Disusun oleh:
2018
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga Bahan Ajar Zat Pembantu Tekstil ini
dapat diselesaikan dengan baik. Pembahasan materi pada bahan ajar ini dilakukan
dengan cara memaparkan landasan teori lemak minyak ,sabun, serta Zat Aktif
Permukaan (ZAP) khususnya tentang korelasinya dengan aplikasi dalam proses tekstil.
Lemak/minyak merupakan bahan baku dalam pembuatan ZAP. ZAP dalam proses tekstil
memiliki fungsi yang sangat variatif tergantung dari jenis ZAP yang digunakan. ZAP
tersebut merupakan supporting agent yang dapat menambah daya kerja dalam suatu
proses basah tekstil.
Isi bahan ajar ini terbagi dalam dua topik besar yaitu lemak, minyak, sabun serta
topik mengenai ZPT terutama yang termasuk ke dalam kelompok ZAP. Pada topik lemak,
minyak dan sabun akan dibahas mengenai definisi, sifat serta analisis bahan tersebut.
Untuk topik ZAP akan dibahas mengenai definisi, sifat, jenis, perhitungan komponen
berbasis HLB, mekanisme deterjensi sebagai salah satu aplikasi sifat ZAP serta ZPT
secara fungsi serta aplikasinya dalam proses tekstil. Bahan ajar ini dapat digunakan
sebagai salah satu literatur di bidang auxiliaries tekstil.
Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan bahan ajar ini. Mudah-mudahan
bahan ajar ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi para mahasiswa pada umumnya
yang mengambil mata kuliah Zat Pembantu Tekstil.
Capaian CPL-PRODI
Pembelajaran (CP)
S9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan pekerjaan di bidang keahliannya secara
mandiri.
PU1 Menguasai konsep teoritis sains alam, aplikasi matematika rekayasa, prinsip-prinsip rekayasa, sains
rekayasa, dan perancangan rekayasa yang diperlukan untuk analisis dan perancangan sistem,
proses, dan produk.
PK2 Menguasai pengetahuan dan konsep teoritis bahan baku yang meliputi polimer, serat-serat tekstil,
zat warna, dan zat-zat pembantu tekstil untuk analisis dan perancangan sistem dan proses dalam
pembuatan maupun pengembangan produk tekstil dari benang dan kain mentah menjadi kain jadi;
KU1 Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, inovatif, bermutu, dan terukur dalam melakukan
pekerjaan spesifik di bidang keahliannya serta sesuai dengan standar kompetensi kerja bidang yang
bersangkutan.
KK3 Mampu mengenali karakteristik dan melakukan karakterisasi bahan baku yang meliputi bahan tekstil,
zat warna, dan zat-zat pembantu tekstil;
CP-MK
MK1 Mampu menyimpulkan sifat lemak/minyak berdasarkan analisis lemak/minyak (PU1, PK2, KU1, KK3)
MK2 Mampu menyimpulkan kualitas sabun berdasarkan analisis sabun (PU1,PK2, KU1, KK3)
MK3 Mampu mengklasifikasikan Zat Aktif Permukaan (ZAP) berdasarkan sifat dan fungsi ZAP dalam
proses tekstil (PU1, PK2, KU1, KK3)
MK4 Mampu memprediksi sifat ZAP berdasarkan perhitungan Hidrofil Liofil Balance (S9, PK2, KU1, KK3)
MK5 Mampu menjelaskan proses, mekanisme dan faktor yang berpengaruh dalam proses deterjensi
sebagai salah satu sifat dari ZAP (S9, KU1, KK3)
MK6 Mampu merencanakan penggunaan ZAP dan Zat Pembantu Tekstil (ZPT) dalam proses tekstil (S9,
KU1, KK3)
Deskripsi Singkat Mahasiswa belajar tentang lemak/minyak dan sabun serta analisisnya, ZPT berdasarkan fungsi dan sifat aktif
MK
permukaan (jenis ZAP dan non-ZAP), jenis dan gugus fungsi macam-macam ZAP, kajian tentang kaitan antara
struktur ZAP dan sifatnya serta cara aplikasinya, mekanisme adsorpsi, tegangan permukaan dan antarmuka,
menghitung nilai HLB ZAP, kajian tentang proses deterjensi sebagai salah satu dari sifat ZAP, pemakaian ZAP
dan ZPT di industri tekstil.
6. Dalimunthe, Nur Aisyah. 2009. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas dalam Pembuatan Sabun Padat. Tesis.
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
7. Dewan Standarisasi Nasional. 1994. Standar Mutu Sabun Mandi Padat. SNI 063532-1994. Jakarta: Dewan
Standarisasi Nasional.
8. Drew Myers, Surfactant science and technology. John Wiley & Sons, 2005.
9. Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S., 1992, Kimia Organik Jilid 2 , Penerbit Erlangga, Jakarta.
10. H. D. Pratt, Jr. How to Use Anionic Surfactants in Textile Wet Processing, American Dyestuff Report, 1990,
June, pp. 38N51.
11. H. H. Mosher, Chapter 5, in Textile Chemical and Auxiliaries, ed. H. C. Speel and E. W. K. Schwarz, 2nd
ed., 1957, pp. 110–141, Reinhold Publishing Corporation, New York
12. Herlina, N, Ginting,S, Lemak dan Minyak, 2002 ,USU digital library
13. Hilditch I.P.1949. The Industrial Chemistry of The Fats ad Waxes, 3.ed.pp 117-165, Baillere Tidal and Cox,
London.
14. I. Valko, Textile Auxiliaries in dyeing – Review of Progress in Coloration, Vol. 3, 1972, pp. 50–62Isminingsih
G,Diktat Transparan Seri Zat Pembantu Tekstil, Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung, 1995
15. Jones, JSDC, 1984, Vol. 100, pp. 66–72.
16. J. Shore in Cellulosics Dyeing, ed. J. Shore, 1995, Society of Dyers and Colourists, pp. 367–375, ISBN 0-
90195668-6.
17. Kamikaze, D., 2002, Studi Awal Pembuatan Sabun Menggunakan Campuran Lemak Abdomen Sapi dan
Curd Susu Afkir, Skripsi, 10, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
18. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Edisi I. UI Press. Jakarta.
19. Kurnia, F, Hakim, I. 2009. Pembuatan Sabun Mandi dari Minyak Jarak dengan Soda Q Sebagai Upaya
Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q. Universitas Diponegoro. Semarang.
20. Luis, Spitz. 1996. Soap and Detergent Theoritical and Practical Review .AOCS Press. United States of
America.
21. Pratiwi, Wiwin. 2013. Makalah Proses Pembuatan Sabun. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
22. R. S. Mahomed, Antibacterial and Antifungal Finishes, Chapter IX, in Chemical Aftertreatment of Textiles,
ed. H. Mark, N. S. Wooding, S. M. Atlas, 1970, pp. 507–552, WileyInterscience, New York
23. Ralp J. Fessenden and Joan S. Fessenden, “ Organic Chemistry,” Third Edition, University Of Montana,
1986, Wadsworth, Inc, Belmont, Califfornia 94002, Massachuset, USA.
24. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2018
25. Rieger, M. M., Rhein, L. D., (1997). Surfactants chemistry and Classification. Cosmetics. 2nd Edition. New
York: Marcell Dekker Inc; 68: p. 4-18.
26. S. B. Sello, C. V. Stevens, Antistatic Treatment, Chapter 4, in Chemical Processing of Fibers and Fabrics—
Functional Finishes, Part B, Handbook of Fiber Science and Technology: Volume II, ed. M. Lewin, S. B.
Sello, pp. 291–316, Marcel Dekker, New York, ISBN 08247-7118-4.
27. S. M. Burkinshwa, Applications of Dyes, Chapter 7 in The Chemistry and Application of Dyes – Topics in
Applied Chemistry, ed. D. R. Waring, G. Hallas, 1990, Plenum Press, New York, ISBN 0-306-43278-1.
28. Sheats, W. Brad dan Norman C. Foster. 1997. Concentrated Products from Methyl Ester Sulfonates.
(http://www.chemiton.com/papers_brochures./Concentrated_Products.doc.pdf)
29. Shore, J. Colorants and Auxiliaries: Organic Chemistry and Application Properties. Vol. 2. Society of Dyers
and Colourists, 2002
30. Showell, S.Michael, Handbook of Detergent,Surfactant Sceince Series Volume 128, 2006, Taylor & Francis
Group, LLC
31. Supena. 2007. Membuat Sabun Mandi Sendiri. http//www.woodness.com. Diakses Januari 2014.
32. T. L. Vigo, Textile Processing and Properties – Preparation, Dyeing, Finishing and Performance, Textile
Science and Technology, Vol. 11, Elsevier, New York, ISBN: 0-444-882243. Chapter 3: Method of Applying
Dyes to Textiles, pp. 112–192.
33. T. M. Baldwinson, in Colorants and Auxiliaries, ed. J. Shore, Vol. 2, 1990, Society of Dyes and Colourists.
Chapter 12: Auxiliaries Associated with Main Dye Classes, pp. 512–567
34. www.firp.ula.ve/archivos/historico/76_Book_HLB_ICI.pdf diakses tanggal 20 Oktober 2018
Pendukung:
1. Alberty, D.F 1983, Kimia Fisika, Penerjemah Suraida Jilid Pertama, Edisi Kelima, Penerbit Erlangga
2. Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo
dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
3. Girindra, A., & M. D. Soedarno. (1988). Penuntun Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
4. Groggins, P.H. 1958, Unit Process in Organic Synthesis, 5ed.pp 323 and 386. Mc Graw Hill Book
Company,Inc, New York.
5. Hui. (1996). Mechanistic Approach to The Thermal Degradation of α-Olefin Sulfonates. Ethyl Coorporation.
Baton Rouge, L.A. USA.
6. J. Rivlin, The Dyeing of Textile Fibers – Theory and Practice, 1992, ISBN: 0-9633133-0-4 Kirk-Othmer,
Encyclopedia of Chemical Technology, 4th ed., 1997, Vol. 23, John Wiley & Sons, New York.
7. Lehninger,L,A, Principles of Biochemistry, 1982, Worth Publisher Inc.
8. M. Lewin and S. B. Sello, Handbook of Fiber Science and Technology, Vols. 1 and 2: Chemical Processing
of Fibers and Fabrics, 1984, Marcel Dekker, New York.
9. Miller, J.A., and Neuzil, E.F. (1982). Modern Experimental Organic Chemistry. Toronto: D.C Health and
Company. p. 616-619.
10. Poedjiaji, A., Supriyanti, F.M.T. 2007. Dasar-dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI)
Press.
11. R. Puchta, JAOCS, 61 (2), 1984, pp. 367–376.
12. Rukaesih, 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
13. S. Adanur , Wellington Sears Handbook of Industrial Textiles, 1995, Technomic Publishing Company,
Lancaster, Pennsylvania.
14. Soedarmo, P. dan Sediaoetama, 1987. Jlmu Gizi. Jakarta: PenerbitDian Rakyat.
15. Tranggono dan Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
16. Winarno, F.G. 2010. Enzim Pangan (Edisi Revisi). M-Brio Press, Jakarta.
17. World Markets for Textile Chemicals 1999–2009, a Report from Hewin International, Chapters 1 and 2, pp.
1–154, 2001, John Willey & Sons, Inc., New York, ISBN: 0-471-36351-0.
Media Perangkat Lunak: Perangkat Keras:
Pembelajaran
- LCD
Laptop
Team Teaching Hariyanti Rahayu,
Budy Handoko,
Wulan Safrihatini,
Octianne Djamaludin
Matakuliah -
Prasyarat
Minggu Kemampuan Akhir Bahan Kajian Strategi / Waktu Kriteria Instrumen Bobot (%)
yang Diharapkan Metode Penilaian
Ke‐ Pembelajaran Belajar Penilaian
(SUB-CPMK) (Indikator)
(menit)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 mahasiswa mampu - Penjelasan Penjelasan, 100 menit - Ketepatan Quiz/
menjelaskan definisi tentang definisi diskusi tanya dalam Penugasan
lemak/minyak. lemak/minyak jawab menjelaskan
dan sumber – definisi
sumber lemak/minyak 7
lemak/minyak. dan sumber –
sumber
lemak/minyak.
16 Evaluasi Akhir Semester /UAS: Melakukan validasi penilaian akhir dan menentukan kelulusan mahasiswa
Keterangan:
Bobot Penilaian: Quiz dan/atau Tugas 25% UTS 35% UAS 40%
MATERI 1: LEMAK DAN MINYAK
Pertemuan ke : 1 – 3
I. PENDAHULUAN
Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan
lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam pelarut organik non-polar,misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform(CHCl3),
benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang
disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan
pelaut tersebut.
Bahan-bahan dan senyawa kimia akan mudah larut dalam pelarut yang sama
polaritasnya dengan zat terlarut . Polaritas bahan dapat berubah karena adanya proses
kimiawi. Misalnya asam lemak dalam larutan KOH berada dalam keadaan terionisasi dan
menjadi lebih polar dari aslinya sehingga mudah larut serta dapat diekstraksi dengan air.
Ekstraksi asam lemak yang terionisasi ini dapat dinetralkan kembali dengan
menambahkan asam sulfat encer (10 N) sehingga kembali menjadi tidak terionisasi dan
kembali mudah diekstraksi dengan pelarut non-polar.
Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi larut
dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas,
khloroform dan benzena. Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida atau
triasgliserol, yang berarti “triester dari gliserol” . Jadi lemak dan minyak juga merupakan
senyawaan ester . Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan
gliserol . Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai
hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang.
II. MATERI
2.1 Pembentukan Lemak dan Minyak
Bila R1=R2=R3 , maka trigliserida yang terbentuk disebut trigliserida sederhana (simple
triglyceride), sedangkan bila R1, R2,R3, berbeda , maka disebut trigliserida campuran
(mixed triglyceride).
2.2 Klasifikasi Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan beberapa penggolongan, yaitu:
Berdasarkan jenisnya
1. Lemak/Minyak, Ester dari gliserol dengan asam lemak
2. Wax/Malam, Ester dari alcohol berbasa satu dengan asam lemak
3. Wax/Parafin, Hidrokarbon rantai panjang jenuh/ tidak jenuh
Berdasarkan kejenuhannya (ikatan rangkap) :
Asam lemak jenuh
Berikut ini adalah contoh beberapa asam lemak jenuh
Tabel 1.1 Contoh-contoh dari asam lemak jenuh
Nama Asam Lemak Struktur Sumber
Butirat CH3(CH2)2CO2H Lemak susu
Palmitat CH3(CH2)14CO2H Lemak hewani dan nabati
Stearat CH3(CH2)16CO2H Lemak hewani dan nabati
o o o o
3. Penyabunan
Reaksi ini dilakukan dengan penambhan sejumlah larutan basa kepada trigliserida. Bila
penyabunan telah lengkap,lapisan air yang mengandung gliserol dipisahkan dan
gliserol dipulihkan dengan penyulingan.
4. Hidrogenasi
Proses hidrogenasi bertujuan untuk menjernihkan ikatan dari rantai karbon asam
lemak pada lemak atau minyak . setelah proses hidrogenasi selesai , minyak
didinginkan dan katalisator dipisahkan dengan disaring . Hasilnya adalah minyak yang
bersifat plastis atau keras , tergantung pada derajat kejenuhan.
5. Pembentukan keton
Keton dihasilkan melalui penguraian dengan cara hidrolisa ester.
Pada cara ini, Laurol Chlorida akan diubah menjadi "diundecyl keton".
Reaksi sulfatasi ialah reaksi pemasukan gugus –OSO 3H ke dalam suatu senyawa,
sedangkan sulfonasi adalah reaksi pemasukan gugus -SO3H ke dalam suatu senyawa.
Proses ini banyak dilakukan atau dikenakan terhadap senyawa-senyawa organik.
Umumnya proses ini dikenakan terhadap gliserida-gliserida asam lemak jenuh atau
tidak jenuh yang mengandung gugus OH . Salah satu penggunaan hasil proses
sulfatasi dan sulfonasi adalah sebagai bahan pencuci.
Sulfatasi adalah proses perlakuan minyak dengan asam sulfat pekat untuk
mendapatkan minyak yang dapat teremulsi dalam air. Sulfatasi merupakan reaksi
pemasukan gugus sulfat ke dalam suatu senyawa (Groggins, 1958). Sulfatasi terhadap
minyak dapat dilakukan jika asam lemak dalam minyak memiliki ikatan rangkap atau
gugus hidroksil. Sulfatasi minyak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu proses tinggi
dan cepat (Groggins, 1958). Proses tinggi dilakukan pada suhu maksimal 350C dengan
waktu 5-6 jam. dan kadar asam slfat 93-94% proses cepat dijalankan pada suhu 26 –
52oC dengan waktu 2-3 jam dan kadar asam sulfat 93%. Apabila sulfatasi minyak
dimaksudkan untuk menyerang ikatan rnagkap, proses dilakukan pada suhu yang lebih
randah (Hildicth, 1949). Contoh reaksi (Bailley, 1945).
Sulfonasi adalah proses perlakuan minyak/lemak jenuh (yg mengandung as. Stearat,
as. Palmitat dan lain-lain) oleh asam sulfat pekat pada suhu dan tekanan tinggi. Contoh
reaksi
7. Oksidasi
Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan lemak
atau minyak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada lemak
atau minyak.
Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya,
sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara
atom-atom karbon penyusunnya. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air
terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27°
Celsius). Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga
semakin sukar larut. Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi)
daripada asam lemak tak jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah
bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi). Karena itu, dikenal istilah bilangan
oksidasi bagi asam lemak. Asam lemak jenuh sangat stabil terhadap oksidasi, akan
tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang oksidasi. Dimana lemak tidak
dapat meleleh pada satu titik suhu, akan tetapi lemak akan menjadi lunak pada suatu
interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lemak merupakan
campuran gliserida dan masing-masing gliserida mempunyai titik cair sendiri-sendiri.
Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki
dua bentuk: cis dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis
(dilambangkan dengan "Z", singkatan dari bahasa Jerman zusammen). Asam lemak
bentuk trans (trans fatty acid, dilambangkan dengan "E", singkatan dari bahasa Jerman
entgegen) hanya diproduksi oleh sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis.
Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis memiliki rantai yang melengkung. Asam
lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak mengalami efek polarisasi yang
kuat dan rantainya tetap relatif lurus.
Ketengikan (rancidity) terjadi karena asam lemak pada suhu ruang dirombak
akibat hidrolisis atau oksidasi menjadi hidrokarbon, alkanal, atau keton, serta sedikit
gliserida. Pengawetan dapat dilakukan dengan menyimpannya pada suhu sejuk dan
kering, serta menghindarkannya dari kontak langsung dengan udara.
Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh
mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut
disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.
Sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah
atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu
kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal ini dengan
oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang
bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon
yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim.
Senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehid- aldehid,
dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak.
Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak dalam bahan
makanan. Ini biasanya terdiri oleh atmosfer oksigen, frekuensi yang sedikit oleh ozon,
peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam penambahan untuk oksigen dan
ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan reaksi lain, seperti anion superoksida
(O2) dan radikal (O2), radikal perhidrosilik (HO2), hidrogen peroksida dan hidrosil radikal
(HO). Asam peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan mungkin reaksi
dengan molekul lain dari produk aldehid asam karboksilat.
Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan
peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau lemak, dapat
dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada minyak
atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat tengik
dibandingkan lemak jenuh. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh
proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa
dihasilkan gliserida dari asam-asam lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan
terjadi perubahan rasa dan bau menjadi tengik.
Menurut Buckle dkk, (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada minyak dan
lemak, yaitu :
Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap
terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak jenuh.
Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tak diinginkan
dalam lemak dan minyak produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.
Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat
mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan
oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan enzim. Hidrolisa
dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan
enzim. proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-logam yang bersifat
katalisator seperti Zn, Cu.
Gambar 1.1 Reaksi Oksidasi dan hidrolisa yang terjadi pada lemak/minyak
Penentuan sifat fisika maupun kimia yang khas ataupun mencirikan sifat minyak
tertentu. data ini dapat diperoleh dari bilangan yodiumnya, bilangan Reichert-Meissel,
bilangan polenske, bilangan krischner, bilangan penyabunan, indeks refraksi titik cair,
bilangan kekentalan,tItik percik,komposisi asam-asam lemak ,dan sebagainya.
Paparan oksigen, cahaya, dan suhu tinggi merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi oksidasi. Penggunaan suhu tinggi selama penggorengan memacu
terjadinya oksidasi minyak. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah dengan
kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Bilangan peroksida yang tinggi
mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka
yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini.
Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil
dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar
peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain Oksidasi lemak
oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan
udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan
kondisi penyimpanan.
3. Penentuan asam thiobarbiturat(TBA)
Uji asam tiobarbiturat (TBA) dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dimana
lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam TBA menghasilkan warna merah dan
intensias warna ini menunjukkanderajat ketengikan (Winarno, 1984). Lemak yang
tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai monoaldehid. Banyaknya
monoaldehid dapat ditentukan dengan jalan destilasi lebih dahulu. Monoaldehid
kemudian direaksikan dengan thiobarbiturat sehingga terbentuk senyawa kompleks
berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah monoaldehid dapat
ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm.
Cara yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan soxhlet. Alat soxhlet ini dilengkapi
dengan serangkaian kondensor untuk mencegah terjadinya penguapan dari pelarut lemak.
Bahan dibungkus atau ditempatkan dalam thimble, kemudian dikeringkan dalam oven
untuk menghilangkan airnya. Pemanasan harus secepatnya dan dihindari suhu yang
terlalu tinggi, untuk ini dianjurkan dengan vacuum oven (suhu 70°C) dengan tekanan
vakum.
Ekstraksi lemak dari bahan kering dapat dikerjakan secara terputus-putus atau
bersinambungan. Ekstraksi secara terputus-putus dijalankan dengan alat soxhlet,
sedangkan cara bersinambungan dengan alat goldfisch atau ASTM yang dimodifikasi.
Beberapa bahan pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi lemak adalah ether yaitu
ethil ether dan petroleum ether. Pelarut yang digunakan sebanyak 1,5-2 kali isi tabung
ekstraksi. Lemak atau minyak akan terekstraksi, pada akhir ekstraksi yaitu kira-kira 4-6
jam labu gondok diambil dan ekstrak dituang kedalam botol timbang atau cawan porselen
yang telah diketahui beratnya, kemudian sisa pelarut yang ikut bersama hasil ekstraksi
diuapkan. Selanjutnya cawan dikeringkan dalam oven sampai diperoleh berat konstan
pada suhu 100°C. Berat residu dalam botol timbang dinyatakan sebagai berat lemak atau
minyak. Agar diperoleh lemak dan minyak bebas air dengan cepat maka pengeringan
dapat dilakukan dengan menggunakan oven vacuum. Selain cara diatas penentuan
banyaknya lemak dapat pula diketahui dengan menimbang sampel padat yang ada dalam
thimble setelah diekstraksi dan sudah dikeringkan dalam oven sehingga diperoleh berat
konstan. Selisih berat sebelum dengan sesudah ekstraksi merupakan berat minyak atau
lemak yang ada dalam bahan tersebut.
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, mengklasifikasikan jenis asam lemak,
menjelaskan sifat dan analisa dari jenis lemak dan minyak.
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa diharapkan akan mampu untuk mengontrol penggunaan lemak dan
minyak berdasarkan jenis dan sifatnya.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu melakukan analisa terhadap kualitas dari lemak dan minyak
berdasarkan parameternya.
III. LATIHAN
A. Pilihlah jawaban yang paling tepat!
1. Lemak adalah senyawa karbon yang termasuk golongan ….
a. polialkohol c. asam karboksilat
b. ester d. Aldehid
2. Lemak dan minyak mengandung jenis unsur yang sama, yaitu C, H, O. Perbedaannya
terletak pada ….
a. Struktur molekul c. Ikatan antaratom karbon
b. Jumlah asam lemak d. Kereaktifan gugus ester
3. Ciri utama asam karboksilat dalam lemak adalah ….
a. Mengandung gugus karboksilat c. Memiliki ikatan rangkap dua
b. Memiliki rantai karbon yang panjang d. Dapat dihidrolisis
4. Pernyataan berikut yang sesuai dengan gliserol adalah ….
a. Sukar larut dalam air, tetapi larut dalam eter c. Tergolong senyawa polihidroksi
b. Merupakan alkohol tersier d. berupa cairan kental dan beracun
5. Jika lemak dihidrolisis dengan larutan NaOH, salah satu produknya adalah ….
a. Propanol c. Nitrogliserin
b. Gliserol d. Ester
6. Reaksi RCOOR + NaOH COONa + ROH dinamakan reaksi ….
a. Penyabunan c. Pirolisis
b. Esterifikasi d. Hidrolisis
7. Reaksi penyabunan adalah reaksi antara ….
a. Gliserol dan NaOH c. Gliserol dan asam lemak
b. Etanol dan NaOH d. Asam karboksilat dan NaOH
8. Untuk menentukan adanya ikatan rangkap digunakan pereaksi brom. Reaksi yang
terjadi pada penentuan ini
a. Substitusi c. Oksidasi
b. Adisi d. Eliminasi
9. Bilangan yang menyatakan kadar asam lemak bebas dalam suatu lemak atau minyak
dengan cara reaksi penetralan disebut ….
a. bilangan asam c. bilangan ester
b. bilangan penyabunan d. bilangan Iodin
10. Di antara asam-asam lemak berikut yang memiliki bilangan iodin paling tinggi adalah
a. asam stearat c. asam palmitat
b. asam linoleat d. asam linoleat
Pertemuan ke : 4 - 5
A. PENDAHULUAN
Sabun adalah salah satu jenis ZAP yang dapat difungsikan dalam proses
pembersihan kotoran dan menjadi bagian dari kelompok yang disebut ZAP. Sabun adalah
produk campuran garam natrium atau kalium dari reaksi saponifikasi alkali dan dengan
asam lemak, sehingga sifat dari asam lemak yang digunakan akan menentukan sifat dari
sabun yang dihasilkan. Sabun dimasukkan ke dalam kategori ZAP karena strukturnya
merupakan senyawa ampifilik. Fungsinya yang banyak digunakan dalam proses
pencucian tekstil, menjadikan sabun memiliki peranan penting dalam tingkat keberhasilan
suatu proses. Oleh karena itu, penggunaan sabun harus dikontrol dalam hal sifat dengan
melakukan sejumlah analisa tehadap beberapa paremeternya.
II. MATERI
2.1 Pengertian Sabun
Sabun adalah garam natrium dan kalium dari asam lemak yang berasal dari
minyak nabati atau lemak hewani. Sabun yang digunakan sebagai pembersih dapat
berwujud padat (keras), lunak dan cair. Dewan Standarisasi Nasional menyatakan bahwa
sabun adalah bahan yang digunakan untuk tujuan mencuci dan mengemulsi, terdiri dari
asam lemak dengan rantai karbon C12-C18 dan natrium atau kalium .
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ion.
Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zat-zat non polar,
sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Aksi pencucian dari sabun
banyak dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan
permukaaan dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari anion
sabun. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai “kepala” dengan
hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor”. Mekanisme sabun mengangkat minyak/ lemak
dari benda adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung hidrofobik mengepung molekul
minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam air membentuk misel sehingga minyak
terlepas dari benda.
Adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah
benar-benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena
membentuk misel (micelles), yakni segerombol (50 - 150) molekul yang rantai
hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung- ujung ionnya yang menghadap ke air.
Sabun diklasifikasikan menjadi beberapa grade mutu. Sabun dengan grade mutu A
diproduksi oleh bahan baku minyak atau lemak yang terbaik dan mengandung sedikit
atau tidak mengandung alkali bebas. Sabun dengan grade B diperoleh dari bahan baku
minyak atau lemak dengan kualitas yang lebih rendah dan mengandung sedikit alkali,
namun kandungan alkali tersebut tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Sedangkan sabun
dengan kualitas C mengandung alkali bebas yang relatif tinggi berasal dari bahan baku
lemak atau minyak yang berwarna gelap. Sabun dapat berwujud padat, lunak atau cair,
berbusa dan digunakan sebagai pembersih.
2.7.2. Air
Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia dengan rumus molekul H2O. Satu
molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom
oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar,
yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini
merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan
banyak zat kimia lainnya, seperti garam- garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan
banyak macam molekul organic.
Dalam pembuatan sabun, air yang baik digunakan sebagai pelarut yang baik
adalah air sulingan atau air minum kemasan. Air dari PAM kurang baik digunakan karena
banyak mengandung mineral.
2.7.3 Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah NaOH, KOH,
Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa dikenal dengan soda
kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam
pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena
sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat) merupakan
alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan
trigliserida (minyak atau lemak). Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin
alkohol. Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak.
Sabun yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu
menurunkan kesadahan air.
Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa menunjukkan sifat mudah
berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan sebagai sabun industri dan
deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering
dilakukan oleh industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan dengan
keunggulan tertentu.
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses penyempurnaan
sabun hasil saponifikasi (pengendapan sabun dan pengambilan gliserin) sampai sabun
menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan
bahan-bahan aditif.
2.7.9 Antioksidan
Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun terutama pada bau
tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium hiposulfid, dan natrium tiosulfat diketahui dapat
digunakan sebagai antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang sangat
kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai bleaching agent.
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mampu melakukan analisa
terhadap kualitas sabun.
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu menganalisa dari kualitas sabun berdasarkan sifat dan hasil
analisa sehingga dapat mengklasifikasikan jenis sabun tersebut.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu melakukan analisa terhadap kualitas dari sabun berdasarkan
parameternya analisanya
III. LATIHAN
A. Jawablah pertanyaan berikut dengan jawaban yang paling tepat!
1. Hasil reaksi yang diperoleh dalam proses penyabunan dengan kondisi alkali
berlebih adalah
a. Sabun c. Asam lemak
b. Gliserol d. a dan b benar
2. Berikut ini merupakan sifat dari sabun kecuali
a. ZAP c. Larut dalam air
b. Dalam larutan membentuk misel d. Ampifilik
3. Sabun yang terbuat dari lemak jenuh (oleat) akan memiliki sifat
a. Mudah untuk terhidrolisa c. Memiliki derajat hidrolisa rendah
b. Memiliki titik keruh yang tinggi d. semua benar
4. Sabun yang diproses dalam kondisi kesadahan air yang tinggi (hard water) akan
bersifat
a. Sabun terdispersi koloidal c. Kotoran tidak terdispersi maksimum
b. Tidak terbentuk busa d. a dan b betul
5. Hidrolisa sabun dalam air akan terbentuk
a. Gugus anion c. Senyawa gliserol
b. Gugus hidroksil d. Semua benar
6. Syarat sabun yang digunakan untuk sabun mandi adalah
a. Alkali berlebih c. Gliserol berlebih
b. Asam lemak berlebih d. semua benar
7. Suhu titer dari sabun dipengaruhi oleh
a. Berat molekul sabun c. Suhu proses dan jenis alkali yang
digunakan
b. Tingkat kejenuhan asam lemak d. Semua benar
8. Sifat ionisasi terkait pelarutan sabun dalam air ditentukan oleh
a. Gugus hidrofob c. Gugus hidrokarbon
b. Gugus hidrofil d. Gugus atom karbon
9. Bahan yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sabun adalah
a. Desinfektan c. Gliserol
b. Senyawa alkali d. Asam lemak
10. Penentuan kadar air dalam sabun sabun dianalisa menggunakan metode
a. Gravimetri c. Alkalimetri
b. Asidimetri d. Kompleksometri
Pertemuan ke : 6-7
I. PENDAHULUAN
Bidang kimia telah berkembang terutama dalam studi ilmu permukaan dan koloid,
yang banyak diterapkan untuk aktivitas permukaan. Teknologi ilmu permukaan secara
umum, meliputi dan emulsi, dispersi,zat pembusa, zat pembasah dan senyawa terkait
lainnya. ZAP atau zat aktif permukaan merupakan senyawa ampifilik yang meiliki fungsi
yang cukup luas dan memiliki kutub yang berbeda secara spasial (hidrofilik kepala) dan
non-kelompok kutub (ekor hidrofobik). ZAP memperlihatkan fenomena yang menarik
dalam larutan dalam memodifikasi antarmuka dan sifat pelarutan. Sifat-sifat karakteristik
yang tidak biasa dari ZAP dalam larutan terutama pada fenomena antarmuka karena
adanya gugus hidrofilik juga gugus hidrofobik dalam molekul yang sama. ZAP banyak
ditemukan dalam aktifitas keseharian manusia secara langsung, dalam penggunaannya
sebagai deterjen dan dalam proses tekstil seperti dalam proses persiapan, pencelupan
dan pencapan serta penyempurnaan. Deterjen, salah satu fungsi yang paling banyak
digunakan oleh ZAP anionik merujuk pada kombinasi dari ZAP sintetis dan zat lain baik
organik maupun inorganik yang diformulasikan untuk meningkatkan performa fungsional
terutama sebagai zat pembersih. Ilmu koloid dan permukaan telah muncul sebagai subjek
multidisiplin yang memiliki terobosan ke dalam ilmu kimia yang memegang peranan
penting dari berbagai fungsi proses kehidupan.
Evolusi ilmu dan teknologi ZAP bersifat dinamis dimana setiap saat akan selalu
berkembang seiring dengan ditemukannya keterbaruan dalam lingkup keilmuannya.
II. MATERI
2.1 Definisi Zat Aktif Permukaan (ZAP)
Istilah ZAP (surface active agent ) atau zat aktif permukaan pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan molekul yang berinteraksi pada permukaan cairan.
ZAP dapat digunakan dalam sistem cairan ataupun bukan cairan. ZAP juga dikenal
dengan istilah senyawa ampifil yang artinya bahwa molekul atau ion mempunyai afinitas
tertentu baik terhadap pelarut polar maupun nonpolar. Sebagai contoh, alkohol – alkohol
rantai lurus, amina – amina dan asam – asam adalah amfifil yang berubah dari hidrofilik
dominan menjadi lipofilik apabila jumlah atom karbon dalam rantai alkil naik. Amfifilik
merupakan sifat dari zat aktif permukaan yang menyebabkan zat ini diadsorbsi pada
antarmuka, apakah ini cair/gas atau cair/cair.
ZAP atau surface active agent ( Zat Aktif Permukaan ) adalah molekul-molekul
yang mengandung gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada
molekul yang sama. ZAP juga merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan
permukaan dari suatu larutan, tegangan antarmuka antara dua larutan, atau bahkan
tegangan antarmuka antara larutan dan zat padat. ZAP dapat berfungsi sebagai detergen,
zat pembasah, emulsifier, zat pembusa dan zat pendispersi. ZAP terdiri dari dua bagian,
yaitu gugus hidrofobik dan hidrofilik. Gugus hidrofilik berada di bagian kepala (polar) dan
lipofilik di bagia ekor (non polar). Bagian polar molekul ZAP dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil
yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil.
Molekul ZAP dapat dilihat pada gambar berikut.
Sumber: www.wikipedia.org
Gambar 3.1 Molekul ZAP
Sifat-sifat ZAP adalah dapat menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar
muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis
formulasinya baik itu oil in water (O/W) atau water in oil (W/O). Selain itu ZAP juga akan
terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan
mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang
terdispersi. Sifat-sifat ini dapat diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Panjang
dan gugus hidrofil merupakan gugus yang mempunyai kepolaran yang tinggi yang dapat
meningkatkan kelarutan. Penambahan ZAP dalam larutan akan menyebabkan turunnya
tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walaupun konsentrasi ZAP ditingkatkan. Fungsi penting dari
ZAP adalah membentuk agregat berukuran nanometer yang disebut misel yang dapat
mensolubilisasi zat yang tidak larut dalam air. Hal ini terkait dengan fungsi ZAP dalam
proses deterjensi dan solubilisasi. Bila ZAP ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka
ZAP mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical
Micelle Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa
antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis
dengan monomernya. Kerja dari ZAP diindikasikan dengan :
Terbentuknya busa
Adanya pembasahan (wetting)
Emulsifikasi
Apabila pada permukaan antara dua fasa yang bersih (seperti gas-cairan dan
cairan-cairan) dtitambahkan komponen ketiga, maka komponen ketiga ini akan
teradsorbsi pada permukaan dan komponen ini akan sangat mempengaruhi sifat
permukaan. Adsorbsi molekul zat terlarut dari larutan oleh permukaan padatan biasanya
hanya membentuk monolayer. Adsorben polar cenderung untuk mengadsorbsi adsorbat
polar secara kuat dan mengadsorbsi adsorbat nonpolar secara lemah. Sebaliknya
adsorben nonpolar cenderung untuk mengadsorbsi secara kuat adsorbat nonpolar dan
mengadsorbsi adsorbat polar secara lemah.
2.1.1 Hidrofilik
Tujuan dasar dari hidrofil adalah untuk memberikan kelarutan. Kelompok hidrofil
yang paling sering digunakan adalah sebagai berikut:
(a) dalam ZAP anionik: kation natrium, kalium atau amonium, yang berhubungan dengan
kelompok bermuatan negatif pada gugusan hidrofobik seperti karboksilat, sulfonat,
sulfat atau fosfat
(b) dalam ZAP kationik: ion klorida, bromida atau metosulfat, yang ditempatkan secara
kontras dengan gugusan hidrofobik, contoh, atom nitrogen kuartener yang bermuatan
positif
(c) dalam ZAP nonionik: bagian etilen oksida atau propilena oksida.
Makin banyak gugus hidrofilik kompleks yang sering ditemui, seperti mono-, di- dan tri-
ethanolamine dan isopropanolamines yang banyak digunakan dalam ZAP anionik.
2.1.2 Hidrofob
Gugus hidrofob tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Sebagian besar
didasarkan pada rantai panjang linear alkana, baik jenuh atau tidak jenuh. Gugusan
hidrofob awalnya diperoleh secara alami yaitu dari senyawa lemak dan minyak seperti
minyak jarak, ikan, zaitun, kelapa dan lemak, tetapi sumbernya kemudian digantikan oleh
produk minyak bumi yang lebih murah. Baru-baru ini, tidak hanya harga minyak mentah
yang meningkat, tetapi juga telah terjadi perkembangan terhadap sumber pembuatan
gugusan hidrofob. Hidrofob yang paling banyak digunakan sebagai dasar ZAP adalah
yang mengandung atom karbon 8 – 18 seperti terdapat pada Tabel 3.1.
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan fenomena spontan karena energi permukaan (tegangan
permukaan) turun. Penyebab terjadinya tegangan permukaan turun adalah molekul ZAP
menggeser molekul air di permukaan dan gaya tarik menarik ZAP dengan molekul air
lebih kecil dari gaya tarik menarik air dengan air.
Gambar 3.2 . Orientasi ZAP yang Teradsorpsi pada Permukaan Nonpolar: (a) coverage
rendah (b) coverage menengah (c) kejenuhan permukaan — kira-kira vertikal, tertutup
rapat, meskipun beberapa kemiringan mungkin ada.
Kejenuhan permukaan dari ZAP dicapai pada atau dekat CMC. Konsekuensi penting dari
adsorpsi ZAP ke permukaan nonpolar adalah bahwa sifat dari permukaan berubah secara
drastis. Jika bahan yang teradsorpsi bermuatan, lapisan teradsorpsi akan tertanam,
sampai batas tertentu, setidaknya, sifat permukaan seperti itu, dengan semua kekuatan
yang muncul (misalnya, peningkatan stabilitas dalam keadaan system terdispersi) dan
kelemahan (kepekaan terhadap elektrolit). Jika material yang teradsorpsi bersifat non
ionik, hal yang sama juga akan berlaku.
Gambar 3.2 Model Adsorpsi ZAP melalui Gaya Dispersi Non Polar a).Model kereta; b)
Model L c) Tegak lurus
Gambar 3.3 Mekanisme untuk Menjelaskan berbagai laju ZAP ionik untuk meutupi
permukaan dan model adsorpsi a)permukaan asli, b). pertukaran ion c) pasangan ion d)
netralisasi muatan
Pada tahap awal (wilayah 1), adsorpsi terjadi terutama sebagai hasil dari pertukaran ion
yang berkaitan dengan ion lawan dari perukaan awal digantikan dengan molekul ZAP.
Selama tahap itu sifat listrik (yaitu, muatan permukaan) dari permukaan pada dasarnya
tetap tidak berubah. Saat adsorpsi berlanjut, pasangan ion molekul ZAP dengan muatan
permukaan menjadi penting (wilayah 2), menghasilkan penurunan pembatas elektrik
dalam muatan permukaan. Sifat listrik seperti itu terukur sebagai zeta potensial, ukuran
dari densitas muatan permukaan (dalam Coulomb/m 2) akan cenderung menuju ke nol.
Sering ditemukan bahwa pada daerah 2 laju adsorpsi akan meningkat secara signifikan.
Observasi meningkat dikarenakan efek kerjasama dari gaya elektrostatik dan interaksi
lateral diantara grup hidrofobik yang menempel pada ZAP yang teradsorpsi ketika
densitasnya meningkat.
Ketika adsorpsi mendekati tingkat netralisasi sempurna dari muatan permukaan asal oleh
ZAP yang teradsorpsi, sistem akan menuju ke muatan titkl nol nya (Zero Point Charge),
dimana semua muatan ZAP telah berpasangan dengan molekul ZAP. Pada daerah 3,
interaksi hidrofobik antara ekor ZAP yang menempel bisa mendominasi, sering
membentuk struktur agregat. Jika interaksi hidrofobik antara ekor ZAP melemah (karena
struktur yang pendek dan bulky) atau jika terjadi tolak menolak elektrostatik antara
kelompok kepala tidak bisa muncul ( karena kehadiran lebih dari satu muatan dari tanda
yang sama atau kekuatan ionik rendah), laju peningkatan adsorpsi daerah 2 mungkin
tidak terjadi dan agregat akan muncul.
Ketika adsopsi mendekati permukaan yang memiliki muatan permukaan
signifikan dalam pelarut air sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan seperti elektrolit
dan pH. Pada konsentrasi elektrolit yang tinggi, permukaan padatan mungkin memiliki
sejumlah besar kontradiksi terikat bahwa pertukaran ion adalah satu-satunya mekanisme
adsorpsi yang dibanding interaksi dispersi atau hidrofobik
Peningkatan penggunaan elektrolit akan menyebabkan penurunan adsorpsi ZAP
pada permukaan yang memiliki muatan yang berlawanan, itu akan meningkatkan
penyerapan molekul yang bermuatan. Adanya larutan dengan kandungan kation
polyvalent seperti Ca2+ dan Al3+ akan meningkatkan adsorpsi ZAP anionik. Ion tersebut
akan mengikat kuat pada permukaan yang negatifsehingga efektif menolak netralisasi
muatan. Mereka juga bias bertindak sebagai ion bridging dengan menghubungkan
dengan permukaan negative dan bagian kepala ZAP anionik (Gambar 3.4)
Gambar 3.4 Peranan ion Polivalen sebagai ion bridging untuk adsorpsi dari ZAP anionik
pada permukaan yang bermuatan negatif a) adsorpsi normal dari ZAP pada permukaan
yang memilki muatan listrik yang sama; b) kation bridging mengarah pada adsorpsi
inverted.
Adsorpsi pada permukaan padatan yang memiliki grup asam atau basa seperti protein,
selulosa dan poliakrilat sensitif terhadap erubahan pH. Ketika pH larutan menurun,
muatan pada permukaan padatan akan menjadi lebih positif. Permukaan akan menjadi
lebih baik untuk adsorpsi ZAP dengan muatan seperti itu (ZAP anionik terhadap
pemukaan karbonil) dan kurang mengadsorpsi dari ZAP dengan muatan yang
berlawanan.
Untuk permukaan yang mengandung basa lemah seprti amina, pH rendah akan
menyebabkan ionisasi dari permukaan basa meningkatkan adsorpsi dari molekul ZAP
dengan muatan berlawanan dan menurunkan interksi dengan bahan yang sama
muatannya. Peningkatan suhu dari sistem adsorben akan menghasilkan penurunan
adsorpsi ZAP ionik walaupun akan sedikit terjadi perubahan bila dibandingkan karena pH
dan elektrolit. ZAP non ionik, yang memilki hubungan kelarutan dan suhu yang
berkebalikan dalam larutan, akan memunculkan efek yang berkebalikan, yaitu adsorpsi
akan meningkat ketika suhu meningkat sering memiliki clouding point ZAP tertentu.
Sifat hidrofobik menjadi faktor utama yang menentukan karakteristik adsorpsi
dari sistem selanjutnya. Secara umum telah ditemukan bahwa dalam serangkaian ZAP
homolog, peningkatan panjang rantai hidrofobik akan menghasilkan peningkatan efisiensi
adsorpsi. Penjelasan yang biasa adalah bahwa seiring pertambahan panjang rantai,
perolehan energi bebas yang terkait dengan penghilangan hidrofob dari larutannya
interaksi lingkungan dan rantai-rantai di antara molekul terdekatnya menjadi lebih baik
Perubahan pH dapat mempengaruhi karakteristik adsorpsi dari permukaan padat,
sehingga tingkat dan cara adsorpsi dapat diubah oleh mengubah sifat molekul ZAP,
terutama yang mengandung asam lemah atau kelompok dasar seperti asam karboksilat,
senyawa amonium non quaternary, dan molekul amfoter. Dalam kasus seperti itu,
perubahan pH larutan mungkin mengubah ZAP dari jenis ionik yang mampu mengikat
dengan mekanisme pertukaran ion atau pengikatan ion, ke material yang tidak bermuatan
yang hanya dapat berinteraksi melalui ikatan hidrogen, kekuatan asam, atau dispersi.
Perubahan pH larutan juga bisa mengubah karakteristik adsorpsi dari ZAP nonionik yang
mengandung POE atau lainnya keterkaitan yang dapat terprotonasi pada pH rendah.
Pada pH rendah, hubungan eter pada POE mengandung bahan ZAP dan dalam
poliglikidol dapat terprotonasi menghasilkan situs bermuatan positif yang akan mengikat
kuat dengan situs negatif pada permukaan padat.
ZAP dengan muatan berlawanan dari permukaannya, interaksi elektrostatik
diharapkan akan mendominasi dalam larutan sementara untuk sistem yang muatan sama,
adsorpsi diharapkan untuk meningkat sebagai hasil dari pendispersian atau interaksi
nonelektrostatik. Dengan jenis tipe yang diberikan, kandungan alami dari hidrofil muncul
untuk berfungsi sangat minor dalam proses adsorpsi. Kadangkala ditemukan bahwa
peningkatan ukuran terhidrasi dari gugus hidrofil akan mengarah terhadap peningkatan
dalam efisiensi dari adsorpsi oleh mekanisme pertukaran ion, ion berpasangan. Ketika
variael muatan ZAP telah ditentukan, gugus hidrofob menjadi faktor utama menentukan
karakteristik sistem adsorpsi. Secara umum telah ditemukan bahwa dalam seri yang
sama dari ZAP, peningkatan panjang rantai hidrokarbon akan meningkatkan efisiensi dari
adsorpsi. Penjelasannya adalah bahwa panjang rantai meningkat, energi bebas yang
dieproleh berkaitan dengan penghilangan gugus hidrofob dari larutan dan interaksi rantai-
rantai diantara molekul yang berdekatan menjadi lebih baik.
2.2.4. Adsorpsi oleh Permukaan Polar, Tidak Bermuatan
Adsorpsi pada permukaan polar, tidak bermuatan terjadi terutama melalui
kekuatan ikatan interaksi hidrogen , asam-basa, dan dispersi. Namun, Ikatan hidrogen
atau interaksi asam-basa antara ZAP dan permukaan padatan membutuhkan kelompok
hidrofil berisi kelompok yang mampu berpartisipasi dalam interaksi semacam itu. Sebagai
contoh, kelompok hidrofil yang merupakan turunan dari asam kuat atau basa seperti
garam asam sulfonat, ester sulfat, dan ion amonium kuaterner yang tidak selalu
bergantung pada mekanisme reaksi tersebut untuk proses adsorpsi. Kelompok-kelompok
seperti asam karboksilat, di sisi lain dapat berinteraksi dengan bahan yang memiliki
permukaan dasar seperti poliester dan poliamida. Jika permukaan padat memiliki gugus
-OH atau -NH yang dapat bertindak sebagai donor proton, itu dapat mengadakan ikatan
eter seperti di polyoxyethylenes. Adsorpsi ZAP non ionik POE pada poliester dan
poliamida lebih baik disbanding dengan jenis anionik. ZAP nonionik yang berasal dari
alkohol berantai lurus dan POE dapat menyerap ke permukaan seperti kapas dalam
lapisan monolayer yang tertutup rapat dengan molekul yang sejajar terhadap permukaan
substrat. Biasanya juga ditemukan bahwa jika panjang rantai POE meningkat, baik
efisiensi maupun efektivitas adsorpsi menurun. Peningkatan panjang rantai hidrofobik,
menghasilkan suatu peningkatan dalam efisiensi adsorpsi. Kurangnya kelompok muatan
dalam bahan polar, seperti pH dan kandungan elektrolit diharapkan memiliki efek adsorpsi
yang kurang signifikan dibandingkan dalam hal permukaan bermuatan. Namun, pada pH
ekstrim, selalu ada kemungkinan menghasilkan muatan melalui protonasi dari grup -OH, –
NH, atau SiOH.
Selain itu, kehadiran elektrolit konsentrasi tinggi, tidak memiliki efek dalam interaksi
elektrostatik atau electrical double-layer (antar muka yang memiliki distribusi muatan listrik
yang tidak setimbang akan menghasilkan pembentukan muatan net listrik pada satu
tanda pada satu sisi antarmuka dan tanda muatan berlawanan pada sisi lainnya) that has
an unbalanced electrical charge distribution will result in the formation of a net electrical
charge of one sign on one side of the interface and a charge of opposite sign on the other
side. Such a situation gives rise to the so-called electrical double layer dapat menurunkan
kelarutan ZAP dan meningkatkan interaksinya dengan permukaan padatan.
Adanya proses adsorpsi akan menurunkan energi permukaan. Bagian non polar
ditolak air oleh karena gaya adesi yang dapat terjadi dengan air lebih kecil dibandingkan
dengan gaya kohesi antar molekul air yang berdekatan sehingga ZAP dapat diadsorpsi
pada antar muka secara spontan sehingga dipersyaratkan energi permukaan harus
rendah. antarmuka udara-cairan
antarmuka padatan-cairan
Gambar 3.6 Fenomena penurunan energi permukaan pada berbagai antar muka
Adsorpsi ZAP ionik akan memberikan fenomena yang berbeda seperti dapat dilihat pada
gambar berikut :
ZAP pada permukaan globul akan terdisipasi dengan memberikan muatan listrik
pada permukaannya, sedangkan pada ZAP nonionik akan bersifat memberikan lapisan
pelindung yang menyelubungi suatu partikel. Pemanfaatan ZAP pada permukaan globul
dan partikel dapat dilihat sebagai berikut :
Selain itu adsorpsi pada permukaan air dan organik dapat dilihat pada gambar berikut,
Gambar 3.10 Adsorpsi pada Permukaan pelarut Air dan Organik
Dimana l adalah panjang pembatas, dan faktor 2 karena terdapat dua permukaan larutan,
satu pada bagian depan dan satu lagi pada bagian belakang. Tegangan permukaan air
fluida. Di dalam Satuan Internasional (SI), satuan viskositas adalah N s m -2 (kg m-1 s-1)
atau Pa s (Paskal sekon). Di dalam CGS satuan viskositas adalah dyne s cm -2 (g cm-2 s-
1). Satuan ini disebut Poise diberi simbol P (1 poise = 0,1 Pa s). Ini
merupakanpenghargaan kepada ilmuwan Prancis, “Poisseuille” yang menurunkan rumus
penentuan viskositas dan metode untuk menentukan viskositas larutan. Satuan viskositas
lain adalah centipoises (1/100 poise) dan millipoise (1/1000 poise) (Yazid, 2005).
Koefisien viskositas adalah kekuatan dalam dyne yang menggunakan tekanan di
antara dua lapisan sejajar, dapat juga dianggap sebagai gaya per satuan luas yang
diperlukan untuk menggerakkan ataupun memindahkan satu lapisan cairan yang
mempunyai kecepatan 1 cm det-1melewati garis sejajar yang lain yang berjarak 1 cm.
Ketika suatu zat cair mengalir melalui suatu pipa, lapisan dari cairan dalam kontak
dengan dinding pipa adalah tetap dimana cairan pada pusatnya mempunyai kecepatan
yang tertinggi untuk mengalir. Konstanta η adalah koefisien viskositas dalam unit cgs
mempunyai dimensi gcm -1det-1 dan unitnya adalah poise. Kuantitas lain adalah fluiditas,
f = 1/η dan viskositas kinematik (v) didefenisikan sebagai viskositas dibagi densitas (v =
η /d) (Findlay, 1960).
η = viskositas larutan
V = total volume larutan
t = waktu yang dibutuhkan larutan dengan volume V untuk mengalir melalui viskometer
P = tekanan yang bekerja pada cairan
l = panjang pipa
Pengukuran viskositas yang tepat dengan cara di atas sulit dicapai. Hal ini disebabkan
harga r dan l sukar ditentukan secara tepat. Kesalahan pengukuran terutama r sangat
besar pengaruhnya karena harga ini dipangkatkan empat. Untuk menghindari kesalahan
tersebut dalam prakteknya digunakan cairan pembanding.
Untuk dua cairan yang berbeda dengan pengukuran alat yang sama diperoleh hubungan :
Karena tekanan berbanding lurus dengan rapatan cairan, maka berlaku :
Jadi, bila η dan d cairan pembanding diketahui, maka dengan mengukur waktu yang
diperlukan untuk mengalir kedua cairan melalui alat yang sama dapat ditentukan η cairan
yang sudah diketahui rapatannya (Sukardjo,2002).
Adsorpsi ZAP pada antar muka padat-cair memainkan peran penting dalam
menentukan sifat interaksi antara pelarut dan partikel padat, dan di antara permukaan
padatan, terutama yang terkait dengan fenomena seperti stabilitas koloid. Peran serupa
dapat dimainkan oleh ZAP pada permukaan yang pada dasarnya terkait dengan
pembasahan, penyebaran, adhesi, dan lubrikasi. Meskipun fenomena dasarnya sama
untuk membasahi permukaan yang menyebar dan stabilisasi partikel koloid, sejumlah
konsep lebih banyak secara unik diterapkan pada permukaan yang lebih luas.
Sementara istilah ‘‘ pembasahan ’’ dapat memunculkan gambaran sederhana dari larutan
yang menutupi permukaan, dari sudut pandang kimia permukaan dan situasi proses. Tiga
kelas fenomena pembasahan dapat didefinisikan atas dasar proses fisik yang terlibat:
adhesi, spreading (penyebaran), dan immersion (Gambar 3.12). Perbedaan di antara
ketiganya mungkin tidak terlihat, tetapi bisa sangat signifikan sudut pandang
termodinamika dan fenomenanya
1. Pembasahan adhesion ’mengacu pada situasi di mana padatan, sebelumnya kontak
dengan udara, dibawa mengadakan kontak dengan fasa larutan. Selama proses, area
spesifik dari antarmuka padat dan udara, A, diganti dengan area antar muka yait antar
muka padatan-larutan (Gambar 10.15a). Perubahan energi bebas untuk proses
diberikan oleh
di mana ᵟ mengacu energi pada antarmuka air-padat (SA), cairan-udara (LA), dan
padat-cair (SL). Kuantitas dalam tanda kurung di Persamaan. (10.4) dikenal sebagai
termodinamika kerja adhesi, Wa, dan persamaannya adalah Dupre´. Dari
persamaan,jelas bahwa setiap penurunan energi бSL antar muka padat-cair akan
menghasilkan peningkatan kerja adhesi (dan penurunan energi yang lebih
besar),sementara peningkatan бSA atau бLA akan mengurangi perolehan energi dari
proses.
2. Penyebaran (Spreading) berlaku untuk situasi di mana cairan (L1) dan padatan sudah
dalam kontak dan cairan menyebar untuk menggantikan cairan kedua (L2, biasanya
udara) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.12b. Selama proses penyebaran,
area antarmuka antara padatan dan L2 diturunkan dengan jumlah A, sementara itu
antara padatan dan L1 meningkat dengan jumlah yang sama. Area iantarmuka antara
L1 dan L2 juga meningkat selama proses.
Gambar 3.12 Skema yang Mewakili dari Proses Berbagai Pembasahan a).Adhesi
b) Spreading dan c) Immersion
Perubahan di area antarmuka dalam setiap kasus akan sama, jadi bahwa total
penurunan energi sistem akan menjadi
di mana ᵟ1/2 adalah tegangan antar muka antara cairan 1 dan 2. Jika istilah dalam
tanda kurung,didefinisikan sebagai koefisien penyebaran S positif, maka L1 akan
secara spontan menggantikan L2 dan menyebar sepenuhnya ke permukaan (atau ke
yang terbesar sejauh mungkin). Jika S negatif, proses penyebaran seperti yang
tertulis tidak akan dilanjutkan secara spontan.
Jelas dari persamaan di atas bahwa untuk y> 0, S tidak bisa positif atau nol, dan
penyebaran spontan tidak akan terjadi.
3. Pembasahan Immersi, mencakup situasi di mana substrat padat yang sebelumnya
tidak bersentuhan dengan cairan benar-benar terbenam dalam cairan L1, sepenuhnya
menggantikan semua antarmuka padatan-L2 (Gambar 3.12c). Perubahan energi
bebas di ekuilibrium ditentukan oleh dua faktor: komponen terkait dengan antarmuka
padat-udara AᵟSL2 dan antarmuka padat-cair AᵟSL1, di mana A adalah total luas
permukaan padatan. Perubahan energi bebas itu diberikan oleh
Dimana r adalah jari-jari efektif dari kapiler dan y adalah sudut kontak dari cairan pada
garis kontak tiga fase S / L1 / L2. Untuk y> 0, nilai P akan bergantung hubungan ᵟSL2-
ᵟSL1, sehingga setiap perubahan tegangan permukaan б1 / 2 itutidak disertai dengan
perubahan pada ᵟSL1 hanya akan menghasilkan peningkatan cos y. Penurunan tegangan
permukaan cairan tidak akan mengubah P dan karenanya tidak mempengaruhi penetrasi
pori. Jika, di sisi lain, y ¼ 0, persamaan di atas menjadi
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mekanisme kerja dari Zat
Aktif Permukaan berdasarkan parameternya
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu mengaitkan mekanisme pembasahan dan Zat Aktif Permukaan
dengan proses tekstil.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan peristiwa adsorpsi yang merupakan bagian dari
mekanisme kerja ZAP dalam kegiatan sehari-hari.
III. LATIHAN
A. Jawablah dengan jawaban yang paling tepat
1. Di bawah ini merupakan komponen dari suatu ZAP, kecuali
a. Hidrofob c. Asam lemak
b. Hidrofil d. Sulfonat
2. ZAP termasuk senyawa yang bersifat
a. Ampifilik c. Hidrofil
b. Hidrofob d. Netral
3. Gugusan hidrofob pada ZAP biasanya berupa
a. Hidrokarbon c. Asam kuat
b. Asam lemah d. Garam
4. Bagian hidrofil pada ZAP bisa bersifat
a. Ionik c. Oksidator
b. Elektrolit d. Reduktor
5. Agregasi ZAP dikenal dengan istilah
a. Hidrofil c. Ampifil
b. Misel d. Hidrofob
6. Pada daerah KKM, parameter yang akan mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya konsnentrasi ZAP adalah
a. Tegangan permukaan c. Deterjensi
b. Tekanan Osmosis d. Konduktivitas
7. Parameter yang diuji pada penentuan viskositas menggunakan viscometer Ostwald
adalah di bawah ini, kecuali
a. Waktu alir ZAP c. Suhu ZAP
b. Waktu alir air d. Viskositas air
8. Di bawah ini merupakan fenomena yang terjadi pada proses adsorpsi, kecuali
a. Immersi c. Adhesi
b. Adisi d. Spreading
9. Pembentukan misel diperlukan untuk mengukur kemampuan ZAP sebagai berikut,
kecuali
a. Solubilizer c. Dispersant
b. Emulsifier d. Penetran
10. Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi KKM, kecuali
a. Gugus Hidrokarbon c. Adanya ion lawan
b. Adanya elektrolit d. Adanya pasangan ion
II. MATERI
II.1 Klasifikasi ZAP berdasarkan Sifat Ionisasi
Aplikasi ZAP pada industri tergantung pada proses pembuatan produk dan
karakteristik ZAP serta produk akhir yang diinginkan. Peranan ZAP yang berbeda – beda
dikarenakan struktur molekulnya yang tidak seimbang, molekul ZAP dapat
divisualisasikan seperti berudu yang memiliki kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat
hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat
hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa
anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang
hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat ZAP memiliki fungsi yang
beragam di industri (Hui, 1996). Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian adalah ZAP
anionik. ZAP jenis ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan pembersihan.
Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk ZAP adalah asam lemak dengan 10-
18 atom karbon .Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk
keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk gugus
minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang mengakibatkan
keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai
hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan
(surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan
kelarutan dalam minyak.
Berdasarkan sifat dari gugus hidrofiliknya ZAP dibagi menjadi empat kelompok, yang
dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4.1 Klasifikasi Umum dari ZAP
Kelompok ZAP Tingkatan Muatan Ionik
Hidrofob Hidrofil
(ion yang berhubungan )
Anionik Negatif lemah Positif kuat
Kationik Positif lemah Negatif kuat
Non ionic Tidak bermuatan Tidak bermuatan
Amfoter Jenis ini akan menimbulkan muatan negatif dan
positif, satu atau lainnya dimana mendominasi dalam
larutan tergantung dari pH
Sumber : Colorant and Auxilaries
Sodium Dodecylsulfat
Banyak dari produk kationik ini, termasuk amina kuaterner dan imidazol, dapat
dietoksilasi, membentuk analog kationik dari ethoxysulphate dan ethoxyphosphates dalam
jenis anionik. Mereka pada dasarnya ZAP hibrida kationik / nonionik, yang sering
dijelaskan dengan modifikasi non ionik, kation lemah. Jenis nya dapat ditentukan tidak
hanya dari subtituen alkilnya tetapi juga derajat etoksilasinya.Selain itu bagian etoksilat
menghasilkan pengemulsi. ZAP kationik yang mengandung fluor juga dapat diperoleh.
2CH2O-(polioksietilen). Hampir 40% total produksi ZAP, tidak terlalu sensitif terhadap
elektrolit dibandingkan dengan ZAP non ionik dan stabil dalam kesadahan. Contohnya
adalah
ester sorbitan (Span) : campuran ester parsial dari sorbitol dan mono-/di-
anhidridanya dengan asam oleat, secar umum tidak larut dalam air (HLB rendah)
sebagai emulgator W/O dan pembasah
Polisorbat (Tween) : campuran kompleks dar ester parsial sorbitol dan mono-/di-
anhidridanya yang terkondensasi dengan sejumlah etieln oksida, bercampur
dengan air (HLB tinggi), sebagai emulgator O/W
Contoh lainnya adalah ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono
alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
Hampir semua ZAP nonionik mengandung jenis hidrofob yang sama seperti anionik dan
ZAP kationik, dengan sifat solubilisasi dan ZAP yang timbul dari penambahan etilena
oksida untuk menghasilkan produk dengan rumus umum. Contoh ZAP jenis nonionik bisa
dilihat pada gambar di bawah ini
(sulfobetin) (Miller, 1930). ZAP amfoter yaitu ZAP yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya ZAP yang mengandung asam amino, betain,
fosfobetain.
Dalam media asam mereka cenderung berperilaku sebagai zat kationik dan
dalam media alkali sebagai zat anionik. Di suatu tempat di antara ekstrem ini terletak apa
yang dikenal sebagai titik isoelektrik (biasanya, pada pH 7), dimana sifat anionik dan
kationik berimbang. Pada titik ini molekul dikatakan zwitterionic dan sifat ZAP dan
kelarutannya cenderung berada pada titik terendah. Produk-produk banyak digunakan
sebagai zat levelling pada pencelupan zat warna reaktif untuk wol. Jenis yang paling
sederhana diwakili produk teretoksilasi juga dapat digunakan sebagai ZAP amfoterik;
sebuah contoh adalah alkylamine poly (oxyethylene) sulphate.
Gambar 4.8 alkylamine poly (oxyethylene) sulphate
OH H O
---------
- - -- - - -
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H
H H ---
-
HO3SO H O NaO3SO H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2O
H H H H
--------------------------------
H O
R - C = C - R' - C - OH + H-OSO3H
H
H H O H H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2 O
H OSO3H H OSO Na
3
H H o
CH3-(CH2)5 - C = C-CH2- C - (CH2)7 - C - OH + H-OSO3H
H OH
O O
NaOH
CH3-(CH2)5-CH-CH2-CH2-CH-(CH2)7-C-OH CH3-(CH2)5-CH-CH2-CH2-CH-(CH2)7-C-OH
OSO3H OSO3H OSO3Na OSO3Na
+ H 2O
H - - -H
-----
O
- - -- -
R -- -C - C - R' - C - OH + OH-SO3H
H H ----
HO3SO H O NaO3SO H O
NaOH
R - C - C - R' - C - OH + H-OSO3H R - C - C - R' - C - OH + H2O
H H H H
Pengsulfonan secara substitusi gugus H pada asam lemak jenuh
+ H2O
------------------
H H ------------------
UV
CH3 - R - C - C - R' - CH2 - CH3+ SO3 + Cl2 SULFO KLORIDA
H H
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 NaOH CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3
SO3H SO3Na
----------
H H ----------
UV
CH3 - R - C - C - R' - CH2 - CH3+ SO3 + O2 SULFO OKSIDASI
H H
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH2 - CH2NaOH CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH2 - CH2
SO H SO3Na
3
CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3 + Cl2 CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3
H Cl
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 + CH3 - R - CH2 - CH2 - R' - CH - CH3
Cl HO-SO3H
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - SULFONASI
--- NaOH
CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3 CH3-R - CH2 - CH2 - R' -CH - CH3
PENYABUNAN
SO3H SO3Na
CH2 SO3Na
SO3Na INVADINE B
tahan asam dan alkali
COOR
NACCOCOL LAL
(zat pembasah yang baik)
R - CH2 - OH + HO-SO3H RCH2O-SO3H NaOH
RCH2O-SO3Na
b. Alkil sulfat sekunder : dibuat dari alkil alkohol sekunder dapat juga dari olefin
menjadi olefin sulfat, bersifat sebagai zat pembasah dan sedikit sebagai zat
pencuci
NaOH
R - CH - CH3 + HO-SO3H R - CH - CH3
OH OSO3Na
6). KONDENSAT ASAM LEMAK
a. Kondensat dengan asam amino :
alkil klorida dikondensasikan dengan garam natrium sarkosa (n metil
glikokol)
--------- -
C17 H 33 - CO - Cl + H N CH2 - COONa
----------
CH3
SAPAMIN A
(zat aktif kation sebagai pelemas tahan asam, alkali dan sadah)
H H O H H O
---------- NaOH
R' - C - C - R'' - C - OH + H -OCR R' - C - C - R'' - C - OCR + H2O
---------- H OSO Na
H OSO3H alkohol alifatik 3
IMMERSOL S (SANDOSOL KB)
asam lemak yang tersulfatkan,
tidak tahan asam dan air sadah kondensat sam lemak,
bersifat pembasah yang baik,
dan tahan air sadah
CH3-COOH +
N - (C2H4 - OH)2 [HN - (C2H4 - OH)2] - OOC-CH3
C2H4 - O - OC - C17 H33 C2H4 - O - OC - C17 H33
SOROMIN A
(zat aktif kation sebagai pelemas, sukar dipakai sebagai zat pembasah
dan pencuci karena tidak ada gugus pelarut)
MELIORAN F
(zat aktif anion untuk pencuci)
b. Alkil amina :
Pada umumnya berupa zat aktif nonion untuk zat pembasah, pencuci dan
pendispersi, Bersifat tahan asam, tahan alkali dan tahan sadah. Dibuat dari hasil
kondensasi etilen oksida dengan senyawa berikut :
c. Aril alkohol :
nonil fenol O
etilena oksida
Pada umumnya berupa zat aktif nonion untuk zat pembasah, pencuci dan
pendispersi, Bersifat tahan asam, tahan alkali dan tahan sadah. Dibuat dari
hasil kondensasi etilen oksida dengan senyawa berikut :
d. Asam lemak :
e. Alkil amida :
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat mendefinisikan, menjelaskan sifat dan mekanisme kerja dari Zat
Aktif Permukaan berdasarkan parameternya
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu mengaitkan mekanisme pembasahan dan Zat Aktif Permukaan
dengan proses tekstil.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu memilah dan memilih ZAP sesuai dengan proses yang akan
dilakukan dengan pertimabgan efek terhadap lingkungan dalam aplikasinya di
kehdupan sehari-hari..
III. LATIHAN
A. Jawablah pertanyaan berikut dengan pilihan jawaban yang paling tepat !
1. Sifat deterjensi yang baik akan diperoleh dengan penggunaan senyawa berikut
kecuali
a. --OCH2COO-( alkyl ether carboxylate)
b. --C6H6SO3-(alkylbenzene sulfonat)
c. CH3(CH2)15SO4-N+(CH3)3Br- (cetyl trimetyl ammonium bromide)
d. C12H25(OCH2CH2O)6OH (dodecyl hexaoxyethylene glycol monoether)
4. Zat aktif kationik dan beberapa senyawa silicon banyak sekali digunakan sebagai zat
pelembut karena :
a. Dapat menurunkan tegangan permukaan
b. Dapat menaikkan tegangan permukaan
c. Jenis gugusan hidrofob
d. Nilai HLB tinggi
5. Efek pembasahan pada suatu permukaan yang dapat dipengaruhi hal-hal berikut
kecuali :
a. Sifat permukaan bahan
b. Suhu proses
c. Konstruksi dari bahan
d. Besarnya sudut kontak
6. Salah satu sifat dari surfaktan yaitu ketahanannya terhadap temperatur tertentu yang
akan dipengaruhi oleh
a. Banyaknya gugus hidrofob (hidrokarbon)
b. Banyaknya gugus hidrofil
c. Jenis gugus hidrofob
d. Jenis gugus hidrofil
7. Zat aktif permukaan dengan kandungan senyawa amina kuartener adalah zat aktif
yang bersifat :
a. Amfoter
b. Nonion
c. Anion
d. Kation
8. Suatu zat aktif permukaan anion di dalam medium air akan menunjukkan sifat sbb
kecuali
a. Terionisasi dalam air
b. Cenderung aktif pada permukaan
c. Terjadi adsorpsi antar muka
d. Membentuk koloid misel
10. ZAP yang digunakan dalam proses penyempurnaan memiliki sifat sebagai
berikut,kecuali
a. Senyawa yang mengandung perfluorokarbon
b. Senyawa yang mengandung polisiloksan
c. Senyawa yang mengandung Linier Alkil Benzene Sulfonat
d. Senyawa yang mengandung polioksibutilen
B. Kerjakan dengan singkat, jelas dan padat!
PERTEMUAN KE : 11
I. PENDAHULUAN
Tujuan jangka panjang dari kimiawan dan formulator ZAP untuk mendesain cara
kuantitatif yang menghubungkan struktur kimia molekul ZAP dengan aktivitas
permukaannya melalui beberapa hubungan kuantitatif yang akan membantu pemilihan
bahan untuk digunakan. Keberhasilan terbesar di bidang dicapai dalam bidang emulsi.
Cara yang cukup berhasil untuk secara kuantitatif mengkorelasikan struktur ZAP dengan
keefektifannya sebagai emulsifier adalah sistem keseimbangan hidrofob-lipofil (HLB), di
mana tujuannya adalah untuk menghitung angka yang 'mengukur' potensi pengemulsi,
dalam hal kualitas dan stabilitas emulsiyang disebut HLB, dari ZAP dari struktur kimianya,
dan untuk mencocokkan angka tersebut dengan HLB fase minyak yang sesuai untuk
didispersikan. Sistem ini menggunakan rumus-rumus empiris tertentu untuk menghitung
nomor HLB, biasanya memberikan jawaban dalam kisaran 0-20 pada beberapa skala
sewenang-wenang. Skala tertinggi terletak pada ZAP hidrofilik, yang memiliki kelarutan air
yang tinggi dan umumnya bertindak sebagai zat pelarut yang baik, detergen, dan
stabilisator untuk emulsi O/W; sebaliknya, pada titik terendah adalah ZAP dengan
kelarutan air rendah, yang bertindak sebagai pelarut air dalam minyak dan penstabil
emulsi W /O. Efektivitas suatu ZAP yang diberikan dalam menstabilkan suatu sistem
emulsi tertentu kemudian akan tergantung pada keseimbangan antara HLB ZAP dan fasa
minyak yang terlibat.
II. MATERI
2.1 Definisi dan Skala HLB
Aktivitas permukaan umumnya terkait dengan keseimbangan antara hidrofobik
dan hidrofilik dari molekul. misalnya, di antara ZAP anionik alkil hidrofob C 8-C12 cenderung
didominasi zat pembasahan, sedangkan C12-C18 menunjukkan sifat detergensi dan
pengemulsi yang lebih baik. Alkylsuccinates dan sulphosuccinates merupakan zat
pembasah yang sangat kuat. Bagian hidrofobik dari ZAP meningkat kelarutan dalam air
menurun dankelarutan dalam minyak meningkat.
Jadi keseimbangan antara gugus hidrofobik dan hidrofilik dari ZAP merupakan
faktor penting dalam menentukan karakteristik utamanya, ini disebut sebagai HLB. HLB
adalah singkatan dari Hydrophylic-Lipophylic Balance adalah nilai untuk mengukur
efisiensi ZAP. Semakin tinggi nilai HLB ZAPnya maka semakin tinggi nilai kepolarannya
Nilai HLB (Hydrophylic-Lipophylic Balance) suatu emulsifier adalah angka yang
menunjukkan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau
polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non-polar), yang merupakan sistem dua
fase yang diemulsikan. Untuk beberapa proses umum HLB dapat digunakan secara
kualitatif (HLB rendah, sedang atau tinggi) tetapi untuk pekerjaan yang membutuhkan
analisis lebih tepat, sistem HLB lebih digunakan sebagai skala kuantifikasi. Skala ini
mencakup nilai dari nol (hidrofobik) hingga (hidrofilik) 20. Skala ini sangat berguna dalam
menggambarkan sifat-sifat nonionik etoksilat. Untuk senyawa ini, HLB merupakan indikasi
persentase dari bagian hidrofilik yang dibagi lima untuk memberikan perhitungan yang
mudah. Misalnya, jika bagian hidrofilik dari zat non ionik dengan hipotetis menyumbang
100% dari molekul HLB 20. Misalnya, produk memiliki 85% zat non ionik dari molekul
diperhitungkan oleh bagian hidrofilik memiliki HLB dari 85/5 = 17. Metode ICI menghitung
HLB teoritis dari sorbitan monolaurat yang memiliki 20 unit per molekul oksietilen
diberikan dalam total massa molekul 1226, dimana 1044 dikontribusikan adalah bagian
hidrofilik.
dimana S adalah Bilangan Penyabunan dan A adalah Bilangan Asam. Metode komparatif
harus selalu digunakan untuk ZAP nonionik yang tidak hanya didasarkan pada etilena
oksida dan juga untuk ZAP ionik karena pengaruh hidrofilik dari gugus ionik stisai yang
ditunjukkan oleh basis massa dasar (ini dapat menyebabkan nilai HLB yang lebih tinggi
dari 20 ). Setelah nilai HLB dari berbagai ZAP diketahui, adalah hal yang mudah untuk
menghitung nilai HLB dari campuran sebagai berikut.
HLB Perhitungan
45% ZAP A 16,7 0,45 x 16,7 = 7,52
35% ZAP B 4,0 0,35 x 4,0 = 1,40
20% ZAP C 9,6 0,20 x 9,6 = 1,92
Total 10,84
Untuk yang menggunakan persamaan Davies , contoh untuk menghitung HLB dari
natrium lauril sulfat, bila diketahui
Nilai HLB dapat dihitung, HLB = 7 + ∑ (H) - ∑ (L),
L = gugus hidrofob
H-C-OH H-C-OH
HO-C-H HO-C-H
ESTERIFIKASI
H-C-OH + HOOC-(CH2)10-CH3 H-C-O-OC-(CH2)10-CH3
CH2OH CH2OH
SORBITOL SORBITOL- MONOLAURAT
KONDENSASI
CH2OH + HO-CH=CH2 CH 2(OCH2CH2)19-CH2CH 2OH
HO-C-H O HO-C-H
20 mol etilenoksida
H-C-O-OC-(CH2)10-CH3 H-C-O-OC-(CH2)10-CH3
HO-C-H HO-C-H
CH2OH CH2OH
SORBITOL MONOLAURAT SORBITOL MONOLAURAT
dengan 20 unit etilenoksida
sebagai surfaktan nonionik
dengan berat molekul =1216
Gugus hidrofil dengan
berat molekul = 993
Struktur kimia dari molekul ZAP dengan aktivitas permukaan melalui hubungan
kuantitatif yang akan membantu untuk menentukan fungsi dari ZAP tersebut.
Keberhasilan dicapai dengan pembentukan sistem emulsi. HLB merupakan indikator yang
menunjukkan keefektifan sebagai emulsifier yang bertujuan untuk mengukur kemampuan
pengemulsian baik kualitas emulsi dan kestabilannya. Emulsifier adalah salah satu zat
pembantu untuk membuat emulsi, berfungsi untuk menstabilkan zat atau bahan aktif
terlarut dalam air atau minyak yang diemulsikan dan suatu emulsifier -- HLB memegang
peranan penting. Sistem HLB adalah metoda untuk menentukan HLB-butuh suatu bahan
dengan menggunakan berbagai bahan pengemulsi standar dengan nilai HLB tertentu
sebagai alat bantu. Untuk emulsi yang akan diemulsikan ZAP terdapat nilai HLB yang
disebut HLB butuh minyak, diperlukan nilai HLB yang cocok agar emulsi menjadi stabil,
oleh sebab itu diperlukan perhitungan HLB. Skala HLB mengikuti skala griffin yaitu
menggunakan skala dari mulai 0 – 20. Mendekati 20 merupakan ZAP hidrofilik,
kemampuan larut dalam air tinggi secara umum banyak digunakan sebagai emulsifier,
deterjen dan stabilisator untuk emulsi O/W.
Skala rendah menunjukkan , kemampuan larut dalam air rendah dapat digunakan sebagai
pelarut air dalam minyak dan stabilisator emulsi W/O. HLB dihitung berdasarkan
perbandingan bagian hidrofil dan berat molekul ZAP.
2. Berapa nilai HLB dari campuran yang terdiri dari 40% span 60 (HLB 4,7) dan tween 60
(HLB 14,9)
Jawab
A = Tween 60, B = Span 60
A = 100 (X –HLBB) /(HLB A – HLBB)
60 = 100 (x – 4,7) / (14,9 – 4,7)
60 = 100 x – 470 /10,2
x= 10,82
3. Berapa nilai HLB dari campuran ZAP yag terdiri dari 20% tween 80 (HLB 16,7) 30%
span 20 (HLB 8,6) dan 50% span 80 (HLB 4,3)
Jawab :
A = tween 20, B= span 20 dan C = span 80
HLB campuran = fraksi dari A HLBA + fraksi dari B HLBB + fraksi dari C HLBC
(0,2 x 16,7) + (0,3 x 8,6) + (0,5 x 4,3)
8,07
4. Campuran dari ZAP mempunyai nilai HLB 13,5, hitung persentase dari masing-masing
jika terdiri dari Brij 35 (HLB 16,9) dan span 80 (HLB 4,3)
Jawab
A = Brij 35, B = span 80
A = 100 (X –HLBB) /(HLB A – HLBB)
A = 100 (13,5 – 4,3) / (16,9 – 4,3)
A = 920/12,6
A = 73,015
B = 100 – A
B = 26,98%
6. Pada pembuatan 100 ml emulsi tipe o/w diperlukan emulgator dengan harga HLB 12.
Sebagai emulgator dipakai campuran Span 20 (HLB 8,6) dan tween 20 (HLB 16,7)
sebanyak 5 gram. Berapa gram masing-masing berat Span 20 dan Tween 20 ?
Jawab :
(B1 x HLB1) + (B2 x HLB2) = (B campuran x HLB campuran)
B = Berat emulgator
Misalnya berat tween = X
Berat span = 5 – X
(B1 x HLB1) + (B2 x HLB2) = (B campuran x HLB campuran)
X x 16,7) + (5-X) x 8,6 = 5 x 12
16,7 X + 43 – 8,6 X = 60
8,1X = 60 – 43
X = 2,1 gram ( tween)
Berat span = 5 – 2,1 = 2,9 gram
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa dapat menghitung kebutuhan HLB dan komponen ZAP campuran
sehingga bisa memprediksi penggunaan dari HLB tersebut.
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu menghitung HLB dan kebutuhan komponen yang sudah
diketahui HLB nya untuk dapat membuiat suatu sistem emulsi yang baik dan stabil.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan proses perhitungan HLB ini dalam proses
pembuatan suatu emulsi.
II. MATERI
A. PENGETAHUAN
2.1 Deterjensi
Detergensi adalah fenomena permukaan dan koloid yang merefleksikan perilaku
fisikokimia materi di antarmuka. Deterjensi apabila dikaitkan dengan ZAP merupakan
proses yang dapat meningkatkan kemampuan ZAP dalam proses pencucian. Detergensi
merupakan proses yang mengkombinasikan efek yang melibatkan adsorpsi pada
antarmuka, perubahan tegangan antarmuka, pelarutan, pengemulsi, dan pembentukan
dan disipasi muatan permukaan. Defenisi deterjensi adalah pembersihan atau pencucian
menggunakan larutan pencuci pada suatu permukaan benda padat secara fisika kimia.
Tahapan Proses deterjensi :
1. membasahi permukaan yang kotor dan melepaskan kotorannya
2. menjaga kestabilan larutan pencuci terhadap molekul kotoran
3. menjaga molekul kotoran untuk tidak kembali masuk ke dalam benda padat (tekstil)
Beberapa karakteristik struktural ZAP terhadap detergensi adalah sebagai berikut :
1. Makin panjang rantai hidrofobik kelarutan deterjen makin baik.
2. Deterjensi maksimum diperleh dari rantai yang linier daripada rantai bercabang.
3. Untuk ZAP nonionik, detergensi optimal diperoleh ketika clouding point dari ZAP
terletak tepat di atas suhu proses.
4. Untuk ZAP POE (Polyoksietilen) nonionik, peningkatan panjang rantai POE (setelah
kelarutan telah tercapai) sering menyebabkan penurunan daya deterjen.
5. Penyisipan rantai POE 3 - 6 enam unit pada bagian hidrofobik dan kelompok utama
pada gugusan ionik umumnya menghasilkan kinerja deterjen yang baik.
6. Karakteristik substrat seperti polaritas dan muatan listrik yang berpengaruh terhadap
adsorpsi pada gugus kepala molekul ZAP akan menghasilkan sifat deterjen yang
buruk.
7. Perluasan dan dispersi solid, terutama kasus untuk ZAP kationik yang berinteraksi
dengan muatan negatif permukaan.
Gambar 6.3 Penghilangan Kotoran yang Sempurna dari Substrat (Roll up)
b. Emulsifikasi
Pada mekanisme ini ZAP menurunkan tegangan antarmuka minyak-larutan dan
menyebabkan proses emulsifikasi terjadi.
Contohnya : ZAP nonionik: Substrat dan larutan, minyak dan larutan,substrat dan
minyak. Penghilangan kotoran tidak sempurna
SO < SB , Cos > 0
< 90°
Gambar 6.4 Penghilangan Kotoran Tidak Sempurna dan Pecah dari Substrat
(Emulsifikasi)
c. Solubilisasi
Melalui interaksi dengan misel dari ZAP dalam air (pelarut), senyawa secara
simultan terlarut dan membentuk larutan yang stabil dan jernih.
Gambar 6.5 Ilustrasi Proses Solubilisasi
Karena daya deterjen dari banyak ZAP tidak dapat secara langsung berhubungan
sebagai pengemulsi, ada beberapa pertanyaan tentang pentingnya emulsifikasi
sebagai mekanisme penghilangan kotoran dan mengendalikan terjadinya redeposisi.
Agar solubilisasi yang terjadi efisien, area antarmuka larutan ZAP-kotoran harus
dimaksimalkan, yang berarti pengurangan pada antarmuka substrat padat –minyak.
5. Perpindahan dari ikatan ZAP-kotoran dari permukaan. Dalam kasus kotoran
berminyak yang memiliki rapat jenis (densitas) lebih rendah daripada larutan, kotoran
akan mengapung ke permukaan. Dalam kasus lain, energi mekanik atau agitasi
sangat penting untuk memindahkan ikatan ZAP- kotoran menjauhi dari antar muka
Penting untuk diperhartikan dari mekanisme emulsifikasi adalah bahwa, karena
kebanyakan deterjen merupakan kelompok ZAP bukan pengemulsi yang sangat baik,
mengemulsikan tetesan kotoran menjadi sangat tidak stabil, menghasilkan perpaduan
tetesan dan redeposisi yang signifikan. Proses roll up, serta proses emulsifikasi yang
mungkin, pada umumnya dibantu oleh penambahan energi mekanik. Energi tambahan
seperti itu secara signifikan dapat mengatasi ketidakstabilan yang melekat
kebanyakan sistem deterjen-emulsi
6. Stabilisasi kotoran yang terdispersi untuk mencegah redeposisi
.
2.1.7 Redeposisi Kotoran
Kebanyakan proses proses adalah proses ‘‘ batch ’’, maka akan selalu ada
kemungkinan bahwa penghilangan kotoran dari substrat akan menempel kembali ke
permukaan sebagai akibat dari kekurangan stabilitas koloid dalam kotoran yang
terdispersi. Salah satu peran utama ZAP pada antarmuka yang padat adalah memberikan
tingkat stabilitas koloid untuk partikel yang terbagi menjadi partikel halus dalam larutan
pencuci. Adsorpsi ZAP ionik pada antarmuka tanah-air dan substrat-air menghasilkan
lapisan listrik ganda yang menghambat terjadinya redeposisi. ZAP nonionik berfungsi
untuk menjadi penghalang sterik dalam kebanyakan sistem berair.
A. Kualitas air
Air berfungsi sebagai media pelarut dalam proses basah tekstil, sehingga kandungan
yang terdapat dalam air harus dikontrol. Kandungan yang terdapat dalam air dapat
mempengaruhi keberhasilan proses pencucian, misalnya :
- garam sadah (Ca dan Mg)
- logam- logam a/l besi, tembaga atau mangan
- kekeruhan (lumpur)
- warna
B. Substrat (bahan) dan permukaan substrat yang akan dicuci
Substrat adalah benda padat yang akan dicuci (bahan tekstil atau lainnya).
Permukaan substrat berupa permukaan tanpa batas, halus dan rata seperti kaca,
permukaan campuran seperti tekstil. Permukaan campuran akan lebih sulit
dibersihkan karena kotoran terikat secara mekanik dengan serat dengan benang dan
diantara benang dan serat. Sifat bahan tekstil ada yang berisfat hidrofob maupun
hidrofil sehingga akan mempengaruhi tingkat pelepasan kotoran.
C. Jenis dan Tingkat kekotoran bahan
Kotoran dimaksud adalah dapat berupa fasa padat atau cair atau campuran ke
duanya atau dapat lebih dari dua fasa.
Jenis pengotor yang banyak ditemukan yaitu berupa :
- material yang larut dalam air ( garam anorganik, gula , keringat dll)
- pigmen (oksida logam, karbonat, humus, karbon hitam dll)
- Lemak ( lemak hewan dan nabati, lemak mineral, lilin dll)
- protein (darah, telur, susu, residu kulit)
- karbohidrat ( kanji dll)
- buah, sayuran, kopi, teh yang perlu zat pemutih
D. Jenis ikatan kotoran dengan substrat
Gaya mekanik
Berlaku pada substrat lunak dan berpori, diameter partikel (r) dari partikel rendah,
maka ikatan yang terbentuk akan makin kuat.Kotoran dapat menembus ruang
kapiler dalam benang dan kain yang mempunyai anyaman dengan permukaan
kasar lebih banyak dari pada kain yang rata dan halus. Apabila diameter dari
partikel <100 nm, maka kotoran tersebut akan sulit dibersihkan.
Gaya elektrostatik sangat bergantung kepada sifat permukaan substrat
Bahan selulosa atau protein biasanya mempunyai muatan negatif, beberapa
kotoran seperti oksida logam, karbon hitam bermuatan positif, sehingga akan
terikat dengan kain karena gaya tarik muatan. Adanya kation polivalen spt
Ca2+,Mg2+,Fe3+,Al 3+
. Gaya Elektrostatik akan lebih kuat dibandingkan dengan
ikatan mekanis.
Ikatan Kimia – Kotoran polar, protein, lemak, oksida, dan lainnya
Ikatan hidrogen atau elektrovalen. Tanah liat dan kotoran yang polar dapat
menyerap ion OH- atau H+ dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus OH-
dari selulosa. Asam lemak dan protein mempunyai atom hidrogen yang dapat
membentuk ikatan hydrogen.
Ikatan Van Der Waals, interaksi antara senyawa polar dengan polar, polar dan non
polar atau non polar dengan non polar
E. Jenis dan konsentrasi pencuci (deterjen)
Deterjen : zat yang digunakan untuk menghilangkan kotoran banyak jenis deterjen
tergantung dari jenis kotoran dan permukaan
Tiga sifat penting dari deterjen :
1. Harus mampu membasahi permukaan
2. Harus mampu mengeluarkan kotoran dari permukaan
3. Harus mampu mensolubilisasi kotoran dalam larutan
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa mengetahui proses deterjensi, mulai dari definisi, mekanisme, factor
yang akan mempengaruhi kerja deterjensi sampai dengan komponen yang terdapat
dalam suatu bahan deterjen. Deterjensi meupaka salah satu bentuk dari aplikasi ZAP
dalam proses tekstil, sehingga mahasiwa dituntut untuk memahmi segala aspek yang
terkait dengan peristiwa deterjensi.
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu merencanakan penggunaan proses deterjensi sebagai bagian
dari proses tekstil. Untuk mencapai tujuan itu, mahasiswa harus memahami prinsip kerja
dari deterjen yang digunakan serta faktor yang akan mepengaruhi keberhasilan proses
deterjensi.
C. SIKAP
Mahasiswa mampu mengaplikasikan proses deterjensi dengan tepat sesuai
dengan tujuan proses yang akan dilakukan.
I. PENDAHULUAN
Konsumen dari mulai benang sampai garmen, banyak proses tekstil yang
membutuhkan proses khusus tergantung dari permintaan konsumean atas sifat estetis
dan fungsional dari suatu produk tekstil. kecuali untuk pemintalan dan pertenunan,
banyak proses tekstil melibatkan pengolahan serat/benang/kain/garmen dalam larutan
dan ZPT memegang peranan penitng dalam prkatik basah tekstil. Dalam proses basah
tekstil selain zat utama proses, diperlukan zat pembantu lainnya agar hasil proses
memiliki kualitas seperti yang diinginkan. Zat pembantu dalam proses ini dapat menjadi
kunci yang sangat penting keberhasilan suatu proses. Zat pembantu bisa bersifat
senyawa organik maupun anorganik. Zat pembantu dalam proses basah bersifat
supporting namun memegang peranan yang sangat penting bagi keberhasilan suatu
proses. Penggunaan Zat Pembantu Tekstil bisa berupa senyawa kimia ataupun berupa
enzim. Penggunaannya pun sangat luas dari mulai proses pre treatment sampai dengan
proses pewarnaan (pencelupan, pencapan) dan penyempurnaan.
Beberapa fungsi dari zat pembantu diantaranya adalah:
(a) Untuk mempersiapkan atau meningkatkan substrat dalam kesiapannya untuk
pewarnaan oleh proses
- Scouring, Bleaching dan Desizing
- Pembasahan
- Meningkatkan efek putih dengan efek cerah fluorescent
(b) Untuk memodifikasi karakteristik penyerapan zat warna dengan
- Percepatan
- Pelambatan
- Menciptakan efek memblokir atau menolak
- Menyediakan gugus untuk penyerapan
- Memperbaiki atau menahan migrasi zat warna
(c) Untuk menstabilkan media aplikasi dengan
- Meningkatkan kelarutan pewarna
- Menstabilkan suatu dispersi atau solusi
- Mengental pasta cetak atau minuman keras
- Menghambat atau mempromosikan berbusa
- Membentuk emulsi
- Memulung atau meminimalkan efek kotoran
- Mencegah atau meningkatkan oksidasi atau reduksi
(D) Untuk melindungi atau memodifikasi substrat oleh
- Menciptakan atau melawan pencelupan
- Melumasi substrat
- Melindungi terhadap efek suhu dan kondisi pengolahan lainnya
(e) Untuk meningkatkan kecepatan pewarnaan, seperti dalam
- Aftertreatment pewarna langsung atau reaktif
- Aftertreatment pewarna asam pada nilon
- Chroming pewarna mordan pada wol atau nilon
- Memberikan perlindungan terhadap pengaruh atmosfer, seperti pada absorber atau
inhibitor UV asap gas-fading
- Pembersihan kembali atau pengurangan pembersihan
(F) Untuk meningkatkan sifat deterjensi dalam proses pencucian .
Beberapa zat pembantu memiliki fungsi lebih dari satu fungsi di atas. Misalnya, pembantu
ke meningkatkan kelarutan pewarna juga dapat mempercepat (atau memperlambat)
proses pewarnaan, atau pengemulsi agen juga dapat bertindak sebagai agen pengental;
zat kontrol pH dapat menstabilkan sistem dan juga mempengaruhi laju serapan pewarna.
Dengan demikian jangkauan zat pembantu yang tersedia memang sangat besar,
mencakup banyak penggunaan untuk semua tahap pemrosesan tekstil. Namun, faktor
yang dianggap sangat penting mengenai penggunaan pembantu dalam beberapa tahun
terakhir adalah efeknya terhadap lingkungan. ZAP merupakan jenis dari ZPT yang
banyak digunakan dalam proses. Konsumsi ZAP global dalam industri tekstil sekitar $2
milyar untuk sekitar 25% dari total pasaran zat kimia tekstil tidak termasuk zat warna
tekstil. Pasaran ZAP relatif lebih tinggi pada negara berkembang, karena industri disana
sangat kuat pada proses persiapan tekstil dan pencelupan yang biasanya menggunakan
ZAP sebagai zat pembantu proses, sebaliknya negara maju seperti USA dan Eropa
memiliki pasaran ZAP lebih rendah karena lebih fokus pada bisnis tekstil finishing dan
coating yang tidak membutuhkan banyak ZAP. ZAP, secara umum, secara substansial
bersifat organik dan secara struktural lebih kompleks dari kebanyakan non-ZAP. ZAP
adalah zat yang bersifat larut atau terdispersi dalam cairan, yang dapat mengurangi
tegangan permukaan cairan. Hampir semua proses tekstil menggunakan air sebagai
media proses. Untuk melakukan proses ini, substrat tekstil harus benar-benar basah. ZAP
diperlukan untuk menurunkan tegangan permukaan larutan proses untuk aplikasi yang
seragam. Seberapa cepat dan homogen larutan akan membasahi substrat tekstil sering
mempengaruhi kinerja pemrosesan. Fenomena penggunaan ZAP di hampir semua
proses tekstil menjadi suatu hal yang penting untuk membantu meningkatkan
pembasahan, sering disebut sebagai zat pembasah. Dalam pembuatan serat serat
sintetis / regenerasi dan pemintalan benang kapas, wol, dan campurannya, ZAP sering
disemprotkan pada serat dan permukaan benang untuk mengurangi serat-serat dan
gesekan serat-logam, yang disebut sebagai pelumas benang. Dalam proses pewarnaan
pengurangan ini dalam tegangan permukaan biasanya terjadi pada cairan / cair atau
antarmuka cair / padat, meskipun antarmuka cair / gas juga kadang-kadang penting. Di
Secara umum, penurunan tegangan permukaan yang dapat dilakukan oleh yang relatif
kecil jumlah ZAP. Efek fisik dalam larutan ini dikaitkan dengan molekul potensi orientasi
dari bagian hidrofilik yang relatif kecil (hidrofil) yang memiliki kuat gaya-gaya polar,
disandingkan dengan bagian hidrofobik yang relatif besar (biasanya linier) (hidrofob)
memiliki gaya elektrostatik yang relatif lemah. Dalam larutan atau dispersi hidrofil polar
cenderung berorientasi ke dalam fase larutan, sementara hidrofobik, secara alami
mengalami gaya tolakan oleh fase larutan, sehingga akan berorientasi pada (atau pada)
batas antarmuka, yang mungkin antara larutan dan udara atau antara larutan dan substrat
( bahan tekstil).
Dalam proses desizing dan scouring serat tekstil alam dan campuran mereka,
ZAP sering digunakan sebagai deterjen dan pengemulsi untuk membantu menghilangkan
kotoran yang berasal dari serat alami atau ditambahkan dalam proses awal seperti
pemintalan dan pertenunan. Dalam pencelupan tekstil, ZAP secara luas digunakan
sebagai pendispersi dan zat levelling untuk membantu keseragaman pencelupan dan
penetrasi zat warna yang lebih baik. Fiksasi zat warna juga sering menggunakan ZAP
meskipun dalam penggunaannya tidak seperti zat pembantu lainnya. Pada proses
penyempurnaan, ZAP sering digunakan sebagai pelembut kain untuk memperbaiki
pegangan kain atau digunakan sebagai zat antistatik untuk mengontrol listrik statis yang
muncul di permukaan serat tekstil, khususnya serat sintetis karena memiliki kelembaban
yang rendah. ZAP juga berguna untuk mengontrol pembentukan busa selama proses
tekstil dikenal dengan istilah zat antifoaming (defoaming), khususnya untuk pencelupan
dan proses lainnya dengan padding berkecepatan tinggi.
Penggunaan ZPT, termasuk ZAP akan sangat bergantung kepada jenis dan sifat
serat, proses yang berlangsung, metode proses, zat warna atau auxiliaries yang
digunakan dalam proses tersebut.
II. MATERI
2.1 Klasifikasi Serat
Karakteristik serat adalah salah satu faktor penting untuk menetukan pemilihan
jenis ZAP dalam proses basah tekstil. Perbedaan serat akan menentukan jenis ZAP yang
akan digunakan misalnya untuk pembasahan, deterjensi dan fungsi lainnya. Serat alam
akan membutuhkan zat kimia yang bersifat sangat kuat untuk menghilangkan kandungan
alaminya. Sebagai contoh kapas yang mempunyai lebih dari 10% komponen non
selulosa yang dibutuhkan untuk dihilangkan dalam proses basah. Serat protein alam
seperti wol dan sutera banyak sekali pengotornya dibanding dengan kapas, sedangkan
serat sintetis seperti poliester lebih bersih dibanding dengan serat alam sehingga jumlah
pengotornya dalam jumlah yang sangat kecil. Berikut ini klasifikasi serat berdasarkan
sumbernya .
2.3.3 ENZIM
Enzim merupakan katalisator yang mampu meningkatkan kecepatan reaksi
kimia spesifik tanpa ikut bereaksi. Enzim merupakan molkeul protein yang amat spesifik,
dibentuk oleh sel dari unit sederhana asam amino.enzim mampu mengkatalisa dalam
waktu beberapa detik urutan reaksi kompleks yanag aka membutuhkan waktu beberapa
hari, minggu atau bulan jika dikerjakan dalam laboratorium kimia. Reaksi yang dikatalisa
enzim akan berjalan semurna tanpa produk samping, dengan produk 100%. Enzim
bergabung dengan molekul substrat untk membentuk suatu komples enzim substrat.
Pertama tama Enzim bergabung dnegan substratnya dalam reaksi dapat balik,
emmebetuk kompleks Enzim-Subtrat. Reaksi ini berlangsung dengan cepat
E + S ↔ ES
Kompleks ES akan teurai dalam reaksi balik kedua, yang lebih lambat, menghasilkan
produk reaksi dna enzim bebas
ES ↔ P + E
Enzim memilki berat molekul berkisar dari 12000 sampai lebih dari 1 juta. oeh karena
itum, enzim berukuran amat besar dibandingkan dengan substrata tau gugus fungsional
targetnya. Setiap enzim dapat mengkatalisasi jumlah perubahan kimia yang tidak terbatas
tanpa dirinya terdegradasi oleh reaksi, meskipun sebagian besar enzim kehilangan
aktivitasnya secara bertahap di bawah kondisi yang tidak stabil.
Enzim awalnya hanya digunakan dalam proses scouring dan desizing, namun enzim
sekarang ini banyak digunakan untuk memodifikasi permukaan dalam proses
penyempurnaan juga untuk pengolahan limbah. Enzim dapat menunjukkan aktivitas yang
kuat pada kondisi tertentu. Hanya situs aktif yang relevan dari enzim yang bersentuhan
dengannya substrat dan terlibat langsung dalam reaksi yang dikatalisis. Sebagian besar
enzim sangat spesifik, hanya mengkatalisis satu reaksi spesifik.
Tabel 7.2 Beberapa Kondisi Proses Pemasakan pdaa Beberapa Mesin Tekstil
(Sistem Batch)
Resep Jet Or Winch Jig Kier Beam
Wetting agent 0,3 – 1,0 0,5 – 1,0 0,5 – 1,0 0,5 – 1,0
(g/L)
Detergent 1,0 – 3,0 2,0 – 4,0 2,0 – 4,0 2,0 – 4,0
(g/L)
NaOH 50% 4,0 – 15,0 5,0 – 20,0 4,0 – 15,0 20,0 –
(g/L) 35,0
Vlot 8 - 15 2–5 3-5 5 - 10
Suhu (0C) 90 - 98 90 – 98 120 - 130 100 - 130
Waktu (jam) 0,5 – 1,0 0,5 – 1,5 3,0 – 6,0 3,0 – 5,0
Tabel 7.3 Beberapa Kondisi Proses Pemasakan pdaa Beberapa Mesin Tekstil
(Sistem Kontinyu)
Resep J-Box Open Width Pressure
Wetting agent 1,0 – 5,0 1,0 – 5,0 1,0 – 5,0
(g/L)
Detergent (g/L) 4,0 – 10,0 5,0 – 12,0 4,0 – 12,0
NaOH 50% (g/L) 20 – 50 25 - 60 30 - 80
Suhu (0C) 95 – 100 95 – 100 120 - 140
Waktu (min) 30 – 90 10 – 30 1 -
2
2.4.2.1 Levelling
Leveling agent adalah kategori utama ZAP sebagai pembantu pencelupan. Zat
leveling meningkatkan kerataan pencelupan dan kemungkinan serat, benang atau kain
dapat diproduksi ulang, bahkan pengambilan zat warna di serat dari larutan pencelupan
dan kesetimbangan migrasi zat warna dalam serat. Hal ini dapat dicapai dengan ZAP
melalui dua mekanisme utama. Pertama, ZAP leveling akan menghambat adsorpsi zat
warna dan atau menyeimbangkan desorpsi-penyerapan kembali ke permukaan serat
yang membantu keseragaman penyerapan zat warna. Kedua, ZAP meningkatkan migrasi
dan penetrasi zat warna antara dan di dalam serat, yang memperbaiki ketidakrataan dan
meningkatkan ketajaman arah warna. Zat leveling biasanya dipilih berdasarkan jenis zat
warna, proses pencelupan (batch atau kotinyu), peralatan pencelupan, kondisi
pencelupan (seperti pH, vlot, dan laju alir), bahan serat, kekuatan warna, biaya dan
dampak lingkungan
Terdapat dua tipe dasar dari zat leveling, substantif terhadap zat warna dan substantif
terhadap serat yang akan mempengaruhi perilaku termodinamik dan kinetik dari proses
pencelupan. Zat leveling yang bersifat substantive terhadap zat warna memiliki kekuatan
pengikatan yang relatif lebih kuat dengan zat warna larut yang mengarah pada
pembentukan kompleks zat warna-ZAP yang stabil dan atau pewarna yang termiselkan
pada awal proses pencelupan, dalam persaingan dengan serat untuk memperlambat
adsorpsi zat warna. Kompleksasi dan miselisasi, sebagai reservoir zat warna bebas,
melepaskan molekul zat warna secara bertahap selama proses pewarnaan sampai
tercapai ekuilibrium, sehingga pengendapan zat warna yang cepat dalam larutan
pencelupan dapat dicegah dengan baik dan adsorpsi yang tidak merata berkurang secara
signifikan. Selain itu, zat leveling juga dapat berinteraksi dengan zat warna yang banyak
terdeposisi untuk meningkatkan migrasi zat warna dari daerah yang lebih tua ke daerah
yang lebih muda sehingga menghasilkan distribusi warna yang merata.
Zat leveling yang bersifat substantif terhadap serat secara kinetic memiliki
kemampuan mengikat terhadap serat dibandingkan terhadap zat warna, karena struktur
ampifatiknya dan berat molekulnya yang kecil. ini akan mengakibatkan untuk ZAP terpilih
dengan gugus penyerap pada serat. ZAP pada gugus ikatan pada serat kemudian secara
lambat digantikan oleh zat warna dari larutan zat warna, karena afinitas dari zat warna
terhadap serat secara termodinamika lebih kuat dibandingkan dengan zat leveling.
Kompetisi dari ZAP dengan zat warna untuk gugus aktif dari serat menahan adsorpsi zat
warna dan oleh karenanya menyebabkan pencelupan yang merata.
2.4.2.1 Softener
Penyempurnaan pelembutan dan antistatik adalah aplikasi penting dalam
penggunaan ZAP dalam proses penyempurnaan. Softener akan meningkatkan
kelembutan dari bahan tekstil, hand feel dan juga kelemasan elastisitas fleksibilitas dan
bersifat bulky. Pada umumnya softener tekstil berupa ZAP dan polimer, dapat dengan
mudah untuk diaplikasikan melalui proses perendaman atau padding. Di pasaran ZAP
untuk tekstil, prosentase penggunaan ZAP adalah sebagai berikut 35 – 40% ZAP kationik,
40 – 45% ZAP non ionik, 8-10% ZAP anionik dan sisanya ZAP amfoter. Pada umumnya,
ZAP softener tidak tahan terhadap pencucian.
A. PENGETAHUAN
Mahasiswa mengetahui proses tekstil yang dilalui dari mulai menjadi benang
sampai dengan kain yang telah diproses penyempurnaan. Mahasiswa juga dituntut untuk
mengetahui sifat dari serat, metode dan kondisi proses serta auxiliaries yang digunakan di
dalam proses. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami prinsip dari
penggunaan ZPT dan ZAP dalam proses tekstil. Lebih jauhnya lagi, mahasiswa
diharapkan untuk dapat menentukan jenis ZPT dan ZAP yang sesuai untuk proses tekstil.
B. KETERAMPILAN
Mahasiswa mampu merencanakan penggunaan ZPT dan ZAP secara tepat dalam
proses tekstil. Untuk mencapai tujuan itu, mahasiswa harus memahami prinsip kerja dari
jenis ZPT dan ZAP yang digunakan, jenis serat, kondisi dan metode proses serta
auxiliaries lain yang digunakan.
C. SIKAP
Mahasiswa dapat mengaplikasikan penggunaan ZPT dan ZAP secara tepat sesuai
dengan jenis proses yang akan dilakukan.