Anda di halaman 1dari 152

MODUL

Zat Pembantu Tekstil

Disusun oleh:

Wulan Safrihatini Atikah


198209072006042004

Program Studi Kimia Tekstil

POLITEKNIK STTT BANDUNG

2018

MATA KULIAH : ZAT PEMBANTU TEKSTIL


(BOBOT 2 SKS)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga Bahan Ajar  Zat Pembantu Tekstil  ini
dapat diselesaikan dengan baik. Pembahasan materi pada bahan ajar ini dilakukan
dengan cara memaparkan landasan  teori lemak minyak ,sabun, serta Zat Aktif
Permukaan (ZAP) khususnya tentang korelasinya dengan aplikasi dalam proses tekstil.
Lemak/minyak merupakan bahan baku dalam pembuatan ZAP. ZAP dalam proses tekstil
memiliki fungsi yang sangat variatif tergantung dari jenis ZAP yang digunakan. ZAP
tersebut merupakan supporting agent yang dapat menambah daya kerja dalam suatu
proses basah tekstil.

Isi  bahan ajar  ini terbagi dalam dua topik besar yaitu lemak, minyak, sabun serta
topik mengenai ZPT terutama yang termasuk ke dalam kelompok ZAP. Pada topik lemak,
minyak dan sabun akan dibahas mengenai definisi, sifat serta analisis bahan tersebut.
Untuk topik ZAP akan dibahas mengenai definisi, sifat, jenis, perhitungan komponen
berbasis HLB, mekanisme deterjensi sebagai salah satu aplikasi sifat ZAP serta ZPT
secara fungsi serta aplikasinya dalam proses tekstil. Bahan ajar ini dapat digunakan
sebagai salah satu literatur di bidang auxiliaries tekstil.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan  bahan ajar  ini. Mudah-mudahan 
bahan ajar  ini  dapat memberikan sedikit manfaat bagi para mahasiswa pada umumnya
yang mengambil mata kuliah Zat Pembantu Tekstil.

Wulan Safrihatini Atikah


DAFTAR ISI
POLITEKNIK STTT BANDUNG
PROGRAM DIPLOMA IV
PROGRAM STUDI KIMIA TEKSTIL
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER
MATA KULIAH KODE BOBOT (SKS) SEMESTER Tgl Penyusunan
Zat Pembantu Tekstil 2 SKS 3 15 Agustus 2018
Pengesahan Dosen Pengembang RPS Ka. Prodi

Hariyanti Rahayu, S.Teks,MT


Budy Handoko, S.SiT,MT
Wulan Safrihatini, S.SiT,MT
Octianne Djamaludin,MT Maya Komalasari, S.SiT,MT

Capaian CPL-PRODI
Pembelajaran (CP)

S9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan pekerjaan di bidang keahliannya secara
mandiri.
PU1 Menguasai konsep teoritis sains alam, aplikasi matematika rekayasa, prinsip-prinsip rekayasa, sains
rekayasa, dan perancangan rekayasa yang diperlukan untuk analisis dan perancangan sistem,
proses, dan produk.
PK2 Menguasai pengetahuan dan konsep teoritis bahan baku yang meliputi polimer, serat-serat tekstil,
zat warna, dan zat-zat pembantu tekstil untuk analisis dan perancangan sistem dan proses dalam
pembuatan maupun pengembangan produk tekstil dari benang dan kain mentah menjadi kain jadi;
KU1 Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, inovatif, bermutu, dan terukur dalam melakukan
pekerjaan spesifik di bidang keahliannya serta sesuai dengan standar kompetensi kerja bidang yang
bersangkutan.
KK3 Mampu mengenali karakteristik dan melakukan karakterisasi bahan baku yang meliputi bahan tekstil,
zat warna, dan zat-zat pembantu tekstil;

CP-MK

MK1 Mampu menyimpulkan sifat lemak/minyak berdasarkan analisis lemak/minyak (PU1, PK2, KU1, KK3)
MK2 Mampu menyimpulkan kualitas sabun berdasarkan analisis sabun (PU1,PK2, KU1, KK3)
MK3 Mampu mengklasifikasikan Zat Aktif Permukaan (ZAP) berdasarkan sifat dan fungsi ZAP dalam
proses tekstil (PU1, PK2, KU1, KK3)
MK4 Mampu memprediksi sifat ZAP berdasarkan perhitungan Hidrofil Liofil Balance (S9, PK2, KU1, KK3)
MK5 Mampu menjelaskan proses, mekanisme dan faktor yang berpengaruh dalam proses deterjensi
sebagai salah satu sifat dari ZAP (S9, KU1, KK3)
MK6 Mampu merencanakan penggunaan ZAP dan Zat Pembantu Tekstil (ZPT) dalam proses tekstil (S9,
KU1, KK3)

Deskripsi Singkat Mahasiswa belajar tentang lemak/minyak dan sabun serta analisisnya, ZPT berdasarkan fungsi dan sifat aktif
MK
permukaan (jenis ZAP dan non-ZAP), jenis dan gugus fungsi macam-macam ZAP, kajian tentang kaitan antara
struktur ZAP dan sifatnya serta cara aplikasinya, mekanisme adsorpsi, tegangan permukaan dan antarmuka,
menghitung nilai HLB ZAP, kajian tentang proses deterjensi sebagai salah satu dari sifat ZAP, pemakaian ZAP
dan ZPT di industri tekstil.

Materi 1. Definisi, sifat dan analisis lemak/minyak


Pembelajaran/ 2. Definisi, sifat dan analisis sabun
Pokok Bahasan 3. Definisi, sifat, pengelompokan, dan pembuatan ZAP
4. Definisi dan menghitung Nilai HLB
5. Definisi, mekanisme dan faktor yang berpengaruh pada proses deterjensi
6. Penerapan ZAP dan ZPT dalam proses tekstil
Pustaka Utama:

1. A. Datyner, Rev. Prog. Coloration, Vol. 23, 1993, pp. 40–50.


2. Ahmad, Iftikhar. 1981. Use of Palm Stearine in Soaps dalam Fauzan, Taufik. 2011. Studi Perbandingan
Campuran Minyak Palm Oil/Palm Stearine/Palm Kernel Oil (%b/%b) Terhadap Keretakan Sabun Mandi
Padat. Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.
3. Almazini, Prima.2009. Pengaruh Sabun terhadap Kesehatan Kulit, (online),
(http:myhealing.wordpress.com/2009/06/13/pengaruh-sabun-terhadap-phkulit/ diakses 11 Oktober 2018).
4. Bailley, A.E, 1945, Industrial Oil and Fat Products, 2ed.pp 177 -179, Mc Graw Hill Book Company, New
York
5. Chapter 9.Detergency of Surfactants 2006.6.6. diakses terakhir tanggal 20 oktober 2018

6. Dalimunthe, Nur Aisyah. 2009. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas dalam Pembuatan Sabun Padat. Tesis.
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
7. Dewan Standarisasi Nasional. 1994. Standar Mutu Sabun Mandi Padat. SNI 063532-1994. Jakarta: Dewan
Standarisasi Nasional.
8. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
9. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S., 1992, Kimia Organik Jilid 2 , Penerbit Erlangga, Jakarta.
10. H. D. Pratt, Jr. How to Use Anionic Surfactants in Textile Wet Processing, American Dyestuff Report, 1990,
June, pp. 38N51.
11. H. H. Mosher, Chapter 5, in Textile Chemical and Auxiliaries, ed. H. C. Speel and E. W. K. Schwarz, 2nd
ed., 1957, pp. 110–141, Reinhold Publishing Corporation, New York
12. Herlina, N, Ginting,S, Lemak dan Minyak, 2002 ,USU digital library
13. Hilditch I.P.1949. The Industrial Chemistry of The Fats ad Waxes, 3.ed.pp 117-165, Baillere Tidal and Cox,
London.
14. I. Valko, Textile Auxiliaries in dyeing – Review of Progress in Coloration, Vol. 3, 1972, pp. 50–62Isminingsih
G,Diktat Transparan Seri Zat Pembantu Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung, 1995
15. Jones, JSDC, 1984, Vol. 100, pp. 66–72.
16. J. Shore in Cellulosics Dyeing, ed. J. Shore, 1995, Society of Dyers and Colourists, pp. 367–375, ISBN 0-
90195668-6.
17. Kamikaze, D., 2002, Studi Awal Pembuatan Sabun Menggunakan Campuran Lemak Abdomen Sapi dan
Curd Susu Afkir, Skripsi, 10, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
18. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Edisi I. UI Press. Jakarta.
19. Kurnia, F, Hakim, I. 2009. Pembuatan Sabun Mandi dari Minyak Jarak dengan Soda Q Sebagai Upaya
Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q. Universitas Diponegoro. Semarang.
20. Luis, Spitz. 1996. Soap and Detergent Theoritical and Practical Review .AOCS Press. United States of
America.
21. Pratiwi, Wiwin. 2013. Makalah Proses Pembuatan Sabun. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
22. R. S. Mahomed, Antibacterial and Antifungal Finishes, Chapter IX, in Chemical Aftertreatment of Textiles,
ed. H. Mark, N. S. Wooding, S. M. Atlas, 1970, pp. 507–552, WileyInterscience, New York
23. Ralp J. Fessenden and Joan S. Fessenden, “ Organic Chemistry,” Third Edition, University Of Montana,
1986, Wadsworth, Inc, Belmont, Califfornia 94002, Massachuset, USA.
24. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2018
25. Rieger, M. M., Rhein, L. D., (1997). Surfactants chemistry and Classification. Cosmetics. 2nd Edition. New
York: Marcell Dekker Inc; 68: p. 4-18.
26. S. B. Sello, C. V. Stevens, Antistatic Treatment, Chapter 4, in Chemical Processing of Fibers and Fabrics—
Functional Finishes, Part B, Handbook of Fiber Science and Technology: Volume II, ed. M. Lewin, S. B.
Sello, pp. 291–316, Marcel Dekker, New York, ISBN 08247-7118-4.
27. S. M. Burkinshwa, Applications of Dyes, Chapter 7 in The Chemistry and Application of Dyes – Topics in
Applied Chemistry, ed. D. R. Waring, G. Hallas, 1990, Plenum Press, New York, ISBN 0-306-43278-1.
28. Sheats, W. Brad dan Norman C. Foster. 1997. Concentrated Products from Methyl Ester Sulfonates.
(http://www.chemiton.com/papers_brochures./Concentrated_Products.doc.pdf)
29. Shore, J. Colorants and Auxiliaries: Organic Chemistry and Application Properties. Vol. 2. Society of Dyers
and Colourists, 2002
30. Showell, S.Michael, Handbook of Detergent,Surfactant Sceince Series Volume 128, 2006, Taylor & Francis
Group, LLC
31. Supena. 2007. Membuat Sabun Mandi Sendiri. http//www.woodness.com. Diakses Januari 2014.
32. T. L. Vigo, Textile Processing and Properties – Preparation, Dyeing, Finishing and Performance, Textile
Science and Technology, Vol. 11, Elsevier, New York, ISBN: 0-444-882243. Chapter 3: Method of Applying
Dyes to Textiles, pp. 112–192.
33. T. M. Baldwinson, in Colorants and Auxiliaries, ed. J. Shore, Vol. 2, 1990, Society of Dyes and Colourists.
Chapter 12: Auxiliaries Associated with Main Dye Classes, pp. 512–567
34. www.firp.ula.ve/archivos/historico/76_Book_HLB_ICI.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2018
Pendukung:

1. Alberty, D.F 1983, Kimia Fisika, Penerjemah Suraida Jilid Pertama, Edisi Kelima, Penerbit Erlangga
2. Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo
dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
3. Girindra, A., & M. D. Soedarno. (1988). Penuntun Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
4. Groggins, P.H. 1958, Unit Process in Organic Synthesis, 5ed.pp 323 and 386. Mc Graw Hill Book
Company,Inc, New York.
5. Hui. (1996). Mechanistic Approach to The Thermal Degradation of α-Olefin Sulfonates. Ethyl Coorporation.
Baton Rouge, L.A. USA.
6. J. Rivlin, The Dyeing of Textile Fibers – Theory and Practice, 1992, ISBN: 0-9633133-0-4 Kirk-Othmer,
Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed., 1997, Vol. 23, John Wiley & Sons, New York.
7. Lehninger,L,A, Principles of Biochemistry, 1982, Worth Publisher Inc.
8. M. Lewin and S. B. Sello, Handbook of Fiber Science and Technology, Vols. 1 and 2: Chemical Processing
of Fibers and Fabrics, 1984, Marcel Dekker, New York.
9. Miller, J.A., and Neuzil, E.F. (1982). Modern Experimental Organic Chemistry. Toronto: D.C Health and
Company. p. 616-619.
10. Poedjiaji, A., Supriyanti, F.M.T. 2007. Dasar-dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI)
Press.
11. R. Puchta, JAOCS, 61 (2), 1984, pp. 367–376.
12. Rukaesih, 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
13. S. Adanur , Wellington Sears Handbook of Industrial Textiles, 1995, Technomic Publishing Company,
Lancaster, Pennsylvania.
14. Soedarmo, P. dan Sediaoetama, 1987. Jlmu Gizi. Jakarta: PenerbitDian Rakyat.
15. Tranggono dan Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
16. Winarno, F.G. 2010. Enzim Pangan (Edisi Revisi). M-Brio Press, Jakarta.
17. World Markets for Textile Chemicals 1999–2009, a Report from Hewin International, Chapters 1 and 2, pp.
1–154, 2001, John Willey & Sons, Inc., New York, ISBN: 0-471-36351-0.
Media Perangkat Lunak: Perangkat Keras:
Pembelajaran
- LCD
Laptop
Team Teaching Hariyanti Rahayu,
Budy Handoko,
Wulan Safrihatini,
Octianne Djamaludin
Matakuliah -
Prasyarat

Minggu Kemampuan Akhir Bahan Kajian Strategi / Waktu Kriteria Instrumen Bobot (%)
yang Diharapkan Metode Penilaian
Ke‐ Pembelajaran Belajar Penilaian
(SUB-CPMK) (Indikator)
(menit)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 mahasiswa mampu - Penjelasan Penjelasan, 100 menit - Ketepatan Quiz/
menjelaskan definisi tentang definisi diskusi tanya dalam Penugasan
lemak/minyak. lemak/minyak jawab menjelaskan
dan sumber – definisi
sumber lemak/minyak 7
lemak/minyak. dan sumber –
sumber
lemak/minyak.

2 mahasiswa mampu - Penjelasan Penjelasan, 100 menit - Ketepatan dalam Quiz/


menjelaskan sifat tentang diskusi tanya menjelaskan Penugasan
lemak/minyak. klasifikasi jawab klasifikasi 7
lemak/minyak. lemak/minyak.
- Penjelasan Penjelasan, 100 menit - Ketepatan dalam Quiz/
tentang diskusi tanya menjelaskan Penugasan
karakteristik jawab karakteristik 7
lemak/minyak lemak/minyak
- Reaksi –reaksi Penjelasan, 100 menit - Ketepatan dalam Quiz/
kimia diskusi tanya menjelaskan Penugasan
lemak/minyak. jawab reaksi –reaksi 7
kimia
lemak/minyak.
3 mahasiswa mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menjelaskan analisis tentang jenis diskusi tanya menjelaskan jenis Penugasan
lemak/minyak. analisa lemak, jawab analisa lemak, yaitu
yaitu : bilangan : bilangan asam,
asam, bilangan bilangan ester,
ester, bilangan penyabunan, 7
penyabunan, bilangan iodium
bilangan iodium dan kadar lemak
dan kadar lemak dalam bahan tekstil
dalam bahan
tekstil
4 mahasiswa mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit
Ketepatan dalam Quiz/
menjelaskan definisi, tentang definisi diskusi tanya menjelaskan Penugasan
7
dan sifat sabun dan sifat sabun. jawab definisi dan sifat
sabun.
5 mahasiswa mampu Analisa tentang Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menjelaskan analisis sabun, meliputi : diskusi tanya menjelaskan Penugasan
sabun asam lemak jawab analisa sabun,
bebas, alkali meliputi : asam
bebas, alkali total, lemak bebas, alkali 7
asam lemak tidak bebas, alkali total,
tersabunkan, filler asam lemak tidak
dan logam pelikan. tersabunkan, filler
dan logam pelikan.
6-7 Mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menyimpulkan tentang definisi, diskusi tanya menjelaskan Penugasan
7
definisi, mekanisme mekanisme ZAP jawab definisi, mekanisme
ZAP. ZAP
8 Evaluasi Tengah Semester/UTS: Melakukan validasi hasil penilaian dan perbaikan proses pembelajran berikutnya

9 Mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/


menyimpulkan tentang klasifikasi diskusi tanya menjelaskan Penugasan
klasifikasi ZAP. ZAP jawab definisi, mekanisme 7
dan penggolongan
ZAP
10 Mahasiswa mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menyimpulkan tentang cara diskusi tanya menjelaskan cara Penugasan
pembuatan ZAP. pembuatan ZAP, jawab pembuatan ZAP,
seperti seperti
7
pengsulfonan pengsulfonan
pengsulfatan, pengsulfatan,
kondensat asam kondensat asam
lemak dan lain-lain lemak dan lain-lain
11 Mahasiswa mampu Definisi dan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/ 7
menghitung menghitung diskusi tanya menjelaskan Penugasan
komponen ZAP komponen ZAP jawab definisi dan
dalam perhitungan dalam perhitungan menghitung
HLB. HLB. komponen ZAP
dalam perhitungan
HLB.
12 Mahasiswa mampu Penjelasan Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menjelaskan dan mengenai diskusi tanya menjelaskan Penugasan
menyimpulkan deterjensi, jawab definisi deterjensi,
proses deterjensi mekanisme, dan mekanisme, dan 7
sebagai salah satu faktor yang faktor yang
sifat dari ZAP berpengaruh berpengaruh dalam
dalam prosesnya prosesnya
13 Mahasiswa mampu Penerapan ZAP Penjelasan, 100 menit Ketepatan dalam Quiz/
menjelaskan dan dan ZPT dalam diskusi tanya menjelaskan Penugasan
menyimpulkan proses tekstil. jawab penerapan ZAP
7
penggunaan ZAP dan ZPT dalam
dan ZPT dalam proses tekstil.
proses tekstil.
14-15 Mahasiswa mampu Presentasi Diskusi tanya 100 menit Ketepatan dalam Presentasi
menyimpulkan dan mahasiswa jawab menyimpulkan dan
mempresentasikan mempresentasikan
8
penggunaan ZAP penggunaan ZAP
dan ZPT dalam dan ZPT dalam
proses tekstil. proses tekstil.
Presentasi Diskusi tanya 100 menit Ketepatan dalam Presentasi
mahasiswa jawab menyimpulkan dan
mempresentasikan
8
penggunaan ZAP
dan ZPT dalam
proses tekstil.

16 Evaluasi Akhir Semester /UAS: Melakukan validasi penilaian akhir dan menentukan kelulusan mahasiswa
Keterangan:
Bobot Penilaian: Quiz dan/atau Tugas 25% UTS 35% UAS 40%
MATERI 1: LEMAK DAN MINYAK

Pertemuan ke : 1 – 3

I. PENDAHULUAN

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan
lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam pelarut organik non-polar,misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform(CHCl3),
benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang
disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan
pelaut tersebut.
Bahan-bahan dan senyawa kimia akan mudah larut dalam pelarut yang sama
polaritasnya dengan zat terlarut . Polaritas bahan dapat berubah karena adanya proses
kimiawi. Misalnya asam lemak dalam larutan KOH berada dalam keadaan terionisasi dan
menjadi lebih polar dari aslinya sehingga mudah larut serta dapat diekstraksi dengan air.
Ekstraksi asam lemak yang terionisasi ini dapat dinetralkan kembali dengan
menambahkan asam sulfat encer (10 N) sehingga kembali menjadi tidak terionisasi dan
kembali mudah diekstraksi dengan pelarut non-polar.
Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi larut
dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas,
khloroform dan benzena. Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida atau
triasgliserol, yang berarti “triester dari gliserol” . Jadi lemak dan minyak juga merupakan
senyawaan ester . Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan
gliserol . Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai
hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang.

II. MATERI
2.1 Pembentukan Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida dari gliserol. Dalam


pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol
dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut berbeda –beda),
yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air .
Gliserol Asam Lemak Lemak/Minyak/Trigliserida

Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana (simple

triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda , maka disebut trigliserida campuran
(mixed triglyceride).
2.2 Klasifikasi Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan beberapa penggolongan, yaitu:
Berdasarkan jenisnya
1. Lemak/Minyak, Ester dari gliserol dengan asam lemak
2. Wax/Malam, Ester dari alcohol berbasa satu dengan asam lemak
3. Wax/Parafin, Hidrokarbon rantai panjang jenuh/ tidak jenuh
Berdasarkan kejenuhannya (ikatan rangkap) :
 Asam lemak jenuh
Berikut ini adalah contoh beberapa asam lemak jenuh
Tabel 1.1 Contoh-contoh dari asam lemak jenuh
Nama Asam Lemak Struktur Sumber
Butirat CH3(CH2)2CO2H Lemak susu
Palmitat CH3(CH2)14CO2H Lemak hewani dan nabati
Stearat CH3(CH2)16CO2H Lemak hewani dan nabati

 Asam lemak tak jenuh


Berikut ini adalah contoh beberapa asam lemak tidak jenuh
Tabel 1.2. Contoh-contoh dari asam lemak tidak jenuh

Nama Asam Struktur Sumber


Lemak
Palmitoleat CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7CO2H Lemak hewani
dan nabati
Oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2) 7CO2H Lemak hewani
dan nabati
Linoleat CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO Minyak nabati
2H
Linolenat CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2=CH Minyak biji rami
(CH2) 7CO2H
2.3 Sifat-sifat Lemak dan Minyak

 Sifat-sifat fisika Lemak dan Minyak


1. Minyak/lemak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), sedikit larut
dalam alkohol dan larut sempurna dalam dietil eter,karbon disulfida dan pelarut
halogen.
2. Titik didih asam lemak semakin meningkat dengan bertambahnya panjang rantai
karbon
3. Rasa pada lemak dan minyak selain terdapat secara alami ,juga terjadi karena asam-
asam yang berantai sangat pendek sebaggai hasil penguraian pada kerusakan
minyak atau lemak.
4. Titik kekeruhan ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran lemak atau minyak
dengan pelarut lemak.
5. Titik lunak dari lemak/minyak ditetapkan untuk mengidentifikasikan minyak/lemak
 Sifat-sifat kimia Minyak dan Lemak
1. Esterifikasi
Proses esterifikasi bertujuan untuk asam-asam lemak bebas dari trigliserida,menjadi
bentuk ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan melalui reaksi kimia yang disebut
interifikasi atau penukaran ester.

o o o o

R – C – OR1 + R2 – C – OR3  R – C – OR3 + R2 – C – OR1

Ester ester ester baru ester baru


2. Hidrolisa
Dalam reaksi hidrolisis, lemak dan minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak
bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisi mengakibatkan kerusakan lemak dan minyak. Ini
terjadi karena terdapat terdapat sejumlah air dalam lemak dan minyak tersebut.
Gliseril Tristearat gliserol asam stearat

3. Penyabunan
Reaksi ini dilakukan dengan penambhan sejumlah larutan basa kepada trigliserida. Bila
penyabunan telah lengkap,lapisan air yang mengandung gliserol dipisahkan dan
gliserol dipulihkan dengan penyulingan.

4. Hidrogenasi
Proses hidrogenasi bertujuan untuk menjernihkan ikatan dari rantai karbon asam
lemak pada lemak atau minyak . setelah proses hidrogenasi selesai , minyak
didinginkan dan katalisator dipisahkan dengan disaring . Hasilnya adalah minyak yang
bersifat plastis atau keras , tergantung pada derajat kejenuhan.

5. Pembentukan keton
Keton dihasilkan melalui penguraian dengan cara hidrolisa ester.
Pada cara ini, Laurol Chlorida akan diubah menjadi "diundecyl keton".

6. Sulfatasi dan Sulfonasi

Reaksi sulfatasi ialah reaksi pemasukan gugus –OSO 3H ke dalam suatu senyawa,
sedangkan sulfonasi adalah reaksi pemasukan gugus -SO3H ke dalam suatu senyawa.
Proses ini banyak dilakukan atau dikenakan terhadap senyawa-senyawa organik.
Umumnya proses ini dikenakan terhadap gliserida-gliserida asam lemak jenuh atau
tidak jenuh yang mengandung gugus OH . Salah satu penggunaan hasil proses
sulfatasi dan sulfonasi adalah sebagai bahan pencuci.
Sulfatasi adalah proses perlakuan minyak dengan asam sulfat pekat untuk

mendapatkan minyak yang dapat teremulsi dalam air. Sulfatasi merupakan reaksi
pemasukan gugus sulfat ke dalam suatu senyawa (Groggins, 1958). Sulfatasi terhadap
minyak dapat dilakukan jika asam lemak dalam minyak memiliki ikatan rangkap atau
gugus hidroksil. Sulfatasi minyak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu proses tinggi
dan cepat (Groggins, 1958). Proses tinggi dilakukan pada suhu maksimal 350C dengan
waktu 5-6 jam. dan kadar asam slfat 93-94% proses cepat dijalankan pada suhu 26 –
52oC dengan waktu 2-3 jam dan kadar asam sulfat 93%. Apabila sulfatasi minyak
dimaksudkan untuk menyerang ikatan rnagkap, proses dilakukan pada suhu yang lebih
randah (Hildicth, 1949). Contoh reaksi (Bailley, 1945).

Sulfonasi adalah proses perlakuan minyak/lemak jenuh (yg mengandung as. Stearat,
as. Palmitat dan lain-lain) oleh asam sulfat pekat pada suhu dan tekanan tinggi. Contoh
reaksi

7. Oksidasi
Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan lemak
atau minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada lemak
atau minyak.
Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya,
sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara
atom-atom karbon penyusunnya. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air
terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27°
Celsius). Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga
semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi)
daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah
bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi). Karena itu, dikenal istilah bilangan
oksidasi bagi asam lemak. Asam lemak jenuh sangat stabil terhadap oksidasi, akan
tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang oksidasi. Dimana lemak tidak
dapat meleleh pada satu titik suhu, akan tetapi lemak akan menjadi lunak pada suatu
interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lemak merupakan
campuran gliserida dan masing-masing gliserida mempunyai titik cair sendiri-sendiri.
Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki
dua bentuk: cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis
(dilambangkan dengan "Z", singkatan dari bahasa Jerman zusammen). Asam lemak
bentuk trans (trans fatty acid, dilambangkan dengan "E", singkatan dari bahasa Jerman
entgegen) hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis.
Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam
lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak mengalami efek polarisasi yang
kuat dan rantainya tetap relatif lurus.
Ketengikan (rancidity) terjadi karena asam lemak pada suhu ruang dirombak
akibat hidrolisis atau oksidasi menjadi hidrokarbon, alkanal, atau keton, serta sedikit
gliserida. Pengawetan dapat dilakukan dengan menyimpannya pada suhu sejuk dan
kering, serta menghindarkannya dari kontak langsung dengan udara.
Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh
mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut
disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.
Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah
atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu
kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan
oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang
bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon
yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim.
Senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehid- aldehid,
dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak.
Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak dalam bahan
makanan. Ini biasanya terdiri oleh atmosfer oksigen, frekuensi yang sedikit oleh ozon,
peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam penambahan untuk oksigen dan
ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan reaksi lain, seperti anion superoksida
(O2) dan radikal (O2), radikal perhidrosilik (HO2), hidrogen peroksida dan hidrosil radikal
(HO). Asam peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan mungkin reaksi
dengan molekul lain dari produk aldehid asam karboksilat.
Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan
peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau lemak, dapat
dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada minyak
atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat tengik
dibandingkan lemak jenuh. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh
proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa
dihasilkan gliserida dari asam-asam lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan
terjadi perubahan rasa dan bau menjadi tengik.

Menurut Buckle dkk, (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada minyak dan
lemak, yaitu :
 Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap
terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak jenuh.
Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tak diinginkan
dalam lemak dan minyak produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.
 Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat
mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan
oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan enzim. Hidrolisa
dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan
enzim. proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-logam yang bersifat
katalisator seperti Zn, Cu.
Gambar 1.1 Reaksi Oksidasi dan hidrolisa yang terjadi pada lemak/minyak

Menurut Soedarmo et al (1988), kerusakan karena proses hidrolisa terutama


banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung asam lemak jenuh dalam
jumlah cukup banyak seperti pada minyak kelapa yang mengandung asam laurat,
sedangkan bau yang tengik ditimbulkan oleh asam lemak bebas yang terbentuk selama
proses hidrolisa. Proses hidrolisa dapat dipercepat dengan kondisi kelembaban yang
tinggi, kadar air tinggi serta temperatur tinggi. Proses hidrolisa pada minyak dan lemak
akan menghasilkan ketengikan hidrolitik, dimana terjadi pembebasan asam-asam lemak
yang mempengaruhi rasa dari minyak tersebut.

2.4 Perbedaan Antara Lemak dan Minyak

Perbedaan antara lemak dan minyak antara lain, yaitu:


 Pada temperatur kamar lemak berwujud padat dan minyak berwujud cair
 Gliserrida pada hewan berupa lemak (lemak hewani) dan gliserida pada tumbuhan
berupa minyak (minyak nabati)
Komponen minyak terdiri dari gliserida yang memiliki banyak asam lemak tak jenuh
sedangkan komponen lemak memiliki asam lemak jenuh.
2.5 Analisa lemak dan minyak

Penentuan sifat fisika maupun kimia yang khas ataupun mencirikan sifat minyak
tertentu. data ini dapat diperoleh dari bilangan yodiumnya, bilangan Reichert-Meissel,
bilangan polenske, bilangan krischner, bilangan penyabunan, indeks refraksi titik cair,
bilangan kekentalan,tItik percik,komposisi asam-asam lemak ,dan sebagainya.

2.5.1 Penentuan Sifat Lemak Minyak


Jenis-jenis lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan sifat-sifatnya .
Pengujian sifat-sifat lemak dan minyak ini meliputi:
1. Penentuan bilangan penyabunan
Bilangan penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara kasar.
Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon yang pendek berarti
mempunyai berat molekul ytang relatif kecil, akan mempunyai bilangan penyabunan
yang besar dan sebaliknya bila minya mempunyai berat molekul yang besar ,maka
bilangan penyabunan relatif kecil . Bilangan penyabunan ini dinyatakan sebagai
banyaknya (mg) NaOH/KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram lemak
atau minyak.
Bilangan penyabunan = Titrasi (blanko-sample) x N HCl x BM NaOH/KOH
W sample (gram)

2. Penentuan bilangan ester


Bilangan ester menunjukkan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester.
Bilangan ester dihitung sebagai selisih bilangan penyabunan dengan bilangan asam.

Bilangan ester = Bilangan penyabunan – Bilangan asam

3. Penentuan bilangan iodium


Penentuan bilangan iodium menunjukkan ketidakjenuhan asam lemak penyusunan
lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan membentuk
senyawa yang jenuh. Banyaknya iodium yang terikat menunjukkan banyaknya ikatan
rangkap yang terdapat dalam asam lemaknya. Bilangan iodine dinyatakan sebagai
banyaknya iodium dalam gram yang diikat oleh 100 gram lemak atau minyak

Bilangan Iodium = Titrasi (blanko-sample) x N Na2S2O3 x BM I2 x 100


W sample (mgram)
4. Penentuan bilangan Reichert-Meissel
Bilangan Reichert-Meissel menunjukkan jumlah asam-asam lemak yang dapat larut
dalam air dan mudah menguap. Bilangan ini dinyatakan sebagai jumlah NaOH 0,1 N
dalam ml yang digunakan unutk menetralkan asam lemak yang menguap dan larut
dalam air yang diperoleh dari penyulingan 5 gram lemak atau minyak pada kondisi
tertentu. Asam lemak yang mudah menguap dan mudah larut dalam air adalah yang
berantai karbon 4-6.

Bilangan Reichert-Meissel = 1,1 x (ts –


tb)

Dimana ts = jumlah ml NaOH 0,1 N untuk titrasi sampel

tb = jumlah ml NaOH 0,1 N untuk titrasi blanko

2.5.2 Penentuan Kualitas Lemak


Faktor penentu kualitas lemak atau minyak,antara lain:
1. Penentuan bilangan asam
Bilangan asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam
suatu lemak atau minyak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram
NaOH/KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terrdapat
dalam satu gram lemak atau minyak.

Bilangan asam = ml NaOH/KOH x N NaOH/KOH x BM NaOH/KOH


W sampel (gram)

2. Penentuan bilangan peroksida


Bilangan peroksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang telah mengalami
oksidasi. Angka peroksida sangat penting untuk identifikasi tingkat oksidasi minyak.
Minyak yang mengandung asam- asam lemak tidak jenuh dapat teroksidasi oleh
oksigen yang menghasilkan suatu senyawa peroksida. Cara yang sering digunakan
untuk menentukan angka peroksida adalah dengan metoda titrasi iodometri. Asam
lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga
membentuk peroksida. Peroksida dapat ditentukan dengan metode iodometri. Cara
yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida, berdasarkan pada
reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang
dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat. Bilangan
peroksida menunjukkan tingkat kerusakan dari lemak atau minyak.

Bilangan peroksida = ml Na2S2O3 x N Na2S2O3 x 1000


W sampel (gram)

Paparan oksigen, cahaya, dan suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi oksidasi. Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan memacu
terjadinya oksidasi minyak. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan
kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Bilangan peroksida yang tinggi
mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka
yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini.
Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil
dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar
peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain Oksidasi lemak
oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan
udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan
kondisi penyimpanan.
3. Penentuan asam thiobarbiturat(TBA)
Uji asam tiobarbiturat (TBA) dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dimana
lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam TBA menghasilkan warna merah dan
intensias warna ini menunjukkanderajat ketengikan (Winarno, 1984). Lemak yang
tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai monoaldehid. Banyaknya
monoaldehid dapat ditentukan dengan jalan destilasi lebih dahulu. Monoaldehid
kemudian direaksikan dengan thiobarbiturat sehingga terbentuk senyawa kompleks
berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah monoaldehid dapat
ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm.

Bilangan TBA = mg monoaldehida/kg minyak

4. Penentuan kadar minyak


Penentuan kadar air dalam minyak dapat dilakukan dengan cara spektrofotometri
ataupun menggunakan alat soxhlet.
Prinsip pengujian cara spektrofotmteri yaitu minyak mineral, minyak nabati, asam lemak,
sabun, malam danmaterial lain yang dapat terekstrak oleh pelarut (solvent) dalam suasana asam.
Pereaksi yang digunakan adalah pelarut CCl4, HCl, Sodium sulfat anhidart, standar B-Heavy Oil
(density : 0,895 pada 200C). Minyak yang akan larut dalam pelarut CCl4 dan hasilnya dianalisis secara
spektrofotometri pada panjang gelombang 350 nm.

Cara yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan soxhlet. Alat soxhlet ini dilengkapi
dengan serangkaian kondensor untuk mencegah terjadinya penguapan dari pelarut lemak.

Gambar 1.2. Alat Soxhlet

Bahan dibungkus atau ditempatkan dalam thimble, kemudian dikeringkan dalam oven
untuk menghilangkan airnya. Pemanasan harus secepatnya dan dihindari suhu yang
terlalu tinggi, untuk ini dianjurkan dengan vacuum oven (suhu 70°C) dengan tekanan
vakum.
Ekstraksi lemak dari bahan kering dapat dikerjakan secara terputus-putus atau
bersinambungan. Ekstraksi secara terputus-putus dijalankan dengan alat soxhlet,
sedangkan cara bersinambungan dengan alat goldfisch atau ASTM yang dimodifikasi.
Beberapa bahan pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi lemak adalah ether yaitu
ethil ether dan petroleum ether. Pelarut yang digunakan sebanyak 1,5-2 kali isi tabung
ekstraksi. Lemak atau minyak akan terekstraksi, pada akhir ekstraksi yaitu kira-kira 4-6
jam labu gondok diambil dan ekstrak dituang kedalam botol timbang atau cawan porselen
yang telah diketahui beratnya, kemudian sisa pelarut yang ikut bersama hasil ekstraksi
diuapkan. Selanjutnya cawan dikeringkan dalam oven sampai diperoleh berat konstan
pada suhu 100°C. Berat residu dalam botol timbang dinyatakan sebagai berat lemak atau
minyak. Agar diperoleh lemak dan minyak bebas air dengan cepat maka pengeringan
dapat dilakukan dengan menggunakan oven vacuum. Selain cara diatas penentuan
banyaknya lemak dapat pula diketahui dengan menimbang sampel padat yang ada dalam
thimble setelah diekstraksi dan sudah dikeringkan dalam oven sehingga diperoleh berat
konstan. Selisih berat sebelum dengan sesudah ekstraksi merupakan berat minyak atau
lemak yang ada dalam bahan tersebut.

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, mengklasifikasikan jenis asam lemak,
menjelaskan sifat dan analisa dari jenis lemak dan minyak.

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa diharapkan akan mampu untuk mengontrol penggunaan lemak dan
minyak berdasarkan jenis dan sifatnya.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu melakukan analisa terhadap kualitas dari lemak dan minyak
berdasarkan parameternya.

III. LATIHAN
A. Pilihlah jawaban yang paling tepat!
1. Lemak adalah senyawa karbon yang termasuk golongan ….
a. polialkohol c. asam karboksilat
b. ester d. Aldehid
2. Lemak dan minyak mengandung jenis unsur yang sama, yaitu C, H, O. Perbedaannya
terletak pada ….
a. Struktur molekul c. Ikatan antaratom karbon
b. Jumlah asam lemak d. Kereaktifan gugus ester
3. Ciri utama asam karboksilat dalam lemak adalah ….
a. Mengandung gugus karboksilat c. Memiliki ikatan rangkap dua
b. Memiliki rantai karbon yang panjang d. Dapat dihidrolisis
4. Pernyataan berikut yang sesuai dengan gliserol adalah ….
a. Sukar larut dalam air, tetapi larut dalam eter c. Tergolong senyawa polihidroksi
b. Merupakan alkohol tersier d. berupa cairan kental dan beracun
5. Jika lemak dihidrolisis dengan larutan NaOH, salah satu produknya adalah ….
a. Propanol c. Nitrogliserin
b. Gliserol d. Ester
6. Reaksi RCOOR + NaOH COONa + ROH dinamakan reaksi ….
a. Penyabunan c. Pirolisis
b. Esterifikasi d. Hidrolisis
7. Reaksi penyabunan adalah reaksi antara ….
a. Gliserol dan NaOH c. Gliserol dan asam lemak
b. Etanol dan NaOH d. Asam karboksilat dan NaOH
8. Untuk menentukan adanya ikatan rangkap digunakan pereaksi brom. Reaksi yang
terjadi pada penentuan ini
a. Substitusi c. Oksidasi
b. Adisi d. Eliminasi
9. Bilangan yang menyatakan kadar asam lemak bebas dalam suatu lemak atau minyak
dengan cara reaksi penetralan disebut ….
a. bilangan asam c. bilangan ester
b. bilangan penyabunan d. bilangan Iodin
10. Di antara asam-asam lemak berikut yang memiliki bilangan iodin paling tinggi adalah
a. asam stearat c. asam palmitat
b. asam linoleat d. asam linoleat

B. Jawablah pertanyaan berikut dengan benar.

1. Sebutkan perbedaan sifat-sifat lemak dan minyak!


2. Sebutkan klasifikasi asam lemak yang saudara ketahui! jelaskan!.
3. Sebutkan sifat lemak dan minyak!
4. Apakah perbedaan dan kesamaan antara:
a. bilangan asam dan bilangan penyabunan?
b. bilangan ester dan bilangan penyabunan?

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Bailley, A.E, 1945, Industrial Oil and Fat Products, 2ed.pp 177 -179, Mc Graw Hill
Book Company, New York
2. Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
3. Girindra, A., & M. D. Soedarno. (1988). Penuntun Praktikum Biokimia. PAU Pangan
dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
4. Groggins, P.H. 1958, Unit Process in Organic Synthesis, 5ed.pp 323 and 386. Mc
Graw Hill Book Company,Inc, New York.
5. Herlina, N, Ginting,S, Lemak dan Minyak, 2002 ,USU digital library
6. Hilditch I.P.1949. The Industrial Chemistry of The Fats ad Waxes, 3.ed.pp 117-165,
Baillere Tidal and Cox, London.
7. Isminingsih G,Diktat Transparan Seri Zat Pembantu Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi
Tekstil, Bandung, 1995
8. Ralp J. Fessenden and Joan S. Fessenden, “ Organic Chemistry,” Third Edition,
University Of Montana, 1986, Wadsworth, Inc, Belmont, Califfornia 94002,
Massachuset, USA.
9. Soedarmo, P. dan Sediaoetama, 1987. Jlmu Gizi. Jakarta: PenerbitDian Rakyat.
10. Tranggono dan Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
11. Winarno, F.G. 2010. Enzim Pangan (Edisi Revisi). M-Brio Press, Jakarta.
MATERI 2: SABUN

Pertemuan ke : 4 - 5
A. PENDAHULUAN
Sabun adalah salah satu jenis ZAP yang dapat difungsikan dalam proses
pembersihan kotoran dan menjadi bagian dari kelompok yang disebut ZAP. Sabun adalah
produk campuran garam natrium atau kalium dari reaksi saponifikasi alkali dan dengan
asam lemak, sehingga sifat dari asam lemak yang digunakan akan menentukan sifat dari
sabun yang dihasilkan. Sabun dimasukkan ke dalam kategori ZAP karena strukturnya
merupakan senyawa ampifilik. Fungsinya yang banyak digunakan dalam proses
pencucian tekstil, menjadikan sabun memiliki peranan penting dalam tingkat keberhasilan
suatu proses. Oleh karena itu, penggunaan sabun harus dikontrol dalam hal sifat dengan
melakukan sejumlah analisa tehadap beberapa paremeternya.

II. MATERI
2.1 Pengertian Sabun
Sabun adalah garam natrium dan kalium dari asam lemak yang berasal dari
minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang digunakan sebagai pembersih dapat
berwujud padat (keras), lunak dan cair. Dewan Standarisasi Nasional menyatakan bahwa
sabun adalah bahan yang digunakan untuk tujuan mencuci dan mengemulsi, terdiri dari
asam lemak dengan rantai karbon C12-C18 dan natrium atau kalium .
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ion.
Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zat-zat non polar,
sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Aksi pencucian dari sabun
banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan
permukaaan dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari anion
sabun. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan
hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor”. Mekanisme sabun mengangkat minyak/ lemak
dari benda adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung hidrofobik mengepung molekul
minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam air membentuk misel sehingga minyak
terlepas dari benda.
Adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah
benar-benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena
membentuk misel (micelles), yakni segerombol (50 - 150) molekul yang rantai
hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung- ujung ionnya yang menghadap ke air.
Sabun diklasifikasikan menjadi beberapa grade mutu. Sabun dengan grade mutu A
diproduksi oleh bahan baku minyak atau lemak yang terbaik dan mengandung sedikit
atau tidak mengandung alkali bebas. Sabun dengan grade B diperoleh dari bahan baku
minyak atau lemak dengan kualitas yang lebih rendah dan mengandung sedikit alkali,
namun kandungan alkali tersebut tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Sedangkan sabun
dengan kualitas C mengandung alkali bebas yang relatif tinggi berasal dari bahan baku
lemak atau minyak yang berwarna gelap. Sabun dapat berwujud padat, lunak atau cair,
berbusa dan digunakan sebagai pembersih.

2.2. Sumber Sabun


Minyak atau lemak merupakan senyawa lipid yang memiliki struktur berupa ester
dari gliserol. Pada proses pembuatan sabun, jenis minyak atau lemak yang digunakan
adalah minyak nabati atau lemak hewan. Molekul sabun terdiri atas rantai hidrokarbon
dengan gugus COO- pada ujungnya. Bagian hidrokarbon bersifat hidrofob artinya tidak
suka pada air atau tidak mudah larut dalm air, sedangkan gugus COO- bersifat hidrofil,
artinya suka akan air, jadi dapat larut dalam air. Oleh karena adanya dua bagian itu,
molekul sabun tidak sepenuhnya larut dalam air, tetapi membentuk misel yaitu kumpulan
rantai hidrokarbon dengan ujung yang bersifat hidrofil dibagian luar.
Minyak dan lemak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun adalah
trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan diesterifikasi dengan
gliserol. Masing- masing lemak mengandung sejumlah molekul asam lemak dengan rantai
karbon panjang antara C12 (asam laurat) hingga C18 (asam stearat) pada lemak jenuh
dan begitu juga dengan lemak tak jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun
melalui proses saponifikasi dengan larutan natrium hidroksida membebaskan gliserol.
Sifat-sifat sabun yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari komponen
asam asam lemak yang digunakan. Komposisi asam asam lemak yang sesuai dalam
pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Asam lemak dengan
panjang rantai karbon kurang dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan
rantai karbon lebih dari 18 akan membuat sabun menjadi keras, sulit terlarut dalam air
dan sulit berbusa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh menghasilkan sabun yang
mudah teroksidasi bila terkena udara. Alasan-alasan diatas, faktor ekonomis dan daya
jual menyebabkan lemak dan minyak yang dibuat menjadi sabun terbatas.
Asam lemak (fatty acid) adalah senyawa alifatik dengan gugus karboksil. Asam
lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada
asam lemak jenuh yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga
akan lebih lembek dan mudah meleleh pada temperatur tinggi. Asam lemak yang
digunakan untuk sabun umumnya adalah asam palmitat atau stearat. Kandungan asam
lemak tak jenuh, seperti oleat, linoleat, dan linolenat yang terlalu banyak akan
menyebabkan sabun mudah teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun
menjadi tengik. Dalam industri, sabun tidak dibuat dari asam lemak tetapi langsung dari
minyak yang berasal dari tumbuhan. Minyak adalah ester asam lemak tidak jenuh dengan
gliserol. Melalui proses hidrogenasi dengan bantuan katalis Pt atau Ni, asam lemak tidak
jenuh diubah menjadi asam lemak jenuh, dan melalui proses penyabunan dengan basa
KOH dan NaOH sehingga akan terbentuk sabun dan gliserol.. Asam lemak tak jenuh
memiliki ikatan rangkap sehingga titik lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh
yang tak memiliki ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek
dan mudah meleleh pada temperatur tinggi.

2.3. Sifat Sabun


Sifat-sifat sabun dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suhu tinggi sehingga akan dihidrolisis
parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + OH-
2. Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak
akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih setelah
garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid,
sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang
bersifat polar maupun nonpolar karena sabun mempunyai gugus polar dan nonpolar.
Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bersifat hidrofobik (tidak
suka air) sedangkan COONa+ bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air.
Nonpolar : CH3(CH2)16 (larut dalam minyak, hidrofobik dan juga memisahkan kotoran
nonpolar)
Polar : COONa+ (larut dalam air, hidrofilik dan juga memisahkan kotoran polar)
4. Suhu titer sabun adalah suhu dimana larutan koloid sabun berubah
menjadi kasar dan tidak aktif lagi. Titik keruh adalah suhu dimana larutan
koloid sabun menjadi keruhkarena terbentuknya dispersi kasar dan larutan sabun
menjadi kental sehingga dapat dipilin. Titik keruh disebut juga suhu pilin . Suhu
titer dan titik keruh tidak jauh berbeda dan merupakan indikasi dimana larutan
sabun tidak aktif lagi. Maka untuk penggunaan sebagai detergen, larutan sabun
dipanaskan sampai mendekati suhu titer.

2.4. Kegunaan Sabun


Sabun berkemampuan untuk mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat
dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun :
1. Rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun bersifat nonpolar sehingga larut dalam zat
non polar, seperti tetesan-tetesan minyak.
2. Ujung anion molekul sabun, yang tertarik dari air, ditolak oleh ujung anion molekul-
molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak menolak antara
tetes sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tersuspensi.

II.5 Jenis – jenis Sabun


Jenis sabun yang utama adalah sabun mandi dan sabun cuci, kedua jenis sabun ini
dibuat dengan beberapa cara. Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan sabun. Salah
satunya adalah penggolongan berdasarkan bentuk fisik dan fungsi.
1. Sabun batang
Sabun batang Terbuat dari lemak netral yang padat dan dikeraskan melalui proses
hidrogenasi. Jenis alkali yang digunakan adalah natrium hidroksida dan sukar larut
dalam air. Sabun batang dipercaya irit dan memiliki wangi yang lebih tahan lama.
Terbukti, sebesar 43% dari 100 orang yang disurvei masih menggunakan sabun
batang hingga kini. Jenis sabun batangan lainnya adalah sabun mandi kecantikan.
Sabun mandi kecantikan adalah suatu produk sabun untuk perawatan kecantikan kulit
wajah dan tubuh dengan formulasi yang sesuai untuk kulit. Memberikan zat-zat gizi
dan nutrisi yang sangat diperlukan kulit dan membantu memelihara kulit dengan
mempertahankan kelembaban kulit serta membantu pertumbuhan sel-sel baru jika
terjadi kerusakan sel kulit. Pada sabun kecantikan busa harus lembut dan sifat
basanya lebih rendah.
2. Sabun cair
Sabun jenis ini dibuat dari minyak kelapa jernih dan penggunaan alkali yang berbeda
yaitu kalium hidroksida. Bentuknya cair dan tidak mengental pada suhu kamar.
3. Shower gel
Sabun dengan kandungan emulsi berupa cocamide DEA, lauramide DEA, linoleamide
DEA, dan oleamide DEA ini berfungsi sebagai substansi pengental untuk
mendapatkan tekstur gel. Sabun jenis ini menghasilkan busa yang cenderung lebih
banyak.
4. Sabun Anti septik
Sabun antisepik Mengandung bahan aktif antibacterial, seperti triclosan, triclocarban/
trichlorocarbamide, yang berguna untuk membantu membunuh bakteri dan mikroba,
namun tidak efektif untuk menonaktifkan virus.

II.6 Cara Kerja Sabun Sebagai Penghilangan Kotoran


Sabun banyak difungsikan sebagai zat yang akan membantu dalam proses
pembersihan suatu bahan dari pengotor, melalui tahapan sebagai berikut :
1. Sabun di dalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan permukaan
sehingga kain menjadi bersih dan air meresap lebih cepat ke permukaan kain.
2. Molekul sabun akan mengelilingi kotoran dengan ekornya dan mengikat molekul
kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan molekul
sabun membentuk suatu emulsi.
3. Bagian kepala molekul sabun di dalam air pada saat pembilasan menarik molekul
kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih.

2.7 Sifat Fisik dan Kimia Bahan Pembuat Sabun

2.7.1 Asam Lemak


Secara kimiawi, minyak dan lemak dapat mengalami hidrolisis dan oksidasi yang
dapat menyebabkan kerusakan akibat adanya sejumlah air dan kontak dengan udara. Hal
ini tentunya harus dihindari untuk menjaga kualitas minyak atau lemak agar tetap baik.
Minyak dan lemak mengandung asam lemak dan trigliserida yang dapat
digunakan dalam pembuatan sabun. Asam lemak merupakan asam lemah, yang di dalam
air akan terdisosiasi sebagian. Sementara trigliserida merupakan komponen utama
minyak dan lemak yang terdiri dari kombinasi berbagai macam asam lemak yang terikat
dengan gugus gliserol disebut asam lemak bebas.
Asam lemak terdiri dari dua bagian, yaitu yaitu gugus hidroksil dan rantai
hidrokarbon yang berikatan dengan gugus karboksil. Asam lemak juga merupakan
komponen minyak/lemak yang digunakan untuk pembuatan sabun. Umumnya asam
lemak berfase cair atau padat pada suhu ruang (27°C). Semakin panjang rantai karbon
penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut. Berikut contoh
dari komposisi asam lemak yang banyak digunakan dalam pembuatan sabun.
Tabel 2.1 Persentase Komposisi Minyak dan Lemak yang Banyak Digunakan dalam
Sabun

2.7.2. Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia dengan rumus molekul H2O. Satu
molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom
oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar,
yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini
merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan
banyak zat kimia lainnya, seperti garam- garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan
banyak macam molekul organic.
Dalam pembuatan sabun, air yang baik digunakan sebagai pelarut yang baik
adalah air sulingan atau air minum kemasan. Air dari PAM kurang baik digunakan karena
banyak mengandung mineral.

2.7.3 Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH,
Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda
kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam
pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena
sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan
alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan
trigliserida (minyak atau lemak). Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin
alkohol. Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak.
Sabun yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu
menurunkan kesadahan air.
Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat mudah
berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun industri dan
deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering
dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan dengan
keunggulan tertentu.
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan
sabun hasil saponifikasi (pengendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun
menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan
bahan-bahan aditif.

2.7.4 Garam (NaCl)


NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun. Kandungan
NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl yang terlalu tinggi di dalam
sabun dapat memperkeras struktur sabun. NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air
garam (brine) atau padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun
dan gliserol. Gliserol tidak mengalami pengendapan dalam brine karena kelarutannya
yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus bebas dari besi, kalsium,
dan magnesium agar diperoleh sabun yang berkualitas.

2.7.5 Bahan Aditif


Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam sabun yang
bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun sehingga menarik konsumen.
Bahan-bahan aditif tersebut antara lain : builders, fillers inert, anti oksidan, pewarna, dan
parfum.
Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-
mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan - bahan lain yang berfungsi untuk
mengikat lemak dan membasahi permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya.
Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses
pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan
mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Bahan yang sering digunakan sebagai builder
adalah senyawa - senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium
silikat atau zeolit.

2.7.6 Fillers (Bahan Pengisi)


Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku.
Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume.
Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan baku sabun semata mata ditinjau dari
aspek ekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium sulfat.
Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra sodium
pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk, dan
mudah larut dalam air

2.7.7 Coloring Agent ( Zat Pewarna)


Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini ditujukan agar
memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk mencoba sabun ataupun membeli
sabun dengan warna yang menarik.

2.7.8 Fragrance (Bahan Pewangi)


Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum memegang peranan
besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk sabun. Parfum untuk sabun
berbentuk cairan berwarna kekuning kuningan dengan berat jenis 0,9. Dalam
perhitungan, berat parfum dalam gram (g) dapat dikonversikan ke mililiter. Sebagai
patokan 1 g parfum = 1,1 ml. Pada dasarnya, jenis parfum untuk sabun dapat dibagi ke
dalam dua jenis, yaitu parfum umum dan parfum ekslusif. Parfum umum mempunyai
aroma yang sudah dikenal umum di masyarakat seperti aroma mawar dan aroma
kenanga.
EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate) ditambahkan dalam sabun untuk
membentuk kompleks (pengkelat) ion besi yang mengkatalis proses degradasi oksidatif.
Degradasi oksidatif akan memutuskan ikatan rangkap pada asam lemak membentuk
rantai lebih pendek, aldehid dan keton yang berbau tidak enak. EDTA adalah reagen yang
bagus, selain membentuk kelat dengan semua kation, kelat ini juga cukup stabil untuk
metode titriametil.

2.7.9 Antioksidan
Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun terutama pada bau
tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat diketahui dapat
digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang sangat
kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai bleaching agent.

2.8 Kualitas Sabun yang Diinginkan


Sebelum proses pembuatan sabun, kualitas dari sabun yang dibuat harus secara
jelas ditentukan atau diputuskan. Pencampuran minyak – minyak atau lemak yang
berbeda memungkinkan untuk memperoleh sebuah sabun akhir dengan kualitas yang
diharapkan. Parameter mutu yang biasanya diperhatikan adalah: tampilan umum (meliputi
kepadatan sabun/compact, bercahaya, kesat), kelarutan yang baik, pembusaan yang baik
dan stabil, daya membersihkan tinggi, berbuih, tahan terhadap ketengikan, baik dalam air
lunak, stabilitas baik (berhubungan dengan warna). Perbedaan minyak dan lemak
menghasilkan sabun dengan mutu yang berbeda pula, misalnya warna, konsistensi
pembusaan dan daya membersihkan. Tabel 2.2 menunjukkan karakterisasi sabun yang
dihasilkan dari beberapa minyak dan lemak yang penting.
Tabel 2.2 Sifat Sabun yang Dibuat dari Minyak dan Lemak yang Berbeda

2.8.1 Uji Karakteristik Mutu Sabun


Sabun dapat beredar di pasaran bebas apabila memiliki karakteristik standar
seperti yang telah ditetapkan dalam Dewan Standarisasi Nasional (DSN). Syarat mutu
dibuat untuk memberi acuan kepada pihak industri besar ataupun industri rumah tangga
yang memproduksi sabun mandi untuk menghasilkan sabun dengan mutu yang baik dan
dapat bersaing di pasaran lokal. Sifat mutu yang paling penting pada sabun adalah total
asam lemak, asam lemak bebas, dan alkali bebas. Pengujian parameter tersebut dapat
dilakukan sesuai dengan acuan prosedur standar yang ditetapkan SNI. Begitu juga
dengan semua sifat mutu pada sabun yang dapat dipasarkan, harus memenuhi standar
mutu sabun yang ditetapkan yaitu SNI 06–3532–1994. Syarat mutu sabun mandi padat
menurut SNI 06-3532-1994 dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Syarat Mutu Sabun

2.8.2 Penetapan Kualitatif


Penetapan secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui apakah sabun mengandung
alkali bebas atau asam lemak bebas.
Cara penetapan :
 Contoh sabun diparut/ dipotong halus
 Timbang sabun sebanyak 0,1 gram sabun, masukkan ke dalam tabung rekasi
yang bersih dan kering
 Larutkan sabun dengan 2 ml Alkohol netral (bila perlu dipanaskan diatas
penangas air)
 Kemudian dibubuhi 1-2 tetes indikator PP

2.8.3 Penetapan Kwantitatif


Penetapan kuantitatif dilakukan dengan cara mengamati hasil dari uji kualitatif Jika
setelah dibubuhi indicator PP larutan sabun tidak berwarna merah berarti sabun
mengandung asam lemak bebas atau netral.  Apabila sabun berwarna merah berarti
sabun mengandung alkali bebas. Analisis sabun secara kuantitatif meliputi pemeriksaan :
1. Alkali bebas
2. Asam lemak bebas
3. Alkali total
4. Alkali terikat
5. Asam lemak total
6. Asam lemak terikat
7. Lemak netral yang tidak tersabunkan
8. Zat pemberat/ pengisi
9. Logam minyak/ Minyak Pelikan
10. Kadar air

2.8.3.1 Kadar Asam Lemak Bebas


Asam lemak bebas adalah bilangan yang menunjukkan banyaknya NaOH yang
diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas didalam sabun. Asam lemak bebas
adalah asam lemak yang berada dalam sabun yang tidak terikat sebagai senyawa
natrium ataupun senyawa trigliserida (DSN, 1994 dalam Kamikaze). Tingginya asam
lemak bebas pada sabun akan mengurangi daya membersihkan sabun tersebut, karena
asam lemak bebas merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam proses
pembersihan. Pada saat sabun digunakan, sabun tersebut tidak langsung menarik
kotoran (minyak), tetapi akan menarik komponen asam lemak bebas yang masih terdapat
dalam sabun, sehingga mengurangi daya membersihkan sabun tersebut. Trigliserida
apabila bereaksi dengan air maka menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas
(Fauziah, 2011). Acuan pengujian kadar ALB dilakukan sesuai dengan SNI 06- 3532-
1994.
Penetapannya dilakukan dengan cara titrasi alkalimetri dengan larutan alkohol
KOH sebagai penitarnya karena asam lemak dicari jumlahnya dimana jumlahnya ekivalen
dengan asam dititar dengan alkali.

2.8.3.2 Kadar Alkali Bebas (Dihitung Sebagai NaOH)


Sabun dihasilkan melalui reaksi saponifikasi antara asam lemak dalam minyak/
lemak dengan alkali/ basa. Sabun yang baik adalah sabun yang dihasilkan dari reaksi
yang sempurna antara asam lemak dan alkali dan diharapkan tidak terdapat residu/ sisa
setelah reaksi. Namun tidak selamanya reaksi yang diharapkan dapat berlangsung
sempurna. Untuk itu diperlukan pengujian kadar alkali setelah beraksi karena dalam
pembuatan sabun padat ini digunakan alkali berupa NaOH maka kadar alkali bebas
dihitung sebagai NaOH.
Alkali bebas adalah alkali dalam sabun yang tidak terikat sebagai senyawa.
Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0,14% untuk sabun kalium. Hal
ini disebabkan karena alkali memiliki sifat yang keras dan dapat menyebabkan iritasi pada
kulit. Kelebihan alkali pada sabun dapat disebabkan karena konsentrasi alkali yang terlalu
pekat atau penambahan alkali yang berlebihan pada proses penyabunan. Sabun dengan
kadar alkali yang lebih besar biasanya digolongkan ke dalam sabun cuci. Acuan
pengujian kadar alkali bebas adalah SNI 06-3532-1994. Dasar pelaksanaannya adalah
menghitung kelebihan basa/alkali yang berada dalam sabun sebagai alkali bebas. Alkali
bebas bereaksi dengan HCL dengan indikator pp.
Kelebihan alkali dalam sabun mandi tidak boleh melebihi 0,1%. Kelebihan alkali
pada sabun mandi dapat disebabkan jumlah alkali yang melebihi jumlah alkali yang
digunakan untuk melakukan saponifikasi keseluruhan minyak menjadi sabun.

2.8.3.3 Penetapan Alkali Total


Kadar alkali total adalah bilangan yang menunjukkan banyaknya alkali bebas dan
alkali terikat (sebagai NaOH) yang dapat dinetralkan oleh asam. Tujuannya untuk
menentukan kadar alkali total didalam sabun sebagai jumlah alkali bebas dan alkali
terikat. Cara penetapan dengan hidrolisa sabun dalam air.

2.8.3.4 Penetapan Kadar Lemak Bebas yang tidak Tersabunkan


Lemak tak tersabunkan adalah bilangan yang menunjukkan banyaknya NaOH
yang diperlukan untuk menyabunkan lemak tak tersabunkan di dalam sabun.

2.8.3.5   Penetapan Kadar Zat Pemberat (Fillers)


Zat pengisi atau zat pemberat pada sabun adalah zat-zat semacam kaolin, batu
ambang, asbes, kapur, dll. Zat-zat tersebut ditambahkan pada waktu pembuatan sabun
sebagai zat pengisi atau zat pemberat, dengan maksud untuk menambah berat dan
mempermudah bentuk sabun bila dicetak. Penetapannya yaitu dengan cara penyaringan
secara kualitatif.

2.8.3.6 Penetapan Minyak/Logam Pelikan


Minyak/logam pelikan adalah minyak-minyak mineral/zat-zat yang tidak bisa
disabunkan, misalnya: minyak tanah, minyak mesin, dll. Ditetapkan secara kualitatif.

2.8.3.7 Kadar Air


Air adalah bahan yang menguap pada pemanasan dengan suhu dan tekanan
tertentu. Kadar air pada sabun batang memiliki nilai maksimal 15%. Hal ini menyebabkan
sabun yang dihasilkan cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian karena
sabun tidak mudah larut dalam air. Keberadaan air dalam suatu produk sangat
menentukan mutu produk tersebut tak terkecuali sabun padat. Splitz (1996) berpendapat
kuantitas air yang terlalu banyak dalam sabun akan membuat sabun tersebut mudah
menyusut dan tidak nyaman saat akan digunakan. Keberadaan air dan udara dapat
memicu terjadinya oksidasi. Dalam penyimpanan, air dengan kadar tersebut akan
menunjukkan daya simpan lebih baik. Kataren (1986) menjelaskan bahwa proses oksidasi
dapat berlangsung apabila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dan minyak atau
lemak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida. Tingkat selanjutnya
ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroksida menjadi aldehid
dan keton serta asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehid dan keton yang dihasilkan
dari lanjutan reaksi oksidasi ini memiliki sifat mudah menguap seperti alkohol . Kadar air
sabun akan sangat mempengaruhi kekerasan sabun batang yang dihasilkan, penentuan
kadar air pada produk sabun padat yang dihasilkan menggunakan cara oven terbuka.

2.8.3.8 Derajat Keasaman (pH)


Berdasarkan SNI 06–3532–1994, pH sabun mandi tidak ditetapkan standardnya.
Walaupun demikian, tingkat keasaman (pH) sabun sangat berpengaruh terhadap kulit
pemakainya. Umumnya, sabun yang dipasarkan di masyarakat mempunyai nilai pH 9
hingga 10,8. Sabun yang memiliki pH tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri
Propionibacterium dan membuat kering kulit. Hal ini terjadi karena sabun dengan pH
tinggi dapat membengkakkan keratin sehingga memudahkan masuknya bakteri yang
menyebabkan kulit menjadi kering dan pecah-pecah, sedangkan sabun dengan pH terlalu
rendah dapat menyebabkan iritasi pada kulit.

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mampu melakukan analisa
terhadap kualitas sabun.

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu menganalisa dari kualitas sabun berdasarkan sifat dan hasil
analisa sehingga dapat mengklasifikasikan jenis sabun tersebut.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu melakukan analisa terhadap kualitas dari sabun berdasarkan
parameternya analisanya

III. LATIHAN
A. Jawablah pertanyaan berikut dengan jawaban yang paling tepat!
1. Hasil reaksi yang diperoleh dalam proses penyabunan dengan kondisi alkali
berlebih adalah
a. Sabun c. Asam lemak
b. Gliserol d. a dan b benar
2. Berikut ini merupakan sifat dari sabun kecuali
a. ZAP c. Larut dalam air
b. Dalam larutan membentuk misel d. Ampifilik
3. Sabun yang terbuat dari lemak jenuh (oleat) akan memiliki sifat
a. Mudah untuk terhidrolisa c. Memiliki derajat hidrolisa rendah
b. Memiliki titik keruh yang tinggi d. semua benar
4. Sabun yang diproses dalam kondisi kesadahan air yang tinggi (hard water) akan
bersifat
a. Sabun terdispersi koloidal c. Kotoran tidak terdispersi maksimum
b. Tidak terbentuk busa d. a dan b betul
5. Hidrolisa sabun dalam air akan terbentuk
a. Gugus anion c. Senyawa gliserol
b. Gugus hidroksil d. Semua benar
6. Syarat sabun yang digunakan untuk sabun mandi adalah
a. Alkali berlebih c. Gliserol berlebih
b. Asam lemak berlebih d. semua benar
7. Suhu titer dari sabun dipengaruhi oleh
a. Berat molekul sabun c. Suhu proses dan jenis alkali yang
digunakan
b. Tingkat kejenuhan asam lemak d. Semua benar
8. Sifat ionisasi terkait pelarutan sabun dalam air ditentukan oleh
a. Gugus hidrofob c. Gugus hidrokarbon
b. Gugus hidrofil d. Gugus atom karbon
9. Bahan yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sabun adalah
a. Desinfektan c. Gliserol
b. Senyawa alkali d. Asam lemak
10. Penentuan kadar air dalam sabun sabun dianalisa menggunakan metode
a. Gravimetri c. Alkalimetri
b. Asidimetri d. Kompleksometri

B. Jawablah pertanyaan berikut dengan singakt dan jelas!


1. Jelaskan kualitas sabun berdasarkan SNI!
2. Sebutkan dan jelaskan komponen dari sabun!
3. Sebutkan dan jelaskan jenis analisa yang dilkaukan untuk menentukan kualitas
sabun!

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Ahmad, Iftikhar. 1981. Use of Palm Stearine in Soaps dalam Fauzan, Taufik. 2011.
Studi Perbandingan Campuran Minyak Palm Oil/Palm Stearine/Palm Kernel Oil
(%b/%b) Terhadap Keretakan Sabun Mandi Padat. Fakultas MIPA Universitas
Sumatera Utara. Medan.
2. Almazini, Prima.2009. Pengaruh Sabun terhadap Kesehatan Kulit, (online),
(http:myhealing.wordpress.com/2009/06/13/pengaruh-sabun-terhadap-phkulit/ diakses
11 Oktober 2018).
3. Dalimunthe, Nur Aisyah. 2009. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas dalam Pembuatan
Sabun Padat. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
4. Dewan Standarisasi Nasional. 1994. Standar Mutu Sabun Mandi Padat. SNI 063532-
1994. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
5. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S., 1992, Kimia Organik Jilid 2 , PenerbitErlangga,
Jakarta.
6. Kamikaze, D., 2002, Studi Awal Pembuatan Sabun Menggunakan Campuran Lemak
Abdomen Sapi dan Curd Susu Afkir, Skripsi, 10, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
7. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Edisi I. UI Press.
Jakarta.
8. Kurnia, F, Hakim, I. 2009. Pembuatan Sabun Mandi dari Minyak Jarak dengan Soda Q
Sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q. Universitas Diponegoro.
Semarang.
9. Luis, Spitz. 1996. Soap and Detergent Theoritical and Practical Review .AOCS Press.
United States of America.
10. Pratiwi, Wiwin. 2013. Makalah Proses Pembuatan Sabun. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
11. Poedjiaji, A., Supriyanti, F.M.T. 2007. Dasar-dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI) Press.
12. Rukaesih, 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
13. Supena. 2007. Membuat Sabun Mandi Sendiri. http//www.woodness.com. Diakses
Januari 2014.
MATERI 3: ZAT AKTIF PERMUKAAN (ZAP)

Pertemuan ke : 6-7

I. PENDAHULUAN
Bidang kimia telah berkembang terutama dalam studi ilmu permukaan dan koloid,
yang banyak diterapkan untuk aktivitas permukaan. Teknologi ilmu permukaan secara
umum, meliputi dan emulsi, dispersi,zat pembusa, zat pembasah dan senyawa terkait
lainnya. ZAP atau zat aktif permukaan merupakan senyawa ampifilik yang meiliki fungsi
yang cukup luas dan memiliki kutub yang berbeda secara spasial (hidrofilik kepala) dan
non-kelompok kutub (ekor hidrofobik).   ZAP  memperlihatkan fenomena yang menarik
dalam larutan dalam memodifikasi antarmuka dan sifat pelarutan. Sifat-sifat karakteristik
yang tidak biasa dari ZAP dalam larutan terutama pada fenomena antarmuka karena
adanya gugus hidrofilik juga gugus hidrofobik dalam molekul yang sama. ZAP banyak
ditemukan dalam aktifitas keseharian manusia secara langsung, dalam penggunaannya
sebagai deterjen dan dalam proses tekstil seperti dalam proses persiapan, pencelupan
dan pencapan serta penyempurnaan. Deterjen, salah satu fungsi yang paling banyak
digunakan oleh ZAP anionik merujuk pada kombinasi dari ZAP sintetis dan zat lain baik
organik maupun inorganik yang diformulasikan untuk meningkatkan performa fungsional
terutama sebagai zat pembersih. Ilmu koloid dan permukaan telah muncul sebagai subjek
multidisiplin yang memiliki terobosan ke dalam ilmu kimia yang memegang peranan
penting dari berbagai fungsi proses kehidupan.
Evolusi ilmu dan teknologi ZAP bersifat dinamis dimana setiap saat akan selalu
berkembang seiring dengan ditemukannya keterbaruan dalam lingkup keilmuannya.

II. MATERI
2.1 Definisi Zat Aktif Permukaan (ZAP)
Istilah ZAP (surface active agent ) atau zat aktif permukaan pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan molekul yang berinteraksi pada permukaan cairan.
ZAP dapat digunakan dalam sistem cairan ataupun bukan cairan. ZAP juga dikenal
dengan istilah senyawa ampifil yang artinya bahwa molekul atau ion mempunyai afinitas
tertentu baik terhadap pelarut polar maupun nonpolar. Sebagai contoh, alkohol – alkohol
rantai lurus, amina – amina dan asam – asam adalah amfifil yang berubah dari hidrofilik
dominan menjadi lipofilik apabila jumlah atom karbon dalam rantai alkil naik. Amfifilik
merupakan sifat dari zat aktif permukaan yang menyebabkan zat ini diadsorbsi pada
antarmuka, apakah ini cair/gas atau cair/cair.
ZAP atau surface active agent ( Zat Aktif Permukaan ) adalah molekul-molekul
yang mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada
molekul yang sama. ZAP juga merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan
permukaan dari suatu larutan, tegangan antarmuka antara dua larutan, atau bahkan
tegangan antarmuka antara larutan dan zat padat. ZAP dapat berfungsi sebagai detergen,
zat pembasah, emulsifier, zat pembusa dan zat pendispersi. ZAP terdiri dari dua bagian,
yaitu gugus hidrofobik dan hidrofilik. Gugus hidrofilik berada di bagian kepala (polar) dan
lipofilik di bagia ekor (non polar). Bagian polar molekul ZAP dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil
yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil.
Molekul ZAP dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber: www.wikipedia.org
Gambar 3.1 Molekul ZAP
Sifat-sifat ZAP adalah dapat menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar
muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis
formulasinya baik itu oil in water (O/W) atau water in oil (W/O). Selain itu ZAP juga akan
terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan
mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang
terdispersi. Sifat-sifat ini dapat diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Panjang
dan gugus hidrofil merupakan gugus yang mempunyai kepolaran yang tinggi yang dapat
meningkatkan kelarutan. Penambahan ZAP dalam larutan akan menyebabkan turunnya
tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walaupun konsentrasi ZAP ditingkatkan. Fungsi penting dari
ZAP adalah membentuk agregat berukuran nanometer yang disebut misel yang dapat
mensolubilisasi zat yang tidak larut dalam air. Hal ini terkait dengan fungsi ZAP dalam
proses deterjensi dan solubilisasi. Bila ZAP ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka
ZAP mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical
Micelle Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa
antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis
dengan monomernya. Kerja dari ZAP diindikasikan dengan :
 Terbentuknya busa
 Adanya pembasahan (wetting)
 Emulsifikasi
Apabila pada permukaan antara dua fasa yang bersih (seperti gas-cairan dan
cairan-cairan) dtitambahkan komponen ketiga, maka komponen ketiga ini akan
teradsorbsi pada permukaan dan komponen ini akan sangat mempengaruhi sifat
permukaan. Adsorbsi molekul zat terlarut dari larutan oleh permukaan padatan biasanya
hanya membentuk monolayer. Adsorben polar cenderung untuk mengadsorbsi adsorbat
polar secara kuat dan mengadsorbsi adsorbat nonpolar secara lemah. Sebaliknya
adsorben nonpolar cenderung untuk mengadsorbsi secara kuat adsorbat nonpolar dan
mengadsorbsi adsorbat polar secara lemah.

2.1.1 Hidrofilik
Tujuan dasar dari hidrofil adalah untuk memberikan kelarutan. Kelompok hidrofil
yang paling sering digunakan adalah sebagai berikut:
(a) dalam ZAP anionik: kation natrium, kalium atau amonium, yang berhubungan dengan
kelompok bermuatan negatif pada gugusan hidrofobik seperti karboksilat, sulfonat,
sulfat atau fosfat
(b) dalam ZAP kationik: ion klorida, bromida atau metosulfat, yang ditempatkan secara
kontras dengan gugusan hidrofobik, contoh, atom nitrogen kuartener yang bermuatan
positif
(c) dalam ZAP nonionik: bagian etilen oksida atau propilena oksida.
Makin banyak gugus hidrofilik kompleks yang sering ditemui, seperti mono-, di- dan tri-
ethanolamine dan isopropanolamines yang banyak digunakan dalam ZAP anionik.

2.1.2 Hidrofob
Gugus hidrofob tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Sebagian besar
didasarkan pada rantai panjang linear alkana, baik jenuh atau tidak jenuh. Gugusan
hidrofob awalnya diperoleh secara alami yaitu dari senyawa lemak dan minyak seperti
minyak jarak, ikan, zaitun, kelapa dan lemak, tetapi sumbernya kemudian digantikan oleh
produk minyak bumi yang lebih murah. Baru-baru ini, tidak hanya harga minyak mentah
yang meningkat, tetapi juga telah terjadi perkembangan terhadap sumber pembuatan
gugusan hidrofob. Hidrofob yang paling banyak digunakan sebagai dasar ZAP adalah
yang mengandung atom karbon 8 – 18 seperti terdapat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Contoh dari Gugus Hidrofob


Jumlah Nama Kimia Nama Trivial Rumus Molekul
Karbon
8 Octanoate Caprylate CH3(CH2)6COO
10 Decanoate Caprate CH3(CH2)8COO
12 Dodecanoate Laurate CH3(CH2)10COO
12 9-Dodecenoate Lauroleate CH3CH2CH=CH(CH2)7COO
14 Tetradecanoate Myristate CH3(CH2)12COO
14 9-Tetradecanoate Myristoleate CH3(CH2)3CH=CH(CH2)7COO
15 Pentadecanoate Isocetate CH3(CH2)13COO
16 Hexadecanoate Palmitate CH3(CH2)14COO
16 9-Hexadecanoate Palmitoleate CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COO
17 Heptadecanoate Margarate CH3(CH2)15COO
18 Octadecanoate Stearate CH3(CH2)16COO
18 9-Octadecanoate Oleate CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COO
18 9,12- Linoleate CH3(CH2)4(CH=CHCH2)3(CH2)6COO
Octadecadienoate
18 12-Hidroksi-9- Risinoleat CH3(CH2)5CH(OH)CH2CH=CH(CH2)7
Oktadecanoate

Beberapa gugus hidrofob adalah senyawa aromatik (benzene or naphthalene),


seringnya mengandung substituent alkil rendah,contohnya adalah dodecylbenzene.
Alkyl-tersubstitusi toluenes, xylenes dan phenols, dan mono- dan di-alkylated naphthalene
juga banyak digunakan. Gugus hidrofob biasanya, digunakan juga dalam bentuk asam,
alkohol, ester atau amina.

2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan fenomena spontan karena energi permukaan (tegangan
permukaan) turun. Penyebab terjadinya tegangan permukaan turun adalah molekul ZAP
menggeser molekul air di permukaan dan gaya tarik menarik ZAP dengan molekul air
lebih kecil dari gaya tarik menarik air dengan air.

2.2.1 Permukaan Nonpolar, Hidrofobik


Adsorpsi ZAP ke permukaan nonpolar adalah dengan interaksi ikatan dispersi.
Pada sistem larutan air, orientasi dari molekul yang teradsorpsi adalah gugus hidrofobik
terikat dengan permukaan padat dengan gugus hidrofilik mengarah ke permukaan
larutan. Pada tahap awal adsorpsi kemungkinan hidrofobiknya akan ’ terbaring’ di atas
permukaan seperti kereta atau Ls (Gambar 3.2 a,b). Ketika terjadi peningkatan adsorpsi,
molekul akan berangsur-angsur berorientasi lebih tegak lurus ke permukaan sampai
tercapai tingkat kejenuhan (Gambar 3.2 c)

Gambar 3.2 . Orientasi ZAP yang Teradsorpsi pada Permukaan Nonpolar: (a) coverage
rendah (b) coverage menengah (c) kejenuhan permukaan — kira-kira vertikal, tertutup
rapat, meskipun beberapa kemiringan mungkin ada.

Kejenuhan permukaan dari ZAP dicapai pada atau dekat CMC. Konsekuensi penting dari
adsorpsi ZAP ke permukaan nonpolar adalah bahwa sifat dari permukaan berubah secara
drastis. Jika bahan yang teradsorpsi bermuatan, lapisan teradsorpsi akan tertanam,
sampai batas tertentu, setidaknya, sifat permukaan seperti itu, dengan semua kekuatan
yang muncul (misalnya, peningkatan stabilitas dalam keadaan system terdispersi) dan
kelemahan (kepekaan terhadap elektrolit). Jika material yang teradsorpsi bersifat non
ionik, hal yang sama juga akan berlaku.

2.2.2 Permukaan Polar, Tidak Bermuatan


Permukaan polar dan tidak bermuatan mencakup bahan polimer sintetis seperti
poliester, poliamida, dan poliakrilat, juga bahan alami seperti kapas. Mekanismenya
adsorpsi ke permukaan ini akan lebih kompleks daripada yang permukaan nonpolar di
atas, karena faktor-faktor seperti orientasi akan ditentukan oleh keseimbangan beberapa
gaya.
Gaya potensial yang berada di permukaan yang polar termasuk gaya dispersi
yang selalu ada, interaksi dipolar, ikatan hidrogen dan interaksi asam basa lainnya.
Keseimbangan relatif antara gaya dispersi dan interaksi polar yang unik sangat penting
dalam menentukan model adsorpsi ZAP. Jika Gambar 3.2 ZAP yang teradsorpsi
berorientasi sebagai fungsi menutupi permukaan non polar, gaya dispersi akan
mendominasi, misalnya, adsorpsi akan terjadi dengan cara yang sama dengan
permukaan non polar (Gambar 3.2 b ). Jika, interaksi polar yang mendominasi, adsorpsi
dapat terjadi dalam kebalikannya, yaitu molekul-molekul ZAP akan lebih berorientasi
dengan kepala hidrofilik kelompok ke arah permukaan padat dan kelompok hidrofobik
mengatur lebih banyak menuju fase berair (Gambar 3.2) atau dengan posisi kurang lebih
sejajar dengan permukaan padat.

Gambar 3.2 Model Adsorpsi ZAP melalui Gaya Dispersi Non Polar a).Model kereta; b)
Model L c) Tegak lurus

Orientasi ekor hidrofobik menuju fase berair dapat menyebabkan semacam


agregasi permukaan, setidaknya hingga tercapai kejenuhan monolayer, setelahnya
bilayer dapat mulai terbentuk. Jelas, dua model adsorpsi akan berbeda secara drastis.
Perbedaan seperti itu mungkin sangat penting di bidang adhesi dan lubrikasi, di mana
orientasi spesies teradsorpsi dapat secara signifikan mempengaruhi kinerja dari sistem.

2.2.3 Permukaan yang Melepaskan Muatan Listrik


Bahan yang memiliki permukaan bermuatan mencakup hampir semua anorganik
oksida dan garam (silika, alumina, titania, dll.), perak halida, polimer lateks mengandung
komonomer ionik, banyak permukaan alami seperti protein, dan selulosa. Oleh karena itu,
sangat penting untuk dapat memahami interaksi permukaan tersebut dengan ZAP untuk
dapat mengoptimalkan efeknya dalam aplikasinya.
Banyaknya kemungkinan interaksi dalam sistem permukaan bermuatan dan
ZAP ionik, sangat penting untuk mengendalikan semua variabel dalam sistem. Ketika
hasil adsorpsi, mekanisme dominan mungkin berubah dari pertukaran ion melalui ikatan
ion menjadi dispersi atau interaksi hidrofobik. Akibatnya, isoterm adsorpsi mungkin jauh
lebih kompleks. Isoterm Adsorpsi untuk ZAP pada permukaan dari muatan yang
berlawanan umumnya menunjukkan tiga daerah adsorpsi yang ditentukan dengan baik, di
mana laju bervariasi karena perubahan mekanisme adsorpsi. Satu interpretasi dari
adsorpsi tersebut melibatkan tiga mekanisme berturut-turut (Gambar 3.3 b – d).

Gambar 3.3 Mekanisme untuk Menjelaskan berbagai laju ZAP ionik untuk meutupi
permukaan dan model adsorpsi a)permukaan asli, b). pertukaran ion c) pasangan ion d)
netralisasi muatan
Pada tahap awal (wilayah 1), adsorpsi terjadi terutama sebagai hasil dari pertukaran ion
yang berkaitan dengan ion lawan dari perukaan awal digantikan dengan molekul ZAP.
Selama tahap itu sifat listrik (yaitu, muatan permukaan) dari permukaan pada dasarnya
tetap tidak berubah. Saat adsorpsi berlanjut, pasangan ion molekul ZAP dengan muatan
permukaan menjadi penting (wilayah 2), menghasilkan penurunan pembatas elektrik
dalam muatan permukaan. Sifat listrik seperti itu terukur sebagai zeta potensial, ukuran
dari densitas muatan permukaan (dalam Coulomb/m 2) akan cenderung menuju ke nol.
Sering ditemukan bahwa pada daerah 2 laju adsorpsi akan meningkat secara signifikan.
Observasi meningkat dikarenakan efek kerjasama dari gaya elektrostatik dan interaksi
lateral diantara grup hidrofobik yang menempel pada ZAP yang teradsorpsi ketika
densitasnya meningkat.
Ketika adsorpsi mendekati tingkat netralisasi sempurna dari muatan permukaan asal oleh
ZAP yang teradsorpsi, sistem akan menuju ke muatan titkl nol nya (Zero Point Charge),
dimana semua muatan ZAP telah berpasangan dengan molekul ZAP. Pada daerah 3,
interaksi hidrofobik antara ekor ZAP yang menempel bisa mendominasi, sering
membentuk struktur agregat. Jika interaksi hidrofobik antara ekor ZAP melemah (karena
struktur yang pendek dan bulky) atau jika terjadi tolak menolak elektrostatik antara
kelompok kepala tidak bisa muncul ( karena kehadiran lebih dari satu muatan dari tanda
yang sama atau kekuatan ionik rendah), laju peningkatan adsorpsi daerah 2 mungkin
tidak terjadi dan agregat akan muncul.
Ketika adsopsi mendekati permukaan yang memiliki muatan permukaan
signifikan dalam pelarut air sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan seperti elektrolit
dan pH. Pada konsentrasi elektrolit yang tinggi, permukaan padatan mungkin memiliki
sejumlah besar kontradiksi terikat bahwa pertukaran ion adalah satu-satunya mekanisme
adsorpsi yang dibanding interaksi dispersi atau hidrofobik
Peningkatan penggunaan elektrolit akan menyebabkan penurunan adsorpsi ZAP
pada permukaan yang memiliki muatan yang berlawanan, itu akan meningkatkan
penyerapan molekul yang bermuatan. Adanya larutan dengan kandungan kation
polyvalent seperti Ca2+ dan Al3+ akan meningkatkan adsorpsi ZAP anionik. Ion tersebut
akan mengikat kuat pada permukaan yang negatifsehingga efektif menolak netralisasi
muatan. Mereka juga bias bertindak sebagai ion bridging dengan menghubungkan
dengan permukaan negative dan bagian kepala ZAP anionik (Gambar 3.4)

Gambar 3.4 Peranan ion Polivalen sebagai ion bridging untuk adsorpsi dari ZAP anionik
pada permukaan yang bermuatan negatif a) adsorpsi normal dari ZAP pada permukaan
yang memilki muatan listrik yang sama; b) kation bridging mengarah pada adsorpsi
inverted.
Adsorpsi pada permukaan padatan yang memiliki grup asam atau basa seperti protein,
selulosa dan poliakrilat sensitif terhadap erubahan pH. Ketika pH larutan menurun,
muatan pada permukaan padatan akan menjadi lebih positif. Permukaan akan menjadi
lebih baik untuk adsorpsi ZAP dengan muatan seperti itu (ZAP anionik terhadap
pemukaan karbonil) dan kurang mengadsorpsi dari ZAP dengan muatan yang
berlawanan.
Untuk permukaan yang mengandung basa lemah seprti amina, pH rendah akan
menyebabkan ionisasi dari permukaan basa meningkatkan adsorpsi dari molekul ZAP
dengan muatan berlawanan dan menurunkan interksi dengan bahan yang sama
muatannya. Peningkatan suhu dari sistem adsorben akan menghasilkan penurunan
adsorpsi ZAP ionik walaupun akan sedikit terjadi perubahan bila dibandingkan karena pH
dan elektrolit. ZAP non ionik, yang memilki hubungan kelarutan dan suhu yang
berkebalikan dalam larutan, akan memunculkan efek yang berkebalikan, yaitu adsorpsi
akan meningkat ketika suhu meningkat sering memiliki clouding point ZAP tertentu.
Sifat hidrofobik menjadi faktor utama yang menentukan karakteristik adsorpsi
dari sistem selanjutnya. Secara umum telah ditemukan bahwa dalam serangkaian ZAP
homolog, peningkatan panjang rantai hidrofobik akan menghasilkan peningkatan efisiensi
adsorpsi. Penjelasan yang biasa adalah bahwa seiring pertambahan panjang rantai,
perolehan energi bebas yang terkait dengan penghilangan hidrofob dari larutannya
interaksi lingkungan dan rantai-rantai di antara molekul terdekatnya menjadi lebih baik
Perubahan pH dapat mempengaruhi karakteristik adsorpsi dari permukaan padat,
sehingga tingkat dan cara adsorpsi dapat diubah oleh mengubah sifat molekul ZAP,
terutama yang mengandung asam lemah atau kelompok dasar seperti asam karboksilat,
senyawa amonium non quaternary, dan molekul amfoter. Dalam kasus seperti itu,
perubahan pH larutan mungkin mengubah ZAP dari jenis ionik yang mampu mengikat
dengan mekanisme pertukaran ion atau pengikatan ion, ke material yang tidak bermuatan
yang hanya dapat berinteraksi melalui ikatan hidrogen, kekuatan asam, atau dispersi.
Perubahan pH larutan juga bisa mengubah karakteristik adsorpsi dari ZAP nonionik yang
mengandung POE atau lainnya keterkaitan yang dapat terprotonasi pada pH rendah.
Pada pH rendah, hubungan eter pada POE mengandung bahan ZAP dan dalam
poliglikidol dapat terprotonasi menghasilkan situs bermuatan positif yang akan mengikat
kuat dengan situs negatif pada permukaan padat.
ZAP dengan muatan berlawanan dari permukaannya, interaksi elektrostatik
diharapkan akan mendominasi dalam larutan sementara untuk sistem yang muatan sama,
adsorpsi diharapkan untuk meningkat sebagai hasil dari pendispersian atau interaksi
nonelektrostatik. Dengan jenis tipe yang diberikan, kandungan alami dari hidrofil muncul
untuk berfungsi sangat minor dalam proses adsorpsi. Kadangkala ditemukan bahwa
peningkatan ukuran terhidrasi dari gugus hidrofil akan mengarah terhadap peningkatan
dalam efisiensi dari adsorpsi oleh mekanisme pertukaran ion, ion berpasangan. Ketika
variael muatan ZAP telah ditentukan, gugus hidrofob menjadi faktor utama menentukan
karakteristik sistem adsorpsi. Secara umum telah ditemukan bahwa dalam seri yang
sama dari ZAP, peningkatan panjang rantai hidrokarbon akan meningkatkan efisiensi dari
adsorpsi. Penjelasannya adalah bahwa panjang rantai meningkat, energi bebas yang
dieproleh berkaitan dengan penghilangan gugus hidrofob dari larutan dan interaksi rantai-
rantai diantara molekul yang berdekatan menjadi lebih baik.
2.2.4. Adsorpsi oleh Permukaan Polar, Tidak Bermuatan
Adsorpsi pada permukaan polar, tidak bermuatan terjadi terutama melalui
kekuatan ikatan interaksi hidrogen , asam-basa, dan dispersi. Namun, Ikatan hidrogen
atau interaksi asam-basa antara ZAP dan permukaan padatan membutuhkan kelompok
hidrofil berisi kelompok yang mampu berpartisipasi dalam interaksi semacam itu. Sebagai
contoh, kelompok hidrofil yang merupakan turunan dari asam kuat atau basa seperti
garam asam sulfonat, ester sulfat, dan ion amonium kuaterner yang tidak selalu
bergantung pada mekanisme reaksi tersebut untuk proses adsorpsi. Kelompok-kelompok
seperti asam karboksilat, di sisi lain dapat berinteraksi dengan bahan yang memiliki
permukaan dasar seperti poliester dan poliamida. Jika permukaan padat memiliki gugus
-OH atau -NH yang dapat bertindak sebagai donor proton, itu dapat mengadakan ikatan
eter seperti di polyoxyethylenes. Adsorpsi ZAP non ionik POE pada poliester dan
poliamida lebih baik disbanding dengan jenis anionik. ZAP nonionik yang berasal dari
alkohol berantai lurus dan POE dapat menyerap ke permukaan seperti kapas dalam
lapisan monolayer yang tertutup rapat dengan molekul yang sejajar terhadap permukaan
substrat. Biasanya juga ditemukan bahwa jika panjang rantai POE meningkat, baik
efisiensi maupun efektivitas adsorpsi menurun. Peningkatan panjang rantai hidrofobik,
menghasilkan suatu peningkatan dalam efisiensi adsorpsi. Kurangnya kelompok muatan
dalam bahan polar, seperti pH dan kandungan elektrolit diharapkan memiliki efek adsorpsi
yang kurang signifikan dibandingkan dalam hal permukaan bermuatan. Namun, pada pH
ekstrim, selalu ada kemungkinan menghasilkan muatan melalui protonasi dari grup -OH, –
NH, atau SiOH.
Selain itu, kehadiran elektrolit konsentrasi tinggi, tidak memiliki efek dalam interaksi
elektrostatik atau electrical double-layer (antar muka yang memiliki distribusi muatan listrik
yang tidak setimbang akan menghasilkan pembentukan muatan net listrik pada satu
tanda pada satu sisi antarmuka dan tanda muatan berlawanan pada sisi lainnya) that has
an unbalanced electrical charge distribution will result in the formation of a net electrical
charge of one sign on one side of the interface and a charge of opposite sign on the other
side. Such a situation gives rise to the so-called electrical double layer dapat menurunkan
kelarutan ZAP dan meningkatkan interaksinya dengan permukaan padatan.

2.2.5 ZAP Pada Permukaan Non Polar Dan Hidrofobik


Sifat permukaan nonpolar dan hidrofobik, adsorpsi awal akan terjadi hampir
secara eksklusif oleh interaksi dispersi antara permukaan dan ekor hidrofobik dari ZAP.
Oleh karena itu, orientasi adsorpsi akan dengan bagian hidrofob ZAP pada permukaan
dan hidrofil diarahkan menuju larutan. Efisiensi dan efektivitas adsorpsi akan sangat
bergantung pada ukuran dan sifat dari gugus hidrofob; peran yang lebih kecil akan
dimainkan oleh gugus hidrofil. Setiap kondisi yang mempengaruhi besarnya elektrostatik
tersebut interaksi (misalnya, kandungan elektrolit yang tinggi) juga akan diharapkan
berubah adsorpsi dalam sistem ZAP bermuatan. Kondisi lain yang berpengaruh terhadap
inetreaksi elektrostatik (kandungan elektrolit tinggi) akan diharapkan akan diharapkan
juha untuk memasuki adsorpsidalam system ZAP bermuatan. Dalam kasus ZAP non ionik
dimana interaksi elektrostatik hadir dan material terdiri dari campuran multikomponen,
peranan grup hidrofilik dalam menentukan isotherm adsorpsi menjadi lebih kompleks.
Kelompok hidrofobik (derajat cabang, ketidakjenuhan, substitusi polar, kehadiran
grup aromatiK, dll) akan berperan penting dalam menentukan sifat adsorpsi dari sistem,
terutama sebagai hasil dari efeknya pada pembentukan dari rantai hidrofob dan
interaksinya dengan pelarut dan permukaan padat. Dikarenakan ikatan lemah pada
adsorpsi non polar, penghilangan dari materi yang terserap dengan cara itu diharapkan
menjadi mudah. Namun, desorpsi sempurna dengan sistem seperti itubiasanya sulit, dan
pengukuran dibutuhkan untuk memastikan penghilangan yang sempurna dari ZAP.
.
2.2.6 ADSORPSI ZAP DAN KARAKTER DARI PERMUKAAN PADAT
Ketika ZAP teradsorpsi ke permukaan padat, efeknya akan sangat bergantung
pada mekanisme adsorpsi yang paling dominan.. Untuk permukaan yang sangat
bermuatan, jika adsorpsi adalah hasil dari pertukaran ion, sifat listrik dari permukaan tidak
akan berubah secara signifikan, meskipun sifat pembasahannya terhadap air relatif dapat
diubah. Jika, di sisi lain, mekanisme pasangan ion menjadi penting, potensi pada lapisan
Stern akan menurun sampai benar-benar dinetralisasi. Dalam sebuah sistem terdispersi
yang distabilkan oleh tolakan elektrostatik, seperti penguranganpotensi permukaan akan
mengakibatkan hilangnya stabilitas dan akhirnya terjadi koagulasi atau flokulasi dari
partikel. Selain konsekuensi elektrostatik dari interaksi muatan-muatan spesifik, adsorpsi
ZAP dengan pertukaran ion atau pasangan ion menghasilkan orientasi dari molekul
dengan kelompok hidrofobiknya menghadap ke fase larutan; oleh karena itu permukaan
menjadi lebih hidrofobik dan kurang bisa dibasahi. Ketika permukaan padat telah menjadi
hidrofobik, dimungkinkan untuk proses adsorpsi dilanjutkan oleh interaksi gaya dispersi.
Saat itu terjadi, muatan di permukaan akan dibalik, sehingga memperoleh muatan
berlawanan dengan tanda pada permukaan asli, karena gugus hidrofilik sekarang akan
berorientasi pada fase berair (Gambar 3.5). Pada sistem yang akan terbasahi oleh air,
proses adsorpsi mengurangi terbasahinya permukaan padat, membuat interaksinya
dengan fasa yang kurang polar (misal udara) lebih baik.
Gambar 3.5. Pembalikan Muatan Permukaan oleh Adsorpsi ZAP: (a) permukaan asli
(muatan dihilangkan ); (b) netralisasi lengkap muatan pada permukaan; (c) kelebihan
ZAP, pembalikan muatan dengan adsorpsi bilayer

Adanya proses adsorpsi akan menurunkan energi permukaan. Bagian non polar
ditolak air oleh karena gaya adesi yang dapat terjadi dengan air lebih kecil dibandingkan
dengan gaya kohesi antar molekul air yang berdekatan sehingga ZAP dapat diadsorpsi
pada antar muka secara spontan sehingga dipersyaratkan energi permukaan harus
rendah. antarmuka udara-cairan

antarmuka padatan-cairan

Menurunkan tegangan permukaan Menstabilkan dispersi

Gambar 3.6 Fenomena penurunan energi permukaan pada berbagai antar muka

Adsorpsi ZAP dimanfaatkan untuk menurunkan energi yang diperlukan untuk


pembasahan dan penyebaran dan emulsifikasi dan proses pendispersian.
Gambar 3.7 Ilustrasi Aplikasi Adsorpsi dari ZAP

Adsorpsi ZAP ionik akan memberikan fenomena yang berbeda seperti dapat dilihat pada
gambar berikut :

antarmuka udara-cairan antarmuka padatan-cairan

Menurunkan tegangan Memberi muatan pada


permukaan partikel dan
Menstabilkan Dispersi
Gambar 3.8 Ilustrasi Adsorpsi dari ZAP Ionik

ZAP pada permukaan globul akan terdisipasi dengan memberikan muatan listrik
pada permukaannya, sedangkan pada ZAP nonionik akan bersifat memberikan lapisan
pelindung yang menyelubungi suatu partikel. Pemanfaatan ZAP pada permukaan globul
dan partikel dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 3.9 Ilustrasi ZAP pada Permukaan Globul dan Partikel

Selain itu adsorpsi pada permukaan air dan organik dapat dilihat pada gambar berikut,
Gambar 3.10 Adsorpsi pada Permukaan pelarut Air dan Organik

2.3 Tegangan Permukaan


Tegangan permukaan dari suatu cairan adalah gaya per satuan panjang pada
permukaan yang menurunkan pemanjangan daerah permukaan. Defenisi ini diilustrasikan
berdasarkan percobaan, dimana perpindahan pembatas didorong oleh gaya F untuk
memperluas film cairan yang diperpanjang seperti film gelembung sabun dalam suatu
bingkai wayar. Tegangan permukaan dari ilustrasi ini dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :

Dimana l adalah panjang pembatas, dan faktor 2 karena terdapat dua permukaan larutan,
satu pada bagian depan dan satu lagi pada bagian belakang. Tegangan permukaan air

pada suhu 25 OC adalah 71,97 x 10-3 N m-1 (Alberty, 1988).


Tegangan permukaan disebabkan karena adanya kecenderungan permukaan
cairan untuk memperkecil luas permukaan secara spontan. Pada tingkat molekular hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut : molekul yang berada di dalam cairan akan mengalami
gaya tarik-menarik (gaya Van der Waals) yang sama besarnya ke segala arah. Tetapi,
molekul pada permukaan cairan akan mengalami gaya resultan yang mengarah ke dalam
cairan dan akibatnya molekul dipermukaan cenderung untuk meninggalkan permukaan
masuk ke dalam cairan sehingga permukaan cairan cenderung untuk menyusut. Hal ini
pulalah yang menyebabkan butiran cairan atau gelembung gas cenderung untuk
membentuk lingkaran (karena pada lingkaran nisbah luas permukaan-volume minimum).

2.3.1. Kohesi dan Adhesi


Adhesi adalah kemampuan dari partikel-partikel yang tidak sejenis untuk saling
tarik-menarik satu sama lain, dimana kohesi adalah kemampuan dari partikel-partikel
sejenis untuk saling tarik-menarik satu sama lain(Israelachvili, 1985).
Bahan-bahan adhesif mengisi rongga-rongga ataupun pori-pori dari permukaan dan
mengikat permukaan dengan ikatan dalam. Adapun adhesi dapat terjadi melalui beberapa
cara, meliputi :
 Adhesi kimia
Dua bahan dapat membentuk senyawa sebagai bentuk gabungannya melalui
pemakaian elektron bersama(ikatan ionik dan kovalen) ataupun dalam bentuk yang
lebih lemah yaitu dengan ikatan hidrogen.
 Adhesi dispersi
Dalam hal ini adhesi terjadi melalui adanya ikatan van der Waals antara molekul-
molekul yang tidak sejenis.
 Adhesi elektrostatik
Beberapa bahan konduktor dapat melewatkan elektron-elektron untuk membentuk
suatu perbedaan muatan listrik sebagai gabungannya.
 Adhesi difusi
Pada beberapa bahan dapat terjadi penggabungan molekul yang berbeda pada suatu
bagian yang sama melalui difusi (Kendall, 1994).
Tegangan permukaan yang dapat diukur bukan hanya tegangan permukaan antara
permukaan cairan dan gas, tetapi juga tegangan permukaan antara permukaan dua
cairan (kadang-kadang disebut juga tegangan antarpermukaan). Nilai tegangan
permukaan antara permukaan dua cairan biasanya terletak antara nilai tegangan
permukaan cairan-gas masing-masing cairan.
Kerja adhesi adalah pemisahan untuk membentuk dua permukaan baru dari satu
antarmuka:

Kerja kohesi adalah pemisahan untuk membentuk dua permukaan baru:

Dengan menggunakan persamaan Young-Dupre :


Gambar 3.11 Kerja Adhesi dan Kohesi
2.3.2. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Tegangan Permukaan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tegangan permukaan, yaitu :
• Elektrolit
Adanya elektrolit dapat menyebabkan kenaikan tegangan permukaan,sehingga
disebut juga negative surface activity (Sukardjo, 1985).
• Temperatur
Tegangan permukaan cairan menurun dengan naiknya temperatur dan bernilai nol
pada temperatur kritis.
• Tekanan
Tegangan permukaan cairan berbanding lurus dengan tekanan,sehingga jika tekanan
naik maka tegangan permukaan cairan tersebut juga meningkat dan sebaliknya jika
tekanan menurun maka tegangan permukaan cairan juga turun.
• Zat terlarut
Adanya penambahan zat terlarut ke dalam suatu larutan dapat menurunkan tegangan
permukaan larutan tersebut karena zat terlarut menurunkan besarnya energi Gibbs
yang berdampak pada menurunnya tegangan permukaan (Alberty, 1988).
• Luas permukaan bidang
Besarnya tegangan permukaan berbanding terbalik dengan luas permukaan bidang,
maka semakin luas permukaan bidang menyebabkan tegangan permukaan menurun.
• Konsentrasi
Semakin besar konsentrasi maka nilai tegangan permukaan juga semakin besar,
demikian pula sebaliknya bila konsentrasi menurun maka tegangan permukaan cairan
juga menurun.
• Densitas
Densitas berhubungan lurus dengan tegangan permukaan suatu cairan sehingga
semakin besar densitas tegangan permukaan cairan tersebut juga semakin besar
(Glasstone, 1959).
2.4. Viskositas
Diantara semua sifat – sifat fluida, viskositas memerlukan perhatian yang terbesar
dalam telaahan tentang aliran fluida. Viskositas adalah sifat fluida yang mendasari
diberikannya tahanan terhadap tegangan geser oleh fluida tersebut. Hukum viskositas
Newton menyatakan bahwa untuk laju perubahan bentuk sudut fluida yang tertentu maka
tegangan geser berbanding lurus dengan viskositas.
Viskositas gas meningkat dengan suhu, tetapi viskositas cairan berkurang dengan
naiknya suhu. Perbedaan dalam kecenderungan terhadap suhu tersebut dapat
diterangkan dengan menyimak penyebab – penyebab viskositas. Tahanan suatu fluida
terhadap tegangan geser tergantung pada kohesinya dan pada laju perpindahan
momentum molekularnya. Cairan dengan molekul - moekul yang jauh lebih rapat daripada
gas mempunyai gaya – gaya kohesi yang jauh lebih besar daripada gas. Kohesi
nampaknya merupakan penyebab utama viskositas dalam cairan, dan karena kohesi
berkurang dengan naiknya suhu, maka demikian pula viskositas. Sebaliknya, gas
mempunyai gaya –gaya kohesi yang sangat kecil. Sebagian besar dari tahanannya
terhadap tegangan geser merupakan akibat perpindahan momentum molekular
(Sukardjo,2002).
Zat cair mempunyai beberapa sifat berikut ini :
• Apabila ruangan lebih besar dari volume zat cair, akan terbentuk permukaan bebas
horizontal yang berhubungan dengan atmosfer
• Mempunyai rapat massa dan berat jenis
• Dapat dianggap tidak termampatkan
• Mempunyai kohesi, adhesi dan tegangan permukaan
• Mempunyai viskositas (kekentalan) (Wylie, 1992)
Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau

fluida. Di dalam Satuan Internasional (SI), satuan viskositas adalah N s m -2 (kg m-1 s-1)

atau Pa s (Paskal sekon). Di dalam CGS satuan viskositas adalah dyne s cm -2 (g cm-2 s-
1). Satuan ini disebut Poise diberi simbol P (1 poise = 0,1 Pa s). Ini
merupakanpenghargaan kepada ilmuwan Prancis, “Poisseuille” yang menurunkan rumus
penentuan viskositas dan metode untuk menentukan viskositas larutan. Satuan viskositas
lain adalah centipoises (1/100 poise) dan millipoise (1/1000 poise) (Yazid, 2005).
Koefisien viskositas adalah kekuatan dalam dyne yang menggunakan tekanan di
antara dua lapisan sejajar, dapat juga dianggap sebagai gaya per satuan luas yang
diperlukan untuk menggerakkan ataupun memindahkan satu lapisan cairan yang

mempunyai kecepatan 1 cm det-1melewati garis sejajar yang lain yang berjarak 1 cm.
Ketika suatu zat cair mengalir melalui suatu pipa, lapisan dari cairan dalam kontak
dengan dinding pipa adalah tetap dimana cairan pada pusatnya mempunyai kecepatan
yang tertinggi untuk mengalir. Konstanta η adalah koefisien viskositas dalam unit cgs

mempunyai dimensi gcm -1det-1 dan unitnya adalah poise. Kuantitas lain adalah fluiditas,
f = 1/η dan viskositas kinematik (v) didefenisikan sebagai viskositas dibagi densitas (v =
η /d) (Findlay, 1960).

2.4.1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Viskositas


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi viskositas, yaitu :
• Tekanan
Viskositas cairan naik dengan naiknya tekanan, sedangkan viskositas gas tidak
dipengaruhi oleh tekanan.
• Temperatur
Viskositas cairan akan turun dengan naiknya temperatur, sedangkan viskositas gas
naik dengan naiknya temperatur. Pemanasan zat cair menyebabkan molekul –
molekulnya memperoleh energi. Molekul –molekul cairan bergerak sehingga gaya
interaksi antar molekul melemah. Dengan demikian viskositas cairan akan turun
dengan kenaikan temperatur.
• Kehadiran zat lain
Adanya bahan tambahan seperti bahan suspensi (misalnya albumin dan globulin)
menaikkan viskositas air. Pada minyak ataupun gliserin adanya penambahan air akan
menyebabkan viskositas akan turun karena gliserin ataupun minyak akan semakin
encer, waktu alirnya pun akan semakin cepat.
•Ukuran dan berat molekul
Viskositas naik dengan naiknya berat molekul. Misalnya laju aliran alkohol cepat,
larutan minyak laju alirannya lambat dan kekentalannya tinggi. Larutan minyak
misalnya CPO memiliki kekentalan tinggi serta laju aliran lambat sehingga viskositas
juga tinggi.
•Bentuk molekul
Viskositas akan naik jika ikatan rangkap semakin tinggi.
•Kekuatan antar molekul
Viskositas air naik dengan adanya ikatan hidrogen, viskositas CPO dengan gugus OH
pada trigliseridanya naik pada keadaan yang sama (Alberty, dkk, 1984).
•Konsentrasi
Untuk suatu larutan viskositasnya bergantung pada konsentrasi atau kepekatan
larutan. Umumnya larutan yang konsentrasinya tinggi, viskositasnya juga tinggi.
Sebaliknya larutan yang viskositasnya rendah , konsentrasinya juga rendah
(Sukardjo,2002).

2.4.2. Metode Penentuan Viskositas dengan Viskosimeter Ostwald


Viskositas suatu cairan murni atau larutan merupakan indeks hambatan alir cairan.
Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju alir cairan yang melalui tabung berbentuk
silinder. Cara ini merupakan salah satu cara yang paling mudah dan dapat digunakan
baik dalam cairan maupun gas.
Pada viskosimeter Ostwald, yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh
sejumlah tertentu cairan untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang
disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Pada percobaan sebenarnya, sejumlah tertentu

cairan (misalkan 10 cm3 bergantung pada ukuran viskosimeter) dipipet ke dalam


viskosimeter. Cairan kemudian dihisap melalui labu pengukur dari viskosimeter sampai
permukaan cairan lebih tinggi dari batas atas. Cairan kemudian dibiarkan turun. Ketika
permukaan cairan turun melewati batas atas, stopwatch mulai dinyalakan dan ketika
caiaran melewati batas bawah, stopwatch dimatikan. Jadi, waktu yang dibutuhkan cairan
untuk melalui jarak antara batas atas dan batas bawah dapat ditentukan (Bird, 1993).
Pengukuran viskosimeter Ostwald dapat dihitung berdasarkan Hukum Poiseuille berikut :

η = viskositas larutan
V = total volume larutan
t = waktu yang dibutuhkan larutan dengan volume V untuk mengalir melalui viskometer
P = tekanan yang bekerja pada cairan
l = panjang pipa
Pengukuran viskositas yang tepat dengan cara di atas sulit dicapai. Hal ini disebabkan
harga r dan l sukar ditentukan secara tepat. Kesalahan pengukuran terutama r sangat
besar pengaruhnya karena harga ini dipangkatkan empat. Untuk menghindari kesalahan
tersebut dalam prakteknya digunakan cairan pembanding.
Untuk dua cairan yang berbeda dengan pengukuran alat yang sama diperoleh hubungan :
Karena tekanan berbanding lurus dengan rapatan cairan, maka berlaku :

ꜧ1 = viskositas air (poise)


ꜧ2 = viskositas larutan yang diuji (poise)
d1 = densitas air (g/ml)

d2 = densitas larutan yang diuji (g/ml)

t1 = waktu alir air (detik)

t2 = waktu alir larutan yang diuji (detik)

Jadi, bila η dan d cairan pembanding diketahui, maka dengan mengukur waktu yang
diperlukan untuk mengalir kedua cairan melalui alat yang sama dapat ditentukan η cairan
yang sudah diketahui rapatannya (Sukardjo,2002).

2.5 Sifat Pembasahan (Wetting)

Adsorpsi ZAP pada antar muka padat-cair memainkan peran penting dalam
menentukan sifat interaksi antara pelarut dan partikel padat, dan di antara permukaan
padatan, terutama yang terkait dengan fenomena seperti stabilitas koloid. Peran serupa
dapat dimainkan oleh ZAP pada permukaan yang pada dasarnya terkait dengan
pembasahan, penyebaran, adhesi, dan lubrikasi. Meskipun fenomena dasarnya sama
untuk membasahi permukaan yang menyebar dan stabilisasi partikel koloid, sejumlah
konsep lebih banyak secara unik diterapkan pada permukaan yang lebih luas.
Sementara istilah ‘‘ pembasahan ’’ dapat memunculkan gambaran sederhana dari larutan
yang menutupi permukaan, dari sudut pandang kimia permukaan dan situasi proses. Tiga
kelas fenomena pembasahan dapat didefinisikan atas dasar proses fisik yang terlibat:
adhesi, spreading (penyebaran), dan immersion (Gambar 3.12). Perbedaan di antara
ketiganya mungkin tidak terlihat, tetapi bisa sangat signifikan sudut pandang
termodinamika dan fenomenanya
1. Pembasahan adhesion ’mengacu pada situasi di mana padatan, sebelumnya kontak
dengan udara, dibawa mengadakan kontak dengan fasa larutan. Selama proses, area
spesifik dari antarmuka padat dan udara, A, diganti dengan area antar muka yait antar
muka padatan-larutan (Gambar 10.15a). Perubahan energi bebas untuk proses
diberikan oleh

di mana ᵟ mengacu energi pada antarmuka air-padat (SA), cairan-udara (LA), dan
padat-cair (SL). Kuantitas dalam tanda kurung di Persamaan. (10.4) dikenal sebagai
termodinamika kerja adhesi, Wa, dan persamaannya adalah Dupre´. Dari
persamaan,jelas bahwa setiap penurunan energi бSL antar muka padat-cair akan
menghasilkan peningkatan kerja adhesi (dan penurunan energi yang lebih
besar),sementara peningkatan бSA atau бLA akan mengurangi perolehan energi dari
proses.
2. Penyebaran (Spreading) berlaku untuk situasi di mana cairan (L1) dan padatan sudah
dalam kontak dan cairan menyebar untuk menggantikan cairan kedua (L2, biasanya
udara) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.12b. Selama proses penyebaran,
area antarmuka antara padatan dan L2 diturunkan dengan jumlah A, sementara itu
antara padatan dan L1 meningkat dengan jumlah yang sama. Area iantarmuka antara
L1 dan L2 juga meningkat selama proses.
Gambar 3.12 Skema yang Mewakili dari Proses Berbagai Pembasahan a).Adhesi
b) Spreading dan c) Immersion
Perubahan di area antarmuka dalam setiap kasus akan sama, jadi bahwa total
penurunan energi sistem akan menjadi

di mana ᵟ1/2 adalah tegangan antar muka antara cairan 1 dan 2. Jika istilah dalam
tanda kurung,didefinisikan sebagai koefisien penyebaran S positif, maka L1 akan
secara spontan menggantikan L2 dan menyebar sepenuhnya ke permukaan (atau ke
yang terbesar sejauh mungkin). Jika S negatif, proses penyebaran seperti yang
tertulis tidak akan dilanjutkan secara spontan.

Gambar 3.13 Ilustrasi Keseimbangan Mekanik dari tegangan Permukaan terhadap


pembentukan sudut kontak dari persamaan Young
Dalam sistem di mana cairan menyebar selama fase cair kedua, mungkin untuk
langsung mengukur nilai-nilai untuk menghitung nilai S. Saat permukaan padat ada di
dalamnya, nilai ᵟSL2, nilai ᵟSL tidak tersedia secara langsung dari percobaan,
sehingga perlu dicari cara tidak langsung untuk mengevaluasi interaksi diantara fasa
tiga komponen.Pendektan yang biasa diambil untuk penentuan adalah untuk
mengukur sudut kontak,y, yang dibuat antara larutan dengan padatan.
Gambar di atas menunjukkan gambaran umum untuk sudut kontak dari cairan
L1 pada substrat padat dalam kehadiran cairan kedua L2. Pada kesetimbangan,
sudut kontak diukur malalui tetesan cairan L1 terkait dengan energi antarmuka antara
berbagai komponen melalui persamaan Young

Kombinasi dari persamaan di atas dengan persamaan untuk koefisien penyebaran


adalah

Jelas dari persamaan di atas bahwa untuk y> 0, S tidak bisa positif atau nol, dan
penyebaran spontan tidak akan terjadi.
3. Pembasahan Immersi, mencakup situasi di mana substrat padat yang sebelumnya
tidak bersentuhan dengan cairan benar-benar terbenam dalam cairan L1, sepenuhnya
menggantikan semua antarmuka padatan-L2 (Gambar 3.12c). Perubahan energi
bebas di ekuilibrium ditentukan oleh dua faktor: komponen terkait dengan antarmuka
padat-udara AᵟSL2 dan antarmuka padat-cair AᵟSL1, di mana A adalah total luas
permukaan padatan. Perubahan energi bebas itu diberikan oleh

Untuk proses-proses pembasahan, energi antar muka antara padatan dan


cairan yang mengadakan kontak, dan tegangan antar muka cairan dan cairan kedua
(biasanya udara), mengontrol cara dimana sistem yang akan dirujuk.
Kemampuan untuk mengubah satu atau beberapa dari energi permukaan tersebut
komponen memungkinkan untuk memanipulasi sistem untuk mencapai sifat-sifat
membasahi diinginkan untuk sistem yang diberikan. Melalui aksi ZAP di salah satu atau
semua antarmuka antarmuka yang manipulasi seperti itu biasanya tercapai. Sekarang
difokuskan terhadap peran struktur ZAP dalam perubahan dan mengontrol dari proses
pembasahan.

2.5.1 Manipulasi ZAP dari Proses Pembasahan


Tegangan permukaan air yang tinggi (≈ 72 mN / m) relatif terhadap sebagian
besar padatan, sehingga air tidak secara spontan menyebar atau membasahi padatan
tersebut.Seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk penyebaran terjadi, koefisien
penyebaran S harus menjadi positif; yaitu, ᵟSL2> (ᵟSL1 + ᵟ1/2). Penambahan ZAP untuk
menurunkan tegangan permukaan fasa air ᵟ 1/2, dan mungkin ᵟSL1, sering akan
menghasilkan pembasahan substrat padat yang lebih baik. Itu tidak akan selalu terjadi.
ZAP dapat menyerap ke permukaan padatan dengan salah satu dari beberapa orientasi
molekul; yang paling dominan adalah dengan kelompok kepala baik menunjuk ke fase
larutan atau terkait erat dengan permukaan padatan. Jika orientasinya dengan kelompok
kepala (gugus hidrofil), nilai ᵟSL1 serta ᵟ1/2 akan dikurangi dan S akan menjadi lebih
positif. Jika ZAP berorientasi dengan ekor hidrofobik yang, ᵟSL1 akan ditingkatkan dan
menyebarkan penyebaran akan menjadi kurang efektif.
Penetrasi air ke dalam padatan berpori atau kain juga bisa beragam dipengaruhi oleh
penurunan ᵟ 1/2 oleh penambahan ZAP. Persamaan untuk tekanan memaksa penetrasi
cairan ke kapiler karena kelengkungan permukaan

Dimana r adalah jari-jari efektif dari kapiler dan y adalah sudut kontak dari cairan pada
garis kontak tiga fase S / L1 / L2. Untuk y> 0, nilai P akan bergantung hubungan ᵟSL2-
ᵟSL1, sehingga setiap perubahan tegangan permukaan б1 / 2 itutidak disertai dengan
perubahan pada ᵟSL1 hanya akan menghasilkan peningkatan cos y. Penurunan tegangan
permukaan cairan tidak akan mengubah P dan karenanya tidak mempengaruhi penetrasi
pori. Jika, di sisi lain, y ¼ 0, persamaan di atas menjadi

dan reduksi ᵟ1 / 2 akan mengurangi tekanan, yang mengarah ke penetrasi cairan.


Mengaitkan struktur ZAP dengan efeknya pada pembasahan sulit untuk
didefinisikan. Masing-masing kaus pembasahan yang terjadi harus dipertimbangkan
dengan hati-hati untuk memastikan bahwa efek dari berbagai kemungkinan interaksi antar
muka digabungkan. Satu metode untuk menghubungkan struktur ZAP dengan
karakteristik pembasahan adalah melalui penggunaan keseimbangan hidrofob-lipofil
(HLB). Sebagai aturan praktis, ZAP dengan nomor HLB dalam kisaran menengah 7-9
menunjukkan karakteristik pembasahan yang lebih baik untuk larutan pada permukaan
padat yang memiliki nilai tinggi atau rendah. Seperti yang sering diperlukan di bidang
aktivitas ZAP, bagaimanapun, karena perawatan harus diambil dalam mencoba
menerapkan bahkan aturan-aturan seperti yang paling sederhana. Mungkin tes yang
paling banyak digunakan untuk evaluasi daya pembasahan ZAP adalah tes pembasahan
Draves.
2.6 Pembentukan Misel
Semua ZAP dalam larutan cenderung membentuk gumpalan molekul yang lebih
banyak atau lebih sedikit yang dikenal sebagai misel. Air murni memiliki tegangan
permukaan sekitar 72 × 10–3 N / m. Apabila ZAP ditambahkan secara bertahap, tegangan
permukaan turun cepat sampai pada suatu tertentu konsentrasi ZAP. Pada saat itu terjadi
yang, dinamakan konsentrasi kritis misel, dimana molekul ZAP mulai menyesuaikan diri
dalam kelompok di dalam sistem larutan, gugus ini bias berbentuk kurang pipih atau bulat,
seperti gambar di bawah.

Gambar 3.13 Misel yang terjadi dalam Larutan

Dalam air, molekul-molekul ZAP menyesuaikan diri dengan bagian hidrofobnya


menjadi pusat dari kelompok molekul ZAP. Konsentrasi Kritis Misel biasanya terjadi pada
konsentrasi yang cukup rendah, kisaran 0,5-0,2 g /L. Pada konsentrasi lebih rendah
daripada ini, molekul hanya menyesuaikan diri pada antarmuka larutan, dan pada saat ini
terjadi efek yang menyebabkan penurunan tegangan permukaan. Setelah CMC tercapai
antarmuka menjadi jenuh dan sebagai konsentrasi meningkatkan kelompok molekul
misel mulai terbentuk dalam sebagian besar larutan. Ada sedikit penurunan lebih lanjut
tegangan permukaan di luar KKM nya, juga tidak ada perubahan dalam sifat ZAP lainnya
seperti membasahi dan berbusa. Secara umum, KKM menurun dengan meningkatnya
ukuran hidrofobik, dan KKM ZAP nonionik cenderung lebih rendah daripada jenis ionik,
karena dengan misel nonionik dapat terbentuk lebih mudah dengan tidak adanya muatan.
Kemampuan membentuk misel ini sangat penting untuk kemampuan ZAP sebagai
pengemulsi, pendispersi dan zat solubilisasi.

2.6.1 Konsentrasi Kritis Misel (KKM)/Critical Micel Concentration (CMC)


Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan
walaupun konsentrasi ZAP ditingkatkan. Bila ZAP ditambahkan melebihi konsentrasi ini
maka ZAP mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut
Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC
tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan
bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan
dinamis dengan monomernya (Hui, 1996).

Gambar 3.14 Perubahan Fisik ZAP pada KKM

Faktor yang mempengaruhi CMC :


1. Struktur rantai ZAP
Struktur rantai hidrokarbon
 Makin panjang rantai hidrokrbon maka CMC akan menurun
 Makin kuat sifat hidrofobik (fluorinasi) di bagian ekor akan meurunkan CMC
 Makin banyak cabang hidrokarbon, maka CMC akan makin naik
 Makin banyak rantai hidrokarbon tidak jenuh makin tinggi CMC
Struktur gugus hidrofilik
 Berdasarkan tipe ZAP
Ionik : pengaruhnya kecil pada vaensi yang sama
Non ionik : CMC lebih rendah, angka agregasi tinggi
 Makin banyak gugus hidrofiliknya makin tinggi nilai CMC
 Makin kuat gaya tolak menolak antar kepa molekul ZAP akan menaikkan
nilai CMC
2. Tipe Counterion
 Ukuran misel makin tinggi untuk ZAP kationik tertentu dengan berubahnya
counterion berdasarkan urutan Cl<Br,I dan untuk ZAP anionik : Na+<K+<Cs+
 ZAP ionik dengan counterion organik (misalnya maleat): CMC lebih rendah dan
angka agregasi lebih tinggi daripada ZAP dengan counterion anorganik
3. Penambahan elektrolit
 Penambahan elektrolit ke dalam larutan ZAP ionic : menurunkan CMC dan
menaikkan ukuran misel. Oleh karena elektrolit mengurangi gaya tolak menolak
antara gugus kepala bermuatan pada permukaan misel.
 Pada konsentrasi elektrolit tinggi, misel ZAP ionic : menjadi non-sferik
4. Suhu
 Larutan air dengan banyak ZAP non ionik menjadi keruh pada suhu tertentu yang
disebut dengan clouding point
 Pada suhu di atas clouding point, ukuran misel menjadi naik, CMC turun
 Suhu memiliki pengaruh yang kecil pada sifat misel dari ZAP ionik

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mekanisme kerja dari Zat
Aktif Permukaan berdasarkan parameternya

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu mengaitkan mekanisme pembasahan dan Zat Aktif Permukaan
dengan proses tekstil.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan peristiwa adsorpsi yang merupakan bagian dari
mekanisme kerja ZAP dalam kegiatan sehari-hari.

III. LATIHAN
A. Jawablah dengan jawaban yang paling tepat
1. Di bawah ini merupakan komponen dari suatu ZAP, kecuali
a. Hidrofob c. Asam lemak
b. Hidrofil d. Sulfonat
2. ZAP termasuk senyawa yang bersifat
a. Ampifilik c. Hidrofil
b. Hidrofob d. Netral
3. Gugusan hidrofob pada ZAP biasanya berupa
a. Hidrokarbon c. Asam kuat
b. Asam lemah d. Garam
4. Bagian hidrofil pada ZAP bisa bersifat
a. Ionik c. Oksidator
b. Elektrolit d. Reduktor
5. Agregasi ZAP dikenal dengan istilah
a. Hidrofil c. Ampifil
b. Misel d. Hidrofob
6. Pada daerah KKM, parameter yang akan mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya konsnentrasi ZAP adalah
a. Tegangan permukaan c. Deterjensi
b. Tekanan Osmosis d. Konduktivitas
7. Parameter yang diuji pada penentuan viskositas menggunakan viscometer Ostwald
adalah di bawah ini, kecuali
a. Waktu alir ZAP c. Suhu ZAP
b. Waktu alir air d. Viskositas air
8. Di bawah ini merupakan fenomena yang terjadi pada proses adsorpsi, kecuali
a. Immersi c. Adhesi
b. Adisi d. Spreading
9. Pembentukan misel diperlukan untuk mengukur kemampuan ZAP sebagai berikut,
kecuali
a. Solubilizer c. Dispersant
b. Emulsifier d. Penetran
10. Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi KKM, kecuali
a. Gugus Hidrokarbon c. Adanya ion lawan
b. Adanya elektrolit d. Adanya pasangan ion

B. Jawablah dengan singkat dan jelas!


1. Jelaskan definisi dari ZAP!
2. Sebutkan jenis mekenisme adsorpsi!
3. Jelaskan perubahan sifat dari ZAP (anionik) pada daerah KKM!
4. Jelaskan faktor yang akan mempengaruhi KKM!
5. Jelaskan tujuan pengukuran viskositas ZAP menggunakan viscometer Ostwald!

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Alberty, D.F 1983, Kimia Fisika, Penerjemah Suraida Jilid Pertama, Edisi Kelima,
Penerbit Erlangga
2. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
3. Hui. (1996). Mechanistic Approach to The Thermal Degradation of α-Olefin Sulfonates.
Ethyl Coorporation. Baton Rouge, L.A. USA.
4. Miller, J.A., and Neuzil, E.F. (1982). Modern Experimental Organic Chemistry. Toronto:
D.C Health and Company. p. 616-619.
5. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal
20 Oktober 2018
6. Rieger, M. M., Rhein, L. D., (1997). Surfactants chemistry and Classification.
Cosmetics. 2nd Edition. New York: Marcell Dekker Inc; 68: p. 4-18.
7. Sheats, W. Brad dan Norman C. Foster. 1997. Concentrated Products from Methyl
Ester Sulfonates.
(http://www.chemiton.com/papers_brochures./Concentrated_Products.doc.pdf)
8. Shore, J. Colorants and Auxiliaries: Organic Chemistry and Application Properties. Vol.
2. Society of Dyers and Colourists, 2002
MATERI KE 4 : KLASIFIKASI ZAT AKTIF PERMUKAAN
Pertemuan Ke : 9 – 10
I. PENDAHULUAN
ZAP merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik
sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. ZAP adalah
bahan aktif permukaan. Aktifitas ZAP diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya.
Molekul ZAP memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar
yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul ZAP dapat bermuatan
positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan ZAP dapat diadsorbsi
pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal
dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam
kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non
polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar
(hidrofilik) mengandung gugus hidroksil. Dalam penggunaannya, mekanisme kerja dari
ZAP akan sangat bergantung dari sifat ZAP tersebut. Sifat ZAP sangat bergantung
kepada jenis ZAP yang digunakan. Pengklasifikasian ZAP dilakukan berdasarkan sifat
ionisasinya dan pembuatannya.

II. MATERI
II.1 Klasifikasi ZAP berdasarkan Sifat Ionisasi
Aplikasi ZAP pada industri tergantung pada proses pembuatan produk dan
karakteristik ZAP serta produk akhir yang diinginkan. Peranan ZAP yang berbeda – beda
dikarenakan struktur molekulnya yang tidak seimbang, molekul ZAP dapat
divisualisasikan seperti berudu yang memiliki kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat
hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat
hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa
anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang
hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat ZAP memiliki fungsi yang
beragam di industri (Hui, 1996). Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian adalah ZAP
anionik. ZAP jenis ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan pembersihan.
Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk ZAP adalah asam lemak dengan 10-
18 atom karbon .Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk
keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk gugus
minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang mengakibatkan
keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai
hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan
(surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan
kelarutan dalam minyak.
Berdasarkan sifat dari gugus hidrofiliknya ZAP dibagi menjadi empat kelompok, yang
dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4.1 Klasifikasi Umum dari ZAP
Kelompok ZAP Tingkatan Muatan Ionik
Hidrofob Hidrofil
(ion yang berhubungan )
Anionik Negatif lemah Positif kuat
Kationik Positif lemah Negatif kuat
Non ionic Tidak bermuatan Tidak bermuatan
Amfoter Jenis ini akan menimbulkan muatan negatif dan
positif, satu atau lainnya dimana mendominasi dalam
larutan tergantung dari pH
Sumber : Colorant and Auxilaries

II.1.1 ZAP Anionik


Ciri penting dari kelas ini adalah hidrofob rantai panjang yang dihubungkan
melalui pengelompokan anionik - biasanya karboksilat, sulfat (ester sulfat) atau sulfonat,
tetapi kadang-kadang fosfat, karboksimetil atau kelompok lain - ke kation yang relatif
kecil, umumnya natrium, meskipun amonium, potasium dan kation lainnya juga
digunakan.
ZAP ini memiliki bagian aktif permukaannya mengandung muatan negatif. ZAP
anionik yaitu ZAP yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Karakteristiknya yang
hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa
gugus sulfat atau sulfonat Banyak karboksilat yang digunakan dalam bentuk sabun,
diperoleh dengan saponifikasi alkali lemak trigliserida dan lilin. Tiga kelompok ester
karboksilat (RCOO) dapat membawa hidrofob yang sama atau berbeda, umumnya
mengandung 8 hingga 22 atom karbon, yang paling umum adalah laurat, palmitat dan
stearat di antara yang jenis asam lemak jenuh, dan oleat dan linoleat diantara jenis asam
lemak yang tidak jenuh. Pada suhu kamar lemak tak jenuh cenderung cairan dan yang
jenuh padat. Fungsi utama dari ZAP jenis ini sebagai zat pembasah adalah disodium
alkenylsuccinates dimana gugus R jenuh dapat mengandung tiga hingga empat belas
atom karbon. Itu sifat ZAP dari karboksilat ini, seperti halnya jenis ZAP lainnya,
tergantung pada jumlah atom karbon di gugus hidrofob tersebut. Sifat ZAP yang signifikan
mulai muncul dalam senyawa C8, meskipun karboksilat C8-C12 lebih bersifat membasahi
dari deterjen. Sifat deterjensi dan pengemulsi yang lebih baik menjadi jelas dengan C12-
C18 kelompok alkil. Kelarutan menurun dengan bertambahnya panjang gugus alkil;
kelarutan sabun, misalnya, mencapai batas yang bermanfaat dengan senyawa C22.
Kerugian utama dari karboksilat adalah bahwa mereka cenderung sensitif dengan
keberadaan kation lain seperti asam dan air sadah. Reaksi dengan asam dan kesadahan
dapat menyebabkan karboksilat tidak larut.
Contohnya lain dari ZAP anionik diantaranya linier alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol
sulfat (AS), alkohol ester sulfat (AES), alfa olein sulfonat (AOS), parafin (secondary
alkane sulfonat, SAS) dan metil ester sulfonat (MES). Sodium Dodecyl Sulphonate adalah
ZAP sintetik yang banyak diproduksi

Sodium Dodecylsulfat

Gambar 3.1 Contoh ZAP Anionik


ZAP anionik merupakan komponen utama dari detergen, dimana penjualannya mencapai
60 juta dolar di seluruh pasar Dunia. ZAP anionik juga digunakan dalam pembersih
permukaan, produk perawatan tubuh, bahan – bahan farmasi dan lain sebagainya. Di
dalam berbagai aplikasi, ZAP anionik dicampur dengan ZAP anionik lainnya ataupun ZAP
nonionik untuk mendapatkan sifat – sifat yang diinginkan seperti penurunan tegangan
permukaan, penurunan tegangan antarmuka, kelarutan substrat minyak dan lain
sebagainya (Khan, dkk, 1999). Berikut merupakan sifat-sifat umum dari ZAP anionik :
 Jenis ZAP yang paling besar (jumlahnya)
 Tidak kompatibel dengan jenis ZAP kationik
 Sensitif terhadap air sadah atau hard water.
 Derajat sensitifitasnya : karboksilat > fosfat > sulfat (sulfonat)
Rantai pendek polioksietilen antara gugus anionik dan hidrokarbon dapat meningkatkan
toleransi terhadap elektrolit.

II.1.2 ZAP Kationik


ZAP kationik yaitu ZAP yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. ZAP jenis
ini memecah dalam media cair, dengan bagian kepala ZAP kationik bertindak sebagai
pembawa sifat aktif permukaan.
Sejauh ini jenis yang paling penting dari ZAP kationik yang digunakan dalam proses
tekstil adalah garam amonium kuaterner di mana R biasanya merupakan hidrofob rantai
panjang dan R1, R2, R3 adalah kelompok alkil yang lebih rendah.

Gambar 3.2 Garam Amonium Kuaterner


Anion yang paling umum dalam ini dan ZAP kationik lainnya adalah klorida dan bromida,
sehingga cetyltrimethylammonium chloride adalah tipikal dari kelas ZAP kationik ini.

Gambar 3.3 Cetyltrimethylammonium chloride

Banyak dari produk kationik ini, termasuk amina kuaterner dan imidazol, dapat
dietoksilasi, membentuk analog kationik dari ethoxysulphate dan ethoxyphosphates dalam
jenis anionik. Mereka pada dasarnya ZAP hibrida kationik / nonionik, yang sering
dijelaskan dengan modifikasi non ionik, kation lemah. Jenis nya dapat ditentukan tidak
hanya dari subtituen alkilnya tetapi juga derajat etoksilasinya.Selain itu bagian etoksilat
menghasilkan pengemulsi. ZAP kationik yang mengandung fluor juga dapat diperoleh.

Gambar 4.4 ZAP Kationik Mengandung Fluoro


Gambar 4.5 Contoh ZAP Jenis Kationik

II.1.3 ZAP Non Ionik


ZAP dengan bagian aktif tidak mengandung muatan apapun. Contohnya ROCH

2CH2O-(polioksietilen). Hampir 40% total produksi ZAP, tidak terlalu sensitif terhadap
elektrolit dibandingkan dengan ZAP non ionik dan stabil dalam kesadahan. Contohnya
adalah
 ester sorbitan (Span) : campuran ester parsial dari sorbitol dan mono-/di-
anhidridanya dengan asam oleat, secar umum tidak larut dalam air (HLB rendah)
sebagai emulgator W/O dan pembasah
 Polisorbat (Tween) : campuran kompleks dar ester parsial sorbitol dan mono-/di-
anhidridanya yang terkondensasi dengan sejumlah etieln oksida, bercampur
dengan air (HLB tinggi), sebagai emulgator O/W
 Contoh lainnya adalah ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono
alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
Hampir semua ZAP nonionik mengandung jenis hidrofob yang sama seperti anionik dan
ZAP kationik, dengan sifat solubilisasi dan ZAP yang timbul dari penambahan etilena
oksida untuk menghasilkan produk dengan rumus umum. Contoh ZAP jenis nonionik bisa
dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 4.6 Jenis ZAP Non Ionik


Meskipun ada jenis lain dari ZAP nonionik, sebagian besar adalah turunan dari etilen
oksida dengan gugus hidrofob yang berasal dari tiga sumber:
- Alkohol berlemak dan alkilfenol
- asam lemak
- amina lemak dan amida.
Baru-baru ini dikembangkan ZAP nonionik dengan seri alkilglikosida. ZAP ini
adalah asetal sakarida rantai panjang. Produk komersial saat ini memiliki panjang rantai
alkil rata-rata 10-12 atom karbon. Ini bersumber dari nonpetroleum, disintesis dari
glukosa dan alkohol lemak. Asetal dianggap sebagai zat yang ramah lingkungan,
dikatakan sepenuhnya biodegradable dan memiliki tingkat iritasi yang rendah terhadap
kulit. ZAP ini memiliki sifat pembasahan, berbusa dan detergensi yang mirip dengan ZAP
yang bersumber dari alkohol etoksilat tetapi dengan kelarutan yang lebih tinggi dalam air
sadah dan dalam larutan elektrolit.

Gambar 4.7 Asetal Sakarida Rantai Panjang

II.1.4 ZAP Amfoter


Ampoterik atau zwitterionik yaitu ZAP yang mengandung muatan negatif maupun

muatan positif pada bagian aktif permukaannya. Contohnya RN +(CH3)2CH2CH2SO3-

(sulfobetin) (Miller, 1930). ZAP amfoter yaitu ZAP yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya ZAP yang mengandung asam amino, betain,
fosfobetain.
Dalam media asam mereka cenderung berperilaku sebagai zat kationik dan
dalam media alkali sebagai zat anionik. Di suatu tempat di antara ekstrem ini terletak apa
yang dikenal sebagai titik isoelektrik (biasanya, pada pH 7), dimana sifat anionik dan
kationik berimbang. Pada titik ini molekul dikatakan zwitterionic dan sifat ZAP dan
kelarutannya cenderung berada pada titik terendah. Produk-produk banyak digunakan
sebagai zat levelling pada pencelupan zat warna reaktif untuk wol. Jenis yang paling
sederhana diwakili produk teretoksilasi juga dapat digunakan sebagai ZAP amfoterik;
sebuah contoh adalah alkylamine poly (oxyethylene) sulphate.
Gambar 4.8 alkylamine poly (oxyethylene) sulphate

Gambar 4.9 Contoh ZAP Jenis Amfoter

2.8 Klasifikasi ZAP berdasarkan Pembuatan


Berdasarkan pembuatannya, ZAP diklasifikasikan menjadi 7 kelompok, yaitu :
1. S A B U N
Sabun adalah garam logam dari asam lemak dengan logam alkali
a. SABUN NATRIUM :
Sabun dibuat dari asam lemak dengan natrium hidroksida
R-COOH + NaOH  RCOONa
b. SABUN KALIUM :
Sabun dibuat dari asam lemak dengan kalium hidroksida
R-COOH + KOH  RCOOK
2. MINYAK / LEMAK TERSULFATKAN ATAU TERSULFONKAN
a. Pengsulfatan : pengesteran gugus OH atau adisi ikatan rangkap pada rantai
hidrokarbon dari asam lemak dengan gugus sulfat (-OSO3H)
 Pengsulfatan secara pengesteran gugus OH
------------------------------------
---------------------------

OH H O
---------

- - -- - - -
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H
H H ---
-

HO3SO H O NaO3SO H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2O
H H H H

 Pengsulfatan secara adisi ikatan rangkap

--------------------------------

H O
R - C = C - R' - C - OH + H-OSO3H
H
H H O H H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2 O
H OSO3H H OSO Na
3

b. Pengsulfatan : pengesteran gugus OH dan adisi ikatan rangkap pada rantai


hidrokarbon dari asam risinolat dengan gugus sulfat (-OSO3H) = zat
pembasah, pendispersi dan perata, tahan terhadap air sadah >> TRO

H H o
CH3-(CH2)5 - C = C-CH2- C - (CH2)7 - C - OH + H-OSO3H
H OH
O O
NaOH
CH3-(CH2)5-CH-CH2-CH2-CH-(CH2)7-C-OH CH3-(CH2)5-CH-CH2-CH2-CH-(CH2)7-C-OH
OSO3H OSO3H OSO3Na OSO3Na

+ H 2O

Pengsulfatan secara pengesteran gugus OH dan adisi ikatan rangkap

c. Pengsulfonan : substitusi (penggantian) gugus H pada rantai hidrokarbon


jenuh dari asam lemak dengan gugus sulfon (-SO3H)
--------------------------------------
----------------------------

H - - -H
-----
O
- - -- -
R -- -C - C - R' - C - OH + OH-SO3H
H H ----

HO3SO H O NaO3SO H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2O
H H H H
Pengsulfonan secara substitusi gugus H pada asam lemak jenuh

3. PARAFIN / OLEFIN TERSULFATKAN ATAU TERSULFONKAN


a. Pengsulfatan : dan adisi ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon tak jenuh
 OLEFIN TERSULFATKAN

Pengsulfatan secara adisi ikatan rangkapterhadap olefin


H H H
CH3-(CH2)5 - C = C-CH2- C - (CH2)7 - CH2 + H-OSO3H
H H
H H
NaOH
CH3-(CH2)5-CH-CH2-CH2-CH2-(CH2)7-CH2 CH3-(CH2)5 - CH - CH2-CH2- CH2 - (CH2)7 - CH2
OSO3H OSO3Na

+ H2O

b. Pengsulfonan : substitusi (penggantian) gugus H pada rantai hidrokarbon


jenuh dari parafin dengan gugus sulfon (-SO3H), perlu energi tinggi secara
reaksi sulfo-klorida atau sulfo-oksidasi

------------------

H H ------------------
UV
CH3 - R - C - C - R' - CH2 - CH3+ SO3 + Cl2 SULFO KLORIDA
H H

CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 NaOH CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3
SO3H SO3Na

Pengsulfonan secara substitusi gugus H pada parafin secara sulfo klorida

----------

H H ----------
UV
CH3 - R - C - C - R' - CH2 - CH3+ SO3 + O2 SULFO OKSIDASI
H H

CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH2 - CH2NaOH CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH2 - CH2
SO H SO3Na
3

Pengsulfonan secara substitusi gugus H pada parafin secara sulfo oksidasi


4). ARALKIL SULFONAT
a. Alkil benzen sulfonat
MERCONAL E mempunyai daya cuci yang baik

CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3 + Cl2 CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3
H Cl
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 + CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3
Cl HO-SO3H
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - SULFONASI
--- NaOH
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3
PENYABUNAN
SO3H SO3Na

b. Alkil naftalen sulfonat


H3C CH3
H3C CH3
CH3 - CH - CH3 C C
H3C CH3
SO3Na
SO3Na
Isopropil naftalen-2-sulfonat-Na
NEKAL A
NECKAL BX
diisobutil naftalen sulfonat-Na

CH2 SO3Na

SO3Na INVADINE B
tahan asam dan alkali

5). ALKIL SULFAT


a. Alkil sulfat primer : pada umumnya bersifat sebagai zat pembasah, pencuci
dan pengemulsi
COOR
HC - CO HC - COOR NaHSO3
O + H 2O CH2
HC - CO HC - COOR
NaO3S-CH

COOR
NACCOCOL LAL
(zat pembasah yang baik)
R - CH2 - OH + HO-SO3H RCH2O-SO3H NaOH
RCH2O-SO3Na
b. Alkil sulfat sekunder : dibuat dari alkil alkohol sekunder dapat juga dari olefin
menjadi olefin sulfat, bersifat sebagai zat pembasah dan sedikit sebagai zat
pencuci

NaOH
R - CH - CH3 + HO-SO3H R - CH - CH3
OH OSO3Na
6). KONDENSAT ASAM LEMAK
a. Kondensat dengan asam amino :
 alkil klorida dikondensasikan dengan garam natrium sarkosa (n metil
glikokol)

--------- -
C17 H 33 - CO - Cl + H N CH2 - COONa
----------
CH3

C17 H33 - CO-N-CH2-COONa


CH3
MEDIALAN A
zat aktif amfoter (daya cuci baik dan tahan sadah)

 Asam oleat dikondensasikan dengan garam n,n dietil etilena diamina


--------- -
C17 H 33 - CO - OH + H N - C2H4 - NH- (C2H5)2
----------
H
.. CH3-COOH
C17 H33 - CO-NH-C2H4-NH- (C2H5)2
H
..+
[C17 H33 - CO-NH-C2H4-NH- (C2H5)2]+
- OOC-CH3

SAPAMIN A
(zat aktif kation sebagai pelemas tahan asam, alkali dan sadah)

b. Kondensat mengandung gugus oksi :


 Asam lemak tersulfatkan dikondensasikan dengan alkohol alifatik

H H O H H O
---------- NaOH
R' - C - C - R'' - C - OH + H -OCR R' - C - C - R'' - C - OCR + H2O
---------- H OSO Na
H OSO3H alkohol alifatik 3
IMMERSOL S (SANDOSOL KB)
asam lemak yang tersulfatkan,
tidak tahan asam dan air sadah kondensat sam lemak,
bersifat pembasah yang baik,
dan tahan air sadah

 Asam lemak dikondensasikan dengan alkilol amin


C17 H 33 - CO - OH + N - (C2H4 - OH)3
asam lemak trialkilol amin

CH3-COOH +
N - (C2H4 - OH)2 [HN - (C2H4 - OH)2] - OOC-CH3
C2H4 - O - OC - C17 H33 C2H4 - O - OC - C17 H33
SOROMIN A
(zat aktif kation sebagai pelemas, sukar dipakai sebagai zat pembasah
dan pencuci karena tidak ada gugus pelarut)

c. Kondensat dengan inti aromatik :


 alkil klorida dikondensasikan dengan benzena kemudian disulfonkan
HO-SO3H
C15 H 31 - CO - Cl + C15 H 31 - CO -
palmitil klorida
NaOH
C15 H 31 - CO - SO3H C15 H 31 - CO - SO3Na

MELIORAN F
(zat aktif anion untuk pencuci)

7). SENYAWA POLIETILENA OKSIDA (poliglikol eter)


Pada umumnya berupa zat aktif nonion untuk zat pembasah, pencuci dan
pendispersi, Bersifat tahan asam, tahan alkali dan tahan sadah. Dibuat dari hasil
kondensasi etilen oksida dengan senyawa berikut :
a. Alkil alkohol :

R - CH2 - OH + n CH2 CH2 R - CH2 - O (CH2 - CH2 - O) n-1 - CH2-CH2-OH


alkil alkohol
O DISPERSOL E
etilena oksida

b. Alkil amina :

R - NH2 + n CH2 CH2 R - NH - (CH2 - CH2 - O) n-1 - CH2-CH2-OH


alkil amina PEREGAL OK
O
etilena oksida

Pada umumnya berupa zat aktif nonion untuk zat pembasah, pencuci dan
pendispersi, Bersifat tahan asam, tahan alkali dan tahan sadah. Dibuat dari hasil
kondensasi etilen oksida dengan senyawa berikut :
c. Aril alkohol :

C9 H19 + HO- C9 H18- + n CH2 CH2

nonil fenol O
etilena oksida

C9 H33 - -(CH2 - CH2 - O) n-1 - CH2 - CH2 - OH


LISSAPOL N

Pada umumnya berupa zat aktif nonion untuk zat pembasah, pencuci dan
pendispersi, Bersifat tahan asam, tahan alkali dan tahan sadah. Dibuat dari
hasil kondensasi etilen oksida dengan senyawa berikut :
d. Asam lemak :

R - CH2 - COOH + n CH2 CH2 R - CH2 - CO (CH2 - CH2 - O) n-1- CH2-CH2-OH


asam lemak
O
etilena oksida

e. Alkil amida :

R - CONH2 + n CH2 CH2 R - CONH - (CH2 - CH2 - O) n-1 - CH2-CH2-OH


alkil amida
O
etilena oksida

2.9 Efek terhadap Lingkungan


Penggunaan yang luas dari ZAP tentu akan berdampak terhadap lingkungan,
dikarenakan seringnya terbentuk busa pada saat ZAP tersebut dibuang. Namun, industri
ZAP memiliki rekam jejak yang sangat baik dalam merespons masalah lingkungan, dari
sejak tahun 1960 an. Hasilnya telah dipublikasikan dan sering terlupakan sebuah fakta
bahwa terjadinya perubahan dari penggunaan rantai alkylbenzenesulphonates. Sehingga
dimulailah komponen deterjen harus berasal dari senyawa yang memiliki sifat
biodegradabler berupa senyawa linear alkylarylsulphonate. Alkohol sulfat memiliki
toksisitas dan alkohol yang rendah poli (oksietilena) sulfat bahkan kurang beracun. Alkana
sulfonat memiliki COD tinggi, BOD dan tingkat degradasi MBAS 90%. Karboksilat polieter
sudah sangat baik dari aspke lingkungan dan tidak beracun jika digunakan dalam
kosmetik dan deterjen rumah tangga. Sodium-α-olefin sulfonat menunjukkan biodegradasi
yang cepat karena struktur linearnya. Ester α-sulfonokarboksilat menunjukkan sifat
lingkungan yang baik sehingga dapat digunakan dalam kosmetik dan deterjen rumah
tangga. Sulfosuksinat umumnya menunjukkan biodegradasi 90% setelah tujuh hari dan
memiliki riwayat panjang terkait penggunaannya yang aman. Anionik yang mengandung
fosfor sangat ringan untuk kulit dan digunakan dalam kosmetik, shampoo dan lotion.
Toksikologi dari ZAP perfluorinated sangat bervariasi; sebagian besar tidak
berbahaya, sementara beberapa berada di antara non-protein paling beracun yang
dikenal, perbedaan struktural antara keduanya seringkali relatif sedikit. Oleh karena itu
diperlukan kewaspadaan dalam penggunaannya, meskipun demikian aktivitas
permukaannya sangat kuat sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang sedikit.
ZAP kationik alkilammonium telah menunjukkan biodegradabilitas 94% . Di
antara ZAP nonionik, penggunaan alkohol etoksilat primer linier telah berkembang pesat
sejak tahun 1970-an, karena dalam ukuran yang sangat besar untuk tingkat
biodegradabilitas yang tinggi. Biodegradasi produk tersebut ditahan oleh percabangan
rantai alkil, ini bersifat kumulatif. Itu juga tertahan dalam struktur alkohol sekunder,
dengan penambahan sekitar 3 yang ekuivalen dengan propilena oksida ke bagian
etoksilat dan dengan rantai etoksilat lebih dari 20 unit.
Jadi ada dasar kuat untuk kesimpulan bahwa nonylphenol ethoxylate memiliki
tingkat biodegradable yang sangat tinggi, tidak terakumulasi dalam air, sedimen atau
organisme akuatik dan tidak menimbulkan ancaman yang kritis terhadap lingkungan. Oleh
karena itu, pada tahun 1995, nonylphenol ethoxylate adalah yang paling penting
alkylphenol ethoxylates, terhitung 80% dari total volume dan umumnya ditemukan dalam
formulasi untuk ukuran serat, pemintalan, penenunan, pemasakan dan pencelupan.
Akhirnya, dalam mempertimbangkan sifat lingkungan dari pembantu aktif
permukaan umumnya, harus diingat bahwa ZAP akan bercampur menjadi senyawa
kompleks dengan komponen lain seperti, seperti pelarut, elektrolit atau sequestrants,
sehingga penggunaannya harus dijadikan dasar pertimbangan pula.
Produk anionik dan kationik umumnya cenderung berinteraksi satu sama lain,
biasanya mengurangi sifat aktif permukaan dari keduanya dan sering mengakibatkan
kompleks pengendapan terbentuk. Senyawa amfoterik juga bisa tidak sesuai dengan
anionik dalam larutan asam tetapi umumnya kompatibel dengan kationik dan nonionik.
Interaksi antara zat anionik dan kationik kadang-kadang dapat dicegah dengan
penambahan nonionik. Di beberapa kasus, jika sulfat atau fosfat teretoksilasi digunakan
sebagai komponen anionik suatu kationik. Senyawa tidak menghasilkan presipitasi yang
jelas, karena rantai oksietilena bertindak sebagai dispersan untuk setiap kompleks yang
mungkin terbentuk. Kerugian utama dari karboksilat adalah kecenderungan mereka untuk
bereaksi dengan kalsium dan ion magnesium dalam air sadah memberikan endapan yang
tidak larut dan tidak larut dalam asam, meskipun umumnya memiliki sifat pembasahan
dan deterjen yang baik.
Kecenderungan nonionik menghasilkan busa bervariasi. Beberapa, seperti kopolimer
blok, bahkan digunakan sebagai pencegah pencemaran. Sifat membasahi, detergensi
dan pengemulsi juga bervariasi secara luas, tergantung pada sebagian besar
keseimbangan antara bagian hidrofobik dan hidrofilik (oxyethylene). ZAP amfoter
menunjukkan kompatibilitas yang sangat baik dengan elektrolit anorganik dan dengan
asam dan basa.
Akhirnya, dalam mempertimbangkan sifat lingkungan dari pembantu aktif
permukaan umumnya, harus diingat bahwa mereka lebih atau kurang campuran
kompleks dan karenanya kehadiran komponen lain, seperti pelarut, elektrolit atau
sequestrants, perlu
dipertimbangkan selain ZAP yang ada.

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mekanisme kerja dari Zat
Aktif Permukaan berdasarkan parameternya

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu mengaitkan mekanisme pembasahan dan Zat Aktif Permukaan
dengan proses tekstil.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu memilah dan memilih ZAP sesuai dengan proses yang akan
dilakukan dengan pertimabgan efek terhadap lingkungan dalam aplikasinya di
kehdupan sehari-hari..

III. LATIHAN
A. Jawablah pertanyaan berikut dengan pilihan jawaban yang paling tepat !

1. Sifat deterjensi yang baik akan diperoleh dengan penggunaan senyawa berikut
kecuali
a. --OCH2COO-( alkyl ether carboxylate)
b. --C6H6SO3-(alkylbenzene sulfonat)
c. CH3(CH2)15SO4-N+(CH3)3Br-  (cetyl trimetyl ammonium bromide)
d. C12H25(OCH2CH2O)6OH (dodecyl hexaoxyethylene glycol monoether)

2. Salah satu contoh peristiwa deterjensi dalam proses pemasakan menyebabkan


terjadinya proses :
a. penyabunan dan pengemulsian
b. penyabunan dan pelarutan
c. penyabunan dan pengendapan
d. pengemulsian dan pelarutan
3. CH3(CH2)15SO4-N+(CH3)3Br- (cetyl trimetyl ammonium bromide) merupakan contoh
jenis surfaktan yang dapat difungsikan sebagai
a. Wetting agent
b. Softening agent
c. Penetrating agent
d. Levelling agent

4. Zat aktif kationik dan beberapa senyawa silicon banyak sekali digunakan sebagai zat
pelembut karena :
a. Dapat menurunkan tegangan permukaan
b. Dapat menaikkan tegangan permukaan
c. Jenis gugusan hidrofob
d. Nilai HLB tinggi

5. Efek pembasahan pada suatu permukaan yang dapat dipengaruhi hal-hal berikut
kecuali :
a. Sifat permukaan bahan
b. Suhu proses
c. Konstruksi dari bahan
d. Besarnya sudut kontak

6. Salah satu sifat dari surfaktan yaitu ketahanannya terhadap temperatur tertentu yang
akan dipengaruhi oleh
a. Banyaknya gugus hidrofob (hidrokarbon)
b. Banyaknya gugus hidrofil
c. Jenis gugus hidrofob
d. Jenis gugus hidrofil

7. Zat aktif permukaan dengan kandungan senyawa amina kuartener adalah zat aktif
yang bersifat :
a. Amfoter
b. Nonion
c. Anion
d. Kation

8. Suatu zat aktif permukaan anion di dalam medium air akan menunjukkan sifat sbb
kecuali
a. Terionisasi dalam air
b. Cenderung aktif pada permukaan
c. Terjadi adsorpsi antar muka
d. Membentuk koloid misel

9. C12H25(OCH2CH2O)6OH (dodecyl hexaoxyethylene glycol monoether) merupakan


jenis ZAP yang bersifat
a. Anionik
b. Kationik
c. Nonionik
d. Amfoter

10. ZAP yang digunakan dalam proses penyempurnaan memiliki sifat sebagai
berikut,kecuali
a. Senyawa yang mengandung perfluorokarbon
b. Senyawa yang mengandung polisiloksan
c. Senyawa yang mengandung Linier Alkil Benzene Sulfonat
d. Senyawa yang mengandung polioksibutilen
B. Kerjakan dengan singkat, jelas dan padat!

1. Sebutkan klasifikasi dari ZAP!


2. Jelaskan fungsi dari jenis ZAP yang sudah terklasifikasi! (sertakan dengan contoh)

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
2. Isminingsih G,Diktat Transparan Seri Zat Pembantu Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi
Tekstil, Bandung, 1995
3. Shore, J. Colorants and Auxiliaries: Organic Chemistry and Application Properties. Vol.
2. Society of Dyers and Colourists, 2002
MATERI 5: SISTEM HLB

PERTEMUAN KE : 11
I. PENDAHULUAN
Tujuan jangka panjang dari kimiawan dan formulator ZAP untuk mendesain cara
kuantitatif yang menghubungkan struktur kimia molekul ZAP dengan aktivitas
permukaannya melalui beberapa hubungan kuantitatif yang akan membantu pemilihan
bahan untuk digunakan. Keberhasilan terbesar di bidang dicapai dalam bidang emulsi.
Cara yang cukup berhasil untuk secara kuantitatif mengkorelasikan struktur ZAP dengan
keefektifannya sebagai emulsifier adalah sistem keseimbangan hidrofob-lipofil (HLB), di
mana tujuannya adalah untuk menghitung angka yang 'mengukur' potensi pengemulsi,
dalam hal kualitas dan stabilitas emulsiyang disebut HLB, dari ZAP dari struktur kimianya,
dan untuk mencocokkan angka tersebut dengan HLB fase minyak yang sesuai untuk
didispersikan. Sistem ini menggunakan rumus-rumus empiris tertentu untuk menghitung
nomor HLB, biasanya memberikan jawaban dalam kisaran 0-20 pada beberapa skala
sewenang-wenang. Skala tertinggi terletak pada ZAP hidrofilik, yang memiliki kelarutan air
yang tinggi dan umumnya bertindak sebagai zat pelarut yang baik, detergen, dan
stabilisator untuk emulsi O/W; sebaliknya, pada titik terendah adalah ZAP dengan
kelarutan air rendah, yang bertindak sebagai pelarut air dalam minyak dan penstabil
emulsi W /O. Efektivitas suatu ZAP yang diberikan dalam menstabilkan suatu sistem
emulsi tertentu kemudian akan tergantung pada keseimbangan antara HLB ZAP dan fasa
minyak yang terlibat.

II. MATERI
2.1 Definisi dan Skala HLB
Aktivitas permukaan umumnya terkait dengan keseimbangan antara hidrofobik
dan hidrofilik dari molekul. misalnya, di antara ZAP anionik alkil hidrofob C 8-C12 cenderung
didominasi zat pembasahan, sedangkan C12-C18 menunjukkan sifat detergensi dan
pengemulsi yang lebih baik. Alkylsuccinates dan sulphosuccinates merupakan zat
pembasah yang sangat kuat. Bagian hidrofobik dari ZAP meningkat kelarutan dalam air
menurun dankelarutan dalam minyak meningkat.
Jadi keseimbangan antara gugus hidrofobik dan hidrofilik dari ZAP merupakan
faktor penting dalam menentukan karakteristik utamanya, ini disebut sebagai HLB. HLB
adalah singkatan dari Hydrophylic-Lipophylic Balance adalah nilai untuk mengukur
efisiensi ZAP. Semakin tinggi nilai HLB ZAPnya maka semakin tinggi nilai kepolarannya
Nilai HLB (Hydrophylic-Lipophylic Balance) suatu emulsifier adalah angka yang
menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau
polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non-polar), yang merupakan sistem dua
fase yang diemulsikan. Untuk beberapa proses umum HLB dapat digunakan secara
kualitatif (HLB rendah, sedang atau tinggi) tetapi untuk pekerjaan yang membutuhkan
analisis lebih tepat, sistem HLB lebih digunakan sebagai skala kuantifikasi. Skala ini
mencakup nilai dari nol (hidrofobik) hingga (hidrofilik) 20. Skala ini sangat berguna dalam
menggambarkan sifat-sifat nonionik etoksilat. Untuk senyawa ini, HLB merupakan indikasi
persentase dari bagian hidrofilik yang dibagi lima untuk memberikan perhitungan yang
mudah. Misalnya, jika bagian hidrofilik dari zat non ionik dengan hipotetis menyumbang
100% dari molekul HLB 20. Misalnya, produk memiliki 85% zat non ionik dari molekul
diperhitungkan oleh bagian hidrofilik memiliki HLB dari 85/5 = 17. Metode ICI menghitung
HLB teoritis dari sorbitan monolaurat yang memiliki 20 unit per molekul oksietilen
diberikan dalam total massa molekul 1226, dimana 1044 dikontribusikan adalah bagian
hidrofilik.

HLB = 1266 x 100 x 1/5 = 17


1044
Nilai HLB dapat langsung dijelaskan oleh analis atau dengan perbandingan berbagai ZAP
dari nilai HLB yang diketahui. Metode analisis untuk monolaurat sorbitan dapat dijelaskan
di bawah ini:

dimana S adalah Bilangan Penyabunan dan A adalah Bilangan Asam. Metode komparatif
harus selalu digunakan untuk ZAP nonionik yang tidak hanya didasarkan pada etilena
oksida dan juga untuk ZAP ionik karena pengaruh hidrofilik dari gugus ionik stisai yang
ditunjukkan oleh basis massa dasar (ini dapat menyebabkan nilai HLB yang lebih tinggi
dari 20 ). Setelah nilai HLB dari berbagai ZAP diketahui, adalah hal yang mudah untuk
menghitung nilai HLB dari campuran sebagai berikut.
HLB Perhitungan
45% ZAP A 16,7 0,45 x 16,7 = 7,52
35% ZAP B 4,0 0,35 x 4,0 = 1,40
20% ZAP C 9,6 0,20 x 9,6 = 1,92
Total 10,84

Untuk yang menggunakan persamaan Davies , contoh untuk menghitung HLB dari
natrium lauril sulfat, bila diketahui
Nilai HLB dapat dihitung, HLB = 7 + ∑ (H) - ∑ (L),

Dimana H = gugus hidrofil

L = gugus hidrofob

Maka HLB = 38,7 – (0,475 x 12) + 7 = 40,0

Cara lain untuk menghitung HLB adalah


HLB = (E+P) /5
Dimana E = persen berat oksietilen
P = persen berat alkohol polihidrik
Jika gugusan hidrofilik hanya mengandung polietilen, maka : HLB = E/5
Adapun cara lain untuk menghitung HLB adalah dengan membagi bagian hidrofilik
terhadap berat molekul keseluruhan ZAP dan dikalikan dengan faktor skala Griffin (20)
HLB = BM bagian hidrofil x 100
BM ZAP 5
Misalnya HLB dari senyawa dibawah dapat dihitung sebagai berikut
CH2OH CH 2OH

H-C-OH H-C-OH

HO-C-H HO-C-H
ESTERIFIKASI
H-C-OH + HOOC-(CH2)10-CH3 H-C-O-OC-(CH2)10-CH3

HO-C-H ASAM LAURAT


HO-C-H

CH2OH CH2OH
SORBITOL SORBITOL- MONOLAURAT

KONDENSASI
CH2OH + HO-CH=CH2 CH 2(OCH2CH2)19-CH2CH 2OH

H-C-OH H 2C CH2 H-C-OH

HO-C-H O HO-C-H
20 mol etilenoksida
H-C-O-OC-(CH2)10-CH3 H-C-O-OC-(CH2)10-CH3

HO-C-H HO-C-H

CH2OH CH2OH
SORBITOL MONOLAURAT SORBITOL MONOLAURAT
dengan 20 unit etilenoksida
sebagai surfaktan nonionik
dengan berat molekul =1216
Gugus hidrofil dengan
berat molekul = 993

Gambar 1. Reaksi pembentukan surfaktan nonionik dari sorbitol monolaurat


mengandung 20 unit etilenoksida

HLB = 993 x 20 = 16,33


1216

Struktur kimia dari molekul ZAP dengan aktivitas permukaan melalui hubungan
kuantitatif yang akan membantu untuk menentukan fungsi dari ZAP tersebut.
Keberhasilan dicapai dengan pembentukan sistem emulsi. HLB merupakan indikator yang
menunjukkan keefektifan sebagai emulsifier yang bertujuan untuk mengukur kemampuan
pengemulsian baik kualitas emulsi dan kestabilannya. Emulsifier adalah salah satu zat
pembantu untuk membuat emulsi, berfungsi untuk menstabilkan zat atau bahan aktif
terlarut dalam air atau minyak yang diemulsikan dan suatu emulsifier -- HLB memegang
peranan penting. Sistem HLB adalah metoda untuk menentukan HLB-butuh suatu bahan
dengan menggunakan berbagai bahan pengemulsi standar dengan nilai HLB tertentu
sebagai alat bantu. Untuk emulsi yang akan diemulsikan ZAP terdapat nilai HLB yang
disebut HLB butuh minyak, diperlukan nilai HLB yang cocok agar emulsi menjadi stabil,
oleh sebab itu diperlukan perhitungan HLB. Skala HLB mengikuti skala griffin yaitu
menggunakan skala dari mulai 0 – 20. Mendekati 20 merupakan ZAP hidrofilik,
kemampuan larut dalam air tinggi secara umum banyak digunakan sebagai emulsifier,
deterjen dan stabilisator untuk emulsi O/W.

Gambar 5.1 Skala Griffin sebagai Skala HLB

Skala rendah menunjukkan , kemampuan larut dalam air rendah dapat digunakan sebagai
pelarut air dalam minyak dan stabilisator emulsi W/O. HLB dihitung berdasarkan
perbandingan bagian hidrofil dan berat molekul ZAP.

Contoh ZAP dari Skala Griffin


• Spans adalah ester dari asam lemak sorbitan yang mempunyai HLB rendah dari
1.8 sampai 8.6
• Tweens adalah turunan dari polioksietilen dari spans dan bersifat lebih hidrofilik
dengan nilai HLB beksar 9.6 sampai 16.7 dikenal sebagai ZAP nonionik
Beberapa contoh ZAP tween :
 Polyoksetilen (20) Sorbitan monolaurat – Tween 20
 Polyoksetilen (20) Sorbitan monopalmitat – Tween 40
 Polyoksetilen (20) Sorbitan monostearat – Tween 60
 Polyoksetilen (20) Sorbitan mono-oleat – Tween 80
 Polyoksetilen (20) Sorbitan tristearat – Tween 65
 Polyoksetilen (20) Sorbitan tri-oleat – Tween 85
Berikut ini beberapa nilai HLB dari beberapa ZAP :
• Tween 20 = 16,7
• Tween 40 = 15,6
• Tween 80 = 15,0
• Tween 60 = 14,9
• Tween 85 = 11,0
• Tween 65 = 10,5 
• Span 20 = 8,6
• Span 60 = 4,7
• Span 80 = 4,5
• Arlacel 83 = 3,7 
• Gom = 8,0
• Trietanolamin = 12,0
Sebagai contoh Tween 80 (sorbitan monooleate dengan 20 mol Etilena oksida, HLB =
15) dan Span 80 (sorbitan monooleate, HLB = 4,5) dan penggunaannya dalam berbagai
komposisi. Emulsi yang disiapkan dengan cara yang sama dengan beberapa persen dari
campuran emulsi. Stabilitas emulsi dinilai pada masing masing HLB juga dengan
mengukur laju pemisahan minyak. Dengan cara ini dapat dilakukan penentuan HLB
untuk minyak yang diberikan. Pengunaan HLB untuk dapat digunakan untuk penggunaan
ZAP campuran

2.2 Penentuan Nilai HLB Butuh dan Campuran ZAP


Minyak digunakan dalam formula dari emulsi yang membutuhkan nilai HLB tertentu
untuk diformulasikan menjadi emulsi tipe W/O atau O/W Untuk jenis minyak yang sama,
nilai HLB butuh untuk emulsi tipe O/W lebih tinggi dari nilai HLB butuh emulsi tipe W/O
• Parafin cair : 35%
• Wool fat : 1%
• Cetyl alcohol : 1 %
• Emulsifier : 7%
• Air menjadi : 100%
Perhitungan dilakukan dengan cara :
1. Mengalikan HLB butuh masing-masing komponen dengan fraksinya dari total semua
fasa minyak
2. Menambahkan nilai yang diperoleh untuk mendapatkan total nilai HLB butuh untuk
keseluruhan fasa minyak
Jawab :
Total persentase dari fasa minyak adalah 37 dengan proporsinya :
• Parafin cair = 35/37 x 100 = 94,6 %
• Wool fat = 1/37 x 100 = 2,7%
• Cetyl alcohol = 1/37 x 100 = 2,7%
• Total HLB Butuh yang diperoleh adalah sebagai berikut :
• Parafin cair (HLB 10,5) = 94,6/100 x 10,5 = 9,93
• Wool fat (HLB 10) = 2,7/100 x 10 = 0,3
• Cetyl alcohol (HLB 15) = 2,7/100 x 15 = 0,4
• Total HLB yang dibutuhkan adalah = 10,63

2.3 Perhitungan Perbandingan Emulsifier untuk Memproduksi Nilai HLB tertentu


Aspek terpenting dari sistem HLB adalah nilai HLB adalah tambahan jika jumlah
dari masing masing dalam campuran dijadikan komponen hitung. Sehingga campuran
ZAP HLB tinggi dan rendah bisa digunakan untuk memperoleh HLB butuh dari minyak.
HLB dari campuran ZAP, terdiri dari fraksi x A dan (1-x) dari B diasumsikan menjadi
algebraic berarti jumlah dari dua HLB :
HLB campuran = x HLBA + (1-x) HLBB
Turunan dari persamaan di atas dalam % adalah

Dimana x adalah HLB butuh dari campuran ZAP.


Contoh Soal
1. Formulator dibutuhkan untuk memformulasikan emulsi O/W dari formula dasar :
Parafin cair : 50 g
Emulsifier (HLB dibutuhkan 10,5) : 5 g
Air menjadi 100 g
Hitung fraksi dari Tween 80 (HLB 15) dan Span 80 (HLB 4,3) yang digunakan untuk
membuat emulsi paraffin yang stabil
Jawab :
Diasumsikan Tween 80 adalah A dan span 80 adalah B, sehingga
A = 100 (x – HLBB) /(HLBA-HLBB)
= 100 (10,5 – 4,3)/(15 – 4,3)
= 57,9%
B = 100 – A
= 100 – 57,9 = 42,1 %
A = 57,9 x 5 =2,85 g
100
B = 5 – 2,89 = 2,11 g

2. Berapa nilai HLB dari campuran yang terdiri dari 40% span 60 (HLB 4,7) dan tween 60
(HLB 14,9)
Jawab
A = Tween 60, B = Span 60
A = 100 (X –HLBB) /(HLB A – HLBB)
60 = 100 (x – 4,7) / (14,9 – 4,7)
60 = 100 x – 470 /10,2
x= 10,82

3. Berapa nilai HLB dari campuran ZAP yag terdiri dari 20% tween 80 (HLB 16,7) 30%
span 20 (HLB 8,6) dan 50% span 80 (HLB 4,3)
Jawab :
A = tween 20, B= span 20 dan C = span 80
HLB campuran = fraksi dari A HLBA + fraksi dari B HLBB + fraksi dari C HLBC
(0,2 x 16,7) + (0,3 x 8,6) + (0,5 x 4,3)
8,07

4. Campuran dari ZAP mempunyai nilai HLB 13,5, hitung persentase dari masing-masing
jika terdiri dari Brij 35 (HLB 16,9) dan span 80 (HLB 4,3)
Jawab
A = Brij 35, B = span 80
A = 100 (X –HLBB) /(HLB A – HLBB)
A = 100 (13,5 – 4,3) / (16,9 – 4,3)
A = 920/12,6
A = 73,015
B = 100 – A
B = 26,98%

5. Contoh perhitungan HLB:


• R/ Stearil Alkohol                                     1,5  (HLB butuh 14)
• AdepsLanae                                                2     (HLB butuh10)
• Paraffin cair                                                 30  (HLB butuh 12)
• Tween 80                                                      10%
• Span 80                                                         10%
• Aqua ad                                                         100
• Jumlah Fase Minyak : 1,5 + 2 + 30 = 33,5
• Jumlah HLB butuh dari fase minyak:
{(1,5×14) : 33,5} + {(2×10) : 33,5} + {(30×12) : 33,5} = 11,9
Emulgator yang dibutuhkan pada resep yaitu 10% dari 100 g = 10 g
• HLB butuh Tween 80        = 15
• HLB butuh Span    80        = 4,5
• HLB butuh fase minyak    = 11,9
• Jumlah Span   = [ (11,9-4,5) : {(15-11,9) + (11,9-4,5)} ] x 10 g = 7,05 g
• jumlah Tween = [ (15-11,9) : {(15-11,9) + (11,9-4,5)} ] x 10 g = 2,95 g

6. Pada pembuatan 100 ml emulsi tipe o/w diperlukan emulgator dengan harga HLB 12.
Sebagai emulgator dipakai campuran Span 20 (HLB 8,6) dan tween 20 (HLB 16,7)
sebanyak 5 gram. Berapa gram masing-masing berat Span 20 dan Tween 20 ?
Jawab :
(B1 x HLB1) + (B2 x HLB2) = (B campuran x HLB campuran)
B = Berat emulgator
Misalnya berat tween = X
Berat span = 5 – X
(B1 x HLB1) + (B2 x HLB2) = (B campuran x HLB campuran)
X x 16,7) + (5-X) x 8,6 = 5 x 12
16,7 X + 43 – 8,6 X = 60
8,1X = 60 – 43
X = 2,1 gram ( tween)
Berat span = 5 – 2,1 = 2,9 gram

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat menghitung kebutuhan HLB dan komponen ZAP campuran
sehingga bisa memprediksi penggunaan dari HLB tersebut.

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu menghitung HLB dan kebutuhan komponen yang sudah
diketahui HLB nya untuk dapat membuiat suatu sistem emulsi yang baik dan stabil.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan proses perhitungan HLB ini dalam proses
pembuatan suatu emulsi.

III. LATIHAN DAN TUGAS


A. Hitunglah dengan tepat perhitungan HLB berikut !
1. Berapa nilai HLB dari campuran emulsifier yang terdiri dari 25 % span 20 (HLB 8,6)
dan 75 % tween 20 (HLB 16,7) ?
2. Bila diketahui
Stearil alcohol 8% HLB 15
Cetyl alcohol 1 %HLB 15
Lanolin Anhydrous 1%HLB 10
Emulsifier 4%
Air menjadi 100 %
a. Hitung HLB dari fasa minyak
b. Berapa gram dari span 80 (HLB 4,3) dan berapa gram dari Tween 60 (HLB 14,9)
yang digunakan untuk membuat 1000 g dari produk ini.

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
2. Isminingsih G,Diktat Transparan Seri Zat Pembantu Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi
Tekstil, Bandung, 1995
3. Showell, S.Michael, Handbook of Detergent,Surfactant Sceince Series Volume 128,
2006, Taylor & Francis Group, LLC
4. www.firp.ula.ve/archivos/historico/76_Book_HLB_ICI.pdf diakses tanggal 20 Oktober
2018
MATERI KE 6: DETERJENSI
PERTEMUAN KE : 12
I. PENDAHULUAN
Deterjensi merupakan salah satu sifat penting dari suatu Zat Aktif Permukaan
(ZAP). Dua fungsi utama dari proses deterjensi adalah untuk menghilangkan material
pengotor dari permukaan dan menjaga material ynag tersuspensi berada dalam larutan.
Detergensi adalah fenomena permukaan dan koloid yang merefleksikan perilaku
fisikokimia materi di antarmuka. Karena areanya secara prinsip berhubungan dengan
pneghilangan campuran kotoran dan cammpuran minyak dari substrat padat maka
tidaklah heran bahwa system itu tidak menempatkannya segera untuk menganalisisoleh
teori dasar dari permukaan dan ilmu koloid. bagian ini akan menyimpulkan bebrapa aspek
penting dari proses deterjensi dan menggambarkan bagaimana secara struktur kimia dari
ZAP dan komponen lainnya dalam sebuah formula bias mempengaruhi performa
keseluruhan proses.

II. MATERI
A. PENGETAHUAN
2.1 Deterjensi
Detergensi adalah fenomena permukaan dan koloid yang merefleksikan perilaku
fisikokimia materi di antarmuka. Deterjensi apabila dikaitkan dengan ZAP merupakan
proses yang dapat meningkatkan kemampuan ZAP dalam proses pencucian. Detergensi
merupakan proses yang mengkombinasikan efek yang melibatkan adsorpsi pada
antarmuka, perubahan tegangan antarmuka, pelarutan, pengemulsi, dan pembentukan
dan disipasi muatan permukaan. Defenisi deterjensi adalah pembersihan atau pencucian
menggunakan larutan pencuci pada suatu permukaan benda padat secara fisika kimia.
Tahapan Proses deterjensi :
1. membasahi permukaan yang kotor dan melepaskan kotorannya
2. menjaga kestabilan larutan pencuci terhadap molekul kotoran
3. menjaga molekul kotoran untuk tidak kembali masuk ke dalam benda padat (tekstil)
Beberapa karakteristik struktural ZAP terhadap detergensi adalah sebagai berikut :
1. Makin panjang rantai hidrofobik kelarutan deterjen makin baik.
2. Deterjensi maksimum diperleh dari rantai yang linier daripada rantai bercabang.
3. Untuk ZAP nonionik, detergensi optimal diperoleh ketika clouding point dari ZAP
terletak tepat di atas suhu proses.
4. Untuk ZAP POE (Polyoksietilen) nonionik, peningkatan panjang rantai POE (setelah
kelarutan telah tercapai) sering menyebabkan penurunan daya deterjen.
5. Penyisipan rantai POE 3 - 6 enam unit pada bagian hidrofobik dan kelompok utama
pada gugusan ionik umumnya menghasilkan kinerja deterjen yang baik.
6. Karakteristik substrat seperti polaritas dan muatan listrik yang berpengaruh terhadap
adsorpsi pada gugus kepala molekul ZAP akan menghasilkan sifat deterjen yang
buruk.
7. Perluasan dan dispersi solid, terutama kasus untuk ZAP kationik yang berinteraksi
dengan muatan negatif permukaan.

2.1.1. Proses Pembersihan


Pembersihan substrat padat melibatkan penghilangan bahan asing yang tidak
diinginkan dari permukaannya. Dalam hal ini istilah ‘‘ deterjensi ’dibatasi untuk sistem
yang memiliki karakteristik berikut:
1) proses pembersihan dilakukan dalam media cair;
2) tindakan pembersihan adalah hasil interaksi antar muka tanah, substrat, dan sistem
pelarut; dan
3) proses primer bukanlah solubilisasi dari tanah dalam fase cair, meskipun itu
mungkin memainkan peran kecil dalam tindakan deterjen secara keseluruhan.
Agitasi mekanik dan aksi kapiler juga penting aspek proses deterjensi secara
keseluruhan, terutama ketika noda yang lebih kompleks terjadi.Dalam deterjensi, seperti
dalam banyak proses teknis penting, interaksi antara substrat padat dan bahan terlarut
atau terdispersi merupakan hal yang sangat penting. ZAP, sebagai kelompok bahan yang
secara istimewa menyerap pada beberapa jenis antarmuka karena struktur
amphiphiliknya, secara alami memainkan peran penting dalam banyak proses deterjensi.
Dalam kebanyakan proses adsorpsi terkait dengan deterjensi, interaksi antara
bagian hidrofobik dari molekul ZAP dengan partikel yang terdispersi atau kotoran terlarut
dan substrat yang menghasilkan sifat deterjensi. Adsorpsi seperti itu mengubah sifat
kimia, listrik, dan mekanik dari berbagai antarmuka dan sangat bergantung pada sifat
setiap komponen. Dalam pembersihan bahan tekstil dengan ZAP anionik, misalnya,
adsorpsi ZAP ke kain dan kotoran memperkenalkan interaksi elektrostatik tolak menolak
yang cenderung mengurangi adhesi antara kotoran dan serat, mengangkat kotoran dan
memperlambat terjadinya redeposition. Proses ini digambarkan secara skematik pada
Gambar di bawah.
Gambar 6.1. Mekanisme umum untuk pengangkatan kotoran padat oleh ZAP:
(a)Penghilangan kotoran padat; (b) Penghilangan kotoran berminyak

2.1.2 Jenis Kotoran


Secara umum, ada dua jenis kotoran yang ditemui dalam proses deterjensi: cair,
zat berminyak, dan material partikulat padat. Banyak noda pada tekstil seperti darah,
anggur, mustard, saus, dan sejenisnya melibatkan protein, karbohidrat, dan bahan
pigmen dengan berat molekul tinggi yang menimbulkan masalah khusus dalam hal
interaksi antar muka dari material yang bereaksi. Interaksi masing-masing kelas kotoran
atau noda dengan substrat padat bisa sangat kompleks, dan mekanismenya
penghilangan kotorannya pun bisa jadi kompleks.
Kotoran padat dapat terdiri dari berbagai komposisi mineral, karbon (jelaga)
yang memiliki berbagai karakteristik permukaan, oksida dan pigmen logam, dan senyawa
lainnya.Kotoran cair mungkin mengandung lemak kulit (sebum), asam lemak dan alkohol,
sayuran dan minyak mineral, minyak sintetis, dan komponen cair krim dan kosmetik.
Sama dengan kotoran yang bersifat padat, karakteristik kimia permukaan dari kotoran cair
bisa sangat bervariasi. Terdapat kesamaan prinsip dasar antara dua jenis kotoran, namun
terdapat generalisasi sementara setiap kelompok memiliki persyaratan khusus untuknya
tercapainya detergensi yang efisien. Adhesi dari kotoran padat dan cair untuk substrat
padat akan, ke yang lebih besar atau tingkat yang lebih rendah, hasil dari interaksi
dispersi dan van der Waals. Adsorpsi karena untuk gaya ionik lainnya seperti interaksi
asam-basa atau ikatan hidrogen juga biasanya tidak terlalu penting kecuali di tempat
kotoran dan substrat yang sangat polar terlibat.
Adhesi oleh interaksi elektrostatik umumnya kurang penting untuk sistem
kotoran cair, tetapi dapat menjadi penting, dan pada kenyataannya, menentukan, dalam
kasus beberapa kotoran mineral dan kotoran biologi. Ketika gaya elektrostatik terlibat,
noda tanah yang dihasilkan dapat sangat sulit dihilangkan dengan proses pembersihan
normal. Dimana adsorpsi kotoran terutama merupakan hasil dari interaksi dispersi dan
van der Waals, bahan nonpolar seperti karbon dan minyak hidrokarbon dapat menjadi
sangat sukar untuk dikeluarkan dari permukaan hidrofobik seperti poliester.
Kotoran yang lebih hidrofilik seperti tanah liat, asam lemak, dan bahan lainnya,
di sisi lain, bisa lebih sulit untuk dihilangkan dari permukaan hidrofilik seperti kapas.
Gerakan mekanik juga dapat menghambat aksi pembersihan, terutama pada material
berserat dengan partikulat kotoran, sebagai hasil dari jebakan partikel dalam serat.
Proses pembersihan bisa sangat rumit, dan hasil yang optimal mungkin hanya mungkin
untuk sistem yang ditentukan secara khusus.

2.1.4 Penghilangan Kotoran Padat


Pengangkatan kotoran padat, partikulat dari substrat dalam larutan pembersih
encer melibatkan pembasahan substrat dan kotoran dengan larutan pembersih diikuti
adsorpsi dari ZAP dan atau komponen lainnya pada substrat-cair dan antarmuka tanah-
cair. Hasilnya adalah pengurangan energi yang dibutuhkan untuk memisahkan dua fase
dan penciptaan elektrostatik atau penghalang sterik untuk menghambat atau mencegah
redeposisi ke substrat.
Adhesi partikel kecil ke substrat dapat dikurangi secara signifikan oleh
perendaman dalam air jika interaksi di antarmuka menguntungkan, seperti yang
ditunjukkan oleh koefisien penyebaran, S [Eq. (10.5)]. Kehadiran air membawa
pembentukan lapisan listrik ganda pada setiap antarmuka substrat-cair. Jika tanah dan
substrat bermuatan negatif, tolakan elektrostatik akan mengurangi atau menghilangkan
gaya adhesi dan menyebabkan penghilangan kotoran. Selain itu, keberadaan air bisa
menyebabkan substrat menggembung, selanjutnya mengurangi interaksi kotoran-
substrat. Di banyak contoh, kekuatan permukaan yang diwujudkan dalam koefisien
penyebaran untuk air saja tidak cukup untuk menghasilkan pemisahan kotoran-substrat.
Penambahan ZAP dapat memperbaiki situasi dengan cara yang sudah disebutkan, tetapi
sering ditemukan bahwa tindakan mekanis yang kuat diperlukan.
Kotoran padat yang paling sering ditemui adalah mineral, yang biasanya
membawa muatan permukaan negatif asli dalam larutan encer. Jika ZAP kationik ada
dalam larutan pencuci, adsorpsi spesifik melalui gaya elektrostatik akan terjadi, yang
mengarah ke situasi yang kurang menguntungkan untuk penghilangan kotoran. Ini akan
membutuhkan pembentukan ZAP bilayer yang teradsorpsi untuk mencapai efek
elektrostatik yang diinginkan untuk menghilangkan kotoran secara efisien dan
mencegahnya redeposisi. Oleh karena itu, ZAP kationik jarang dijumpai pada larutan
pembersih. Produksi permukaan yang lebih hidrofobik melalui adsorpsi seperti itu terletak
pernggunaan ZAP kationik sebagai pelembut. Dengan menyerap ke permukaan serat
tekstil, ZAP tersebut mengurangi gesekan antara kain dan kulit yang bersentuhan untuk
menghasilkan tekstur lembut. Sifat hidrofobik dari permukaan yang teradsorpsi juga
mengurangi efek penumpukan muatan statis, memberikan kain yang lebih lembut dan
memperbaiki hand feel.
Tindakan sederhana untuk mendispersikan partikel-partikel kotoran di dalam
larutan pembersih belum ditemukan untuk memastikan pembersihan yang efektif.
Tampaknya ada korelasi kecil antara daya detergensi dan pendispersian untuk
kebanyakan ZAP. Misalnya, ZAP yang merupakan alat pembantu pendispersi yang
sangat baik dan sering ditemukan memiliki karakteristik detergensi yang buruk,dan
sebaliknya. Peningkatan adsorpsi ke kotoran dan substrat dalam kasus dari ZAP anionik
dan nonionik tampaknya berkorelasi dengan baik dengan detergensi, yang menunjukkan
bahwa efektivitas ZAP tersebut dalam efektifitas proses pembersihan pemisahan kotoran
dan substrat.

2.1.5 Penghilangan Kotoran Cair


Seperti itu untuk kotoran padat, langkah pertama dalam pembersihan kotoran
berminyak dari substrat adalah pemisahan dari dua antarmuka. Setelah itu, masalahnya
adalah menjaga agar kotoran tetap terpisah dari substrat
Gambar.6.2. Mekanisme ‘‘ rollback ’untuk penghilangan kotoran berminyak; adsorpsi ZAP
pada Antarmuka Minyak /Larutan dan Substrat/Larutan bertindak untuk memulai
penurunan deformasi (a), diikuti dengan penempelan sufaktan ke minyak (b),
dan akhirnya terlepas (c)

Mekanisme utama untuk proses pembuangan tanah umumnya dirasakan


sebagai mekanisme ‘‘ rollback ’’ yang diilustrasikan pada Gambar di atas. Proses
melibatkan penetrasi cairan ke dalam antarmuka kotoran-substrat oleh aksi kapiler atau
sebagai hasil dari pemisahan mekanis. Ketika larutan pembersih berpenetrasi, adsorpsi
ZAP pada kotoran-larutan dan antarmuka substrat – larutan menurunkan daya adhesi di
antara keduanya, menghasilkan peningkatan sudut kontak kotoran-substrat dan
memindahkan kotoran oleh larutan pencuci.
Ketika kotoran telah dipisahkan dari substrat, perlu untuk mencegahnya
terjadinya redeposisi sampai dengan benar-benar hilang dengan proses pembilasan. Ada
dua mekanisme umum untuk memisahkan kotoran berminyak dari substrat: solubilisasi
misellar dan emulsifikasi. Solubilisasi bahan berminyak dalam misel ZAP adalah
mekanisme yang paling penting untuk menghilangkan kotoran berminyak. Pemindahan
kotoran berminyak dari permukaan tekstil menjadi signifikan saja di atas CMC untuk ZAP
onionik, dan bahkan untuk beberapa ZAP anionik dengan CMC rendah. Adsorpsi ZAP
pada antarmuka melibatkan monomer, bdibandingkan dengan bentuk misel, sementara
solubilisasi hanya melibatkan bentuk misellar, hasil tersebut akan muncul untuk
menunjukkan bahwa dalam kasus ini, solubilisasi adalah lebih penting daripada efek
terkait adsorpsi seperti membasahi, emulsifikasi, dan seterusnya.
Dalam proses pembersihan secara keseluruhan, tingkat solubilisasi kotoran
berminyak tergantung pada struktur kimia ZAP, konsentrasinya dalam larutan, dan suhu.
Pada konsentrasi ZAP rendah, solubilisasi terjadi dalam misel-misel kecil, kira-kira bulat,
dan minyak dengan jumlah kecil dapat dilarutkan. Pada konsentrasi ZAP di atas CMC
(10-100 kali), struktur misel lebih besar yang memiliki kapasitas pelarutan lebih besar bisa
ditemui, atau beberapa mekanisme yang terkait dengan pembentukan mikroemulsi bisa
terjadi.

2.1.6 Mekanisme Kerja ZAP dalam Deterjensi


Mekanisme penghilangan kotoran (deterjensi) terdiri dari beberapa tahapan,
yaitu:
1. Perpindahan ZAP ke antarmuka. Hal ini dapat terjadi dengan ZAP dalam bentuk
monomer. Dalam hal ini kinetika pengangkutan cukup cepat (10–5 cm2 / detik), atau
dengan ZAP dalam bentuk agregat atau misel yang dalam hal ini kinetika
pengangkutan relatif lambat (10 –7 cm2 / detik).
2. Adsorpsi ZAP pada larutan/ antar muka kotoran, antarmuka larutan/udara, dan
antarmuka substrat/larutan. Langkah ini menghasilkan penurunan energi antarmuka
pada masing-masing antarmuka ini. Adsorpsi didorong oleh parameter pengepakan
ZAP (P = V / aoI) di mana V adalah volume yang dijelaskan oleh bagian hidrofobik
(rantai alkil) dari ZAP, ao adalah luas penampang rata-rata dari kelompok kepala ZAP,
dan l adalah semua panjang rantai alkil trans dari hidrofob (rantai alkil) [42]. ZAP
dengan 0 <P <1/3 membentuk misel dalam larutan berair. ZAP dengan 1/3 <P <1/2
membentuk misel cacing dan ZAP dengan ½ <P <1 tampilan formasi vesikel.
Mengontrol parameter pengepakan ZAP mendekati 1 (film ZAP datar) mendorong
adsorpsi yang kuat dan menghasilkan keseimbangan tegangan permukaan fase
kotoran/larutan yang sangat rendah.
Kinerja deterjen, khususnya ZAPnya, memiliki kemampuan yang unik untuk
mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Salah
satu ujung dari molekul ZAP bersifat lebih suka minyak atau tidak suka air, akibatnya
bagian ini mempenetrasi kotoran yang berminyak. Ujung molekul ZAP satunya lebih
suka air, bagian inilah yang berperan menarik kotoran dari kain dan mendispersikan
kotoran, sehingga tidak kembali menempel ke kain. Jika kotoran berupa minyak atau
lemak maka akan membentuk emulsi minyak–air dan detergen sebagai emulgator (zat
pembentuk emulsi). Apabila kotoran yang berupa tanah akan diadsorpsi oleh detergen
kemudian mambentuk suspensi butiran tanah-air, dimana detergen sebagai suspensi
agent (zat pembentuk suspensi).
3. Pembentukan ikatan ZAP - kotoran. Ini biasanya direpresentasikan ketika ZAP
melapisi kotoran yang akan dihilangkan baik dalam monolayer, atau, pada
konsentrasi ZAP yang cukup tinggi dengan struktur bilayer. Selama langkah ini, ZAP
dapat meningkatkan pelembutan kotoran dan pencairan kotoran (liquefaction). Ini
adalah langkah penting untuk meningkatkan roll-up atau emulsifikasi yang hanya
terjadi dengan kotoran cair.
Dalam larutan dari beberapa ZAP ionik, konsentrasi jarang jauh di atas CMC,
sehingga solubilisasi mungkin bukan faktor yang signifikan dalam penghilangan
kotoran minyak. Untuk ZAP nonionik, tingkat solubilisasi tergantung pada suhu larutan
pembersih berhubungan dengan cloud point dari ZAP, karena solubilisasi bahan
berminyak meningkat secara signifikan ketika mendekati cloud point Ini mungkin
merupakan bagian untuk pengamatan bahwa penghilangan kotoran oleh ZAP
nonionik sering pada suhu di sekitar cloud point. Ketika ZAP tidak mencukupi untuk
melarutkan kotoran berminyak, sisanya dapat ditangguhkan oleh emulsifikasi.
4. Desorpsi ikatan ZAP - kotoran. Untuk kotoran berminyak ini terjadi baik melalui
mekanisme roll-up atau dengan pelarutan/solubilisasi minyak ke agregat misel ZAP.
Dalam kasus kotoran cair, energi yang dibutuhkan untuk menghilangkan kotoran
dapat dinyatakan sebagai gow (1 + cos q) . Gow adalah tegangan antar muka
kotoran/larutan dan q adalah sudut kontak kotoran/ substrat. Untuk sudut kontak
besar (180o), terjadi mekanisme roll up. Untuk sudut kontak kecil, emulsifikasi melalui
gow rendah adalah mekanisme utama penghilangan kotoran.
Pada aplikasinya sebagai bahan pembersih untuk material kain, tanah dan sejenisnya,
ZAP dapat bekerja melalui tiga cara yang berbeda, yakni roll up, emulsifikasi dan
solubilisasi.
a. Roll up Pada mekanisme ini, ZAP bekerja dengan menurunkan tegangan
antarmuka antara kotoran dengan kain atau material lain yang terjadi dalam
larutan berair.  Penghilangan kotoran melalui mekanisme Roll up untuk kotoran
yang bersifat cair berdasarkan persamaan Young:
SO = SB- BO Cos 
Cos  = (SB- SO)/BO
SO , Cos , , kemudian terjadi roll up
SB , Cos , , kemudian terjadi penyebaran
Roll Up yang terjadi pada ZAP anionik :
 Penghilangan kotoran secara sempurna, roll-up terjadi secara spontan, dimana 
= 180°
Contohnya : ZAP anionik: hanya Substrat dan larutan , minyak dan larutan dengan
sudut yang terbentuk 90°<  <180°

Gambar 6.3 Penghilangan Kotoran yang Sempurna dari Substrat (Roll up)

b. Emulsifikasi
Pada mekanisme ini ZAP menurunkan tegangan antarmuka minyak-larutan dan
menyebabkan proses emulsifikasi terjadi.
 Contohnya : ZAP nonionik: Substrat dan larutan, minyak dan larutan,substrat dan
minyak. Penghilangan kotoran tidak sempurna
SO < SB , Cos  > 0
 < 90°

Gambar 6.4 Penghilangan Kotoran Tidak Sempurna dan Pecah dari Substrat
(Emulsifikasi)

c. Solubilisasi
Melalui interaksi dengan misel dari ZAP dalam air (pelarut), senyawa secara
simultan terlarut dan membentuk larutan yang stabil dan jernih.
Gambar 6.5 Ilustrasi Proses Solubilisasi

Karena daya deterjen dari banyak ZAP tidak dapat secara langsung berhubungan
sebagai pengemulsi, ada beberapa pertanyaan tentang pentingnya emulsifikasi
sebagai mekanisme penghilangan kotoran dan mengendalikan terjadinya redeposisi.
Agar solubilisasi yang terjadi efisien, area antarmuka larutan ZAP-kotoran harus
dimaksimalkan, yang berarti pengurangan pada antarmuka substrat padat –minyak.
5. Perpindahan dari ikatan ZAP-kotoran dari permukaan. Dalam kasus kotoran
berminyak yang memiliki rapat jenis (densitas) lebih rendah daripada larutan, kotoran
akan mengapung ke permukaan. Dalam kasus lain, energi mekanik atau agitasi
sangat penting untuk memindahkan ikatan ZAP- kotoran menjauhi dari antar muka
Penting untuk diperhartikan dari mekanisme emulsifikasi adalah bahwa, karena
kebanyakan deterjen merupakan kelompok ZAP bukan pengemulsi yang sangat baik,
mengemulsikan tetesan kotoran menjadi sangat tidak stabil, menghasilkan perpaduan
tetesan dan redeposisi yang signifikan. Proses roll up, serta proses emulsifikasi yang
mungkin, pada umumnya dibantu oleh penambahan energi mekanik. Energi tambahan
seperti itu secara signifikan dapat mengatasi ketidakstabilan yang melekat
kebanyakan sistem deterjen-emulsi
6. Stabilisasi kotoran yang terdispersi untuk mencegah redeposisi
.
2.1.7 Redeposisi Kotoran
Kebanyakan proses proses adalah proses ‘‘ batch ’’, maka akan selalu ada
kemungkinan bahwa penghilangan kotoran dari substrat akan menempel kembali ke
permukaan sebagai akibat dari kekurangan stabilitas koloid dalam kotoran yang
terdispersi. Salah satu peran utama ZAP pada antarmuka yang padat adalah memberikan
tingkat stabilitas koloid untuk partikel yang terbagi menjadi partikel halus dalam larutan
pencuci. Adsorpsi ZAP ionik pada antarmuka tanah-air dan substrat-air menghasilkan
lapisan listrik ganda yang menghambat terjadinya redeposisi. ZAP nonionik berfungsi
untuk menjadi penghalang sterik dalam kebanyakan sistem berair.

2.1.8 Elemen dalam Proses Deterjensi


A. Substrat
Substrat dalam proses deterjensi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
 Permukaan yang keras (hard surface) seperti gelas, logam dan lainnya
 Permukaan yang halus (soft surface) seperti kain, serat
B. Kotoran (material yang akan dihilangkan dari substrat)
Kotoran disini terbagi menjadi dua jenis yaitu, yaitu :
 Kotoran cair seperti minyak atau lemak
 Kotoran padat seperti karbon, debu dan sebagainya
C. Larutan pencuci
Penambahan ZAP dalam proses deterjensi akan menyebabkan terjadinya proses :
 Adsorpsi dimana ZAP akan mendekati permukaan , baik permukaan kain atau
kotoran. Kotoran akan terbasahi sehingga terjadi proses pembasahan yang dapat
menurunkan tegangan permukaan.
 Emulsifikasi kotoran oleh larutan deterjen (pembentukan ikatan kompleks antara
ZAP dan kotoran)
 Pencucian dan Pelepasan kotoran dengan cara mendispersikan kotoran dan
mengemulsikan kotoran di permukaan (desorpsi antara kotoran dan ZAP). Dengan
adanya ZAP, menyebabkan terjadinya tegangan antar muka antara permukaan
larutan dan kotoran menurun sementara tegangan antar muka antara kotoran dan
permukaan serat meningkat sehingga terjadi perpindahan kotoran dalam larutan
 Adanya Gerakan fisika secara mekanik akan memudahkan terlepasnya kotoran
 Menjaga kotoran untuk stabil pada fasa larutan sehingga mencegah terjadinya
redeposisi

2.1.9 Faktor yang berpengaruh dalam proses deterjensi :

A. Kualitas air
Air berfungsi sebagai media pelarut dalam proses basah tekstil, sehingga kandungan
yang terdapat dalam air harus dikontrol. Kandungan yang terdapat dalam air dapat
mempengaruhi keberhasilan proses pencucian, misalnya :
- garam sadah (Ca dan Mg)
- logam- logam a/l besi, tembaga atau mangan
- kekeruhan (lumpur)
- warna
B. Substrat (bahan) dan permukaan substrat yang akan dicuci
Substrat adalah benda padat yang akan dicuci (bahan tekstil atau lainnya).
Permukaan substrat berupa permukaan tanpa batas, halus dan rata seperti kaca,
permukaan campuran seperti tekstil. Permukaan campuran akan lebih sulit
dibersihkan karena kotoran terikat secara mekanik dengan serat dengan benang dan
diantara benang dan serat. Sifat bahan tekstil ada yang berisfat hidrofob maupun
hidrofil sehingga akan mempengaruhi tingkat pelepasan kotoran.
C. Jenis dan Tingkat kekotoran bahan
Kotoran dimaksud adalah dapat berupa fasa padat atau cair atau campuran ke
duanya atau dapat lebih dari dua fasa.
Jenis pengotor yang banyak ditemukan yaitu berupa :
- material yang larut dalam air ( garam anorganik, gula , keringat dll)
- pigmen (oksida logam, karbonat, humus, karbon hitam dll)
- Lemak ( lemak hewan dan nabati, lemak mineral, lilin dll)
- protein (darah, telur, susu, residu kulit)
- karbohidrat ( kanji dll)
- buah, sayuran, kopi, teh yang perlu zat pemutih
D. Jenis ikatan kotoran dengan substrat
 Gaya mekanik
Berlaku pada substrat lunak dan berpori, diameter partikel (r) dari partikel rendah,
maka ikatan yang terbentuk akan makin kuat.Kotoran dapat menembus ruang
kapiler dalam benang dan kain yang mempunyai anyaman dengan permukaan
kasar lebih banyak dari pada kain yang rata dan halus. Apabila diameter dari
partikel <100 nm, maka kotoran tersebut akan sulit dibersihkan.
 Gaya elektrostatik sangat bergantung kepada sifat permukaan substrat
Bahan selulosa atau protein biasanya mempunyai muatan negatif, beberapa
kotoran seperti oksida logam, karbon hitam bermuatan positif, sehingga akan
terikat dengan kain karena gaya tarik muatan. Adanya kation polivalen spt
Ca2+,Mg2+,Fe3+,Al 3+
. Gaya Elektrostatik akan lebih kuat dibandingkan dengan
ikatan mekanis.
 Ikatan Kimia – Kotoran polar, protein, lemak, oksida, dan lainnya
Ikatan hidrogen atau elektrovalen. Tanah liat dan kotoran yang polar dapat
menyerap ion OH- atau H+ dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus OH-
dari selulosa. Asam lemak dan protein mempunyai atom hidrogen yang dapat
membentuk ikatan hydrogen.
 Ikatan Van Der Waals, interaksi antara senyawa polar dengan polar, polar dan non
polar atau non polar dengan non polar
E. Jenis dan konsentrasi pencuci (deterjen)
Deterjen : zat yang digunakan untuk menghilangkan kotoran banyak jenis deterjen
tergantung dari jenis kotoran dan permukaan
Tiga sifat penting dari deterjen :
1. Harus mampu membasahi permukaan
2. Harus mampu mengeluarkan kotoran dari permukaan
3. Harus mampu mensolubilisasi kotoran dalam larutan

2.10 Hubungan struktur kimia ZAP terhadap daya deterjensinya


Untuk kotoran minyak, dimana solubilisasi merupakan meknisme utamanya dari
pemisahan kotoran, ZAP dengan HLB yang sesuai untuk emulsifikasi akan memiliki
keuntungan untuk jenis minyak yang ada.ZAP non ionik akan bekerja baik dalam proses
penghilangan dan mencegah redeposisi dari kotoran minyak pada konsentrasi rendah
dibanding surfakatan anionik.alasan itulah mengapa CMC tercapai pada konsentrasi
rendah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, orientasi dari molekul ZAP teradsorpsi
pada antara muka padat-cairan akan menenetukan hasil fisik dari adsorpsi. Dalam
deterjensi sufaktan harus terorientasi dengan kelompok hidrofilik menghadap ke larutan
atau mekanime untuk penghilangan kotoran dan redeposisi tidak akan berjalan. Untuk
alasan itu, aktivitas deterjen dari ZAPakan bergantung pada kepolaran atau sifat ionik dari
kain. Baik sufaktan anionic maupun nonionic akan memberikan sifat deterjensi yang baik
pada permukaan non polar speerti polyester dan nylon. Pada serat selulosa dan kapas
dimana lebih hidrofilik ZAP anionic akan bekerja lebih baik dibandingkan dengan non
ionik. Itulah mengapa bahwa sifat hidrofilik yang besar akan mengadakan ikatan hydrogen
dengan unit POE dari ZAP dan menekan orientasi untuk bagian hidrofobik ke larutan atau
menyebabkan molekul ZAPuntuk berada sepanjang permukaan kain dan oleh karena itu
menguangi kelebihan adsorpsi.orientai seprti itu akan meningkatkan atau setidaknya tidak
cukup menurunkan energy permukaan pada kotoran-air dan permukaan substrat-air dan
oleh karena menahan penghilangan kotoran. Material kationik tidak berguna disbanding
semua dterjen, namun ketika substrat bersifat kationik akan merubah orientasi molekul
dan formasi permukaan hidrofob.
Kelebihan dan orientasi adsropsi dari molekul ZAP pada kain adalah tahaapan
penting dalam proses deterjensi. Banyak percepatan dalam struktur molkl yang
mempengaruhi sifat adsorsi seperti ituyang akan mempengaruhi kekuatan deterjensinya.
Peningkatan panjag dari ekor hidokarbon akan menghasilkan peningkatan dalam efisiensi
dengan dimana materialnya teradsorpsi pada antarmuka padat-larutan. Sama juga
modifikasi seperti cabang dan lokasi internal dari gugus hidrofilik akan mengurangi
kemampuan itu. Aktivitas deterjensi maksimum untuk panjang rantai karbon dan gugus
hidrofil akan tercapai dengan rantai normal dan posisi pusat grup hidrofil. Efisiensi
deterjensi meningkat ketika panjang rantai karbon meningkat dan ketika grup hidrofil
pindah dari internal menuju terminal. Masalahnya adalah, bahwa rantai terlalu panjang
pun karena akan mengurangi kelarutannya. Walaupun , gugus hidrofob dengan grup
hidrofil terpusat menghasilkan deterjensi optimal pada kondisis ideal, kehadiran elektrolit
dan kation polivalenbisa mengurangi kelarutan banyak material sehingga penmabhan
aktivitasnya tidk akan cukup. Dalam situasi seperti itu, akan ditemukan bahwa analog
dengan gugus hidrofil terlokasi internal sepanjang rantai akan menjadi dterjen yang lebih
baik.
Kelompok hidrofil dari ZAP sangat penting untuk beberpaa alasan, termasuk
control orientasi adsorpsi ZAP ketika permukaan bermuatan terlibat dan mengontrol
sensitivitas material terhadap pH, elektrolit dan ion polivalen. Dalam kasus POE,
penambahan panjang rantai POE menghasilkan penurunan efisiensi adsorpsi pada
substrta dan pengurnagan kekuatan dterejensi. Ketika rantai POE dimasukkan diantara
ekor hidrofobik dan anionic grup, seperti POE sulfonat, material akan menjadi deterjent
yang baik
Jumlah kecenderungan yang terkait karakteristik ZAP terhadap daya deterjensi telah
ditentukan, sehingga dapat disimpulkan :
1. Pengaruh kotoran dan substrat
Bagian kepala hidrofilik yang berorientasi pada larutan atau substrat
Kotoran berminyak
 pada serat hidrofobik, bagian kepala hidrofilik akan beorientasi pada substrat
(poliester, nilon) -- POE
 pada serat hidrofilik, bagian kepala hidrofilik akan beorientasi pada seratnya
(kapas, wol) yang bermuatan negatif pada pH netral atau basa
 kemampuan ZAP anionik lebih baik dibandingkan dengan non ionik karena
terbentuk ikatan hidrogen sebagian
ZAP anionik > Non ionik > kationik
Kotoran Partikulat
 Kemampuan ZAP anionik lebih baik dibandingkan dengan non ionik dan kationik.
2. Pengaruh kelompok hidrofobik dari ZAP dengan tingkat dan orientasi adsorpsi
(efisiensi adsorpsi) yang akan mempengaruhi kelarutan dalam larutan
 R, aktivitas permukaan; R, kelarutan
 Rantai lurus akan lebih baik dibandingkan dengan rantai bercabang
3. Pengaruh gugus hidrofilik dari ZAP,
 Anionik
 Non ionik
 Amfoter
4. Untuk ZAP non ionik deterjensi optimal dicapai ketika titik clouding point ZAP berada
tepat di atas sushu proses kerja.
5. Untuk ZAP nonionik POE, peningkatan dalam panjang rantai POE (ketika kelarutan
yang cukup telah tercapai) sering menimbulkan penurunan daya deterjensi.
6. Pemasukan unit POE 3 – 6 unit antara ekor hidrofobik dan kelompok hidrofilik
menghasilkan sifat deterjensi yang lebih baik.

2.11 Komponen Deterjen


Kandungan deterjen pada umumnya terdiri dari :
1. ZAP ; komponen utama dalam deterjen harus dapat larut dalam air dan dapat
meningkatkan kemampuan pembersihan dari kotoran. Jenis ZAPnya dapat anionik,
nonionik, atau amfoter. Makin panjang rantai molekul, maka daya absorpsi dan
mencuci lebih baik. Struktur linier (tidak bercabang) mempunyai daya cuci yang baik
tetapi daya membasahinya jelek
2. Builders, bisa mencapai 70 – 80 % dari deterjen, untuk meningkatkan efek
deterjensi dari ZAP dan deterjen. Posfat adalah builder yang banyak dipakai untuk
menaikkkan pH larutan. Ini akan membantu mencapai alkali tinggi sehingga performa
deterjensi akan meningkat. Jenis builder yang digunakan dalam proses tergantung
pada sifatnya, yaitu:
1. Mengikat logam
2. Pengendapan (membentuk material yang tidak larut)
3. Pertukaran ion
Berfungsi untuk mengeliminasi ion kalsium dan magnesium yang terdapat dalam air,
mengurangi redeposisi kotoran dari larutan ke serat, meningkatkan efisiensi dan
efektivitas ari ZAP sebagai deterjen dan meningkatkan daya penghilangan kotoran

Gambar 6.5 Builder berbahan dasar Posfat


Zat tambahan lainnya
(1) Zat pengelantang – peroksida, natrium perborat, natrium perkarbonat, dan lainnya
(2) Fluorescent bleaching agent – dengan kemampuan adsorpsi pada 300-400nm
dengan penyinaran ultraviolet, dan penyinaran 400-500nm untuk sinar tampak
(3) Enzim – protease, amylase, lipase , cellulase
(4) Finishing agents – zat antistatic, zat anti-bakteri, softener
(5) Buffer alkali – untuk menjaga agar pH larutan pencucian sedikit alkalis

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa mengetahui proses deterjensi, mulai dari definisi, mekanisme, factor
yang akan mempengaruhi kerja deterjensi sampai dengan komponen yang terdapat
dalam suatu bahan deterjen. Deterjensi meupaka salah satu bentuk dari aplikasi ZAP
dalam proses tekstil, sehingga mahasiwa dituntut untuk memahmi segala aspek yang
terkait dengan peristiwa deterjensi.

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu merencanakan penggunaan proses deterjensi sebagai bagian
dari proses tekstil. Untuk mencapai tujuan itu, mahasiswa harus memahami prinsip kerja
dari deterjen yang digunakan serta faktor yang akan mepengaruhi keberhasilan proses
deterjensi.

C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan proses deterjensi dengan tepat sesuai
dengan tujuan proses yang akan dilakukan.

III. LATIHAN DAN TUGAS


A. Pilihlah jawaban yang paling tepat dari beberapa pilihan jawaban berikut !
1. Hal yang dapat mempengaruhi proses deterjensi adalah sebagai berikut, kecuali
a. Kualitas air c. Jenis kotoran
b. Jenis gugus hidrokarbon d. Jenis ikatan
2. Jenis ZAP yang memebrikan performa deterjensi paling baik adalah ZAP jenis
a. Anionik c. Non ionik
b.Kationik d. Amfoter
3. Aplikasi proses deterjensi yang paling sesuai untuk proses tekstil adalah proses
a. Desizing c. Rinsing
b. Bleaching d. Scouring
4. Korelasi antara gugusan hidrofob, yang paling baik kinerja deterjensinya adalah
a. Jumlah rantai hidrokarbon yang panjang c. Jumlah rantai hidrokarbon yang
panjang b. Jumlah gugus anionik yang banyak d. Jumlah gugus anionik
yang sedikit
5. Komponen yang paling cocok dn banyak digunakan dalam pembuatan deterjen adalah
a. Kalsium c. Ester
b. Posfat d. Magnesium
6. Tahapan proses deterjensi meliputi, kecuali
a. Emulsifikasi c. Roll up
b. Solubilisasi d. Esterifikasi
7. Untuk menjaga kestabilan pH selama proses deterjensi, dalam komponennya dapat
ditambahkan
a. Elektrolit c. Builder
b. Buffer alkali d. Zeolit
8. Komponen dari deterjen yang berfungsi untuk mengikat logam penyebab sadah adalah
a. Builder c. ZAP
b. Filler d. Softener
7. Tahapan pertama pada proses dterjensi adalah
a. Adsorpsi c. Emulsifikasi
b. Redeposisi d. Solubilisasi
8. Mekanisme yang terjadi pada kotoran yang bersifat minyak adalah
a. Emulsifikasi c. Solubilisasi
b. Roll up d. Tranferasi

B. Jawablah soal berikut dengan jelas dan singkat!


1. Jelaskan mekanisme terjadinya proses deterjensi!
2. Sebutkan dan jelaskan faktor yang akan mempengaruhi proses deterjensi !
3. Sebutkan komponen yang biasanya terdapat pada suatu deterjen!

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
2. Showell, S.Michael, Handbook of Detergent,Surfactant Sceince Series Volume 128,
2006, Taylor & Francis Group, LLC
3. Chapter 9. Detergency
of Surfactants 2006.6.6.
MATERI 7: APLIKASI ZAT PEMBANTU TEKSTIL (ZPT) DALAM PROSES TEKSTIL
PERTEMUAN KE : 13

I. PENDAHULUAN
Konsumen dari mulai benang sampai garmen, banyak proses tekstil yang
membutuhkan proses khusus tergantung dari permintaan konsumean atas sifat estetis
dan fungsional dari suatu produk tekstil. kecuali untuk pemintalan dan pertenunan,
banyak proses tekstil melibatkan pengolahan serat/benang/kain/garmen dalam larutan
dan ZPT memegang peranan penitng dalam prkatik basah tekstil. Dalam proses basah
tekstil selain zat utama proses, diperlukan zat pembantu lainnya agar hasil proses
memiliki kualitas seperti yang diinginkan. Zat pembantu dalam proses ini dapat menjadi
kunci yang sangat penting keberhasilan suatu proses. Zat pembantu bisa bersifat
senyawa organik maupun anorganik. Zat pembantu dalam proses basah bersifat
supporting namun memegang peranan yang sangat penting bagi keberhasilan suatu
proses. Penggunaan Zat Pembantu Tekstil bisa berupa senyawa kimia ataupun berupa
enzim. Penggunaannya pun sangat luas dari mulai proses pre treatment sampai dengan
proses pewarnaan (pencelupan, pencapan) dan penyempurnaan.
Beberapa fungsi dari zat pembantu diantaranya adalah:
(a) Untuk mempersiapkan atau meningkatkan substrat dalam kesiapannya untuk
pewarnaan oleh proses
- Scouring, Bleaching dan Desizing
- Pembasahan
- Meningkatkan efek putih dengan efek cerah fluorescent
(b) Untuk memodifikasi karakteristik penyerapan zat warna dengan
- Percepatan
- Pelambatan
- Menciptakan efek memblokir atau menolak
- Menyediakan gugus untuk penyerapan
- Memperbaiki atau menahan migrasi zat warna
(c) Untuk menstabilkan media aplikasi dengan
- Meningkatkan kelarutan pewarna
- Menstabilkan suatu dispersi atau solusi
- Mengental pasta cetak atau minuman keras
- Menghambat atau mempromosikan berbusa
- Membentuk emulsi
- Memulung atau meminimalkan efek kotoran
- Mencegah atau meningkatkan oksidasi atau reduksi
(D) Untuk melindungi atau memodifikasi substrat oleh
- Menciptakan atau melawan pencelupan
- Melumasi substrat
- Melindungi terhadap efek suhu dan kondisi pengolahan lainnya
(e) Untuk meningkatkan kecepatan pewarnaan, seperti dalam
- Aftertreatment pewarna langsung atau reaktif
- Aftertreatment pewarna asam pada nilon
- Chroming pewarna mordan pada wol atau nilon
- Memberikan perlindungan terhadap pengaruh atmosfer, seperti pada absorber atau
inhibitor UV asap gas-fading
- Pembersihan kembali atau pengurangan pembersihan
(F) Untuk meningkatkan sifat deterjensi dalam proses pencucian .
Beberapa zat pembantu memiliki fungsi lebih dari satu fungsi di atas. Misalnya, pembantu
ke meningkatkan kelarutan pewarna juga dapat mempercepat (atau memperlambat)
proses pewarnaan, atau pengemulsi agen juga dapat bertindak sebagai agen pengental;
zat kontrol pH dapat menstabilkan sistem dan juga mempengaruhi laju serapan pewarna.
Dengan demikian jangkauan zat pembantu yang tersedia memang sangat besar,
mencakup banyak penggunaan untuk semua tahap pemrosesan tekstil. Namun, faktor
yang dianggap sangat penting mengenai penggunaan pembantu dalam beberapa tahun
terakhir adalah efeknya terhadap lingkungan. ZAP merupakan jenis dari ZPT yang
banyak digunakan dalam proses. Konsumsi ZAP global dalam industri tekstil sekitar $2
milyar untuk sekitar 25% dari total pasaran zat kimia tekstil tidak termasuk zat warna
tekstil. Pasaran ZAP relatif lebih tinggi pada negara berkembang, karena industri disana
sangat kuat pada proses persiapan tekstil dan pencelupan yang biasanya menggunakan
ZAP sebagai zat pembantu proses, sebaliknya negara maju seperti USA dan Eropa
memiliki pasaran ZAP lebih rendah karena lebih fokus pada bisnis tekstil finishing dan
coating yang tidak membutuhkan banyak ZAP. ZAP, secara umum, secara substansial
bersifat organik dan secara struktural lebih kompleks dari kebanyakan non-ZAP. ZAP
adalah zat yang bersifat larut atau terdispersi dalam cairan, yang dapat mengurangi
tegangan permukaan cairan. Hampir semua proses tekstil menggunakan air sebagai
media proses. Untuk melakukan proses ini, substrat tekstil harus benar-benar basah. ZAP
diperlukan untuk menurunkan tegangan permukaan larutan proses untuk aplikasi yang
seragam. Seberapa cepat dan homogen larutan akan membasahi substrat tekstil sering
mempengaruhi kinerja pemrosesan. Fenomena penggunaan ZAP di hampir semua
proses tekstil menjadi suatu hal yang penting untuk membantu meningkatkan
pembasahan, sering disebut sebagai zat pembasah. Dalam pembuatan serat serat
sintetis / regenerasi dan pemintalan benang kapas, wol, dan campurannya, ZAP sering
disemprotkan pada serat dan permukaan benang untuk mengurangi serat-serat dan
gesekan serat-logam, yang disebut sebagai pelumas benang. Dalam proses pewarnaan
pengurangan ini dalam tegangan permukaan biasanya terjadi pada cairan / cair atau
antarmuka cair / padat, meskipun antarmuka cair / gas juga kadang-kadang penting. Di
Secara umum, penurunan tegangan permukaan yang dapat dilakukan oleh yang relatif
kecil jumlah ZAP. Efek fisik dalam larutan ini dikaitkan dengan molekul potensi orientasi
dari bagian hidrofilik yang relatif kecil (hidrofil) yang memiliki kuat gaya-gaya polar,
disandingkan dengan bagian hidrofobik yang relatif besar (biasanya linier) (hidrofob)
memiliki gaya elektrostatik yang relatif lemah. Dalam larutan atau dispersi hidrofil polar
cenderung berorientasi ke dalam fase larutan, sementara hidrofobik, secara alami
mengalami gaya tolakan oleh fase larutan, sehingga akan berorientasi pada (atau pada)
batas antarmuka, yang mungkin antara larutan dan udara atau antara larutan dan substrat
( bahan tekstil).
Dalam proses desizing dan scouring serat tekstil alam dan campuran mereka,
ZAP sering digunakan sebagai deterjen dan pengemulsi untuk membantu menghilangkan
kotoran yang berasal dari serat alami atau ditambahkan dalam proses awal seperti
pemintalan dan pertenunan. Dalam pencelupan tekstil, ZAP secara luas digunakan
sebagai pendispersi dan zat levelling untuk membantu keseragaman pencelupan dan
penetrasi zat warna yang lebih baik. Fiksasi zat warna juga sering menggunakan ZAP
meskipun dalam penggunaannya tidak seperti zat pembantu lainnya. Pada proses
penyempurnaan, ZAP sering digunakan sebagai pelembut kain untuk memperbaiki
pegangan kain atau digunakan sebagai zat antistatik untuk mengontrol listrik statis yang
muncul di permukaan serat tekstil, khususnya serat sintetis karena memiliki kelembaban
yang rendah. ZAP juga berguna untuk mengontrol pembentukan busa selama proses
tekstil dikenal dengan istilah zat antifoaming (defoaming), khususnya untuk pencelupan
dan proses lainnya dengan padding berkecepatan tinggi.
Penggunaan ZPT, termasuk ZAP akan sangat bergantung kepada jenis dan sifat
serat, proses yang berlangsung, metode proses, zat warna atau auxiliaries yang
digunakan dalam proses tersebut.

II. MATERI
2.1 Klasifikasi Serat
Karakteristik serat adalah salah satu faktor penting untuk menetukan pemilihan
jenis ZAP dalam proses basah tekstil. Perbedaan serat akan menentukan jenis ZAP yang
akan digunakan misalnya untuk pembasahan, deterjensi dan fungsi lainnya. Serat alam
akan membutuhkan zat kimia yang bersifat sangat kuat untuk menghilangkan kandungan
alaminya. Sebagai contoh kapas yang mempunyai lebih dari 10% komponen non
selulosa yang dibutuhkan untuk dihilangkan dalam proses basah. Serat protein alam
seperti wol dan sutera banyak sekali pengotornya dibanding dengan kapas, sedangkan
serat sintetis seperti poliester lebih bersih dibanding dengan serat alam sehingga jumlah
pengotornya dalam jumlah yang sangat kecil. Berikut ini klasifikasi serat berdasarkan
sumbernya .

Gambar 7.1 Klasifikasi Serat yang Banyak Digunakan di Industri Tekstil

2.2 Proses Tekstil


Sebelum memulai proses pencelupan/pencapan dan penyempurnaan, serat
mentah harus disiapkan untuk memastikan pembasahan yang sempurna, kemampuan
penyerapan larutan yang baik dan keseragaman penyerapan zat warna dan zat
penyempurnaan. Persiapan meliputi desizing untuk menghilangkan kanji dari kain tenun,
scouring untuk menghilangkan kandungan alamiah dan proses penambahan pengotor
dan bleaching untuk memecahkan warna kekuningan pada serat tekstil untuk
mendapatkan warna yang cerah dan tampilan setelah proses. Berikut ini beberapa
proses tekstil serta fungsi dari proses tersebut.
Tabel 7.1 Proses Basah Tekstil dan Fungsinya
Proses Fungsi
Desizing Untuk menghilangkan zat kanji yang ditambahkan pada saat
proses pertenunan
Scouring Untuk menghilangkan pengotor alami dari semua serat alam
ataupun sintetik untuk memperbaiki penyerapannya.
Bleaching Untuk mengoksidasi atau mereduksi pigmen alam untuk tampilan
kain yang lebih cerah
Merserisasi Untuk meningkatkan kemampuan penyerapan, kemampuan
penyerapan zat wrana dan kekuatan kain pada kain selulosa
Pencelupan Untuk memberikan warna pada bahan tekstil untuk tujuan estetis
Pencapan Untuk memberikan warna sesuai motif sesuai dengan tampilan
yang dikehendaki
Penyempurnaan Untuk meningkatkan nilai fungsi dari tekstil

2.3 APLIKASI ZAT PEMBANTU TEKSTIL (ZPT)


2.3.1 ELEKTROLIT DAN PENGENDALIAN pH
Auxiliaries paling sederhana dari semua adalah elektrolit seperti natrium klorida
dan natrium sulfat. Penggunaannya dalam jumlah besar untuk mewarnai bahan selulosa
dengan zat warna direk, reaktif dan wol dengan pewarna anionik. Efek utama dari
elektrolit pada pewarna jenis ini adalah untuk meningkatkan derajat agregasi anion zat
warna dalam larutan oleh efek ion umum. Tingkat agregasi sangat bervariasi tergantung
dari struktur zat warna. Elektrolit menekan ionisasi zat warna dalam larutan, sehingga
efektif mengurangi kelarutannya dalam larutan celup dan memodifikasi kesetimbangan
dari pergerakan zat warna anion dari larutan ke dalam serat. Tujuannya, tentu saja untuk
mendapatkan jumlah elektrolit yang culup untuk memberikan laju yang dibutuhkan dan
tingkat penyerapan dalam larutan. Penggunaan elektrolit yang terlalu sedikit elektrolit
tidak efektif sementara terlalu banyak dapat mengumpulkan zat warna sehingga dapat
menghambat difusi ke dalam serat. Akibatnya, memberikan kecenderungan untuk
mewarnai serat di bagian permukaan saja. Efek agregat elektrolit bervariasi, natrium
klorida memiliki efek yang lebih kuat daripada natrium sulfat, tetapi umumnya turun
dengan kenaikan suhu.
Efek ini, yang mungkin kita sebut efek 'penggaraman', adalah hasil dari interaksi
antara elektrolit dan zat warna. Namun, mungkin juga ada interaksi antara elektrolit dan
serat, sehingga menimbulkan aksi leveling positif saat anion elektrolit bersaing dengan zat
warna anion untuk tempat kationik dalam serat. ZAP ionik tentu saja bisa dianggap
sebagai elektrolit, meskipun dengan interaksi hidrofobik mereka cenderung membentuk
misel dalam larutan pekat dan karenanya dapat disebut sebagai elektrolit koloidal. Di
beberapa kasus, proses levelingnya adalah analog dengan elektrolit anorganik sederhana
- yaitu, bagian hidrofob ionik bersaing dengan ion zat warna dengan muatan yang sama
untuk memperebutkan tempat dari muatan yang berlawanan pada serat.
Elektrolit digunakan untuk meningkatkan penyerapan zat warna direk atau
reaktif pada serat selulosa, juga dapat digunakan dalam pencelupan menggunakan zat
warna bejana atau sulfur dalam bentuk leukonya. Dalam kasus dengan zat warna anionik
pada wol atau nilon, fungsi elektrolit berbeda ketika digunakan ebagai zat levelling
dibandingkan dengan meningkatkan penyerapan. Dalam kasus ini, penambahan elektrolit
menurunkan penyerapan zat warna karena kompetisi penyerpaan dari anion inorganik
oleh serat dan penurunan dalam inetraksi ionik antara zat warna dan serat.
Sebagian besar proses pencelupan membutuhkan kontrol atas perlakuan pH,
yang bervariasi dari sangat basa dalam kasus zat warna bejana, belerang atau reaktif,
hingga asam kuat untuk meratakan zat warna asam. Kontrol pH dalam proses
pewarnaan tekstil dijamin oleh tiga secara fundamental teknik yang berbeda:
(A) pemeliharaan tingkat keasaman atau alkalinitas yang relatif tinggi
(B) kontrol pH dalam toleransi yang cukup sempit terutama di wilayah hampir netral
(C) pergeseran bertahap dari pH sebagai hasil pencelupan.
Pendekatan (a) biasanya paling mudah dikontrol, dan digunakan dalam aplikasi asam
leveling dan pewarna kompleks logam 1: 1 untuk wol atau nilon, dan pewarna reaktif,
belerang atau bejana pada serat selulosa. Zat yang digunakan secara tradisional adalah
asam dan alkali yang lebih kuat seperti asam sulfat, klorida dan formiat, natrium karbonat
dan natrium hidroksida. Terutama fiksasi dalam uap (seperti dalam pencapan), uap-asam
volatil diganti dengan produk yang tidak mudah menguap seperti asam sitrat. Namun,
asam kuat dan alkali dapat bereaksi untuk menghasilkan perubahan pH yang cukup
drastis; ini dapat terjadi, untuk Misalnya, ketika alkali terbawa dari pemasakan wol ke
dalam celupan asam. Wol dan nilon menyerap asam dari larutan celup, sehingga
menyebabkan perubahan pada pH larutan celup, tetapi wol akan menyerap lebih banyak
asam daripada nilon [8] - sebuah faktor yang harus diingat ketika membandingkan hasil
pada dua serat ini, terutama pada sistem yang menggunakan ‘setengah-milling’ zat warna
asam yang agen pengendali umumnya asam asetat lemah; sistem semacam itu erupakan
kompromi antara pendekatan (a) dan (b) dan cukup sensitif terhadap perubahan pH.
Asam formiat, adalah asam yang lebih kuat dari pada asetat. Oleh karena itu, asam
asetat secara banyak dipilih untuk pengkondisian pH turun ke pH 4 dimana formiat
menjadi pilihan untuk level ini. Namun, asam format lebih disukai daripada asam asetat,
terutama pada ekonomi dan lingkungan [9]. Asam format memiliki BOD yang sangat
rendah, yang terurai menjadi karbon dioksida dan air. Bagaimanapun, menjadi asam yang
jauh lebih kuat, jumlah sedikit yang dibutuhkan untuk proses akan memberikan beban
pengolahan yang lebih rendah. Misalnya, untuk mendapatkan nilai pH 4,5, 4,0 dan 3,3,
yang jumlah asam format 85% yang dibutuhkan, masing-masing, sekitar 62%, 50% dan
12% dari asam asetat 80%. Keuntungan lain dari asam format adalah daya penetralan
yang lebih baikdibanding asam asetat dan tidak korosif disbanding asam mineral.
Langkah selanjutnya adalah bagaiamana untuk menjaga kondisi pH agar stabil.
Sebagian besar zat warna dengans erat membutuhkan pendekatan di atas di wilayah
hampir netral (pH 4-9) dan jauh lebih sensitif terhadap perubahan pH minor. Selain itu, pH
air dapat bervariasi, atau menguap selama pemanasan. Bahkan pH air murni berubah
pada pemanasan, dari 7,47 pada 0 ° C hingga 7,00 pada 24 ° C dan 6,13 pada 100 ° C,
tetapi proses air yang digunakan dalam area tekstil dapat berubah banyak lebih drastis,
paling sering menunjukkan peningkatan.
Sistem serat- zat warna yang menarik perhatian untuk pendekatan (b) adalah
asam milling dan kompleks logam 1: 2 pewarna pada wol atau nilon, zat warna basa pada
serat akrilik dan zat warna dispersi pada berbagai serat. Dimana kontrol tidak terlalu kritis,
elektrolit sederhana dari basa lemah dengan asam kuat (seperti amonium sulfat) atau
basa kuat dengan asam lemah (seperti natrium asetat) sering digunakan untuk
menghasilkan media sedikit asam atau sedikit basa. Amonium asetat juga umum
digunakan, menghasilkan efek kurang asam daripada amonium sulfat. Kadang-kadang
asam asetat dan natrium karbonat digunakan, membutuhkan kontrol yang hati-hati dan
pemantauan. Kontrol yang lebih tepat dicapai dengan menggunakan sistem buffering.
Dengan menggunakan pasangan elektrolit, sistem ini diatur pH awal dan gunakan
tindakan protektif yang cenderung menolak perubahan yang timbul kontaminan yang
masuk melalui substrat atau suplai air.
Sistem buffer biasnya digunakan dari kombinasi
1. Asam lemah dengan garam yang terbentuk dari basa kuat atau
2. Basa lemah dengan garam yang terbentuk dari asam kuat
Mekanisme sistem buffer bisa dijelaskan mengacu pada system asam asetat dan natrium
asetat. Dalam larutan natrium asetta akan terionisasi sempurna, kesetimbangan akan
bergesaer ke kanan. Karena asam asetat adalah asam lemah, hanya sedikit terionisasi,
dan kesetimbangan terletak terutama di sisi kiri. Tingkat ionisasi rendah bahkan lebih jauh
ditekan dengan adanya natrium asetat sebagai hasil dari ion umum (dalam hal ini asetat)
efek beroperasi melalui hukum massa. Asam asetat yang tidak terdisosiasi adalah, dalam
efek, ‘bank’ dari ion hidrogen dan asetat yang dapat dimainkan sebagai penetralisir ketika
asam atau basa memasuki sistem. Jika sejumlah kecil zat terlarut asam ditambahkan ke
campuran, maka ion hidrogen tambahan akan bergabung dengan ion asetat untuk
membentuk asam asetat tidak terdisosiasi, yang memiliki hanya efek rendah pada sistem
pH. Jika larutan alkali ditambahkan ke buffer, ion hidroksida yang ditambahkan bereaksi
dengan bank ion hidrogen untuk membentuk air yang tidak terdisosiasi dan
keseimbangan ion dan pH pada dasarnya tetap sama.

2.3.2 SEQUESTERING AGENTS


Kecenderungan sabun dan karboksilat lain untuk membentuk kompleks yang
tidak larut dengan ion pada trace metal kalsium dan magnesium dalam air sadah. Selain
menurunkan efisiensi ZAP anionik, pengendapan kompleks tak larut seperti pada substrat
tekstil dapat menyebabkan masalah dalam pemrosesan selanjutnya dan khususnya
dalam pewarnaan. Bahkan sejumlah kecil unsur logam-transisi atau alkali-tanah tertentu
dapat menyebabkan kesulitan pemrosesan. Pembentukan 'bintik-bintik besi', terutama
dalam pemutihan, kation-kation logam transisi multivalen mengkatalisis dekomposisi
hidrogen peroksida (meskipun ion kalsium dan magnesium divalen memiliki efek
stabilisasi) dan penodaan serta terjadi pelembutan serat. Pada proses pewarnaan, ion
trace metal dapat bereaksi dengan zat warna tertentu, sehingga menimbulkan
pengendapan, perubahan warna, pencelupan yang tidak merata dan mengurangi sifat
ketahanannya.
Pengolahan air adalah sumber yang paling jelas dari ion logam tersebut, tetapi
sumber potensial lainnya tidak boleh diabaikan. Sebagai contoh, ion trace metal dapat
dihasilkan dari permukaan dan alat berbahan logam. Substrat juga memungkinkan sudah
mengandung logam seperti itu, seperti bisa juga bahan kimia atau pewarna apa pun yang
digunakan. Oleh karena itu masalah-masalah ini tidak selalu dapat dihindari dengan
mudah dengan memastikan pasokan air yang sesuai. Pengolahan air bahkan berpotensi
untuk menghadirkan keberadaan ion alumunium yang pada awalnya tidak ada. Masalah
seperti itu dapat dipecahkan menggunakan bahan kimia yang bereaksi istimewa dengan
ion logam, secara efektif mencegah mereka mengganggu reaksi atau proses inti. Bahan
kimia seperti itu secara tepat dikenal sebagai sequestering agent.
Sequestering agents bekerja dengan mekanisme formasi yang kompleks, sering
dalam bentuk chelation. Chelating agent mengandung substituen yang sesuai untuk
membentuk satu atau lebih cincin chelate oleh donor elektron ke ion logam (bagian 5.2),
menghasilkan senyawa sisa yang larut dan tidak berbahaya dalam kondisi pemrosesan.
Atom donor yang paling utama adalah nitrogen, seperti yang ditemukan pada amina atau
amina tersubstitusi, dan oksigen dalam bentuk gugus hidroksi karboksil, fosfat atau
kelompok hidroksi yang terionisasi. Seperti dalam pembentukan zat warna-logam
chelates (seperti zat warna krom dan kompleks-logam), setidaknya dua elektron
mendonorkan atom dalam struktur sequestering agent harus diatur sehingga cincin stabil
yang dapat terbentuk dengan ion logam. Stabilitas tertinggi diperolah dari 5 – 6 cincin.
Beberapa zat kimia menunjukkan kemampuan sequestering, terbagi menjadi 3
kelompokmutama yaitu :
– aminopolycarboxylates
– phosphates, biasanya inorganik
– hydroxycarboxylates.
Namun seiring dengan kesadaran terhadap lingkungan yang semakin tinggi,
menghasilkan pertimbangan dalam pemilihan zat kimia tertentu. Skema klasifikasi yang
diadopsi adalah sebagai berikut ;
– aminopolycarboxylates dan analognya seperti hydroxyaminocarboxylates
– phosphates and phosphonates
– hydroxycarboxylates
– polyacrylic acids dan turunannya.
Berikut ini adalah contoh dari sequestering agent yang ramah terhadap lingkungan,
merupakan turunan dari kelompok aminopolycarboxylates and analognya, yaitu :
– ethylenediaminetetra-acetic acid EDTA
– diethylenetriaminepenta-acetic acid DTPA
– nitrilotriacetic acid NTA
Gambar 7.2 EDTA

2.3.3 ENZIM
Enzim merupakan katalisator yang mampu meningkatkan kecepatan reaksi
kimia spesifik tanpa ikut bereaksi. Enzim merupakan molkeul protein yang amat spesifik,
dibentuk oleh sel dari unit sederhana asam amino.enzim mampu mengkatalisa dalam
waktu beberapa detik urutan reaksi kompleks yanag aka membutuhkan waktu beberapa
hari, minggu atau bulan jika dikerjakan dalam laboratorium kimia. Reaksi yang dikatalisa
enzim akan berjalan semurna tanpa produk samping, dengan produk 100%. Enzim
bergabung dengan molekul substrat untk membentuk suatu komples enzim substrat.
Pertama tama Enzim bergabung dnegan substratnya dalam reaksi dapat balik,
emmebetuk kompleks Enzim-Subtrat. Reaksi ini berlangsung dengan cepat
E + S ↔ ES
Kompleks ES akan teurai dalam reaksi balik kedua, yang lebih lambat, menghasilkan
produk reaksi dna enzim bebas
ES ↔ P + E
Enzim memilki berat molekul berkisar dari 12000 sampai lebih dari 1 juta. oeh karena
itum, enzim berukuran amat besar dibandingkan dengan substrata tau gugus fungsional
targetnya. Setiap enzim dapat mengkatalisasi jumlah perubahan kimia yang tidak terbatas
tanpa dirinya terdegradasi oleh reaksi, meskipun sebagian besar enzim kehilangan
aktivitasnya secara bertahap di bawah kondisi yang tidak stabil.
Enzim awalnya hanya digunakan dalam proses scouring dan desizing, namun enzim
sekarang ini banyak digunakan untuk memodifikasi permukaan dalam proses
penyempurnaan juga untuk pengolahan limbah. Enzim dapat menunjukkan aktivitas yang
kuat pada kondisi tertentu. Hanya situs aktif yang relevan dari enzim yang bersentuhan
dengannya substrat dan terlibat langsung dalam reaksi yang dikatalisis. Sebagian besar
enzim sangat spesifik, hanya mengkatalisis satu reaksi spesifik.

II.3.3.1 Aplikasi Enzim dalam Proses Tekstil


Enzim biasanya selalu dikaitkan dengan proses desizing, namun bebrapa tahun
belakangan ini dikembangkan dalam proses merserisasi dan scouring pada serat
selulosa. Merserisasi konvensional tidak memungkinkan untuk dilakukan proses
menggunakan enzim, jadi tidak lah heran bila penggunaannnya sangat sedikit sekali.
Penggunaan alkali yang tinggi dan tranformas dari strukturi selulosa yang menyebabkan
enzim tidak direkomendsikan untuk proses ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hidrolisis enzimatik diakses pada selulosa yang telah dimerserisasi tanpa tegangan.
Proses yang memungkinkan adalah dalam proses scouring, walaupun kondisinya
masih diragukan terkait dengan akalinitas dan suhu proses. Beragam jenis enzim seperti
selulase, pectinase, lipase dan protease telah diperbandingkan menunjukkan bahwa
selulase memberikan hasil terbaik untuk penghilangan zat pengotor seiring dengan
bertambah putihnya kain, berkurangnya berat kain dan air buangan yang lebih ramah
lingkungan. Penggunaan enzim pectinase untuk penghilangan pectin optimum pada suhu
40 C dan pH 4.5, menghasilkan derajat putih yang tinggi dibandingkan dengan
pencucian alkali pada suhu mendidih dengan tingkat degradasi selulosa yang sama.
Enzim selulase bias membantu proses scouring pada serat rayon viskosa,
penggunaan alkali bias dikurangi hanya dnegan 5 – 10 g/L dimana pada proses
konvensional membutuhkan konsnetrasi alkali 36–60 g/l dan menghailkan
penggelembungan yang seragam dan konsisten dibandingkan dengan yang hanya
menggunakan alkali saja.
Desizing
Desizing enzimatik pada kain selulosa adalah proses yang standar. enzim
amilasedigunakan untuk merubah berbagai jenis kanji menjadi material yang larut dalam
air tanpa mempengaruhi terhadap serat selulosa. Proses biasanya berlangsung pada 20–
70 0C, 70–90 0C atau 85–115 0C. Penelitian lain menunjukkan penggunaan enzim lipase
yang bersifat termostabel dengan amylase pada proses desizing bias memberikan
beberpa manfaat. Kapas yang dikanji menggunakan PVA umumnya diproses desizing
dalam air sekitar 80 0C. Namun, campuran dari dua enzim pendegradasi PVA
memberikan hasil yang sama hanya pada suhu 30–55 0C dan pH 8.0, dengan
waktu proses yang lebih lama yaitu 4–6 jam memberikan hasil residu PVA yang
sedikit. Secara lingkungan juga menguntungkan, karena limbah PVA setelah
desizing untuk 4 jam dapat diabaikan.
Penggunaan enzim oksireduktase dibanding dengan amylase , ketika bias
mendegradasi lignin dan efektif pada range pH dan suhu yang lebih luas.
Pengelantangan serat selulosa
Kemungkinan reaksi katalisis dari hidrogen peroksida dapat berpotenis untuk
mengakibatkan kerusakan serat. Setelah bleaching harus dipastikan bahwa tidak ada lagi
sisa perosida dalam kain yang bias mengganggu proses selanjutnya terutama
pewarnaan. Enzim katalas digunakan untuk enghilangkan sisa peroksida bias digunakan
secara batch dan kontinyu memberikan penghilangan yang sempurna.
Pencelupan serat Selulosa
Reaksi enzim pada proses pewarnaan bias meningkatkan proses atau memebrikan
proses yang dapat dilakukan simultan. misalnya desizing/pencelupan atau
pencelupan/biofinishing. Dengan kehadiran teknik biofinishing, sangat penting untuk
mengetahui bagaimana pengolahn enzim berpengaruh sebelum proses pewarnaan.
Enzim pre treatment meningkatkan ketuaan warna tanpa emmpengaruhi sifat ketahanan
nya. namun, pretreatment pada serat selulosa dengan enzim selulase menurunkan
selanjutnya fiksasi dari zat warna reaktif homobifungsionla triazin namun tidak berlaku
untu fiksasi dari jenis zat warna reaktif yang lain.
Studi lainnya menyatakan peningkatan kecerahan pada kain yang dicelup dengan zat
warna reaktif triazine ketika sebeumnya diproses dengans elulase sebelum atau
sesudahnya. Enzim biofinishing pada kapas setelah pencelupan akan menjadi terhambat
oleh zat warna direk, reaktif tapi tidak untuk bejana.
Pencucian Denim
Proses stonewashing darikain denim kapas yang telah dcelup membeikan efek khusus
yang biasanya dilakukan menggunakan batu apung. Hal ini akan berakibat memakan
waktu, menyebabkan abrasi pada permukaan kain. Beberapa penelitian menerangkan
bahwa efek stone wash dapat diganti dengan menggunakan enzim. Enzim yang
diguanakan yaitu enzim selulase yang dapat menggantikan sebagian atau keseluruhan
dari stonewash. Enzim memberikan serangan permukaan yang dapat dikendalikan,
kemudian memebrikan efek ketidakrataaan yang diingikan. Keuntungannya lebih hemat
dan tidak ada abrasi pada eprmukaan kain. ENzim digunakan dalam kondisi netral atau
asam.

Biofinishing kain selulosa


Biofinishing, atau ‘biopolishing’ adalah sama dengan pencucian denim menggunakan
enzim selulase, walaupun efek yang diharapkan sedikit berbeda. Proses dimaksudkan
untuk menghilangkan dengan disolusi serat selulosa menggambarkan dari permukaan
kain. Proses ini akan menghasilkan kain dengan sifat :
– permukaan yang lembut
– lebih dingin
– meningkatkan ketahanan terhadap pilling
Efek yang diperoleh sangat bergantung kepada kualitas kain, tipe selulsae dan kondisi
proses, namun tidak ada proses mekanis yang digunakan untuk menghilangkan fibril.
Proses simultan dengan selulase dan protease sudah dilakukan untuk proses biopolishing
kain kapas/wol. selulase tipe asam bekerja pada pH 4.5–5.5 dan suhu 45–55 0C atau tipe
netral pada pH 6–8 dan suhu 50–60 0C.
Kain yang lebih berat dan enzim yang lebih sedikit membutuhkan waktu lebih lama,
biasanya hanay 30 – 60 menit. Untuk menginaktivasi enzim dalat dilakukan dengan
manaikkan pH proses menajadi pH 10 dan suhu 750C selama 10 – 15 menit. Proses
biasanya dikontrol dengan pengurangan berat 3 – 5 % biasanya berarti proses sduah
tepat tanpa penurunan kekuatan yang berlebihan.
Proses kain Wol
Agak sedikit sulit untuk mengontrol proses enzimatik pada kain wol. karena ada
bahaya besar dari ekrusakan serat dibandingkan dengan serat selulosa. Karena
selulosabersifat enzim kristalin tinggi terhadap permukaan serat dan terhadap bagian
amorf, sehingga meninggalkan kekuatan serat yang tidka berubah. sedangkan pada wol,
protease dan lipases mengkatalisis degradasi dari komponen yang berbeda daris erat.
protease berdifusi kedalam interior serat, menghidrolisa bagian endocuticle dan protein
dalam membrane sel yang kompleks. hal ini sanagt sulit untuk dikendalikan dan bias
mengarah pada kerusakan serat.
3 jenis enzim yang dapat digunakan untuk proses serat protein :
(1) Proteases, enzim ini akan membelah rantai polipeptida menjadi komponen asam
amino. Peptidase bias diklasifikasikan sebagai endopeptidases ( yang akan bereaksi
pada rantai utama grup amida sepanjang molekul polipeptida)
(2) Lipases, yang akan menghidrolisa fatty esters, terutama triglyceride esters dari asam
lemak.
(3) Lipoprotein lipases, yang akan bereaksi pada ikatan lipoproteic dari lipoproteins
(kombinasi dari protein dengan molekul fatty ester), kemudian merusak penghalang
hidrofobik yang dibentuk oleh komponen ini.
Yang paling banyak digunakan adalah jenis protease.
Bleaching Wol
Enzim protease menjadi lebih aktif dengan kenaikan konsnentarsi dari peroksida.
Enzi mini akan memutihkan serat wol dengan cepat dengan menghilangkan warn
akekuningan pada serat. Tergantung tingkat keputihan yang diinginkan, enzim in ibis
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan hidrogen peroksida. Protease bias jiga
digunakan dengan bleaching agent yang bersifat reduktor.
Karbonisasi Wol
Metode karbonisasi yang konvensional adalah dengan menggunakan asam sulfat
yang secar lingkungan merugikan dan dapat merusak serat. Selulase dan lignase yang
banyak digunakan, namun enzim jenis lain juga sedang dikembangkan :
(1) menghilangkan kotoran tumbuhan dengan hydrolases, lyases atau oxidoreductases.
(2) selulase atau pectinase digunakan untuk mengurangi jumlag asam sulfat.
(3) inkubasi dari wol dengan selulase membantu penghilangan dari duri tanpa
menimbulkan kerusakan serat.
(4) Aplikasi campuran cellulases, pectinases dan lignases, tanpa menimbulkan
kerusakan serat.
Pencelupan Wol
Wool yang diproses dengan protease pada 50 0C dan pH 7.5, kemudian dicelup dengan
CI Reactive Reds 28 dan 116, menunjukkan absorpsi ang tinggi tanpa efek pada
ketahanannya. Sebagai alternative, wol yang diproses dengan enzim bias dicelup pada
suhu yang rendah. Efek dari pretreatment dengan protease tipe netral pada pencelupan
zat warna asam akan meningkatkan ketuaan warna.
Biofinishing Wol
Enzim dapat digunakan untuk memodifikasi permukaan serat wol untuk emningkatkan
kilau, kehalusan juga kehangatan dari kain. Karena prosesnya melibatkan serangan pada
kutikula serat yang mirip dengan penyemprunaan tahan kusut dan metoda yang sama
digunakan::
1. Proses dengan potassium permanganate, ammonium sulphate, acetic acid dan
bisulphite; (ii) proses dengan enzyme proteolytic.
2. Descaling dengan aplikasi protease netral tahan panas utntuk mendapatkan efek
cashmere
3. Dikombinasi penggunaan dichloroisocyanurate dan enzim proteolytic
4. Penghilangan sempurna dari bagian yang rusak dari wol menggunakan (i) proses
protease (ii) pembilasan asam format dan penggunaan softener
5. (i) Proses dengan dichloroisocyanurate; (ii) netralisasi dengan papain (enzim
hidrolase sistein protease yang ada pada daun pepaya;(iii) steaming pada 100 0C.

2.4 PENGGUNAAN ZAT AKTIF PERMUKAAN (ZAP) DALAM PROSES TEKSTIL


Penggunaan pH dalam proses tekstil sangatlah luas pH bisa serendah mungkin
seperti pH 2 dalam beberapa pencelupan asam dan paling tinggi pada pH 13 pada proses
scouring dan merserisasi. pH memegang peranan penting dalam penentuan zat kimia
serta pemilihan ZAP.
Hampir seluruh proses basah tekstil memggunakan air sebagai medianya. Agar
proses berjalan dengan baik, bahan tekstil harus terbasahi sempurna. ZAP dibutuhkan
untuk mengurangi tegangan permukaan dari larutan proses untuk keseragaman
pemakaian. Menjadi hal yang sangat lumrah di hampir semua proses tekstil
menggunakan ZAP dalam prosesnya untuk meningkatkan kemampuan pembasahannya.
Pada industri pembuatan kain dari serat sintetis atau regenerasi dan pemintalan benang
kapas, wol dan campurannya ZAP sering disemprotkan pada pemukaaan serat atau
benang untuk mengurangi friksi antara serat-serat dan logam-serat yang bertindak
sebagai pelumas serat. Pada proses desizing dan scouring dari serat alam dan
campurannya, ZAP bertindak sebagai deterjen dan emulsifier untuk membantu
menghilangkan pengotor alamiah dari serat alam atau yang berasal dari proses spinning
atau weavingg. Pada proses pencelupan, ZAP banyak digunakan sebagai zat
pendispersi dan levelling untuk membantu keseragaman pencelupan dan penetrasi zat
warna yang lebih baik. Fiksasi zat warna dan carrier juga merupakan zat aktif permukaan
walaupun mereka tidak seprti zat pembantu pencelupan lainnya. Dalam proses finishing,
ZAP banyak digunakan sebagai softenner yang bertujuan untuk meningkatkan pegangan
kain dan digunakan sebagai zat anti statik untuk mengontrol listrik statis yang timbul pada
permukaan serat tekstil, terutama pada serat sintetis karena kelamahannya dalam
penyerapan. ZAP juga bermanfaat untuk mengontrol pembentukan sabun selama proses
tekstil seperti defoaming agent terutama pada proses pencelupan dan proses lainnya
dengan padding kecepatan tinggi.

2.4.1 ZAP PADA PROSES PERSIAPAN TEKSTIL


Serat selulosa alam mentah seperti kapas dan serat protein seperti wol dan sutera
mengandung pengotor yang harus dihilangkan untuk memastikan keseragaman
pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan juga untuk meningkatkan sifat lainnya
seperti pembasahan dan penyerapannya. Jenis dan jumlah dari pengotor ini akan
menentukan pemilihan ZAP dan formulasi deterjen untuk menghilangkannya.
 Pengotor pada kapas mentah
Rata rata kapas memiliki kandungan 5 – 7 % berat pengotor dalam bentuk wax,
protein, pektin, garam inorganik hemiselulosa, pigmen, dan lainnya . Zat hidrofobik alam
dari wax membuat penghilangannya sedikit sulit. Komposisi dari wax pada kapas
biasanya dari rantai panjang (C 15 sampai C 33) alkohol, asam, dan hidrokarbon juga
beberapa sterol dan polyterpenes. Pektin biasanya metil ester dari poly-D-asam
galacturonic. Penghilangan yang efektif dari kotoran pada kapas, terutama wax diperoleh
oleh larutan NaOH pada suhu tinggi. Pilihan yang lebih baik dari auxikaries pada larutan
alkali dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas scouring. Zat chelating dibutuhkan untuk
memastikan penggunaan yang efektif dari zat yang berfungsi sebagai deterjen,
pendispersi dan pengemulsi.
 Pengotor pada wol mentah
Pemasakan wol lebih sukar dibandingkan serat kapas karena wol mentah
mengandung 40 % atau lebih berat pengotor dalam bentuk wax, selulosik material seperti
jerami dan rumput kering, debu dan material protein. Berbagai macam scouring dilakukan
digunakan untuk menghilangkan bentuk wax, selulosik material seperti jerami dan rumput
kering, debu dan metraial protein, wol kemudian akan dikarbonisasi dengan sulfur atau
asam kuat lainnya untuk menghilangkan material selulosik. Wax wol terdiri dari
monokarboksilat, asam hidroksilat juga sebagai steroidal alkohol seperti kolesterol dan
lanosterol. Suint (lemak khusus yang ada pada wol) biasanya terdiri dari material yang
larut dalam air yang akan dengan mudah hilang oleh proses scouring. Debu dengan serat
wol terdiri dari material organik dan non organik. Material mengandug protein terdiri dari
serpihan kulit domba dan peptida yang larut.
 Pengotor pada sutera mentah
Pengotor utama untuk dihilangkan dari sutera adalah protein serisin, yang dikenal
sebagai gum, sehingga pemasakan sutera dikenal juga dengan istilah degumming. Sutera
mentah mengandung 20 – 25% serisin. Sabun dan alkali sering digunakan untuk
menghilangkan serisin dari serat sutera .
2.4.1.1 Proses Desizing
Kanji akan menetap pada permukaan benang pakan dan berpenetrasi diantara
serat. lapisan pelindung benang ini akan menghambat proses pencelupan, pencapan dan
penyempurnaan selanjutnya. Sebagai contoh, kehadiran dari kanji akan menghalangi zat
wrana masuk ke dalam serat selama proses pencelupan. Oleh karena itu, kanji tersebut
hars dihilangkan unuk memastikan keseragaman proses pada kain. Polimer sintetik
seperti Polyvinyl Alcohol (PVA) atau modifikasi kanji alam seperti carboxymethyl
cellulose (CMC) akan mudah dihilangkan dalamair yang mengandung ZAP. Di lain pihak,
kanji, yang banyak digunakan sebagai material dalam volume yang banyak harus
didegradasi oleh enzim atau oksidator. Amilase adalah enzim yang biasanya digunakan
dalam proses desizing enzymatic. Untuk enzim amylase, deterjen dan pembasah anionic
ditambahkan untuk meningkatkan penetrasi dari enzim kedalam kanji. Jumlah sangat
kecil dari garam logam seperti NaCl, CaCl 2,CaSO4 atau asetat dan zat pelunak yang
memberikan beberpa perlindungan panas terhadap enzim yang mungkin ditambahkan.
Emulsifier mungkin dibutuhkan untuk membantu menghilangkan komponen wax dari
kanji. Setelah kanji terdegradasi dalam air kain dicuci dengan pembilasanatau dalam
proses scouring selanjutnya. Karena ZAP anionik mendeaktivasi aktivitas enzim, ZAP non
ionik banyak digunakan dalam desizing enzimatik. sebagai alternative pada desizing
enzymatic, ammonium persulfate atau komponen yang mengandung peroksida bias
digunakan untuk mendegradasi kanji, dikenal dengan istilah desizing oksidatif. disini ada
beberapa contoh actual yang digunakan dalam industri benang untuk medegradasi kain
kapas grey.
Zat pembasah yang baik untuk proses desizing. dalam desizing enzimatik, ZAP
etoksilasi adalah pilihan yang baik. alkilpenol etoksilat, posfat alcohol teretoksilasi dan
linear alcohol etoksilat banyak digunakan bersama dengan amylase. pada desizing alkalis
atau oksidatif, ZAP anionic bias dipilih sebagai pembasah. alkil sulfat, alkil sulfonat dan
alkil benzene sulfonat adalah beberapa contoh yang baik.
2.4.1.2 Proses Scouring
Tujuan utama proses scouring adalah untuk menghilangkan pengotor yang bisa
diperoleh sekitar 5 – 10 % dari pengurangan berat kain kapas, hingga 40% untuk serat
wol dan 20 – 25% untuk serat sutera. Pada kain kapas, kehilangan berat hasil dari proses
degradasi dan dissolusi dari hemiselulosa, pectin, protein, lignin, wax dan lainnya.
Pengotor ini dapat diemulsikan dengan sabun,yang dibuat dari fatty acid dan fatty ester
yang direaksikan dengan NaOH dengan proses saponifikasi. Untuk scouring yang efektif
pada suhu tinggi (90 – 1200C) dan pH yang tinggi dibutuhkan untuk menjaga pelelehan
dari fatty alcohol wax hidrokarbon. Untuk mencegah menempelnya kembali kotoran yang
sudah terlepas, maka disarankan untuk melakukan proses pencucian panas. Daya
penyerapan kain tidak hanya bergantung pada resep scouring dan kondisi, tapi juga
tergantung bagaimana cara proses pencucian kain yang telah selesai dilakukan proses
scouring. Untuk scouring wol kondisi harus lebih lemah dibanding pemasakan pada serat
kapas. Deterjen non ionik bisa digunakan seperti kondensat nonyl phenol dan etilena
oksida sebagai pengganti sabun untuk scouring serat wol, tapi suhu proses
pemasakannya lebih tinggi daripada menggunakan sabun alkali. Penggunaan pelarut
organik menghasilkan wol yang lebih bersih tapi pembuangan pelarutnya, potensi
terbakarnya dan toksisitasnya menjadi masalah dalam penggunaan pelarut organik.
Hampir semua zat scouring mengandung ZAP atau ZAP campuran sebagai komponen
utama. Untuk kain kapas dan campurannya, penggunaan kostik yang tinggi digunakan
dalam proses scouring. Oleh karena itu, kompatibilitasnya dengan alkali adalah hal yang
kritis untuk pemilihan ZAP. ZAP juga harus memiliki kemampuan yang kuat untuk
mengemulsifikasikan dan deterjensi bersama dengan kemampuan pembasahan yang
baik. Alkyl naphthalene sulfonic acids adalah zat pembasah yang baik namun kurang baik
untuk zat pemasak karena kekurangannya dalam hal emulsifikasi dan daya deterjensi.
Fatty alcohol sulfate dan fatty acid amides telah digunakan secara sukses untuk waktu
yang lama sebagai zat pembantu kier boiling. Nonionik alkylphenol ethoxylates
digunakan dalam proses scouring katun dan kain sintetik untuk penyerapan kain yang
lebih baik. Alkyl alkohol ethoxylates juga penting. Zat scouring anionik termasuk ester
posfat dari alkohol teretoksilasi dan ethoxylated alkylphenol, alcohol sulfates, dan sulfated
fatty acids. ZAP campuran nonionic dan anionic juga pilihan yang bagus untuk scouring
kain kapas dan sintetik. Untuk kain wol, alkylphenol ethoxhylates mendominasi
penggunaan ZAP. Untuk serat sutera, ZAP sintetik adalah pilihan yang kurang tepat
karena bisa mengasarkan pegangan pada sutera yang telah dilakukan proses
scouring.Sabun merupakan solusi yang baik digunakan untuk sutera alam.
Pemilihan zat pemasak sangat bergantung pada banyak faktor misalnya
kandungan serat, jenis serat, jenis mesin dan kondisi proses. Contoh dari resep
pemasakan yang banyak digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 7.2 Beberapa Kondisi Proses Pemasakan pdaa Beberapa Mesin Tekstil
(Sistem Batch)
Resep Jet Or Winch Jig Kier Beam
Wetting agent 0,3 – 1,0 0,5 – 1,0 0,5 – 1,0 0,5 – 1,0
(g/L)
Detergent 1,0 – 3,0 2,0 – 4,0 2,0 – 4,0 2,0 – 4,0
(g/L)
NaOH 50% 4,0 – 15,0 5,0 – 20,0 4,0 – 15,0 20,0 –
(g/L) 35,0
Vlot 8 - 15 2–5 3-5 5 - 10
Suhu (0C) 90 - 98 90 – 98 120 - 130 100 - 130
Waktu (jam) 0,5 – 1,0 0,5 – 1,5 3,0 – 6,0 3,0 – 5,0

Tabel 7.3 Beberapa Kondisi Proses Pemasakan pdaa Beberapa Mesin Tekstil
(Sistem Kontinyu)
Resep J-Box Open Width Pressure
Wetting agent 1,0 – 5,0 1,0 – 5,0 1,0 – 5,0
(g/L)
Detergent (g/L) 4,0 – 10,0 5,0 – 12,0 4,0 – 12,0
NaOH 50% (g/L) 20 – 50 25 - 60 30 - 80
Suhu (0C) 95 – 100 95 – 100 120 - 140
Waktu (min) 30 – 90 10 – 30 1 -
2

2.4.1.3 Proses Bleaching


Banyak zat pembantu yang digunakan untuk mengoptimalkan pelepasan
oksigen aktif baik dalam jangka panjang cold-pad-batch atau jangka waktu pendek hot-
batch dan proses kontinyu. Mereka adalah zat stabilisator, chelating,. Fungsi utama ZAP
dalam proses bleaching adalah untuk memfasilitasi penyerapan yang merata dari larutan
pengelantangan ke dalam substrat seperti zat pembasah. ZAP yang banyak digunakan
termasuk fatty alkohols athoxylates, sulfonatesalkyl posphates, etc.
Pada resep pengelantangan sekitar 0,5 – 1,0% dari ZAP terhadap berat kain
digunakan dengan zat pengelantang seperti H2O2, alkali seperti NaOH dan zat pembantu
lainnya. Jumlah yang digunakan akan sangat tergantung pada jenis kain, alat proses dan
kondisi, jenis zat pengelantang dan tujuan akhir penggunaa produk tersebut.

2.4.2 PENGGUNAAN ZAP DALAM PROSES PENCELUPAN


Proses pencelupan merupakan salah satu proses penting dalam pengaplikasian
ZAP dalam bidang tekstil. ZAP sebagai zat pembantu pencelupana dapat diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok utama :
 Levelling dan retarding agent
 Dispersing dan solubilizing agent
 Wetting dan penetrating agent
 Stripping agent dan postwashing agent
Terdapat zat kimia lain dengan aktifitas permukaan yang banyak digunakan sebagai zat
pembantu pada proses pencelupan untuk penggunaan yang lebih luas, yaitu :
 Dye carriers
 Dye-Fixing agents
 Migrating agents
 Defoaming dan foaming agents
 Emulsifiers dan stabilizing agents
 Lubricants
Zat pembantu pencelupan diharapkan dapat memberikan hasil pencelupan yang
baik seperti kerataan zat warna, meningkatkan pembasahan serat dan penetrasi zat
warna, meningkatkan ketahanan luntur warna dan meningkatkan kelarutan zat warna.
ZAP yang digunakan bisa berupa anionik, kationik, non ionik dan amfoter. ZAP ini
bertujuan meningkatkan kelarutan zat warna dalam larutan. ZAP non ionik lebih efektif
dibanding ZAP ionik dalam mensolubilisasi zat warna. Namun, hasil pencelupan akan
menurun karena peningkatan kelarutan zat warna dalam larutan. Jumlah minimum dari
ZAP harus bisa untuk memaksimalkan kualitas pencelupan, efisien dan ekonomis. Di
bagian ini hanya akan dibahas 4 kelompok utama.

2.4.2.1 Levelling
Leveling agent adalah kategori utama ZAP sebagai pembantu pencelupan. Zat
leveling meningkatkan kerataan pencelupan dan kemungkinan serat, benang atau kain
dapat diproduksi ulang, bahkan pengambilan zat warna di serat dari larutan pencelupan
dan kesetimbangan migrasi zat warna dalam serat. Hal ini dapat dicapai dengan ZAP
melalui dua mekanisme utama. Pertama, ZAP leveling akan menghambat adsorpsi zat
warna dan atau menyeimbangkan desorpsi-penyerapan kembali ke permukaan serat
yang membantu keseragaman penyerapan zat warna. Kedua, ZAP meningkatkan migrasi
dan penetrasi zat warna antara dan di dalam serat, yang memperbaiki ketidakrataan dan
meningkatkan ketajaman arah warna. Zat leveling biasanya dipilih berdasarkan jenis zat
warna, proses pencelupan (batch atau kotinyu), peralatan pencelupan, kondisi
pencelupan (seperti pH, vlot, dan laju alir), bahan serat, kekuatan warna, biaya dan
dampak lingkungan
Terdapat dua tipe dasar dari zat leveling, substantif terhadap zat warna dan substantif
terhadap serat yang akan mempengaruhi perilaku termodinamik dan kinetik dari proses
pencelupan. Zat leveling yang bersifat substantive terhadap zat warna memiliki kekuatan
pengikatan yang relatif lebih kuat dengan zat warna larut yang mengarah pada
pembentukan kompleks zat warna-ZAP yang stabil dan atau pewarna yang termiselkan
pada awal proses pencelupan, dalam persaingan dengan serat untuk memperlambat
adsorpsi zat warna. Kompleksasi dan miselisasi, sebagai reservoir zat warna bebas,
melepaskan molekul zat warna secara bertahap selama proses pewarnaan sampai
tercapai ekuilibrium, sehingga pengendapan zat warna yang cepat dalam larutan
pencelupan dapat dicegah dengan baik dan adsorpsi yang tidak merata berkurang secara
signifikan. Selain itu, zat leveling juga dapat berinteraksi dengan zat warna yang banyak
terdeposisi untuk meningkatkan migrasi zat warna dari daerah yang lebih tua ke daerah
yang lebih muda sehingga menghasilkan distribusi warna yang merata.
Zat leveling yang bersifat substantif terhadap serat secara kinetic memiliki
kemampuan mengikat terhadap serat dibandingkan terhadap zat warna, karena struktur
ampifatiknya dan berat molekulnya yang kecil. ini akan mengakibatkan untuk ZAP terpilih
dengan gugus penyerap pada serat. ZAP pada gugus ikatan pada serat kemudian secara
lambat digantikan oleh zat warna dari larutan zat warna, karena afinitas dari zat warna
terhadap serat secara termodinamika lebih kuat dibandingkan dengan zat leveling.
Kompetisi dari ZAP dengan zat warna untuk gugus aktif dari serat menahan adsorpsi zat
warna dan oleh karenanya menyebabkan pencelupan yang merata.

2.4.2.1.1 Pencelupan Selulosa


Kapas dan serat selulosa lainnya (rayon viscos, linen, hemp, jute, flax dan rami)
biasanya dicelup dengan zat warna direk, rektif sulfur, bejana dan azoic dan kadang-
kadanag dengan basa atau mordan. Semua jenis zat warna bias diaplikasikan dengan
metoda exhaust atau kontinyu, yang bergantung pada subtantifitas , ketuaan warna dan
besarnya kain yang akan dicelup. Garam (garam glauber atau garam klorida) sering
ditambahkan untuk meningkatkan penyerapan zat warna. Anionik (substantif terhadap
serat), non ionik (substantive terhadap zat warna) atau kombinasi ZAP juga digunakan
dalam proses pencelupan untuk meningkatkan pembasahan dan kerataan.
ZAP non ionik seperti polyoxyalkylenes biasanya tidak memiliki subtantivitas
terhadap serat dan membentuk zat yang larut dalam air dengan zat warna anionik atau
zat warna dalam bentuk leuko (bejana atau sulfur) untuk menghambat adsorpsi zat warna
ke dalam serat. Jenis ZAP non ionik polyoxyalkylene termasuk ethoxylated (EO) alkyl
phenols, EO alcohols, EO/propoxylated (PO) alcohols, EO/PO copolymers, as well EO
alkylmercaptans. Kebanyakan dari jenis polyoxylalkylenes adalah turunan dari fatty
alcohols/alkylphenol ethers, fatty acid esters, and fatty amines and amides. ZAP anionik
berkompetisi untuk tempat di serat untuk mengurangi penyerapan zat warna dan
meningkatkan migrasi zat warna dan redistribusi antara dan di dalam serat. Jenis surfaktn
anionik adalah alkilaril sulfonate, alkil sulfat, alkil sulfosuccinates.
Penggunaan ZAP yang tinggi biasanya bertujuan untuk arah warna lebih terang
dan hasil lebih muda. Dalam kebanyakan proses pencelupan penggunaan ZAP 0,5 – 3%
Owf direkomendasikan. Untuk pencelupan zat warna direk, kebutuhan zat levelling
dibutuhkan, karena zat warna direk memiliki substantivitas yang tinggi untuk meminimasi
masalah ketahanan basah yang rendah. Levelling juga sangat penting pada pencelupan
zat warna bejana, substantivitas zat warna leuco lebih tinggi dibandingkan zat warna direk
dan reaktif. Deposisi yang cepat dari leuko menghasilkan distribusi zat warna yang tidak
merata yang tidak bisa dengan mudah diperbaiki oleh ZAP yang membantu migrasi zat
warna atau redistribusi sesegera ketika leuko zat warna dioksidasi kembali menjadi
pigmen zat warna. Pada pencelupan zat warna bejana, ZAP non ionik biasanya
digunakan untuk untuk mengurangi laju penyerapan dari leuko zat warna. Dosis ZAP
biasanya lebih tinggi pada pencelupan zat warna bejana 0,2 – 2,0 g/L disbanding dengan
zat warna basa (0,05 – 0,3 g/L). Untuk mencegah logam berat yang menyebabkan
pengendapan, sequestering agent biasanya ditambahkan. Levelling juga sebagai kunci
keberhasilan dalam pencelupan kontinyu untuk mengurangi ketidakrataan (tailing) dan
meningkatkan ketahanan luntur (ketahanan luntur basah pada zat warna direk). Levelling
juga digunakan untuk menghilangkan zat warna yang tidak terfiksasi pada proses
stripping.

2.4.2.1.2 Pencelupan Poliester


Poliester dan campurannya adalah serat yang sangat melimpah di pasar tekstil.
Pencelupan dispersi adalah pencelupan yang sangat penting untuk poliester dan serat
hidrofob lainnya. Poliester adalah serat yang sangat padat dengan kristalinitas tinggi yang
tidak mudah diakses oleh molekul zat warna. Oleh karena itu, poliester biasanya dicelup
pada suhu yang sangat tinggi atau dengan menggunakan bantuan carrier atau melalui
pad-dry untuk membantu penyerapannya. ZAP anionic yang digunakan biasanya
sebanyak 0,5 – 2 %. ZAP anionik pada pencelupan dispersi membantu pendispersian zat
warna , levelling dan sebagai pelumas serat. ZAP non ionik seperti ester polietilena glycol,
meningkatkan penetrasi zat warna dan migrasi melalui solubilisasi yang akan
meningkatkan kerataan dan hasil penyerapan. ZAP non ionik juga meningkatkan
pembasahan serat dan emulsifikasi dari wax atau kotoran lainnya. Namun, presipitasi
dari ZAP non ionik pembntukan senyawa yang tidak larut dengan zat warna atau diatas
cloud point selama pencelupan menggunakan suhu tinggi menyebabkan beberapa bagian
tidak rata dan staining.. Pada prakteknya, ZAP anionik ditambahkan untuk meningkatkan
cloud point serta menstabilkan ZAP non ionik. Dalam beberapa kasus, chelating agent
ditambahkan terutama apabila akan diproses dengan zat warna yang sensitif terhadap
keberadaan logam. Prinsip levelling yang sama dari pencelupan system batch bias
diaplikasikan pada proses kontinyu atau semi kontinyu. ZAP levelling bisa juga
diaplikasikan pada pencelupan dispersi atau serat hidrofob lainnya seperti asetat,
triacetates, Nylons, olefins, acrylics, aramids, modacrylics.

2.4.2.1.3 Pencelupan wol


Wol dan serat protein lainnya biasanya dicelup dalam kondisi asam dengan zat
warna asam. Zat warna lain, seperti basa, mordant, reaktif juga bisa digunakan. Levelling
terutama penting untuk pencelupan wol karena masalah tip frosting (perbedaan arah
warna di atas dan bagian bawah). Ketidak rataan bisa sebagian dikurangi dengan
mengontrol suhu dan pH dan penambahan elektrolit, yang akan menetralisir permukaan
muatan positif untuk mengurangi interaksi elektrostatik. Penggunaan ZAP, efek levelling
akan akan efektif pada pencelupan wol. ZAP anionik (LAS) juga ZAP anionic yang
memiliki gugus aromatik lainnya (kondensat naphthalene-sulphonate or naphthalene-
phenol dengan formaldehyde, atau senyawa kompleks sulfonated phenol) efektif sebagai
levelling yang bersifat substantive terhadap serat yang akan mengurangi laju serangan
dari zat warna asam. ZAP non ionik (polyalkyloxylated) membantu mensolubilisasi
molekul zat warna dalam larutan celup, yang akan mengurangi laju penyerapan dan
meningkatkan migrasi zat warna. ZAP amfoter juga bias digunakan dalam pencelupan wol
dengan pengontrolan pH. ZAP amfoter akan berinteraksi dengan gugus kation dari serat
atau anion zat warna secara berbeda tergantung dari pH larutan. ZAP ini bisa digunakan
sendiri atau dikombinasikan untuk mendapatkan efek levelling. Jumlah total ZAP dalam
larutan kurang dari 2 g/L dalam larutan celup. Leveling yang sama juga bias digunakan
untuk poliamida pada kondisi asam. ZAP kationik telah digunakan sebagai leveling pada
pencelupan poliamida. ZAP kationik digunakan dalam kombinasi dengan non ionic atau
anionik.

2.4.2.1.4 Pencelupan Poliakrilat


Serat akrilat disintesis dengan penambahan polimerisasi dari akrilnitril yang
berbeda dengan proses polikondensasi serat poliester dan poliamida. Polimer akrilat
kurang padat dibanding poliester dan biasanya mengandung gugus anionik (seperti
sulfonat, karboksilat dan posfat), kebanyakan pada rantai pusat. Oleh karena itu, serat
akrilat dapat dicelup dengan zat warna basa sama seperti pencelupan dengan zat warna
asam, faktor penentu penyerapan zat warna adalah elektrostatik. Laju penyerapan di awal
proses pencelupan sangat cepat. Oleh karena itu diperlukan levelling untuk pencelupan
zat warna basa. ZAP kationik seperti thrimethylalkilammonium halides sangat penting
sebagai levelling untuk pencelupan serat akrilat. ZAP dengan rantai panjang biasanya
memberikan kemampuan levelling yang lebih baik. ZAP kationik dengan rantai C 12
sampai C 18 (seperti dedocyltrimethyil ammonium bromide) banyak digunakan sebagai
leveling untuk pencelupan zat warna basa. Benzyl trimethyl ammonium chloride (BTMAC)
juga jenis lain yang banyak digunakan. Cincin aromatik dalam ZAP kationik membantu
delokalisasi dari muatan positif yang akan mengurangi kekuatan ikatan dari ZAP dengan
serat. Oleh karena itu, zat warna basa bisa dengan mudah menggantikan ZAP jenis ini
yang akan memberikan encelupan yang merata dan penyerapan yang baik. ZAP akan
berkompetisi dengan zat warna basa untuk gugus asam dari serat, shingga mengurangi
penyerapan zat warna dan hasil penncelupan. Semua levelling ini harus dipilih yang
memiliki afinitas lebih rendah terhadap serat akrilat dibandingkan dengan zat warna basa
untuk menghindari bloking permanen dari gugus anionik serat. Polimer dengan gugus
fungsi kation ganda juga memungkinkan memberikan efek levelling. Polikation ini akan
membentuk lapisan protektif di atas permukaan serat untuk mengurangi penyerapan zat
warna dan laju difusi.
ZAP anionik sebagai leveling yang bersifat substantive terhadap zat warna
mengurangi kemampuan dari zat warna basa. Untuk menghalangi kemungkinan
presipitasi dari zat warna basa dan ZAP anionik, ZAP non ionik ditambahkan dengan
dikombinasikan dengan ZAP anionik. ZAP non ionik akan melarutkan senyawa zat
warna-ZAP yang tidak memiliki substantifitas terhadap serat akrilat. Hasilnya, molekul zat
warna secara perlahan terlepas dari ikatan kompleks yang larut dalam larutan dan
memberikan adsorpsi yang merata dan distribusi dalam serat.
Sebagai tambahan pada zat warna basa, serat akrilat juga bias dicelup dengan zat
warna ispersi. sama seperti pencelupan dispersi pada serat poliester. ZAt warna
berukuran kecil dipilih untuk pencelupan akrilat karena kelarutannya yang terbatas dari
zat wrana dispersi dala larutan celup. Sedikit ZAP leveling yang digunakan, pada
pencelupan serat akrilat dengan zat warna dispersi.
Kopolimer dari akrilat dan ester telah mengurangi suhu transisi glass dan
meningkatkan kemampuan difusi terhadap zat warna. dengan ko-monomer basa, seperti
amin atau pirimidin, kopolimer poliakrilat bias dicelup dengan zat warna anionic/ dengan
kopolimer akrilat modifikasi tersebut, ZAP leveling digunakan dalam cara yang sama pada
pencelupan dengan zat warna anionik.
2.4.2.2 Pendispersi
Pendispersi mampu memberikan keseragaman kestabilan dan keseragaman
suspensi dari zat warna yang tidak larut dalam air, seperti zat warna dispersi. Zat
pendispersi banyak digunakan baik dalam persiapan zat warna (campuran komersial dari
zat warna dispersi dan pendispersinya) dan dalam proses pencelupan (sebagai additives
yang dalam pencelupan zat warna dispersi). Serbuk zat warna dispersi komersial
mengandung persentasejumlah pendispersi yang tinggi (biasanya 60% atau lebih dari
berat keseluruhan). Pendispersi memiliki dua fungsi dalam membantu proses pencelupan.
Pertama, pendispersi akan mengurangi dan mencegah aggregasi dan presipitasi dari zat
warna, untuk mengurangi migrasi yang tinggi di awal proses pencelupan dan memberikan
hasil pencelupan yang rata. Kedua, pendispersi akan melarutkan dan memiselisasi zat
warna, untuk meningkatkan perpindahan dan penetrasi zat warna (thermomigrasi) dalam
serat hidrofob secara mono molekuler. ZAP dalam pencelupan dispersi akan berfungsi
sebagai pembasah, penetrasi, levelling, softening, pelemas dan emulsifier serta
pendispersi dan solubilizer.
Pada zat warna dispersi komersial, polielektrolit anionik sudah terdapat dalam
produk tersebut. Polielektrolit yang paling banyak dijumpai termasuk lignin sulfonat dan
oligokondensasi naftelen sulfonat dengan formaldehid. Dalam aplikasi proses
pencelupan, surafktan anionic sering ditambahkan dengan kombiinasinya dengan ZAP
non ionik atau pendispersi polimer. Secara umum, ZAP anionic meningkatkan
kemampuan pembasahan dari partikel zat warna dan menstabilisasi suspense zat warna
sementara ZAP non ionik meningkatkan kelarutan dan pendispersian zat warna.
ZAP anionik terserap pada partikel zat warna, membasahi dan memberikan
muatan negatif pada permukaan zat warna. Hasilnya nilai zeta potensial dari lapisan
ganda memberikan gaya tolak menolak yang kuat dari partikel zat warna yang bermuatan
yang mengimbangi gaya Tarik manarik kohesi yang kuat yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan energi permukaan yang tinggi dari partikel zat warna berukuran kecil.
ZAP anionik utama adalah petroleum sulfonat, olefin sulfonat, fatty alcohol tersulfonasi
dan ester gliserol. ZAP non ionik membantu keseragaman penyerapan zat warna dispersi
baik melalui miselisasi zat warna atau melalui peningkatan pelarutan dalam fasa larutan.
ZAP non ionik yang sering digunakan adalah alkohol etoksilat dan alkylphenol etoksilat.
ZAP non ionik sebagai pendispersi biasanya memiliki clouding point lebih tinggi untuk
menghindari aggregasi zat warna selama pencelupan dispersi berlangsung. Kombinasi
ZAP anionic dan non ionik berfungsi untuk meningkatkan migrasi zat warna dan
mencegah presipitasi.
Pendispersi merupakan komponen yang penting dalam proses pencelupan
dengan zat warna dispersi dan bejana. Penggunaannya biasanya 0,75 – 1 g/L
pendispersi untuk memberikan pendispersian yang memadai. Namun, apabila kapasitas
seratnya rendah atau untuk mendapatkan warna yang tua, penggunaannya bisa
ditingkatkan sampai 2 g/L.

2.4.2.3 Zat Pembasah dan Penetrasi


Pembasahan yang cepat dan menyeluruh adalah hal penting untuk kualitas
pencelupan yang membantu adsorpsi dan peneterasi yang sempurna dari zat warna dan
auxiliaries terhadap serat, terutama pada pencelupan kontinyu. Dalam proses pencelupan
yang digabungkan, gelembung udara sering terperangkap dalam serat yang harus
dihilangkan untuk penetrasi larutan zat warna secara merata. Serat memiliki kemampuan
pembasahan yangberbeda dlam larutan celup, karena morfologi atau sifatnya, tekstur,
struktur dan komposisinya. Serat sintetik seperti polyester dan poliamida adalah serat
hidrofob. Serat tersebut akan sulit terbasahi karena memiliki energy permukaan yang
rendah. Serat alam, seperti kapas atau wol lebih hidrofil dengan energy permukaan yang
lebih tinggi.
Pembasahan dan deaerasi yang efektif bisa diselesaikan dengan penggunaan
ZAP di awal proses. ZAP memulai interaksi antar muka untuk mengurangi tegangan
permukaan dari larutan zat warna dan sudut kontak yang rendah dari permukaan serat
yang dapat meningkatkan penyerapan permukaan dan penetrasi zat warna di seluruh
serat. Penyebaran yang cepat dan menyeluruh pada permukaan serat oleh larutan zat
warna adalah hal penting pada awal proses untuk mendapatkan hasil yang rata.
Tergantung dari jenis serat, ZAP yang digunakan bisa bersifat anionic, non ionik ataupun
campuran keduanya. ZAP anionik yang biasa digunakan adalah alkylbenzena sulfonat,
naphtalenen sulfonat, olefin sulfonat, alkil succinat dan sulfosuccinat, alkil sulfatalkil
etoksilat tersulfonasi, alkil fenol etoksilat tersulfonasi, ester fatty acid tersulfatasi
sementara alkohol etoksilat, polietilena glikol ester fatty acid dan faaty acid alkil amides
merupakan ZAP non ionik. ZAP anionik biasanya memiliki kemampuan pembasahan
yang baik. ZAP non ionik etoksilasi memiliki sifat deareasi yang baik. Surafkatan dengan
nilai HLB antara 7 – 9 memilki kemampuan pembasahan yang baik. Efek pembasahan
secara sinergis dapat dicapai dengan kombinasi antara ZAP anionic dan non ionik seperti
campuran phosphalated alcohols and alcohol ethoxylates. Banayak ZAP jenis ini yang
memegang peranan dalam proses pencelupan sebagai zat penetrasi untuk membantu
difusi zat warna ke dalam serat yang merupakan tahap penentuan dalam keseluruhan
pencelupan dan pencapan. Difusi zat warna yang memadai bisa meningkatkan ketuaan
warna dan ketahanan luntur terhadap basah, gosok dan sinar.

2.4.2.5 Foaming dan defoaming


ZAP juga dimanfaatkan dalam proses foaming dan defoaming. Pencelupan
foaming, pencapan dan finishing memiliki keuntungan dalam menghemat energy, air dan
mengurangi air buangan. ZAP, terutama anionik dan beberapa jenis non ionik dapat
meningkatkan pembusaan. Jenis ZAP penghasil busa diantaranya alkyl sulfates, dialkyl
sulfosuccinates, polyoxyalkylene fatty alcohols, dan campurannya.
Defoaming sangat penting dalam aplikasi tekstil untuk keseragaman dan kualitas yang
tinggi terutama untuk proses dengan menggunakan kecepatan yang tinggi. Emulsi
berbasis silicon mengandung silica (sering dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan
kehidrofoban permukaan) atau filler inorganik lainnya.
Beberapa senyawa organic berbasis emulsi yang banyak digunakan dalam proses
tekstil yang mengandung bahan aktif permukaan seperti fatty acids dan turunan ester,
higher alcohols, polyglycols, dan alkyl phosphoric acid esters. Bahan hidrofobik teremulsi
ini mampu berpenetrasi pada dinding lamellar dan masuk ke dalam antar muka larutan
dan udara dari busa yang padat, sehingga busa menjadi pecah. Pada system emulsi
beberapa ZAP digunakan sebagai defoaming . ZAP terutama yang memiliki tegangan
permukaan yang rendah akan bersifat menyebar pada seluruh permukaan dari lapisan
interselular yang efektif untuk mendestabilisasi busa. Dalam praktiknya proses defoaming
tidak cukup hanya menggunakan ZAP saja, biasanya digunakan juga kombinasi dengan
emulsi defoaming untuk meningkatkan stabilitas sistem dan membantu efisiensi
pendispersian dari partikel defoaming hidrofob. Kombinasi dari ZAP HLB tinggi dan
rendah seperti gliserol atau sorbitan monostearat dengan polietilena glikol monostearat
adalah ZAP yang paling banyak digunakan dalam sistem emulsi defoaming tekstil.

2.4.2.6 After Tretament


Setelah proses pencelupan biasanya dilakukan proses post dyeing untuk
meningkatkan hasil pencelupan. Beberapa proses biasanya menggunakan ZAP.
Post Scouring
Proses yang sangat penting untuk menghilangkan zat warna dan auxiliaries yang
tidak bereaksi dan tertinggal di permukaan serat. Proses ini bertujuan untuk
meningkatkan ketahanan seperti terhadap basah, gosokan dan cahaya. ZAP anionik dan
nonionik biasanya digunakan untuk membantu proses post scouring dengan dosis 0,5 – 3
g/L. Proses sering dilakukan dalam kondisi alkalis dengan ataun tanpa ZAP. Pemasakan
bisa dilakukan juga dalam kondisi asam untuk kain yang mengandung serat wol. Garam
biasanya ditambahkan untuk akselerasi penghilangan zat warna. Untuk zat warna reaktif,
belerang, bejana, basa dan dispersi, post scouring adalah proses yang sangat penting
untuk dilakukan.
Stripping
Stripping dilakukan ketika terjadi kesalahan dalam pencelupan. Proses ini
bertujuan untuk menghilangkan warna yang sudah berikatan dengan serat. Stripping
biasanya dilakukan dalam kondisi proses lebih kuat dibanding dengan proses post
scoruing. ZAP yang digunakan akan bergantung kepada jenis zat warna dan zat
pembantu yang digunakan. Untuk menghilangkan zat warna bejana, ZAP kationik
digunakan seperti cetyl trimetil ammonium bromide sementara ZAP non ionik digunakan
untuk penghilangan zat warna dispersi. ZAP anionik biasanya digunakan untuk
menghilangkan zat pemiksasi kationik pada pencelupan zat warna direk. ZAP ini banyak
digunakan dalam campuran dengan polimer dispersi seperti polivinil pirolidon (PVP) yang
membentuk kompleks dengan zat warna anionik untuk mencegah redeposisisi dalam
serat. Pengelantang, sequestering agent dan carrier ditambahkan ke dalam larutan
stripping untuk membantu menghilangkan residu zat warna. Proses stripping, levelling
atau over dyeing sangat membantu untuk memperbaiki kesalahan pencelupan.
Fixing
Proses fixing digunakan untuk meningkatkan ketahanan basah dari zat warna
yang larut dalam air. ZAP yang biasanya digunakan adalah jenis kationik seperti garam
quartenarry ammonium, seperti alkil trimetil ammonium. Fixing agent kationik akan
bereaksi dengan zat warna anionik untuk membentuk senyawa kompleks yang tidak larut
pada permukaan serat. Biasanya digunakan 1-2% owf pada pH 5-6 untuk pencelupan 1%
zat warna direk. Zat fixing kationik juga bisa digunakan untuk zat warna reaktif terutama
dalam proses pencapan untuk mengurangi kontaminasi dari zat warna yang terhidrolisa
dan meningkatkan nilai warna. Perlakuan akhir dengan ZAP kationik memungkinkan
perubahan arah warna dan mengurangi ketahanan zat warna terhadap cahaya dalam
beberapa kasus.
Metode fixing lain termasuk menjembatani ikatan antara zat warna dan serat
dengan logam (Cu), reaksi kimia (diazotisasi), polyfunctional crosslinking (penambahan
formaldehyde) dan pelapisan permukaan (perlakuan dengan resin) dalam kasus ini ZAP
tidak diperlukan .

2.4.3 APLIKASI ZAP DALAM PENCAPAN


Pada proses pencapan, zat warna dan pigmen dengan konsentrasi tinggi
diaplikasikan dalan area yang terbatas oleh pasta warna atau pendispersi yang
mengandung thickener dan binder. Pigmen yang dalam proses pencelupan sangat jarang
digunakan, namun dalam proses pencapan banyak diaplikasikan. Hal ini dikarenakan
ekonomis, mudah, dan bersifat universal untuk semua jenis kain, warna yang cukup
banyak dan ketahanan yang baik (cahaya). Penggunaannya secara global mencapai
50%. Pada proses pencapan zat warna pigmen, penggunaan ZAP biasanya difungsikan
sebagai levelling, pendispersi dan pembasah dengan aplikasi yang sama seperti proses
pencelupan. ZAP akan meningkatkan kestabilan pasta pencapan dan meningkatkan
keseragaman pencapan dan meningkatkan hasil kualitas warna (arah warna dan
ketahanan luntur). ZAP juga berfungsi dalam proses pencucian untuk menghilangkan
kelebihan jumlah zat warna, thickener setelah pencapan. Pada pencapan menggunakan
screen, ZAP emulsifier digunakan untuk mengurangi kemampatan screen dan penodaan
atau kontaminasi, membantu membersihkan peralatan pencapan, dan meningkatkan
kualitas warna. Dosis bila difungsikan sebagai emulsifier dan pendispersi adalah sekitar
0,1 – 1,0 %. Apabila difungsikan sebagai zat pembasah ZAP akan meningkatkan
ketahanan dan keseragaman penyebaran warna dan penetrasi. Penggunaannya sekitar
0,1 – 1 %. Penggunaan pembasah dalam proses pencapan harus minimum. Adanya
ekstensive shearing force dalam proses pencapan, busa mudah terbentuk yang
mengakibatkan transfer warna tidak rata dan warna muda. ZAP atau sovent ditambahkan
sebagai defoaming dengan konsentrasi 0,5- 1%.
ZAP non ionik yang memiliki kemungkinan pembusaan yang rendah terutama
efektif untuk meningkatkan pembasahan yang cepat, kerataan pencapan, dan
kemampuan untuk disikat serta mencegah blobor. Kombinasi ZAP anionik dan non ionik
banyak digunakan sebagai pendispersi, pembasah sama seperti pencelupan. ZAP yang
lazim untuk penghilangan pengental seperti alkilaril acid, alcohol etoksilat, fatty
acidspoliglicol ether. ZAP yang bertindak sebagai defoamer biasanya sangat hidrofob
dengan HLB 1,5 – 3. Polydimetilsixane (PMDS) dan turunannya bergabung menjadi
partikel inorganic (silica, zeolite, TiO2) banyak diaplikasikan sebagai defoamer dalam
industri tekstil.

2.4.4 APLIKASI ZAP DALAM PENYEMPURNAAN


Proses penyempurnaan yang dimaksud adalah proses yang dilakukan dengan
tujuan untuk menambah nilai guna atau fungsi dan estetis dari suatu bahan atau material.
Misalnya meningkatkan pelembutan,ketahanan terhadap air, ketahanan terhadap
kekusutan, ketahanan terhadap api, anti statis, kenyamanan dan lainnya. Dalam
aplikasinya, zat kimia akan ditambahkan di dalam prosesnya. Pembasahan yang
sempurna dari permukaan serat dan cepat serta penyebaran yang merata dari zat
penyempurnaan adalah langkah pertama yang penting untuk dikontrol. ZAP, pada
prinsipnya bisa digunakan sebagai pembasahan, penyebar dan pendispersi/emulsifier
dalam seluruh proses penyempurnaan basah.

2.4.2.1 Softener
Penyempurnaan pelembutan dan antistatik adalah aplikasi penting dalam
penggunaan ZAP dalam proses penyempurnaan. Softener akan meningkatkan
kelembutan dari bahan tekstil, hand feel dan juga kelemasan elastisitas fleksibilitas dan
bersifat bulky. Pada umumnya softener tekstil berupa ZAP dan polimer, dapat dengan
mudah untuk diaplikasikan melalui proses perendaman atau padding. Di pasaran ZAP
untuk tekstil, prosentase penggunaan ZAP adalah sebagai berikut 35 – 40% ZAP kationik,
40 – 45% ZAP non ionik, 8-10% ZAP anionik dan sisanya ZAP amfoter. Pada umumnya,
ZAP softener tidak tahan terhadap pencucian.

2.4.2.2 ZAP kationik


ZAP kationik memiliki substantifitas yang tinggi hampir di seluruh jenis serat
terutama pada serat alam seperti kapas. ZAP jenis ini lebih efektif dibanding jenis ZAP
lainnya dari segi hasil ppenyerapan, dosis yang digunakandan ketahanan cucinya.
Softener kationik bisa memberikan sifat anti statik dan ketahanan terhadap air, anti
mikroba dan ketahanan terhadap korosi. Paling cocok dengan semua jenis resin tapi
kurnag efektif untuk serat yang bersifat hidrofob karena subtantifitas yang rendah.
Kerugian dari softener kationik adalah kurang kompatibel dengan auxiliaries yang bersifat
anionik, memberikan efek kekuningan terhadap arah warna dan ketahanan luntur serta
pengotoran kain.
ZAP softener kationik mengandung gugus nitrogen bermuatan positif dan
setidaknya satu rantai hidrofobik jenisnya dua rantai alkil di setiap molekulnya. Pengganti
gugus alkil biasanya rantai karbon mengandung C12 sampai C22, yang bersumber dari
fatty acid atau alkohol seperti kelapa atau tallow. Rantai fatty (seperti tallow) biasanya
terhidrogenasi untuk sifat pelembutan dan hidrofil. Beberapa rantai fatty bisa teretoksilasi
atau propoksilasi dan teresterifikasi atau aminasi untuk penyempurnaan, formulasi, dan
kelarutan yang berbeda. Garam ammonium quartenary tersubstitusi adalah softener yang
paling banyak digunakan seperti Disterayl Dimethyl Ammonium Chloride (DSDMAC) yang
memberikan sifat silky, pegangan yang lembut pada konsentrasi rendah. ZAP
Imidazolinium adalah pilihan kedua yang banyak digunakan sebagai softener tapi
beberapa ZAP heterosiklik nitrogen seperti pyridinium, pirymidium, quinolium,
morpholinium, piperidinium dan turunan piperazinium juga banyak digunakan sebagai
softener. ZAP lainnya yang digunakan sebagai softener adalah fatty amin rantai panjang,
fatty amida, alkanolamid, polyethylene imines, aminoester dan polyammmonium atau
polyamines. Biasanya pengguanaan ZAP ini dicampur dengan quartenary ammonium
atau imidazolanium. Jenis ion lawan anionik adalah klorida dan beberapa bromide, metil
sulfat, etil sulfat atau asetat. Proses penyempurnaan penyerapan pada pH netral sampai
asam biasanya dipilih untuk keseragaman distribusi dari ZAP kationik, karena adsorpsi
yang tinggi terhadap gugus negatif pada permukaan serat.
ZAP non ionik juga dapat memberikan pelembutan yang baik dengan sifat
pelemasan dan antistatik. ZAP jenis ini lebih tahan terhadap efek kekuninan, lebih
kompatibel terhadap seluruh auxiliaries tekstil dan tidak memberikan efek terhadap arah
warna. Namun, ZAP non ionik memiliki ketahanan cuci yang rendah karena subtantivitas
yang rendah terhadap serat. ZAP non ionik yang biasa digunakan adalah turunan
polioksietilen dan kondensat dari fatty alcohol atau asam. ZAP nonionic biasanya
digunakan sebagai kombinasi dengan ZAP kationik atau auxiliaries tekstil lainnya.
ZAP anionik lebih stabil terhadap efek kekuningan, dan juga memiliki sifat
pembasahan tanpa menanggu proses foam finishing. ZAP anionik biasanya digunakan
dalam penyempurnaan berbasis kanji. ZAP anionik dapat meningkatkan penetrasi dari
kanji, oleh karena itu meningkatkan ketahanan kanji. ZAP anionik juga meningkatkan
elastisitas serat, fleksibilitas dan efisiensi kanji. Aplikasi ZAP anionik dalam tekstil sangat
terbatas karena subtantivitasnya yang rendah dan kompatibilitasnya yang kurang baik
dengan resin penyempurnaan dan auxiliaries lain yang bersifat kationik. Hasil yang
optimal didapatkan dengan penggunaan dosis yang sangat tinggi. Pada umunya ZAP
anionic memproduksi sifat pelembutan yang paling rendah bila dibandingkan dengan ZAP
kationik dan nonionik. ZAP jenis anionik adalah sabun, fatty alcohol sulfat, minyak
tersulfatkan atau tersulfonkan dan tallows, kondensat fatty acid dan beberapa minyak,
lemak dan emulsi wax, terutama sulfonated monoglyerides and alkyl sulfonates banyak
digunakan.
Polimer softener termasuk silicon dan emulsi polietilen yang akan melumasi
permukaan serat individu dengan ketahanan yang lebih baik bila dibandingkan dengan
ZAP softener. Silicon adalah polimer yang paling banyak digunakan dalam pasar tekstil.
Silikon memiliki sifat pelembutan yang paling baik (licin, pegangan yang lembut),
ketahanan terhadap pencucian yang stabil (suhu dan oksidasi) serta kekusutan. Silikon
juga dapat meningkatkan kekuatan sobek, gosok dan pemakaian.
Kerugian utama dari softener silikon adalah biaya yang membatasi aplikasi yang
luas dalam proses tekstil. Silikon biasa diaplikasikan dengan ZAP nonionic seperti
polietoksilat lauryl akohol atau sebagai zat additive dengan softener lainnya. dimetil
silicone (PMDS) dan turunan organo modified seperti amino functional silicon banyak
digunakan sebagai softener . Emulsi wax polietilen banyak diguankan untuk pelembuatan
handuk. ZAP nonionik atau anionik ditambahkan sebagai pendispersi atau pengemulsi
untuk menstabilkan emulsi polimer. Polimer softener biasanya stabil dan lebih kompatibel
dengan banyak softener kationik, nonionik dan anionik. Polimer softener juga dapat
memperbaiki ketahanan sobek dan kekuatan gesekan. ZAP softener reaktif
dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan pencucian atau keawetan. ZAP jenis ini
memiliki gugus reaktif di akhir dari kelompok softening (seperti rantai fatty acid) untuk
bereaksi dengan gugus aktif dari serat (misal OH pada selulosa). Beberapa contoh dari
softener reaktif adalah stearyl aminomethyl pyridium chloride (dilarang karena toxic),
metyl stearamide, fatty acid turunan dari melamin, triazon dan karbonat.

2.4.2.3 Anti Statik


Proses antistatik menjadi banyak diaplikasikan pada serat sintetis. Sifat
elektrostatik akan dihasilkan dengan adanya gosokan, kontak dan banyak cara lainnya
yang menyebabkan munculnya masalah pada penggunaannnya. Listrik statis dapat
menyebabkan repelling fiber (oleh karena itu kesulitan dalam proses fiber carding,
drawing, weaving, knitting, roving, spinning), menarik debu, kotoran, penempelan pada
tubuh atau pada produk garmen, dan membuat pembuangan/percikan listrik yang dapat
menyebabkan kebakaran atau ledakan. Serat alam bersifat higroskopis (ikatan hidrogen
dengan molekul air) yang menyerap kelembaban dan dengan cepat mendispersikan
muatan listrik. Serat sintetis merupakan serat hidrofobik dengan adsorpsi kelembaban
sangat rendah oleh karena itu konduktivitas listriknya rendah. Untuk mencegah
terbentuknya muatan statis pada serat hidrofob, maka dilakukan penambahan antistatis.
ZAP kationik dan non ionik memilki sifat antistatik yang membentuk lapisan
higroskopis terkondensasi pada permukaan serat untuk meningkatkan kandungan
kelembaban dan konduktivitas listrik. ZAP kationik seperti garam alkyl quartenary
ammonium, garam polyethoxilated fatty ammonium, fatty ammonium ester banyak
digunakan sebagai anti statis. Garam alkyl quartenary ammonium mengandung rantai
karbon C8-C18 seperti tallow terhidrogenasi atau dimetil ammonium klorida memiliki sifat
anti statik yang bagus dengan dosis penggunaan kecil yaitu 0,25% owf. Banyak softener
kationik untuk serat sintetik memilki sifat antitatik yang baik seperti imidazolium, pyridium.
ZAP non ionik biasanya memberikan sifat anti static di awal proses, namun akan
kehilangan sifat tersebut seketika dilakukan proses pencucian dikarenakan
subtantifitasnya yang rendah terhadap serat. Contohnya adalah paraffin polyetoxylated
dan alkyl phenols, polyethylene glycol dan alkylphenil.
ZAP anionik juga dapat digunakan seperti alkyl sulfates, sulfonat yang memilki
sifat anti statis tapi digunakan sebagai emulsifier untuk meningkatkan kestabilan formula
dan keseragaman adsorpsi dan penetrasi. Emulsi antistatik juga termasuk glycerol,
amines dan garam inorganik. Penyempurnaan pemanen diperoleh dengan memodifikasi
permukaan secara polimerik dari serat hidrofob misalnya dengan penggunaan
crosslinking yang akan menghasilkan jaringan polimer yang mengandung kelompok ionik
yang memiliki daya tarik yang tinggi terhadap zat antistatik (seperti interaksi elektrostatis
antara ZAP kationik dan kelompok fungsional asam dari polimer) dan kelompok
higroskopis yang mengikatkan kondukstivitas listrik seperti modifikasi quartenize
prepolymer. Pemasukan elemen yang bersifat konduktor seperti logam dan serat karbon
terutama untuk non woven adalah salah satu alternatif untuk meningkatkan sifat antistatis.
Penyempurnaan ini termasuk penyempurnaan permanen dengan sifat antistatis paling
baik dan ketahanan terhadap pencucian dan setelah pemakaian.

2.4.2.5 Penggunaan Lainnya


ZAP biasanya digunakan dalam proses penyempurnaan sebagai zat pembasah,
emulsifier, pendispersi dan berperan penting dalam proses pelembutan dan anti statis.
Proses basah lainnya dengan penggunaan minor adalah
1. Penyempurnaan anti bakteri
ZAP quartenary amine dapat digunakan sebagai zat anti mikroba sebagai
penyempurnaan anti mikroba. Penyempurnaan anti mikroba bertujuan untuk
mencegah melawan kontaminasi dari bakteri, jamur, virus, protozoa dan mencegah
serangan dari seranggaa dan pestisida lainnya. ZAP jenis ini biasanya digunakan
sebagai bakterisida dan fungisida dalam penyempurnaan tahan bakteri. Contoh ZAP
kationik garam klorida dari ammonium dimetil benzyl cetyl. ZAP anionik dan non ionik
kurang efektif digunakan dibandingkan dengan ZAP kationik sebagai anti mikroba.
Biasanya jenis ini banyak digunakan Mereka kadang-kadang digunakan dengan peran
untuk penghilangan bakteri dan / atau inaktivasi
2. Ketahanan terhadap air dan kotoran
ZAP akan memodifikasi permukaan hidrofil atau hidrofob dari serat atau kain,
mengurangi energi permukaan dan membantu proses ketahanan air dan kotoran.
Modifikasi permukaan tergantung pada jenis dan struktur dari serat. Zat kimia fluoro
alkil termasuk ZAP dan polimer adalah yang paling efektif untuk digunakan sebagai
zat tahan air dan kotoran baik untuk serat sintetik maupun serat alam yang sering
digunakan dengan zat penyempurnaan dan auxiliaries lainnya. Emulsi silikon yang
paling banyak digunakan sebagai water repelling dengan hasil pelembutan yang baik.
Sabun dan fatty acid seperti sabun alumunium, titanium, zirconium adalah water
repellent yang bersifat sementara. Emulsi dari paraffin wax-garam logam
jugamerupakan cara lama dan ekonomis yang masih banyak digunakan. Quartenary
ammonium banyak digunakan sebagai ZAP yang memiliki soil release. ZAP
quartenary reactive seperti octadecyloxylmethyl pirydinium memberikan sifat
ketahanan air yang permanen. Kebanyakan ZAP memiliki ketahanan cuci yang
rendah yang secara normal digunakan sebagai penyempurnaan yang bersifat
sementara.
3. Penyempurnaan pemutihan
ZAP banyak digunakan dengan wax yang teremulsi, polyolefins, glycol, fat sebagai zat
yang dapat menambah kilau dan juga dengan pigmen terdispersi dan binder sebagai
zat penyuram.
ZAP telah memperluas aplikasi dalam banyak proses penyempurnaan kain yang
berbeda untuk memfasilitasi operasi, dan meningkatkan keseragaman proses, efisiensi,
dan mengontrol kualitas.
Secara umum ZAP anionik dan non ionik banyak digunakan dalam proses basah
tekstil, banyak digunakan dalam proses persiapan, pencelupan penyempurnaan,
levelling, emulsifier, dispersi, solubilizing, deterjensi dan pembentukan busa. ZAP non
ionik memberikan manfaat dalam manjaga kestabilan pH, ketahanan terhadap
kesadahan, kompatibel dengan anion dan kation, kurang mendeaktivasi terhadap enzim.
ZAP kationik memiliki aplikasi sebagai softening, lubricating, anti static, anti bakteri,
water/oil repelling juga digunakan sebagai fixing dan levelling zat warna (pada
pencelupan akrilat).

A. PENGETAHUAN
Mahasiswa mengetahui proses tekstil yang dilalui dari mulai menjadi benang
sampai dengan kain yang telah diproses penyempurnaan. Mahasiswa juga dituntut untuk
mengetahui sifat dari serat, metode dan kondisi proses serta auxiliaries yang digunakan di
dalam proses. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami prinsip dari
penggunaan ZPT dan ZAP dalam proses tekstil. Lebih jauhnya lagi, mahasiswa
diharapkan untuk dapat menentukan jenis ZPT dan ZAP yang sesuai untuk proses tekstil.

B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu merencanakan penggunaan ZPT dan ZAP secara tepat dalam
proses tekstil. Untuk mencapai tujuan itu, mahasiswa harus memahami prinsip kerja dari
jenis ZPT dan ZAP yang digunakan, jenis serat, kondisi dan metode proses serta
auxiliaries lain yang digunakan.

C. SIKAP
Mahasiswa dapat mengaplikasikan penggunaan ZPT dan ZAP secara tepat sesuai
dengan jenis proses yang akan dilakukan.

III. LATIHAN DAN TUGAS


A. Pilihlah jawaban yang paling tepat dari beberapa pilihan jawaban berikut !
1. Dalam proses persiapan kain sebelum dilakukan proses pencelupan, maka dapat
dilakukan proses desizing. Untuk proses desizing jenis ZAP yang dapat digunakan
adalah
a. Anionik c. Non ionik
b.Kationik d. Amfoter
2. Pada proses pencelupan serat wol dengan menggunakan zat warna asam, faktor kritis
yang sangat sensitif terhadap hasil pencelupannya adalah
a. ZAP c. Suhu
b.Asam d. pH
3. Faktor berikut adalah faktor yang akan mempengaruhi dari kerja ZAP anionik, kecuali
a. Elektrolit c. Suhu
b.pH d. Zat kationik
4. Jenis ZAP yang paling cocok digunakan sebagai zat anti bakteri pada proses
penyempurnaan adalah
a. Anionik c. Non ionik
b. Kationik d. Amfoter
5. Gugusan hidrofilik dari suatu ZAP dapat mengandung senyawa
a. Etilena oksida c. Ester
b. Amina tertier d. Alkohol
6. Garam ammonium kuartener banyak digunakan sebagai
a. Elektrolit c. Zat fiksasi
b. Zat tahan kotor d. Pelembut
7. Untuk menjaga kestabilan pH selama proses, dalam larutan proses dapat
ditambahkan
a. Elektrolit c. ZAP
b. Asam d. Buffer
8. Proses pelembutan akan memberikan hasil yang paling baik, bila ditambahkan ZAP
jenis
a. Anionik c. Non ionik
b. Kationik d. Amfoter
9. Jenis ZPT yang ditambahkan pada proses pencelupan kapas dengan zat warna direk
dan berfungsi untuk meningkatkan penyerapan zat warna ke dalam serat adalah
a. Elektrolit c. ZAP
b. Asam d. Buffer
10. Senyawa silikon dapat difungsikan sebagai berikut, kecuali
c. zat tahan air c. zat anti bakteri
d. zat defoaming d. zat tahan air

B. Jawablah soal berikut dengan jelas dan singkat!


1. Jelaskan mekanisme terjadinya proses pendispersian zat warna dispersi pada serat
poliester!
2. Jelaskan mekanisme terjadinya levelling pada pencelupan serat akrilat!
3. Sebutkan dan jelaskan fungsi dari ZPT yang ditambahkan dalam proses persiapan
tekstil sebelum dilakukan proses pencelupan/pencapan!
4. Sebutkan dan jelaskan ZPT yang diperlukan dalam proses pencelupan zat warna
direk pada kain kapas!
5. Sebutkan beberapa fungsi dari silikon baik sebagai ZAP maupun sebagai polimer!

IV. DAFTAR PUSTAKA


1. A. Datyner, Rev. Prog. Coloration, Vol. 23, 1993, pp. 40–50.
2. I. Valko, Textile Auxiliaries in dyeing – Review of Progress in Coloration, Vol. 3, 1972,
pp. 50–62.
3. Jones, JSDC, 1984, Vol. 100, pp. 66–72.
4. H. D. Pratt, Jr. How to Use Anionic Surfactants in Textile Wet Processing, American
Dyestuff Report, 1990, June, pp. 38N51.
5. H. H. Mosher, Chapter 5, in Textile Chemical and Auxiliaries, ed. H. C. Speel and E.
W. K. Schwarz, 2nd ed., 1957, pp. 110–141, Reinhold Publishing Corporation, New
York
6. J. Rivlin, The Dyeing of Textile Fibers – Theory and Practice, 1992, ISBN: 0-9633133-
0-4
7. J. Shore in Cellulosics Dyeing, ed. J. Shore, 1995, Society of Dyers and Colourists,
pp. 367–375, ISBN 0-90195668-6.
8. Kirk-Othmer, Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed., 1997, Vol. 23, John
Wiley & Sons, New York.
9. Lehninger,L,A, Principles of Biochemistry, 1982, Worth Publisher Inc.
10. M. Lewin and S. B. Sello, Handbook of Fiber Science and Technology, Vols. 1 and 2:
Chemical Processing of Fibers and Fabrics, 1984, Marcel Dekker, New York.
11. R. Puchta, JAOCS, 61 (2), 1984, pp. 367–376.
12. R. S. Mahomed, Antibacterial and Antifungal Finishes, Chapter IX, in Chemical
Aftertreatment of Textiles, ed. H. Mark, N. S. Wooding, S. M. Atlas, 1970, pp. 507–
552, WileyInterscience, New York.
13. S. Adanur , Wellington Sears Handbook of Industrial Textiles, 1995, Technomic
Publishing Company, Lancaster, Pennsylvania.
14. S. B. Sello, C. V. Stevens, Antistatic Treatment, Chapter 4, in Chemical Processing of
Fibers and Fabrics—Functional Finishes, Part B, Handbook of Fiber Science and
Technology: Volume II, ed. M. Lewin, S. B. Sello, pp. 291–316, Marcel Dekker, New
York, ISBN 08247-7118-4.
15. Shore, J. Colorants and Auxiliaries: Organic Chemistry and Application Properties.
Vol. 2. Society of Dyers and Colourists, 2002
16. Showell, S.Michael, Handbook of Detergent,Surfactant Sceince Series Volume 128,
2006, Taylor & Francis Group, LLC
17. S. M. Burkinshwa, Applications of Dyes, Chapter 7 in The Chemistry and Application
of Dyes – Topics in Applied Chemistry, ed. D. R. Waring, G. Hallas, 1990, Plenum
Press, New York, ISBN 0-306-43278-1.
18. T. L. Vigo, Textile Processing and Properties – Preparation, Dyeing, Finishing and
Performance, Textile Science and Technology, Vol. 11, Elsevier, New York, ISBN: 0-
444-882243. Chapter 3: Method of Applying Dyes to Textiles, pp. 112–192.
19. T. M. Baldwinson, in Colorants and Auxiliaries, ed. J. Shore, Vol. 2, 1990, Society of
Dyes and Colourists. Chapter 12: Auxiliaries Associated with Main Dye Classes, pp.
512–567.
20. World Markets for Textile Chemicals 1999–2009, a Report from Hewin International,
Chapters 1 and 2, pp. 1–154, 2001, John Willey & Sons, Inc., New York, ISBN: 0-471-
36351-0.

Anda mungkin juga menyukai