Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TEKNOLOGI PANGAN HALAL

“ Metode Penyembelihan Hewan”

Nama dan NPM : M. Ikhsan P (240120180001)


Rini Setiawati (240120180005)
Dosen : Robi Andoyo, S.TP., M.Sc., P.hD.

MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
1. Pengertian Metode Penyembelihan.
Metode penyembelihan pada prinsipnya adalah dengan cara memutus 3 saluran
utama yang terdapat pada leher hewan ternak, yaitu saluran nafas/tenggorokan,
saluran makan dan saluran urat nadi utama yang harus terpotong secara sempurna.
Metode penyembelihan hewan dibedakan menjadi dua macam, yaitu metode
konvensional dan metode secara stunning. Metode konvensional merupakan cara
penyembelihan yang dilakukan tanpa adanya pemingsanan terlebih dahulu,
sedangkan metode stunning adalah cara penyembelihan hewan dengan
memberikan efek tidak sadar pada hewan, secara lebih jelas diuraikan pada
bahasan berikut ini.

Gambar 1. Metode penyembelihan sapi dengan memotong 3 saluran utama

A. Pengertian Penyembelihan Hewan Secara Stunning


Stunning adalah proses untuk menghilangkan kesadaran dan
perasaan hewan yang disembelih. Menyembelih hewan secara mekanis
(Stunning) adalah salah satu istilah teknis dalam ilmu perternakan yang
banyak dipraktekkan dalam penyembelihan.
Singkatnya stunning adalah menembak hewan dengan
menggunakan peluru khusus yang mengenai sisi tanduknya sehingga
hewan menjadi tak sadarkan diri, dan ketika sedang tidak sadarkan diri
hewan tersebut ketika disembelih. Perlakuan ini dapat mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit ketika di sembelih.
Metode konvensional dengan menggorok leher hewan dianggap
menyakiti hewan, oleh karenanya seiring berjalannya kemajuan teknologi,
orang-orang eropa mengembangkan teknik stunning atau pemingsanan
sebelum melakukan penyembalihan.
Saat ini ada banyak cara modern untuk membuat hewan menjadi pingsan,
contohnya antara lain :
1. The Captive Bolt Pistol (CBP)
Cara ini umum dilakukan oleh para peternak sapi saat ini. CBP ditembakkan ke
bagian tengkorak hewan sehingga menyebabkan guncangan pada otak dan
membuat hewan tidak sadarkan diri. Baru setelah itu hewan disembelih.

Gambar 2. The Captive Bolt Pistol (CBP)

2. Electric Head- only Stunning


Electric head- only stunning dijepitkan pada kepala hewan ternak, biasanya sapi,
kambing, atau domba. Setelah dijepitkan operator akan mengalirkan arus listrik
yang akan langsung melalui otak dan menyebabkan hewan kehilangan kesadaran.

Gambar 3. Electric Head- only Stunning

3. Waterbath Stunning
Cara ini biasa digunakan untuk membuat pingsan hewan ternak seperti ayam,
kalkun, bebek, atau angsa. Kepala unggas dicelupkan ke dalam air yang telah
dialiri arus listrik. Namun sering kali unggas mati ketika melewati metode ini.
Gambar 4. Waterbath Stunning

B. Metode Stunning pada Penyembelihan Sapi


Sapi yang diamati dengan pelakuan pemingsanan sebelum penyembelihan
dipingsankan menggunakan captive stun gun non-penetrating. Stun gun yang di
gunakan di RPH di Indonesia adalah tipe Cash Magnum Knocker caliber 0,25
diproduksi oleh Accles dan Shelvoke. Metode ini dapat menyebabkan trauma ke
korteks otak tanpa penetrasi ke dalam tengkorak sehingga menyebabkan
ketidaksadaran melalui pelemahan sistem syaraf. Metode ini bertujuan untuk
memudahkan dalam proses penyembelihan. Perbedaan waktu dari kedua metode
tersebut ketika jantung sapi dapat memompa darah lebih stabil tanpa adanya
peningkatan frekuensi jantung. Penurunan tekanan jantung terutama ventrikel
selama pengeluaran darah terjadi karena penuruanan oksigen darah pada
miokardium. Respirasi pada hewan yang dipingsankan akan menurun sehingga
distribusi oksigen ke jantung juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekuatan
frekuensi jantung dan tekanan darah menurun. Kondisi tersebut yang
menyebabkan waktu henti darah lebih lama dibandingkan dengan metode
konvensional.
1) Pengaruh metode stunning terhadap lama waktu pengeluaran darah
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herwin Pisestyani menunjukkan hasil
perbedaan waktu henti darah yang memancar pada sapi dengan dan tanpa
pemingsanan, seperti ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.
Terlihat perbedaan waktu dalam mengeluarkan darah dari kedua metode
tersebut. Metode stunning (pemingsanan) membutuhkan waktu maksimum
sebesar 4,33 menit dengan minimum 1,53 dan rataan 3,02 menit, sedangkan
dalam penyembelihan metode konvensional memiliki waktu maksimum sebesar
3,14 menit dengan minimum 1,04 menit dan rataan 2,13 menit. Sehingga
perbedaan dalam kedua metode ini adalah 53,4 detik.
Menggunakan metode tanpa pemingsanan dapat mempercepat proses
pengeluaran darah karena adanya oksigen yang masuk ke jantung dan memompa
darah lebih cepat keluar.
Kesempurnaan pengeluaran darah merupakan syarat kualitas daging yang
dihasilkan baik. Kontraksi dan aktifitas jantung merupakan faktor yang
mempengaruhi pengeluaran darah otot-otot hewan. Oleh sebab itu selama
penyembelihan hewan harus dibiarkan berkontraksi hingga mati sempurna setelah
itu baru dilakukan penggantungan dan pelepasan kulit.

b) Pengaruh Metode Stunning terhadap nilai pH daging


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prima Ayu Wibawati, dkk.
dengan menggunakan ayam broiler dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Dimana
metode penyembelihan diberi perlakuan pemingsanan elektrik menggunakan
metode waterbath electrical stunning sebelum penyembelihan unggas sudah
banyak di tetapkan di rumah potong unggas (RPU). Pemingsanan dengan aliran
listrik mengakibatkan hewan hilang kesadaran dalam waktu cukup untuk
memastikan kesadaran hewan kembali sebelum penyembelihan menuju kematian.
Pada Tabel berikut ini menunjukkan rata-rata nilai pH ayam broiler pada 3 menit
dan 24 jam Posmortem (setelah penyembelihan).
Uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata terhadap nilai pH
antara broiler yang di pingsankan dengan yang tidak dipingsankan. Nilai pH
daging broiler dipingsankan lebih rendah dibandingkan nilai pH yang tidak
dipingsankan. Nilai pH menurun secara signifikan selama postmortem dan nilai
pH terendah yaitu pada 24 jam postmortem (p0,05)
Tabel 1. Menunjukan bahwa keasaman (pH) tertinggi (6.85±0,21) musculus
fibularis longus ayam broiler pada P0 segera setelah pemotongan, kemudian
mengalami penurunan dengan semakin lamanya jangka waktu setelah
pemotongan (24 ajm postmorte) hal ini menunjukan bahwa dengan terhentinya
suplai oksigen setelah hewan mati menyebabkan terhentinya pula proses respirasi.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat hasil pemecahan glikogen
secara anaerob yang mengakibatkan terjadinya penurunan pH.
Nilai pH kelompok P1 lebih rendah dari pada P0 sesuai dengan pernyataan
bahwa stimulasi listrik mempercepat proses postmortem. Stimulasi listrik
terhadap karkas telah terbukti mempercepat habisnya ATP (adenosine
triphospate) dan penurunan pH pada unggas, mempercepat glikolisis pada daging,
mencegah pemendekan otot karena temperatur dingin yang disebut cold-
shortening dan meningkatkan keempukan daging.
Nilai pH daging menentukan sifat dan kimia tertentu pada daging
seperti kapasitas pengikat air, keempukan, dan warna daging. Terdapat
kondisi abnormal pada daging unggas yang dikenal sebagai daging Pale,
Soft, Exudative (PSE) dan Dark, Firm, Dry (DFD). Daging DFD dengan
PSE rentan dengan pH akhir >6,3 sangat rentan terhadap kontaminasi
mikroba. Nilai normal pH daging broiler pada 15 menit postmortem yaitu
5,7-6,1 pH nilai pH ≤ 5,6 untuk kondisi daging PSE dan nilai pH ≥6,0 untuk
kondisi daging DFD.
C. Kualitas Fisik Daging Sapi dengan Waktu Istirahat Berbeda Sebelum
Pemotongan

Pada artikel ini dilakukan penelitian mengenai identifikasi proses


pengeluaran darah (eksanguinasi) dan kualitas fisik daging yang meliputi pH
daging, daya mengikat air, susut masak, dan keempukan pada sapi Brahman
cross steer berdasarkan waktu istirahat yang berbeda. Waktu pengistirahatan
yang digunakan dalam penelitian ini ialah 3, 6, 12 dan 24 jam.
Waktu henti darah memancar pada sapi yang diistirahatkan selama 24
jam memiliki nilai rata-rata waktu henti sebesar 4,72 menit. Pemberian waktu
istirahat yang lebih lama sebelum proses pemotongan memberi pengaruh
positif terhadap waktu henti darah. Waktu henti darah memancar sangat
dipengaruhi oleh frekuensi jantung sebelum proses pemotongan.
Waktu normal yang dibutuhkan untuk mengistirahatkan ternak sebelum
pemotongan sekitar 12-24 jam (Ferguson et al. 2007). Hal ini menunjukan
jika semakin lama waktu pengistirahatan ternak sebelum dipotong dapat
mempercepat waktu henti darah. Jika ternak terlalu cepat diistirahatkannya,
pada saat pemotongan ternak akan mengalami stres, sehingga tekanan darah
mengalami peningkatan akibat penyempitan pembuluh darah kapiler pada
jaringan.
Nilai pH pada Sapi yang diberi perlakuan istirahat lebih pada sebelum
dipotong mengalami penurunan pH lebih cepat jika dibandingkan dengan sapi
yang diberikan istirahat hanya 3-6 jam saja. lambatnya penurunan pH pada
sapi yang diistirahatkan 3-6 jam dapat terjadi karena ternak mengalami stres
yang disebabkan oleh kurangnya waktu istirahat setelah ternak melalui proses
transportasi dan penanganan yang kurang baik dari kandang penampungan
menuju restrain box. Aberle et al. (2001) melaporkan bahwa nilai pH pada
otot setelah proses pemotongan akan mengalami penurunan hingga mencapai
pH ultimat yang berkisar antara 5,3-5,7. Jika nilai pH ultimat yang tinggi
pada daging menyebabkan penurunan kualitas daging seperti tekstur yang
kasar dan kering, warna yang lebih gelap, alot dan penurunan juiceness
daging (Weglarz 2010)
Tingginya daya mengikat sangat dipengaruhi oleh nilai pH ultimat dari
daging. pH daging yang tinggi mengakibatkan daging memiliki kemampuan
mengikat air yang tinggi (Węglarz 2010). Keberadaan lemak intramuskular
(lemak marbling) juga menyebabkan longgarnya ikatan mikrostruktur serabut otot
daging sehingga banyak tersedia ruang bagi protein daging untuk mengikat air
(Riyanto 2001).

D. Perbandingan Penyembelihan Halal Dengan Captive Bolt Stunning:


Pengeluaran Darah dan Parameter Kualitas

Penyembelihan hewan tanpa pemingsanan, atas dasar agama, diizinkan


dalam UU DK, melalui Peraturan Kesejahteraan Hewan (Penyembelihan dan
Pembunuhan) 1995 (Kementerian Perikanan Pertanian dan Pangan [MAFF]
1995). Penyembelihan dengan metode Yahudi (Shechita) atau Muslim (Halal)
juga diperbolehkan di beberapa bagian Eropa dan di negara-negara Westem
tertentu. Namun, sementara beberapa negara Eropa telah melarang penyembelihan
tanpa stunning, sementara yang lain terus memperdebatkan masalah kontroversial
ini. Ada sejumlah masalah kesejahteraan yang berkaitan dengan penanganan pre-
shlaughter (Dunn 1990; Anil et al 1993; Grandin 1987, 1994) terutama, rasa sakit
dan kesulitan selama pemotongan leher dan durasi sensibilitas pada periode
setelah penyembelihan sebelum kehilangan fungsi otak. (Daly et al 1988; Kalweit
et al 1989; Anil et al 1995a). Dewan Kesejahteraan Hewan Ternak (FAWC),
setelah mempertimbangkan masalah-masalah ini, menyimpulkan bahwa
penyembelihan agama tanpa stunning akan membahayakan kesejahteraan hewan.
Salah satu masalah yang paling diperdebatkan berkaitan dengan efisiensi
pendarahan, yang diklaim, oleh mereka yang mendukung penyembelihan secara
agama, menjadi lebih baik ketika pemingsanan tidak digunakan. Bleed-out yang
efektif adalah prasyarat untuk metode penyembelihan Yahudi (Shechita) dan
Muslim (Halal).

E. Pengaruh Teknik Penyembelihan Pada Bleed-Out, Darah Dalam Trakea


Dan Percikan Darah Di Paru-Paru Ternak

Undang-undang Perlindungan Hewan Afrika Selatan, yang mengharuskan


hewan dipingsankan sebelum disembelih, memungkinkan pengecualian tertentu
untuk mengakomodasi pembantaian agama. Para pendukung metode Yahudi
penyembelihan (Shechita), di mana hewan disembelih tanpa pra-menakjubkan,
mengklaim bahwa perdarahan dan beberapa parameter kualitas lebih baik
daripada ketika hewan tertegun sebelum disembelih. Dalam penelitian ini,
membandingkan persentase kehilangan darah (BL%), adanya darah di trakea
(BLT%) dan percikan darah di paru-paru (BS%), antara kelompok Shechita
(Kosher) dan kelompok sapi yang disembelih secara konvensional. Hasil
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
perlakuan dalam hal kehilangan darah, meskipun kelompok konvensional
memiliki perdarahan yang lebih tinggi. Namun, ada perbedaan yang signifikan
dalam keberadaan darah di trakea dan percikan darah di paru-paru, dengan
kelompok Kosher memiliki yang tertinggi persentase cacat kualitas ini. Dari 170
hewan yang diperiksa untuk halal, 93% memiliki lapisan darah trakea, mulai dari
satu hingga lebih dari 50%. Dari 141 hewan yang diperiksa untuk disembelih
secara konvensional, 97% tidak memiliki darah yang melapisi trakea sedangkan
3% sisanya memiliki kurang dari 10% darah yang melapisi batang
tenggorokan. Lebih jauh lagi, 65% hewan yang disembelih dengan cara Kosher
mengalami percikan darah mulai dari 5% hingga lebih dari 50%, sedangkan
kelompok konvensional hanya memiliki 0,7% kejadian percikan darah di paru-
paru. Hasil ini menunjukkan bahwa menyembelih hewan tanpa pemingsanan tidak
memperbaiki perdarahan, tetapi meningkatkan darah di trakea dan percikan darah
di paru-paru.

F. Prosedur Penyembelihan secara stunning


Penyembelihan hewan ternak dengan menggunakan mesin dan disertai
pemingsanan terlebih dahulu sehinggah dapat mempermudah dan mempercepat
penyembelihan yang lazim dengan istilah penyembelihan secara mekanis, proses
penyembelihan hewan secara mekanis adalah sebagai berikut:
Sebelum disembelih, hewan ternak dipingsankan terlebih dahulu dengan listrik.
a. Setelah dipingsankan, hewan yang akan disembelih tetap dalam keadaan
hidup(bernyawa) sehingga jika tidak jadi disembelih tetap dapat hidup
secara normal.
b. Sesudah dipingsankan, hewan tersebut baru dipotong dengan
menggunakan pisau yang tajam sehingga dapat memutuskan saluran
pernafasan saluran makanan, dan dua urat leher.
c. Pemotongan hewan dilakukan oleh petugas pemotongan hewan yang
beragama Islam dan terlebih dahulu membaca basmalah.
d. Sesudah dipotong dan darahnya telah berhenti mengalir, maka isi perut
hewan tersebut dikeluarkan semua dan selanjutnya dagingnya dipotong-
potong.

Daftar Pustaka
Adhyatma, M., H. Nuraini., A. Yani. 2017. Proses Eksanguinasi dan Kualitas
Fisik Daging Sapi Bahman Cross dengan Istirahat Berbeda sebelum
Potong. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Ternak. Vol 05.
Pg: 106-109.
Ayu Wibawati, Estoepangetie, Mufasirin, dkk. 2016. Pengaruh Pemingsanan
Elektrik terhadap Nilai pH Musculus Fibularis Longus Ayam Broiler.
Veterina Medika Vol. 9, No. 3.

B. Agbeniga & E.C. Webb. 2012. Effect of slaughter technique on bleed-out,


blood in the trachea and blood splash in the lungs of cattle. South
African Journal of Animal Science 2012, 42 (Issue 5, Supplement 1)
MH Anil*t, T Yesilderet, H Aksut,EMaturt,jL McKinstryt, et all. 2006.
Comparison of Halal Slaughter With Captive Bolt Stunning and Neck
Cutting In Cattle: Exsanguination and Quality Parameters. Animal
Welfare 2006, 15: 325-330 ISSN 0962-7286.
Pisestyani, H, Nadhear Nadadyanha Dannar, Koekoeh Santoso dkk. 2015.
Kesempurnaan Kematian Sapi Setelah Penyembelihan Dengan dan
Tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah
Memancar. ACTA Veterinaria Indonesiana ISSN 2337-3202, E-ISSN
2337-4373 Vol. 3, No. 2: 58-63.

Anda mungkin juga menyukai