Naskah Akademik RUU PEMDA
Naskah Akademik RUU PEMDA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya
(Rondinelli & Cheema, 1983).
(2) Kelembagaan
2
(3) Personil
3
bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem
pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang
mewakili rakyat. Pertama yaitu DPRD yang dipilih melalui
pemilihan umum untuk menjalankan fungsi legislatif daerah.
Kedua adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan
kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat
daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif
daerah. Dengan demikian kepala daerah dan DPRD adalah
pejabat yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang
mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam
koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.
4
goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan
masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung
sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan sebagainya yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemerintahan
daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan
publik (public regulations) seperti menerbitkan Akte Kelahiran,
Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Izin Mendirikan
Bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik
dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban
(law and order) dalam masyarakat.
(7) Pengawasan
5
eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif dan juga
pengawasan melekat (built in control).
6
di masa itu. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami
perkembangan yang berarti sejak dilaksanakannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menganut otonomi luas.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut membatasi
urusan pemerintahan di tingkat pusat dan provinsi melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan mengalihkan
sisanya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme pengakuan.
7
berbagai masalah, seperti ketidakjelasan pembagian urusan antar
susunan pemerintahan, dan tidak jelasnya hubungan interelasi
dan interdepensi antar tingkatan dan dan susunan pemerintahan
khususnya antara pemerintahan daerah dengan Pemerintah Pusat
dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan
daerah kabupaten/kota. Penempatan DPRD sebagai parlemen
daerah dengan kewenangan untuk memilih dan memakzulkan
kepala daerah menghasilkan destabilisasi pemerintahan daerah.
Konflik yang terjadi antar kepala daerah dan DPRD cenderung
meluas di banyak daerah dan mengganggu kelancaran jalannya
pemerintahan daerah. Semua hal di atas mendorong Pemerintah
Pusat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
untuk menata kembali pelaksanaan desentralisasi sehingga
percepatan pembangunan daerah dapat dilakukan.
8
1. Pemerintah Pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat
pengaturan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut;
berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi
terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk
melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional
(lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
9
pemerintahan sehingga urusan pemerintahan tersebut dapat
terselenggara secara sistemik dan sinergik.
1) Sosial
2) Lingkungan Hidup
3) Perdagangan
4) Kelautan dan Perikanan
5) Kehutanan
6) Pendidikan dan Kebudayaan
7) Kesehatan
8) Usaha Kecil dan Menengah
9) Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10) Pertanian dan Perkebunan
11) Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
12) Perhubungan
13) Penanaman Modal
14) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
15) Kependudukan
16) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
17) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
18) Perindustrian
19) Pekerjaan Umum
20) Penataan Ruang
21) Pemuda dan Olah Raga
22) Komunikasi dan Informasi
23) Perumahan
10
24) Arsip
25) Pertanahan
26) Kesatuan Bangsa dan Politik
27) Statistik
28) Pemerintahan Umum
29) Pemberdayaan Masyarakat Desa
30) Kepegawaian
31) Perpustakaan
11
kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya.
12
desentralisasi. Konflik dan tumpang tindih kewenangan antar
susunan pemerintahan dan antar daerah tetap terjadi dan
memerlukan pengaturan yang lebih jelas dan efektif. Urusan
pemerintahan yang berbasis ekologis. Khususnya yang terkait
dengan urusan kehutanan dan kelautan masih tetap sulit untuk
dibagi antar tingkatan pemerintahan karena batas wilayah
administrasi pemerintahan sering kurang sesuai dengan
externalitas yang ditimbulkan dari urusan pemerintahan yang
berbasis ekologis.
13
gejala patronasi dan kooptasi birokrasi secara politis akan
memberikan tekanan bagi elit politik lokal untuk mengembangkan
struktur organisasi. Pemberian otonomi luas akan menjadi alasan
utama bagi daerah untuk mengembangkan organisasi untuk
mewadahi urusan pemerintahan tersebut, walaupun secara
empirik banyak dari urusan tersebut tidak sesuai dengan prioritas
untuk mensejahterakan rakyat. Otonomi daerah yang luas belum
disikapi sebagai ”open menu” bagi elit daerah. Pengertian open
menu mengarah pada kondisi dimana daerah tidak harus
memprioritaskan urusan-urusan pemerintahan yang relevansinya
kurang kuat terkait dengan upaya daerah mensejahterakan
masyarakatnya.
14
desentralisasi agar daerah dapat menyelenggarakan pelayanan
publik yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan warganya, dan
dapat dijangkau oleh warganya dengan mudah. Pengaturan
tentang penyelenggaraan pelayanan publik perlu dimasukan
dalam undang-undang pemerintahan daerah agar daerah memiliki
pedoman dan standar yang jelas dalam menyelenggarakan
pelayanan yang berkualitas.
15
Nomor 32 Tahun 2004. Dengan adanya revisi terhadap Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka diharapkan penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia benar-benar dapat
mendorong kemajuan daerah dan meningkatkan kemakmuran
bagi warga di daerah. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan
juga dapat menjadi perangkat kebijakan untuk memperkuat
integrasi nasional dan memperkokoh keberadaan NKRI.
16
antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah telah
menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan
pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota
dalam wilayah provinsi tersebut. Akibatnya adalah sulitnya
pencapaian target-terget nasional yang telah ditetapkan
Pemerintah Pusat karena masing-masing tingkatan pemerintahan
mempunyai target dan prioritasnya sendiri-sendiri. Pada gilirannya
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konstruksi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 sering belum mampu mempercepat
perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah yang akibat lanjutannya
adalah rendahnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
nasional.
17
pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan terkait
dengan hubungan antara pemerintah daerah dengan warganya
seperti pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi
dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk
menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga
menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa
antara warga dan penyelenggara pelayanan publik belum diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan
berbagai hal tersebut sangat strategis dalam menjamin
terwujudnya pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan
akuntabel.
18
inovasi. Tapi sebaliknya juga jangan penyalahgunaan kekuasaan
berlindung dibalik kegiatan yang inovatif.
19
Adanya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
diharapkan dapat memberi kesempatan untuk membangun
kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
menyeluruh, visioner, dan efektif merespon berbagai masalah yang
sekarang dan mungkin terjadi di masa mendatang di dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.
1.3 Metodologi
20
yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengakomodasi kebutuhan
adanya pengaturan yang diperlukan untuk menjawab tantangan
yang sekarang dan dimasa mendatang dihadapi oleh pemerintah
daerah. Dengan demikian, diharapkan undang-undang yang
dihasilkan nanti benar-benar mampu menjawab berbagai masalah
yang sekarang dihadapi ataupun tantangan yang mungkin terjadi
di masa mendatang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
21
masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh banyak pihak yang
mewakili kepentingan yang berbeda-beda.
22
Revisi juga dilakukan dengan mengkombinasikan
pendekatan keilmuan dan politik. Pendekatan keilmuan dilakukan
untuk mencari solusi yang tepat terhadap berbagai masalah yang
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan
melibatkan para pakar dari berbagai universitas dan lembaga
penelitian yang berbeda diharapkan revisi dapat menghasilkan
pengaturan baru yang secara akademik kuat dan secara politik
sesuai. Pengaturan baru tentunya harus memiliki landasan
konsepsual yang kuat didukung oleh hasil riset dan pengalaman
internasional yang memadai. Untuk itu maka para pakar diminta
melakukan kajian tentang berbagai isu yang dianggap penting dan
menuliskan hasilnya sehingga dapat menjadi bahan untuk
pembuatan naskah akademik dan masukan yang penting dalam
revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun, pengaturan
yang secara akademik sound harus juga dapat diimplementasikan
dengan mudah, sederhana, dan efektif. Karena itu, pemikiran dari
para pakar dan anggota Tim Revisi dikonsultasikan dengan para
pihak yang berkepentingan sehingga pengaturan yang diusulkan
bukan hanya tepat secara konsepsual, tetapi juga secara politik
sesuai, dan diterima dimata berbagai pemangku kepentingan.
Bab I Pendahuluan
23
Bab II Kerangka Konseptual, Kebijakan Desentralisasi Dalam
Negara Kesatuan
24
dalam setiap isu, analisis tentang penyebab munculnya
masalah, dan usulan perubahan kebijakan untuk
menjawab masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Bab V Penutup
25
BAB II
26
anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang
dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan roda
pemerintahan daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi
utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.
27
DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah
bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun
sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari
praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut.
Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan dwifungsi;
sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah
Pusat, kepala daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan
sebagai Ketua DPD, kepala daerah bertindak selaku wakil dari
daerah yang bersangkutan.
28
wilayah Republik Indonesia, sedangkan daerah-daerah dibawah
sistem federal diatur sistem pemerintahan daerahnya menurut
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950.
29
Sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah
terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak
selaku Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah
terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan
DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terletak pada peranan
yang dijalankan oleh kepala daerah. Kepala daerah hanya
berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab
kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektif bertanggung jawab
kepada DPRD. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun
sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari
Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri
untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III.
30
Presiden 6 Tahun 1959 untuk mengatur pemerintahan daerah
agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD.
Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif
daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah
juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia
bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh
DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia
bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah
diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah
Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah
Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh
Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya
dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik.
31
seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak
lanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-
Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja
kepada pemerintah daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan
oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan
yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau
Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap
dipertahankan. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 dikeluarkan untuk mengganti Penetapan Presiden 6 Tahun
1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke
arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari
menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan
politik nasional.
32
Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem
pemerintahan daerah adalah bahwa kepala daerah bukanlan
lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diizinkan
menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga
tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaitu; Propinsi,
Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang
diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-
luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957.
33
Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan
sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai
koordinator pemerintahan di daerah yang mengoordinir semua
instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah
juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di
daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan koordinasi,
pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan
menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di
otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang
menanganinya (urusan sisa).
34
kalangan mengatakan telah terjadi “big bang” dalam kebijakan
desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat dalam era
Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi.
35
Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi
ataupun sentralisasi yang ekstrim cenderung akan menciptakan
instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada konflik
yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu terdapat upaya untuk
menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan
kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuum kebijakan.
36
Otonomi luas telah memberikan peluang pemerintah daerah
membengkakkan struktur organisasi pemerintahan daerah dan
besarnya struktur organisasi akan menuntut adanya tambahan
pegawai. Tambahan pegawai akan menyebabkan
membengkaknya biaya rutin (biaya tidak langsung) dan akan
menyisakan sedikit sekali untuk membiayai pelayanan public
(biaya langsung). Buruknya pelayanan publik akan berpengaruh
pada tingkat kesejahteraan masyarakat.
37
belum menunjukkan data yang menggembirakan. Pada tahun
2008 kita ada di urutan 109 dari 179 negara yang di survei.
Namun pada tahun 2009 peringkat Indonesia melorot ke nomor
111 dan terjadi perbaikan di tahun 2010 menjadi peringkat 108.
Tapi angka ini masih sangat jauh di bandingkan negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia di peringkat 63, Thailand di
peringkat 86. Terlebih dengan disepakatinya perdagangan bebas
ASEAN dan juga dengan China, memerlukan kebijakan
desentralisasi yang mampu mendukung daya saing daerah.
Besarnya kewenangan yang diberikan ke daerah harus mampu
mendorong daerah menjadi bagian dari lokomotif pembangunan.
38
program ataupun arahan pusat akan terlaksana secara lancar di
daerah.
39
Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan
menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk
desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia.
Apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia
terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana selama ini
dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional
(Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang
digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan
Cheema (1983) yang mengklasifikasi desentralisasi kedalam
berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Apakah
desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti
praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan,
yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada
kabupaten/kota? Atau, pelimpahan kewenangan kepada provinsi
perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negara-negara yang
menganut sistim pemerintahan federal. Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama
dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.
40
warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai
sesuatu yang taken for granted.
41
bahkan sejak para pendiri bangsa dimasa lalu.1 Kondisi
demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas
yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai
keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa dimasa lalu terhadap
desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka
terhadap tingginya pluralitas bangsa. Indonesia yang memiliki
wilayah yang sangat luas dan terbentang pada begitu banyak
pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dengan etnisitas,
budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda
membutuhkan pemerintah daerah yang otonom dan memiliki
kapasitas merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan
daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan ketika
desentralisasi dilakukan.
1
Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang otonomi daerah. Fakta bawa Pemerintah Pusat yang baru saja menyatakan
kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan undang-undang mengatur
tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa
melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting.
42
desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted,
karena keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak
terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi dalam sebuah konteks
historik, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistim
desentralisasi yang dikembangkan mesti harus kontekstual
dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi sehingga
model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar
sesuai dengan sistem pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan
cita-cita membangun negara bangsa.
43
desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
44
desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana
diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat
luas.
45
hanya terjadi dalam kewenangan eksekutif, bukan dalam
kewenangan legislatif dan yudisial. Pemerintahan daerah tidak
memiliki kompetensi legislatif dan yudisial.
46
pemerintahan daerah. Karena itu, Presiden memiliki kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
47
mudah untuk dirubah untuk kepentingan sempit dan jangka
pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya
democratic governance pada tingkat lokal.
48
government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun
negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi
perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat. Pengalaman sejarah pemerintahan
Indonesia menunjukan bahwa penguatan peran provinsi sebagai
daerah otonom sering menimbulkan kekhawatiran tentang risiko
munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan
kepada kepala daerah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat
dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman
separatisme.
49
dominan sehingga cederung memonopoli konsep desentralisasi di
Indonesia. Pengembangan kawasan khusus dapat menjadi contoh
terjadinya desentralisasi fungsional, dimana Pemerintah Pusat
membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk
menjalankan fungsi Pemerintah Pusat tertentu. Munculnya
masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan,
konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia
mengembangkan konsep desentralisasi fungsional.
Pengembangan kawasan perbatasan yang memiliki aspek geo-
politik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh
satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang
secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintahan
tertentu di kawasan perbatasan.
50
pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi
kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer
dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki
beberapa implikasi. Implikasi pertama, Pemerintah Pusat perlu
membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah
dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting
untuk memastikan daerah mampu menjamin semua warga
dimanapun mereka tinggal mampu mengakses volume dan
kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas
dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen
yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen pada tingkat
nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk
menjalankan pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan
sumber-sumber lain di tingkat nasional maka pemerintahan
daerah harus juga akuntabel pada stakeholders pada tingkat
nasional. Daerah memiliki akuntabilitas ganda, stakeholders di
daerah dan nasional.
51
akan menimbulkan kekaburan terhadap subtansi peraturan
perundang-undangan tetapi juga akan mempersulit pelaksanaan
dari desentralisasi itu sendiri. Kekaburan dalam isi kebijakan
akan mendorong munculnya mis-intepretasi dan distorsi
kebijakan yang tidak perlu dan dapat menjauhkan kebijakan
desentralisasi dari nilai-nilai yang akan diwujudkannya.
52
Tanpa penguatan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil
di daerah, desentralisasi hanya akan melahirkan elite captures
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang
merugikan kepentingan warga dan pemangku kepentingan yang
luas.
53
BAB III
54
dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan
daerah. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang tidak
terkendali dikawatirkan akan membuat penyelenggaraan
pemerintahan menjadi tidak efisien dan efektif.
55
muncul dari intepretasi terhadap Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan.
Pembentukan DOB melalui undang-undang dapat ditafsirkan
bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif
dalam pembentukan DOB. Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 akan mengatur mekanisme pembentukan DOB
agar pembentukan tersebut jangan membebani daerah yang
sudah ada.
56
pembagian urusan dengan memakai skala menyebabkan
tidak jelasnya batas-batas urusan khususnya yang
menyangkut kewenangan provinsi dan kabupaten/kota atas
urusan tersebut. Pada sisi lain kelambatan untuk
menerbitkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
dari kementerian/lembaga di pusat untuk dijadikan pedoman
bagi daerah untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah ikut menambah keruwetan
pelaksanaan urusan tersebut.
57
wakilnya yang bermuara kepada terkotak-kotaknya PNS yang
bekerja di daerah. Revisi undang-undang ini mengatur
bagaimana masalah tersebut dapat diatasi. Secara detail
pengaturan pemilihan kepala daerah dari pencalonan sampai
penetapan pemenang akan diatur dalam undang-undang
tentang pemilihan kepala daerah.
58
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam tataran
realitas, eksistensi muspida masih ada sebagai forum
komunikasi antar pimpinan daerah yang umumnya terdiri
dari unsur pemerintahan daerah, unsur TNI, unsur Polri dan
unsur Kejaksaan. Permasalahan muncul ketika menyangkut
aspek pembiayaan. Tidak adanya payung hukum yang
mengatur Muspida telah menyebabkan setiap pengeluaran
biaya untuk menunjang kegiatan Muspida akan menjadi
temuan dari aparat pemeriksa.
59
tersebut dan pengaturan yang jelas dan tegas diperlukan
untuk mendorong daerah membentuk aparatur yang
profesional.
9) Masalah Kecamatan
60
Dengan demikian camat akan mempunyai kewenangan yang
jelas sebagai satuan kerja perangkat daerah. Kewenangan
yang jelas akan terlaksana dengan dukungan pendanaan
yang jelas juga melalui prinsip ”money follow function”.
61
Presiden juga dinilai tidak sesuai mengingat besaran jumlah
Perda yang harus ditinjau ulang sangat besar. Penguatan
pengaturan tentang pembentukan peraturan daerah perlu
dilakukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, namun hendaknya pengaturan baru tersebut tidak
bertentangan dan mengulang hal yang sudah diatur dalam
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
62
dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan daerah.
Tidak tersedianya data membuat kualitas perencanaan
daerah cenderung buruk.
63
Besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai yang
menjadi salah satu variabel penting untuk menentukan
alokasi dasar dari DAU menjadi salah satu faktor yang
mendorong pembengkakan pegawai di daerah. Pengeluaran
belanja pegawai yang sangat besar membuat masyarakat di
daerah tidak dapat menikmati manfaat dari pelaksanaan
otonomi daerah. Isu lainnya adalah perlunya penguatan
peran gubernur sebagai budget optimizer dalam alokasi DAK.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjadi
intermediaries pencapaian tujuan Pemerintah Pusat dengan
meningkatkan relevansi program-program pemerintah di
daerah. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 belum mengatur dengan jelas peran
gubernur sebagai budget optimizer. Revisi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur peran gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menjadi budget
optimizer dalam alokasi DAK.
64
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan membuat
pengaturan yang jelas tentang penyelenggaraan pelayanan
publik di daerah diharapkan pelaksanaan desentralisasi
dapat mempercepat tercapainya perbaikan kualitas pelayanan
publik. Namun, pengaturan tentang penyelenggaraan
pelayanan publik oleh daerah harus disinkronkan dengan
undang-undang pelayanan publik sehingga tidak terjadi
tumpang-tindih dan inkonsistensi dalam pengaturan tentang
pelayanan publik di daerah.
65
daerah. Oleh karena itu revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 perlu mengatur berbagai hal di atas dengan
jelas.
66
16) Kawasan Khusus
67
kuantitas pelayanan publik yang dinikmati masyarakat.
Dalam penyediaan pelayanan publik untuk masyarakat
sangat terkait dengan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan suatu daerah. Sering pelayanan publik yang
disediakan oleh suatu daerah menciptakan dampak kepada
daerah tetangganya. Untuk mencapai efisiensi dalam
pelayanan publik tersebut, maka kerjasama antar daerah
sangat mutlak diperlukan untuk menciptakan sinergi dan
efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik tersebut.
68
Salah satu rambu yang sangat penting dalam konteks
pengaturan desa adalah kewenangan desa atas urusan
pemerintahan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 18 B UUD
1945 secara eksplisit diatur bahwa desa diakui
keberadaannya dan berwenang mengatur dan mengurus
urusan-urusan yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan sistem
pemerintahan yang ada. Pada sisi lain ketentuan Pasal 18
UUD 1945 secara jelas telah mengatur bahwa otonomi daerah
hanya terdapat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Implikasinya terhadap pengaturan desa adalah bahwa desa
tersebut masuk dalam kategori ”community self government”
atau pemerintahan yang berbasis komunitas mengerjakan
hal-hal yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi dan
bukan ”local self government” sebagaimana layaknya
tingkatan provinsi dan kabupaten/kota. Setiap urusan
pemerintahan daerah yang masuk domain otonomi daerah
provinsi maupun kabupaten/kota yang dikerjakan oleh desa
dilaksanakan melalui mekanisme pelimpahan atau
pendelegasian dengan pembiayaan yang jelas dan petunjuk
pelaksanaan yang jelas dari tingkatan pemerintahan yang
menugaskan. Mengingat undang-undang tentang Desa akan
diatur tersendiri, maka dalam revisi UU 32/2004 hanya
mengatur introduksinya saja dan selebihnya secara detail
akan diatur dalam undang-undang tentang Desa.
69
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak terdapat
mekanisme yang jelas dan tegas mengenai Binwas terhadap
daerah kementerian dan lembaga pusat juga tidak
mempunyai pegangan hukum yang jelas dalam melakukan
pembinaan terhadap daerah. Daerah merasa bahwa kalau
sudah otonomi, maka Pemerintah Pusat tidak punya hak lagi
melakukan Binwas ke daerah. Aparat pusat sering juga
berargumen bahwa suatu urusan yang telah diotonomikan
tidak memungkinkan lagi instansi pusat melakukan
pengawasan ke daerah.
70
20) Masalah Tindakan Hukum terhadap Aparatur Daerah
71
umum dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat.
Untuk itu revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu
menambahkan pengaturan tentang inovasi daerah yang dapat
dilakukan oleh pejabat publik sejauh tindakan mereka tidak
menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik
kepentingan, dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan
umum.
72
DPOD tidak didukung oleh sebuah think tank yang memadai.
Akibatnya, DPOD sering mengalami kesulitan untuk memberi
rekomendasi yang jelas kepada Presiden ketika dihadapkan
pada pilihan kebijakan yang kompleks dan dilematis.
73
BAB IV
4.1 Umum
Sebelum melakukan analisis atas setiap isu strategis yang menjadi
substansi revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
maka berikut ini adalah dasar-dasar pemikiran yang
dikembangkan dalam revisi dan yang melatar belakangi analisis
dan usulan perubahan yang akan dilakukan dalam revisi tersebut.
74
bahwa bangsa Indonesia atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa menyatakan kemerdekaannya. Sedangkan alinea keempat
memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan
kemerdekaannya, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah
Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung
jawab mengelola bangsa Indonesia yang baru menyatakan
kemerdekaannya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas
Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa
dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan kedilan sosial.
75
eksekutif dalam arti kekuasaan pemerintahan ada ditangan
Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945. Kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden
tersebut yang kemudian sebagian diserahkan ke daerah. Dengan
demikian pemerintah daerah menyelenggarakan sebagian
kekuasaan pemerintahan yang menjadi domain kewenangan
Presiden.
76
dalam merumuskan kebijakan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan nasional. Hal ini dimaksudkan agar tercipta
sinergi dan keserasian antara kebijakan Pemerintah Pusat
dengan pemerintahan daerah.
77
sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Rakyat
daerah kemudian memilih kepala daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) untuk mewakili kepentingan rakyat yang
bersangkutan untuk mengelola urusan pemerintahan tersebut.
78
menetapkan rancangan anggaran daerah yang dibuat oleh pihak
eksekutif daerah. Melalui mekanisme tersebut terbentuk
hubungan kemitraan yang seimbang atau mekanisme checks
and balances antara kepala daerah dan DPRD.
79
Ada prinsip konkurensi yang dianut dalam pelaksanaan setiap
urusan pemerintahan yang di desentralisasikan. Adapun yang
membedakannya adalah pada skala wilayah dimana urusan
pemerintahan tersebut dilaksanakan. Pemerintah Pusat
berwenang melaksanakan urusan pemerintahan tersebut pada
skala wilayah nasional dan internasional; Pemerintahan daerah
provinsi pada skala wilayah provinsi atau lintas kabupaten/kota
dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Sedangkan
Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang melaksanakan
urusan pemerintahan tersebut pada skala wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
80
menentukan bahwa tingkatan pemerintahan yang paling dekat
dengan dampak tersebutlah yang berwenang atas urusan
pemerintahan termaksud. Kriteria akuntabilitas dimaksudkan
untuk menjawab tuntutan demokrasi yaitu mendekatkan
pemerintah kepada rakyat sehingga meningkatkan akuntabilitas
pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi ditujukan untuk
mengakomodasikan tuntutan globalisasi yaitu mendorong
pemerintahan yang efisien dan berdaya saing. Kriteria
eksternalitas dan akuntabilitas dimaksudkan untuk
mengakomodasikan tuntutan demokrasi sedangkan kriteria
efisiensi untuk memenuhi tuntutan ekonomis yaitu menciptakan
pemerintahan yang efisien dan berdaya saing.
81
penerimaan yang dihasilkan dari penyelenggaraan urusan
tersebut.
82
melimpahkan pelaksanaan urusan umum di daerah kepada
kepala daerah. Melalui delegasi atau pelimpahan dari Presiden
tersebut, di tingkat daerah urusan pemerintahan umum menjadi
tanggung jawab dari kepala daerah sebagai kepala pemerintahan
daerah. Di tingkat provinsi menjadi tanggung jawab gubernur
sedangkan di tingkat kabupaten/kota menjadi tanggung jawab
bupati/walikota.
83
otonomikan tersebut namun terbatas pada yang berskala
nasional atau lintas daerah provinsi dan berskala internasional
atau yang bersifat lintas negara.
84
Pemerintah Pusat berkewajiban melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap pemerintahan daerah agar urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah
dapat berjalan secara optimal dalam koridor NSPK yang
ditetapkan Pemerintah Pusat. Pembinaan terhadap
pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah Pusat. Seharusnya Pemerintah Pusat juga
berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Namun mengingat
luasnya wilayah Indonesia, maka sulit bagi Pemerintah Pusat
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara
berdayaguna dan berhasilguna terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk itu maka
Pemerintah Pusat melimpahkan kewenangan untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut kepada
gubernur.
85
analisis dan usulan perubahan yang akan diatur dalam revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
86
dengan warganya maka kriteria utama untuk menilai perlu
tidaknya pembentukan DOB mestinya adalah seberapa besar
pembentukan DOB mampu memperbaiki interaksi antara
pemerintah dengan warganya, terutama dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
87
geostrategik lainnya yang penting dalam pengembangan daerah
otonom dalam konteks NKRI.
88
dan penduduk, karena menjadi bagian dari daerah otonom baru,
mestinya harus diikuti dengan berkurangnya anggaran untuk
birokrasi dan aparatur dan bertambahnya biaya untuk kegiatan
pembangunan dan pelayanan publik. Namun, sering hal itu tidak
terjadi. Akibatnya, masyarakat harus membayar biaya
pemerintahan per kapita yang lebih besar.2
2
DSF, Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Policy Brief, November
2007
89
terhadap munculnya konflik antara daerah induk dengan daerah
baru membuat dukungan daerah induk terhadap DOB menjadi
tidak lancar. Bahkan, hubungan antara daerah induk dengan
DOB yang tidak harmonis sering menjadi sumber konflik antara
penduduk di kedua daerah itu. Ketidakjelasan peta, misalnya,
dapat menjadi sumber konflik antara penduduk kedua daerah
yang kalau tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik
horizontal meluas,3 apalagi kalau kedua daerah itu, daerah induk
dan DOB, memiliki ciri-ciri primordial yang berbeda. Konflik dapat
meluas ke ranah yang lain dan semakin melebar dan merugikan
masyarakat luas.
3
Diskusi Tim Pakar bersama dengan komponen Departemen Dalam Negeri tgl
Desember 2008 di Hotel Millenium, Jakarta
4
ibid
90
sumberdaya alam secara langsung berpengaruh bagi kehidupan
mereka.5
4.2.3 Analisis
5
Wawancara Tim Peneliti MAP UGM dengan beberapa pemangku kepentingan di Seram
dan Ruteng.
91
2007 sudah mengatur secara rinci prosedur, persyaratan, dan tata
cara pembentukan daerah otonom, namun kenyataaanya
keberadaan peraturan pemerintah tersebut belum mampu
mengendalikan proses pembentukan DOB secara wajar. Salah
satunya karena kekuatan peraturan pemerintah tersebut ketika
berbenturan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
yang memberi ruang terjadinya pembentukan DOB, misalnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena DOB
dibentuk berdasarkan undang-undang, maka hak inisiatif dapat
berasal dari Presiden maupun DPR. Belakangan ini hampir semua
usulan DOB merupakan hak inisiatif DPR. Dalam kondisi tersebut
maka Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 menjadi tidak
banyak artinya.
92
maka pengembangan DOB akan terus terjadi dan amat sulit
dikendalikan.
93
4.2.4 Usul Penyempurnaan
94
Tahun 2007. Dengan memasukan pengaturan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 kedalam revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka kedudukan
pengaturan tersebut akan menjadi semakin kuat dan dapat
menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan dalam
melakukan reformasi penataan daerah di Indonesia. Perlu ada
pengaturan tentang jumlah penduduk minimal dari satu
daerah otonom, mengingat beberapa DOB memiliki jumlah
penduduk yang sangat kecil dan tidak memungkinkan terjadi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang optimal.
95
5) Perlu juga dipersiapkan mekanisme insentif dan dis-insentif
bagi daerah untuk melakukan pemekaran atau penggabungan.
Insentif perlu dibuat untuk mendorong daerah untuk
menggabungkan daerahnya dengan daerah lainnya.
Sebaliknya, dis-insentif perlu diciptakan bagi daerah untuk
melakukan pemekaran. Pemerintah Pusat perlu meninjau
kembali formula pembagian DAU dengan menciptakan dis-
insentif bagi pembentukan DOB dan insentif bagi
penggabungan satu daerah dengan daerah lainnya.
Ada tiga masalah penting yang perlu diatur lebih jelas dalam
pembagian urusan. Masalah yang pertama menyangkut
ketidakjelasan pembagian urusan pemerintahan antara provinsi
dan kabupaten dan hubungan antara pemerintah provinsi dengan
kabupaten/kota. Kedua, ketidakjelasan peran dan sumberdaya
yang digunakan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ketiga
adalah masalah Urusan Pemerintahan Umum dan implikasi dari
urusan pemerintahan umum terhadap keberadaan muspida.
Bagian ini akan membahas ketiga masalah tersebut secara
terpisah.
96
Dalam negara kesatuan pembagian urusan antar pemerintahan
dilakukan oleh negara (Pemerintah Pusat dan DPR) melalui
undang-undang. Melalui undang-undang negara membentuk
daerah provinsi dan kabupaten/kota dan menyerahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada daerah, bukan sebaliknya. Di negara
federal, states (negara bagian) membentuk negara dan
menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah
federal dan mengaturnya dalam konstitusi. Kedudukan negara
bagian sangat kuat karena mereka memiliki kewenangan bukan
hanya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi juga
dalam bidang legislatif dan peradilan.
97
general competence. Indonesia pernah menggunakan kedua cara
tersebut. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba
mengkombinasikan kedua cara diatas, dengan menentukan secara
jelas urusan yang menjadi kewenangan pusat dan daerah, tetapi
memungkinkan keduanya melaksanakan urusan tertentu
berdasarkan atas kriteria tertentu seperti eksternalitas, efisiensi,
dan akuntabilitas.
98
menurut kriteria tertentu sebaiknya dikelola secara inklusif oleh
Pemerintah Pusat. Hal ini berbeda dengan negara federal dimana
baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian
masing-masing dapat secara inklusif memiliki wewenang mengatur
dan mengurus untuk satu urusan pemerintahan tertentu.
99
belum dapat dirumuskan dengan jelas. Akibatnya, banyak pelaku
dan pemangku kepentingan yang kemudian memberi interpretasi
yang berbeda-beda tentang mana urusan Pemerintah Pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota.
100
diabaikan dan daerah cenderung melaksanakan semua urusan
walaupun urusan tersebut tidak terkait dengan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.
4.3.1.3 Analisis
101
daerah, namun dalam kenyataannya beberapa kementerian dan
lembaga masih enggan melakukannya. Banyak undang-undang
sektoral yang belum searah dengan semangat dari kebijakan
desentralisasi. Keinginan untuk mempertahankan status-quo
muncul karena kepentingan-kepentingan jangka pendek dari para
pejabat di kementrian dan lembaga terkait dengan risiko
perampingan organisasi dan berkurangnya akses terhadap
anggaran ketika urusan di desentralisasikan ke daerah.
102
provinsi dapat mengambil peran untuk mengatur dan mengurus
urusan yang karena pertimbangan eksternalitas, efisiensi, dan
akuntabilitas sebaiknya dilakukan pada tingkat provinsi. Belum
adanya pengaturan yang jelas tentang pembagian urusan antara
provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan wajib dan pilihan
membuat duplikasi dan konflik dalam penyelenggaraan urusan
antara provinsi dan kabupaten/kota sering tidak dapat dihindari.
103
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan urusan
konkuren adalah urusan yang dapat diatur oleh pemerintah
dan atau daerah, yang penentuannya dilakukan dengan
kriteria tertentu. Kedua, memperjelas cara penyelenggaraan
urusan pusat dengan menentukan urusan yang sebaiknya
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sendiri secara langsung,
dengan menggunakan dekosentrasi, dan tugas pembantuan.
Dekonsentrasi perlu dibatasi hanya pada urusan ekslusif dan
urusan concurrent yang karena kriteria tertentu dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Dengan memperjelas cara penyelenggaraan urusan
pemerintahan, hubungan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
akan dapat ditata dengan lebih baik.
104
3) Perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas tentang
penyelenggaraan urusan pilihan. Daerah menyelenggarakan
urusan pilihan untuk pengembangan keunggulan daerah
dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengambilan
keputusan tentang urusan pilihan yang akan dikelola oleh
daerah dapat didasarkan pada struktur PDRB, mata
pencaharian penduduk, dan pemanfaatan sumberdaya lokal
yang tersedia di daerah. Penyelenggaraan urusan pilihan yang
dibuat oleh daerah harus sinergik dan terintegrasi dengan
kebijakan nasional untuk peningkatan daya saing bangsa.
105
maka perlu ada ”trade off” dalam aspek bagi hasilnya.
Kabupaten/kota mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan laut
dan hutan yang dilakukan oleh provinsi. Melalui pengaturan
tersebut pengendalian dapat dilakukan dengan lebih efektif
tanpa merugikan kabupaten/kota dalam aspek bagi hasilnya.
106
4.3.2 Gubernur Sebagai Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah
4.3.2.1 Dasar Pemikiran
107
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 gubernur lebih banyak
diperankan menjadi alat Pemerintah Pusat. Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974, pelaksanaan otonomi
dititikberatkan pada daerah tingkat II dan bersamaan dengan itu
asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan dekonsentrasi
lebih menonjol daripada desentralisasi, peran kepala wilayah lebih
menonjol daripada kepala daerah. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah gubernur, bupati, dan walikota bertindak
sebagai kepala daerah sekaligus sebagai kepala wilayah.
8
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Pusat menggunakan “fused
model” yang menempatkan gubernur disamping sebagai kepala daerah otonom juga
menjadi wakil pemerintah pusat, sedangkan untuk kabupaten dan kota diberlakukan
”split model”, yang artinya bupati/ walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah
otonom. Bupati/walikota menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak
merangkap sebagai wakil Pemerintah Pusat. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam
E. Koswara Kertapraja, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
108
tersebut dirasakan belum mampu menempatkan gubernur secara
jelas baik sebagai kepala provinsi dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Tarik menarik peran gubernur sebagai kepala provinsi dan
wakil Pemerintah Pusat selalu terjadi sesuai dengan dinamika
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kepentingan
pemerintah dalam menjamin kepentingan nasional dan kesatuan
bangsa.
109
Undang Nomor 32 Tahun 2004, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota,
koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah
kabupaten/kota, dan koordinasi pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Dalam kenyataannya, peran gubernur
sebagaimana disebutkan tadi kurang dapat dilaksanakan secara
optimal karena berbagai sebab, sebagaimana diuraikan berikut ini.
110
wakil Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
belum mengatur situasi seperti ini, karena itu revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur secara lebih jelas
hal ini.
111
sering dilakukan secara campur aduk dalam konteks
dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Pasal 37 dan Pasal 38
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara jelas memberi
tugas kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal
tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah
pembinaan dan pengawasan perlu juga dilakukan dalam
pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan
tugas dekonsentrasi.
112
pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan
konsekuensi dari pelaksanaan tugas pembantuan.
4.3.2.3 Analisis
113
dengan jelas karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran
yang berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat dan kepala daerah membuat
fungsi ganda gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena
struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi
dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda
gubernur.
114
dan mengendalikan konflik yang terjadi antar kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
115
sebagai wakil Pemerintah Pusat akan potensial menyebabkan
kerancuan dalam pembiayaan, pengawasan dan pertanggung
jawaban.
116
di provinsinya. Dengan memainkan peran ekualisasi
keberadaan provinsi juga akan dapat dirasakan manfaatnya
oleh kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.
117
diotonomikan ke daerah secara konkuren. Urusan konkuren
tersebut dibagi atas dua kelompok besar yaitu pertama urusan
wajib dan kedua urusan pilihan. Urusan wajib terbagi lagi
kedalam dua kelompok yaitu pertama yang terkait dengan
pelayanan dasar dan kedua yang tidak terkait dengan pelayanan
dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan
yang terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang
menjadi kekhasan suatu daerah.
118
harmonisasi kegiatan sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
119
Forum komunikasi antar instansi dalam ranah eksekutif
tersebut yang dimasa orde baru disebut dengan istilah
musyawarah pimpinan daerah (muspida). Dasar hukumnya
bersumber dari UU 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah. Namun dengan digantinya UU 5/1974
dengan UU 22/1999 dan kemudian diganti pula dengan UU
32/2004 maka sebenarnya dasar hokum yang emayungi forum
muspida tersebut sudah tidak ada lagi, namun keberadaan
muspida masih dirasakan penting oleh pimpinan pemerintahan
daerah untuk mendukung sinerji dan harmonisasi kegiatan antar
instansi pemerintah yang ada di daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
120
32/2004. Hanya Gubernur yang berperan sebagai wakil pusat di
daerah. Itupun dimaksudkan hanya sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat untuk melakukan binwas dan fasilitasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
kabupaten/kota. Tidak diatur secara jelas dan tegas tugas-
tugasnya dalam pelaksanaan urusan pemeruintahan umum.
Terlebih di tingkat kabupaten/kota, dengan dihapuskannya posisi
Bupati/Walikota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan
juga difungsikannya camat hanya sebagai perangkat daerah, telah
menyebabkan tidak adanya institusi pemerintahan yang
melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut.
121
menyikapi urusan-urusan yang terkait dengan keamanan,
kerusuhan akibat SARA, bencana, dan penegakan hokum yang
terkait dengan kewenangan daerah seperti penertiban KTP, ijin
bangunan, kaki lima dan gangguan-gangguan kemasayarakatan
lainnya.
122
pemerintah daerah ketika pemda dihadapkan pada kegiatan-
kegiatan yang bersifat “cross cutting” yang melibatkan kewenangan
pemda dan kewenagan instansi-instansi diluar pemda.
4.3.3.3. Analisis
123
Pada tingkat kecamatan, mengingat camat adalah berstatus
perangkat daerah kabupaten/kota, maka bupati/walikota
melimpahkan pelaksanaan urusan pemerintahan umum di
tingkat kecamatan kepada camat. Camat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan urusan pemerintahan umum di level paling
bawah.
124
Negeri yang mebnjadi penanggung jawab di tingkat nasional, yang
di tingkat daerah, gubernur, bupati dan walikota akan dibantu
oleh kantor kesbangpol daerah yang merupakan perpanjangan
kesbangpol pusat di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi dan
pembiayaannya atas beban APBN.
125
3. Perlu pengaturan mengenai kejelasan pembiayaan dan
perangkat pembantu gubernur, bupati dan walikota dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum.
126
istri, menantu, saudara untuk menjadi calon kepala daerah.
Persoalan etika juga sering disepelekan yaitu terjadinya beberapa
kasus kepala daerah yang sudah menjabat dua kali kemudian
mencalonkan dirinya sebagai wakil kepala daerah. Memang secara
legal tidak menyalahi karena tidak ada hukum positif yang
dilanggar tapi dari segi etika pemerintahan dan kepantasan sulit
untuk diterima akal sehat. Persoalan moral juga mewarnai
beberapa calon kepala daerah dimana calon yang sudah diketahui
secara meluas melakukan perbuatan asusila yang nampak dalam
video tapi karena tidak menjadi kasus hukum menjadi tidak
melanggar persyaratan sehingga yang bersangkutan tetap
mencalonkan diri.
127
keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana masing-
masing tidak dapat menjatuhkan yang lainnya. Karena hubungan
keduanya tidak diatur dengan jelas maka ketegangan dan konflik
sering terjadi antara kepala daerah dan DPRD. Dalam banyak hal
konflik diantara mereka sering mengganggu efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
128
masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku.
c. Prinsip Kesetaraan
d. Kemitraan
129
c. Merosotnya nilai-nilai etika dalam pemerintahan ketika
seseorang yang sudah dua kali menjabat kepala daerah
mengajukan dirinya menjadi wakil kepala daerah. Walaupun
secara hukum tertulis tidak ada yang dilanggar, namun dari
aspek etika sangat sulit untuk diterima dan mencederai akal
sehat.
130
Tingginya biaya tersebut terutama akan menjadi beban berat
bagi daerah-daerah miskin sedangkan pada sisi lain banyak
daerah yang masih sulit untuk memberikan pelayanan dasar
yang paling minimal kepada rakyatnya. Tingginya biaya yang
ditanggung calon kepala daerah ditengarai menjadi salah satu
penyebab banyaknya kepala daerah yang kemudian
bermasalah secara hukum dan akan menganggu jalannya roda
pemerintahan daerah.
131
pengesahan APBD sehingga mengganggu kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan
gagal mengesahkan APBD-nya sehingga terpaksa menggunakan
APBD tahun sebelumnya.
132
4.4.1.3 Analisis
133
unsur yaitu politik dan administrasi. Kombinasi tersebut yang
selama ini telah melahirkan adagium “when politic ends,
administration begins”. Ini berarti kekuatan politik harus
didukung oleh kapasitas administrasi yang memadai untuk
menjalankan kekuasaan politik tersebut. Untuk itulah maka
apabila posisi wakil kepala daerah secara politis ingin tetap
dipertahankan, maka adalah kurang cocok kalau orang politik
yang berperan sebagai kepala daerah didukung juga oleh orang
politik sebagai wakil kepala daerah. Dalam kondisi transisi
demokrasi seperti sekarang ini adalah akan lebih efektip kalau
kepala daerah yang politis dimbangi oleh wakil kepala daerah yang
profesional. Keberadaan politik adalah justifikasi legitimasi kepala
daerah sedangkan keberadaan profesionalisme dalam diri wakil
kepala daerah akan mendukung kekuatan politik yang legitimate
untuk menciptakan kesejahteraan melalui keberadaan wakil
kepala daerah yang profesional.
134
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya untuk daerah-
daerah yang berpenduduk banyak dimana keberadaan wakil
kepala daerah diperlukan, maka jumlah kepala daerah yang ada
dapat bervariasi atau lebih dari satu orang sesuai dengan beban
tugas yang diemban oleh kepala daerah yang dapat dialihkan
kepada wakil kepala daerah.
135
diberikan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk
itu intensitas pertemuan bupati/walikota dengan warganya
akan tinggi sekali. Konsekuensinya rakyat menuntut
akuntabilitas yang tinggi dari bupati/walikota. Untuk itu maka
pemilihan bupati/walikota sebaiknya tetap langsung oleh
rakyat.
136
dibandingkan dengan kepala daerah dan perangkatnya.
Akibatnya, peran DPRD untuk merepresentasikan kepentingan
warganya dalam proses pembentukan peraturan daerah dan
proses penyusunan APBD sering tidak dapat dilakukan secara
efektif. Kedua kegiatan tersebut sering menjadi arena dominasi
kepentingan elit politik dan birokrasi (elite captures). Hal ini
membuat kepercayaan warga terhadap DPRD menjadi semakin
terkikis dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPRD
semakin rendah.
137
kemampuan yang baik tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD.
Semua hal diatas membuat sekretaris dewan pada umum belum
mampu memberi dukungan yang optimal kepada DPRD.
138
Dengan memahami berbagai faktor diatas, maka
pemberdayaan DPRD hanya akan efektif kalau dapat
menyelesaikan berbagai masalah diatas. Pemberdayaan DPRD
setidaknya harus mampu meningkatkan antara lain: kapasitas
sekretariat DPRD dan pejabatnya, kemampuan anggota DPRD
dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, ketersediaan
sumber daya untuk memberi dukungan kepada DPRD dalam
menjalankan seluruh fungsinya, dan kualitas hubungan antara
anggota DPRD dengan konstituennya.
139
independen dari sekretariat daerah. Sebagai pimpinan
organisasi pendukung kegiatan DPRD maka sekretaris DPRD
harus dapat bertindak secara profesional dan independen dari
tekanan pihak kepala daerah. Untuk itu perlu ada pengaturan
yang jelas tentang kedudukan sekretaris DPRD, hubungannya
dengan sekretaris daerah, kepala daerah, dan DPRD.
Pengaturan harus memungkinkan sekretaris DPRD untuk
mengoptimalkan dukungannya kepada DPRD agar dapat
menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Untuk itu maka perlu kejelasan kompetensi manajerial, teknis
maupun pemerintahan dari pegawai yang akan menduduki
jabatan sekretaris DPRD.
140
8) Dalam hal terjadi konflik antar kepala daerah dan DPRD, maka
Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menjadi institusi
yang dapat menjadi wasit yang baik dalam penyelesaian
konflik antara kepala daerah dan DPRD. Untuk
pelaksanaannya Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam
Negeri untuk mewakili Presiden mengambil tindakan yang
diperlukan dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara
DPRD dan kepala daerah.
141
Dalam merancang desain dan struktur birokrasinya, daerah
tentunya harus mendasarkan pada urusan wajib terkait pelayanan
dasar yang menjadi prioritas daerah dan urusan pilihan sesuai
dengan potensi unggulan daerah Pengembangan birokrasi di
daerah harus juga mempertimbangkan prinsip-prinsip efisiensi,
efektivitas, dan kemudahan interaksi. Struktur perangkat daerah
harus efisien. Prinsip efisiensi ini mengajarkan bahwa struktur
harus sederhana dan ramping tapi mampu mengemban banyak
fungsi. Dengan struktur yang seperti ini maka daerah akan dapat
menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya dengan
pengorbanan sumber daya yang kecil.
142
pelayanan publik di daerahnya. Kemudahan interaksi akan dapat
menghemat energi pemerintah daerah dan warganya dalam
mengakses pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan lainnya.
143
strukturalnya, semakin besar nilai yang diperoleh oleh pejabatnya.
Hal seperti ini mendorong birokrasi dan para pejabatnya untuk
memperbesar struktur birokrasi di daerah sehingga dapat
menyediakan banyak tempat bagi para pejabat birokrasi di daerah.
Karenanya tidak mengherankan kalau banyak daerah yang
mengembangkan struktur birokrasi yang besar dan kompleks.
144
suatu organisasi yang sering relevansinya tidak ada di daerah
yang bersangkutan seperti kewajiban membuat organisasi
bencana walaupun daerah tersebut bukan berpotensi bencana.
Sama halnya dengan diwajibkannya daerah membuat lembaga
penyuluhan pertanian di daerah perkotaan yang tidak ada
petaninya. Pada akhirnya semua instruksi dan desakan tersebut
akan bermuara pada membengkaknya kelembagaan daerah yang
sekaligus juga meningkatkan overhead cost dan mengurangi biaya
pelayanan publik.
4.5.3 Analisis
145
yang besar tentu menguntungkan. Namun, dilihat dari kepentingan
publik sangat merugikan karena banyak anggaran yang kemudian
terserap untuk pembiayaan birokrasi daripada untuk kepentingan
publik. Disamping memerlukan pembiayaan yang tinggi, struktur
yang besar dan kompleks juga cenderung mempersulit interaksi
antara pemerintah dengan warganya. Pelayanan publik menjadi
semakin rumit dan panjang.
146
menjelaskan mengapa desentralisasi di Indonesia belum banyak
memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah.
147
tersebut setiap kementerian/LPNK akan mempunyai
stakeholders yang jelas yang akan dilibatkan dalam
pencapaian target nasional dari kementerian/LPNK tersebut.
Cara tersebut akan menghilangkan pola instruksi yang
memaksakan daerah untuk membuat organisasi yang seragam
di seluruh daerah, tapi akan sesuai dengan sektor unggulan
dan prioritas pelayanan dasar dari daerah tersebut.
Pendekatan tersebut akan menciptakan pola asimetris antar
daerah dalam menerapkan organisasi perangkat daerah.
148
insentif berbasis pada kinerja, maka minat aparat daerah
untuk menduduki jabatan fungsional dapat ditingkatkan dan
pengembangan profesionalisme aparat di daerah dapat
dipercepat dan mengurangi tekanan birokrasi atas jabatan
struktural yang cenderung akan memicu penggembungan
struktur organisasi pemerintah daerah.
4.6 Kecamatan
149
yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan
pemerintahan.
150
sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan
bagi kabupaten/kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan
pemerintahannya. Bupati/walikota dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada camat untuk memberi pelayanan kepada
warganya.
4.6.3 Analisis
151
Secara paradigmatik, kedudukan kecamatan mengalami
perubahan besar, sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikeluarkan oleh
pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
kecamatan diperlakukan sebagai perangkat dekonsentrasi dan
sekaligus sebagai kepala wilayah. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 kecamatan diperlakukan sebagai
perangkat daerah. Perubahan kedudukan yang mendasar ini tentu
memiliki pengaruh terhadap keberadaan kecamatan dan
kontribusinya terhadap keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
152
pengelolaan kebersihan, prasarana umum, dan pelayanan lainnya
sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan.
153
kombinasi dari keduanya. Jika hal seperti ini terus berlanjut maka
daerah akan sulit mengembangkan pemerintahan yang efisien,
efektif, responsif, dan interaktif. Konflik antara kepentingan
wilayah dan sektor akan selalu terjadi dan kepentingan warga
akan adanya pelayanan publik yang mudah diakses, efisien, dan
efektif akan sulit untuk diwujudkan. Karena itu daerah perlu
didorong untuk memiliki orientasi yang jelas dalam pengembangan
perangkat daerah dan pendekatan yang digunakan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
154
Sebagai SKPD peran kecamatan perlu ditempatkan pada
kedudukan yang jelas, sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika
dari pertimbangan kewilayahan, aksesibilitas, dan transportasi
keberadaan kecamatan sebagai pusat pelayanan amat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik
tertentu maka kecamatan perlu diberdayakan sebagai pusat
pelayanan publik pada skala kecamatan.
155
4) Pembentukan, penggabungan, dan pembubaran kecamatan
perlu diatur dengan ukuran dan kriteria yang jelas agar
tindakan yang diambil oleh daerah benar-benar bermanfaat
bagi kepentingan warga di daerah. Khusus untuk penambahan
kecamatan baru, yang cenderung marak di berbagai daerah,
perlu dibuat pengaturan yang lebih ketat agar pembentukan
Kecamatan baru benar-benar dilakukan untuk kepentingan
masyarakat di daerah bukan hanya untuk kepentingan elit di
daerah. Selain itu, pembentukan kecamatan perlu melalui
proses persiapan sesuai tahap dan parameter yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat, sehingga daerah kabupaten/kota tidak
dengan mudah membentuk kecamatan baru tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu pilar utama dari
NKRI. Sebagai salah satu pilar penyangga NKRI maka keberadaan
dan kualitas dari PNS menjadi salah satu aspek strategis dalam
mempertahankan kelangsungan NKRI. Kebijakan untuk
meningkatkan profesionalisme, wawasan nasional, dan kepedulian
PNS terhadap masalah bangsa menjadi sangat stretegis dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah
diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pencapaian tujuan
tersebut. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa harapan
tersebut masih jauh dari yang diinginkan. Munculnya banyak mis-
konsepsi dalam memahami otonomi daerah telah membuat
manajemen kepegawaian menjadi terkotak-kotak pada wilayah
156
yang sempit dan menjauhkan dari keinginan membangun
aparatur yang berwawasan nasional dan profesional.
157
Untuk dapat meningkatkan profesionalisme maka
rekrutmen PNS dan penempatan mereka dalam jabatan harus
dilakukan berdasarkan meritokrasi dan berbasis kompetensi,
terbuka, dan kompetitif. Untuk dapat mewujudkan prinsip
meritokrasi dan melakukan rekrutmen dan promosi berbasis pada
kompetensi maka pemerintah perlu mengembangkan ukuran dan
standar kompetensi untuk jabatan di lingkungan pemerintahan
daerah. Pemerintah dapat memulainya dari jabatan yang dinilai
strategis.
158
yang sangat besar untuk menempatkan pejabat publik sesuai
dengan selera dan kepentingannya. Dalam suasana politisasi yang
sangat kuat sekarang ini, sebagai akibat dari eforia Pilkada, ruang
yang tersedia bagi kepala daerah sering dimanfaatkan untuk
menempatkan pejabat daerah berdasarkan ukuran-ukuran
subyektif seperti loyalitas, afiliasi politik, dan kemampuan
membayar untuk menduduki jabatan tersebut. 13 Fenomena
seperti ini tentu mempersulit upaya pengembangan
profesionalisme aparatur daerah.
159
pelaksanaan otonomi daerah akan dapat mendorong terjadinya
kemajuan daerah.
160
kelebihan pegawai yang tidak mempunyai kompetensi yang
memadai untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan
kompetensi tertentu. Sebaliknya pemerintahan daerah juga
kelebihan pegawai yang tidak jelas kompetensinya sehingga
mereka menjadi beban bagi keuangan pemerintahan daerah dan
membengkakkan overhead cost pemerintah daerah.
4.7.3 Analisis
14
Berbagai masalah dalam manajemen kepegawaian terkait dengan netralitas, rendahnya
profesionalisme, dan mobilitas pegawai dapat dibaca dalam Siti Zuhro, “Kepegawaian”,
paper tidak diterbitkan.
161
ruang yang tersedia bagi berbagai pihak untuk melakukan
inflitrasi politik dalam kehidupan birokrasi pemerintah di daerah.
Dalam rekrutmen pejabat di daerah sering terjadi
bupati/walikota/gubernur menempatkan pejabat kedalam jabatan
publik tidak berdasar pada pertimbangan kompetensi dan
profesionalisme tetapi menggunakan ukuran subyektif seperti
afiliasi politik, kesamaan etnis, dan kekerabatan. Setelah
pelaksanaan otonomi daerah, kecenderungan menguatnya
pertimbangan subyektif dalam rekrutmen dan penempatan pejabat
publik sangat kuat. GDS 2002 dan GAS 2006 telah dilakukan di
banyak kabupaten/kota dan provinsi membuktikan bahwa
subyektivitas dalam penempatan para pejabat publik di daerah
sudah sampai pada titik yang sangat merugikan pengembangan
profesionalisme di dalam birokrasi pemerintah. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pencarian solusi terhadap masalah ini perlu
segera dilakukan.
162
Pada sisi lain, banyak pejabat karir yang melihat Pilkada
sebagai peluang untuk melakukan manuver politik dengan
mendukung kegiatan pencalonan bupati/walikota/gubernur. Para
pejabat birokrasi berharap dengan menjadi tim sukses mereka
akan memiliki akses terhadap kekuasaan dan memperoleh jabatan
yang strategis. Mereka berpikir bahwa akses terhadap kekuasaan
dapat menjadi jalan tol bagi pengembangan karir mereka dalam
birokrasi pemerintahan di daerah. Bagi para pejabat birokrasi ini
membangun akses terhadap kekuasaan menjadi jalur yang lebih
mudah dan cepat untuk mengembangkan karir daripada
menunjukan kinerja dan profesionalismenya.
163
daerah. Sekda yang berperan mengusulkan pejabat-pejabat yang
layak untuk menduduki suatu jabatan sesuai dengan kompetensi
yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut.
164
Namun diskresi tersebut harus dimbangi dengan pendekatan
meritokrasi yang diberikan oleh sekda.
165
sekda dengan wawasan nasional dan kompetensi yang memadai
untuk menduduki jabatan tersebut. Merekalah alat perekat
bangsa secara nasional yang akan mengawal profesionalisme PNS
yang bekerja di daerah.
166
kualifikasi yang memadai untuk menyelenggarakan pemerintahan
daerah. Dengan adanya pengaturan ratio dan juga kompetensi
diharapkan pemda akan mempunyai pegawai dengan kompetensi
yang memadai.
167
2) Mengembangkan konsep sistem pengembangan aparatur
daerah yang terintegrasi secara nasional. Aparatur daerah
adalah bagian yang tak terpisahkan dari aparatur negara.
Untuk itu, perlu ada pengaturan yang memungkinkan
pemerintah mengendalikan pengembangan dan distribusi
aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu.
Pemerintah Pusat merekrut PNS dalam golongan pangkat IV/c
dan mendistribusikan menjadi sekda di daerah atas
permintaan daerah.
168
tersebut. Persyaratan teknis harus dibuktikan dengan
sertifikasi yang dikeluarkan oleh kementerian teknis yang
membidangi urusan tersebut. Ketiga, kompetensi
pemerintahan yang terkait pemahaman tentang dasar-dasar
pemerintahan termasuk kebijakan desentralisasi, hubungan
pusat dan daerah, dan hal-hal lain terkait dengan
pemerintahan daerah.
169
dengan peraturan perundangan yang memiliki kedudukan yang
lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori). Bahkan, Perda
seharusnya dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan-
undangan yang lebih tinggi.
170
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Namun, dalam kenyataannya selama pelaksanaan otonomi daerah
banyak sekali Perda yang bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak
Perda yang kemudian terpaksa dibatalkan oleh pemerintah,
karena dinilai menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi
daerah. Lebih dari itu, banyak kelompok dalam masyarakat yang
mengeluh dan merasa dirugikan oleh munculnya berbagai Perda
yang dinilai tidak berwawasan kebangsaan.16
16
Salah satu contohnya adalah Perda Syariat. Di Desa Garuntungan, Kecamatan
Kindang, Bulukumba, wanita kristen yang akan menghadiri acara resmi yang diadakan
puskesmas setempat di sodorkan jilbab, meskipun masyarakat tahu bahwa wanita
tersebut beragama kristen. Padahal, pasal 13 perda tersebut menyebutkan bahwa perda
hanya berlaku bagi masyarakat islam. Bahkan, di ayat 2 menegaskan bahwa masyarakat
yang bukan islam pakaiannya disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Sumber
;The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
Depancasilaisasi Lewat Perda SI.
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/
gatraedisi-vii.pdf.
17
Menyangkut Perda Syariat, Denny Indrayana menemukan fakta bahwa dalam
pembuatannya terjadi manipulasi dengan mendatangkan orang untuk membawa aspirasi
yang kemudian diklaim sebagai aspirasi masyarakat. Sumber: Denny Indrayana. Ada
Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist.
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatrae
disi-vii.pdf
171
Masalah lain adalah kecenderungan Perda dibuat untuk
mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak Perda
terkait dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah
cenderung memperburuk iklim investasi, karena tidak ramah
terhadap investasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dalam
menyikapi Perda seperti ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebenarnya telah memiliki pengaturan tentang kewenangan
pemerintah untuk membatalkan Perda yang dinilai bertentangan
dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan
perundangan yang yang lebih tinggi. Namun mekanismenya terlalu
rumit sebab pembatalan Perda harus dengan Peraturan Presiden
dan dibatasi waktu 60 (enam puluh) hari.
4.8.3 Analisis
172
Dalam mengatasi persoalan yang muncul terkait dengan
Perda yang dinilai merugikan kepentingan umum atau
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi,
ada dua pilihan yang tersedia yaitu: executive review atau judicial
review. Argumentasi dari pilihan yang pertama adalah bahwa
dalam negara kesatuan daerah memperoleh kewenangan sebagai
akibat dari penyerahan kewenangan yang diberikan oleh Presiden
sebagai kepala pemerintahan. Karena itu pemerintah berhak
menilai apakah daerah telah menggunakan kewenangan yang
diberikannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang.
18
Kontroversi tentang kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah dapat dibaca dalam bab tentang DPRD.
173
peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan
umum tiap tahunnya dapat berjumlah ribuan.
174
memahami berbagai masalah teknis dalam pembentukan Perda
dan peraturan kepala daerah. Karena itu penguatan kapasitas
teknis dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi
kesalahan dalam pembentukan Perda dan peraturan kepala
daerah.
175
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum (executive review). Pengaturan yang lebih
jelas tentang mekanisme dan prosedur pembatalan Perda yang
bertentangan dengan peraturan perundangan perlu dibuat
sederhana, terbuka, menggunakan kriteria yang jelas, dan
memperhatikan kedudukan dan susunan pemerintahan yang
ada.
176
masuk dalam ranah pengawasan preventif untuk menjamin
sinergi pembangunan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan.
177
4.9 Perencanaan Pembangunan Daerah
178
administratif. Dalam rangka menjamin terjadinya harmonisasi,
Pemerintah Pusat menggunakan berbagai instrumen
pengendalian: insentif, disinsentif, sanksi administratif, dan sangsi
pidana. Pengendalian dalam perencanaan tata ruang relatif lebih
ketat karena ruang adalah sumber daya yang akan menjadi obyek
pemanfaatan untuk mencapai tujuan pembangunan.
179
menggunakan rencana tata ruang yang lebih tinggi sebagai dasar
dalam mengembangkan kegiatan pembangunan daerahnya.
Akibatnya, konsistensi dan sinergi dalam pembangunan daerah
belum dapat secara optimal diwujudkan.
180
daerah membuat kegiatan pembangunan daerah cenderung
menguntungkan para pengusaha besar di daerah. Banyak kasus
menunjukan terjadinya penguasaan aset daerah yang digunakan
dalam pembangunan daerah yang manfaatnya kurang dapat
dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu definisi tentang
masukan untuk kegiatan pembangunan seharusnya mencakup
tidak hanya pendanaan tetapi juga aset dan sumber daya lainnya
yang dikuasai oleh daerah.
181
Keenam, kebingungan sering terjadi di daerah terkait
dengan sumber legitimasi dari RPJMD. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menentukan bahwa RPJMD harus disahkan melalui
Perda sementara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
perencanaan pembangunan nasional mengatakan bahwa RPJMD
cukup disahkan melalui peraturan kepala daerah. Perbedaan
konsep RKPD di dalam kedua undang-undang tersebut, dimana
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD
sebagai rencana kerja pembangunan daerah sementara Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD sebagai
rencana kerja pemerintah daerah.
4.9.3 Analisis
182
nyambung dan menghasilkan masalah baru yang merugikan
kepentingan publik di daerah. Adanya pengaturan yang
mengamanatkan daerah untuk mengisi perencanaan tata ruang
dengan kegiatan pembangunan sosial ekonomi yang relevan akan
dapat mendorong daerah untuk tunduk pada dokumen tata ruang
yang dimilikinya. Pengaturan ini diharapkan dapat juga
mendorong terintegrasinya pembangunan daerah bukan hanya
dengan rencana tata ruang tetapi juga dengan rencana
pembangunan nasional.
183
atau aset negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada daerah
kurang diperhitungkan dalam pembangunan daerah. Aset tersebut
sering dianggap sebagai given dan karenanya penilaian yang wajar
dari aset tersebut dan kontribusinya terhadap pembangunan
daerah belum dihargai secara wajar. Akibatnya, banyak
pemanfaatan aset daerah berupa tanah, sumber daya alam, dan
barang daerah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta
yang manfaatnya bagi kepentingan publik belum dapat dirasakan
secara meluas.
184
tersebut. Demikian juga dengan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib yang terkait dengan pelayanan dasar.
Kementerian/LPNK terkait dapat memetakan daerah-daerah mana
yang mempunyai masalah mendasar dalam arti dibawah rata-rata
nasional atau dibawah SPM dalam pencapaian pelayanan
dasarnya. Hasil pemetaan tersebut akan diikuti dengan
pembentukan kelembagaan daerah yang akan mewadahi urusan
yang terkait dengan sektor unggulan dan pelayanan dasar
prioritas di daerah tersebut.
185
keluaran, dan masukan harus dirumuskan dengan jelas dan
menjadi dasar dalam pengembangan sistem informasi daerah.
186
memiliki pengaruh terhadap membaiknya kesejahteraan
masyarakat. Pemerintah yang diberi amanat untuk menjalankan
fungsi dan tugasnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
seharusnya menempatkan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat sebagai kriteria utama dalam mengalokasikan
anggaran pemerintah. Pemerintah dibentuk untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Karena itu, keberadaan pemerintah
harus dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, terutama
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
22
Sebagai contoh, Kabupaten Bantul pada tahun 2006 mendapatkan pemasukan dari
retribusi masyarakat miskin yang sakit sebesar Rp.15.682.736.550. tapi, anggaran
untuk masyarakat miskin hanya 0,92% dari total anggaran belanja daerah. Sumber:
Sinar Harapan. Ayo, Pantau Anggaran Daerah! 21 Mei 2008.
187
alam, dan aset non-tangible lainnya. Karena terbatasnya
pemahaman para pengambil kebijakan tentang aset sering
menyebabkan pemanfaatan aset di daerah sering kurang optimal
dilihat dari kepentingan masyarakat. Banyak aset negara di
daerah yang digunakan oleh pihak lain, utamanya sektor dunia
usaha, yang manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh pelaku
usaha daripada masyarakat luas di daerah.
188
kebutuhan elit birokrasi dan politik. 23 Akses warga dan pemangku
kepentingan di daerah yang rendah terhadap proses penganggaran
membuat elit birokrasi dan politik sering lebih menempatkan
kepentingannya diatas kepentingan warganya. Disparitas
anggaran untuk kebutuhan birokrasi dan DPRD dan anggaran
untuk pelayanan publik adalah salah satu bukti dari terjadinya
elite captures dalam proses penganggaran.
23
Dwiyanto, dkk, 2007. Ibid.
24
Daerah cenderung menyimpan dana tersebut pada Bank simpanan daerah dan telah
mencapai angka 3,1% dari PDB Bulan November 2006. Sumber; Desentralisasi Fiskal
dan Kesenjangan Daerah; Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.
189
generasi sekarang dan mendatang. 25 Banyak aset lahan yang
dikuasai oleh pelaku usaha yang diubah menjadi kawasan
pemukiman yang memiliki nilai tambah yang berlipat ganda, yang
keuntungannya hanya dinikmati oleh para pelaku usaha.
4.10.3 Analisis
25
Penambangan liar di Provinsi Bangka Belitung dapat dijadikan misal. Pemerintah
setempat tidak mampu mengendalikan penambangan liar yang dilakukan masyarakat.
Berdasarkan data dari Bapedalda Provinsi bangka Belitung, luas daerah yang rusak
berbentuk kawah dengan lebar 2-50 Hektar dan kedalaman sampai dengan 9 meter
adalah 400.000 hektar. Butuh dana triliunan untuk mereklamasinya. Ironisnya lagi,
hasil penambangan cenderung diselundupkan ke luar negeri melalui kerjasama gelap
dengan aparat keamanan laut dan birokrasi-peradilan. Sumber: AMCA: The Spirit Of
Budak Bangka. Timah Bangka: Antara Dendam Sejarah dan Perjuangan Mendapatkan
Akses. Dan Erwiza Erman (peneliti LIPI). Politik Penguasaan Sumber Daya Timah di
Bangka Belitung.
190
birokrasi dan pegawai akan dapat mendorong daerah melakukan
rasionalisasi dan rightsizing.
191
dirasakan manfaatnya oleh warga dan pemerintah daerah.
Penguatan terhadap pengaturan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang aset daerah diperlukan agar dapat
menjadi pegangan yang efektif bagi daerah untuk
mendayagunakan aset daerah secara lebih produktif dan
bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah.
192
Untuk mengatasi kondisi seperti ini maka pengaturan yang
mendorong daerah memperkecil belanja aparatur perlu diatur
sehingga besaran proporsi untuk kegiatan pembangunan dan
pelayanan publik dapat ditingkatkan.
193
preferensi elit daerah tapi mengacu pada pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat daerah.
194
pelayanan di daerah kabupaten/kota, gubernur sebagai wakil
pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya.
26
Roy V Solomo, Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004, paper tidak diterbitkan.
195
memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan
pelayanan di daerah.
27
Diskusi lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca di Dwiyanto, dkk, 2003 dan Dwiyanto,
2007. Ibid
28
Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta
pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna
yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar
dan bervariasi antar jenis perizinan.
196
mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggara pelayanan
publik sering menjadi arena konflik antara pemerintah dengan
warganya.
4.11.3 Analisis
197
warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara.
Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa
masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar.
198
1) Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar
yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Selama ini
pelayanan dasar belum didefinisikan dengan jelas dalam
perundangan-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang
jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh
pemerintah daerah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam
pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga
perhatian daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar
dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya
dengan mudah.
199
harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan
aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (local voices) dan
menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk
perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik.
200
mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Otonomi daerah yang melimpahkan kewenangan pada elit politik
dan birokrasi di daerah harus diikuti dengan otonomi pada tingkat
warga untuk dapat mengontrol perilaku elit politik dan birokrasi
dalam menggunakan kekuasaannya. Untuk ruang bagi warga
untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan harus dibuka
seluas-luasnya. Hanya dengan cara seperti ini maka desentralisasi
pemerintahan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di
daerah.
201
setelah pelaksanaan otonomi daerah tampak bahwa partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan
pemerintahan belum seperti yang diharapkan.
202
transparansi dilakukan, maka penyelenggara negara cenderung
menjadi sangat tertutup dan mencegah keterlibatan masyarakat. 29
29
Dwiyanto, Agus, 2003. Governance Reform and Regional Autonomy: Executive
Summary, Yogyakarta: CPPS GMU
203
4.12.3 Analisis
204
Untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat maka
daerah berkewajiban untuk menghilangkan kendala (costs) dan
menaikkan kebutuhan (demand) masyarakat untuk terlibat dalam
proses kebijakan di daerah. Warga harus dijamin aksesnya
terhadap informasi tentang berbagai hal terkait dengan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, karena
informasi adalah bahan baku utama bagi proses kebijakan publik.
Selama ini akses terhadap informasi tentang kegiatan
pemerintahan masih sangat terbatas. Lebih dari itu, berbagai
prosedur dan ketentuan tentang proses kebijakan yang
menghambat warga dan pemangku kepentingan untuk terlibat
dalam proses kebijakan harus dapat dipermudah. Proses
kebijakan di daerah harus didorong menjadi semakin terbuka,
mudah diakses, dan dekat dengan masyarakat sehingga kendala
untuk berpartisipasi menjadi semakin rendah.
205
Musrenbang.30 Proses kebijakan yang tidak akomodatif terhadap
aspirasi publik seperti ini yang menjadi salah satu faktor yang
mendorong mengapa partisipasi masyarakat dalam proses
kebijakan di daerah selama ini relatif rendah.
206
proses kebijakan menjadi bagian yang penting dalam penilaian
kinerja daerah.
207
4.13 Kawasan Perkotaan
208
Pengaturan kawasan perkotaan perlu dibuat agar dapat
mengakomodasi tantangan yang dihadapi dalam perkembangan
yang sangat cepat, baik dari sisi teknologi, sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Pengaturan yang dibuat harus dapat mengakomodasi
kebutuhan daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan,
tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan lainnya seperti
kebutuhan konservasi lingkungan, kehidupan sosial yang sehat,
dan terwujudnya tata pemerintahan yang baik.
209
kawasan perkotaan perlu diatur dalam undang-undang
pemerintahan daerah.
4.13.3 Analisis
210
Pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan amat
diperlukan mengingat perkembangan kawasan perkotaan di
beberapa daerah di Indonesia dalam dekade terakhir ini sudah
sangat cepat. Diperkirakan 10 tahun mendatang, 70% penduduk
Pulau Jawa tinggal di perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan
yang sangat berbeda dengan kawasan lainnya menuntut adanya
pengaturan yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya. Keberadaan kawasan perkotaan memberi peluang
dan sekaligus tantangan yang perlu direspon dengan tepat oleh
Pmerintah Pusat. Kegagalan merespon dengan tepat
perkembangan kawasan perkotaan dapat menimbulkan masalah
perkotaan yang kompleks yang merugikan penghuni kawasan
perkotaan dan sekitarnya.
211
dilakukan di berbagai daerah untuk menyelenggarakan
pengelolaan bersama berbagai masalah dan kebutuhan bersama
antar kota dan antar kota dengan kabupaten sekitarnya. Namun,
karena pengelolaan bersama tersebut tidak memiliki landasan
perundang-undangan yang kokoh, maka seringkali
penanganannya kurang optimal. Bentuk kelembagaan yang
berkembang juga sangat bervariasi dengan tingkat efektivitas yang
berbeda-beda tergantung dari kesungguhan dari masing-masing
kepala daerah.
212
kebutuhan pelayanan masyarakat di kota kecamatan. Hal yang
sama juga terjadi dalam pengelolaan kawasan kota kabupaten.
Jika dinamika seperti ini tidak diantisipasi dengan baik oleh
pemerintah maka masalah perkotaan dimasa mendatang akan
menjadi semakin kompleks dan sulit diselesaikan dengan baik.
213
ini cenderung dominan dalam pengembangan kota baru mesti
harus dilengkapi dengan pertimbangan sosial dan politik yang
masak sehingga keberadaan kota baru dapat memberi manfaat
yang luas dan berkelanjutan.
2) Perlu ada pengaturan tentang jenis kota dan segala aspek yang
mengikutinya. Kompleksitas yang dihadapi oleh kawasan
perkotaan cenderung berbeda antar jenis kota yang berbeda,
karena itu perlu cara pengaturan yang berbeda untuk masing-
masing jenis kota. Dalam peraturan perundangan yang ada
pengaturan tentang jenis atau tipe kota dan berbagai aspek
yang melekat pada jenis kota tersebut belum dirumuskan
dengan jelas. Sedangkan pengaturan seperti itu penting agar
dapat menjadi pedoman bagi daerah dalam mengembangkan
kawasan perkotaan yang dimilikinya.
214
3) Harus ada kejelasan tentang batas-batas kewenangan
pengelola kota mandiri dalam mengelola “kotanya” dengan
kewenangan pemerintahan daerah yang membawahi kawasan
perkotaan tersebut. Pengelolaan kawasan kota mandiri perlu
diatur secara berbeda karena masalah dan peluang yang
dihadapinya berbeda dengan kawasan lainnya. Daerah dapat
memberi kewenangan kepada pengelola kota untuk
memfasilitas penyelenggaraan pelayanan kepada warganya
sesuai dengan kebutuhan warga kota tersebut. Namun,
keberadaan dan pengelolaan kawasan kota mandiri harus
terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga keberadaan kota
mandiri dapat mendorong perkembangan kawasan lainnya.
215
khusus, atau sering disebut juga special authorities”. Kawasan
khusus dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi khusus
yang diperlukan dalam mencapai tujuan strategik nasional atau
daerah. Misalnya, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan daya saing bangsa Pemerintah Pusat dapat
menetapkan satu kawasan menjadi kawasan, yang memiliki
pengaturan yang khusus sehingga kawasan tersebut dapat
bersaing dalam pasar internasional.
216
antara pemerintah dengan daerah terkait dengan tata cara
pembentukan dan pengelolaan kawasan khusus.
217
pengelolaan kawasan perbatasan dan konservasi lingkungan yang
sangat penting dilihat dari kepentingan nasional strategik belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mengingat
besarnya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, konservasi
lingkungan, dan pengelolaan kawasan strategis seperti daerah
perbatasan, pembentukan kawasan khusus diluar kawasan
ekonomi khusus sangat penting dilakukan.
4.14.3 Analisis
218
Karena urusan khusus yang akan dikelola oleh lembaga
pengelola kawasan khusus tersebut adalah urusan pemerintahan
maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur
kelembagaan dari pengelolaan kawasan khusus. Namun, karena
lembaga pengelola kawasan khusus nantinya akan berinteraksi dan
bekerjasama sangat erat dengan daerah, maka daerah perlu
dilibatkan dalam struktur kelembagaan pengusahaan kawasan
khusus. Pengaturan tentang peran pemerintah dan daerah dalam
pengembangan dan pengelolaan kawasan khusus perlu diatur
dengan jelas dalam undang undang. Bahkan, keterlibatan unsur-
unsur non-pemerintah dalam pengelolaan kawasan khusus perlu
dijaga agar aspirasi dan kepentingan warga dan pemangku
kepentingan dalam pengelolaan kawasan khusus dapat
diperhatikan.
219
daerah juga dapat mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk
dikembangkan sebagai kawasan khusus apabila memang terdapat
potensi untuk itu. Pemangku kepentingan di daerah yang melihat
potensi untuk pengembangan kawasan khusus tertentu dapat
mengajukan usulan kepada pemerintah, melalui Kementerian
Dalam Negeri. Hal yang sama dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat. Pemerintah Pusat yang melihat pentingnya kawasan khusus
tertentu dikembangkan untuk pencapaian tujuan nasional strategik
dapat mengambil inisiatif untuk pengembangan kawasan khusus di
daerah tertentu. Pengaturan tentang hal ini diperlukan dalam
undang-undang.
220
tujuan pembangunan nasional dan daerah, pemerintah dan
daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus
tertentu. Agar pembentukan kawasan khusus dilakukan
dengan pertimbangan yang jelas, mengacu pada kepentingan
daerah dan nasional, maka mekanisme pengusulan penetapan
dan pengambilan keputusan tentang kawasan khusus perlu
diatur dengan jelas.
221
melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah
fungsional. Hubungan sosial dan ekonomi secara fungsional
seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah
administratif satu daerah otonom. Banyak kegiatan pemerintahan
dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas, seperti:
pengelolaan daerah aliran sungai, pelayanan transportasi,
pengelolaan sampah, penanggulangan bencana, dan penanganan
berbagai masalah kesehatan, dan membutuhkan keterlibatan
lebih dari satu daerah otonom untuk mengelolanya secara efisien
dan efektif.
222
untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati.33 Sedangkan,
bentuk kelembagaan kerjasama antar daerah dapat bersifat adhoc
atau melembaga, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan
para pihak.34
33
Keban, Jeremias T., 2009. “Kerjasama Antar Daerah”, Paper tidak dipublikasikan.
34
Pratikno, 2007. “Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan, PLOD. Yogyakarta.
35
Keban, Ibid.
223
tersebut dan mengakibatkan terjadi banjir hebat di berbagai
kabupaten dan kota yang dilalui oleh sungai tersebut. Kerjasama
juga amat sulit diwujudkan dalam pengelolaan lahan gambut di
Kalimantan yang selalu menghasilkan kebakaran yang meluas dan
menyebarkan asap ke berbagai daerah sekitarnya. Di wilayah
Sumatera misalnya, upaya untuk mendorong kerjasama antar
daerah dalam membangun jalur transportasi juga belum berhasil
dilakukan dengan baik.
224
sekarang dan di masa mendatang akan semakin kompleks dan
tidak mungkin ditanggung oleh daerah secara sendiri-sendiri.
Kegagalan membangun kerjasama antar daerah bukan hanya
menghilangkan kesempatan warga di daerah untuk memperoleh
pelayanan publik yang berkualitas dan lebih murah tetapi juga
membawa kepada mereka potensi konflik horizontal yang sangat
besar dan sulit dikendalikan, jika hal itu terjadi.
4.15.3 Analisis
225
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah
telah berupaya mendorong terjadinya kerjasama antar daerah.
Bahkan, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Antar Daerah yang dimaksudkan untuk memberi dukungan
kepada daerah untuk melakukan kerjasama dengan daerah lainya
dalam menyelesaikan berbagai masalah publik yang memiliki
eksternalitas yang melewati batas-batas administratif. Namun,
berbagai instrumen kebijakan tersebut tampaknya belum efektif
untuk mendorong daerah untuk bekerjasama karena kendala dan
dis-insentif untuk bekerjasama masih sangat besar.
36
Dwiyanto, Agus, 2007. “ Apakah kepercayaan publik masih menjadi modal social kita?
Analisis terhadap data Government Assessment Survey 2006”, Makalah Seminar
Bulanan PSKK UGM.
226
Disamping memberi insentif, instrumen kebijakan juga
diperlukan memberi dis-insentif yang lebih besar bagi daerah yang
gagal melakukan kerjasama dalam menyelesaikan masalah publik
yang eksternalitasnya melewati batas-batas provinsi dan
kabupaten/kota. Masalah publik yang strategis dan kegagalan
menyelesaikannya memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan
warga di daerah, maka kerjasama menjadi sangat penting dan
bersifat wajib. Di banyak negara lainnya, kolaborasi antar daerah
dan antar susunan pemerintahan menjadi keniscayaan ketika
masalah yang dihadapi bersifat strategis dan melibatkan
kepentingan para pihak.37 Di Indonesia, walaupun masalah yang
dihadapi sangat strategis seperti dalam pengelolaan DAS
Bengawan Solo dan penanganan banjir di Jakarta, kerjasama
antar daerah dan antar pusat dengan daerah amat sulit
diwujudkan. Dalam situasi seperti ini disinsentif diperlukan. Salah
satu caranya dengan membolehkan pemerintah mengambil alih
penanganan masalah tersebut dengan membebankan
pembiayaannya secara proporsional kepada APBD.
227
konteks ini, fasilitasi terhadap asosiasi berbagai pemerintahan
menjadi sangat penting peranannya.
228
Kriteria (NSPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
NSPK dibuat agar penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan arah kebijakan yang telah ditentukan oleh Pemerintah
Pusat. Untuk menjaga agar daerah melaksanakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasar NSPK
yang telah ditentukan maka Pemerintah Pusat perlu melakukan
pembinaan dan pengawasan (Binwas). Tujuan dari Binwas adalah
untuk menjamin agar daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat berada
dalam koridor ketentuan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Binwas juga dilakukan untuk melindungi kepentingan rakyat agar
rakyat memperoleh pelayanan sesuai dengan standar yang telah
ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
38
Diskusi tentang cakupan konsep pembinaan dan pengawasan dapat dibaca di Muchlis
Hamdi, Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan Pusat-Daerah, paper tidak
diterbitkan.
229
maka Pemerintah Pusat dapat mendorong percepatan terwujudnya
perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah.
230
lambatnya dua tahun sejak peraturan pemerintah tersebut
diberlakukan. Mengantisipasi pemberlakuan NSPK tersebut,
pemerintah perlu mengatur secara jelas kewenangan, mekanisme,
dan prosedur melakukan Binwas baik yang bersifat umum
maupun teknis. Dalam hal kewenangan dan tanggung jawab
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan,
perlu diperjelas mengenai bidang pengawasan mana yang
seharusnya menjadi tanggungjawab Kementerian Dalam Negeri
dan bidang pengawasan teknis yang seharusnya menjadi tanggung
jawab kementerian/lembaga teknis.
4.16.3 Analisis
231
dalam bingkai negara kesatuan perlu dilakukan dengan cermat
dan efektif. Kendati Binwas terdiri dari dua kegiatan yang berbeda,
pembinaan dan pengawasan, namun keduanya saling melengkapi
dan memperkuat upaya untuk mendorong agar daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan NSPK
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Pembinaan yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dapat mencakup aspek-
aspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan sosial budaya.
232
kondisi yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam konteks
keberadaan daerah otonom, pengawasan berperan sebagai
penjamin terbangunnya daerah yang maju, terciptanya keadilan
regional, terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam bingkai
sistem dan kepentingan nasional.
233
terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi bidang
tugasnya dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan
terhadap aspek kelembagaan, personil, pembiayaan, perda
ataupun pelayanan publik yang dihasilkan daerah.
234
4.17.1 Dasar Pemikiran
235
penegakan dan perlindungan hukum bagi pejabat publik dalam
mengembangkan inovasi harus ditempatkan sebagai upaya
penguatan kepastian hukum itu sendiri.
236
oleh para penyelenggara pemerintahan daerah perlu memperoleh
dukungan. Namun pelaksanan penegakan hukum harus
dilakukan dengan cermat dan konsisten agar tidak menimbulkan
ketidakpastian dikalangan para penyelenggara pemerintaan
daerah. Untuk itu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi mengeluarkan Keputusan Nomor
148/Menpan/5/2003 tentang Pedoman Umum Penanganan
Pengaduan Masyarakat. Keputusan tersebut dikeluarkan sebagai
acuan dalam rangka menangani kasus-kasus penyidikan yang
dilakukan atas dasar pengaduan masyarakat yang sering kurang
dapat dipertanggungjawabkan, serta terjadinya tumpang-tindih
pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan
kejaksaan di daerah.
237
kabupaten/kota di Indonesia hanya sedikit dari mereka yang
berhasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.40 Lebih dari itu, banyak data menunjukan
bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana
daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerakan
sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini
cenderung ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah yang
kemudian sering dibelikan SBI.
4.17.3 Analisis
238
sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di
Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangan yang
berlaku.
239
inovasi sejauh tidak bertentangan ketentuan dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Pengalaman menunjukan teladan
(best practices) tidak mudah direplikasi di daerah lainnya
karena kesempatan melakukan inovasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan pemerintahan tidak tersedia. Pengaturan
perlu dibuat untuk memberi ruang yang memadai kepada
aparat daerah untuk mengembangkan inovasi tanpa harus
dihadapkan kepada kekhawatiran untuk dihadapkan pada
persoalan hukum sejauh inovasi dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak mengandung
konflik kepentingan, dan tidak merugikan keuangan negara.
240
4.18 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
241
yang kuat yang melibatkan para pakar dari latar keilmuan yang
relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tugas dari
tim kajian adalah membuat positioning paper terhadap isu-isu
strategis yang muncul dan menyediakan pilihan kebijakan dan
segala konsekwensinya untuk menanggapi setiap isu strategis
yang akan dibicarakan dalam rapat DPOD. Adanya position paper
yang didukung oleh fakta empirik akan membuat para anggota
DPOD dapat memberikan rekomendasi yang conclusive kepada
Presiden.
242
sehingga pemekaran daerah benar-benar membawa manfaat bagi
kemajuan daerah induk dan daerah otonom baru. Banyaknya
daerah otonom baru dan daerah induknya yang mengalami
penurunan kinerja pasca pemekaran menjadi indikasi bahwa
kapasitas DPOD untuk benar-benar menjadi advisory body masih
dipertanyakan. Banyaknya temuan yang menunjukan adanya
penurunan kinerja daerah otonom baru dan daerah induk
membuktikan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh DPOD kurang
valid dan sound.
243
untuk DPOD, termasuk tenaga ahli untuk melakukan kajian
terhadap isu dan masalah tertentu terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah membuat DPOD menjadi
kurang fungsional. Untuk dapat memberi rekomendasi yang solid
dan sound maka DPOD harus memiliki informasi yang memadai
yang dapat menjadi dasar merumuskan rekomendasi kepada
Presiden.
4.18.3 Analisis
244
mampu menghasilkan positioning paper terkait dengan isu-isu
yang dibicarakan di DPOD. Kelompok kerja dan sekretariat DPOD
yang ada sekarang ini bersifat adhoc dan umumnya dirangkap
oleh pejabat struktural dari berbagai instansi yang terkait.
Akibatnya dukungan sekretariat dan kelompok kerja terhadap
DPOD sebagai advisory body relatif amat terbatas dan kurang
optimal.
245
Adanya policy think tank akan sangat membantu DPOD dalam
menjalankan misinya sebagai advisory body.
246
Untuk memperkuat kapasitas DPOD dalam merekomendasi
kebijakan kepada Presiden terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah maka beberapa hal berikut perlu dilakukan:
247
Pengaturan perlu dibuat untuk memungkinkan DPOD dapat
bekerja secara efektif dan mampu secara optimal memberi
rekomendasi kebijakan untuk merespon berbagai masalah
kebijakan otonomi daerah. DPOD perlu didukung oleh
sekretariat yang tidak bersifat adhoc, yang pejabatnya
merangkap jabatan-jabatan lainnya di berbagai instansi
terkait, tetapi oleh profesional yang bekerja penuh waktu.
BAB V
PENUTUP
248
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih mengalami banyak
hambatan dan kendala sehingga tujuan dari kebijakan tersebut
belum dapat diwujudkan secara optimal. Hambatan dan kendala
tersebut muncul sebagian karena pengaturan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum mampu secara
tepat mengantisipasi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang
berkembang di daerah yang cenderung menjadi semakin tinggi.
Akibatnya, banyak masalah yang muncul di daerah tidak dapat
diselesaikan dengan pengaturan yang ada. Bahkan, dalam
beberapa hal pengaturan yang ada di Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sudah tidak lagi cocok dan relevan untuk digunakan,
karena situasi yang dihadapi oleh pemerintah baik pusat ataupun
daerah sudah berbeda dengan yang dulu dijadikan sebagai dasar
dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
249
pengaturan yang ada di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
perlu dilakukan.
250
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, perubahan dan perbaikan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah satu keniscayaan.
DAFTAR PUSTAKA
251
Andersson, Krister. "What Motivates Municipal Governments?
Uncovering the Institutional Incentives for Municipal
Governance of Forest Resources in Bolivia." Journal of
Environment and Development 12, no. 1 (2003): 5-27.
252
edited by A. Estache. Washington D.C.: World Bank
Discussion Papers 290, 1995.
253
Katorobo, 2007. Decentralization and Local Autonomy for
Participatory Democracy, in Publik Administration and
Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New
York: United Nations: Economic and Social Affairs.
254
Manin, Bernard, Adam Przeworski, and Susan Stokes. "Elections
and Representation." In Democracy, Accountability, and
Representation, edited by Bernard Manin, Adam Przeworski
and Susan Stokes. Cambridge: Cambridge University Press,
1999.
Oyono, Phil Rene. "One Step Forward, Two Steps Back? Paradoxes
of Natural Resources Managment Decentralization in
Cameroon." Journal of Modern African Studies 42, no. 1
(2004): 91-111.
255
Raman, G. Venkat, “Development Model for Developing Countries;
Decentralization as a Developmental Strategy in China”,
http://chr.sagepub.com/cgi/content/abstract/42/4/369.
256
Salomo, Roy V, “Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU
N0.32/2004: Perangkat Daerah”, Paper tidak diterbitkan,
2007.
257