Anda di halaman 1dari 16

Konsep Ketuhanan dalam Islam

Makalah Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah


Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. Muslich MZ. M.Ag.

Tim Penyusun

1. Mutiarisa Nur Alifah (1810401064)


2. Aristya Dyana Khusna (1810401065)
3. Raden Arya Laksamana Yudha (1810401068)

Kelompok I Kelas C

Program Studi Agroteknologi

Universitas Tidar

Tahun 2018/2019
Kata pengantar
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kami kesehatan dan kesempatan untuk menyusun makalah ini guna melengkapi
tugas Pendidikan Agama Islam oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam,
Drs. H. Muslich MZ. M.Ag.

Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa
kita nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah kelak. Aamiin.

Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. H. Muslich MZ. M.Ag. yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.

Makalah yang berjudul Konsep Ketuhanan dalam Islam ini merupakan tugas pertama kami di
semester 1. Di mana selain untuk melengkapi tugas, kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi setiap pembacanya. Konsep Ketuhanan merupakan konsep
fundansial yang harus dipahami setiap orang dalam beragama khususnya kaum Muslim.
Sebab konsep ketuhanan mengantarkan ummat untuk beribadah sesuai dengan syari’at, yakni
menyembah Yang Satu, Allah SWT.

Ajaran tauhid begitu penting karena dalam kehidupan tidak akan tumbuh keimanan atau
kepercayaan terhadap ajaran Islam sebelum kita percaya akan adanya Allah SWT.

Kami, sebagai kaum muda di era milenial juga berharap dengan kehadiran makalah ini
mampu menjawab keresahan hati teman-teman sesama pemuda. Pendidikan modern yang
dapat mengantarkan peseta didik ke banyak arah. Sehingga, peserta didik akan sangat riskan
dengan pengaruh pendidikan modern tersebut. Termasuk di dalamnya ialah jiwa spiritual
yang tidak terisi penh oleh koseptual Islam, akan terisi oleh konsep-konsep lain yang
membahayakan.

Semoga, makalah ini dapat memberikan manfaat tidak hanya untuk kami, tetapi juga untuk
seluruh pembacanya, baik yang berada di lingkungan Universitas Tidar maupun yang berada
di luar.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Magelang, 10 September 2018

Tim Penyusun
Daftar Isi
Halaman Judul .................................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................................. ii

Daftar Isi ......................................................................................................................... iii

BAB I : Pendahuluan ....................................................................................................... 1

1 Alasan Penulisan .............................................................................................

2 Rumusan Masalah ...........................................................................................

BAB II : Pembahasan

1 Uraian ..............................................................................................................

BAB III

1 Simpulan..........................................................................................................

2 Saran ................................................................................................................

3 Penutup ............................................................................................................

4 Daftar Pertanyaan ...........................................................................................

Daftar Pustaka .....................................................................................................................


BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
Program Studi Agroteknologi Universitas Tidar 2018/2019. Alasan kami memilih judul ini
karena sudah ditentukan oleh dosen pengampu kami, Drs. H. Muslich MZ. M.Ag. Selain itu,
kami berharap dengan disusunnya makalah ini dapat meningkatkan pemahaman kami dan
pembaca tentang konsep Ketuhanan dalam Agama Islam.

Konsep Ketuhanan dalam agama Islam sangat perlu ditekankan sebab di masa yang
serba bebas ini, keimanan sangat riskan untuk digoyahkan bahkan dipatahkan. Apabila
konsep mendasar sebagai pondasi dalam berkehidupan telah kokoh, maka harapannya
seberapa kuat angin menerpa maka bangunan akan tetap berdiri dengan kokoh dan tidak
mudah goyah.

1.2 Rumusan masalah

a. Bagaimana sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan?


b. Apa saja pembuktian mengenai adanya Tuhan?
c. Bagaimana Konsep Ketuhanan dalam Islam?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia yang dimaksudkan ialah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran, baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal teori evolusionalisme yaitu teori yang menyataan adanya proses dari kepercayaan
yang amat sederhana, yang lama kelamaan menjadi sempurna. Teori ini pada mulanya
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut pemahaman sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan, sejak zaman primitif
manusia telah mengenal Tuhan melalui keyakinan terhadap benda-benda. Baik keyakinan
terhadap benda yang dapat membawa dampak positif, maupun negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda, seperti mana (Malenesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana ialah suatu kekuatan yang tidak dapat diinderakan tetapi dapat
dirasakan sehingga sifatnya sangat misterius.

b. Animisme

Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap roh-roh. Benda-benda yang baik


dianggap memiliki roh hidup sekalipun bendanya telah mati. Roh dianggap memiliki
kebutuhan-kebutuhan dan roh akan merasa senang jika kebutuhan tersebut terpenuhi.
Sebaliknya, roh akan marah jika kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga manusia primitif
akan menyediakan sesaji dan melakukan berbagai kebaktian untuk para roh.

c. Politheisme

Politheisme memberikan solusi terhadap masalah terlalu banyaknya Tuhan akibat dari
dinamisme dan animisme. Dari sekian Tuhan yang ada, maka akan ada beberpa roh yang
dianggap unggul, mempunyai karakter tertentu, dan memiliki pengaruh besar terhadap hidup
manusia yang kemudian disebut dengan dewa. Dewa diyakini sebagai pengatur segala aspek
sesuai bidangnya masing-masing. Contoh: dewa air, dewa tanah, dan dewa kesuburan.

d. Henotheisme

Politheisme tidak memberikan kepuasan terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena


itu, dari dewa-dewa yang diakui, diadakan seleksi, karena tidak mungkin memiliki kekuatan
yang sama. Lama-kelamaan, kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui Tuhan (ilaah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan
untuk satu bangsa disebut Henotheime.
e. Monotheisme

Kepercayaan Henotheisme melangkah menuju kepercayaan Monotheisme. Dalam


kepercayaan Monotheisme hanya mempercayai satu Tuhan untuk seluruh bangsa. Bentuk
Monotheisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi menjadi tiga paham: deisme,
pantheisme, dan theisme.

i. Deisme : faham yang pada prinsipnya meyakini Tuhan yang tunggal itu transenden,
yakni setelah penciptaan Tuhan tidak lagi terlibat dalam ciptaannya.

ii. Pantheisme : Faham yang pada prinsipnya Tuhan yang tunggal itu imanen, yakni
Tuhan menampakkan diri dalam berbagai peristiwa alam.

iii. Theisme : titik tengah antara Deisme dan Pantheisme. Theisme ialah faham ketuhanan
yang pada prinsipnya Tuhan yang tunggal itu transenden, mengatasi semesta kenyataan,
tetapi dalam transendensinya itu Tuhan selalu terlibat dengan alam semesta ciptaannya.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, Deisme berkembang menjadi naturalisme


yaitu paham bahwa Tuhan bersifat transenden, tidak terlibat dalam ciptaan dan alam pun
tidak berhajad pada Tuhan. Maka, alam ini berdiri sendiri, sempurna, dan berproses menurut
hukum-hukum alam itu sendiri. Sebab adanya faham naturalisme, muncullah faham Atheisme
yang menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada.

Terdapat pula pendapat yang meragukan adanya Tuhan, yaitu Agnostisisme. Faham ini
menganggap bahwa Tuhan itu mungkin ada, tetapi manusia tidak dapat mengetahui secara
positif.

Dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengungkapkan


gagasan tentang Tuhan.

Pertama, Tuhan adalah Diri (Khuda) di mana Iqbal mengutip Q.S. Al Ikhlas. Tuhan itu
suatu kebulatan sebagai diri,tanpa ada yang menyamainya dan bersifat tunggal, tidak
mempunyai sekutu, mengatasi kecenderungan antagonistik dari reproduksi (Iqbal 1951: 63).

Kedua, Tuhan sebagai Diri Mutlak itu tidak berkesudahan di mana bukan hanya dalam
arti ruang dan waktu yang merupakan penafsiran akal manusia terhadap aktivitas kreatif
Tuhan melainkan tiada berakhirnya kegiatan kreatif Tuhan. Tuhan itu Maha Pencipta. Tuhan
adalah ego mutlak yang hidup, dinamis, tiada yang dapat membatasi selain dirinya sendiri,
Dia adalah ego yang bebas dan kreatif (Iqbal, 1951: 64).

Ketiga, Tuhan adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dia meliputi segalanya.
Diri yang mutlak merangkum diri-diri terbatas dalam wujudnya, tanpa menghapus eksistensi
mereka (Maitre, 1985: 55).

Iqbal dengan pemikirannya tentang Tuhan, nampaknya ingin menunjukkan bahwa Tuhan
itu ada, sebagai diri Mutlak yang Maha Kreatif, selalu mencipta, membimbing, mengawasi,
dan menyediakan diri bagi kerinduan manusia. Hal tersebut ialah motivasi bagi manusia
untuk selalu meningkatkan kualitas hidup dan menjelaskan bahwa Tuhan merupakan mitra
kerja manusia dalam upaya aktualisasi diri.

2.2 Pembuktian Adanya Tuhan

Dalam pembuktian adanya Tuhan pasti tidak mugkin meninggalkan perbincangan


tentang Tuhan. Jadi didalam perbincangan tentang Tuhan, ada tiga hal pokok yang ada dalam
perbincangan tersebut. Pertama, hendaknya dibedakan antara Tuhan dengan ide tentang
Tuhan. Kedua, manusia telah mnyembah Tuhan sebelum muncul problem filsafati tentang
Tuhan. Ketiga, Tidak ada pandangan individual tentang Tuhan yang dianggap final atau
memadai ( Titus, 1984 : 441 ).

1. Argumen tradisional tentang adanya Tuhan


Jadi didalam argumen tradisional tentang adanya Tuhan terdapat empat argumen
filsafati yang klasik tentang adanya Tuhan, yaitu : Argumen Ontologi, Kosmologi, Teleologi,
dan Moral.

Argumen ontology didasarkan pada logika semata. Argumen ini ingin membuktikan
adanya Tuhan dengan cara menghubungkannya pada ide tentang zat yang Maha Sempurna.
Tuhan itu ada, oleh karena itu Ia diberi definisi sedemikian rupa sehingga mustahil untuk
memikirkan bahwa Ia tidak ada ( Titus, 1984 : 468 ). Kemudian ada beberapa filsuf yang
mengajukan argumen ontology diantaranya adalah Plato ( 428 – 348 SM ), St. Agustinus (
354 – 430 ), St. Anselm ( 1033 – 1109 ), Rene Descartes ( 1598 – 1650 ).

Argumen kosmologi dimana tentang adanya Tuhan didasarkan pada adanya hukum
kausalitas yang berlaku dialam semesta. Argumen ini sering disebut dengan argumen sebab
pertama, karena segala sesuatu yang terjadi di alam pasti mempunyai hubungan sebab-akibat.
Lalu ada beberapa filsuf menggagas argumen kosmolgi ini diantaranya Aristoteles ( 384 –
322 SM ), Al-Kindi ( 796 – 873 ), Al-Farabi ( 872 – 950 ), Ibu Sina ( 980 – 1037 ), dan
Thomas Aquinas ( 1225 – 1274 ).

Argumen teleologi yaitu argumen tentang adanya Tuhan yang mana didasarkan pada
watak alam semesta yang serba teratur dan terencana. Bagian dari alam tersebut mempunyai
fungsi sendiri-sendiri dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Alam meski begitu, alam
tidak dapat menentukan tujuannya sendiri, tetapi ada Zat yang Maha Tinggi yang
menentukan.

Argumen moral dimana argumen yang membicarakan tentang adanya Tuhan


berdasarkan dengan adanya kesenjangan antara prinsip normatif moral dan fakta moral.
Secara normatif setiap perbuatan baik mestilah barakibat baik, dan setiap perbuatan buruk
pasti berakibat buruk bagi pelakunya. Tetapi pada faktanya tidak semua perbuatan baik
berakibat baik, dan perbuatan buruk berakibat buruk. Kondisi ini tidak adil, sehingga harus
ada kehidupan lain dimana prinsip normative dan moral terpenuhi yaitu di akhirat.

2. Kritik atas argument tradisional tentang adanya Tuhan.


Argumen-argumen diatas tidak akan lepas oleh kritik, karena tidak satupun dari
keempat argumen itu benar-benar memuaskan.

1. Argumen Ontology
Konsep tentang zat yang Maha Sempurna tidak mengharuskan adanya zat itu. Adanya
suatu zat itu tidak dapat dipastikan dari adanya ide tentang zat itu. Kemudian kesalahan
pokok dalil ontology adalah mengalihkan sesuatu yang logis menjadi sesuatu yang
hakiki.

2. Argumen Kosmologi
Bahwa argumen kosmologi telah mempermainkan hukum kausatilas, ketika dengan
semena-mena menghentikan rentetan sebab-akibat pada suatu titik. Sebab dan akibat
dalam rangkaian kausatilas adalah sama-sama wajib adanya. Kemestian wujud sesuatu
tidak sama dengan keharusan pikiran tentang sebab-akibat.

3. Argumen Teleologi
Argumen teteologi hanya membuktikan adanya perencanaan, penata, dan penggerak
semata, bukan pencipta. Masih belum terjawabnya sebuah pertanyaan tentang bagaimana
halnya dengan kenyataan bagian-bagian alam yang mengesankan adanya keteraturan.

4. Argumen Moral
Argumen ini merupakan ekspresi ketidakmampuan manusia menegakan prinsip moral,
sehingga ada nuansa apologis ketika ketidakmampuan itu dijawab dengan kemestian
adanya dunia lain.

Keempat argument diatas hanya menunjukan suatu intepretasi terhadap pengalaman


yang direkayasa. Kegagalan keempatnya dalam mengajukan argumen yang memadai adalah
karena keempatnya hanya memperhatikan sisi lahir dari realitas, padahal realitas itu dari lahir
batin, dan puncaknya bersifat spiritual.

Argumen-argumen tradisional tentang adanya Tuhan akan memadai bila hal-hal


berikut terpenuhi. Pertama, dimensi lahir batin realitas harus dipahami sebagai satu kesatuan
utuh dan harus diperhatikan. Kedua, situasi kemanusiaan tidak akan berakhir. Ketiga, bahwa
pikran dan wujud pada kesudahannya adalah satu jua.

Hal-hal tersebut sebenarnya derefasi dari semangat islam yang mengajarkan segala
pengalaman lahir batin adalah lambing dari kebenaran ( Iqbal, 1951 : 31 ).

2.3 Tauhid : Konsep Ketuhanan Islam

1. Makna Tahuid

Secara estimologis tahuid adalah kata dalam bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab
kata tauhid itu termasuk dalam bab taf’il yang susunannya : ( wakhada ) ‘menyatukan’, (
yuwakhidu ) ‘akan tetap menyatukan’, ( taukhidan ) ‘sungguh disatukan’ ( Mansur, 1985 : 1 ).
Sedangkan secara terminologis, tauhid oleh para ulama ahli didefenisikan sebagai
keyakinan akan keesaan Tuhan. Semua pemeluk agama monoteis mengakui dan sependapat
tentang keesaan Tuhan. Pengakuan akan keesaan Tuhan dalam Islam dikenal dengan istilah
tauhid. Demikian, tauhid adalah pengakuan atas keesaan Tuhan khas islami yang tidak
memiliki agama lain. Pengakuan dalam agam islam terungkap dalam kalimat “ laa ilaaha
illallah “ yang artinya “ tidak ada Tuhan selain Allah”.

“ Laa Ilaaha Ilallah “ sebagai kalimat tauhid adalah termasuk kalimat negative (
manfi ), lawan dari kalimat positif ( mutsbat ). Kalimat tersebut merupakan huruf istisna atau
pengecualian yang mengecualikan Allah dari segala jenis ilah yang ditiadakan. Dengan
demikian kalimat tauhid memuat pengertian tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut
Tuhan selain Allah SWT ( Ilyas, 1989 : 34 ). Didalam ikrar “ Laa Ilaaha Ilallah “ terdapat
diuraikan menjadi beberapa ikrar.

1. “ Laa Khaaliqa Illallah “ yang berarti tidak ada pencipta selain Allah. Tentang ini
dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 21 dan 22, yang artinya : “Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi hamparan bagimu
dan langit sebagai atap , dan Dia menurunkan air ( hujan ) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai riqzi untukmu; karena itu
janganlah kmau mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahall kamu mengetahui (
Departemen Agam RI, 1985 : 11 ).

2. “ Laa Raaiziqa Illallaah “ artinya tidak ada pemberi rizqi selain Allah. Tentang ikrar
ini dapat dilihat dalam Al-Quran surat Al- Faathir (35) ayat 3, yang artinya : “Hai
manusia, ingatlah akan nimat Allah kepadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah
yang dapat memberikan rizqi kepadamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain
Allah; maka mengapakah kamu berpaling ( dari ketauhidan ) ?” ( Departemen Agama
RI, 1985 : 695 ).

3. “ Laa Mudabbira Illallaah “ yang berarti tidak ada pemelihara atau penjaga atau
pengatur selain Allah. Ikrar ini dapat dilihat di Al-Quran surat Yunus (10) ayat 3, yang
artinya : “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy ( singgahsana ) untuk
mengatursegala urusan. Tiada seorangpun yang yang akan memberi syafa’at kecuali
sesudah ada keizinan-Nya. ( Dzat ) yang demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, maka
sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran ? ( Departemen Agama
RI, 1985 : 305 ).

4. “ Laaa Hakima Illallaah “ yang berarti tidak ada penuntun hukum atau aturan tentang
segala sesuatu selain Allah. Ikrar ini terdapat di Al-Quran surat Al-An’aam (6) ayat 57,
yang artinya : “… Menetapkan hukun itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik “ ( Departemen Agama RI,
1985 : 195 )
5. “ Laa Waliyya Illallaah “ yang berarti tidak ada pelindung selain Allah. Ikrar ini
terdapat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 257, yang artinya : “ Allah
pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (
kekafiran ) kepada cahaya ( iman ) …” ( Departemen Agama RI, 1985 : 63 )

6. “ Laa Ghayata Illallaah “ yang berarti tidak ada tumpuan, harapan, dan segala amalan
ditujukan selain Allah. Ikrar ini terdapat dalam surat Al-Insyirah (94) ayat 8, yang mana
artinya : “ Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap “ ( Departemen
Agama RI, 1985, 1073 ), dan surat Al-An’aam (6) ayat 162, yang artinya : “
Katakanlah, Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk Allah, tuhan semesta Alam “ ( Departemen Agama RI, 1985 : 216 )

7. “ Laa Ma’buda Illallaah “ yang berarti tidak ada yang pantas disembah selain Allah.
Tentang ikrar ini dapat dilihat disurat An-Nahl (16) ayat 36, yang artinya : “ Sembahlah
Allah ( saja ), dan jauhilah Thagut itu …” ( Departemen Agama RI, 1985:407 ).

Dari uraian diatas, diketahui tauhid itu mempunyai tiga dimensi. Pertama, tauhid
rububiyah dalam hal Allah sebagai Khalik, Raziq, dan Mudabbira. Kedua, tauhid mulkiyah
dalam hal sebagai Hakim, Wali, dan Ghayah. Ketiga, tauhid uluhiyah atau ilahiyah dalam hal
sebagai Ma’buda.

Antara ketiga dimensi tauhid itu berlaku hubungan kemestian dan pencangkupan.
Maksudnya, setiap orang yang meyakini tauhid rububiyah mestinya meyakini tauhid
mulkiyah dan pada tingkat tauhid ilahiyah. Sebaliknya, setiap orang yang telah sampai pada
tingkat tauhid ilahiyah tentunya sudah melalui tauhid rububiyah dan tauhid mulkiyah ( Ilyas,
1989 : 36 ). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tauhid adalah keyakinan akan
keesaan Allah baik dalam dimensi rububiyah, mulkiyah, maupun ilahiyah. Ketiganya
diyakini sebagai satu kebulatan.

2. Tauhid Esensi Islam

Tauhid ialah ajaran terpenting dan fundamental dalam ajaran Islam. Ajaran dan
perintah tuhid tercantum dalam Al Qur’an Surah Al Ikhlas (112) ayat 1 s.d. 4: “Katakanlah:
Dial-ah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala
sesuatu. Dia tiada beranak tiada pula diperanakkan. Dan tdak ada sesuatu pun yang setara
dengan-Nya.”

Tentang pentingnya tauhid disampaikan di dalam Al Qur’an Surat An Nisa (4) ayat
48, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi dia
mengampuni dosa-dosa selain itu terhadap orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan barang
siapa yang mempersekutukan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dosa yang sangat besar”

Berkeyakinan bahwa Tuhan lebih dari satu ialah dosa besar karena termasuk ke dalam
syirik. Secara akal sehat pun, bila Tuhan lebih dari satu maka akan terjadi persaingan antar
Tuhan, kecuali jika Tuhan yang satu menghancurkan Tuhan yang lainnya. Hanya ada suatu
ultimate yang dapat berdiri tegak sebagai kebaikan tertinggi. Alam pun tidak dapat
melaksanakan perintah dari dua sumber (Tuhan) yang berbeda.

Karena hal tersebut, berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan pondasi dari
seluruh kesalehan, religiositas, dan seluruh kebaikan. Semua amal manusia akan sia-sia
tatkala ajaran tauhid tidak dijadikan landasan.

Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan ritual semata, tetapi juga mengenai tiga aspek
kehidupan: aqidah, syari’ah (ibadah dan mu’amalah), dan akhlak. Aqidah merupakan
pedoman hidup yang bersifat absolut, yang ajarannya tidak dapat dirubah, ditambah, atau
dikurangi. Begitu pula dengan ibadah yang bersifat absolut dan diajarkan dengan jelas.
Mu’amalah diajarkan secara garis-garis besar dengan beberapa ajaran yang dijelaskan secara
rinci. Selebihnya disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Nilai akhlak
diajarkan secara absolut agar manusia mengetahui dengan pasti hal benar dan salah.

Pada intinya, keempat nilai tersebut ialah penjabaran dari ajaran tauhid yang tidak
dapat dipisahkan, sebab jika ajaran tersebut dipisahkan maka akan timbul keberagaman Islam
sehingga menjadi ajaran yang tidak Kaffah. Tauhid ialah esensi Islam, sehingga setiap misi
kenabian merupakan pemurnian agama tauhid yang sering tercoreng oleh kelakuan manusia.

Sesuai dengan sejarah, ummat Muslim ialah ummat yang toleran dengan ummat
agama lain. Kecuali jika agama Islam mendapat gangguan atau dilecehkan, maka ummat
Muslim akan membela mati-matian. Bahkan terkadang terjadi perselisihan antar sesama umat
Muslim tentang siapa yang paling membela ketauhidan. Seperti kaum Mu’tazilah yang
berpendapat merekalah yang paling depn dalam membela kemurnian Tauhid hingga mereka
menamai diri mereka dengan Ahlu at-tauhid. Metode mereka ialah anthrophomorphise.
Mereka menolak kalau Allah itu memiliki sifat, sebab jika Allah memiliki sifat maka Allah
tidak lagi Esa.

Pendapat ini ditentang kaum Ahlu As-Sunnah yang berpendapat Allah memiliki sifat
kesempurnaan yang tidak berbeda dari Dzat Allah sendiri, yaitu abadi. Keabadian sifat-sifat
itu tidak berdiri sendiri di luar Dzat Allah, melainkan hanya mengisi pengertian
kesempurnaan. (Bakry, 1973: 24)

3. Tauhid Fitrah Manusia


Manusia dalam hidup selalu mendasarkan diri pada kepercayaan. Sering dikatakan,
manusia itu adalah makhluk multdimensional. Salah satunya, berdimensi percaya. Percaya
adalah sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai benar.

Menurut A. Mukti Ali, Menteri Agama RI tahun 1976, Iman atau kepercayaan
merupakan sumber yang tiada kunjung kering dalam menumbuhsuburkan idealisme dalam
kehidupan. Tanpa iman atau kepercayaan, kehidupan manusia akan statis dan kacau.
Kepercayaan adalah faktor mutlak dalam agama, bahkan agama tidak lain adalah satu
bentuk dan corak kepercayaan yang tertinggi (Anshari, 1991: 117). Kepercayaan dalam
agama itu bersifat supra rasional. Artinya, kepercayaan itu benar adanya, dapat diterima akal,
meskipun akal sendiri tidak mampu memberikan bukti secara memuaskan.

Inti dari kepercayaan keagamaan adalah keyakinan akan adanya Tuhan. Manusia
diberi akal, emosi, dan kemauan sehingga muncul kualitas ruhaniah khas yang membedakan
dengan makhluk lain. Manusia juga memiliki kualitas lahiriah sebagai akibat adanya indera.
Perpaduan aktivitas antara kualitas ruhaniah dan lahiriah membuat manusia memiliki
kemampuan menangkap, mengolah, dan menafsirkan gejala alam yang mengantarkan
manusia kepada keyakinan tentang adanya Tuhan. Dengan melihat alam, akan timbul
pemikiran bahwa ada yang menguasai alam ini. Jadi, akidah atau kepercayaan merupakan
kesadaran universal (Al-Akkad, 1967: 21). Akidah tentang Tuhan berubah-ubah seiring
dengan perkembangan zaman dan intelektual manusia.

Teori E.B Taylor menyebutkan bahwa kepercayaan mengenai agama bermula dari
animisme, dinamisme, politeisme, oligateisme, henoteisme, kemudian puncaknya adalah
monoteisme. Namun, tidak semua manusia harus melalui tahap-tahap tersebut untuk sampai
di tahap monoteisme. Ide beragam dari benda-benda inderawi saling berhubungan, menurut
Plato. Dan ide tersebut berasal dari ide absolut yaitu Kebaikan Absolut, simpulnya adalah
Tuhan. Argumen kosmologis menunjukkan bahwa serangkaian kejadian merupakan akibat
dari hal-hal yang lain, demikian seterusnya. Hal ini tidak masuk akal, bila tidak berhenti.
Tentu ada sebab pertama atau Causa Prima, itulah Tuhan (Nasution, 1973: 51). Demikianlah,
pada dasarnya fitrah manusia itu monoteisme. Pemikiran manusia tentang adanya kekuasaan
luar biasa yang bersifat esa di belakang adanya alam semesta ini sebelum risalah rasul Allah
(Basyir, 1990: 11).

Monoteisme hasil olah pikir manusia sering menghasilkan konsep yang berbeda.
Misalnya, Tuhan itu Kebaikan Absolut, Causa Prima, dan lain lain. Apakah semua itu
menunjuk kepada Dzat yang sama? Jawaban dari pertanyaan tersebuat daapat dicari sendiri
melalui wahyu atau kitab suci agama-agama universal. Manusia diberi akal supaya ia bisa
memikirkan segala sesuatu yang ada, termasuk keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa.

Keyakinan akan adanya Tuhan sebagai inti pengalaman keagamaan mencapai


puncaknya manakala manusia telah sampai pada monoteisme, dan ini didukung oleh kualitas
ruhaniah dan lahiriah manusia. Namun, konsep monoteisme yang lahir dari setiap manusia
bisa berbeda. Dan ajaran-ajaran agama dari waktu ke waktu selalu dikaburkan oleh tangan
manusia.

Monoteisme islam, yakni tauhid cukup terjaga dibanding monoteisme agama lain.
Untuk segala waktu tauhid dalam islam adalah monoteisme yang sebenarnya. Para ahli
menerangkan bahwa keesaan Tuhan merupakan ajaran yang sebenarnya dari ajaran mereka.

Kata tauhid berasal dari bahasa arab yang berarti menjadikan sesuatu menjadi satu.
Pada dasarnya, setiap manusia yang dilahirkan itu beragama tauhid. Hal itu didasarkan pada
Q.S Al-A’raf ayat 172. “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu (satu-satunya yang pantas disembah)?’ Mereka
menjawab: ‘Betul, kami bersaksi’.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa fitrah manusia
adalah tauhid. Setiap ruh sudah mempunyai perjanjian keimanan untuk menyembah hanya
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Faktor lingkunganlah yang menjadikan manusia
memeluk agama lain setelah ia dilahirkan.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(Q.S.Ar
Rum 30).

Ayat tersebut mengandung arti bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan memiliki
kecenderungan beragama atau sebagai makhluk pencari Tuhan, sedangkan agama yang benar
tidak mungkin ajarannya bertentangan dengan fitrah atau tabiat manusia itu sendiri. Itulah
sebab dan buktinya di dunia ini telah bermunculan bemacam-macam agama. Manusia
memiliki keterbatasan dan kelemahan akal dalam pencarian kebenaran. Selain memiliki akal,
manusia juga dilengkapi dengan nafsu, baik nafsu mutmainnah yang mengarah kepada
kebaikan (wataqwaahaa) maupun nafsu amaaratun bissu’ yang mengarah kepada keburukan
(fujuurahaa). Boleh jadi, bukan agamanya yang tidak sesuai dengan fitrah manusia, tetapi
manusianyalah yang keluar dari fitrahnya.

Islam sebagai rahmatan lil alamin mempunyai pedoman Al-qur’an dan Hadits yang
masih terjaga kemurnian dan keasliannya. Di mana pengajaran Tauhid akan tetap sama sejak
zaman dahulu hingga yaumul qiyamah. Dengan mengingat bahwa Tauhid merupakan fitrah
kehidupan manusia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemikiran manusia mengenai Ketuhanan mengalami perkembangan sesuai
dengan kemajuan taraf intelektual manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan,
mulai dari Dinamisme, Animisme, Politheisme, Henotheisme, dan yang terakhir
Monotheisme.
Hal tersebut berdasarkan pembuktian mengenai adanya Tuhan berupa
argumen -argumen yang dijelaskan oleh para ahli. Namun, argumen – argumen
tersebut belum memadai karena keempatnya hanya memperhatikan sisi lahir dari
realitas, padahal realitas tersebut lahir batin.
Manusia yang diberi akal, emosi, dan kemauan pun indera membuat mereka
mampu menangkap, mengolah, dan menafsirkan gejala – gejala alam yang
menghantarkan manusia kepada keyakinan akan adanya Tuhan. Konsep ketuhanan
dalam Islam adalah tauhid, yaitu menjadikan sesuatu menjadi satu. Dan tauhid
merupakan fitrah manusia. Pada dasarnya, setiap manusia yang lahir mengakui bahwa
Allah merupakan satu – satunya Tuhan yang patut untuk disembah.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Karena
saran dan kritik tersebut, akan bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau
memperdalam kajian ini.
4. Daftar Pertanyaan

1. Muchamad Fajar Arrasyid ( 1810401089 )


Bagaimana cara Allah SWT mengeluarkan manusia dari kegelapan seperti non-muslim ?

2. Aziz Afifudin ( 1810401072 )


Apakah kepercayaan Agnotisme percaya akan adanya dosa dan pahala ?

3. Mita Nurjanah ( 1810401080 )


Apakah hukum kausalitas sampai saat ini masih ada hubungannya ?

4. Muhammad Ansori ( 1810401071 )


Kenapa ada paham-paham Dinamisme padahal Islam itu adalah agama yang paling sempurna,
Mengapa sekarang ada kepercayaan-kepercayaan lain ?

5. Fahni Mulya Pradita ( 1810401076 )


Ayat apa yang berkaitan dengan Al-Qur’an surat Al Araf ayat 172 ?

6. Catur Prihatiningrum ( 1810401084 )


Apakah argument tradisional dengan yang lainnya saling berhubungan ?
DAFTAR PUSTAKA

Lidnillah, Muhammad Anshori, dkk, 2005, Pendidikan Agama Islam oleh Tim Dosen Pendidikan
Agama Islam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM.

Anda mungkin juga menyukai