spice, Current Medicinal Chemistry, 11:1451-1460. Mann,
A., 2010. Review : Biopotency Role of Culinary Spice and Hebs and

17
their Chemical Constituents in Health and Commonly Used Spice in
Nigerian Dishes and Snacks, African J. Of Food Sci., 5 (3) : 111-124.
Maryati,Fauzia SR, Rahayu T. Uji akvitas antibakteri minyak atsiri daun
kemangi (ocimum vasillum L) terhadap Staphyloccocus aureus dan
Escherricia coli. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. Vol 8, no 1,
2007;30-38
Nurdjannah, N., Supriadi. E. Ferdinanti and B. Logawa, 2001. Antibacterial
activity of gargle solution containing clove oils. Proceeding International
Seminar on Natural Product Chemistry and Utilization of Natural
Resources Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Hal. 440 – 444.
Oekerman, H. W., 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10 th Ed. Departemen of
Animal Science. The
Ohio State Universiry and The Ohio Agricultural Reserarch and Development
Centre.
Pangaribuan, H. 2014. Uji Efektivitas Antimikroba Esktrak Kulit Biji Kakao
Kering (Theobroma cacao L.) Fraksi Polar, Semipolar, dan Nonpolar
terhadap Penghambatan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
[Skripsi]. Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadajaran, Jatinangor.
Thomas, P. R. 1984. Mempelajari pengaruh bubuk rempah-rempah terhadap
pertumbuhan kapang Aspergillus flavus Linn. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purseglove, J.W, E B. Brown, C. L green and S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Vol
I. Longman, London and New York P. 229 – 285.

18
19

Anda mungkin juga menyukai