BAB I
PENDAHULUAN
Oksigen lebih elektronegatif daripada karbon, sehingga hidrogen yang berada pada
posisi alfa relatif terhadap eter bersifat lebih asam daripada hidrogen senyawa
hidrokarbon. Walau demikian, hidrogen ini kurang asam dibandingkan dengan alfa
hidrogen keton.
Struktur Serupa
Eter tidak boleh disamakan dengan gugus-gugus sejenis berikut yang mempunyai
stuktur serupa - R-O-R.
Bila uap etanol dan alkohol-alkohol primer suhu rendah yang lain dilewatkan di
atas suatu alumina pada suhu 250-260° C maka akan terjadi dehidrasi pada alkohol
tersebut dan menghasilkan eter.
2 C2H5OH → C2H5-O-C2H5 + H2O
Di laboratorium dan industri, yang lazim digunakan sebagai penarik air adalah H 2SO4.
Dalam cara ini, rangkaian reaksinya adalah sebagai berikut:
(1) C2H5OH + H2SO4 → C2H5OSO3H + H2O
(2) C2H5OSO3H + C2H5OH → C2H5-O-C2H5 + H2SO4
Asam sulfat yang diperoleh dalam langkah (2) dapat bereaksi kembali dengan etanol
seperti yang dituliskan dalam langkah (1). Oleh karena itu cara pembuatan eter seperti
ini dinamakan "proses eterifikasi kontinyu". Secara teoritik, dapat diduga bahwa dengan
sekali penambahan asam sulfat dapat digunakan untuk membuat eter dengan jumlah
alkohol yang tidak terbatas. Dalam kenyataannya, setelah jangka waktu tertentu, asam
sulfatnya harus diperbarui karena ada sebagian yang tereduksi menjadi asam sulfit.
Dalam pembuatan eter dengan cara ini diperlukan suhu yang relatif rendah karena
dalam keadaan panas etil hidrogensulfat (C2H5OSO3H) dapat terdekomposisi menjadi
etilena dan asam sulfat. Suhu yang diperlukan adalah 120-140° C, dengan katalis
Al2(SO4)3. Bila reaksi berlangsung pada suhu ≥145° C, memberikan hasil etilena.
Perlu diketahui bahwa pembuatan eter dengan menggunakan asam sulfat ini
hanya memberikan hasil sebaik-baiknya untuk eter suku rendah dengan rantai linier.
Bila diterapkan untuk membuat eter suku tinggi dan bercabang, ternyata lebih banyak
menghasilkan etena.
Pembuatan eter dari alkohol
CH3CH2OH + HOCH2CH3⎯H2SO4→ CH3CH2–O–CH2CH3 + H2O
Menurut Sintesis Eter Williamson
Eter dapat dibuat dengan mereaksikan suatu alkil halida (haloalkana) dengan suatu
alkoksida. Alkoksida dapat dibuat dengan mereaksikan suatu alkohol primer dengan
suatu basa seperti NaOH. Contoh:
C2H5Br + Na-OC2H5 → NaBr + C2H5-O-C2H5
Mereaksikan Alkil Halida dengan Perak Iodida
Alkil halida jika direaksikan dengan perak iodida akan menghasilkan eter dan garam
perak halida. Contoh:
2 C2H5I + Ag2O → C2H5-O-C2H5 + 2 AgI
Eter mempunyai struktur rantai C-O-C yang mempunyai sudut ikatan sebesar 104,5º
dan jarak antara atom C dengan O adalah sekitar 140 pm. Halangan rotasi untuk ikatan
C-O sangat kecil. Ikatan oksigen dalam eter, alkohol dan air sangatlah mirip. Pada teori
ikatan valensi, hibridisasi oksigen adalah sp3.
Oksigen lebih elektronegatif daripada karbon, dengan demikian hidrogen alfa eter
bersifat lebih asam daripada hidrokarbon sederhana, tetapi jauh kurang asam
dibandingkan dengan hidrogen alfa golongan karbonil (seperti aldehida dan keton).
Kondensasi Ullmann
Kondensasi Ullmann mirip dengan metode Williamson, kecuali substratnya adalah aril
halida. Reaksi ini umumnya memerlukan katalis, misalnya tembaga.
Eter secara umumnya memiliki reaktivitas kimia yang rendah, walaupun ia lebih
reaktif daripada alkana. Beberapa contoh reaksi penting eter adalah sebagai berikut.[
1. Pembelahan eter
Walaupun eter tahan terhadap hidrolisis, ia dapat dibelah oleh asam-asam mineral
seperi asam bromat dan asam iodat. Asam klorida hanya membelah eter dengan
sangat lambat. Metil eter umumnya akan menghasilkan metil halida:
Beberapa jenis eter dapat terbelah dengan cepat menggunakan boron tribomida (dalam
beberapa kasus aluminium klorida juga dapat digunakan) dan menghasilkan alkil
bromida.Berganting pada substituennya, beberapa eter dapat dibelah menggunakan
berbagai jenis reagen seperti basa kuat.
2. Pembentukan peroksida
Eter primer dan sekunder dengan gugus CH di sebelah oksigen eter, dapat
membentuk peroksida, misalnya dietil eter peroksida. Reaksi ini memerlukan oksigen
(ataupun udaara), dan dipercepat oleh cahaya, katalis logam, dan aldehida. Peroksida
yang dihasilkan dapat meledak. Oleh karena ini, diisopropil eter
dan tetrahidrofuran jarang digunakan sebagai pelarut.
3. Sebagai basa Lewis
Eter dapat berperan sebagai basa Lewis maupun basa Bronsted. Asam kuat dapat
memprotonasi oksigen, menghasilkan "ion onium". Contohnya, dietil eter dapat
membentuk kompleks dengan boron trifluorida, yaitu dietil eterat (BF3.OEt2). Eter juga
berkooridasi dengan Mg(II) dalam reagen Grignard. Polieter (misalnya eter mahkoya)
dapat mengikat logam dengan sangat kuat.
Eter dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu eter simetris dan eter asimetris.
Kalau dalam rumus umum eter R = R', maka eter tersebut dinamakan eter sederhana
atau eter simetrik. Tetapi bila R ≠ R', dinamakan eter campuran atau eter asimetrik. Di
samping yang mempunyai gugus alkil (R) terdapat pula eter yang mengandung gugus
aril (Ar) yang rumus umumnya dinyatakan dengan Ar-O-Ar' atau Ar-O-'R.
Di antara eter dan Alkohol terdapat isomeri gugus fungsi dalam arti keduanya
mempunyai rumus molekul yang sama tetapi gugus fungsinya berbeda. Contoh untuk
isomeri fungsi di antara eter dan alkohol ini adalah CH3-O-CH3 dan CH3CH2OH.
Perbedaan gugus fungsi tersebut mengakibatkan adanya perbedaan sifat-sifat fisika
dan kimia pada eter dan alkohol.
Reaksi terhadap Eter, Eter merupakan suatu senyawa organik yang tidak terlalu
reaktif. Dengan kata lain, eter hanya dapat mengalami reaksi khusus. Reaksi terhadap
eter adalah:
Reaksi Oksidasi Eter
Dengan campuran (K2Cr2O7 + H2SO4), eter mengalami oksidasi dengan hasil seperti
pada oksidasi alkohol asalnya. Sebagai contoh, dietil eter (yang dibuat dari etanol) bila
direaksikan dengan (K2Cr2O7 + H2SO4) menghasilkan asetaldehida. C2H5-O-C2H5 → 2
CH3CHO
Reaksi Eter dengan Asam
Dengan HI Dingin
Dengan asam iodida dingin, eter menghasilkan alkohol dan alkil iodida. Contoh: C 2H5-
O-C2H5 + HI → C2H5OH + C2H5I
Dengan H2SO4 Dingin
Dengan asam sulfat pekat dingin, eter dapat larut. Pemanasan larutan eter dalam asam
sulfat pekat mengakibatkan terbentuknya alkohol dan alkil hidrogensulfat. Contoh:
C2H5-O-C2H5 + H2SO4 → C2H5OH + C2H5HSO4
Penamaan eter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penamaan alkil eter (Cara
Trivial) dan Menurut sistem IUPAC, gugus –OR disebut gugus alkoksi sehingga
penataan nama senyawa eter dimulai dengan nama gugus alkoksi (alkoksialkana)
diikuti oleh nama rantai utamanya.
1. Penamaan Alkil Eter (Trivial)
Nama kedua gugus alkil disebut lebih dahulu (diurutkan berdasarkan abjad), kemudian
di tambahkan eter. Jika kedua gugus alkil sama, diawalan di. Tata nama trivial untuk
senyawa eter sangat sederhana dengan menyebutkan nama-nama gugus yang terikat
pada atom oksigen dan kemudian ditambahkan kata eter. Contohnya adalah CH 3-O-
CH2CH3 diberi nama etil metil eter, sedangkan CH3CH2-O-CH2CH3 diberi nama dietil
eter.
2. Penamaan Alkoksialkana (IUPAC)
Penataan nama senyawa eter dimulai dengan nama gugus alkoksi diikuti oleh nama
rantai utamanya. Gugus alkoksi dianggap sebagai cabang yang terikat pada rantai
induk. Menurut tata nama IUPAC, eter diberi nama sebagai alkoksialkana, dalam arti
bahwa eter dipandang sebagai turunan alkoksi suatu alkana. Contohnya adalah
metoksimetana, metoksietana, dan 2-metoksipentana yang rumus strukturnya
berurutan adalah sebagai berikut:
Bila senyawa yang menurunkannya adalah alkena, maka nama yang diberikan adalah
alkoksialkena. Sebagai contoh adalah 1-metoksipropena yang mempunyai rumus
CH3OCH=CHCH3.
Eter yang memngandung gugus aril dinamakan Alkoksiarena. Sebagai contoh adalah
Metoksibenzena yang rumus strukturnya sebagai berikut:
Tetrahidrofuran
(Oksasiklopentana)
Rumus molekul : C4H8O
Nama lain : THF, Tetrahidrofuran, 1,4-epoksibutana,bitilena oksida, siklotetrametilena
oksida, dietilena oksida, , oksolana, furanidina, hidrofuran, tetra-metilena oksida.
Sifat-sifat eter yaitu pada keadaan standar, hampir seluruh senyawa eter
berwujud cair, kecuali dimetil eter (gas). Jika dibandingkan dengan senyawa alkohol,
titik didih dan titik leleh eter lebih keci. Ini terjadi karena antar molekul eter tidak
membentuk ikatan hidrogen. Eter juga cenderung bersifat nono polar, sehingga
kelarutannya dalam air sangat kecil. Selain itu eter bersifat mudah terbakar.
Dibandingkan terhadap alkohol, eter jauh kurang reaktif kecuali dalam hal
pembakaran.Eter jauh lebih mantap (lebih kurang reaktif) dibandingkan alkohol. Eter
tidak bereaksi dengan logam natrium. Sifat ini dapat digunakan untuk membedakan
alkohol dengan eter.
A. Sifat-sifat fisika
1. Eter adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap dengan bau yang khas.
2. Eter tidak larut air, akan tetapi larut dalam pelarut nonpolar.
3. Eter mudah terbakar dengan nyala bening yang jernih karena uap eter membentuk
campuran yang eksplosif dengan udara.
4. Eter dapat melarutkan lemak, minyak, resin, alkaloid, brom, dan iod.
Titik Momen
Titidk Kelarutan dalam 1 L
Eter Struktur lebur dipol
didih (°C) H2O
(°C) (D)
CH3CH2-O-
Dietil eter -116,3 34,4 69 g 1,14
CH2CH3
B. Sifat-sifat kimia
1. Eter sedikit polar karena sudut ikat C-O-C eter adalah 110 derajat, sehingga dipol C-O
tidak dapat meniadakan satu sama lainnya.
2. Eter lebih polar daripada alkena, namun tidak sepolar alkohol, ester, ataupun amida.
3. Eter dapat dipisahkan secara sempurna melalui destilasi.
4. Eter secara umumnya memiliki reaktivitas kimia yang rendah, walaupun ia lebih reaktif
daripada alkana
5. · Mudah terbakar
· Pada umumnya bersifat racun
· Bersifat anastetik (membius)
Eter memilki dua isomer, yaitu isomer struktur dan isomer fungsional.
1) Isomer Struktur
Isomer struktur ialah senyawa yang memiliki rumus molekul sama, namun rumus
strukturnya berbeda. Contohnya dietil eter memiliki isomer struktur dengan metil propil
eter dan metil isopropil eter.
2) Isomer Fungsional
Alkohol dan eter keduanya memiliki rumus umum yang sama, Akan tetapi,
keduanya memiliki jenis gugus fungsional yang berbeda. Dua senyawa yang memiliki
rumus umum molekul sama namun gugus fungsionalnya berbeda disebut memiliki
keisomeran fungsional. Eter berisomer fungsional dengan alkohol.
1. Di bidang medis, banyak sekali eter yang digunakan untuk anestesi (bius). Senyawa
dietil eter biasa digunakan sebagai zat anestetik (pemati rasa atau obat bius) yang
diberikan melalaui pernafasan namun penggunaan dietil eter dapat menyebabkan iritasi
saluran pernafasan dan merangsang sekresi lendir.
2. Bi bidang otomotif, eter digunakan untuk menghidupkan mesin yang tak mau
menyala. Bahkan eter juga digunakan sebagai tambahan bahan bakar sehingga laju
mesin lebih kencang.
3. Di laboratorium, eter merupakan pelarut yang banyak digunakan.
4.Eter juga digunakan sebagai pelarut non polar untuk melarutkan senyawa non polar
pula, seperti lemak, lilin dan minyak. Eter dapat menyebabkan mual dan muntah
selama waktu pemulihan. Karena dampak negatif ini, eter sudah jarang dipakai di
negara-negara maju.
Internal
Dan mungkin memiliki pengganti pada atom karbon selain hidrogen, misalnya
Gugus epoksi dapat pula menjadi bagian dalam sebuah struktur cincin, seperti
Senyawa epoksida dapat dibuka dengan mudah, di bawah kondisi asam atau basa.
Contohnya, hidrolisis propilen oksida yang dikatalis dengan senyawa asam atau basa untuk
menghasilkan propilen glikol.
REAKSI EPOKSIDASI
Epoksidasi adalah reaksi oksidasi ikatan rangkap oleh oksigen aktif membentuk senyawa
epoksida. Pada umumnya, epoksidasi minyak menggunakan hidrogen peroksida sebagai
pereaksi. Sifat hidrogen peroksida sebagai oksidator tidak cukup kuat sehingga ditransformasi
ke bentuk yang lebih aktif (asam peroksi). Menurut Swern D. (Swern D., et al, 1945)
bahwa asam peroksi yang dibentuk dari reaksi hidrogen peroksida dengan asam alifatis
rendah (asam formiat dan asam asetat) merupakan bentuk yang reaktif. Asam peroksi dapat
bereaksi sangat cepat dengan senyawa tidak jenuh. Sifat asam formiat yang kuat dapat juga
membuka cincin oksiran untuk menghasilkan senyawa turunan hidroksi-formoksi. Dengan
adanya air akan terbentuk senyawa dihidroksil dan asam formiat.
Karakteristik dari senyawa epoksida adalah adanya gugus oksiran yang terbentuk oleh
oksidasi dari senyawa olefinik atau senyawa aromatik ikatan ganda.
Untuk mencegah reaksi eksotermis yang tidak terkendali dan untuk mengoptimalkan
epoksidasi, larutan peroksida ditambahkan secara bertahap dengan adanya pengadukan, dan
mempertahankan suhu reaksi. Ketika angka iod substrat telah berkurang sampai ke titik
yang diinginkan, reaksi terhenti dan substrat terepoksidasi dipisahkan dari larutan. Karena
epoksidasi merupakan reaksi yang reversibel dan terdapat kemungkinan munculnya reaksi
samping, epoksidasi diusahakan untuk terjadi pada temperatur yang rendah dan waktu yang
singkat [Kirk-Othmer, vol.9, 251].
Ester terepoksidasi mempunyai densitas yang lebih tinggi dan volatilitas yang lebih rendah
serta lebih tahan terhadap oksidasi. Epoksidasi meningkatkan stabilitas oksidatif termal dan
mengurangi laju peningkatan angka asam [Gan L.H. et. Al, 1995].
Suhu reaksi epoksidasi lebih sering diatur pada 30 dan 140oC. Reaksi epoksidasi dapat
dilakukan secara batch, semi-kontinyu, atau kontinyu [Escrig, Pilar De Frutos et. Al, 1998].
Penamaan Epoksida
• Epoksi sebagai cabang pada seny. utama,
1,2-epoksi-sikloheksana
• Alkana oksida, dari metode sintesis umum
• Oksirana sbg induk, oksigen nomer 1
(oksiran) dan diikuti reaksi pembukaan cincin oksiran. Senyawa trigliserida tidak jenuh
yang terkandung dalam minyak nabati ini diepoksidasi menggunakan asam peroksi (yang terbuat
dari asam karboksilat dan hidrogen peroksida), dan akan menghasilkan senyawa epoksida yang
jumlahnya dapat dinyatakan dalam bilangan oksiran.
Epoksida minyak dapat digunakan secara langsung sebagai pemlastis dalam matriks
polimer untuk menghasilkan suatu material yang sesuai untuk polivinil klorida (PVC), hal ini
sangat penting sekali untuk mengendalikan kekentalan PVC selama proses pembuatannya dan
sebagai penstabil resin PVC untuk meningkatkan fleksibilitas, elastisitas, kekuatan dan untuk
mempertahankan stabilitas polimer terhadap perpindahan panas dan radiasi UV. Reaktifitas
cincin oksiran yang tinggi menyebabkan epoksi juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
beberapa bahan kimia, seperti alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa olefin,
dan polimer seperti poliester, poliuretan, dan resin epoksi (Gan, 1992).
Adanya ikatan π pada metil risinoleat telah berhasil diepoksidasi dilanjutkan dengan
alkoksilasi terhadap epoksida metil risinoleat untuk menghasilkan senyawa metil [9-(2,3-
dihidroksipropoksi)-10,12-dihidroksioktadekanoat] (Ocha,2009).
Esterifikasi asam organik dengan alkohol merupakan salah satu reaksi yang paling
mendasar dan penting dalam industri kimia. Produk-produk esternya secara luas dimanfaatkan
sebagai pelarut dan pengemulsi dalam industri makanan, farmasi serta kosmetik ataupun pelumas
dalam pengolahan logam, industri tekstil dan plastik (Arismunandar, 2006).
Sebagai bahan bakar (biodiesel) ester asam lemak seperti metil maupun etil ester asam
lemak telah banyak diteliti untuk dikembangkan, demikian juga ester antara alkohol rantai
panjang dengan asam oleat telah banyak dikembangkan sebagai bahan pelumas dasar bio
(biolubricant) (Susanto, 2008).
Bahan baku yang digunakan adalah minyak sawit. Bilangan iod dalam bahan baku
sebesar 58,37 %w/w. Reaksi epoksidasi merupakan bagian dari reaksi hidroksilasi, yang mana
senyawa epoksida yang dihasilkan sebagai senyawa intermediet akan mengalami reaksi
pembukaan cincin oksiran/epoksida menghasilkan senyawa polihidroksi trigliserida, karena
penelitian ini difokuskan pada reaksi epoksidasi maka pembukaan cincin oksiran harus
dihambat. Reagen yang digunakan untuk menghambat reaksi pembukaan cincin oksiran ini
adalah benzene. Reaksi epoksidasi merupakan reaksi eksotermis dan penelitian ini dilakukan
secara isotermal sehingga perlu ada kontrol suhu reaksi. Saat awal reaksi, digunakan air
pemanas untuk mencapai suhu reaksi. Setelah suhu reaksi tercapai dan hidrogen peroksida
mulai ditambahkan, suhunya akan meningkat sehingga penggunaan air pemanas segera
diganti dengan air pendingin. Penggantian air ini tidak dapat dilakukan dengan cepat karena
dilakukan secara manual sehingga suhu reaksi tidak dapat stabil pada kondisi reaksi yang
diharapkan (pengendalian suhu yang sulit dilakukan). Alat yang digunakan untuk mengontrol
suhu pada reaksi epoksidasi ini adalah termokopel yang dicelupkan dalam larutan di dalam
labu leher tiga. Namun saat run pertama dijalankan, larutan di dalam labu berubah warna
menjadi kehitaman. Hal ini terjadi karena ujung termokopel, yang terbuat dari besi, terkorosi
oleh reagen H2O2. Untuk run berikutnya termokopel dicelupkan ke dalam waterbath berisi air
pemanas/air pendingin, sehingga dibutuhkan kalibrasi suhu antara suhu air pemanas dengan
suhu di dalam labu. Diasumsikan bahwa pada waktu ke-0 belum terdapat senyawa epoksida.
Pada penelitian ini, penetralan minyak hasil reaksi dilakukan setelah proses
distilasi yang berarti berbeda dengan cara kerja di dalam jurnal L.H. Gan, S.H. Goh dan K.S.
Ooi (1992). Di dalam jurnal, minyak hasil reaksi dinetralkan dahulu untuk kemudian
didistilasi. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasan ukuran alat penelitian yang akan
digunakan untuk penetralan.
Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Jumlah Bilangan Epoksida (% Epoksida) pada
Suhu 30oC,40oC,Dan 50oC
Secara teori, epoksidasi minyak sawit menghasilkan senyawa epoksida yang ditandai
dengan kenaikan bilangan epoksidanya. Tipe reaktor yang digunakan adalah reaktor batch,
sehingga semakin lama waktu reaksi maka konversi yang dihasilkan semakin besar, sampai
tercapai konversi yang maksimal. Dengan membuat plot grafik hubungan persentase epoksida
sebagai fungsi waktu reaksi, akan terlihat pengaruh waktu terhadap bilangan epoksida
produk.
Berkurangnya pembentukan asam peroksiformat pada suhu reaksi yang semakin tinggi
akan mengurangi oksidasi ikatan rangkap dalam minyak sehingga senyawa epoksida yang
dihasilkan juga semakin sedikit.
Pada suhu 30oC, semakin lama waktu reaksi maka persentase epoksida yang
terbentuk cenderung semakin besar. Untuk variabel waktu 1 jam diperoleh jumlah
bilangan epoksida 0,96 %, variabel waktu 2 jam diperoleh jumlah bilangan epoksida 1,23%,
dan variabel waktu 3 jam diperoleh jumlah bilangan epoksida 1,23%.
Pada suhu 40oC juga diketahui, persentase epoksida yang terbentuk cenderung
semakin besar dengan bertambahnya waktu reaksi meskipun terdapat sedikit penurunan
jumlah bilangan epoksida pada variabel suhu 2 jam. Hal ini dapat dilihat dari persentase
epoksida yang terbentuk pada variabel waktu 1 jam sebesar 1,00 % ; pada variabel waktu 2
jam sebesar 0,97 %, dan pada variabel waktu 3 jam diperoleh jumlah bilangan epoksida
1,07%.
Pada suhu 50oC, hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama dengan
hasil pada suhu 40oC, dimana terlihat semakin lama waktu reaksi maka jumlah bilangan
epoksida cenderung semakin besar, yaitu pada variabel waktu 1 jam diperoleh jumlah bilangan
epoksida 1,09 %, variabel waktu 2 jam menghasilkan jumlah bilangan epoksida 0,87 %,
pada variabel waktu 3 jam diperoleh jumlah bilangan epoksida 1,02 %, dan pada variabel
waktu 4 jam diperoleh jumlah bilangan epoksida 1,15 %. Hasil pada variabel suhu 50oC ini
diperoleh karena semakin lama waktu reaksi maka kesempatan molekul-molekul zat
pereaksi untuk saling bertumbukan semakin luas, disamping itu ikatan rangkap yang
terdapat dalam minyak sawit semakin banyak mengalami oksidasi pembukaan ikatan
rangkap oleh asam peroksiformat. Keberadaan benzene dalam reaksi juga akan
meminimalkan pembukaan cincin oksiran/epoksida, sehingga senyawa epoksida yang terbentuk
lebih banyak.
Akan tetapi pada beberapa variabel, yaitu suhu 40oC dan 50oC masing-masing untuk
variabel waktu 2 jam jumlah epoksida yang terbentuk cenderung mengalami penurunan.
Hal ini dapat disebabkan oleh oksidasi ikatan rangkap oleh asam peroksiformat tidak
berjalan dengan sempurna karena reaksi pembentukan asam peroksiformat merupakan
reaksi reversibel. Sedangkan pada suhu 30oC dan 40oC variabel waktu 4 jam, penurunan
jumlah epoksida dapat terjadi karena reaksi belum mencapai kesetimbangan dan jumlah
senyawa epoksida yang terbentuk belum maksimal karena oksidasi dari asam peroksiformat
yang tidak sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Eter adalah nama segolongan senyawa organik yang mengandung unsur-unsur C,
H, dan O dengan rumus umum R-O-R'. Bila rumus umum ini dikaitkan dengan rumus air
(HOH), maka eter dapat dianggap sebagai turunan dialkil dari senyawa air. Eter atau
alkoksialkana merupakan senyawa turunan alkana. Satu atom H rantai alkana diganti
oleh gugus alkoksi sehingga eter mamiliki dua gugus alkil.
2. Eter dibuat dari dehidrasi alkohol, Pembuatan Eter Menurut Williamson,
Mereaksikan Alkil Halida dengan Perak Iodida.
3. Eter digolongkan menjadi dua jenis, yaitu eter simetris dan eter asimetris.
4. Tata Nama Eter Penamaan eter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
penamaan alkil eter (Cara Trivial) dan Menurut sistem IUPAC.
5. Sifat-sifat eter yaitu pada keadaan standar, hampir seluruh senyawa eter berwujud
cair, kecuali dimetil eter (gas).
6. Eter memilki dua isomer, yaitu isomer struktur dan isomer fungsional.
7. Manfaat eter, dibidang medis digunakan untuk anestesi (bius), dibidang otomotif,
eter digunakan untuk menghidupkan mesin yang tak mau menyala, dilaboratorium, eter
digunakan sebagai pelarut non polar untuk melarutkan senyawa non polar pula, seperti
lemak, lilin dan minyak.