Anda di halaman 1dari 26

PENGANTAR KIMIA ZAT WARNA

Oleh : Dede Karyana, S. Teks, M.Si,


STTT Bandung, 20 Mei 2010

1. STRUKTUR DAN KLASIFIKASI ZAT WARNA

1.1. Struktur Molekul dan Warna Zat Warna


Berbagai ragam bahan tekstil dapat dicelup atau dicap dengan pewarna yang disebut zat
warna. Pada awalnya banyak digunakan zat warna alam namun karena keterbatasan sifat dan
jumlahnya, maka saat ini lebih banyak digunakan zat warna sintetis.
Perkembangan teknologi pembuatan zat warna berlanjut terus seiring dengan
perkembangan teknologi pembuatan serat, teknologi pencelupan serta untuk mendapatkan sifat
dan warna zat warna tertentu sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki.

1.1.1. Persyaratan Zat Warna


Empat sifat dasar yang harus dimiliki oleh zat warna agar dapat dipakai sebagai
pewarna warna bahan tekstil adalah
 Mempunyai intensitas warna yang kuat
 Sebaiknya dapat larut dalam media air, atau bila zat warnanya termasuk golongan zat warna
yang tidak larut maka harus dapat didispersikan atau ketika dipakai (dalam proses
pencelupan atau pencapan) dapat dirubah dulu menjadi larut.
 Punya kemampuan untuk dapat diserap oleh bahan (substantifitasnya baik) dan dapat
berikatan dengan serat
 Mempunyai ketahanan luntur yang memadai
Untuk mendapatkan sifat-sifat tersebut dapat diatur sedemikian rupa dengan cara
merekayasa struktur molekulnya dan mengatur kondisi proses pemakaian. Namun demikian
sifat-sifat khas suatu zat warna maupun sifat dalam pemakaiannya seperti corak dan kecerahan
warna, kelarutan, kemampuan beragregrasi, substantifitas, ketahanan luntur dan kestabilannya
pada kondisi proses tertentu sangat tergantung pada struktur zat warna,

1.1.2. Warna dan Struktur Molekul


Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan teori tentang zat warna, bahwa dalam suatu
struktur molekul zat warna akan mengandung gugus tidak jenuh yang disebut kromofor
(Contoh : -N=N-, >C=O, -NO2) dan gugus pembentuk garam yang disebut auksokrom ( Contoh :
-OH, -NH2, -SO3H )
Bila kromofor berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh senyawa yang berwarna,
contohnya azo bensena berwarna orange, antrakwinon berwarna kuning muda. Gabungan
sistem aromatik dan kromofor tersebut disebut kromogen.
Kromogen seperti azobensena belum bisa dipakai sebagai zat warna karena intensitas
warnanya rendah dan belum mempunyai daya celup. Tetapi bila dimasukkan satu atau lebih
gugus auksokrom maka akan menjadi zat warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa
auksokrom ada yang bersifat donor elelktron dan ada juga yang bersifat penarik elektron. Bila
auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan dengan auksokrom penarik
elektron dalam struktur molekul zat warna maka akan memperbesar sistem konyugasi zat
warna, sehingga selain meningkatkan intensitas warna juga akan menimbulkan efek
bathokromik, yaitu panjang gelombang maksimum ( λ maks) zat warnanya akan semakin besar,
contohnya dari kuning menjadi merah, sebagaimana contoh struktur pada gambar 1.1.
N=N

Azobensena (kuning muda)

O2N N=N NH2

CI. Disperse Orange 1


CN
C2H5
O2N N=N N
C2H5
CI Disperse Red 72

Gambar 1.1. Efek auksokrom pada zat warna azo terhadap corak warna

Pada tahun 1900 Gomberg menemukan radikal trifenil metan yang ternyata berwarna
padahal pada strukturnya tidak ada kromofor maupun auksokrom.

C’

Gambar 1.2. Radikal tifenil metan

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Witt hanya dapat dipakai pada zat
warna jenis azo, nitro atau antrakwinon, tetapi tidak dapat digunakan untuk menerangkan zat
warna trifenil metan
Pada tahun 1907 Hewitt dan Mitchel menyatakan pentingnya sistem konyugasi dalam
struktur zat warna, bahwa penuaan warna akan semakin besar dengan semakin panjangnya
sistem konyugasi dalam struktur zat warna.
Seiring dengan ditemukannya konsep resonansi elektron dalam struktur yang
terkonyugasi diperoleh bahwa penyebab timbulnya warna adalah karena dalam struktur zat
warna yang terkonyugasi akan ada resonansi elektron , seperti contoh struktur resonansi
trifenil metan pada gambar 1.3.

H2N N+H2 Cl- H3N+ Cl- NH2

C C

Gambar 1.3. Struktur resonansi trifenil metan

Semakin besar sistem terkonyugasi dalam struktur molekul zat warna, resonansinya
akan makin besar maka frekuensinya semakin kecil sehingga panjang gelombangnya semakin
besar (efek bathokromik makin besar) seperti terlihat pada gambar 1.4..

O R1
R1 = R2 = H Antrakwinon (kuning muda)

R1 = NH2 ; R2 = OH CI Disperse Red 15

O R2 R1 = R2 = NHCH3 CI Disperse Blue 14

Gambar 1.4. Efek batokromik pada zat warna antrakuinon

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang menimbulkan warna pada
sruktur zat warna adalah adanya resonasi elektron π, makin besar resonansinya akan timbul
efek batokromik dan meningkatkan intensitas warnanya.

1.2 Klasifikasi Zat Warna


Zat warna atau pigmen warna dapat digolongkan berdasarkan konstitusi (struktur
molekul) dan berdasarkan aplikasinya baik dalam proses pencelupan maupun pada proses
pencapan bahan tekstil.
Kedua cara penggolongan ini sebenarnya tidak menggolongkan zat warna secara
tuntas, sebagai contoh dari struktur zat warna yang mempunyai kromogen yang sama dapat
dibuat menjadi dua jenis atau lebih zat warna yang berbeda cara pencelupannya.

1.2.1. Penggolongan Zat Warna Berdasarkan Cara


Penggunaannya
Penggunaan dari zat warna tekstil ditentukan oleh jenis serat dari bahan yang akan
diwarnai. karena tiap warna zat warna tidak dapat mewarnai semua jenis serat, hal ini
disebabkan karena setiap jenis zat warna pada tiap bahan mempunyai afinitas dan ketahanan
luntur yang berbeda.
Berdasarkan sifat-sifat zat warna dan cara penggunaannya, zat warna tekstil dapat
digolongkan sebagai berikut :

 Zat Warna Direk.


Zat warna ini larut dalam air. Warnanya beraneka ragam, tetapi kurang cerah. Ketahanan
lunturnya kurang baik. Untuk memperbaiki tahan lunturnya dapat dilakukan proses iring
dengan kation aktif. Zat warna direk kebanyakan digunakan untuk mencelup serat selulosa.

NH2

NH2 OH
H2N N=N NHCO N=N N=N

HO3S SO3H

Gambar 1.5. CI Direk Black 166

 Zat Warna Reaktif.


Zat warna ini larut dalam air, warnanya cerah dengan ketahanan luntur yang baik,
kecuali terhadap kaporit (khlor). Zat warna reakrtif kebanyakan digunakan untuk pencelupan
serat selulosa, protein, poliamida (nilon) dan pencapan pada serat kapas.

Cl
SO3H N
HO NH N
N=N N
Cl
HO3S SO3H

Gambar 1.6. CI. Reactive Red 1

 Zat Warna Bejana.


Zat warna ini tidak larut dalam air, warnanya beranekaragam, ketahanan lunturnya tinggi,
kecerahannya tinggi dan intensitas warnanya kuat, lebih tahan zat kimia, tetapi tetapi
harganya relatif mahal.
Zat warna bejana banyak digunakan untuk pencelupan dan pencapan serat selulosa
yang berkualitas tinggi. Contoh :

NH O

O HN

O
Gambar 1.7. CI. Vat Blue 4

4 O H
3 1' 7'
5 N 6'
2 2'
6 N
1 3'
7 4'
H O

C.I. Vat Blue 1


Gambar 1.8. CI. Vat Blue 1

 Zat Warna Bejana Larut


Merupakan pengembangan zat warna bejana, berupa leuco zat warna bejana yang
distabilkan dalam suasana alkali, sehingga dalam pemakaiannya lebih mudah karena larut
dalam air dan tidak memerlukan proses pembejanaan.
Zat warna ini mudah rata dan tahan lunturnya tinggi, tetapi harganya sangat mahal.
Selain untuk mewarnai katun, zat warna ini digunakan terutama untuk pencelupan sutra
atau wol.
H OSO3H
O
H
N C N
ClSO3H
C C
N N C
H O H
OSO3H
Indigosol
Gambar 1.9. CI. Solubilized Vat Blue 1

Selain zat warna bejana larut yang berasal dari turunan indigo yang dikenal dengan
nama indigosol. dibuat pula zat warna bejana larut yang berasal dari turunan antrakuinon
yang dikenal dengan nama antrasol.

 Zat Warna Belerang.


Zat warna belerang harganya relatif murah dan digunakan untuk mencelup serat kapas,
tidak larut dalam air, warnanya terbatas dan suram karena molekulnya besar, ketahanan
lunturnya tinggi kecuali terhadap khlor (kaporit). Warna yang menonjol digunakan adalah
hitam. Contoh struktur zat warna belerang : D – S – S – D – S – S - D

S
O S

S S =D
S S

S O
S

Gambar 1.10. D = Intermediat CI. Sulphur Red 5

 Zat warna Bejana Belerang


Merupakan zat warna benjana yang mengandung belerang, adanya atom S pada kromogen
menyebabkan zat warna tidak tahan pada reduktor kuat, sehingga untuk mereduksinya
digunakan campuran Na2S2O4 dan Na2S.

O
S

S
O
Tioindigo

Gambar 1.11. Struktur zat warna tio indigo

 Zat Warna Naftol.


Zat warna ini tidak larut dalam air, merupakan hasil kopling naftol dengan garam
diazonium, warnanya terbatas dan cerah, ketahanan lunturnya tinggi, kecuali terhadap
gosokan. Zat warna naftol banyak digunakan untuk pencelupan, pencapan dan pembatikan
serat kapas.
OH

CONH
Gambar 1.12 Naphtol AS

Fast Red 3 GL Salt Garam diazonium dari 4-kloro-2-nitroanilin

 Zat Warna Asam.


Zat warna ini larut dalam air, warnanya beraneka ragam dan cerah, ketahanan lunturnya
pada pencucian dan sinar matahari bervariasi. Zat warna asam dapat digunakan untuk
pencelupan dan pencapan serat wol, sutera dan nilon

OH NHCOCH3
CH3(CH2)11 N=N

HO3S SOH

Gambar 1.13. CI. Acid Red 138

 Zat Warna Basa.


Zat warna ini larut dalam air, warnanya beraneka ragam dan sangat cerah. Beberapa
jenis zat warna ini tidak tahan terhadap pencucian, penggosokan atau sinar. Zat warna
basa/kation banyak digunakan untuk pencelupan serat wol, sutera, nilon, akrilat dan serat
CDP (Cationic Dyeable Poliester).

O NH2

O NH CH2N+H(CH3)2Cl

Gambar 1.14. CI. Basic Blue 47

 Zat Warna Mordan.


Zat warna ini tidak larut dalam air, tahan lunturnya terhadap pencucian baik, beberapa
jenis warnanya suram. Zat warna ini dapat mencelup wol dan kapas.

 Zat Warna Dispersi.


Zat warna ini tidak larut dalam air, warnanya beraneka ragam dan cerah, ketahanannya
baik, digunakan untuk serat sintetik dan asetat.

O2N N=N NH2

Gambar 1.15. CI. Disperse Orange 1


 Zat Warna Pigmen.
Zat warna ini tidak larut dalam air yang dalam penggunaannya diperlukan bantuan resin
pengikat. Warnanya cerah sedangkan ketahanan gosok dan sinar kurang. Kebanyakan
digunakan untuk pencapan pada serat kapas, poliester dan campuran kedua serat tersebut.

NO2 HO
C-CH3
H3C N=N-C
CONH
Gambar 1.13. CI Pigmen Yellow 1

1.2.2. Penggolongan Zat Warna berdasarkan Struktur Kimia


Berdasarkan stuktur molekulnya ada 25 golongan zat warna yang tercatat dalam Color
1ndex namun sebagian terbesar merupakan zat warna azo, yang dapat dibagi menjadi zat
warna azo yang tidak mengandung logam dan zat warna azo kompleks logam.
Jenis zat warna terbesar berikutnya adalah zat warna jenis antrakwinon (15 % dari total)
diikuti jenis triarilmetan (3 %) dan ptalosianin (2 %), zat warna jenis lainnya diproduksi kurang
dari 1 %.

 Zat Warna Azo


Disebut zat warna azo, karena dalam strukturnya terdapat kromofor jenis azo (-N=N-)
yang berikatan dengan sistem aromatik,
HO NH2
O2N N=N

HO3S SO3H

Gambar 1.14 Zat warna monoazo

Zat warna jenis azo dapat berupa mono azo, diazo dan poliazo, Selain yang tidak
mengandung logam ada juga yang mengandung logam. Variasi corak warnanya sangat
lengkap dari warna kuning hingga biru, dan intensitas warnanya kuat. Kecerahan warnanya
tinggi terutama untuk zat warna mono azo dan diazo.
Zat warna azo sering digunakan pada hampir seluruh jenis zat warna terutama pada zat
warna asam, reaktif. direk, dispersi dan zat warna basa, tetapi tidak digunakan untuk
membuat zat warna bejana, bejana larut atau belerang, karena kelemahan dari zat warna
azo adalah gugus azonya mudah rusak oleh reduktor.
Proses pembuatan zat warna azo relatif sederhana, yaitu melalui proses diazotasi dan
proses kopling, sehingga harganya relatif murah.

 Zat Warna Antrakwinon


Antrakwinon banyak dipakai untuk membuat zat warna dispersi, asam, reaktif, bejana
dan pigmen.
Berbeda dengan zat warna azo, proses pembuatan zat warna antrakwinon sangat mahal
karena memerlukan katalis garam merkuri.
Gugus-gugus (auksokrom) pada zat warna antrakwinon dimasukkan belakangan setelah
terbentuk struktur antrakwinon. Gugus yang dimasukkan biasanya berupa gugus penarik
elektron seperti gugus –OH, -NH2 dan –NHR guna mendapatkan efek bathokromik sehingga
dapat diperoleh warna-warna merah sampai biru.
Keunggulan zat warna antrakwinon adalah relatif lebih stabil terhadap zat kimia,
warnanya cerah, intensitas warnanya kuat dengan pita spektrum absorbansi yang sempit,
sehingga warnanya tampak sangat murni. Contoh :

OH O NH CH2 CH2 OH

OH O OH
Gambar 1.15 CI. Disperse Blue 27

 Zat Warna Triarilmetan


Meskipun kurang tahan terhadap cahaya dan kimia, turunan tiarilmetan sampai saat ini
masih dipakai untuk membuat zat warna basa, asam dan mordan karena warnanya sangat
cerah dan intensitas warnanya kuat, terutama untuk mendapatkan warna warna merah hijau
hingga biru. Contohnya sebagai berikut,

(CH3)2N N+(CH3)2 Cl-

Gambar 1.16 CI Basic Green 4


1.2.3. Komposisi Produksi Zat Warna
Dari keseluruan zat warna yang di produksi. komposisi kimia masing-masing zat warna
dapat dilihat pada tabel 1. berikut ini :

Tabel 1.Distribusi kelas kimia zat warna

Kelas kimia zat warna Persentase distribusi zat warna


Asam Basa Direk Disper Reaktif Beja
si na
Azo tanpa logam 48 43 87 59 66
Azo kompleks logam 31 5 15
Antrakwinon 10 5 10 82
Nitro, Nitroso 1 32
Metin 17 1
Triarilmetan 5 11
Ptalosianin 1 8 1
Stilben 5
1ndigoida 5
Tioindigo 4
1ndole-thianaften 4
Aminoketon 2 3
Xanten 2 3
Akridin 7
Azin 1 5

Oksazin 3 1
Lain-lain 1 6 1 2 1 2

Dari tabel tersebut kembali terlihat bahwa kebanyakan zat warna yang terbanyak
diproduksi adalah jenis azo, kemudian disusul jenis nitro/nitroso, antrakwinon, triaril metan dan
ptalosianin.
Pada tabel diatas tidak termasuk distribusi komposisi kimia untuk zat warna naftol,
bejana larut dan belerang, namun demikian secara keseluruhan yang tercantum pada tabel
tersebut sudah mencakup sekitar 2/3 dari total keseluruhan zat warna.

2. Zat Warna Direk

Zat warna direk bersifat larut dalam air, sehingga dapat langsung dipakai dalam
pencelupan serat selulosa seperti katun, rayon dan rami. Zat warna direk relatif murah harganya
dan mudah pemakaiannya, tetapi warnanya kurang cerah dan tahan luntur hasil celupannya
kurang baik.

2.1. Struktur Zat Warna Direk


Pada dasarnya zat warna direk merupakan pewarna organik yang dalam sistem
kromogennya terdapat gugus pelarut, biasanya berupa gugus sulfonat. Struktur zat warna direk
dapat digolongkan dalam jenis azo, stilbena, tiazolum dan ftalosianina. Kebanyakan zat warna
direk termasuk jenis azo yang berupa monoazo, diazo, triazo dan poliazo, sehingga zat warna
direk umumnya tidak tahan reduktor. Contoh : Zat warna direk poliazo

NaO3S N=N N=N N=N N=N SO 3Na

H2N NH2 H2N NH2

Gambar 2.1 CI Direct Brown 44

Selain zat warna direk biasa, terdapat pula zat warna direk khusus yang tahan luntur
hasil celupannya lebih baik, yaitu zat warna direk yang mengandung logam. Agar tidak rusak,
zat warna direk yang mengandung logam tidak boleh dipakai dalam larutan celup yang
mengandung zat pelunak air.

2.2. Tahan Luntur dan Ikatan Zat Warna Direk dengan Selulosa
Zat warna direk dapat dipakai mencelup serat selulosa karena dapat berikatan dengan
gugus hidroksil dari selulosa dengan ikatan hidrogen,

R1-N=N-R2-SO3Na
Ikatan Hidrogen
Sel-OH

Kekuatan ikatan hidrogen umumnya tidak terlalu kuat, dapat putus dalam suhu tinggi,
oleh karenanya tahan luntur hasil pencelupan zat warna direk sangat rendah tertutama dalam
pencucian panas.
Selain ikatan hidrogen sebagai ikatan yang utam, kekuatan ikatan zat warna direk
dengan serat juga ditunjang dengan fisika yairu ikatan dari gaya Van Der Waals. Kekuatan
ikatan dari gaya Van Der Waals relatif sangat lemah, namun cukup penting bila ukuran partikel
zat warnanya makin besar. Dari hal tersebut, terlihat tahan luntur hasil celupan zat warna direk
bervariasi mulai dari yang rendah hingga yang sedang.

2.3. Sifat-sifat Zat Warna Direk

Kelarutan Zat Warna Direk


Kelarutan zat warna direk merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan karena
zat warna direk yang kelarutannya tinggi akan memudahkan dalam pemakaiannya, dan pada
proses pencelupannya relatif lebih mudah rata, tetapi dilain pihak kelarutan yang tinggi akan
mengurangi substantifitas zat warna dan tahan luntur warna terhadap pencucian hasil celupnya
lebih rendah. Proses pelarutan zat warna direk :
H2O
R1-N=N-R2-SO3Na  R1-N=N-R2-SO3- + Na+ R1-N=N-R2-SO3- . aq + Na+ . aq
Zat warna direk
Faktor yang menentukan kelarutan zat warna direk adalah ukuran partikel zat warna
direk dan jumlah gugus pelarut dalam struktur zat warnanya. Makin kecil ukuran partikel zat
warna makin tinggi kelarutannya, demikian pula bila jumlah gugus pelarutnya makin banyak.

Substantifutas Zat Warna Direk


Substantifitas zat warna direk relatif kecil, sehingga diakhir pencelupan selalu ada sisa
zat warna direk yang tidak terserap bahan. Untuk memperbesar penyerapan zat warna direk
selama pencelupan dapat dilakukan beberapa usaha antara lain dengan menurunkan vlot,
menambahkan garam (NaCl atau Na2SO4), menurunkan suhu dan pH larutan pencelupan.

2.4. Klasifikasi Zat Warna Direk


Zat Warna direk dapat digolongkan berdasarkan struktur molekulnya, namun
penggolongan yang lebih umum adalah berdasarkan cara pemakaiannya, sebagai berikut :
 Zat warna direk type A
Ukuran molekulnya kecil, substantifitas kecil, mudah rata, biasa dipakai pada suhu
pencelupan 70 0C, perlu penambahan garam yang banyak dalam pencelupannya, tahan
lunturnya rendah.
 Zat warna direk type B
Ukuran molekul agak besar, substantifitas sedang, kerataan sedang, suhu pencelupan 80
0
C, masih perlu penambahan garam (tidak terlalu banyak) dalam pencelupannya, tahan
luntur lebih baik dari type A.
 Zat warna direk type C
Ukuran molekul zat warna lebih besar dari type B, substantifitas zat warna besar, sukar rata,
suhu pencelupan diatas 90 0C (umumnya pada suhu mendidih) dan tidak memerlukan
penambahan garam, tahan lunturnya lebih baik dari type B.
 Zat warna direk type D
Adalah zat warna direk yang mengandung logam (biasanya Cu) sehingga termasuk zat
warna kompleks logam yang tahan lunturnya tinggi, tapi sukar rata dalam proses
pencelupanya

3. ZAT WARNA ASAM

Zat warna asam termasuk zat warna yang larut dalam air karena mempunyai gugus
pelarut sulfonat atau karboksilat dalam struktur molekulnya. Gugus-gugus tersebut juga
berfungsi sebagai gugus fungsi untuk mengadakan ikatan ionik dengan tempat-tempat
positif dalam serat poliamida.
Zat warna asam yang mempunyai 1(satu) gugus sulfonat dalam struktur molekulnya
disebut zat warna asam monobasik, yang mempunyai 2(dua) gugus sulfonat disebut zat
warna asam dibasik dan seterusnya.
Karena gugus pelarut zat warna asam dibasik lebih banyak gugus pelarutnya, maka
kelarutan nya makin tinggi, akibatnya pencelupannya menjadi lebih mudah rata, tetapi tahan
luntur hasil celupan terhadap pencuciannya akan berkurang. Selain itu dibanding zat warna
asam monobasik jumlah maksimum zat warna asam dibasik yang dapat terserap oleh serat
poliamida menjadi lebih kecil, terutama bila suasana larutan celup kurang begitu asam,
karena dalam kondisi seperti itu tempat-tempat positip pada bahan terbatas. Jadi untuk
pencelupan warna tua dalan kondisi tersebut sebaiknya digunakan zat warna asam
monobasik.
Zat warna asam sering dipakai untuk mencelup kain poliamida karena tahan luntur
warna terhadap sinarnya lebih tinggi dari pada hasil celup dengan zat warna dispersi.
Keunggulan lain dari zat warna asam adalah warnanya yang cerah, hal tersebut karena
ukuran partikelnya relatif kecil (lebih kecil dari ukuran partikel zat warna direk).
Struktur kimia zat warna asam bervariasi, antara lain jenis trifenil metan, xanten, nitro
aromatik, azo dan pirazolon. Kebanyakan zat warna asam termasuk jenis azo sehingga hasil
celupnya dapat dilunturkan dengan reduktor.

2.1. Golongan Zat Warna Asam

Penggolongan zat warna asam yang lebih umum adalah berdasarkan cara
pemakaiannya, yaitu :

Zat Warna Asam Celupan Rata (levelling acid dyes)


Disebut zat warna asam celupan rata karena pencelupannya mudah rata akibat dari
ukuran molekul zat warnanya yang relatif sangat kecil sehingga substantifitasnya terhadap
serat relatif kecil, sangat mudah larut dan warnanya sangat cerah, tetapi tahan luntur
warnanya rendah.
Ikatan antara serat dan zat warna yang utama adalah ikatan ionik disamping sedikit
ikatan Van Der Waals. Untuk pencelupan warna tua biasanya diperlukan kondisi larutan
celup yang sangat asam pada pH 3-4, tapi untuk warna sedang dan muda dapat dilakukan
pada pH 4-5.
Pemakaian NaCL pada larutan celup yang pH nya rendah akan berfungsi sebagai
perata.

HOS N=N OH

Gambar 2.1. CI. Acid Orange 20

Zat Warna Asam Milling


Ukuran molekul zat warna asam milling agak lebih besar dibanding zat warna asam
celupan rata, sehingga afinitas zat warna asam milling lebih besar dan agak sukar
bermigrasi dalam serat, akibatnya agak sukar mendapatkan kerataan hasil celup.
Tahan luntur warna hasil celupannya lebih baik dari zat warna asam celupan rata karena
walaupun ikatan antara serat dan zat warna dengan serat masih didominasi ikatan ionik
tetapi sumbangan ikatan fisika dari gaya Van Der Waals nya juga relatif mulai cukup besar
(sesuai dengan makin besarnya ukuran partikel zat warna).
Untuk mencelup warna tua umumnya diperlukan kondisi larutan celup pH 4-5, tetapi
untuk warna sedang dan muda sebaiknya dilakukan pada pH 5-6 agar hasil celupnya rata.
Penambahan NaCl dalam larutan celup akan berfungsi sebagai pendorong penyerapan.

Contoh struktur zat warna asam milling :

Gambar 2.2. CI Acid Red 151

Zat Warna Asam Super Milling


Diantara seluruh jenis zat warna asam, ukuran molekul zat warna asam supermilling
paling besar (tapi masih lebih kecil dari ukuran molekul zat warna direk) sehingga afinitas
terhadap serat relatif besar dan sukar bermigrasi, akibatnya sukar mendapatkan kerataan
hasil celupnya, tetapi tahan luntur warnanya tinggi.
Tahan luntur yang tinggi diperoleh dari adanya ikatan antara serat dan zat warna yang
berupa ikatan ionik yang didukung oleh ikatan dari gaya Van Der Waals serta kemungkinan
terjadinya ikatan Hidrogen.

ZW-SO3-- --
O3S-ZW
Ikatan ionik Ikatan ionik

HOOC-----CON+H2 ----N+H3

Gambar 2.5. Ikatan ionik antara zat warna asam dengan poliamida

N SO2 H2N

CH3CONH N=N

HO
SO3H
` Gambar 2..3. CI Acid Red 32
Selain jenis azo, banyak zat warna asam yang struktur antrakuinon, contohnya C.I.Acid
Blue 25 dan C.I.Acid Blue 62 yang masuk ke dalam kelompok zat warna asam leveling,
sedangkan C.I. Acid Blue 230 bersifat lebih hidrofob (sehingga memiliki sifat ketahanan
luntur warna terhadap pencucian yang baik) termasuk ke dalam kelompok zat warna asam
milling.
O NH2
O NH2
SO3H
SO3H

O NH
O NH R

C.I.Acid Blue 25 (R=H) C.I.Acid Blue 62


C.I.Acid Blue 230 (R=butil)
O NH2 O NH2
SO3H SO3H

H3C

O NH NHCOCH3 O NH CH3

H3C
C.I.Acid Blue 40 C.I.Acid Blue 129

Gambar 2.4. Contoh zat warna asam dengan struktur antrakuinon

2.3. Garis besar sifat zat warna asam:


Golongan Zat Warna
Sifat-sifat
Levelling Milling Super milling
Tahan luntur thd
Kurang Sedang Baik
pencucian
Warna tua : 3-4 Warna tua : 4-5 Warna tua : 5-6
pH pencelupan Sedang/ muda : Sedang/muda : 5- Sedang/muda : 6-
4-5 6 7
Kerataan Baik Agak kurang kurang
Berat molekul Rendah Sedang Tinggi
Bentuk molekul Molekuler Molekular Koloidal
Kelarutan Tinggi Rendah Rendah
Afinitas anion Rendah Tinggi Sangat tinggi
Tahan cuci Cukup Cukup Baik Baik
Kecerahan Cerah Agak cerah Agak suram

3. Zat Warna Basa

Dalam bentuk basa, zat warna basa termasuk zat warna yang tidak larut, tetapi dalam
larutan yang bersifat asam zat warna akan berubah menjadi bentuk garam yang mudah larut

Zw-NH2 + HCl Zw-NH3+ + Cl-


tidak larut larut

Zat warna basa secara alami bersifat kationik, sehingga dapat digunakan untuk mencelup
serat akrilat, wool, sutra dan nylon , dimana zat warna basa akan berikatan secara ionik
dengan gugus-gugus sulfonat atau karboksilat yang ada dalam serat sehingga tahan
lunturnya cukup baik.
-----[CH2-CH] – [CH2 – CH] --- -- --- [CH2-CH] ------
CN COO- CN
+ Ikatan ionik
Zw- NH3

Gambar 3.1. Ikatan ionik antara zat warna basa dengan poliakrilat

3.1. Struktur Zat Warna Basa

Berdasakan jenis kromogennya, zat warna basa dapat digolongkan sebagai berikut

1. Difenil metan
(CH3)2N N(CH3)2

+ NH Cl -
2

Gambar 3.2 C.I. Basic Yellow 2

2. Azin
CH3

+ 2-
H2N + H2N N N H 2 1/2 SO4
N N H 2 Cl

N N CH3
H3C CH3 NH
Safranine (C.I. Basic Red 2) Mauveine
Gambar

Gambar 3.3. Struktur kimia zat warna azin

3. Oksazin
+ +
O N(CH3)2 (C H ) N O N(C2H5)2
2 52
Cl Cl
N N

C.I. Basic Blue 3


C.I. Basic Blue 6
Gambar 3.4. CI Basic Blue 6

4. Azo

H2N

N=N N+H3 X-
Gambar 3.5. CI. Basic Orange 2.

5. Antrakuinon

O NHCH3

H
+
O N CH2CH2CH2 N (CH3)2 Cl
H

C.I. Basic Blue 22


Gambar 3.6. CI.Basic Bluen 22

3.2. Sifat Zat Warna Basa

Kelarutan Zat warna


Dari struktur zat warna diatas terlihat bahwa zat warna basa terdapat dalam bentuk basa
dan bentuk garam. Dalam bentuk basa, zat warna basa sukar larut, tetapi dengan
penambahan asam zat warna basa akan berubah menjadi bentuk garam zat warna basa
yang mudah larut. Oleh karena itu kelaruan zat warna basa sangat tergantung pada pH
larutan celup.

Kecerahan Warna
Dibanding struktur molekul zat warna organik lainnya, ukuran molekul zat wana basa relatif
paling kecil, sehingga bila dibanding zat warna organik lainnya zat warna basa merupakan
zat warna yang paling cerah (nomor 2 setelah zat warna pigmen jenis metalik).

Kestabilan warna terhadap pH


Struktur zat warna basa seperti CI Basic Yellow 2, CI Basic Orange2 dan CI Basic Blue 6
termasuk zat warna basa yang konvensional dimana muatan + akan berpindah-pindah
dalam sistem kromogen zat warna, seingga bila pH larutan celup berubah maka corak warna
pun akan berubah. Lain halnya dengan CI Basic Blue 22 , muatan + ada diluar system
kromogen zat warna sehingga warnanya akan stabil terhadap perubahan pH.

Kestabilan warna terhadap suhu


Untuk mencelup serat CDP (cationic dyeable polyester) diperlukan zat warna yang tahan
suhu tinggi, oleh karena diproduksi zat warna basa yang kromogenya diperbesar, namun
akibatnya kecerahan warnanya jadi berkurang tidak secera zat warna basa konvensional.

Daya Celup Zat Warna Basa pada Serat Akrilat


Daya celup zat warna basa sangat tergantung pada banyaknya gugus amin yang bermuatan
positip yang terkandung dalam tiap molekul zat warna.
Guna memmudahkan pemakai, maka tiap zat warna basa diberi nilai f yang berkisar antara
0,6 hingga 1,5 , dimana persentase maksimum zat warna basa yang dapat terserap
poliakrilat adalah : %maks Zw basa = A/f
A = faktor kejenuan serat poliakrilat, contoh :
Jenis poliakrilat A Jenis poliakrilat A
Orlon 42 2,1 Dralon DK 2,2
Acrilan 16 1,4 Crilenka 2,1
Courtele (pH 4,5) 2,8 Leacril 16 2,0
Courtele (pH 3,6) 2,1 Vonnel 17 1,2
Cashmilon FW 2,0 Velicren HB 2,0
Toraylon 2,7

pemakaian zat warna basa diatas persentase maksimum tidak akan menambah ketuaan
hasil celup lebih lanjut, sebab semua tempat negatif (gugus sulfonat atau karboksilat) pada
serat poliakrilat sudah terisi/ berikatan dengan kation zat warna basa. Harga faktor f zat
warna, juga tergantung pada kemurnian zat warna.

Laju Penyerapan Zat Warna Basa


Setiap zat warna basa diberi nilai CV (Compability Value) atau K yang berkisar antara 1
hingga 5. Harga CV yang besar menunjukkan laju penyerapan zat warna tersebut pada
serat poliakrilat relatif rendah, artinya zat warna tersebut lebih mudah rata , sedang zat
warna basa yang harga CV-nya kecil bersifat sebaliknya( laju penyerapan cepat, sukar rata).

4 Zat Warna Bejana


Dibanding zat warna lain, zat warna bejana relatif lebih tahan terhadap zat kimia seperti
oksidator dan reduktor. Zat warna ini juga tidak larut dalam air sehingga ketahanan luntur
terhadap pencuciannya tinggi. Namun karena harganya relatif mahal maka zat warna bejana
hanya digunakan untuk pencelupan dan pencapan serat selulosa kualitas baik.
Berdasarkan strukturnya zat warna bejana dapat digolongkan menjadi 2(dua) jenis yaitu
jenis antrakuinon dan indigo, Contoh :

NH O
O HN

O
CI Vat Blue 4
Gambar 4.1.. Struktur zat warna bejana jenis antrakuinon
O H
C N
C C
N C
H O
CI. Vat Blue 1
Gambar 4.2. Struktur zat warna bejana jenis indigo
Berdasarkan cara dan sifat pemakaiannya, zat warna bejana dapat digolongkan menjadi 4
jenis, yaitu jenis IK, IW, IN dan INsp., perbedaan keempat jenis zat warna tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel 7. Sifat umum zat warna bejana
Jenis Ukuran Substantifitas Kerataan Ketahanan Kebutuhan Kebutuhan
relatif garam leuconya hasil celup luntur warna penambahan penambaha
struktur hasil celup N2S2O4 dan n NaCl
molekul zat NaOH
warna
IK Kecil Kecil Mudah rata Sedang Sedikit Banyak
IW Sedang Sedang Agak Cukup Sedang Sedang
Mudah rata
IN Agak besar Agak besar Agak sukar Baik Banyak Sedikit
rata
INSP Lebih Lebih besar Sukar rata Sangat baik Lebih banyak Nol
besar

5. Zat Warna Belerang

Zat warna belerang termasuk zat warna yang tidak larut dalam air, warnanya terbatas dan
suram, tetapi ketahanan lunturnya tinggi kecuali terhadap khlor (kaporit). Harganya relatf
murah, dan warna yang paling banyak digunakan adalah warna hitam. Zat warna belerang
banyak digunakan untuk pencelupan serat kapas kualitas menengah kebawah.
Struktur molekul zat warna belerang terdiri dari kromogen yang mengandung belerang yang
dihubungkan dengan kromogen lainnya melalui jembatan disulfida ( -S-S-), sehingga strukturnya
menjadi relatif besar, contoh :

-D- S - S – D – S – S – D –S – S – D –
`
S
D= O S

S S
S S

S O
S

Gambar 5.1. Struktur molekul zat warna belerang, CI Sulphur Red 5

Jembatan disulfida pada zat warna belerang merupakan gugus fungsi penting untuk proses
pelarutan zat warna belerang ketika proses pencelupan, Zat warna belerang dapat dilarutkan
dengan penambahan reduktor lemah natrium sulfida (Na 2S) dan alkali lemah natrium karbonat
(Na2CO3), Na2S akan mereduksi jembatan disulfida membentuk asam leuco sedang Na 2CO3
akan merubah asam leuco menjadi garam leuco yang larut.
Secara komersial, zat warna belerang dipasarkan dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Berupa zat warna yang tidak larut dalam bentuk terdispersi (Ci. Sulphur Dyes).
2. Berupa zat warna yang larut dalam bentuk garam leuko (C.I. Sulphur Leuco Dyes), yang
berisi zat warna belerang ditambah Na2S dan Na2CO3.
3. Berupa zat warna yang larut dalam bentuk tiosulfat - D-S-SO3Na (C.I. Solubilized Sulphur
Dyes)

6. Zat Warna Bejana larut

Zat warna bejana larut adalah leuco zat warna bejana yang distabilkan dalam suasana
alkali, sehingga dalam pemakaiannya lebih mudah karena larut dalam air dan tidak memerlukan
proses pembejanaan.
O H OSO 3H H
C N ClSO3H C N
C C C C
N C N C
H O H OSO 3H
CI. Vat Blue 1 NaOH
(Zat warna bejana)
OSO3Na H
C N
C C
N C
H OSO3Na
CI. Solubilized Vat Blue 1
(zat warna bejana larut)
Gambar 6.1. Skema pembuatan zat warna bejana larut

Zat warna bejana larut yang berasal dari zat warna bejana jenis indigo dikenal dengan nama
dagang indigosol sedang yang berasal dari zat warna bejana jenis antrakuinon dikenal dengan
nama dagang antrasol. contoh,

OSO3Na

NH OSO3Na
NaO3SO HN

OSO3Na
Gambar 6.2. Struktur molekul zat warna bejana larut jenis antrakuinon,
CI Solubilized Vat Blue 4 ((Antrasol Blue 4)

Zat warna bejana yang dirubah menjadi zatwarna bejana larut umumnya adalah zat warna
bejana jenis IK yang molekulnya relatif kecil, sehingga afinitas zat warna bejana larut relatif kecil
tetapi pencelupannya mudah rata dan tahan luntur warna terhadap pencuciannya tinggi karena
pada akhir proses pencelupannya zat warna bejana larut dirubah kembali menjadi zatwarna
bejana yang tidak larut.
Zat warna bejana larut harganya sangat mahal sehingga hanya digunakan untuk pencelupan
bahan katun kualitas tinggi. Selain untuk mewarnai katun, zat warna bejana larut juga digunakan
terutama untuk pencelupan sutra atau wol.

7. Zat Warna Naftol


Zat warna naftol adalah zat warna azo yang pembuatannya simultan dengan proses
pencelupan, zat warna naftol terdiri dari 2(dua) komponen yaitu naftol dan garam diazonium.
Naftol tidak bisa larut diair sehingga untuk penaftolan bahan nftol harus dirubah menjadi
naftolat dengan menambahkan NaOH. Setelah penaftolan bahan barulah warnanya
dibangkitkan dengan garam diazonium sehingga terjadi proses kopling antara naftol dan garam
diazonium didalam serat.
Berdasarkan warna hasil koplingnya, ada 2 jenis naftol yaitu naftol monokromatik yang
warnannya mengarah kesatu arah warna dan naftol polikromatik yang warnanya bervariasi
tergantung pada garam diazonium yang dipakai.

Tabel 7.1.
Komponen kopling zat warna naftol
Nama dagang Nama kimia
Naftol AS-TR (8) 3-hidroksi-2-naftoat 4’-kloro-2’-metilanilida
Naftol AS-OL (20) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-metoksianilida
Naftol AS-D (18) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-metilanilida
Naftol AS-PH (14) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-etoksianilida
Naftol AS-ITR (12) 3-hidroksi-2-naftoat 5’-kloro-2’,4’-dimetoksianilida
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor CI Azoik Coupling Componen

Garam diazonium untuk kopling dengan naftol adalah hasil proses diazotasi komponen
diazo (basa naftol), umumnya besifat kurang stabil, mudah rusak terhidrolisis, tidak tahan panas
dan cahaya, namun pada saat ini banyak yang sudah distabilkan sehingga pemakaiannya lebih
mudah.
Tabel 7.2.
Basa Naftol (Fast Base)
Nama dagang Nama kimia
Fast Orange GC Base (2) 3-kloroanilin hidroklorida
Fast Scarlet GG Base (3) 2,5,-dikloroanilin hidroklorida
Fast Red TR Base (11) 4-kloro-2-metilanilin hidroklorida
Fast Red KB Base (32) 5-kloro-2-metilanilin hidroklorida
Fast Red RC Base (10) 5-kloro-2-metoksianilin hidroklorida
Fast Red ITR Base (42) 2-metoksianilin-5-sulfondietilamid
hidroklorida
Fast Red RL Base (34) 2-metil-4-nitroanilin hidroklorida
Fast Violet B Base (41) 4-bensoilamino-2-metoksi-5-metilanilin
hidroklorida
Fast Blue BB Base (20) 4-bensoilamino-2,5-dimetoksianilin
hidroklorida
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor dari CI Azoic Diazo Component

Tabel 7.2.
Garam diazonium yang sudah distabilkan
Nama dagang garam induk basanya (sebelum didiazotasi dan
diazonium distabilkan)
Tetraklorozinkat
Fast Black K Salt (38) 4-amino-2,5,dimetoksi-4’-nitroazobensena
Fast Blue B Salt (48) 3,3’-dimetoksibensidin
Fast Blue BB Salt (20) 4-benzoilamino-2,5-dietoksianilin
Fast Bordeaux GP Salt (1) 4-metoksi-2-nitroanilin
Fast Orange GR Salt (6) 2-nitroanilin
Fast Red Al Salt (36) 1-aminoantrakuinon
Fast Red 3 GL Salt (9) 4-kloro-2-nitroanilin
Fast Red ITR Salt (42) 2-metoksianilin-5-sulfondietilamida
Fast Scarlet GG Salt (3) 2.5-dikloroanilin
Fast Scarlet R Salt (13) 2-metoksi-5-nitroanilin
Klorida
Variamin Blue B Salt (35) 4-amino-4’-metoksidifenilamin
Naftalen-1,5-disulfonat
Fast Red B Salt (5) 2-metoksi-4-nitroanilin
Fast Red TR Salt (12) 4-kloro-2-metilanilin

Tetrafluoroborat
Fast Orange GC Salt (2) 3-kloroanilin
Fast Red GG Salt (37) 4-nitroanilin
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor dari CI Azoic Diazo Component

Kelemahan zat warna naftol adalah tandingan warnanya sukar dikontrol, ketahanan luntur
warna hasil celup terhadap gosokannya kurang baik dan tidak tahan terhadap reduktor

8. Zat Warna Pigmen


Zat warna pigmen hanya berupa kromogen zat warna yang tidak mempunyai gugus yang
dapat berikatan dengan serat sehingga dalam proses pencapan dan pencelupannya perlu
dibantu dengan binder yang berperan sebagai zat pengikat antara serat dan zat warna,
sehingga ketahanan lunturnya sangat ditentukan oleh kekuatan pelapisan zat warna oleh binder
yang digunakan.

H3CO HO CONH

N=N

CONH2

Gambar 8.1 CI Pigmen Red 245

Untuk pencelupan kain kapas dengan zat warna pigmen digunakan cara padding yang
diikuti dengan proses pengeringan dan thermofiksasi (curing /baking). Pada proses curing pada
suhu 140 0C dan suasana asam, binder akan berpolimerisasi membentuk lapisan film pengikat
zat warna pigmen. Suasana asam diperoleh dari penguraian katalis karena adanya panas
pada waktu proses thermofiksasi (curing/baking).

Lapisan film zat warna pigmen

Kain kapas Ikatan antara lapisan film dengan serat


Gambar 8.2. Posisi zat warna pigmen pada hasil pencelupan kain kapas dengan zat warna
pigmen

Katalis yang digunakan adalah senyawa garam asam seperti amonium klorida, magnesium
klorida, diamonium fosfat dan lain lain. Jenis katalis dan jenis binder yang digunakan harus
berkesesuaian, dalam hal ini suhu penguraian katalis harus sesuai dengan suhu untuk
polimerisasi binder yang digunakan.
Beberapa kelemahan pencelupan dengan zat warna pigmen adalah :
 Ketahanan gosok kurang baik
 Sulit mencelup warna tua
 Pegangan kaku
Keuntungan yang diperoleh adalah :
 Selesai pencelupan tidak perlu ada proses pencucian,
 Prosesnya yang sederhana., biaya pencelupannnya paling murah.
 Warnanya bervariasi, dari warna biasa hingga warna metalik

Reaksi penguraian katalis :

MgCl2 + 2H20  2HCl + Mg(OH)2

Reaksi polimerisasi binder :

n CH2 = CH CH2 - CH
C=O C=O
CH3 CH3 n
Gambar 8.3. Reaksi penguraian katalis dan polimerisasi binder

9, Zat Warna Reaktif Panas


Zat warna reaktif panas merupakan zat warna yang larut dalam air dan berikatan dengan
selulosa melalui ikatan kovalen sehingga tahan luntur warna hasil celupannya baik. Contoh
strukturnya adalah jenis mono kloro triazin (MCT) sebagai berikut,
Cl
OH N
HO NH N
O2N N=N N=N N
R

HO3S SO3H
Gambar 9.1. Struktur zat warna reaktif panas (MCT)
Beberapa contoh zat warna reaktif panas antara lain Procion H, Drimarene X, Sumifik ,
Remazol, Sumifik Supra dan Drimarene Cl. Zat warna ProcionH dan Drimarene X yang masing-
masing mempunyai sistem reaktif triazin dan pirimidin termasuk zat warna reaktif yang bereaksi
dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik (SN)2 sebagai berikut :
Cl Cl O-sel
N N + N Cl
D- NH N D – NH N- sel – O- D – NH N-
N N N
R R R
keadaan kompleks
teraktifkan
O-sel
N
D –NH N + Cl-
N
Cl

Gambar 9 : Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik (SN2) pada fiksasi zat warna reaktif
Keterangan :D = kromogen zat warna (bagian dari struktur zat warna yang membawa warna)
Dengan laju reaksi = k . [Zat warna][ sel-O-], jadi dalam pencelupannya memerlukan
penambahan alkali untuk merubah selulosa menjadi anion sesulosa (sebagai nukleofil),
OH-
Sel – O – H sel-O- + H2O
Semakin banyak alkali yang ditambahkan, pembentukan anion selulosanya semakin banyak,
maka reaksi fiksasi semakin cepat.
Secara singkat reaksi fiksasi tersebut dapat ditulis,
D-Cl + sel-OH D-O-sel + HCl
Selain itu selama proses pencelupan dap terjadi reaksi hidrolisis sehingga zat warna menjadi
rusak dan tidak bisa fiksasi/berikatan dengan serat.
D-Cl + H-O-H D-O-H
Reaksi hidrolisis ini sangat dipengaruhi oleh pH, suhu dan konsentrasi air, bila pH, suhu dan
konsentrasi air meningkat, reaksi hidrolisis akan semakin besar.
Beruntung reaksi hidrolisis ini lebih kecil dari reaksi fiksasi karena kenukleofilan OH- lebih
lemah dari sel-O-., namun demikian dalam proses pencelupan perlu diusahakan agar seaksi
hidrolisis ini sekecil mungkin antara lain dengan cara memodifikasi skema proses pencelupan
sedemikian rupa. Misalnya dengan cara menambahkan alkali secara bertahap.
Kelemahan zat warna reaktif selain mudah rusak terhidrolisis juga hasil celupnya kurang
tahan terhadap pengerjaan asam, sebagai contoh bila hasil celup dilakukan proses
penyempurnaan resin finish dalam suasana asam maka ketuaan warna hasil celupnya akan
sedikit turun.
Zat warna reaktif yang kelompok kedua yaitu Sumifik dan Remazol merupakan jenis zat
warna reaktif yang bereaksi dengan serat memalui mekanisme adisi nukleofilik
D–SO2–CH2-CH2-O-sel
Sel-OH
NaOH
D–SO2–CH2-CH2-OSO3H D–SO2–CH=CH2
sulfatoetilsulfon vinil sulfon H 2O
D–SO2–CH2-CH2-OH

Gambar 9.2.: Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif jenis vinil sulfon

Zat warna tersebut dijual dalm bentuk sulfatoetilsulfon yang tidak reaktif dan baru berubah
menjadi vinil sulfon yang reaktif setelah ada penambahan alkali,
Berbeda dengan jenis triazin atau pirimidin reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna jenis vinil
sulfon bersifat dapat balik. Bila dilihat dari reaksinya maka zat warna ini cocok untuk dicelup
dengan metoda pre pad alkali dan metoda all in yang pemasukkan alkalinya didepan.
Kelebihan zat warna vinil sulfon adalah relatif lebih tahan alkali, tetapi kelemahannnya
adalah hasil celupnya mudah rusak oleh pengerjaan dalam suasana alkali, contoh bila terhadap
hasil pencelupan dilakukan proses pencucian dengan sabun dalam suasana alkali dengan suhu
yang terlalu panas, maka ketuaan warnanya akan sedikit turun lagi.
Adanya kekurangan dari kedua golongan zat warna reaktif tersebut maka saat ini banyak
digunakan zat warna reaktif dengan gugus fungsi ganda (bifunctional reactive dyes), seperti
sumifik supra (monochloro triazin(MCT) - vinil sulfon(VS)) dan drimarene CL (trichloropirimidin
(TCP) – vinil sulfon (VS)), sehingga zat warnanya lebih tahan hidrolisis, efisiensi fiksasinya
tinggi dan hasil celupnya lebih tahan alkali dan asam. contoh
 Kombinasi MCT- MCT
1. Tipe two step hand
N N
D-NH NH-A-NH R
N N N N

X X

2. Tipe double hand


N N
R-NH NH-D-NH R
N N N N

X X

3. Tipe twin kromofor

N N
D-NH NH-A-NH D
N N N N

X X
D = kromofor ; A = gugus jembatan ; X = gugus lepas
X = Cl Procion Supra, (1968)., Procion HE, (1968)
Kayacion ES, (1968)
COOH
X = -N+ Kayacelon React, (1984)

 Kombinasi MCT-VS
1. Tipe two step hand
N
D-NH NH-A-SO2-CH2-CH2-OSO3H
N N
X = Cl Sumifix Supra, (1980 )
X X = Cl atau X = NHR Diamira SN, (1984)
Remazol SN,(1984)

2. Tipe double hand


N
R- NH NH-D-SO2-CH2-CH2-OSO3H
N N
X X = Cl Kayacion Navy E-SNG

 Kombinasi MFT-VS ,
N
D-NH NH-A-SO2-CH2-CH2-OSO3H
N N

X X=F Cibacron C, (1988)

Varian zat warna reaktif lainnya juga dibuat misalnya zat warna reaktif yang lebih tahan
panas dan afinitasnya lebih besar maupun zat warna reaktif yang dapat fiksasi pada suasana
netral.

10. Zat Warna Reaktif Dingin


Zat warna reaktif dingin merupakan zat warna yang larut dalam air dan berikatan dengan
selulosa melalui ikatan kovalen sehingga tahan luntur warna hasil celupannya baik. Contoh
strukturnya sebagai berikut,
Cl
SO3H N
HO NH N
N=N N
Cl

HO3S SO3H
Gambar 10.1. : Struktur molekul zat warna reaktif dingin C.I. Reactive Red 1
Yang termasuk zat warna reaktif dingin adalah Procion M dengan sistem reaktif dikloro-
triazin (DCT) dan drimarene K dengan sistem reaktif difluoro-monokloro-pirimidin. Keduanya
termasuk zat warna reaktif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik.
Kereaktifan zat warna reaktif dingin sangat tinggi sehingga proses pencelupannya dapat
dilakukan pada suhu 30 0C – 40 0C, Oleh karena itu kromogen zat warna reaktif dingin relatif
kecil sehingga warnanya lebih cerah dari zat warna reaktif panas.
Hal yang sangat perlu diperhatikan dalam proses pencelupannya adalah zat warnanya
sangat kurang stabil, sangat mudah rusak terhidrolisis, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha
guna menngurangi terjadinya reaksi hidrolisis.
Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif dingin adalah sebagai berikut :
Cl O-sel
N N
D-NH N + 2 Sel-OH D-NH N + 2 HCl
N N
Cl O-sell

Cl OH
N N
D-NH N + 2 H-O-H D-NH N + 2 HCl
N N
Cl OH

Gambar 10.2 : Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif dingin

Kecerahan zat warna reaktif dingin lebih cerah dari zat warna reaktif panas karena
kromogennya (D) lebih kecil dari kromogen zat warna reaktif panas.

Anda mungkin juga menyukai