Anda di halaman 1dari 26

HAKIKAT IPA & KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN IPA

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah konsentrasi


Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SD
Dosen Pengampu
Dr. Pratiwi Pujiastuti,M.Pd.

Oleh :
1. Kun Hisnan Hajron 17712251085
2. Joko Suprapmanto 17712251051

PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah konsentrasai Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) SD “Hakikat IPA & Karakteristik Pembelajaran IPA”.
Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat pengetahuan kepada penulis, teman-
teman satu kelas, dan dapat diterima oleh Bapak Dr.pratiwi Pujiastuti,M.Pd., selaku
dosen pengampu mata kuliah konsentrasi IPA SD.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan tugas makalah ini, maka
penulis mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun sehingga dapat
dijadikan acuan dan tolok ukur dalam pembuatan tugas selanjutnya agar hasilnya
lebih baik.

Yogyakarta, 16 September 2018


Penulis
A. HAKIKAT IPA

Sebagai seorang yang telah mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan


alam, terkadang kita lupa membahas apa hakikat IPA itu sendiri. Padahal dasar
atau landasan awal yang mampu mengarahkan kita pada ruh IPA yang
sebenarnya adalah ketika kita sudah memahami apa IPA itu sebenarnya.

Secara umum telah dipahami bahwa ilmu pengetahuan alam yang biasa
disingkat IPA merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang fenomena dan
kejadian alam, Namun ada syarat ketika pengetahuan tersebut dapat disebut IPA.
Darmojo (1992: 3) menjelaskan IPA adalah pengetahuan yang rasional dan
objektif tentang alam semesta dengan segala isinya dan ditambahkan oleh Hewit
(2007: 14) Ilmu pengetahuan merupakan hasil dari pengamatan, akal sehat,
pemikiran rasional dan ide. Sejalan dengan hal tersebut, Mariana & Praginda
(2009: 27) menjelaskan IPA lebih rinci fokus dalam pembahasan permasalahan
terkait fenomena gejala fisik alam, kehidupan, sifat materi benda, kebumian &
antariksa. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa IPA merupakan cabang
ilmu yang mempelajari tentang fakta dan fenomena yang terjadi pada alam
berdasarkan kerasionalan dan objektifitas.

Ilmu pengetahuan alam dapat diartikan secara luas tergantung dari sudut
pandangnya (Collete & Chiappetta, 1994: 32). Kita pahami bahwa IPA sendiri
telah dibagi dalam beberapa cabang ilmu yang memiliki cakupan yang cukup
luas. IPA dapat juga diartikan sebagai suatu proses kegiatan ilmiah untuk
mendapatkan pengetahuan baru, dimana hasil dari temuan dari proses ilmiah
tersebut disebut produk ilmiah dan prosedur yang dilakukan disebut metode
ilmiah. Metode ilmiah dilalui dengan tahapan pengamatan, perumusan masalah,
membuat hipotesis, mengumpulkan data dan menarik kesimpulan (CPO Science,
2007). Hal ini diperkuat oleh Sape (2013: 3) yang menyatakan IPA adalah ilmu
pengetahuan yang telah diuji kebenarannya melalui metode ilmiah.
Shermer (1995: 26) Mengatakan bahwa hal terpenting dari IPA adalah
tentang mengetahui mengapa suatu hal terjadi. Ilmu pengetahuan alam adalah
cara untuk bertanya dan menjawab tetang bagaiman dunia kita bekerja dan
bagaimana cara kita berinteraksi dengan lingkungan fisik kita. Ilmu pengetahuan
alam tidak hanya menggabungkan gagasan dan teori dasar tentang alam semesta,
namun juga menyediakan kerangka belajar dalam mengatasi pertanyaan dan
masalah baru dengan cara kita sendiri (trefil & hazen, 2010). Selain sebagai
penyelesai masalah, Ilmu pengetahuan alam juga dapat dapat diartikan sebagai
kumpulan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengeksplor alam kaitanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Woodburn & George menyatakan
secara sederhana ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai alat yang digunakan
untuk mendeskripsikan dan mengatur fenomena alam, dimana sebagai metode
IPA bersifat stabil dan dapat dipergunakan secara universal, tetapi sebagai
sumber pengetahuan IPA dapat selalu berubah ( carin & sund, 1970: 2). IPA
adalah studi tentang alam dalam upaya untuk memahaminya dan membentuk
kumpulan pengetahuan yang memiliki daya prediksi dan aplikasi dalam
masyarakat (Chiappetta & koballa, 2010: 102)

IPA memiliki dasar atau elemen yang harus dipahami (hakikat IPA). Hakikat
IPA adalah landasann dalam berpijak dalam mempelajari alam (tursinawati,
2013). Ipa memiliki 3 aspek dasar yang meliputi way of thiking, way of
investigating, dan body of knowledge yang berarti kumpulan pengetahuan
(Collette & chiapetta,1994).

Carin & sund menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan alam memiliki 3 elemen
yaitu:

a. Sikap sains (scientific attitudes) yang merupakan sikap yang harus


dimilki seseorang atau peneliti dalam memecahkan masalah. Adapun
sikap sains meliputi: rasa ingin tahu, kerendahan hati, keraguan (skeptis),
keterbukaan pikiran, mnghindari dogmatism, positif dalam menyikapi
kegagalan, dan objektif.
b. Proses atau metode sains (scientific methods) tahapan seseorang atau
peneliti dalam memecahkan masalah. Proses sains antara lain:
mengamati, mengklarifikasi, mengukur dan membuat hipotesis,
mendeskripsikan, membuat kesimpulan berdasarkan data, mengajukan
pertanyaan mendalam tentang alam, merumuskan masalah, merancang
investigasi termasuk eksperimen, melakukan percobaan, dan membangun
dari data, prinstip, hukum serta teori.
c. Produk sains (scientific product) merupakan hasil dari pemecahan
masalah yang berupa konsep, prinsip dan teori.

Chiapetta & Koballa (2010: 105) menyatakan bahwa dimensi atau aspek as
themes of scientific literacy (tema literasi sains) mengikuti hakikan IPA yakni: 1.
Science as way of thinking (IPA sebagai cara berfikir); 2. Science as way of
investigating (IPA sebagai cara mengidentifikasi); 3. Science as a body of
knowledge (IPA sebagai kumpulan pengetahuan); 4. Science and its interaction
with technology and society (IPA serta interaksinya dengan tekhnologi dan
masyarakat).
Pembelajaran IPA merupakan pembelajaran yang menerapkan hakikat IPA
itu sendiri. Pebelajaran IPA tidak hanya berupa penguasaan sekumpulan
pengetahuan yang berupa fakta, konsep atau prinsip, namun juga proses
penemuan dan pembentukan sikap ilmiah (tursinawati, 2013). Tujuan
pembelajaran IPA ada 2, yaitu tujuan khusus dan umum. Tujuan khusus adalah
diterapkanya pembelajaran yang berorientasi pada hakikat IPA yakni sikap,
proses, dan produk mlalui kegiatan yang berbasis inquiri. Tujuan umum adalah
menghasilkan peserta didik yang memiliki literasi sains sehingga membantu
mereka memahami IPA secara menyeluruh dan lebih luas dalam kehidupan
sehari-hari (Toharudin, hendrawati & rustaman 2011).
Ketika berbicara mengenai pembelajaran, maka hal terpenting adalah
bagaimana prosesnya mampu memaksimalkan serta menjembatani karakter anak
serta fase pertumbuhanya dengan kesiapanya menerima materi IPA. Piaget
menyatakan bahwa pengalaman langsung yang memegang peranan penting
sebagai pendorong lajunya perkembangan kogntif anak (Hadisubroto, 1996: 28).
Hal ini sejalan dengan Samatowa (2011: 5) yang mengungkapkan bahwa anak
akan siap untuk mengembangkan konsep tertentu hanya bila ia telah memiliki
struktur kognitif (skemata) yang menjadi pasyarat yakti perkembangan kognitif
yang bersifat hirarkis dan integratif.

B. EVERY CHILD IS SCIENTIST

Ketika berbicara mengenai IPA, tentu saja merupakan hal yang patut
diusahakan untuk ditanamkan kepada setiap orang. Namun ketika berbicara
mengenai anak, kita masih sedikit ragu untuk memasukan IPA sebagai salah satu
materi yang harus diajarkan. Shermer (2005: 26) menyatakan bahwa secara
alamiah setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan memahami penyebab dan
akibat dari suatu hubungan. Contohnya adalah ketika anak kecil memakan cabai
lalu kepedasan, maka ia akan berhenti memakan cabai tersebut (one-trial
learning). Contoh lain lagi ketika bayi merangkak diatas kaca transparant yang
sempit, ia akan menjadi khawatir dan mencoba mencari jalur yang tidak
transparant. Ini membuktikan secara alami, bayi sudah Mengetahui mana yang
aman dan tidak aman untuknya.

Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan penuh semangat dalam
mengeksplorasi dunia mereka. Anak-anak ingin tahu segalanya, dan jika mereka
menemukan seseorang yang mengetahui apa saja, yang biasanya dimulai dengan
ibu dan ayah, pertanyaannya dimulai, dan sepertinya tidak pernah berakhir.
Mengapa langit Berwarna biru? Apa angin itu? Mengapa dingin di musim dingin
dan panas di musim panas? Apa yang membuatnya hujan? Seperti nenek moyang
kita, anak-anak mulai dengan pertanyaan tentang lingkungan alam. Wajar jika
ingin tahu cara kerja dan mengapa dunia itu seperti itu. Pada tingkat yang paling
dasar, inilah ilmu pengetahuan IPA sebagai pengetahuan yang berasal dari fakta-
fakta pengalaman (Shermer, 2005: 6).

Ilmu pengetahuan harus didasarkan pada apa yang dapat kita lihat, dengar
dan sentuh, bukan pada pendapat pribadi atau imajinasi spekulatif. Jika
pengamatan dunia dilakukan dengan hati-hati, tanpa prasangka maka fakta-fakta
yang ditetapkan akan menjadi dasar yang obyektif bagi sains.

Carl Sagan pernah berkata, Setiap orang lahir sebagai seorang ilmuwan.
Setiap anak memiliki ciri ilmuan yaitu rasa penasaran dan kekaguman (National
Research Council, 1998: 1). Siswa harus dapat mengajukan pertanyaan, membuat
penjelasan, menguji penjelasan tersebut terhadap pengetahuan ilmiah saat ini,
dan mengkomunikasikan ide-idenya kepada orang lain.

Mempelajari "apa arti sebenarnya" dalam sains adalah suatu hal yang
diharuskan. Hampir setiap orang dapat mengingat fakta, tetapi tanpa prinsip yang
mendasari, detailnya menjadi tidak jelas. Fakta dan prinsip adalah suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan. Feynman menjelaskan bahwa fakta harus didukung
pemahaman tentang rinsipnya. Contohnya ketika seseorang mengetahui nama
jenis seekor burung tapi tanpa mengetahui bagaimana ciri khususnya maka
pengetahuanya bisa dikatakan sangat sedikit. (Shermer, 2005: 6).
C. PEMBELAJARAN IPA di SD

1. Karakteristik Pembelajaran IPA di SD


Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Karakteristik
sangat dipengaruhi oleh sifat keilmuan yang terkandung pada masing-masing
mata pelajaran. Perbedaan karakteristik pada berbagai mata pelajaran akan
menimbulkan perbedaan cara mengajar dan cara siswa belajar antar mata
pelajaran satu dengan yang lainnya. IPA memiliki karakteristik tersendiri
untuk membedakan dengan mata pelajaran lain. Harlen (Bundu, 2006: 10)
menyatakan bahwa ada tiga karakteristik utama Sains yakni:
Pertama, memandang bahwa setiap orang mempunyai kewenangan untuk
menguji validitas (kesahihan) prinsip dan teori ilmiah meskipun kelihatannya
logis dan dapat dijelaskan secara hipotesis. Teori dan prinsip hanya berguna
jika sesuai dengan kenyataan yang ada.
Kedua, memberi pengertian adanya hubungan antara fakta-fakta yang
diobservasi yang memungkinkan penyusunan prediksi sebelum sampai pada
kesimpulan. Teori yang disusun harus didukung oleh fakta-fakta dan data
yang teruji kebenarannya.
Ketiga, memberi makna bahwa teori Sains bukanlah kebenaran yang akhir
tetapi akan berubah atas dasar perangkat pendukung teori tersebut. Hal ini
memberi penekanan pada kreativitas dan gagasan tentang perubahan yang
telah lalu dan kemungkinan perubahan di masa depan, serta pengertian
tentang perubahan itu sendiri.
Ilmu Pengetahuan Alam sebagai disiplin ilmu memiliki ciri-ciri
sebagaimana disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri
umum, juga mempunyai ciri khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari
suatu ilmu pengetahuan adalah merupakan himpunan fakta serta aturan yang
yang menyatakan hubungan antara satu dengan lainnya (Djojosoediro, 2010)
Ilmu Pengetahuan Alam sebagai disiplin ilmu memiliki ciri-ciri
sebagaimana disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri
umum, juga mempunyai ciri khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari
suatu ilmu pengetahuan adalah merupakan himpunan fakta serta aturan yang
yang menyatakan hubungan antara satu dengan lainnya. Fakta-fakta tersebut
disusun secara sistematis serta dinyatakan dengan bahasa yang tepat dan pasti
sehingga mudah dicari kembali dan dimengerti untuk komunikasi
(Prawirohartono, 1989: 93).
Sebagai ilmu, IPA memiliki karakteristik yang membedakannya dengan
bidang ilmu lain (Djojosoediro, 2010: 20). Ciri-ciri khusus tersebut
dipaparkan berikut ini.
a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat
dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah
dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya. Contoh:
nilai ilmiah ”perubahan kimia” pada lilin yang dibakar. Artinya benda
yang mengalami perubahan kimia, mengakibatkan benda hasil perubahan
sudah tidak dapat dikembalikan ke sifat benda sebelum mengalami
perubahan atau tidak dapat dikembalikan ke sifat semula.
b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-
gejala alam. Perkembangan IPA selanjutnya tidak hanya ditandai oleh
adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga ditandai oleh munculnya “metode
ilmiah” (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian ”kerja
ilmiah” (workingscientifically), nilai dan “sikapi lmiah” (scientific
attitudes) (Depdiknas, 2006).
c. IPA merupakan pengetahuan teoritis yang diperoleh atau disusun dengan
cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi,
eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi
dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara
yang lain
d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan dengan
baganbagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil
eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan
observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006).
e. IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk
dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi
pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan
atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi,
pengukuran, dan penarikan kesimpulan. Aplikasi merupakan penerapan
metode atau kerja ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap merupakan rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk
hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang
dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar.

Sebagai proses IPA mencakup 6 ketrampilan, yang pada nantinya


digunakan sebagai landasan untuk metode ilmiah (Padilla, 1990: 5). Adapun 6
ketrampilan tersebut adalah Observation, , Classification, Measurement,
Inference, Prediction, Communication (Padilla, 1990: 5), (Sappe, 2013: 3)

a. Pengamatan
Pengamatan adalah penggunaan indra secara langsung ataupun tidak
langsung menggunakan alat bantu untuk memperoleh kesan, fakta atau
informasi tentang objek dan kejadian. Pengamatan merupakan proses yang
paling dasar karena dengan pengamatan beberapa keterampilan proses lain
dapat digali dan diperdalam.
Anak didik dapat dikatakan telah menguasai keterampilan pengamatan
apabila telah dapat mendiskripsikan ciri-ciri suatu objek dan perubahannya
secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemampuan pengamatan akan
mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

b. Pengukuran
Mengukur adalah membandingkan secara langsung atau tidak langsung.
Suatu alat ukur dengan unit-unit tertentu agar komunikasi dapat
distandarisasikan. Mengukur adalah membuat hasil observasi secara kualitatif
menjadi kuantitatif.
Anak didik dianggap menguasai keterampilan mengukur, bila telah
mampu menyajikan hasil pengukuran secara kuantitatif dengan alat dan satuan
yang tepat.
c. Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokkan fenomena menurut skema yang
mapan. Skema klasifikasi didasarkan pada kesamaan dan pebedaan sifat yang
diperoleh dalam menentukan sifat-sifat terpilih untuk kriteria
pengelompokkan. Klasifikasi adalah proses yang digunakan ilmuan untuk
mengadakan penataan atas objek-objek, kejadian dan atau informasi ke dalam
golongan atau kelas dengan menggunakan cara atau sistem tertentu.

Anak didik dikatakan menguasai keterampilan klasifikasi apabila telah


dapat melakukan keterampilan berikut :

1) Mengidentifikasi dan memberi nama sifat-sifat yang dapat diamati dari


suatu kumpulan objek yang digunakan sebagai dasar pengelompokan
objek tersebut.
2) Menyusun klasifikasi satu tingkat, dua tingkat dan multi tingkat sesuai
kumpulan objek dan menuliskan nama sifat yang dapat diamati sebagai
dasar untuk pengelompokan objek tersebut.
d. Inferensi
Inferensi adalah sebuah persyaratan yang dibuat berdasarkan fakta hasil
observasi. Sebagian besar pendapat seseorang berdasarkan inferensi. Inferensi
hanyalah penjelasan sementara dan bukan merupakan akhir dari hasil
pengamatan. Inferensi sering berubah ketika mendapatkan hasil pengamatn
baru. Kemampuan anak didik melakukan inferensi dapat dilihat dari
kemampuannya untuk :

1) membedakan antara observasi dan inferensi.


2) melakukan inferensi berdasarkan data dari hasil obsevasi.

e. Prediksi
Prediksi adalah ramalan tentang kejadian yang dapat diamati pada waktu
yang akan datang. Memprediksi berkaitan erat dengan observasi yaitu
formulasi hasil yang diharapkan berdasar pada pengalaman yang lampau dan
pada masalah yang sedang diprediksi.

Kemampuan anak didik melakukan prediksi dapat dilihat pada


kemampuan anak membuat suatu ramalan yang tepat berdasar pada
kecenderungan data hasil obseravsi masa lalu.

f. Komunikasi
Setiap komunikasi harus jelas, tepat dan tidak mendua baik secara lisan
maupun tertulis. Kemampuan keterampilan komunikasi dapat dilihat dari
kemampuan mahasiswa dalam :

1) Menyusun dan mendeskripsikan data yang diperoleh dari suatu


pengamatan/ penelitian.
2) Membaca dan menulis grafik dari suatu data
3) Mendeskripsikan hubungan antara variabel dan kecenderungan yang
ditampilkan pada grafik.

Selain ketrampilan proses di atas, juga terdapat ketrampilan proses terpadu,


adapun ketrampilan tersebut adalah:

a. Identifikasi Variabel
Identifikasi variabel adalah menandai karakteristik objek atau factor
dalam suatu peristiwa atau kejadian yang tetap dan berubah di dalam
kondisi yang berbeda. Ada tiga jenis variabel yang perlu diperkenalkan
kepada mahasiswa PGSD sebagai calaon guru sekolah dasar yaitu :

1) Variabel bebas, yaitu variabel yang sengaja diubah-ubah dalam


penelitian atau percobaan.
2) Variabel terikat, yaitu variabel yang berubah akibat perubahan variabel
bebas.
3) Variabel kontrol, yaitu variabel yang sengaja dibuat konstan untuk
mendapatkan hasil yang mantap.
Kemampuan identifikasi variabel dapat dilihat dari kemampuan
mahasiswa menetapkan variabel bebas, variabel terikat, dan variabel
control suatu peristiwa atau kejadian.
b. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan yang merupakan jawaban sementara tentang
hubungan atas alasan yang mungkin ditemukan di dalam percobaan atau
penelitian. Hipotesis biasanya dipakai sebagai penuntun dalam penelitian.
Ada beberapa macam hipotesis yang biasa digunakan, yaitu :

1) Makin………………………………..., semakin……………………
Makin luas permukaan yang terkena udara, semakin cepat penguapan
air yang terjadi.
2) Jika…………………………… …...…, maka....................
Jika tanaman tidak mendapat sinar matahari, maka tanaman akan mati.

3) H1:
Ada……………………………...

Ada hubungan antara kemampuan keterampilan proses IPA dengan


prestasi belajar siswa.

4) H0: Tidak ada………………………..


Ada hubungan antara kemampuan proses IPA dengan prestasi belajar
siswa. Kemampuan merumuskan hipotesis dapat dinilai dari
kemam-puan siswa merumuskandugaan tentanghubungan alasan yang
ditemukan dalam percobaan.

c. Perencanaan Eksperimen

Eksperimen dapat didefinisikan sebagai usaha sistematis yang direncanakan


untuk menghasilkan data untuk menjawab suatu masalah atau menguji suatu
hipotesis. Eksperimen adalah suatu proses yang rumit dan mencakup beberapa
keterampilan proses lainnya. Baik keterampilan dasar maupun keterampilan
proses terpadu, danyerdiri dari beberapa langkah. Dab Nelson dalam Carin,
1993 mengemukakan sepuluh langkah untuk merancang eksperimen bagi anak
sekolah dasar (Srini M.Iskandar, 1996). Langkahlangkah tersebut adalah:

1) Pertanyaan
Guru mendorong anak untuk mengajukan pertanyaan yang dapat dites
atau diuji yang menarik minat mereka. Misalnya, apakah anak laki-laki
mempunyai debar jantung yang lebih cepat daripada anak perempuan?
2) Hipotesis
Hipotesis merupakan pertanyaan yang diharapkan sebagai penemuan dalam
eksperimen. Misalnya, “Saya pikir anak perempuan mempunyai debar jantung
lebih cepat daripada anak laki-laki”

3) Variabel Bebas
Menandai variabel independen dalam eksperimen. Misalnya, Jender (anak
laki-laki dan perempuan) merupakan variabel bebas dan merupakan satu
satunya perbedaan antara kedua kelompok eksperimen.

4) Variabel Tergantung
Menentukan variabel dependent darisuatu eksperimen
yang akan dilakukan, dalam hal ini debar jantung.

5) Variabel Kontrol
Perbedaan lain dari kelompok eksperimen harus dikendalikan. Misalnya:
ukuran badan, kesehatan, umur dan lainlain. Hanya satu perbedaan yang
diselidiki untuk setiap eksperimen.

6) Prosedur
Bagaimana cara pertanyaanpertanyaan di atas dijawab. Bagaimana cara
mengukur debar jantung anak lakilaki dan anak perempuan.

7) Alat dan Bahan


Alat dan bahan apakah yang diperlukan untuk mengukur debar jantung !
Misalnya jam, stetoskop, lembar rekaman data.

8) Pengumpulan Data
Bagaimana anak-anak merekam data dengan baik dengan
menggunakan diagnose untuk keperluan itu?
9) Pengujian Hipotesis
Peneliti menguji hasil eksperimen mereka dengan data yang direkam,
apakah sesuai atau tidak dengan hipotesis.

10) Penyimpulan

Apa yang dapat kita pelajari dari eksperimen. Pertanyaan-pertanyaan lain


manakah belum terjawab?

Dilihat dari dimensi sikap, karakteristik IPA mencerminkan 8 sikap


yaitu: sikap yang senantiasa mendahulukan bukti, luwes, kritis, tekun, terbuka,
kreatif, teliti dan peka terhadap lingkungan.(N. Kumala, 2016: 11)

2. Karakteristik Pembelajaran IPA di SD


Pembelajaran IPA di SD tentunya berbeda dengan pembelajaran IPA di
SMP maupun SMA. Pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa. Sesuai perkembangan kognitifnya Piaget menjelaskan ada 4 tahapan
perkembangan yaitu adalah tahap sensorimotor, pra operasional, operasional
konkret dan operasional formal (Santrock, 2013: 47). Masing-masing tahap
berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda-beda.
Empat tahapan perkembangan yang pertama menurut Paget yaitu
a. Tahap Sensorimotor (pada saat lahir hingga usia 18 bulan)
Tahap pertama disebut sensorimotor, selama tahap ini anak kecil menjajaki
dunia mereka dengan menggunakan panca indra mereka dan kemampuan
motor mereka. Mereka berusaha memahami melalui apa yang dilakukannya
(Byrnes, 2008: 19). Perilaku ini adalah bawaan yang merupakan landasan
yang menjadi asal skema pertama bayi tersebut terbentuk.
Tahap sensorimotor merupakan tahapan anak berusaha memahami sesuatu
melalui sentuhan. Tahap ini menyebabkan anak mampu menyimbolkan antara
benda satu dengan yang lainya. (Buckler & Castle, 2014: 118). Pada tahap ini
anak mulai belajar membedakan tiap benda melalui pancar indera mereka.
b. Tahap Praoperasional (usia 2 hingga 7 tahun)
Pada tahapan ini, anak mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
memikirkan segala sesuatu dan dapat mengunakan simbol untuk
melambangkan objek dalam pikiran. Selama tahap ini, bahasa dan konsep
anak mulai berkembang, namun banyak pemikiran mereka tetap primitif.
Salah satu penemuan Piaget adalah bahwa anak kecil tidak mempunyai
pemahaman tentang prinsip konservasi. Misalnya jika kita menuangkan susu
dari wadah yang tinggi dan sempit ke wadah yang pendek dan lebar di
hadapan anak praoperasional, anak itu akan benar-benar yakin bahwa gelas
yang tinggi berisi lebih banyak susu, karena anak hanya terpusat pada satu
aspek (ketinggian susu). Contoh yang lain adalah bisa saja juga anak akan
berpandangan bahwa satu kue yang dipotong menjadi empat bagian adalah
lebih banyak dari pada satu kue saja. Padahal kue yang dimaksudkan adalah
sama. Hal ini dikarenakan anak berpandangan dari aspek banyaknya potongan
kue, maka berarti kue lebih banyak.
Pada tahap ini, anak-anak bersifat egosentris dalam pemikiran mereka.
Anak-anak dalam tahap ini percaya bahwa setiap orang melihat dunia ini tepat
seperti yang mereka lihat. Misalnya dalam observasi yang dilakukan Piaget
ini. Ia mendudukkan anak-anak pada satu sisi pajangan tiga gunung dan
meminta mereka menggambarkan bagaimana pemandangan itu terlihat bagi
boneka yang duduk di sisi lainnya. Anak-anak di bawah usia 6 atau 7 tahun
menggambarkan pandangan boneka tersebut tidak berbeda dengan pandangan
mereka, sekalipuntampak jelas bagi orang dewasa bahwa hal itu tidak
mungkin demikian. Hal ini dikarenakan karena anak dalam tahap ini memiliki
sikap egosentris.
c. Tahap Operasional Konkret (usia 7 hingga 11)
Dalam tahap ini, masih memiliki kesulitan dalam pemikiran abstrak,
namun anak telah mampu untuk membentuk konsep, melihat hubungan, dan
memecahkan masalah, namun hanya sejauh mereka melibatkan objek dan
situasi yang sudah dikenal. Anak tidak lagi memiliki kesulitan dalam masalah
konservasi, karena mereka mulai memiliki konsep reversiblitas (Hergenhan &
Olson, 2008: 320).
Pada tahap ini, anak mulai mampu menanggapi realitas yang disimpulkan.
Pengamatan yang dilakukan adalah dengan cara memperlihatkan gambar
mobil yang berwarna merah kepada anak-anak. Saat mereka masih mengamati
mobil tersebut, kemudian gambar itu ditutupi dengan filter warna hitam yang
membuat mobil tersebut menjadi tampak hitam. Saat ditanya apa warna mobil
itu, anak-anak di bawah usia tujuh tahun akan menjawab mobil tersebut
berwarna hitam, namun anak usia operasional konkret akan menjawab mobil
tersebut berwarna merah. Hal ini karena mereka telah mampu menanggapi
realitas yang disimpulkan dengan melihat segala sesuatu dalam konteks
makna lain.
Dalam tahap ini anak juga telah mampu melakukan pengurutan (seriation),
atau menyusun sesuatu dalam deret logis;misalnya dengan menjejerkan
batang dari yang paling kecil hingga paling besar. Begitu kemampuan ini
diperoleh, anak-anak dapat menguasai kemampuan terkait yang dikelan
dengan transitivitas (transitivity), yaitu kemampuan menyimpulkan
hubunagan antara dua objek.
d. Tahap Operasional Formal (usia 11 hingga dewasa)
Pada tahap ini, orang pra-remaja mulai sanggup berfikir abstrak dan
melihat kemungkinan-kemungkinan malampaui disini dan sekarang. Piaget
menguraikan satu tugas yang akan didekati dengan berbeda oleh siswa
sekolah dasar dalam tahap operasional formal.
Anak-anak diberi suatu pendulum yang terdiri atas tali bersama beban
ujungnya. Mereka telah mampu merubah panjang tali, jumlah bebannya,
ketinggian yang merupakan tempat melepas pendulum tersebut, dan kekuatan
yang digunakan untuk mendorong pendulum. Saat ditanya mana dari keempat
faktor ini yang mempengaruhi kecepatan pendulum, remaja yang telah
mencapai tahap operasi formal kemungkinan akan melakukannya dengan
agak sistematis dengan cara mencoba setiap factor
Berdasarkan teori di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak usia
SD di Indonesia rata rata berada pada usia 6- 13 tahun. Sehingga dapat dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu siswa kelas I – IV dengan usia rata-rata 6-11 tahun
dan V – VI dengan rata-rata usia 11-13 tahun(Al, 1995: 115). Siswa kelas I-
IV masuk pada tahap Operasional konkret, sedangkan siswa kelas V dan VI
masuk pada tahap Operasional formal
Karakteristik siswa kelas I-IV berdasarkan teori tersebut yaitu :
a. yaitu mampu berpikir logis mengenai objek dan kejadian
b. pembelajaran Lebih bermakna menggunakan contoh kongkrit (Destya,
2015)
c. Menguasai konservasi jumlah,
d. jumlah tak terbatas, dan berat.
e. Mengklasifikasikan objek menurut beberapa tanda dan mampu
menyusunnya dalam satu seri berdasarka satu dimensi, seperti ukuran.
Kemudian karakteristik siswa kelas V dan VI berdasarkan teori tersebut yaitu:

a. mampu berpikir logis mengenai soal abstrak


b. menguji hipotesis secara sistematis.
c. Menaruh perhatian terhadap masalah hipotesis, masa depan, dan masalah
ideologis (Mukhlisah, 2015: 120)
Ada perbedaan perkembangan kognitif anak di Indonesia dengan anak di
negara-negara barat. Anak Indonesia berada 1 tingkat dibawah anak-anak
di negara-negara barat(Al, 1995). Namun meskipun demikian perlu
adanya upaya untuk meningkatkan kualitas tersebut melalui pembelajaran
yang baik.

Karakteristik di atas memberikan gambaran bahwa pembelajaran IPA di


SD disesuaikan dengan perkembangan usia anak sehingga memiliki
karakteristik yaitu :
a. Pembelajaran IPA memerlukan media atau benda kongkrit
b. Cara belajar sains menggunakan metode ilmiah, karena pada tahap
perkembangan anak usia SD mereka sudah mampu untuk berfikir ilmiah
melalui benda-benda kongkrit disekitarnya.
c. Peran guru sebagai fasilitator, organisator, motivator. Dikarenakan
pembelajaran yang bersifat kontekstual karena pengamatan langsung,
maka guru sudah seharusnya hanya sebagai fasilitator untuk menyediakan
apa yang dibutuhkan siswa, organisator untuk mengarahkan siswa, dan
motivator sebagai penggerak siswa dalam memperoleh pengetahuanya.

Tujuan mata pelajaran IPA di SD/MI berdasarkan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan adalah :

1) memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya,

2) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,

3) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, teknologi dan

masyarakat,

4) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,

memecahkan masalah dan membuat keputusan,

5) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga

dan melestarikan lingkungan alam,

6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, dan


7) memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai

dasar melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Mulyasa,

2007: 111).

Materi pembelajaran IPA yang sesuai untuk anak usia sekolah dasar adalah

dengan pembelajaran yang menyesuaikan situasi belajar siswa dengan situasi

kehidupan nyata di masyarakat. Begitu pula dengan buku IPA. Siswa diberi

kesempatan untuk menggunakan alat-alat dan media belajar yang ada di

lingkungannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Samatowa,

2006: 11-12). Keterampilan proses IPA yang diberikan kepada anak usia SD

harus dimodifikasi dan disederhanakan sesuai tahap perkembangan kognitifnya.

Struktur kognitif anak berbeda dengan struktur kognitif ilmuwan.

Proses dan perkembangan belajar anak Sekolah Dasar memiliki

kecenderungan belajar dari hal-hal konkrit, memandang sesuatu yang dipelajari

sebagai satu kesatuan yang utuh, terpadu dan melalui proses manipulatif. Oleh

karena itu, keterampilan proses IPA yang diberikan kepada anak usia SD harus

dimodifikasi dan disederhanakan sesuai tahap perkembangan kognitifnya.

Keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan meliputi: (1) observasi, (2)

klasifikasi, (3) interpretasi, (4) prediksi, (5) hipotesis, (6) mengendalikan

variabel, (7) merencanakan dan melaksanakan penelitian, (8) inferensi, (9)

aplikasi, dan (10) komunikasi (Hendro Darmodjo dan Kaligis, 2006: 11).

Menurut Rezba et.al 1995 (dalam Patta Bundu, 2006: 12) keterampilan dasar

proses sains untuk tingkat sekolah dasar meliputi keterampilan mengamati


(observing), mengelompokkan (clasifying), mengukur (measuring),

mengkomunikasikan (communicating), meramalkan (predicting), dan

menyimpulkan (inferring).

DAFTAR PUSTAKA

Al, S. (1995). Karakteristika IPA dan Konsekuensi Pembelajarannya Bagi Siswa


Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, 3(3).

Buckler, S., & Castle, P. (2014). psycology for teachers. London: Sage Publication
Ltd.

Bundu, P. (2006). Penilaian keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam pembelajaran
sains SD. Jakarta: Depdiknas.
Byrnes, J. P. (2008). Cognitive development and learning in instructional contexts
(Third Edit). Boston: Allyn and Bacon.

Collette, A. T., & Chiappetta, E. L. (1984). Science Instruction in the Middle and
Secondary Schools. The CV Mosby Company, 11830 Westline Industrial Drive,
St. Louis, MO 63146.

CPO Science. (2007). Focus On Science Earth. Nashua. CPO Science.

Darmojo, H., & Kaligis, J. R. (1992). Pendidikan IPA Proyek Pembinaan Tenaga
Kependidikan Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta.

Destya, A. (2015). KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PEMBELAJARAN


IPA DI SEKOLAH DASAR. Profesi Pendidikan Dasar, 2, 95–10.

Djojosoediro, W. (2010). Hakikat IPA dan Pembelajaran IPA SD. Online at.

Hadisubroto, Tisno 1996. Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Surabaya. 31C

Hazen, R. M., & Trefil, J. (2009). Science matters: Achieving scientific literacy.
Anchor.

Hergenhan, B. R., & Olson, M. H. (2008). Theories of Learning Terj. (T. Wibowo,
Ed.). Jakarta: Kencana.

Hewitt, P. G., Lyons, S., Suchocki, J., & Yeh, J. (2014). Conceptual integrated
science. Pearson Education Limited.

Mariana, I. M. A., Praginda, W., & Si, M. (2009). Hakikat IPA dan pendidikan
IPA. Bandung: PPPPTK IPA.

Mukhlisah, A. M. (2015). Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan


Belajar Anak Diskalkulia: Studi Kasus pada MI Pangeran Diponegoro Surabaya.
Jurnal Kependidikan Islam, 5(2), 243–268.

National Research Council. (1998). Nutrient requirements of swine. National


Academies Press.

N. Kumala, F. (2016). Pembelajaran IPA SD. Malang: Ediide Infografika.

Padilla, M. J. (1990). The science process skills. Research Matters-to the science
Teacher, 9004.

Samatowa,usman (2011) Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Indeks. Jakarta Barat

Santrock, J. W. (2013). Psikologi Pendidikan, terjemahan Tri Wibowo BS. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

Sappe, A. (2013). KEMAMPUAN KETERAMPILAN PROSES IPA MAHASISWA


PGSD UPP PAREPARE (IPA Process Skil Ability By the Students of PGSD
UPP Parepare). Publikasi Pendidikan, 3(1).

Shermer, M. (1995). Teach Your Child Science: Making Science Fun for the Both of
You. Lowell House.

Toharudin, U., Hendrawati, S., & Rustaman, A. (2011). Membangun literasi sains
peserta didik. Bandung: Humaniora.

Tursinawati, T. (2013). Analisis Kemunculan Sikap Ilmiah Siswa Dalam Pelaksanaan


Percobaan Pada Pembelajaran Ipa Di Sdn Kota Banda Aceh. PIONIR: Jurnal
Pendidikan, 1(1).

Anda mungkin juga menyukai