Gambar 1.1. Efek auksokrom pada zat warna azo terhadap corak warna
Pada tahun 1900 Gomberg menemukan radikal trifenil metan yang ternyata berwarna
padahal pada strukturnya tidak ada kromofor maupun auksokrom.
C’
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Witt hanya dapat dipakai pada zat
warna jenis azo, nitro atau antrakwinon, tetapi tidak dapat digunakan untuk menerangkan zat
warna trifenil metan
Pada tahun 1907 Hewitt dan Mitchel menyatakan pentingnya sistem konyugasi dalam
struktur zat warna, bahwa penuaan warna akan semakin besar dengan semakin panjangnya
sistem konyugasi dalam struktur zat warna.
Seiring dengan ditemukannya konsep resonansi elektron dalam struktur yang
terkonyugasi diperoleh bahwa penyebab timbulnya warna adalah karena dalam struktur zat
warna yang terkonyugasi akan ada resonansi elektron , seperti contoh struktur resonansi
trifenil metan pada gambar 1.3.
C C
Semakin besar sistem terkonyugasi dalam struktur molekul zat warna, resonansinya
akan makin besar maka frekuensinya semakin kecil sehingga panjang gelombangnya semakin
besar (efek bathokromik makin besar) seperti terlihat pada gambar 1.4..
O R1
R1 = R2 = H Antrakwinon (kuning muda)
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang menimbulkan warna pada
sruktur zat warna adalah adanya resonasi elektron π, makin besar resonansinya akan timbul
efek batokromik dan meningkatkan intensitas warnanya.
NH2
NH2 OH
H2N N=N NHCO N=N N=N
HO3S SO3H
Cl
SO3H N
HO NH N
N=N N
Cl
HO3S SO3H
NH O
O HN
O
Gambar 1.7. CI. Vat Blue 4
4 O H
3 1' 7'
5 N 6'
2 2'
6 N
1 3'
7 4'
H O
Selain zat warna bejana larut yang berasal dari turunan indigo yang dikenal dengan
nama indigosol. dibuat pula zat warna bejana larut yang berasal dari turunan antrakuinon
yang dikenal dengan nama antrasol.
S
O S
S S =D
S S
S O
S
O
S
S
O
Tioindigo
CONH
Gambar 1.12 Naphtol AS
OH NHCOCH3
CH3(CH2)11 N=N
HO3S SOH
O NH2
O NH CH2N+H(CH3)2Cl
NO2 HO
C-CH3
H3C N=N-C
CONH
Gambar 1.13. CI Pigmen Yellow 1
HO3S SO3H
Zat warna jenis azo dapat berupa mono azo, diazo dan poliazo, Selain yang tidak
mengandung logam ada juga yang mengandung logam. Variasi corak warnanya sangat
lengkap dari warna kuning hingga biru, dan intensitas warnanya kuat. Kecerahan warnanya
tinggi terutama untuk zat warna mono azo dan diazo.
Zat warna azo sering digunakan pada hampir seluruh jenis zat warna terutama pada zat
warna asam, reaktif. direk, dispersi dan zat warna basa, tetapi tidak digunakan untuk
membuat zat warna bejana, bejana larut atau belerang, karena kelemahan dari zat warna
azo adalah gugus azonya mudah rusak oleh reduktor.
Proses pembuatan zat warna azo relatif sederhana, yaitu melalui proses diazotasi dan
proses kopling, sehingga harganya relatif murah.
OH O NH CH2 CH2 OH
OH O OH
Gambar 1.15 CI. Disperse Blue 27
Oksazin 3 1
Lain-lain 1 6 1 2 1 2
Dari tabel tersebut kembali terlihat bahwa kebanyakan zat warna yang terbanyak
diproduksi adalah jenis azo, kemudian disusul jenis nitro/nitroso, antrakwinon, triaril metan dan
ptalosianin.
Pada tabel diatas tidak termasuk distribusi komposisi kimia untuk zat warna naftol,
bejana larut dan belerang, namun demikian secara keseluruhan yang tercantum pada tabel
tersebut sudah mencakup sekitar 2/3 dari total keseluruhan zat warna.
Zat warna direk bersifat larut dalam air, sehingga dapat langsung dipakai dalam
pencelupan serat selulosa seperti katun, rayon dan rami. Zat warna direk relatif murah harganya
dan mudah pemakaiannya, tetapi warnanya kurang cerah dan tahan luntur hasil celupannya
kurang baik.
Selain zat warna direk biasa, terdapat pula zat warna direk khusus yang tahan luntur
hasil celupannya lebih baik, yaitu zat warna direk yang mengandung logam. Agar tidak rusak,
zat warna direk yang mengandung logam tidak boleh dipakai dalam larutan celup yang
mengandung zat pelunak air.
2.2. Tahan Luntur dan Ikatan Zat Warna Direk dengan Selulosa
Zat warna direk dapat dipakai mencelup serat selulosa karena dapat berikatan dengan
gugus hidroksil dari selulosa dengan ikatan hidrogen,
R1-N=N-R2-SO3Na
Ikatan Hidrogen
Sel-OH
Kekuatan ikatan hidrogen umumnya tidak terlalu kuat, dapat putus dalam suhu tinggi,
oleh karenanya tahan luntur hasil pencelupan zat warna direk sangat rendah tertutama dalam
pencucian panas.
Selain ikatan hidrogen sebagai ikatan yang utam, kekuatan ikatan zat warna direk
dengan serat juga ditunjang dengan fisika yairu ikatan dari gaya Van Der Waals. Kekuatan
ikatan dari gaya Van Der Waals relatif sangat lemah, namun cukup penting bila ukuran partikel
zat warnanya makin besar. Dari hal tersebut, terlihat tahan luntur hasil celupan zat warna direk
bervariasi mulai dari yang rendah hingga yang sedang.
Zat warna asam termasuk zat warna yang larut dalam air karena mempunyai gugus
pelarut sulfonat atau karboksilat dalam struktur molekulnya. Gugus-gugus tersebut juga
berfungsi sebagai gugus fungsi untuk mengadakan ikatan ionik dengan tempat-tempat
positif dalam serat poliamida.
Zat warna asam yang mempunyai 1(satu) gugus sulfonat dalam struktur molekulnya
disebut zat warna asam monobasik, yang mempunyai 2(dua) gugus sulfonat disebut zat
warna asam dibasik dan seterusnya.
Karena gugus pelarut zat warna asam dibasik lebih banyak gugus pelarutnya, maka
kelarutan nya makin tinggi, akibatnya pencelupannya menjadi lebih mudah rata, tetapi tahan
luntur hasil celupan terhadap pencuciannya akan berkurang. Selain itu dibanding zat warna
asam monobasik jumlah maksimum zat warna asam dibasik yang dapat terserap oleh serat
poliamida menjadi lebih kecil, terutama bila suasana larutan celup kurang begitu asam,
karena dalam kondisi seperti itu tempat-tempat positip pada bahan terbatas. Jadi untuk
pencelupan warna tua dalan kondisi tersebut sebaiknya digunakan zat warna asam
monobasik.
Zat warna asam sering dipakai untuk mencelup kain poliamida karena tahan luntur
warna terhadap sinarnya lebih tinggi dari pada hasil celup dengan zat warna dispersi.
Keunggulan lain dari zat warna asam adalah warnanya yang cerah, hal tersebut karena
ukuran partikelnya relatif kecil (lebih kecil dari ukuran partikel zat warna direk).
Struktur kimia zat warna asam bervariasi, antara lain jenis trifenil metan, xanten, nitro
aromatik, azo dan pirazolon. Kebanyakan zat warna asam termasuk jenis azo sehingga hasil
celupnya dapat dilunturkan dengan reduktor.
Penggolongan zat warna asam yang lebih umum adalah berdasarkan cara
pemakaiannya, yaitu :
HOS N=N OH
ZW-SO3-- --
O3S-ZW
Ikatan ionik Ikatan ionik
HOOC-----CON+H2 ----N+H3
Gambar 2.5. Ikatan ionik antara zat warna asam dengan poliamida
N SO2 H2N
CH3CONH N=N
HO
SO3H
` Gambar 2..3. CI Acid Red 32
Selain jenis azo, banyak zat warna asam yang struktur antrakuinon, contohnya C.I.Acid
Blue 25 dan C.I.Acid Blue 62 yang masuk ke dalam kelompok zat warna asam leveling,
sedangkan C.I. Acid Blue 230 bersifat lebih hidrofob (sehingga memiliki sifat ketahanan
luntur warna terhadap pencucian yang baik) termasuk ke dalam kelompok zat warna asam
milling.
O NH2
O NH2
SO3H
SO3H
O NH
O NH R
H3C
O NH NHCOCH3 O NH CH3
H3C
C.I.Acid Blue 40 C.I.Acid Blue 129
Dalam bentuk basa, zat warna basa termasuk zat warna yang tidak larut, tetapi dalam
larutan yang bersifat asam zat warna akan berubah menjadi bentuk garam yang mudah larut
Zat warna basa secara alami bersifat kationik, sehingga dapat digunakan untuk mencelup
serat akrilat, wool, sutra dan nylon , dimana zat warna basa akan berikatan secara ionik
dengan gugus-gugus sulfonat atau karboksilat yang ada dalam serat sehingga tahan
lunturnya cukup baik.
-----[CH2-CH] – [CH2 – CH] --- -- --- [CH2-CH] ------
CN COO- CN
+ Ikatan ionik
Zw- NH3
Gambar 3.1. Ikatan ionik antara zat warna basa dengan poliakrilat
Berdasakan jenis kromogennya, zat warna basa dapat digolongkan sebagai berikut
1. Difenil metan
(CH3)2N N(CH3)2
+ NH Cl -
2
2. Azin
CH3
+ 2-
H2N + H2N N N H 2 1/2 SO4
N N H 2 Cl
N N CH3
H3C CH3 NH
Safranine (C.I. Basic Red 2) Mauveine
Gambar
3. Oksazin
+ +
O N(CH3)2 (C H ) N O N(C2H5)2
2 52
Cl Cl
N N
4. Azo
H2N
N=N N+H3 X-
Gambar 3.5. CI. Basic Orange 2.
5. Antrakuinon
O NHCH3
H
+
O N CH2CH2CH2 N (CH3)2 Cl
H
Kecerahan Warna
Dibanding struktur molekul zat warna organik lainnya, ukuran molekul zat wana basa relatif
paling kecil, sehingga bila dibanding zat warna organik lainnya zat warna basa merupakan
zat warna yang paling cerah (nomor 2 setelah zat warna pigmen jenis metalik).
pemakaian zat warna basa diatas persentase maksimum tidak akan menambah ketuaan
hasil celup lebih lanjut, sebab semua tempat negatif (gugus sulfonat atau karboksilat) pada
serat poliakrilat sudah terisi/ berikatan dengan kation zat warna basa. Harga faktor f zat
warna, juga tergantung pada kemurnian zat warna.
NH O
O HN
O
CI Vat Blue 4
Gambar 4.1.. Struktur zat warna bejana jenis antrakuinon
O H
C N
C C
N C
H O
CI. Vat Blue 1
Gambar 4.2. Struktur zat warna bejana jenis indigo
Berdasarkan cara dan sifat pemakaiannya, zat warna bejana dapat digolongkan menjadi 4
jenis, yaitu jenis IK, IW, IN dan INsp., perbedaan keempat jenis zat warna tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel 7. Sifat umum zat warna bejana
Jenis Ukuran Substantifitas Kerataan Ketahanan Kebutuhan Kebutuhan
relatif garam leuconya hasil celup luntur warna penambahan penambaha
struktur hasil celup N2S2O4 dan n NaCl
molekul zat NaOH
warna
IK Kecil Kecil Mudah rata Sedang Sedikit Banyak
IW Sedang Sedang Agak Cukup Sedang Sedang
Mudah rata
IN Agak besar Agak besar Agak sukar Baik Banyak Sedikit
rata
INSP Lebih Lebih besar Sukar rata Sangat baik Lebih banyak Nol
besar
Zat warna belerang termasuk zat warna yang tidak larut dalam air, warnanya terbatas dan
suram, tetapi ketahanan lunturnya tinggi kecuali terhadap khlor (kaporit). Harganya relatf
murah, dan warna yang paling banyak digunakan adalah warna hitam. Zat warna belerang
banyak digunakan untuk pencelupan serat kapas kualitas menengah kebawah.
Struktur molekul zat warna belerang terdiri dari kromogen yang mengandung belerang yang
dihubungkan dengan kromogen lainnya melalui jembatan disulfida ( -S-S-), sehingga strukturnya
menjadi relatif besar, contoh :
-D- S - S – D – S – S – D –S – S – D –
`
S
D= O S
S S
S S
S O
S
Jembatan disulfida pada zat warna belerang merupakan gugus fungsi penting untuk proses
pelarutan zat warna belerang ketika proses pencelupan, Zat warna belerang dapat dilarutkan
dengan penambahan reduktor lemah natrium sulfida (Na 2S) dan alkali lemah natrium karbonat
(Na2CO3), Na2S akan mereduksi jembatan disulfida membentuk asam leuco sedang Na 2CO3
akan merubah asam leuco menjadi garam leuco yang larut.
Secara komersial, zat warna belerang dipasarkan dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Berupa zat warna yang tidak larut dalam bentuk terdispersi (Ci. Sulphur Dyes).
2. Berupa zat warna yang larut dalam bentuk garam leuko (C.I. Sulphur Leuco Dyes), yang
berisi zat warna belerang ditambah Na2S dan Na2CO3.
3. Berupa zat warna yang larut dalam bentuk tiosulfat - D-S-SO3Na (C.I. Solubilized Sulphur
Dyes)
Zat warna bejana larut adalah leuco zat warna bejana yang distabilkan dalam suasana
alkali, sehingga dalam pemakaiannya lebih mudah karena larut dalam air dan tidak memerlukan
proses pembejanaan.
O H OSO 3H H
C N ClSO3H C N
C C C C
N C N C
H O H OSO 3H
CI. Vat Blue 1 NaOH
(Zat warna bejana)
OSO3Na H
C N
C C
N C
H OSO3Na
CI. Solubilized Vat Blue 1
(zat warna bejana larut)
Gambar 6.1. Skema pembuatan zat warna bejana larut
Zat warna bejana larut yang berasal dari zat warna bejana jenis indigo dikenal dengan nama
dagang indigosol sedang yang berasal dari zat warna bejana jenis antrakuinon dikenal dengan
nama dagang antrasol. contoh,
OSO3Na
NH OSO3Na
NaO3SO HN
OSO3Na
Gambar 6.2. Struktur molekul zat warna bejana larut jenis antrakuinon,
CI Solubilized Vat Blue 4 ((Antrasol Blue 4)
Zat warna bejana yang dirubah menjadi zatwarna bejana larut umumnya adalah zat warna
bejana jenis IK yang molekulnya relatif kecil, sehingga afinitas zat warna bejana larut relatif kecil
tetapi pencelupannya mudah rata dan tahan luntur warna terhadap pencuciannya tinggi karena
pada akhir proses pencelupannya zat warna bejana larut dirubah kembali menjadi zatwarna
bejana yang tidak larut.
Zat warna bejana larut harganya sangat mahal sehingga hanya digunakan untuk pencelupan
bahan katun kualitas tinggi. Selain untuk mewarnai katun, zat warna bejana larut juga digunakan
terutama untuk pencelupan sutra atau wol.
Tabel 7.1.
Komponen kopling zat warna naftol
Nama dagang Nama kimia
Naftol AS-TR (8) 3-hidroksi-2-naftoat 4’-kloro-2’-metilanilida
Naftol AS-OL (20) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-metoksianilida
Naftol AS-D (18) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-metilanilida
Naftol AS-PH (14) 3-hidroksi-2-naftoat 2’-etoksianilida
Naftol AS-ITR (12) 3-hidroksi-2-naftoat 5’-kloro-2’,4’-dimetoksianilida
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor CI Azoik Coupling Componen
Garam diazonium untuk kopling dengan naftol adalah hasil proses diazotasi komponen
diazo (basa naftol), umumnya besifat kurang stabil, mudah rusak terhidrolisis, tidak tahan panas
dan cahaya, namun pada saat ini banyak yang sudah distabilkan sehingga pemakaiannya lebih
mudah.
Tabel 7.2.
Basa Naftol (Fast Base)
Nama dagang Nama kimia
Fast Orange GC Base (2) 3-kloroanilin hidroklorida
Fast Scarlet GG Base (3) 2,5,-dikloroanilin hidroklorida
Fast Red TR Base (11) 4-kloro-2-metilanilin hidroklorida
Fast Red KB Base (32) 5-kloro-2-metilanilin hidroklorida
Fast Red RC Base (10) 5-kloro-2-metoksianilin hidroklorida
Fast Red ITR Base (42) 2-metoksianilin-5-sulfondietilamid
hidroklorida
Fast Red RL Base (34) 2-metil-4-nitroanilin hidroklorida
Fast Violet B Base (41) 4-bensoilamino-2-metoksi-5-metilanilin
hidroklorida
Fast Blue BB Base (20) 4-bensoilamino-2,5-dimetoksianilin
hidroklorida
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor dari CI Azoic Diazo Component
Tabel 7.2.
Garam diazonium yang sudah distabilkan
Nama dagang garam induk basanya (sebelum didiazotasi dan
diazonium distabilkan)
Tetraklorozinkat
Fast Black K Salt (38) 4-amino-2,5,dimetoksi-4’-nitroazobensena
Fast Blue B Salt (48) 3,3’-dimetoksibensidin
Fast Blue BB Salt (20) 4-benzoilamino-2,5-dietoksianilin
Fast Bordeaux GP Salt (1) 4-metoksi-2-nitroanilin
Fast Orange GR Salt (6) 2-nitroanilin
Fast Red Al Salt (36) 1-aminoantrakuinon
Fast Red 3 GL Salt (9) 4-kloro-2-nitroanilin
Fast Red ITR Salt (42) 2-metoksianilin-5-sulfondietilamida
Fast Scarlet GG Salt (3) 2.5-dikloroanilin
Fast Scarlet R Salt (13) 2-metoksi-5-nitroanilin
Klorida
Variamin Blue B Salt (35) 4-amino-4’-metoksidifenilamin
Naftalen-1,5-disulfonat
Fast Red B Salt (5) 2-metoksi-4-nitroanilin
Fast Red TR Salt (12) 4-kloro-2-metilanilin
Tetrafluoroborat
Fast Orange GC Salt (2) 3-kloroanilin
Fast Red GG Salt (37) 4-nitroanilin
Catatan : angka dalam kurung menunjukkan nomor dari CI Azoic Diazo Component
Kelemahan zat warna naftol adalah tandingan warnanya sukar dikontrol, ketahanan luntur
warna hasil celup terhadap gosokannya kurang baik dan tidak tahan terhadap reduktor
H3CO HO CONH
N=N
CONH2
Untuk pencelupan kain kapas dengan zat warna pigmen digunakan cara padding yang
diikuti dengan proses pengeringan dan thermofiksasi (curing /baking). Pada proses curing pada
suhu 140 0C dan suasana asam, binder akan berpolimerisasi membentuk lapisan film pengikat
zat warna pigmen. Suasana asam diperoleh dari penguraian katalis karena adanya panas
pada waktu proses thermofiksasi (curing/baking).
Katalis yang digunakan adalah senyawa garam asam seperti amonium klorida, magnesium
klorida, diamonium fosfat dan lain lain. Jenis katalis dan jenis binder yang digunakan harus
berkesesuaian, dalam hal ini suhu penguraian katalis harus sesuai dengan suhu untuk
polimerisasi binder yang digunakan.
Beberapa kelemahan pencelupan dengan zat warna pigmen adalah :
Ketahanan gosok kurang baik
Sulit mencelup warna tua
Pegangan kaku
Keuntungan yang diperoleh adalah :
Selesai pencelupan tidak perlu ada proses pencucian,
Prosesnya yang sederhana., biaya pencelupannnya paling murah.
Warnanya bervariasi, dari warna biasa hingga warna metalik
n CH2 = CH CH2 - CH
C=O C=O
CH3 CH3 n
Gambar 8.3. Reaksi penguraian katalis dan polimerisasi binder
HO3S SO3H
Gambar 9.1. Struktur zat warna reaktif panas (MCT)
Beberapa contoh zat warna reaktif panas antara lain Procion H, Drimarene X, Sumifik ,
Remazol, Sumifik Supra dan Drimarene Cl. Zat warna ProcionH dan Drimarene X yang masing-
masing mempunyai sistem reaktif triazin dan pirimidin termasuk zat warna reaktif yang bereaksi
dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik (SN)2 sebagai berikut :
Cl Cl O-sel
N N + N Cl
D- NH N D – NH N- sel – O- D – NH N-
N N N
R R R
keadaan kompleks
teraktifkan
O-sel
N
D –NH N + Cl-
N
Cl
Gambar 9 : Mekanisme reaksi substitusi nukleofilik (SN2) pada fiksasi zat warna reaktif
Keterangan :D = kromogen zat warna (bagian dari struktur zat warna yang membawa warna)
Dengan laju reaksi = k . [Zat warna][ sel-O-], jadi dalam pencelupannya memerlukan
penambahan alkali untuk merubah selulosa menjadi anion sesulosa (sebagai nukleofil),
OH-
Sel – O – H sel-O- + H2O
Semakin banyak alkali yang ditambahkan, pembentukan anion selulosanya semakin banyak,
maka reaksi fiksasi semakin cepat.
Secara singkat reaksi fiksasi tersebut dapat ditulis,
D-Cl + sel-OH D-O-sel + HCl
Selain itu selama proses pencelupan dap terjadi reaksi hidrolisis sehingga zat warna menjadi
rusak dan tidak bisa fiksasi/berikatan dengan serat.
D-Cl + H-O-H D-O-H
Reaksi hidrolisis ini sangat dipengaruhi oleh pH, suhu dan konsentrasi air, bila pH, suhu dan
konsentrasi air meningkat, reaksi hidrolisis akan semakin besar.
Beruntung reaksi hidrolisis ini lebih kecil dari reaksi fiksasi karena kenukleofilan OH- lebih
lemah dari sel-O-., namun demikian dalam proses pencelupan perlu diusahakan agar seaksi
hidrolisis ini sekecil mungkin antara lain dengan cara memodifikasi skema proses pencelupan
sedemikian rupa. Misalnya dengan cara menambahkan alkali secara bertahap.
Kelemahan zat warna reaktif selain mudah rusak terhidrolisis juga hasil celupnya kurang
tahan terhadap pengerjaan asam, sebagai contoh bila hasil celup dilakukan proses
penyempurnaan resin finish dalam suasana asam maka ketuaan warna hasil celupnya akan
sedikit turun.
Zat warna reaktif yang kelompok kedua yaitu Sumifik dan Remazol merupakan jenis zat
warna reaktif yang bereaksi dengan serat memalui mekanisme adisi nukleofilik
D–SO2–CH2-CH2-O-sel
Sel-OH
NaOH
D–SO2–CH2-CH2-OSO3H D–SO2–CH=CH2
sulfatoetilsulfon vinil sulfon H 2O
D–SO2–CH2-CH2-OH
Gambar 9.2.: Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif jenis vinil sulfon
Zat warna tersebut dijual dalm bentuk sulfatoetilsulfon yang tidak reaktif dan baru berubah
menjadi vinil sulfon yang reaktif setelah ada penambahan alkali,
Berbeda dengan jenis triazin atau pirimidin reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna jenis vinil
sulfon bersifat dapat balik. Bila dilihat dari reaksinya maka zat warna ini cocok untuk dicelup
dengan metoda pre pad alkali dan metoda all in yang pemasukkan alkalinya didepan.
Kelebihan zat warna vinil sulfon adalah relatif lebih tahan alkali, tetapi kelemahannnya
adalah hasil celupnya mudah rusak oleh pengerjaan dalam suasana alkali, contoh bila terhadap
hasil pencelupan dilakukan proses pencucian dengan sabun dalam suasana alkali dengan suhu
yang terlalu panas, maka ketuaan warnanya akan sedikit turun lagi.
Adanya kekurangan dari kedua golongan zat warna reaktif tersebut maka saat ini banyak
digunakan zat warna reaktif dengan gugus fungsi ganda (bifunctional reactive dyes), seperti
sumifik supra (monochloro triazin(MCT) - vinil sulfon(VS)) dan drimarene CL (trichloropirimidin
(TCP) – vinil sulfon (VS)), sehingga zat warnanya lebih tahan hidrolisis, efisiensi fiksasinya
tinggi dan hasil celupnya lebih tahan alkali dan asam. contoh
Kombinasi MCT- MCT
1. Tipe two step hand
N N
D-NH NH-A-NH R
N N N N
X X
X X
N N
D-NH NH-A-NH D
N N N N
X X
D = kromofor ; A = gugus jembatan ; X = gugus lepas
X = Cl Procion Supra, (1968)., Procion HE, (1968)
Kayacion ES, (1968)
COOH
X = -N+ Kayacelon React, (1984)
Kombinasi MCT-VS
1. Tipe two step hand
N
D-NH NH-A-SO2-CH2-CH2-OSO3H
N N
X = Cl Sumifix Supra, (1980 )
X X = Cl atau X = NHR Diamira SN, (1984)
Remazol SN,(1984)
Kombinasi MFT-VS ,
N
D-NH NH-A-SO2-CH2-CH2-OSO3H
N N
Varian zat warna reaktif lainnya juga dibuat misalnya zat warna reaktif yang lebih tahan
panas dan afinitasnya lebih besar maupun zat warna reaktif yang dapat fiksasi pada suasana
netral.
HO3S SO3H
Gambar 10.1. : Struktur molekul zat warna reaktif dingin C.I. Reactive Red 1
Yang termasuk zat warna reaktif dingin adalah Procion M dengan sistem reaktif dikloro-
triazin (DCT) dan drimarene K dengan sistem reaktif difluoro-monokloro-pirimidin. Keduanya
termasuk zat warna reaktif yang bereaksi dengan serat melalui mekanisme substitusi nukleofilik.
Kereaktifan zat warna reaktif dingin sangat tinggi sehingga proses pencelupannya dapat
dilakukan pada suhu 30 0C – 40 0C, Oleh karena itu kromogen zat warna reaktif dingin relatif
kecil sehingga warnanya lebih cerah dari zat warna reaktif panas.
Hal yang sangat perlu diperhatikan dalam proses pencelupannya adalah zat warnanya
sangat kurang stabil, sangat mudah rusak terhidrolisis, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha
guna menngurangi terjadinya reaksi hidrolisis.
Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif dingin adalah sebagai berikut :
Cl O-sel
N N
D-NH N + 2 Sel-OH D-NH N + 2 HCl
N N
Cl O-sell
Cl OH
N N
D-NH N + 2 H-O-H D-NH N + 2 HCl
N N
Cl OH
Gambar 10.2 : Reaksi fiksasi dan hidrolisis zat warna reaktif dingin
Kecerahan zat warna reaktif dingin lebih cerah dari zat warna reaktif panas karena
kromogennya (D) lebih kecil dari kromogen zat warna reaktif panas.