Anda di halaman 1dari 258

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI


REPUBLIK INDONESIA
2011

0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desentralisasi adalah istilah dengan konotasi yang luas. Setiap


penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat tercakup dari
pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu berkaitan dengan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang
menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah.
Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan
pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah dan
penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada
pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah mempunyai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
tersebut.

Tiada satupun pemerintah dari suatu Negara dengan wilayah


yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-
programnya secara efektip dan efisien melalui sistem sentralisasi
(Bowman & Hampton, 1983). Dari pandangan ini kita dapat melihat
urgensi dari kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan
sebagian kewenangan Pemerintah Pusat baik dalam konotasi politis
maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar
Pemerintah Pusat itu sendiri. Apakah pelimpahan ini akan lebih
menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi
ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para
pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di
banyak negara di dunia keempat bentuk tersebut diterapkan oleh
Pemerintah Pusat, walaupun salah satu bentuk mungkin

1
mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya
(Rondinelli & Cheema, 1983).

Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat


generik dalam institusi pemerintahan daerah. Agar pemerintah
daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu
sebagai instrumen menciptakan proses demokratisasi dan
instrumen menciptakan kesejahteraan di tingkat lokal, maka kita
harus memahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang
membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu entitas
pemerintahan. Sedikitnya ada 7 elemen dasar yang membangun
entitas pemerintahan daerah yaitu:

(1) Urusan Pemerintahan

Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adalah


"urusan pemerintahan" yaitu kewenangan daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan
ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya membagi urusan
pemerintahan antar tingkatan pemerintahan; pusat
mengerjakan apa dan daerah mengerjakan apa.

(2) Kelembagaan

Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah


kelembagaan daerah. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat
dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan
daerah. Untuk konteks Indonesia, ada dua kelembagaan penting
yang membentuk pemerintahan daerah yaitu: kelembagaan
untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan
DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari
perangkat daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan,
kelurahan dll).

2
(3) Personil

Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan


daerah adalah adanya personil yang menggerakkan
kelembagaan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan
yang menjadi domain daerah. Personil daerah (PNS Daerah)
tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik
strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan kepala
daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and
services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan
daerah.

(4) Keuangan Daerah

Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan


daerah adalah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah
sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
"money follows function". Daerah harus diberikan sumber-
sumber keuangan baik yang bersumber pada pajak dan
retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari
dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke
daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan
memungkinkan daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

(5) Perwakilan Daerah

Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan


daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyat yang
mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis
adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama.
Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk
menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk

3
bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem
pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang
mewakili rakyat. Pertama yaitu DPRD yang dipilih melalui
pemilihan umum untuk menjalankan fungsi legislatif daerah.
Kedua adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan
kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat
daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif
daerah. Dengan demikian kepala daerah dan DPRD adalah
pejabat yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang
mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam
koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.

Dalam elemen perwakilan tersebut mengandung berbagai


dimensi didalamnya yang bersinggungan dengan hak-hak dan
kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut
adalah bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah;
bagaimana hubungan keduanya dengan masyarakat yang
memberikan mandat kepada mereka dalam upaya artikulasi dan
agregasi kepentingan masyarakat; pengakomodasian pluralisme
lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil
society dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses
demokratisasi di tingkat lokal.

(6) Pelayanan Publik

Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan


daerah adalah "pelayanan publik". Hasil akhir dari
pemerintahan daerah adalah tersedianya "goods and services"
yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and
services tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai
dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan pemerintahan
daerah. Pertama, pemerintahan daerah menghasilkan public

4
goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan
masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung
sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan sebagainya yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemerintahan
daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan
publik (public regulations) seperti menerbitkan Akte Kelahiran,
Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Izin Mendirikan
Bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik
dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban
(law and order) dalam masyarakat.

Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik


tersebut adalah bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan
publik yang dihasilkan pemerintahan daerah dalam rangka
mensejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar
pelayanan minimal dan pengembangan pelayanan prima (better,
cheaper, faster and simpler) serta akuntabilitas akan menjadi
isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(7) Pengawasan

Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah


adalah "pengawasan”. Argumen dari pengawasan adalah adanya
kecenderungan penyalah-gunaan kekuasaan sebagaimana
adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa "power tends
to corrupt and absolute power will corrupt absolutely". Untuk
mencegah hal tersebut maka elemen pengawasan mempunyai
posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih.
Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti
sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas pengawasan

5
eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif dan juga
pengawasan melekat (built in control).

Ketujuh elemen dasar diatas merupakan elemen "generik"


yang membentuk pemerintahan daerah. Penataan terhadap sistem
pemerintahan sedikitnya harus menata ketujuh elemen dasar
tersebut. Penataan harus bersifat sistemik dan tidak bisa partial.
Dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pendekatan
sistemik ini juga yang akan mendasari strategi perubahannya.

Dalam konteks Indonesia, untuk mempercepat terwujudnya


kesejahteraan rakyat dan memperkuat integrasi nasional, para
pendiri bangsa sejak awal sebagaimana dinyatakan dalam
konstitusi yaitu Undang Undang Dasar 1945 mencita-citakan
Indonesia sebagai negara kesatuan yang desentralistis dan
demokratis. Para pendiri bangsa (the founding fathers) menyadari
bahwa variabilitas yang tinggi antar daerah, dan kondisi geografis
yang terdiri dari beribu-ribu pulau, adalah tidak realistik kalau
negara Indonesia dikelola secara sentralistis. Desentralisasi
menjadi pilihan selain karena keinginan mewujudkan
pemerintahan yang responsif terhadap dinamika yang terjadi di
daerah, juga karena pemerintahan yang desentralistis lebih
kondusif bagi percepatan pengembangan demokrasi di Indonesia.
Dengan menyerahkan sebagian urusan pemerintahan ke daerah,
maka rakyat di daerah akan menjadi semakin mudah terlibat
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka juga akan dapat
lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah.

Namun, dalam perjalanan sejarah pemerintahan di


Indonesia, pelaksanaan desentralisasi mengalami pasang-surut
sesuai dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi

6
di masa itu. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami
perkembangan yang berarti sejak dilaksanakannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menganut otonomi luas.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut membatasi
urusan pemerintahan di tingkat pusat dan provinsi melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan mengalihkan
sisanya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme pengakuan.

Mekanisme pembagian urusan pemerintahan tersebut


mengikuti konsep urusan sisa (residual functions) yang diserahkan
ke tingkat kabupaten/kota sedangkan urusan pemerintahan di
tingkat pusat dan di tingkat provinsi ditentukan secara jelas dan
specifik yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000. Mengingat scope urusan sisa yang diserahkan ke
kabupaten/kota sangat luas, maka menimbulkan kesan bahwa di
kabupaten/kota mengacu kepada prinsip otonomi luas atau
general competence sedangkan otonomi terbatasnya (ultra vires)
ada di tingkat provinsi. Undang-Undang ini juga menjadikan
DPRD sebagai lembaga parlemen daerah yang memiliki
kewenangan yang luas termasuk melakukan pemilihan dan
pemakzulan kepala daerah ketika Laporan Pertanggungjawaban
(LPJ) Kepala Daerah kepada kepala daerah dua kali ditolak secara
berurutan. Namun LPJ Kepala Daerah mungkin akan diterima
apabila dalam waktu sebulan terjadi perbaikan kinerja. Ini
merupakan pengaturan yang sulit diterima nalar. Bagaimana
kinerja kepala daerah dalam setahun dapat diperbaiki dalam
sebulan. Dalam praktek, celah ini dijadikan alat tawar menawar
antara pihak eksekutif daerah dengan pihak DPRD.

Pada awal otonomi daerah di era reformasi, pelaksanaan


desentralisasi yang dilakukan secara radikal dengan mengalihkan
urusan yang seluas-luasnya ke daerah ternyata menimbulkan

7
berbagai masalah, seperti ketidakjelasan pembagian urusan antar
susunan pemerintahan, dan tidak jelasnya hubungan interelasi
dan interdepensi antar tingkatan dan dan susunan pemerintahan
khususnya antara pemerintahan daerah dengan Pemerintah Pusat
dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan
daerah kabupaten/kota. Penempatan DPRD sebagai parlemen
daerah dengan kewenangan untuk memilih dan memakzulkan
kepala daerah menghasilkan destabilisasi pemerintahan daerah.
Konflik yang terjadi antar kepala daerah dan DPRD cenderung
meluas di banyak daerah dan mengganggu kelancaran jalannya
pemerintahan daerah. Semua hal di atas mendorong Pemerintah
Pusat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
untuk menata kembali pelaksanaan desentralisasi sehingga
percepatan pembangunan daerah dapat dilakukan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba


memperjelas pembagian urusan pemerintahan dan tetap dalam
koridor otonomi luas (general competence) yang ada di tingkat
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 sebagai turunan dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ada
31 urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dalam
konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.

Ada tiga kriteria yang dipakai sebagai pedoman dalam


pembagian urusan pemerintahan tersebut. Kriteria tersebut
adalah kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Mengacu
kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan
menjadi sebagai berikut:

8
1. Pemerintah Pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat
pengaturan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut;
berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi
terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk
melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional
(lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).

2. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk


mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala
provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang
ditetapkan Pemerintah Pusat.

3. Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk


mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala
kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan
Pemerintah Pusat.

Selain itu Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan


penetapan NSPK tersebut dalam waktu dua tahun dan apabila
dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga
menetapkan NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah, maka pemerintahan daerah dapat
menetapkan peraturan daerah (perda) untuk melaksanakan
urusan yang menjadi kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK
adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan antar
pemerintahan daerah dalam pelaksanaan suatu urusan

9
pemerintahan sehingga urusan pemerintahan tersebut dapat
terselenggara secara sistemik dan sinergik.

Urusan pemerintahan diklasifikasikan kedalam dua kategori


yaitu ”urusan wajib” yang terkait dengan pelayanan dasar dan
urusan pilihan yang terkait dengan pengembangan sektor
unggulan yang potensial tumbuh dan berkembang di daerah
tersebut. Pendekatan tersebut ditujukan untuk mendorong
pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang
benar-benar sesuai dengan karakter daerah dan kebutuhan
masyarakat daerah tersebut untuk mendukung terciptanya
kesejahteraan masyarakat daerah.

Ada 31 urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke


daerah provinsi dan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan
tersebut yaitu:

1) Sosial
2) Lingkungan Hidup
3) Perdagangan
4) Kelautan dan Perikanan
5) Kehutanan
6) Pendidikan dan Kebudayaan
7) Kesehatan
8) Usaha Kecil dan Menengah
9) Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10) Pertanian dan Perkebunan
11) Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
12) Perhubungan
13) Penanaman Modal
14) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
15) Kependudukan
16) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
17) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
18) Perindustrian
19) Pekerjaan Umum
20) Penataan Ruang
21) Pemuda dan Olah Raga
22) Komunikasi dan Informasi
23) Perumahan

10
24) Arsip
25) Pertanahan
26) Kesatuan Bangsa dan Politik
27) Statistik
28) Pemerintahan Umum
29) Pemberdayaan Masyarakat Desa
30) Kepegawaian
31) Perpustakaan

Kalau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memakai


prinsip ”residual function” untuk kabupaten/kota yaitu semua
urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sebagai
kewenangan Pemerintah Pusat dan provinsi akan menjadi
kewenangan kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 pembagian urusan pemerintahan mempergunakan
prinsip ”concurrence function” artinya diterapkannya prinsip
konkurensi dari setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan
di Pemerintah Pusat, menjadi juga kewenangan provinsi dan
kewenangan kabupaten/kota, hanya skalanya yang berbeda.
Kalau Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan yang berskala
nasional atau lintas provinsi, maka provinsi akan mempunyai
kewenangan dengan skala provinsi atau lintas kabupaten/kota
sedangkan kabupaten/kota mempunyai kewenangan skala
kabupaten/kota atas 31 urusan pemerintahan yang di
desentralisasikan. Pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah Pusat, pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dituangkan dalam matriks
pembagian urusan yang dipayungi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007. Pemerintah Pusat kemudian menetapkan
Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan
pedoman atau acuan bagi pemerintahan daerah provinsi dan

11
kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengubah


kedudukan DPRD dan pola hubungan antara DPRD dengan kepala
daerah. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD tetapi dipilih
langsung oleh rakyat sebagaimana para anggota DPRD. Kepala
daerah karena itu memiliki basis legitimasi yang kuat dan tidak
lagi tergantung pada DPRD. Dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 kedudukan DPRD dikembalikan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. DPRD yang sebelumnya
memiliki kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap
kepala daerah apabila Laporan Pertanggung Jawabannya (LPJ)
ditolak oleh DPRD, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
mereka memiliki kedudukan yang setara dan menjadi mitra dari
kepala daerah. Karena kepala daerah dipilih oleh rakyat, maka
kepala daerah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggung
Jawaban (LKPJ) dan bukan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ)
kepada DPRD.

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah


berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, namun ternyata dalam pelaksanaannya
muncul beberapa masalah baru yang perlu memperoleh perhatian
Pemerintah Pusat dan semua pemangku kepentingan.
Ketidakjelasan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sering menimbulkan intepretasi yang berbeda dari
berbagai kelompok kepentingan dan menjadi salah satu sumber
konflik antar susunan pemerintahan dan aparatnya. Misalnya,
dalam pembagian urusan, ketidakjelasan pembagian urusan antar
susunan pemerintahan masih merupakan masalah yang secara
persisten dihadapi oleh Indonesia dalam pelaksanaan

12
desentralisasi. Konflik dan tumpang tindih kewenangan antar
susunan pemerintahan dan antar daerah tetap terjadi dan
memerlukan pengaturan yang lebih jelas dan efektif. Urusan
pemerintahan yang berbasis ekologis. Khususnya yang terkait
dengan urusan kehutanan dan kelautan masih tetap sulit untuk
dibagi antar tingkatan pemerintahan karena batas wilayah
administrasi pemerintahan sering kurang sesuai dengan
externalitas yang ditimbulkan dari urusan pemerintahan yang
berbasis ekologis.

Otonomi luas yang diwujudkan dalam bentuk 31 urusan


yang diserahkan ke daerah sering menimbulkan masalah dalam
pembiayaannya. Urusan yang sangat banyak ditambah dengan
sumber pendanaan yang terbatas, telah menyebabkan banyak
daerah mengalami kesulitan dalam pembiayaan urusan tersebut.
Keadaan tersebut diperparah dengan adanya kecenderungan
daerah untuk membuat struktur organisasi yang gemuk akibat
tekanan birokrasi akan tambahan jabatan akan memicu
meningkatnya kebutuhan akan pegawai yang pada gilirannya akan
menyebabkan bengkaknya biaya aparatur atau overhead cost.
Otonomi luas dalam bentuk banyaknya urusan pemerintahan
yang diserahkan ke daerah dapat menjadi justifikasi bagi daerah
untuk menambah struktur organisasi perangkat daerah. Kondisi
tersebut diperparah dengan adanya perintah dari peraturan
perundang-undangan atau kementerian dan lembaga pemerintah
non kementerian (LPNK) yang mewajibkan daerah untuk
membentuk suatu organisasi untuk mewadahi suatu urusan yang
tidak ada relevansi atau urgensinya di daerah tersebut.

Meningkatnya overhead cost akan mengurangi alokasi


anggaran untuk pelayanan publik sebagai dasar untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Munculnya

13
gejala patronasi dan kooptasi birokrasi secara politis akan
memberikan tekanan bagi elit politik lokal untuk mengembangkan
struktur organisasi. Pemberian otonomi luas akan menjadi alasan
utama bagi daerah untuk mengembangkan organisasi untuk
mewadahi urusan pemerintahan tersebut, walaupun secara
empirik banyak dari urusan tersebut tidak sesuai dengan prioritas
untuk mensejahterakan rakyat. Otonomi daerah yang luas belum
disikapi sebagai ”open menu” bagi elit daerah. Pengertian open
menu mengarah pada kondisi dimana daerah tidak harus
memprioritaskan urusan-urusan pemerintahan yang relevansinya
kurang kuat terkait dengan upaya daerah mensejahterakan
masyarakatnya.

Seyogyanya mereka memprioritaskan urusan-urusan


pemerintahan yang sesuai dengan urusan wajib yang terkait
prioritas pelayanan dasar dan urusan pilihan yang menjadi
prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan unggulan daerah.
Otonomi luas bukan berarti semua urusan harus dilembagakan
tapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun
tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu
bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk
menerapkan kelembagaan yang ”right sizing” yang bercirikan
ramping struktur namun kaya fungsi.

Disamping itu, dinamika pelaksanaan desentralisasi selama


dekade terakhir ini juga menunjukan perlu adanya penambahan
pengaturan baru tentang pelayanan publik dan partisipasi
masyarakat. Pengaturan tentang pelayanan publik sangat penting
dalam undang-undang pemerintahan daerah karena tidak adanya
pengaturan tentang pelayanan publik sering membuat daerah
kurang peduli dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
Sedangkan, salah satu pertimbangan utama dari pelaksanaan

14
desentralisasi agar daerah dapat menyelenggarakan pelayanan
publik yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan warganya, dan
dapat dijangkau oleh warganya dengan mudah. Pengaturan
tentang penyelenggaraan pelayanan publik perlu dimasukan
dalam undang-undang pemerintahan daerah agar daerah memiliki
pedoman dan standar yang jelas dalam menyelenggarakan
pelayanan yang berkualitas.

Pengaturan yang sama juga dilakukan mengenai partisipasi


masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu kunci
sukses dari penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah.
Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah agar masyarakat dan
pemangku kepentingan dapat lebih mudah berpartisipasi dalam
proses kebijakan di daerah. Namun, karena pengaturan tentang
partisipasi masyarakat tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 banyak daerah yang masih mengabaikan perlunya
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
kebijakan di daerah. Amat jarang daerah yang mengakui bahwa
partisipasi adalah hak dari setiap warga yang harus dilindungi
oleh negara. Penambahan pengaturan tentang partisipasi yang
mengatur hak-hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan
dan kewajiban daerah untuk memberi ruang kepada warganya
untuk terlibat dalam proses kebijakan amat penting untuk
menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-
benar mengabdi pada kepentingan warga.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas maka revisi


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diperlukan. Revisi
dilakukan disamping untuk melakukan perubahan terhadap
pengaturan yang ada agar lebih mampu menjawab berbagai
masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga untuk
melengkapi berbagai kekurangan yang ada dalam Undang-Undang

15
Nomor 32 Tahun 2004. Dengan adanya revisi terhadap Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka diharapkan penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia benar-benar dapat
mendorong kemajuan daerah dan meningkatkan kemakmuran
bagi warga di daerah. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan
juga dapat menjadi perangkat kebijakan untuk memperkuat
integrasi nasional dan memperkokoh keberadaan NKRI.

1.2 Maksud dan Tujuan

Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan dengan


tujuan untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait dengan konsep kebijakan
desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan
dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan
hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok
madani. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum
sepenuhnya menjamin terwujudnya NKRI yang desentralistis dan
mampu menjamin adanya hubungan yang harmonis dan sinergik
antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Dalam pembagian
urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis
belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-
norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai
ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga
dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar
daerah.

Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama


antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan antar
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat
dilakukan secara optimal. Disamping itu tidak jelasnya hubungan

16
antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah telah
menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan
pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota
dalam wilayah provinsi tersebut. Akibatnya adalah sulitnya
pencapaian target-terget nasional yang telah ditetapkan
Pemerintah Pusat karena masing-masing tingkatan pemerintahan
mempunyai target dan prioritasnya sendiri-sendiri. Pada gilirannya
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konstruksi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 sering belum mampu mempercepat
perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah yang akibat lanjutannya
adalah rendahnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
nasional.

Disamping memperjelas konsep desentralisasi dalam


kerangka NKRI, revisi juga dilakukan untuk memperjelas berbagai
aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini
belum diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Misalnya, dalam pembentukan daerah otonom baru.
Pengaturan yang ada selama ini dinilai belum jelas dan memadai
sehingga pembentukan daerah otonom baru cenderung dilakukan
secara masif dan lebih didorong oleh pertimbangan kepentingan
elit dan sempit dari berbagai kelompok kepentingan yang ada di
daerah. Berbagai pengaturan tentang kawasan perkotaan,
kawasan khusus, daerah perbatasan, pengelolaan aset dan
sumber daya di daerah selama ini dinilai belum jelas sehingga
cenderung tidak efektif dan tidak mampu menjawab dinamika
daerah yang sangat cepat dan kompleks.

Revisi juga dilakukan untuk menambahkan beberapa


pengaturan baru yang selama ini belum tercakup dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun sangat penting untuk
mempercepat keberhasilan desentralisasi mewujudkan

17
pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan terkait
dengan hubungan antara pemerintah daerah dengan warganya
seperti pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi
dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk
menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga
menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa
antara warga dan penyelenggara pelayanan publik belum diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan
berbagai hal tersebut sangat strategis dalam menjamin
terwujudnya pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan
akuntabel.

Disamping itu terdapat juga kebutuhan untuk mendorong


inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kemajuan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauhmana kreativitas
bangsa yang bersangkutan untuk selalu mencari alternatif dalam
peningkatan kualitas hidupnya. Demikian juga halnya dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemajuan yang dicapai
akan sangat dipengaruhi oleh terobosan-terobosan pemikiran yang
harus dilakukan pemerintahan daerah khususnya dalam
penyediaan pelayanan publik. Pemerintahan daerah harus
didorong untuk memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) yang
ada untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan
kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Untuk itu diperlukan payung hukum untuk mendorong
dan melindungi pemerintahan daerah yang telah melakukan
kegiatan-kegiatan inovatif tanpa dihantui oleh tuntutan hukum.
Jangan sampai kegiatan yang inovatif bermuara pada
kriminalisasi. Untuk itu diperlukan adanya kriteria yang jelas
untuk menentukan bahwa suatu kegiatan masuk dalam rumpun

18
inovasi. Tapi sebaliknya juga jangan penyalahgunaan kekuasaan
berlindung dibalik kegiatan yang inovatif.

Sisi lain yang memerlukan payung hukum adalah tindakan


hukum terhadap pejabat daerah. Adanya ketakutan yang
berlebihan terhadap dampak hukum yang terjadi telah
menyebabkan aparat pemerintahan daerah enggan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap potensial
menyebabkan masalah hukum di kemudian hari. Timbullah
budaya kerja mencari selamat. Akibatnya penyerapan anggaran
menjadi terkendala dan banyak menimbulkan sisa diakhir tahun
anggaran. Pada satu sisi pelayanan publik belum optimal namun
pada sisi lain anggaran yang ada belum termanfaatkan secara
optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut harus ada payung
hukum yang mengatur kejelasan atas suatu kesalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apakah kesalahan
tersebut masuk dalam ranah administratif (non yustisia) atau
ranah pidana (pro yustisia). Kalau setiap kesalahan dipaksakan
masuk ke ranah pro yustisia, akan menyebabkan keengganan
pejabat daerah dalam mengurus kegiatan-kegiatan yang
berimplikasi hukum padahal kegiatan tersebut sangat diperlukan
masyarakat karena terkait pelayanan publik. Suatu kesalahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya diperiksa dulu
oleh aparat pengawas internal pemerintah yang dalam hal ini
dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP akan
menentukan apakah kesalahan tersebut masuk dalam ranah
administrasi atau ranah pidana. Kalau ada indikasi pidana maka
sifatnya akan menjadi pro yustisia dan menjadi tugas serta
kewenangan aparat penegak hukum untuk menindak lanjutinya.

19
Adanya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini
diharapkan dapat memberi kesempatan untuk membangun
kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
menyeluruh, visioner, dan efektif merespon berbagai masalah yang
sekarang dan mungkin terjadi di masa mendatang di dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

1.3 Metodologi

Revisi undang-undang ini dirancang sedemikian rupa agar bersifat


problem-based, partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang
secara akademik dan politik dapat diterima. Bersifat problem-
based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah
masalah yang dihadapi baik oleh Pemerintah Pusat, daerah, para
penyelenggara pemerintahan daerah, dan para pemangku
kepentingan lainya terkait dengan penyelenggarakan
pemerintahan daerah. Berbagai masalah yang dihadapi oleh
penyelenggara pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan
setelah dikaji secara akademik ternyata bersumber dari
ketidakjelasan pengaturan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dan ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dengan peraturan perundangan lainnya. Berbagai
masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini
menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dorongan untuk melakukan revisi juga muncul dari


masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Misalnya, mengenai
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
Pelayanan publik adalah hal yang sangat strategis dan menjadi isu

20
yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengakomodasi kebutuhan
adanya pengaturan yang diperlukan untuk menjawab tantangan
yang sekarang dan dimasa mendatang dihadapi oleh pemerintah
daerah. Dengan demikian, diharapkan undang-undang yang
dihasilkan nanti benar-benar mampu menjawab berbagai masalah
yang sekarang dihadapi ataupun tantangan yang mungkin terjadi
di masa mendatang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Metode partisipatori digunakan dalam keseluruhan proses


revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Didalam
menentukan agenda revisi, yaitu menentukan hal apa dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang perlu direvisi, Tim
Revisi melakukan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di
berbagai daerah dengan multi-stakeholders, diantaranya di
Mataram, Semarang, Pangkalpinang, Bali dan lain-lainnya. Tim
juga melakukan uji publik dengan kalangan kementerian dan
lembaga pemerintah non kementerian, asosiasi pemerintahan
daerah seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI),
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Termasuk
uji publik dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan
akademisi dan pemerhati otonomi daerah. Tim Revisi telah
memperoleh berbagai masukan dari berbagai kalangan dan
masukan-masukan tersebut sepanjang bermanfaat serta layak
dipertimbangkan telah dipergunakan Tim Revisi untuk
menyempurnakan konsep yang secara terus menerus dibangun
dan disempurnakan. Dengan melibatkan multi-stakeholders di
berbagai daerah diharapkan agenda revisi dapat mencakup

21
masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh banyak pihak yang
mewakili kepentingan yang berbeda-beda.

Proses revisi juga dilakukan secara terbuka dan partisipatif


dimana Tim Revisi yang terdiri dari pakar berbagai bidang
keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah bersama-sama dengan tim dari berbagai komponen di
Kementerian Dalam Negeri mendiskusikan berbagai masalah yang
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
merumuskan norma yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Dalam membahas berbagai isu, perdebatan
yang intens dilakukan bukan hanya dengan tim pakar, pejabat
dari berbagai unsur dari Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga
berbagai pihak diluar tim, seperti: pakar dari universitas dan
lembaga lainnya, unsur-unsur dari kementrian dan lembaga
Pemerintah Pusat lainnya, wakil dari asosiasi, perwakilan dari
berbagai LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan
melibatkan proses yang terbuka dan partisipatif diharapkan
pemikiran yang berkembang dalam revisi menggambarkan
pemikiran yang terkini, relevan, dan efektif untuk menjawab
masalah dan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
otonomi daerah.

Dengan konsultasi publik yang luas dengan berbagai pihak


dan pemangku kepentingan diharapkan dapat mendorong terjadi
perdebatan yang terbuka tentang berbagai aspek penyelenggaraan
pemerintahan yang selama ini menjadi perhatian masyarakat luas.
Kementerian Dalam Negeri akan menjadikan masukan dan
pemikiran yang berkembang dalam konsultasi publik menjadi
informasi dan bahan yang penting untuk menjadikan undang-
undang pemerintahan daerah hasil revisi benar-benar menjadi
milik masyarakat dan semua pemangku kepentingan.

22
Revisi juga dilakukan dengan mengkombinasikan
pendekatan keilmuan dan politik. Pendekatan keilmuan dilakukan
untuk mencari solusi yang tepat terhadap berbagai masalah yang
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan
melibatkan para pakar dari berbagai universitas dan lembaga
penelitian yang berbeda diharapkan revisi dapat menghasilkan
pengaturan baru yang secara akademik kuat dan secara politik
sesuai. Pengaturan baru tentunya harus memiliki landasan
konsepsual yang kuat didukung oleh hasil riset dan pengalaman
internasional yang memadai. Untuk itu maka para pakar diminta
melakukan kajian tentang berbagai isu yang dianggap penting dan
menuliskan hasilnya sehingga dapat menjadi bahan untuk
pembuatan naskah akademik dan masukan yang penting dalam
revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun, pengaturan
yang secara akademik sound harus juga dapat diimplementasikan
dengan mudah, sederhana, dan efektif. Karena itu, pemikiran dari
para pakar dan anggota Tim Revisi dikonsultasikan dengan para
pihak yang berkepentingan sehingga pengaturan yang diusulkan
bukan hanya tepat secara konsepsual, tetapi juga secara politik
sesuai, dan diterima dimata berbagai pemangku kepentingan.

1.4 Struktur Penulisan

Naskah akademik ini terdiri dari 5 Bab yaitu:

Bab I Pendahuluan

Menjelaskan tentang pendahuluan yang mencakup latar


belakang, tujuan dari revisi, metodologi, dan struktur
penulisan.

23
Bab II Kerangka Konseptual, Kebijakan Desentralisasi Dalam
Negara Kesatuan

Berisi tentang kerangka konsepsual yang menjelaskan


konsep desentralisasi dan konstruksi desentralisasi dalam
negara kesatuan. Adanya konsep yang jelas tentang
desentralisasi dalam negara kesatuan diharapkan dapat
membantu para pembentuk undang-undang dan
pemangku kepentingan dalam menentukan arah dari revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Bab III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Memuat materi dari revisi Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004. Semua masalah strategis yang memerlukan
perubahan pengaturan dalam undang-undang
pemerintahan daerah dan keterkaitannya dengan
peraturan perundangan lainnya dijelaskan disini.
Disamping memuat masalah yang menuntut perubahan,
Bab ini juga mengidentifikasi masalah yang memerlukan
pengaturan baru dalam undang-undang hasil revisi, seperti
partisipasi masyarakat, pelayanan publik, dan inovasi
daerah.

Bab IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usulan


Perubahan

Menjelaskan tentang dasar pemikiran dari setiap topik dan


isu yang dibahas dalam revisi, permasalahan yang
berkembang dalam topik itu, analisis tentang penyebab
munculnya masalah, dan usulan perubahan. Bab ini
diharapkan dapat membantu para pihak memahami nilai-
nilai dan tujuan yang ingin diwujudkan dari setiap isu
kebijakan yang muncul, permasalahan yang berkembang

24
dalam setiap isu, analisis tentang penyebab munculnya
masalah, dan usulan perubahan kebijakan untuk
menjawab masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Bab V Penutup

25
BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL: KEBIJAKAN DESENTRALISASI


DALAM
NEGARA KESATUAN

2.1 Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia

Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan


diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan
akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan
daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
Pada dasarnya terdapat 8 (delapan) kali perubahan yang bersifat
pokok terhadap sistem pemerintahan daerah pasca kemerdekaan.
Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan
yang berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan
tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember


1945 dan merupakan undang-undang pemerintahan daerah
yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut
didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya
pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang
diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level


terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku
badan legislatif dan anggota-anggotanya diangkat oleh
Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari

26
anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang
dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan roda
pemerintahan daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi
utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.

Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah Pusat untuk


menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam
sistem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan
kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari
dualisme fungsi yang diberikan kepada figur kepala daerah.
Status kepala daerah adalah diangkat dan diambil dari
keanggotaan komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka
mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka
yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dan bukan dipilih.

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dikeluarkan pada


tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah
tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah
kemerdekaan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya
mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratif.

Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah


otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir
Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-
hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala
daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah diangkat
oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh

27
DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah
bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun
sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari
praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut.
Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan dwifungsi;
sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah
Pusat, kepala daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan
sebagai Ketua DPD, kepala daerah bertindak selaku wakil dari
daerah yang bersangkutan.

Tidak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-


Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menyatakan
urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah
(otonomi materiil) seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan
pada pemerintah daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan
yang diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa melihat
tingkatannya. Bahkan kota kecil sebagai pemerintah Daerah
Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan
pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian otonomi mengesampingkan kemampuan riil dari
pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih
didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan
pertimbangan efisiensi dan efektifitas.

Dalam realitas, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih


dibawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali
Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang
didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah
sistem federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya
terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya berlaku pada

28
wilayah Republik Indonesia, sedangkan daerah-daerah dibawah
sistem federal diatur sistem pemerintahan daerahnya menurut
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950.

(3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 lebih


menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 pada aspek desentralisasi, maka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ditandai dengan
penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah produk dari sistem
parlemen liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun
1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya
pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut
telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang
bertugas melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat di
daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati,
Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980).

Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk


meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan
yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah tetaplah terbatas.
Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti
urusan yang dilimpahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7
urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi.
Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus
dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedur tersebut
memakan waktu yang sangat lama.

29
Sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah
terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak
selaku Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah
terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan
DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terletak pada peranan
yang dijalankan oleh kepala daerah. Kepala daerah hanya
berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab
kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektif bertanggung jawab
kepada DPRD. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun
sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari
Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri
untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III.

Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik


tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam
kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri
Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun
diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut
berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali
kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang
disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).

(4) Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari


Dekrit Presiden, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan

30
Presiden 6 Tahun 1959 untuk mengatur pemerintahan daerah
agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD.
Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif
daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah
juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia
bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh
DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia
bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah
diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah
Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah
Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh
Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya
dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik.

Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 menandai beralihnya


kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip
dekonsentrasi. Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak
ditangan kepala daerah, dan Pemerintah Pusat mempunyai
kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya
direkrut dari Pamong Praja . Meskipun DPRD mempunyai hak
untuk mengusulkan calon-calon kepala daerah, Presiden
ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk
menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan
Pamong Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada
awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan kepala daerah
terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau 63% berasal dari
Pamong Praja (Legge, 1961).

Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut


terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor
II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi yang

31
seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak
lanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-
Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja
kepada pemerintah daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan
oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan
yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau
Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap
dipertahankan. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 dikeluarkan untuk mengganti Penetapan Presiden 6 Tahun
1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke
arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari
menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan
politik nasional.

(5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang


semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar
sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom
yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno
untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada
waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan
Komunis.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, kepala


daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan
daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Meskipun prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut,
namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap
(supplement) saja walaupun diberi embel-embel vital.

32
Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem
pemerintahan daerah adalah bahwa kepala daerah bukanlan
lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diizinkan
menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga
tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaitu; Propinsi,
Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang
diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-
luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik


dari kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal
ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala
daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu.
Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif
daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat.

(6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir dalam masa Orde


Baru sebagai akibat dari peristiwa G30S PKI. Ciri utama dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah penguatan peran
kepala daerah dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu
sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dia memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke daerah.
Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepala daerah
disebut sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah
administrasi sebagai wilayah kerja wakil Pemerintah Pusat di
daerah.

33
Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan
sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai
koordinator pemerintahan di daerah yang mengoordinir semua
instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah
juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di
daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan koordinasi,
pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan
menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di
otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang
menanganinya (urusan sisa).

Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah


kuatnya intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar
dari pemerintahan daerah. Dari aspek urusan pemerintahan,
prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi yang luas,
riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 s/d 9
urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk
tingkat provinsi. Nuansa sentralisasi juga terasa kuat dalam
aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek lainnya dalam
hubungan pusat dengan daerah. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai
tindak lanjut dari reformasi.

(7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menandai terjadinya


shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi pemerintahan
daerah yang desentralistik secara ekstrim. Maka banyak

34
kalangan mengatakan telah terjadi “big bang” dalam kebijakan
desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat dalam era
Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi.

Dalam era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terjadi


penyerahan urusan secara drastis ke daerah khususnya ke
daerah kabupaten/kota. Dalam konteks otonomi seluas-luasnya
Pemerintah Pusat dan provinsi mempunyai kewenangan yang
terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 25 Tahun
2000 sedangkan diluar dari yang ditentukan menjadi
kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Terjadi
pergesekan kewenangan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan terkait dengan kewenangan-kewenangan yang
khususnya potensial menghasilkan penerimaan (revenue
centers). Sebaliknya terjadi gejala penelantaran urusan-urusan
pemerintahan yang bersifat pengeluaran (cost centers). Terjadi
pula ketegangan antara kepala daerah dengan DPRD terkait
dengan kecenderungan meluas ditolaknya laporan pertanggung
jawaban kepala daerah oleh DPRD. Dalam bidang kepegawaian
juga muncul kecenderungan kebijakan-kebijakan yang bersifat
primordial yang kalau dibiarkan akan membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa
kedaerahan yang sempit. Berbagai persoalan tersebut telah
menggiring kearah dilakukannya perubahan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya.

(8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berusaha mencari


keseimbangan antara desentralisasi dengan sentralisasi.

35
Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi
ataupun sentralisasi yang ekstrim cenderung akan menciptakan
instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada konflik
yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu terdapat upaya untuk
menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan
kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuum kebijakan.

Namun dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2004 walaupun urusan pemerintahan sudah dibagi antar
tingkatan pemerintahan secara sistematik antara Pemerintah
Pusat, provinsi dan kabupaten/kota, namun dalam
pelaksanaannya masih belum optimal karena berbagai hal.
Pertama, pembagian urusan pemerintahan tidak diikuti dengan
pembagian sumber-sumber pendanaan yang seimbang. Hampir
70% dari keuangan negara masih ada ditangan Pemerintah
Pusat, dan hanya menyisakan 30% untuk dialokasikan ke
daerah dalam bentuk dana perimbangan. Kedua, urusan
pemerintahan yang diserahkan ke provinsi sedikit tapi sumber
pendanaannya banyak sehingga menyebabkan kecenderungan
provinsi untuk mencampuri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan kabupaten/kota. Ketiga, di tingkat kabupaten/kota
sebagai lini terdepan penyedia pelayanan publik kurang
didukung oleh pendanaan yang memadai. Pendapatan asli
daerah hanya berkisar kurang dari 10% sehingga 90%
pendanaan tergantung dari dana perimbangan. Pada sisi lain,
dana yang sudah terbatas tersebut pemanfaatannya juga kurang
proporsional dan hampir 80% dipakai untuk overhead cost.

Pada sisi kelembagaan juga ada kecenderungan


membengkaknya kelembagaan daerah untuk mengimbangi
tekanan birokrasi akibat terjadinya penambahan pegawai.

36
Otonomi luas telah memberikan peluang pemerintah daerah
membengkakkan struktur organisasi pemerintahan daerah dan
besarnya struktur organisasi akan menuntut adanya tambahan
pegawai. Tambahan pegawai akan menyebabkan
membengkaknya biaya rutin (biaya tidak langsung) dan akan
menyisakan sedikit sekali untuk membiayai pelayanan public
(biaya langsung). Buruknya pelayanan publik akan berpengaruh
pada tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pada sisi hubungan antara kepala daerah dengan DPRD tidak


muncul persoalan sebagaimana dalam era diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun ketegangan
muncul antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Sebagian besar pasangan kepala daerah dan wakilnya
cenderung kurang harmonis dan kondisi tersebut telah
mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Salah satu
akibatnya adalah terkotak-kotaknya birokrasi kedalam pro-
kontra kepala daerah atau wakil kepala daerah. Pergesekan
menjadi semakin keras manakala kepala daerah dan wakilnya
masing-masing maju mencalonkan diri dalam pilkada
berikutnya.

Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan


pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menyebabkan pemerintahan daerah berjalan
kurang efektif. Untuk itu diperlukan kebijakan yang bersifat
lebih “affirmative” untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan
daerah. Bagaimana mengarahkan agar spirit reformasi dan
demokrasi mampu menghasilkan kesejahteraan masyarakat.
Anomali yang terjadi adalah reformasi yang dilaksanakan secara
demokratis belum menghasilkan kesejahteraan yang memadai.
Hasil penilaian Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia

37
belum menunjukkan data yang menggembirakan. Pada tahun
2008 kita ada di urutan 109 dari 179 negara yang di survei.
Namun pada tahun 2009 peringkat Indonesia melorot ke nomor
111 dan terjadi perbaikan di tahun 2010 menjadi peringkat 108.
Tapi angka ini masih sangat jauh di bandingkan negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia di peringkat 63, Thailand di
peringkat 86. Terlebih dengan disepakatinya perdagangan bebas
ASEAN dan juga dengan China, memerlukan kebijakan
desentralisasi yang mampu mendukung daya saing daerah.
Besarnya kewenangan yang diberikan ke daerah harus mampu
mendorong daerah menjadi bagian dari lokomotif pembangunan.

Dalam konteks meningkatkan efektifitas pemerintahan, telah


terjadi kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan DPR untuk
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Undang-undang ini disepakati akan dipecah
menjadi tiga undang-undang yaitu undang-undang tentang
pemerintahan daerah; undang-undang tentang pemilihan kepala
daerah dan undang-undang tentang desa.

Dari pendekatan historis tersebut, isu sentral yang dapat


ditarik adalah bagaimana Pemerintah Pusat selalu berusaha
memegang kendali/kontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal,
Pemerintah Pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur kepala
daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk
memenangkan kesetiaan kepala daerah kepada pusat dalam
menjalankan dual roles-nya, Pemerintah Pusat seringkali sangat
dominan dalam penentuan/pengangkatan kepala daerah. Kuatnya
bargaining position pusat dalam penentuan kepala daerah ini telah
mendorong loyalitas kepala daerah yang lebih tinggi kepada
Pemerintah Pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positif dari
kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program-

38
program ataupun arahan pusat akan terlaksana secara lancar di
daerah.

Pada tahap awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna


untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih
sangat rawan pada waktu itu (tujuan integratif). Aspek negatifnya,
terutama setelah tujuan integratif tercapai adalah pada diri kepala
daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilema
manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara
kepentingan pusat dan daerah. Ke Pemerintah Pusat dia dituntut
akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akuntabilitas.

Kebijakan Pemerintah Pusat untuk melakukan


desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah lama dilakukan
dan mengalami pasang surut sejak Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945 dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Para pendiri
bangsa sejak awal telah memutuskan perlunya desentralisasi
dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasca
reformasi, Pemerintah Pusat melakukan serangkaian kebijakan,
antara lain dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang
mampu mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memperkuat integrasi
nasional. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang
berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, namun
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan
desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan
kelemahan yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu
keberhasilan desentralisasi itu sendiri.

39
Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan
menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk
desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia.
Apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia
terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana selama ini
dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional
(Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang
digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan
Cheema (1983) yang mengklasifikasi desentralisasi kedalam
berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Apakah
desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti
praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan,
yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada
kabupaten/kota? Atau, pelimpahan kewenangan kepada provinsi
perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negara-negara yang
menganut sistim pemerintahan federal. Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama
dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.

Fakta bahwa desentralisasi di banyak negara belum mampu


menghasilkan bukti yang solid dan kokoh untuk mendorong
kemajuan daerah, partisipasi masyarakat, dan kesejahteraan
warga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya model
desentralisasi dan otonomi daerah disesuaikan dengan kondisi
sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing negara.
Walaupun desentralisasi menjadi strategi pembangunan yang
umum dilakukan di banyak negara maju dan berkembang pasca
tahun 1980-an, namun cerita keberhasilan desentralisasi sering
bersifat unik dan kontekstual (Andrews and Vries, 2007).
Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kehidupan

40
warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai
sesuatu yang taken for granted.

Beberapa penelitian telah mengingatkan mengenai risiko


penggunaan desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan
masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang
berkembang, yang cenderung menyederhanakan masalah
(Andersson, Gibson and Lehoucq 2004). Segelintir peneliti mulai
mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi
dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal (Agrawal
and Gibson 1999; Larson 2002; Andersson dkk, 2004; Deininger
and Mpuga 2005). Sementara peneliti yang lain seperti Andrews
dan Vries (2007) yang membuktikan bahwa pengalaman Brazil,
Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi
ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan
dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua
negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan
desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru telah
membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi
(Treisman 2000; Oyono 2004, Tambulasi dan Kayuni, 2007).
Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di
daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan
besaran kewenangan yang dialihkan ke daerah, dan cara
pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah,
dukungan kementrian dan lembaga sektoral, dan kekuatan
masyarakat sipil di daerah.

Namun, dampak yang berbeda-beda yang dialami banyak


negara lain dalam melaksanakan desentralisasi tidak perlu
membuat Indonesia menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi sudah menjadi
pilihan anak-anak bangsa, bukan hanya sekarang ini, tetapi

41
bahkan sejak para pendiri bangsa dimasa lalu.1 Kondisi
demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas
yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai
keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa dimasa lalu terhadap
desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka
terhadap tingginya pluralitas bangsa. Indonesia yang memiliki
wilayah yang sangat luas dan terbentang pada begitu banyak
pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dengan etnisitas,
budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda
membutuhkan pemerintah daerah yang otonom dan memiliki
kapasitas merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan
daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan ketika
desentralisasi dilakukan.

Keyakinan bahwa desentralisasi menjadi pilihan yang tepat


dapat dijustifikasi dengan melihat pengalaman banyak negara lain
yang berhasil menggunakan desentralisasi untuk mendorong
pembangunan daerah, demokratisasi, dan kesejahteraan ekonomi
(Boone 2003, Kohl 2003, Lam 1996, Oates 1972; Manin,
Przeworski and Stokes 1999). Bahkan, dalam New Public
Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan
pembaharuan administrasi publik di negara maju dan
berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam
rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif,
dan akuntabel (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan
Putman, 1998). Bahwa sebagian negara lainnya gagal menjadikan
desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan
yang efisien dan efektif hanyalah menunjukan bahwa

1
Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
tentang otonomi daerah. Fakta bawa Pemerintah Pusat yang baru saja menyatakan
kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan undang-undang mengatur
tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa
melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting.

42
desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted,
karena keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak
terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi dalam sebuah konteks
historik, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistim
desentralisasi yang dikembangkan mesti harus kontekstual
dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi sehingga
model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar
sesuai dengan sistem pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan
cita-cita membangun negara bangsa.

Bahwa pelaksanaan desentralisasi mesti harus


memperhatikan konteks masing-masing negara sudah lama
diingatkan oleh para pemikir desentralisasi sejak lama (Rondinelli,
1980, Cheema and Rondinelli, 1982). Ada banyak kondisi yang
diperlukan agar desentralisasi dapat menghasilkan manfaat
seperti yang diharapkan, seperti kapasitas lokal, komitmen politik
dari pimpinan nasional, konsistensi kebijakan, tersedianya
saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas
kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk
mengubah mindset, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa
demokratis, dan terbatasnya otoritas fiskal di daerah (Rondinelli
1980, Dillinger 1995; Seabright 1996, Manor 1999; Bardhan and
Mookherjee 2000). Sebagian dari variabel diatas dapat
menjelaskan mengapa pengalaman banyak daerah di Indonesia
melaksanakan desentralisasi juga berbeda-beda, dimana sebagian
provinsi dan kabupaten/kota berhasil mempercepat pembangunan
daerahnya, sementara sebagian lainnya gagal memanfaatkan
otonomi untuk perbaikan kinerja (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto,
2003b). Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi
daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi

43
desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pelaksanaan desentralisasi yang tidak kontekstual, karena


dilaksanakan untuk memenuhi tekanan eksternal lembaga donor
yang seringkali mengkaitkan dengan program-programnya, dapat
menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme
(1997) yang risau tentang kegagalan desentralisasi memenuhi
janjinya. Apa yang salah dengan desentralisasi: teori atau
prakteknya? Atau gugatan Jeffrey (2008) tentang koherensi dan
stabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan secara
desentralistis, ketika tingkat pemerintahan yang berbeda dikuasai
partai politik yang berbeda-beda. Pertanyaan-pertanyaan itu
mengingatkan kita semua untuk berani secara terbuka dan kritis
melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia.

Berbagai keluhan tentang ketidakmampuan desentralisasi


dan otonomi daerah di Indonesia memenuhi harapan dari banyak
pemangku kepentingan dapat muncul dari keduanya,
ketidaktepatan model desentralisasi yang diterapkan dan karena
kesalahan implementasinya, atau bahkan karena interaksi dari
keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan
dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi.
Hal yang sama juga dapat mendorong terjadi penafsiran yang
berbeda di kalangan pemangku kepentingan sehinga pelaksanaan
desentralisasi tidak sesuai dengan semangat dari peraturan
perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam
pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak
penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan
kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam
implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan

44
desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana
diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat
luas.

Apa yang terjadi selama ini menunjukan pentingnya


membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan tepat karena
kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat
memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga
kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu
sendiri. Untuk itu dalam rangka memperbaiki pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia upaya yang serius dan menyeluruh
perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan
yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Dengan melakukan serangkaian koreksi terhadap persoalan baik
yang bersifat sistemik ataupun yang kontekstual maka diharapkan
Indonesia dapat mewujudkan kebijakan desentralisasi yang
mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan
memperkokoh keberadaan NKRI.

Pengembangan desentralisasi di Indonesia perlu


memperhatikan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi keberhasilan
desentralisasi itu sendiri dan berbagai konteks ke-kini-an yang
terjadi di Indonesia. Pertama, desentralisasi yang dikembangkan
adalah desentralisasi dalam negara kesatuan. Pilihan negara
kesatuan telah jelas termuat dalam konstitusi dan masih menjadi
konsensus politik. Walaupun konsep negara kesatuan mengalami
dinamika dan penyesuaian sesuai dengan tantangan yang
dihadapi, desentralisasi dalam negara kesatuan memiliki ciri yang
berbeda dengan desentralisasi dalam negara yang menganut
sistem federal. Dalam negara kesatuan umumnya desentralisasi

45
hanya terjadi dalam kewenangan eksekutif, bukan dalam
kewenangan legislatif dan yudisial. Pemerintahan daerah tidak
memiliki kompetensi legislatif dan yudisial.

Didalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity.


Kedaulatan hanya ada ditangan negara, bukan ada di daerah.
Implikasinya, di negara kesatuan hanya ada satu lembaga
legislatif, yang berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat
di daerah (DPRD) hanya memiliki regulatory power untuk
membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan
produk lembaga legislatif (DPR) dan peraturan perundangan yang
yang lebih tinggi. Penyelenggara negara dan atau Presiden sebagai
kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap peraturan
daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-
undang dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang


desentralistik, Indonesia memiliki konstruksi hubungan pusat
dan daerah yang berbeda dengan konstruksi yang ada didalam
sistim federal. Dalam negara kesatuan, daerah (bisa provinsi atau
kabupaten/kota) umumnya dibentuk oleh negara (pusat) melalui
peraturan perundangan tertentu. Karena itu daerah memperoleh
kewenangan dari negara, bukan sebaliknya. Negara melalui
undang-undang dapat membentuk dan membubarkan daerah,
melimpahkan atau menarik kembali kewenangan dan fungsi yang
dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang diberikan kepada
pemerintahan daerah adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki
oleh Presiden, bukan kewenangan penyelenggara negara lainnya.
UUD 1945 memberi kekuasaan pemerintahan tertinggi pada
presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi,
Presiden harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan
pemerintahan nasional, termasuk yang dilakukan oleh

46
pemerintahan daerah. Karena itu, Presiden memiliki kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi (UUD


1945 Pasal 18 dan Pasal 18A), Indonesia menganut sistem
pemerintahan dengan susunan ganda (multi-tiers government).
Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat dijustifikasi
dari adanya comparative advantages dari keberadaan pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota mengingat tidak semua urusan yang
didesentralisasikan dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh
kabupaten/kota. Sebagian dari urusan yang didesentralisasikan
dalam bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan,
kehutanan, sarana dan prasarana, dan pengembangan wilayah,
serta urusan pemerintahan yang berbasis ekologis akan lebih
efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintahan daerah provinsi.
Walaupun desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan
umumnya lebih banyak diserahkan kepada pemerintahan
kabupaten/kota, utamanya untuk penyelenggaraan pelayanan
pemenuhan kebutuhan dasar.

Kalau desentralisasi pemerintahan di masa mendatang tetap


diberikan sebagian besar kepada kabupaten/kota maka penerapan
prinsip subsidiaritas harus menjadi pertimbangan utama dalam
melakukan pembagian urusan pemerintahan. Ketika subsidiaritas
berbenturan dengan kriteria lainnya, misalnya: efisiensi, maka
prinsip subsidiaritas menjadi superior. Pertimbangannya adalah
yang paling dekat dengan warga adalah yang paling tahu tentang
kebutuhan warganya, mudah dikontrol oleh warga, dan
memudahkan warga untuk terlibat dalam penyelenggaraannya.
Kriteria dan prinsip dalam pembagian urusan perlu dirumuskan
dengan jelas dan dimasukan dlam konstitusi sehingga tidak

47
mudah untuk dirubah untuk kepentingan sempit dan jangka
pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya
democratic governance pada tingkat lokal.

Di negara kesatuan yang memiliki susunan ganda,


walaupun tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan
kabupaten/kota, secara fungsional hubungan hirarki antar
keduanya sulit dihindari. Dalam manajemen pemerintahan sehari-
hari, hubungan interdepensi dan interrelasi antar pemerintahan
daerah kabupaten/kota adalah keniscayaan. Secara fungsional
keberadaan provinsi diperlukan untuk memfasilitasi managemen
pemerintahan antar kabupaten/kota agar terjadi koherensi,
sinergi, dan terintegrasi dengan baik. Apalagi ketika provinsi juga
diperlakukan sebagai wilayah administratif, dimana kepala
daerahnya diberi tugas sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah,
maka hubungan hirarkhis fungsional antara provinsi dan
kabupaten/kota tidak dapat dihindari. Hubungan antar keduanya
perlu ditata dengan baik sehingga keberadaan keduanya mampu
menciptakan sinergi dan komplementaritas yang menguntungkan
warganya.

Sinergi dan komplementaritas antara pemerintahan provinsi


dan kabupaten/kota hanya dapat dilakukan kalau pembagian
urusan antar keduanya jelas dan terumuskan dengan baik.
Untuk itu, undang-undang ini perlu mengarahkan peran
pemerintahan kabupaten/kota sebagai penyelenggara urusan
pemenuhan kebutuhan dasar dengan memperhatikan keuntungan
komparatifnya dibandingkan dengan pemerintahan provinsi.
Sedangkan, provinsi sebagai daerah otonom diarahkan sebagai
penyelenggara pelayanan yang memiliki eksternalitas lintas
kabupaten/kota dan pembangunan wilayah. Pembagian urusan
yang jelas, dalam negara kesatuan yang memiliki multi-tiers

48
government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun
negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi
perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat. Pengalaman sejarah pemerintahan
Indonesia menunjukan bahwa penguatan peran provinsi sebagai
daerah otonom sering menimbulkan kekhawatiran tentang risiko
munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan
kepada kepala daerah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat
dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman
separatisme.

Penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat


di daerah juga memiliki rasionalitas lainnya. Untuk memperkuat
NKRI, Presiden membutuhkan instrumen yang dapat menjalankan
peran sebagai intermediaries, enabling, and synergizing institution
untuk penguatan kapasitas dan optimalitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Penambahan peran gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat dapat menjadi pilihan yang mudah, murah, dan
efektif untuk membangun konsistensi dan sinergi penyelenggaraan
pemerintahan pusat dan daerah. Penerapan peran ganda gubernur
juga dinilai lebih sesuai dengan semangat desentralisasi daripada
menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil Pemerintah Pusat
di daerah. Pemikiran untuk menjadikan gubernur sepenuhnya
sebagai wakil Pemerintah Pusat dan menjadikan provinsi sebagai
wilayah administratif dapat menjadikan NKRI semakin sentralistis
dan mempersempit ruang untuk partisipasi publik yang menjadi
salah satu nilai yang ingin diwujudkan oleh kebijakan
desentralisasi.

Ketiga, walaupun tidak diatur dalam konstitusi realitas yang


ada menunjukan bahwa Indonesia menganut desentralisasi
teritorial dan fungsional. Selama ini desentralisasi teritorial sangat

49
dominan sehingga cederung memonopoli konsep desentralisasi di
Indonesia. Pengembangan kawasan khusus dapat menjadi contoh
terjadinya desentralisasi fungsional, dimana Pemerintah Pusat
membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk
menjalankan fungsi Pemerintah Pusat tertentu. Munculnya
masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan,
konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia
mengembangkan konsep desentralisasi fungsional.
Pengembangan kawasan perbatasan yang memiliki aspek geo-
politik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh
satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang
secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintahan
tertentu di kawasan perbatasan.

Keempat, sebagai negara kesatuan Pemerintah Pusat


membentuk sistem kepegawaian nasional yang mencakup pegawai
nasional, pegawai daerah, dan pegawai profesional lainnya.
Pegawai nasional menjadi perangkat Pemerintah Pusat untuk
pemberdayaan daerah, pemerataan kemajuan dan kesejahteraan
daerah, serta memperkuat integrasi nasional (national-binding
forces). Sistem kepegawaian nasional harus mencakup standar
kompetensi, proses rekrutmen dan penempatan pegawai yang
terbuka, kompetitif, dan menjamin adanya mobilitas pegawai antar
daerah secara wajar. Sistem kepegawaian nasional harus dapat
memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan
kompetensi lokal yang diperlukan untuk mempercepat
pembangunan daerah.

Kelima, berbeda dengan yang terjadi di negara federal


dimana daerah memiliki sumber-sumber penerimaan sendiri yang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya,
di negara kesatuan umumnya sumber penerimaan dikontrol oleh

50
pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi
kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer
dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki
beberapa implikasi. Implikasi pertama, Pemerintah Pusat perlu
membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah
dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting
untuk memastikan daerah mampu menjamin semua warga
dimanapun mereka tinggal mampu mengakses volume dan
kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas
dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen
yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen pada tingkat
nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk
menjalankan pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan
sumber-sumber lain di tingkat nasional maka pemerintahan
daerah harus juga akuntabel pada stakeholders pada tingkat
nasional. Daerah memiliki akuntabilitas ganda, stakeholders di
daerah dan nasional.

Keenam, keberhasilan desentralisasi membutuhkan adanya


konsistensi dalam keseluruhan aspek kebijakan dan
implementasinya. Dalam aras kebijakan, konsistensi diperlukan
antar peraturan perundangan yang mengatur tentang
penyelenggaraan pemerintahan dengan peraturan perundangan
yang mengatur kegiatan-kegiatan kementrian dan lembaga.
Undang-undang tentang pemerintahan daerah harus menjadi arah
kebijakan yang menjiwai dan menjadi pedoman bagi pembentukan
undang-undang sektoral. Ketidakharmonisan antara undang-
undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan
undang-undang sektoral dapat menciptakan kebingungan aktor-
aktor di pusat dan daerah. Sebagaimana pengalaman di negara-
negara lainnya, ketidakharmonisan undang-undang bukan hanya

51
akan menimbulkan kekaburan terhadap subtansi peraturan
perundang-undangan tetapi juga akan mempersulit pelaksanaan
dari desentralisasi itu sendiri. Kekaburan dalam isi kebijakan
akan mendorong munculnya mis-intepretasi dan distorsi
kebijakan yang tidak perlu dan dapat menjauhkan kebijakan
desentralisasi dari nilai-nilai yang akan diwujudkannya.

Dalam aras implementasi, perlu dikembangkan strategi yang


menjamin pelaksanaan desentralisasi benar-benar sesuai dengan
semangat yang dimiliki dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan undang-undang
pemerintahan daerah harus diikuti dengan pembentukan
peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan semangat
pembentukan undang-undang itu sendiri. Konsistensi antara
undang-undang dengan peraturan pelaksanaannya harus dijaga
agar implementasi dari undang-undang itu benar-benar sesuai
dengan semangat dari pembentuk undang-undang. Dengan cara
ini maka distorsi implementasi dapat ditekan seminimal mungkin
sehingga pelaksanaan desentralisasi dapat menciptakan hasil
sebagaimana yang diharapkan.

Ketujuh, pengembangan desentralisasi sebagaimana terjadi


pada negara-negara lainnya membutuhkan ruang politik yang
lebih luas bagi warga untuk terlibat dalam proses politik di aras
lokal. Desentralisasi harus dilakukan secara bersama-sama
dengan demokratisasi pada tingkat lokal sehingga warga dapat
terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut mengontrol
jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Implikasinya,
desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan
pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan
penguatan kelompok masyarakat sipil di daerah sehingga
efektivitas kontrol politik di daerah menjadi semakin effektif.

52
Tanpa penguatan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil
di daerah, desentralisasi hanya akan melahirkan elite captures
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang
merugikan kepentingan warga dan pemangku kepentingan yang
luas.

53
BAB III

MATERI MUATAN UNDANG UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Secara ringkas materi muatan revisi Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 mencakup 22 isu strategis sebagai berikut:

1) Masalah Pembentukan dan Penataan Daerah Otonom


2) Masalah Pembagian Urusan Pemerintahan
3) Masalah Daerah Berciri Kepulauan
4) Masalah Pemilihan Kepala Daerah
5) Masalah Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
6) Masalah Muspida
7) Masalah Perangkat Daerah
8) Masalah Kecamatan
9) Masalah Aparatur Daerah
10) Masalah Peraturan Daerah (Perda)
11) Masalah Pembangunan Daerah
12) Masalah Keuangan Daerah
13) Masalah Pelayanan Publik
14) Masalah Partisipasi Masyarakat
15) Masalah Kawasan Perkotaan
16) Masalah Kawasan Khusus
17) Masalah Kerjasama Antar Daerah
18) Masalah Desa
19) Masalah Pembinaan dan Pengawasan
20) Masalah Tindakan Hukum Terhadap Aparatur Pemerintah
Daerah
21) Masalah Inovasi daerah
22) Masalah DPOD

Secara ringkas isu-isu strategis tersebut sebagaimana terurai


berikut ini:

1) Pembentukan dan Penataan Daerah

Isu penataan daerah telah menjadi perhatian para pemangku


kepentingan karena ekses negatif dari pemekaran daerah
yang sangat masif selama lima tahun terakhir, utamanya
terkait dengan konflik sosial, penurunan kualitas pelayanan,

54
dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan
daerah. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang tidak
terkendali dikawatirkan akan membuat penyelenggaraan
pemerintahan menjadi tidak efisien dan efektif.

Isu sentral terkait dengan pembentukan DOB yang


tidak terkendali adalah masalah pendanaannya. Kalau
dicermati kompisisi APBD khususnya kabupaten/kota
sekarang ini menunjukkan hampir 90% tergantung dari dana
perimbangan, hanya sekitar 8% yang berasal dari pendapatan
asli daerah. Fakta lainnya dari dana perimbangan adalah
sekitar 70% berbentuk DAU. Ini berarti setiap pembentukan
DOB akan memposisikan DOB tersebut sebagai pembagi
dalam formula DAU yang berlaku sekarang ini. Kecepatan
pertambahan DOB melampaui kecepatan tambahan
penerimaan DAU. Akibatnya kalau tidak dicermati secara
hati-hati, maka pertambahan DOB akan mengurangi jumlah
DAU yang selama ini diterima oleh daerah-daerah yang sudah
ada.

Upaya untuk mengendalikan pembentukan DOB telah


dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007 mengatur tentang prosedur dan
persyaratan pembentukan DOB sedangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 mengatur tentang evaluasi
kinerja daerah otonom dan implikasinya terhadap
penggabungan daerah. Namun, peraturan pemerintah
tersebut sering kurang efektif untuk digunakan
mengendalikan pembentukan DOB karena perbedaan
intepretasi tentang kewenangan pembentukan DOB yang

55
muncul dari intepretasi terhadap Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan.
Pembentukan DOB melalui undang-undang dapat ditafsirkan
bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif
dalam pembentukan DOB. Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 akan mengatur mekanisme pembentukan DOB
agar pembentukan tersebut jangan membebani daerah yang
sudah ada.

2) Pembagian Urusan Pemerintahan

Pembagian urusan pemerintahan menjadi isu yang strategis


karena implikasi dari ketidakjelasan dalam pembagian
urusan sangat luas, tidak hanya menyangkut hubungan
antar susunan pemerintahan tetapi juga antara
kementerian/lembaga dengan pemerintahan daerah.
Ketidakjelasan pembagian urusan sering memicu konflik
antar susunan pemerintahan karena menimbulkan perebutan
kewenangan diantara mereka. Lebih dari itu, ketidakjelasan
pembagian urusan juga mendorong terjadi tumpang tindih
dan duplikasi urusan pemerintahan sehingga menimbulkan
masalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Pusat telah


menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
yang berusaha merinci urusan desentralisasi kedalam urusan
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun,
peraturan pemerintah tersebut masih menyisakan persoalan
terkait dengan ketidakjelasan konsep skala provinsi dan skala
kabupaten/kota yang dipergunakan untuk mendefinisikan
urusan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam praktek

56
pembagian urusan dengan memakai skala menyebabkan
tidak jelasnya batas-batas urusan khususnya yang
menyangkut kewenangan provinsi dan kabupaten/kota atas
urusan tersebut. Pada sisi lain kelambatan untuk
menerbitkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
dari kementerian/lembaga di pusat untuk dijadikan pedoman
bagi daerah untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah ikut menambah keruwetan
pelaksanaan urusan tersebut.

3) Masalah Daerah Berciri Kepulauan

Isu daerah berciri kepulauan berkaitan erat dengan tingginya


biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah di daerah
kepulauan tersebut. Ciri utama dari daerah kepulauan adalah
ketika luas laut jauh melampaui luas daratan yang menjadi
wilayah daerah tersebut. Untuk percepatan pembangunan
daerah berciri kelautan tersebut maka perlu pemberian
penugasan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadui kewenangan Pemerintah Pusat kepada daerah
melalui mekanisme tugas pembantuan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan dalam perumusan formula dana
perimbangan untuk daerah-daerah berciri kepulauan
tersebut.

4) Masalah Pemilihan Kepala Daerah

Walaupun isu pemilihan kepala daerah akan diatur dalam


undang-undang tersendiri, namun rambu-rambu dasar
pengaturannya tetap diatur dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah. Permasalahan utama dalam pemilihan
kepala daerah adalah biayanya yang sangat mahal dan
terjadinya ketidakharmonisan antara kepala daerah dengan

57
wakilnya yang bermuara kepada terkotak-kotaknya PNS yang
bekerja di daerah. Revisi undang-undang ini mengatur
bagaimana masalah tersebut dapat diatasi. Secara detail
pengaturan pemilihan kepala daerah dari pencalonan sampai
penetapan pemenang akan diatur dalam undang-undang
tentang pemilihan kepala daerah.

5) Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Masalah utama dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor


32 Tahun 2004 adalah lemahnya supervisi, monitoring,
evaluasi dan fasilitasi terhadap daerah. Adalah sangat sulit
untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan
(binwas) dengan hanya mengandalkan Pemerintah Pusat.
Oleh karena itu khusus untuk kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta fasilitasi terhadap kabupaten/kota akan
diatur melalui peningkatan peran gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.

Sedikitnya akan ada tiga dimensi yang akan diperankan


oleh gubernur sebagai wakil pusat yaitu dalam aspek
kebijakan, kepegawaian dan keuangan dari kabupaten/kota
yang ada dalam wilayah kerjanya untuk menciptakan sinergi
antar tingkatan dan susunan pemerintahan.

6) Masalah Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida)

Isu Muspida adalah suatu forum yang secara de facto ada


namun dari sisi landasan hukum tidak dasar pengaturannya.
Dimasa lalu dasar hukum Muspida diatur dalam peraturan
yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974. Namun ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 isu
muspida tidak diatur lagi dan juga tidak diatur dalam

58
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam tataran
realitas, eksistensi muspida masih ada sebagai forum
komunikasi antar pimpinan daerah yang umumnya terdiri
dari unsur pemerintahan daerah, unsur TNI, unsur Polri dan
unsur Kejaksaan. Permasalahan muncul ketika menyangkut
aspek pembiayaan. Tidak adanya payung hukum yang
mengatur Muspida telah menyebabkan setiap pengeluaran
biaya untuk menunjang kegiatan Muspida akan menjadi
temuan dari aparat pemeriksa.

Mengingat keberadaan Muspida masih dianggap perlu


untuk menggalang soliditas dari penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, maka sudah seyogyanya realitas
keberadaan Muspida ada payung hukumnya. Revisi undang-
undang ini akan mengatur payung hukum yang realistis dan
obyektif untuk menunjang keberadaan Muspida yang secara
de facto ada dan masih sangat diperlukan dalam mendukung
jalannya roda pemerintahan daerah.

7) Masalah Kepegawaian Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai


ekses negatif yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan
perangkat perundangan yang ada. Fragmentasi spasial dalam
kepegawaian yang semakin tinggi dan rigid, politisasi
birokrasi, dan menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam
manajemen kepegawaian berbasis pada etnis, agama, dan
putra daerah telah menimbulkan gangguan pada
pengembangan aparatur yang profesional. Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 dan peraturan pemerintah yang ada
belum mampu menjawab secara efektif berbagai masalah

59
tersebut dan pengaturan yang jelas dan tegas diperlukan
untuk mendorong daerah membentuk aparatur yang
profesional.

8) Masalah Perangkat Daerah

Pembaharuan pengaturan tentang perangkat dan aparatur


daerah perlu diperlukan untuk memperkuat profesionalisme
dan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Pembengkakan perangkat daerah telah menimbulkan beban
yang sangat besar pada APBD sehingga sekitar 70-80%
tersedot untuk pembiyaan birokrasi dan aparatur daerah. Isu
penting lainnya dalam perangkat daerah adalah kedudukan
kecamatan dan hubungannya dengan SKPD lainnya yang
berbasis pada sektor. Sebagai SKPD yang berbasis
kewilayahan, Kecamatan belum memiliki fungsi yang jelas.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 belum mengatur tentang
fungsi pelayanan publik yang dapat dilimpahkan kepada
kecamatan.

9) Masalah Kecamatan

Masalah kecamatan berpangkal dari berubahnya posisi camat


dari kepala wilayah dimasa sebelum reformasi menjadi
perangkat daerah kabupaten/kota setelah reformasi. Selama
ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur
kewenangan yang bersifat atributif dari camat, sedangkan
kewenangan delegatif dari bupati/walikota sifatnya fakultatif.
Revisi ini akan menegaskan adanya kewenangan delegatif
kepada camat oleh bupati/walikota dengan memperhatikan
karakter dari kecamatan tersebut apakah berciri perkotaan,
pedesaan, pedalaman, pesisir atau bahkan kepulauan.

60
Dengan demikian camat akan mempunyai kewenangan yang
jelas sebagai satuan kerja perangkat daerah. Kewenangan
yang jelas akan terlaksana dengan dukungan pendanaan
yang jelas juga melalui prinsip ”money follow function”.

10) Masalah Peraturan Daerah (Perda)

Banyaknya Perda dan rancangan Perda yang bermasalah


sering menimbulkan reaksi publik yang luas. Ketidakpuasan
warga dan pemangku kepentingan terhadap Perda sudah
jamak terjadi dan memperlukan pengaturan yang jelas dan
efektif. Dalam bidang keuangan daerah, tahun 2008
Kementerian Keuangan membatalkan lebih dari 2000 Perda
dari sekitar 7200 Perda tentang pajak dan retribusi, karena
dinilai bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi. Dalam bidang lainnya, muncul banyak perda
yang bias gender dan mengancam wawasan kebangsaan.
Dalam konteks desentralisasi sekarang ini, polemik muncul
tentang siapa yang memiliki kewenangan melakukan review
terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah,
pemerintahan yang lebih tinggi (executive review) atau
lembaga peradilan (judicial review)?

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengatur


dengan jelas tentang proses pembentukan Perda, termasuk
keharusan adanya partisipasi masyarakat dalam
pembentukan Perda. Namun, aturan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 belum secara efektif
mampu menangkal munculnya Perda yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih
tinggi. Terbukti dengan munculnya banyak Perda
bermasalah. Pembatalan Perda bermasalah melalui peraturan

61
Presiden juga dinilai tidak sesuai mengingat besaran jumlah
Perda yang harus ditinjau ulang sangat besar. Penguatan
pengaturan tentang pembentukan peraturan daerah perlu
dilakukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, namun hendaknya pengaturan baru tersebut tidak
bertentangan dan mengulang hal yang sudah diatur dalam
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

11) Masalah Pembangunan Daerah

Persoalan yang mendasar dalam perencanaan pembangunan


daerah adalah inkonsistensi antara Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
dalam mendefinisikan dokumen dan basis legalitas dari
dokumen perencanaan daerah. Perbedaan tersebut sering
menyulitkan daerah dalam menyelenggarakan kegiatan
perencanaan daerah. Isu lainnya adalah tentang instrumen
yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi antara
perencanaan pembangunan daerah dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang RJPN dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Untuk mengatasi
kesulitan ini maka duplikasi dan inkonsistensi antara
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dihilangkan. Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 perlu diarahkan untuk
mengatur mengenai proses dan dokumen perencanaan
daerah sedangkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 mengatur tentang kelembagaan dan manajemen dari
perencanaan daerah. Terkait dengan manajemen
perencanaan daerah adalah perlunya mengatur kewajiban
daerah mengumpulkan, memperbaharui, dan mengelola data

62
dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan daerah.
Tidak tersedianya data membuat kualitas perencanaan
daerah cenderung buruk.

Masalah yang perlu diatasi dalam masalah


pembangunan adalah belum adanya sinergi antara
perencanaan pembangunan antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Masing-masing cenderung jalan sendiri-
sendiri sesuai visi dan misi dari kepala daerah terpilih yang
kalau tidak dicarikan solusinya malah akan menciptakan
tumpang tindih atau bahkan tabrakan kegiatan
pembangunan karena perbedaan kepentingan dari daerah-
daerah yang bersangkutan.

Revisi ini akan mengatur sinergi pembangunan antara


pusat dan daerah dan antara provinsi dengan
kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut melalui
mekanisme pemetaan urusan, kelembagaan dan
pendanaannya. Dengan sinergi tersebut diharapkan akan
tercapai target-target nasional yang selama ini sulit untuk
terealisir karena kepentingan yang berbeda antar tingkatan
dan susunan pemerintahan.

12) Masalah Keuangan Daerah

Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan publik


menjadi salah isu yang penting dan perlu memperoleh
pengaturan yang jelas. Manfaat desentralisasi hanya dapat
dirasakan oleh masyarakat ketika desentralisasi membuat
daerah mampu mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk
pelayanan publik. Namun, data menunjukkan bahwa 70-80%
anggaran daerah dihabiskan untuk belanja pegawai dan
operasional birokrasi pemerintah daerah.

63
Besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai yang
menjadi salah satu variabel penting untuk menentukan
alokasi dasar dari DAU menjadi salah satu faktor yang
mendorong pembengkakan pegawai di daerah. Pengeluaran
belanja pegawai yang sangat besar membuat masyarakat di
daerah tidak dapat menikmati manfaat dari pelaksanaan
otonomi daerah. Isu lainnya adalah perlunya penguatan
peran gubernur sebagai budget optimizer dalam alokasi DAK.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjadi
intermediaries pencapaian tujuan Pemerintah Pusat dengan
meningkatkan relevansi program-program pemerintah di
daerah. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 belum mengatur dengan jelas peran
gubernur sebagai budget optimizer. Revisi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur peran gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menjadi budget
optimizer dalam alokasi DAK.

13) Pelayanan Publik

Pelayanan publik menjadi isu penting dalam penyelenggaraan


pemerintahan daerah. Namun, sayangnya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 belum mengatur sama sekali tentang
penyelengaraan pelayanan publik di daerah. Beberapa
masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti:
belum diterapkannya standar pelayanan minimal untuk
pelayanan dasar, belum adanya standar penyelenggaraan
pelayanan yang mengatur hak dan kewajiban pengguna dan
penyelenggara, mekanisme penyampaian keluhan dan
penyelesaian sengketa, penting untuk diatur dalam revisi

64
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan membuat
pengaturan yang jelas tentang penyelenggaraan pelayanan
publik di daerah diharapkan pelaksanaan desentralisasi
dapat mempercepat tercapainya perbaikan kualitas pelayanan
publik. Namun, pengaturan tentang penyelenggaraan
pelayanan publik oleh daerah harus disinkronkan dengan
undang-undang pelayanan publik sehingga tidak terjadi
tumpang-tindih dan inkonsistensi dalam pengaturan tentang
pelayanan publik di daerah.

14) Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat menjadi salah satu isu strategis


karena partisipasi menjadi salah satu kondisi yang perlu agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berhasil dengan
baik. Keberhasilan desentralisasi menuntut adanya
keterlibatan masyarakat di daerah dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan seperti dalam proses
pembentukan peraturan daerah, penyusunan perencanaan
daerah, perumusan APBD, dan penyelenggaraan pelayanan
publik. Dengan keterlibatan masyarakat yang semakin tinggi
maka berbagai kebijakan pembangunan daerah tersebut akan
dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat luas.
Partisipasi masyarakat juga diperlukan agar mereka dapat
ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Namun, sayangnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Masyarakat, dan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik belum
mengatur dengan jelas mekanisme, cara, dan hak-hak warga
dan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan di

65
daerah. Oleh karena itu revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 perlu mengatur berbagai hal di atas dengan
jelas.

15) Kawasan Perkotaan

Belum adanya pengaturan yang memadai tentang kawasan


perkotaan, membuat pertumbuhan kawasan perkotaan yang
sangat pesat kurang dapat dioptimalkan untuk kepentingan
masyarakat luas dan pemerintah daerah. Munculnya
kawasan perkotaan baru yang berdampingan dengan
kawasan perdesaan, sebagai akibat dari maraknya industri
perumahan, menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan
pemerintahan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah
daerah. Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang
perkotaan dan kelembagaan yang mengurus kawasan
tersebut sering membuat pemerintah daerah gagal mengelola
kawasan perkotaan untuk kepentingan publik. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang belum mengatur tentang
kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan.
Kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009. Namun,
peraturan pemerintah tersebut belum mengatur tipologi kota
yang sangat bervariasi, utamanya dilihat dari jumlah
penduduknya, dan implikasinya terhadap bentuk
kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Beberapa
pengaturan yang relevan dalam peraturan pemerintah
tersebut dan implikasinya terhadap kelembagaan pengelolaan
kawasan perkotaan perlu dimasukan dalam revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004.

66
16) Kawasan Khusus

Pengembangan kawasan khusus untuk mengelola fungsi-


fungsi khusus tertentu dalam rangka kepentingan nasional
strategik belum diatur secara memadai dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kebutuhan pengaturan
kawasan khusus sekarang ini sangat mendesak terkait
dengan kebutuhan adanya kawasan ekonomi khusus,
kawasan perbatasan, kawasan purbakala, kawasan latihan
perang, kawasan taman laut, kawasan hutan lindung dan
kawasan-kawasan khusus lainnya. Undang-undang sektoral
dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal ini
seperti Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun1999 tentang
Konservasi Hutan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
dan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan
Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengatur hubungan
kelembagaan antara kawasan khusus dengan pemerintah
daerah. Konflik yang sering terjadi terkait dengan pengelolaan
kawasan khsusus disebabkan karena pengaturan tentang
hubungan lembaga pengelola kawasan khusus dengan daerah
kurang diatur dengan jelas. Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 perlu mengatur tentang pengelolaan kawasan
khusus dan hubungannya dengan pemerintahan daerah.

17) Masalah Kerjasama antar Daerah

Salah satu tujuan otonomi daerah adalah menciptakan


kesejahteraan di tingkat lokal yang nantinya secara agregat
akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional.
Kesejahteraan masyarakat sangat terkait dengan kualitas dan

67
kuantitas pelayanan publik yang dinikmati masyarakat.
Dalam penyediaan pelayanan publik untuk masyarakat
sangat terkait dengan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan suatu daerah. Sering pelayanan publik yang
disediakan oleh suatu daerah menciptakan dampak kepada
daerah tetangganya. Untuk mencapai efisiensi dalam
pelayanan publik tersebut, maka kerjasama antar daerah
sangat mutlak diperlukan untuk menciptakan sinergi dan
efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik tersebut.

Dalam tataran praktek sering daerah-daerah yang


kegiatannya menciptakan ekternalitas ke daerah lainnya
tidak mau bekerjasama dan bahkan ada kemungkinan saling
membuat kebijakan yang sering menciptakan kerugian bagi
daerah lainnya. Untuk itu diperlukan adanya mekanisme
yang memaksa daerah tersebut untuk bekerjasama demi
menciptakan pemerintahan daerah yang berdaya guna dan
berhasil guna. Revisi undang-undang ini akan mengatur
adanya kewajiban bagi daerah-daerah tersebut untuk
bekerjasama dengan pendekatan pemberian insentif bagi yang
melakukan dan dis-insentif bagi daerah-daerah yang menolak
kerjasama tersebut.

18) Masalah Desa

Salah satu keputusan politik yang diambil oleh Pemerintah


Pusat dan DPR adalah mengatur desa dalam undang-undang
tersendiri. Namun demikian undang-undang tentang
pemerintahan daerah akan tetap mengatur rambu-rambu
atau kisi-kisi tentang pengaturan desa dan kemudian secara
teknis diatur lebih lanjut dalam undang-undang tentang
desa.

68
Salah satu rambu yang sangat penting dalam konteks
pengaturan desa adalah kewenangan desa atas urusan
pemerintahan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 18 B UUD
1945 secara eksplisit diatur bahwa desa diakui
keberadaannya dan berwenang mengatur dan mengurus
urusan-urusan yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan sistem
pemerintahan yang ada. Pada sisi lain ketentuan Pasal 18
UUD 1945 secara jelas telah mengatur bahwa otonomi daerah
hanya terdapat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Implikasinya terhadap pengaturan desa adalah bahwa desa
tersebut masuk dalam kategori ”community self government”
atau pemerintahan yang berbasis komunitas mengerjakan
hal-hal yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi dan
bukan ”local self government” sebagaimana layaknya
tingkatan provinsi dan kabupaten/kota. Setiap urusan
pemerintahan daerah yang masuk domain otonomi daerah
provinsi maupun kabupaten/kota yang dikerjakan oleh desa
dilaksanakan melalui mekanisme pelimpahan atau
pendelegasian dengan pembiayaan yang jelas dan petunjuk
pelaksanaan yang jelas dari tingkatan pemerintahan yang
menugaskan. Mengingat undang-undang tentang Desa akan
diatur tersendiri, maka dalam revisi UU 32/2004 hanya
mengatur introduksinya saja dan selebihnya secara detail
akan diatur dalam undang-undang tentang Desa.

19) Masalah Pembinaan dan Pengawasan (Binwas)

Salah satu masalah mendasar yang menghambat efektifitas


pemerintahan daerah adalah kurang jelasnya mekanisme
pembinaan dan pengawasan (Binwas). Dalam koridor

69
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak terdapat
mekanisme yang jelas dan tegas mengenai Binwas terhadap
daerah kementerian dan lembaga pusat juga tidak
mempunyai pegangan hukum yang jelas dalam melakukan
pembinaan terhadap daerah. Daerah merasa bahwa kalau
sudah otonomi, maka Pemerintah Pusat tidak punya hak lagi
melakukan Binwas ke daerah. Aparat pusat sering juga
berargumen bahwa suatu urusan yang telah diotonomikan
tidak memungkinkan lagi instansi pusat melakukan
pengawasan ke daerah.

Tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan


ada ditangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Mengingat Presiden memegang tanggung jawab akhir maka
sudah seyogyanya Presiden mempunyai kewenangan untuk
melakukan Binwas kepada daerah yang bertanggung jawab
melaksanakan sebagian kekuasaan Presiden yang
diotonomikan tersebut. Presiden dibantu oleh menteri-
menteri yang bertanggung jawab atas satu urusan
pemerintahan. Berdasarkan ketentuan tersebut sangat logis
kalau menteri mempunyai kewenangan untuk melakukan
binwas kepada daerah. Revisi undang-undang ini akan
mengatur pembagian tugas Binwas antara Menteri Dalam
Negeri dengan menteri teknis dalam melakukan binwas
terhadap daerah. Termasuk didalamnya kejelasan mengenai
peran gubernur selaku wakil pusat untuk melakukan binwas
terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.

70
20) Masalah Tindakan Hukum terhadap Aparatur Daerah

Aparat daerah sering merasa ragu-ragu untuk bertindak


karena takut melanggar ketentuan yang ada. Keraguan
bertindak tersebut akan merugikan masyarakat ketika aparat
daerah enggan untuk melaksanakan proyek-proyek terkait
dengan penyediaan barang dan jasa untuk keperluan
penyediaan pelayanan publik karena ketakutan akan
tersangkut pelanggaran hukum. Inilah satu penyebab dari
rendahnya penyerapan anggaran yang pada gilirannya akan
menyebabkan membengkaknya Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran (SILPA) daerah. Kondisi tersebut jelas tidak
menguntungkan perekonomian daerah yang akan berimbas
kepada perekonomian nasional ditengah persaingan akibat
globalisasi yang semakin menuntut kecepatan bertindak.

Revisi undang-undang ini akan mengatur melalui


mekanisme aparat pengawas internal pemerintah yang dalam
hal ini adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) untuk berperan sebagai ”clearing house” untuk
menentukan apakah suatu pelanggaran yang disangkakan
terhadap aparat daerah tersebut masuk dalam ranah
administrasi (non yustisia) atau ranah pidana (pro yustisia).
Pengaturan tersebut akan memberi kepastian hukum bagi
aparat daerah untuk tidak ragu-ragu bertindak sepanjang
koridor hukum positif yang berlaku.

21) Masalah Inovasi Daerah

Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang diskresi dan


inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik di daerah sering
membuat mereka tidak berani melakukan tindakan yang
inovatif, yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan

71
umum dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat.
Untuk itu revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu
menambahkan pengaturan tentang inovasi daerah yang dapat
dilakukan oleh pejabat publik sejauh tindakan mereka tidak
menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik
kepentingan, dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan
umum.

Perlu adanya pengaturan secara spesifik diskresi yang


diambil pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi
dalam pelayanan publik, terutama di daerah. Desentralisasi
pemerintahan telah menuntut pejabat pemerintahan daerah
melakukan inovasi dan karena pengaturan tentang inovasi di
daerah perlu dimasukan dalam undang-undang
pemerintahan daerah.

22) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Keberadaan DPOD selama ini banyak dipersoalkan karena


fungsinya yang tidak jelas. Sebagai salah satu lembaga yang
bertugas memberi rekomendasi kepada Presiden terkait
dengan kebijakan otonomi daerah, DPOD dinilai kurang
efektif dalam menjalankan perannya karena gagal mencegah
munculnya kebijakan sektoral yang dinilai tidak konsisten
dengan undnag-undang pemerintahan daerah. DPOD juga
dinilai kurang mampu berperan dalam pengendalian
pembentukan DOB. Ketidakoptimalan peran DPOD
disebabkan oleh ketidakjelasan pemisahan peran DPOD
sebagai advisory body dan clearing house untuk perumusan
kebijakan otonomi daerah. Sebagai lembaga yang bertugas
melakukan kajian terhadap proposal pembentukan DOB dan
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah,

72
DPOD tidak didukung oleh sebuah think tank yang memadai.
Akibatnya, DPOD sering mengalami kesulitan untuk memberi
rekomendasi yang jelas kepada Presiden ketika dihadapkan
pada pilihan kebijakan yang kompleks dan dilematis.

Disamping dari sisi otoritas akan sulit bagi Menteri


Dalam Negeri untuk mengkordinir kementerian-kementerian
lainnya yang menjadi anggota DPOD. Untuk itu maka DPOD
perlu dipimpin oleh pejabat publik dengan otoritas diatas
menteri yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan
ketika terjadi masalah-masalah yang terkait dengan konflik
antara kementerian dengan daerah otonom.

73
BAB IV

DASAR PEMIKIRAN, PERMASALAHAN, ANALISIS,


DAN USUL PENYEMPURNAAN

4.1 Umum
Sebelum melakukan analisis atas setiap isu strategis yang menjadi
substansi revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
maka berikut ini adalah dasar-dasar pemikiran yang
dikembangkan dalam revisi dan yang melatar belakangi analisis
dan usulan perubahan yang akan dilakukan dalam revisi tersebut.

(1) Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah

Pengaturan ketata-negaraan Negara Kesatuan Republik


Indonesia mengacu kepada UUD 1945 sebagai hukum dasar
yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi seluas-
luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis
globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Merujuk kepada Pembukaan UUD 1945, hubungan Pemerintah


Pusat dengan Pemerintahan Daerah dapat dirunut dari alinea
ketiga dan alenia keempat. Alinea ketiga memuat pernyataan

74
bahwa bangsa Indonesia atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa menyatakan kemerdekaannya. Sedangkan alinea keempat
memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan
kemerdekaannya, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah
Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung
jawab mengelola bangsa Indonesia yang baru menyatakan
kemerdekaannya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas
Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa
dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan kedilan sosial.

Alinea keempat mengindikasikan dianutnya paham negara


kesatuan dengan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia
sebagai langkah awal dari Negara Indonesia yang baru merdeka
tersebut. Dalam konteks negara kesatuan, Pemerintah Nasional
atau Pemerintah Pusat yang dibentuk terlebih dahulu baru
kemudian Pemerintah Pusat membentuk pemerintah daerah.

Konsekuensi logis dari konsep negara kesatuan adalah


kekuasaan pemerintahan ada ditangan Pemerintah Pusat.
Karena UUD 1945 juga mengamanatkan dianutnya kebijakan
desentralisasi, maka sebagian kekuasaan pemerintahan tersebut
diserahkan ke daerah dengan semangat otonomi yang seluas-
luasnya. Namun betapapun luasnya otonomi yang diberikan ke
daerah, tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.

Dalam konsep Negara Kesatuan, kekuasaan Legislatif, Eksekutif


dan Yudikatif secara komprehensif menjadi kewenangan
penyelenggara pemerintahan negara di tingkat pusat. Kekuasaan

75
eksekutif dalam arti kekuasaan pemerintahan ada ditangan
Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945. Kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden
tersebut yang kemudian sebagian diserahkan ke daerah. Dengan
demikian pemerintah daerah menyelenggarakan sebagian
kekuasaan pemerintahan yang menjadi domain kewenangan
Presiden.

Mengingat tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan


pemerintahan ada ditangan Presiden, maka pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya berada dibawah pembinaan dan pengawasan
Presiden agar pemerintah daerah berjalan secara harmonis,
selaras dan sinergis dengan kebijakan nasional yang menjadi
tanggung jawab Presiden sebagai kepala pemerintahan nasional.
Dalam konteks negara kesatuan hubungan Pemerintah Pusat
dan pemerintah daerah adalah hirarkhis. Artinya pemerintah
daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
domain kewenangan Presiden berada dibawah pengawasan dan
pembinaan Presiden. Presiden dibantu oleh menteri-menteri
yang berdasarkan UUD 1945 mendapat pelimpahan dari
Presiden untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
tertentu. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
menteri tersebut yang kemudian sebagian diserahkan ke daerah
untuk menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
mengatur dan mengurusnya.

Dalam konteks negara kesatuan betapapun luasnya otonomi


daerah atau urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah,
kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur dan
mengurus tetap dalam batas-batas koridor kebijakan nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah

76
dalam merumuskan kebijakan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan nasional. Hal ini dimaksudkan agar tercipta
sinergi dan keserasian antara kebijakan Pemerintah Pusat
dengan pemerintahan daerah.

Agar tercipta sinergi penyelenggaraan urusan pemerintahan


antara kementerian dengan pemerintahan daerah, Presiden
melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
bertindak selaku kordinator dari kementerian atau lembaga
pemerintah non kementerian yang sebagian urusannya
diserahkan ke daerah. Kementerian yang kewenangannya
diserahkan kepada daerah berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis kepada
pemerintahan daerah, sedangkan Kementerian Dalam Negeri
melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum.
Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan
harmonisasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dengan
pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan secara keseluruhan.

(2) Pemerintahan Daerah

Langkah pertama dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi


adalah dibentuknya daerah otonom dan langkah berikutnya
adalah diserahkannya sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden untuk menjadi urusan
pemerintahan dari daerah otonom tersebut. Pada dasarnya
otonomi daerah diberikan kepada rakyat daerah sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang menempati suatu wilayah
dengan batas-batas tertentu yang ditetapkan berdasarkan
hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingannya

77
sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Rakyat
daerah kemudian memilih kepala daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) untuk mewakili kepentingan rakyat yang
bersangkutan untuk mengelola urusan pemerintahan tersebut.

Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang


terdiri dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif,
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh kepala
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang masing-
masing direkrut melalui proses pemilihan. Kepala daerah dipilih
rakyat melalui proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dipilih rakyat melalui proses Pemilihan Umum.

Kepala daerah dan DPRD yang kemudian menjalankan mandat


rakyat daerah tersebut untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada
rakyat daerah. Dengan demikian baik kepala daerah maupun
DPRD sama-sama berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Dengan dibantu oleh pegawai negeri sipil
yang bertugas di daerah yang tergabung dalam perangkat
daerah, Kepala daerah dan DPRD mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Kepala
daerah menjalankan fungsi eksekutif yaitu melakukan eksekusi
atau pelaksanaan atas peraturan-peraturan daerah yang dibuat
atas persetujuan bersama dengan DPRD yang menjalankan
fungsi legislatif daerah. Disamping mempunyai fungsi legislatif
daerah, DPRD juga melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
kepala daerah dalam melaksanakan peraturan daerah dan
kebijakan daerah lainnya. Disamping melaksanakan fungsi
legislatif daerah dan fungsi pengawasan, DPRD juga
melaksanakan fungsi anggaran yaitu membahas dan

78
menetapkan rancangan anggaran daerah yang dibuat oleh pihak
eksekutif daerah. Melalui mekanisme tersebut terbentuk
hubungan kemitraan yang seimbang atau mekanisme checks
and balances antara kepala daerah dan DPRD.

(3) Pembagian Urusan Pemerintahan

Dalam pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah


Pusat dan pemerintahan daerah, sebagaimana ditentukan dalam
UUD 1945, ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya harus
tetap ditangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan
yang menyangkut eksistensi bangsa dan Negara yang kalau
diserahkan ke daerah berpotensi menimbulkan dis-integrasi
bangsa dan negara. Urusan yang tidak di desentralisasikan ke
daerah adalah urusan pertahanan, keamanan, politik luar
negeri, moneter dan fiskal nasional, yustisi serta agama. Keenam
urusan pemerintahan tersebut merupakan urusan nasional yang
secara keseluruhan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Urusan pemerintahan lainnya diluar keenam urusan


pemerintahan tersebut pada dasarnya dapat dibagi antara
Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks
otonomi daerah yang seluas-luasnya, konsekuensi logisnya
adalah bahwa semua urusan pemerintahan selain keenam
urusan pemerintahan yang absolut menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, pada dasarnya di desentralisasikan ke daerah.
Namun dalam konteks negara kesatuan tidak ada satu
urusanpun yang sepenuhnya dapat diserahkan ke daerah. Akan
selalu terdapat bagian urusan pemerintahan yang masih tetap
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dan ada bagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

79
Ada prinsip konkurensi yang dianut dalam pelaksanaan setiap
urusan pemerintahan yang di desentralisasikan. Adapun yang
membedakannya adalah pada skala wilayah dimana urusan
pemerintahan tersebut dilaksanakan. Pemerintah Pusat
berwenang melaksanakan urusan pemerintahan tersebut pada
skala wilayah nasional dan internasional; Pemerintahan daerah
provinsi pada skala wilayah provinsi atau lintas kabupaten/kota
dalam wilayah provinsi yang bersangkutan. Sedangkan
Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang melaksanakan
urusan pemerintahan tersebut pada skala wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam penetapan


kebijakan nasional untuk menjaga harmonisasi, sinkronisasi dan
sinergi antara Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah
dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan
daerah kabupaten/kota sebagai satu kesatuan dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping
menetapkan kebijakan nasional, dalam urusan pemerintahan
yang di desentralisasikan, Pemerintah Pusat juga masih
berwenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
menimbulkan dampak atau eksternalitas yang bersifat nasional
(lintas provinsi) dan internasional (lintas negara).

Ada tiga kriteria yang dijadikan pedoman dalam pembagian


urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan
pemerintahan daerah yaitu ekternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi. Pengertian eksternalitas terkait dengan dampak yang
ditimbulkan dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan. Ini
berarti bahwa tingkatan pemerintahan yang terkena dampak dari
urusan pemerintahan tersebut yang berwenang atas urusan
tersebut. Sedangkan kriteria akuntabilitas dimaksudkan untuk

80
menentukan bahwa tingkatan pemerintahan yang paling dekat
dengan dampak tersebutlah yang berwenang atas urusan
pemerintahan termaksud. Kriteria akuntabilitas dimaksudkan
untuk menjawab tuntutan demokrasi yaitu mendekatkan
pemerintah kepada rakyat sehingga meningkatkan akuntabilitas
pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi ditujukan untuk
mengakomodasikan tuntutan globalisasi yaitu mendorong
pemerintahan yang efisien dan berdaya saing. Kriteria
eksternalitas dan akuntabilitas dimaksudkan untuk
mengakomodasikan tuntutan demokrasi sedangkan kriteria
efisiensi untuk memenuhi tuntutan ekonomis yaitu menciptakan
pemerintahan yang efisien dan berdaya saing.

Selama satu dekade pelaksanaan otonomi daerah, ternyata


pembagian urusan pemerintahan yang berdampak ekologis sulit
untuk dibagi khususnya antara daerah provinsi dengan daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan seperti kehutanan dan
kelautan sering dalam praktek dibagi berdasarkan batas-batas
administrasi pemerintahan sedangkan urusan-urusan
pemerintahan tersebut pengelolaannya akan lebih efektif dan
efisien dikelola berdasarkan pendekatan ekologis yang sering
tidak sesuai dengan batas-batas administrasi pemerintahan.
Demikian juga halnya dalam pengelolaan laut yang berbasis 4
mil untuk kabupaten/kota dan 4 mil sampai 12 mil untuk
provinsi, dalam realitas sering banyak menimbulkan
permasalahan sehingga mengganggu efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang kelautan. Untuk kelancaran
jalannya pemerintahan daerah, maka kewenangan pengelolaan
urusan pemerintahan yang berdampak ekologis akan lebih efektif
diserahkan ke tingkat provinsi. Namun untuk menjamin
keadilan, kabupaten/kota mendapatkan bagi hasil dari

81
penerimaan yang dihasilkan dari penyelenggaraan urusan
tersebut.

(4) Urusan Pemerintahan Umum

Disamping urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi


kewenangan Pemerintah Pusat (absolut) dan urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan
pemerintahan daerah (konkuren), dalam realitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kepala daerah sebagai
pimpinan pemerintahan daerah dihadapkan juga dengan
urusan-urusan pemerintahan yang berkaitan dengan empat pilar
bernegara untuk kepentingan menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa di tingkat daerah, memelihara ideologi Pancasila,
menjaga NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Menjaga
kebhinekaan akan terkait dengan menjaga kerukunan beragama,
memfasilitasi berkembangnya kehidupan yang demokratis.
Disamping itu terdapat kebutuhan untuk menyelenggarakan
koordinasi dengan semua instansi pemerintahan yang ada di
daerah.

Urusan pemerintahan tersebut masuk dalam kategori urusan


pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum tersebut
nyata ada di daerah namun bukan termasuk dalam otonomi
daerah atau tugas suatu instansi Pemerintah Pusat yang ada di
daerah. Urusan pemerintahan umum tersebut merupakan
domain kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak di
desentralisasikan. Di tingkat nasional Presiden adalah
penanggung jawab dari urusan pemerintahan umum tersebut
selaku pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana
dinyatakan dalam konstitusi. Presiden sebagai Kepala
Pemerintahan di tingkat nasional mendelegasikan atau

82
melimpahkan pelaksanaan urusan umum di daerah kepada
kepala daerah. Melalui delegasi atau pelimpahan dari Presiden
tersebut, di tingkat daerah urusan pemerintahan umum menjadi
tanggung jawab dari kepala daerah sebagai kepala pemerintahan
daerah. Di tingkat provinsi menjadi tanggung jawab gubernur
sedangkan di tingkat kabupaten/kota menjadi tanggung jawab
bupati/walikota.

Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut,


untuk kelancaran kordinasi dengan seluruh pimpinan instansi
pemerintahan di daerah, dapat dibentuk Forum Musyawarah
Pimpinan Pemerintahan di Daerah dan kepala daerah selaku
kepala pemerintahan daerah bertindak sebagai koordinatornya.
Karena urusan pemerintahan umum merupakan urusan
pemerintahan yang tidak di desentralisasikan, maka biaya
penyelenggaraan urusan pemerintahan umum tersebut di daerah
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

(5) Hubungan Pemerintahan Daerah Provinsi dengan Pemerintahan


Daerah Kabupaten/Kota

Berdasarkan UUD 1945 ada dua tingkatan daerah yang bersifat


otonom yaitu daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota
dan masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom tersebut. Daerah otonom provinsi diserahi
urusan-urusan pemerintahan yang berskala provinsi atau lintas
daerah kabupaten/kota sedangkan daerah otonom
kabupaten/kota diserahi urusan-urusan pemerintahan skala
kabupaten/kota. Pemerintah Pusat tetap mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang di

83
otonomikan tersebut namun terbatas pada yang berskala
nasional atau lintas daerah provinsi dan berskala internasional
atau yang bersifat lintas negara.

Pemerintah Pusat bertugas untuk menetapkan Norma, Standar,


Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan pedoman bagi
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah tersebut. NSPK tersebut
sekaligus juga mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat
dengan pemerintahan daerah dan juga antara pemerintahan
daerah provinsi dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota
dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Melalui penetapan NSPK dari Pemerintah Pusat yang ditetapkan


oleh masing-masing kementerian atau lembaga Negara non
kementerian akan tercipta kejelasan tugas pokok dan fungsi
masing-masing tingkatan pemerintahan, hubungan antar
tingkatan pemerintahan dan akan terjadi sinerji antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah serta antara
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan suatu urusan
pemerintahan yang di-otonomikan. Dengan demikian akan
tercipta harmonisasi dan sinkronisasi serta terhindar terjadinya
tumpang tindih dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
antara Pusat dengan Daerah dan antara Provinsi dengan
Kabupaten/Kota.

(6) Pengawasan dan Pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah dan


Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat

84
Pemerintah Pusat berkewajiban melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap pemerintahan daerah agar urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah
dapat berjalan secara optimal dalam koridor NSPK yang
ditetapkan Pemerintah Pusat. Pembinaan terhadap
pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah Pusat. Seharusnya Pemerintah Pusat juga
berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Namun mengingat
luasnya wilayah Indonesia, maka sulit bagi Pemerintah Pusat
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara
berdayaguna dan berhasilguna terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk itu maka
Pemerintah Pusat melimpahkan kewenangan untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan tersebut kepada
gubernur.

Dengan demikian Gubernur memegang dua peran yaitu sebagai


kepala daerah otonom provinsi dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur
memegang kewenangan memimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan
sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, gubernur
menjalankan peran Pemerintah Pusat melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Dalam konteks melaksanakan peran sebagai
wakil Pemerintah Pusat, hubungan gubernur dengan
pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat hirarkhis.

Berikut adalah analisis permasalahan dari setiap isu


strategis dimulai dari dasar pemikiran yang melatar belakangi,

85
analisis dan usulan perubahan yang akan diatur dalam revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

4.2 Pembentukan dan Penataan Daerah

4.2.1 Dasar Pemikiran

Pembentukan daerah otonom baru memiliki justifikasi teoritik


yang kuat untuk mendekatkan kekuasaan dengan warganya di
daerah. Jarak yang sangat jauh antara kekuasaan dengan warga
dapat menimbulkan kesan negatif tentang keberadaan pemerintah
dimata warganya. Ketika jarak kekuasaan terlalu jauh, baik fisik
ataupun kejiwaan, maka keberadaan pemerintah menjadi kurang
jelas dan hubungan antara pemerintah dengan warganya menjadi
sangat jauh. Ketika hal itu terjadi maka legitimasi pemerintah
menjadi sering dipertanyakan. Jarak yang jauh membuat
pelayanan pemerintah tidak mudah dijangkau oleh warganya.
Apalagi jika jarak fisik ini juga diikuti dengan jarak kejiwaan yang
semakin jauh, ketika interaksi antara pemerintah dengan
warganya menjadi sangat sulit dan manfaat tentang keberadaan
pemerintah terhadap kehidupan warganya sangat rendah. Jarak
fisik dan kejiwaan yang jauh sering juga menjadi sumber dari
melunturnya kepercayaan warga terhadap pemerintah.

Pembentukan daerah otonom baru (DOB) dapat dilakukan


kalau dengan adanya DOB membuat jarak fisik dan kejiwaan
antara negara dengan warganya menjadi lebih dekat. Jarak yang
lebih dekat membuat interaksi antara negara dengan warganya
menjadi lebih sederhana, mudah, dan murah sehingga legitimasi
negara dimata warganya menjadi semakin kuat. Interaksi yang
lebih mudah akan membuat kualitas pelayanan menjadi semakin
baik dan mudah diakses oleh warganya. Karena tujuan utama
pembentukan DOB adalah mempermudah interaksi antara negara

86
dengan warganya maka kriteria utama untuk menilai perlu
tidaknya pembentukan DOB mestinya adalah seberapa besar
pembentukan DOB mampu memperbaiki interaksi antara
pemerintah dengan warganya, terutama dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.

Untuk itu perlu dipertimbangkan besaran manfaat dari


pembentukan DOB dengan biaya dan kerugian yang nantinya
harus dibayar oleh warganya. Apakah peningkatan kualitas
pelayanan sebagai akibat dari pembentukan DOB melebihi biaya
dan kerugian yang dibayar oleh warga. Besaran manfaat adanya
DOB tentu amat ditentukan oleh besarnya populasi dari DOB.
Semakin besar jumlah penduduknya, manfaat yang diterima oleh
DOB cenderung menjadi semakin besar. Untuk itu kriteria tentang
jumlah penduduk penting untuk diperhatikan dalam
pembentukan DOB, disamping kelayakan ekonomi dan politik.

Agar kriteria tersebut dapat digunakan sebagai pegangan


dalam menilai proposal pembentukan DOB maka kriteria tersebut
harus dirumuskan dengan jelas dan dimuat dalam undang-
undang pemerintahan daerah. Adanya kriteria yang jelas dan
obyektif dan dimuat dalam undang-undang pemerintahan daerah
penting dilakukan agar dapat menjadi pegangan semua kelompok
kepentingan yang ingin mengusulkan pembentukan DOB.
Pengaturan yang jelas diperlukan agar pembentukan DOB benar-
benar mampu memberi manfaat yang lebih besar daripada
kerugiannya. Lebih dari itu, Pemerintah Pusat perlu membuat
rancang desain reformasi teritorial untuk memberi arah terhadap
pengembangan daerah otonom, baik pada tingkat provinsi
ataupun kabupaten/kota, yang memperhatikan secara
menyeluruh daya dukung sosial, politik, ekonomi dan aspek

87
geostrategik lainnya yang penting dalam pengembangan daerah
otonom dalam konteks NKRI.

4.2.2 Identifikasi Permasalahan

Pembentukan DOB, melalui pemekaran, menjadi wacana publik


yang menarik karena meluasnya dampak negatif dari pemekaran
baik bagi daerah induk maupun DOB. Walaupun demikian,
kegiatan pemekaran tampaknya akan terus berjalan, sebagaimana
tampak dari masih banyaknya usulan pembentukan daerah
otonom baru yang sekarang ini masih dibicarakan di DPR.
Pemerintah Pusat bersama DPR sudah menyetujui ratusan daerah
baru. Walaupun banyak dari DOB tersebut belum memenuhi
syarat namun dinyatakan memenuhi syarat dan tetap disahkan
menjadi DOB, karena pertimbangan-pertimbangan politik dan
lainnya. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
sampai sekarang sudah ada 205 DOB dan kalau mekanisme
seperti sekarang masih tetap dipakai, ada ratusan calon DOB
akan menyusul untuk disahkan.

Munculnya banyak DOB dalam waktu yang singkat memiliki


implikasi yang sangat luas, baik bagi Pemerintah Pusat, daerah
induk, dan DOB itu sendiri. Banyak kajian menunjukan bahwa
sebagian besar pemekaran berakibat negatif bagi masyarakat
yang tinggal di daerah induk maupun bagi mereka yang tinggal di
daerah baru. Bagi daerah induk, masyarakat seringkali harus
membayar biaya pemerintahan yang lebih besar karena
berkurangnya penduduk dan wilayah dari daerah induk seringkali
tidak berakibat pada pengurangan biaya pemerintahan. Biaya
pegawai dan operasional dari pemerintah di daerah induk tidak
berkurang walaupun jumlah wilayah dan pegawai yang mereka
tanggung menjadi semakin kecil. Berkurangnya jumlah wilayah

88
dan penduduk, karena menjadi bagian dari daerah otonom baru,
mestinya harus diikuti dengan berkurangnya anggaran untuk
birokrasi dan aparatur dan bertambahnya biaya untuk kegiatan
pembangunan dan pelayanan publik. Namun, sering hal itu tidak
terjadi. Akibatnya, masyarakat harus membayar biaya
pemerintahan per kapita yang lebih besar.2

Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat di daerah


otonom baru (DOB) juga cenderung tidak puas dengan pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh DOB. Mereka menilai kualitas
pelayanan publik cenderung menurun, sedangkan motivasi
mereka dengan memiliki daerah otonom sendiri umumnya adalah
karena ingin memperoleh akses dan kualitas pelayanan yang lebih
baik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa mereka cenderung
tidak puas terhadap kualitas pelayanan publik di DOB-nya. Tentu
ada banyak penjelasan mengapa pembentukan DOB sering tidak
menghasilkan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih baik. Salah satunya, karena
pembentukan DOB lebih didorong oleh kepentingan elit birokrasi
dan politik yang ingin memperbesar akses mereka terhadap
sumberdaya kekuasaan daripada keinginan untuk memperbaiki
akses dan kualitas pelayanan.

Kenyataan bahwa daerah induk sering kurang memberi


dukungan kepada daerah baru sebagaimana dipersyaratkan oleh
peraturan perundangan ikut memberi kontribusi terhadap
kesulitan DOB untuk memenuhi kebutuhan pelayanan warganya.
Apalagi ketika dalam proses pemekaran muncul masalah antara
daerah induk dengan daerah baru terkait dengan penguasaan
aset, sumber daya alam, dan batas-batas daerah yang rawan

2
DSF, Cost and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Policy Brief, November
2007

89
terhadap munculnya konflik antara daerah induk dengan daerah
baru membuat dukungan daerah induk terhadap DOB menjadi
tidak lancar. Bahkan, hubungan antara daerah induk dengan
DOB yang tidak harmonis sering menjadi sumber konflik antara
penduduk di kedua daerah itu. Ketidakjelasan peta, misalnya,
dapat menjadi sumber konflik antara penduduk kedua daerah
yang kalau tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik
horizontal meluas,3 apalagi kalau kedua daerah itu, daerah induk
dan DOB, memiliki ciri-ciri primordial yang berbeda. Konflik dapat
meluas ke ranah yang lain dan semakin melebar dan merugikan
masyarakat luas.

Ketidakjelasan peta daerah sering mendorong perebutan


aset dan sumber daya alam antar masyarakat di daerah induk
dengan daerah baru. Konflik ini meluas karena pemekaran daerah
pada tingkat provinsi dan kabupaten`juga mendorong pemekaran
pada tingkat yang lebih rendah, seperti pemekaran kecamatan dan
kalurahan/desa.4 Persyaratan pembentukan daerah otonom baru
yang menentukan jumlah minimal kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi dan kecamatan untuk pembentukan
kabupaten/kota telah mendorong terjadi pemekaran pada satuan
pemerintahan di tingkat bawah. Pemekaran pada tataran yang
semakin rendah, memiliki potensi konflik horizontal yang semakin
tinggi terkait dengan semakin tidak tersedianya peta daerah yang
jelas, yang membuat pembagian aset dan sumberdaya alam
menjadi semakin rumit. Konflik penguasaan aset dan sumberdaya
alam pada tingkat bawah cenderung menghasilkan konflik
horizontal yang keras, karena perselisihan aset, tanah, dan

3
Diskusi Tim Pakar bersama dengan komponen Departemen Dalam Negeri tgl
Desember 2008 di Hotel Millenium, Jakarta
4
ibid

90
sumberdaya alam secara langsung berpengaruh bagi kehidupan
mereka.5

4.2.3 Analisis

Pembentukan DOB secara masif dalam waktu yang relatif singkat


telah melahirkan problema baru dalam pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia. Biaya pemerintahan yang semakin mahal, konflik
sosial dan horizontal yang seringkali muncul sebagai ekses dari
pembentukan DOB, dan proliferasi birokrasi secara spasial yang
semakin tinggi mendorong berbagai pihak untuk secara kritis
memikirkan kembali format pembentukan DOB. Berbagai pihak
bahkan mendorong untuk melakukan moratorium pembentukan
DOB, sambil memberi kesempatan kepada Pemerintah Pusat
untuk menata ulang kebijakan pemekaran daerah agar kebijakan
baru nantinya benar-benar dapat mendorong reformasi teritorial
yang mampu memperkokoh kebijakan desentralisasi dan dapat
mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Untuk dapat merumuskan kebijakan yang tepat dan mampu


menjawab problema yang dihadapi Pemerintah Pusat dalam
pembentukan DOB, beberapa penyebab dari meluasnya upaya
pengembangan DOB perlu dianalisis. Pertama, ketidakjelasan
kerangka kebijakan yang mengatur pembentukan daerah otonom
baru. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Paerah,
pembentukan DOB belum diatur secara jelas. Dasar hukum yang
digunakan untuk mengatur pembentukan daerah otonom baru
selama ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000,
yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2007. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun

5
Wawancara Tim Peneliti MAP UGM dengan beberapa pemangku kepentingan di Seram
dan Ruteng.

91
2007 sudah mengatur secara rinci prosedur, persyaratan, dan tata
cara pembentukan daerah otonom, namun kenyataaanya
keberadaan peraturan pemerintah tersebut belum mampu
mengendalikan proses pembentukan DOB secara wajar. Salah
satunya karena kekuatan peraturan pemerintah tersebut ketika
berbenturan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
yang memberi ruang terjadinya pembentukan DOB, misalnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena DOB
dibentuk berdasarkan undang-undang, maka hak inisiatif dapat
berasal dari Presiden maupun DPR. Belakangan ini hampir semua
usulan DOB merupakan hak inisiatif DPR. Dalam kondisi tersebut
maka Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 menjadi tidak
banyak artinya.

Kedua, besarnya insentif yang diterima oleh berbagai


pemangku kepentingan sebagai akibat dari pembentukan DOB.
Pembentukan DOB menciptakan begitu banyak insentif kepada
multi-pihak. Elit politik di DPR diuntungkan oleh adanya
pembentukan DOB melalui semakin banyaknya peluang bagi
partai politik untuk memiliki representasi yang semakin besar di
daerah dan keuntungan pribadi yang mungkin diperoleh melalui
serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembentukan
DOB. Elit birokrasi dan politik di daerah juga diuntungkan dengan
tersedianya jabatan politik dan birokrasi baru yang terbuka bagi
mereka. Masyarakat dan sektor swasta juga diuntungkan dengan
adanya pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung
kegiatan pemerintahan di DOB. Daerah juga diuntungkan dengan
adanya DAU yang diberikan kepada DOB. Selagi insentif seperti
ini masih dapat dinikmati oleh para pihak di pusat dan daerah,

92
maka pengembangan DOB akan terus terjadi dan amat sulit
dikendalikan.

Ketiga, selama ini tidak ada kajian untuk menilai pengaruh


pembentukan DOB bagi daerah-daerah lainnya. Kajian yang ada
selama ini cenderung hanya memusatkan perhatian terhadap
implikasi pembentukan DOB bagi daerah induk dan DOB itu
sendiri. Sementara implikasi pembentukan DOB bagi daerah
otonom lainnya cenderung diabaikan.6 Kajian perlu dilakukan
untuk menilai seberapa besar proporsi anggaran untuk pelayanan
publik di DOB dan daerah otonom lainnya menjadi semakin kecil
sebagai akibat dari semakin banyaknya daerah otonom. Kajian ini
penting untuk menilai apakah pembentukan satu DOB perlu
memperoleh persetujuan dari daerah-daerah lainnya, diluar
daerah induk karena dampak dari pembentukan DOB juga
ditanggung oleh daerah-daerah lainnya.

Keempat, evaluasi kinerja daerah otonom perlu dilakukan


secara sungguh-sungguh untuk menjadi dasar bagi kebijakan
reformasi territorial. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah
satu daerah perlu dipertahankan status otonominya, difasilitasi
untuk dimekarkan karena dinilai terlalu besar sehingga skala
pemerintahannya menjadi tidak efektif, atau digabung dengan
daerah lainnya karena tidak layak menjadi daerah otonom.
Pemerintah Pusat telah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2008 mengenai evaluasi kinerja daerah dan mengatur
tentang kemungkinan satu daerah otonom yang memiliki kinerja
yang buruk selama tiga tahun berturut-turut untuk digabung
dengan daerah lain, namun implementasi dari peraturan
pemerintah tersebut sejauh ini belum jelas.
6
Daerah otonom lainnya setidaknya akan mengalami kerugian karena proporsi DAU
yang mereka terima akan menjadi semakin kecil. Hal ini terjadi karena alokasi DAU dari
APBN akan dibagi kepada semakin banyak daerah otonom.

93
4.2.4 Usul Penyempurnaan

Perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai proses, kriteria, dan


pentahapan pembentukan daerah baru yang jelas dan ketat.
Pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 dirasa masih terlalu longgar sehingga pembentukan daerah
otonom baru lebih banyak didorong oleh kepentingan sempit dari
elit di daerah. Pengaturan baru harus menjamin bahwa
pembentukan daerah baru benar-benar dilakukan untuk
kepentingan masyarakat luas di daerah dan keberadaan daerah
otonom baru juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

1) Perlu adanya pengaturan yang komprehensif mengenai


penghapusan daerah kalau daerah tersebut memang tidak
mampu melaksanakan otonominya untuk menciptakan
kesejahteraan yang minimal. Daerah-daerah yang tidak
mampu tersebut mungkin saja digabung dengan daerah-
daerah lainnya atau dibawah pengelolaan Pemerintah Pusat.
Untuk itu diperlukan pengaturan yang jelas dan instrumental
bagi Pemerintah Pusat untuk melikuidasi daerah otonom dan
menjadikannya daerah administratif atau menggabungkan dua
atau lebih daerah otonom menjadi menjadi satu daerah
otonom baru. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008
telah mengatur mengenai evaluasi kinerja daerah otonom dan
kemungkinan adanya penggabungan antar daerah otonom.
Beberapa aspek yang terkandung dalam peraturan pemerintah
tersebut dapat dimasukan dalam revisi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004.

2) Perlu ada pengaturan yang jelas tentang persyaratan, kriteria,


dan mekanisme pembentukan DOB dengan mengadopsi
pengaturan yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 78

94
Tahun 2007. Dengan memasukan pengaturan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 kedalam revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka kedudukan
pengaturan tersebut akan menjadi semakin kuat dan dapat
menjadi pegangan bagi semua pemangku kepentingan dalam
melakukan reformasi penataan daerah di Indonesia. Perlu ada
pengaturan tentang jumlah penduduk minimal dari satu
daerah otonom, mengingat beberapa DOB memiliki jumlah
penduduk yang sangat kecil dan tidak memungkinkan terjadi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang optimal.

3) Perlu adanya pengaturan mengenai daerah persiapan sebelum


sebuah daerah menjadi daerah otonom penuh. Sebelum
ditetapkan menjadi daerah otonom definitif harus ditetapkan
terlebih dahulu menjadi calon daerah otonom dalam jangka
waktu minimal 3 (tiga) tahun dan maksimum 5 (lima) tahun.
Pembinaan, pengawasan dan pembiayaan daerah persiapan ini
dilakukan oleh daerah induk. Bila dalam jangka waktu
tersebut daerah persiapan dianggap tidak mampu maka harus
kembali pada daerah asal.

4) Perlu diatur dengan jelas mengenai siapa yang memiliki


kewenangan untuk mengusulkan daerah otonom baru. Karena
pemekaran dan penggabungan daerah adalah domain dari
eksekutif, maka seharusnya inisiatif pembentukan daerah
berasal dari Pemerintah Pusat, baik pusat ataupun daerah.
Atas pertimbangan strategik tertentu, Pemerintah Pusat dan
daerah dapat mengusulkan pembentukan DOB. Pengaturan
tentang proses pengusulan DOB oleh daerah dan Pemerintah
Pusat, masing-masing perlu diatur dengan jelas agar proses
pembentukan daerah otonom baru dilakukan secara terbuka
dan akuntabel.

95
5) Perlu juga dipersiapkan mekanisme insentif dan dis-insentif
bagi daerah untuk melakukan pemekaran atau penggabungan.
Insentif perlu dibuat untuk mendorong daerah untuk
menggabungkan daerahnya dengan daerah lainnya.
Sebaliknya, dis-insentif perlu diciptakan bagi daerah untuk
melakukan pemekaran. Pemerintah Pusat perlu meninjau
kembali formula pembagian DAU dengan menciptakan dis-
insentif bagi pembentukan DOB dan insentif bagi
penggabungan satu daerah dengan daerah lainnya.

4.3 Pembagian Urusan Pemerintahan, Peran Gubernur


Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Urusan Pemerintahan
Umum dan Implikasinya terhadap Keberadaan Muspida

Ada tiga masalah penting yang perlu diatur lebih jelas dalam
pembagian urusan. Masalah yang pertama menyangkut
ketidakjelasan pembagian urusan pemerintahan antara provinsi
dan kabupaten dan hubungan antara pemerintah provinsi dengan
kabupaten/kota. Kedua, ketidakjelasan peran dan sumberdaya
yang digunakan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ketiga
adalah masalah Urusan Pemerintahan Umum dan implikasi dari
urusan pemerintahan umum terhadap keberadaan muspida.
Bagian ini akan membahas ketiga masalah tersebut secara
terpisah.

4.3.1 Pembagian Urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan


Kabupaten/Kota

4.3.1.1 Dasar Pemikiran

Pembagian urusan (functional assignment) dalam negara kesatuan


memiliki karakteristik yang berbeda dengan di negara federal.

96
Dalam negara kesatuan pembagian urusan antar pemerintahan
dilakukan oleh negara (Pemerintah Pusat dan DPR) melalui
undang-undang. Melalui undang-undang negara membentuk
daerah provinsi dan kabupaten/kota dan menyerahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada daerah, bukan sebaliknya. Di negara
federal, states (negara bagian) membentuk negara dan
menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah
federal dan mengaturnya dalam konstitusi. Kedudukan negara
bagian sangat kuat karena mereka memiliki kewenangan bukan
hanya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi juga
dalam bidang legislatif dan peradilan.

Di negara kesatuan, urusan yang diserahkan kepada daerah


adalah urusan pemerintahan semata, bukan urusan-urusan
lainnya. Besarnya jumlah urusan yang akan diserahkan kepada
daerah, di negara kesatuan, karenanya terserah sepenuhnya
kepada negara. Negara melalui undang-undang dapat menambah
dan mengurangi urusan yang diserahkan kepada daerah. Namun,
karena pembentukan daerah dimaksudkan untuk mempermudah
pelayanan terhadap kebutuhan warga dan memperluas arena
demokrasi, maka pembagian urusan kepada daerah perlu
mempertimbangkan berbagai kriteria seperti kompetensi daerah,
efisiensi, eksternalitas, akuntabilitas, dan kriteria lainnya yang
memungkinkan Pemerintah Pusat dan daerah dapat secara
optimal dan sinergik mensejahterakan warganya.

Dalam negara kesatuan, secara umum ada dua cara untuk


membagi urusan pusat dan urusan daerah. Pertama, negara
menentukan secara spesifik urusan yang diserahkan kepada
daerah dan Pemerintah Pusat, serta menetapkannya dalam
peraturan perundangan (ultravires). Kedua, negara menentukan
urusan yang diatur pusat dan sisanya menjadi urusan daerah,

97
general competence. Indonesia pernah menggunakan kedua cara
tersebut. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba
mengkombinasikan kedua cara diatas, dengan menentukan secara
jelas urusan yang menjadi kewenangan pusat dan daerah, tetapi
memungkinkan keduanya melaksanakan urusan tertentu
berdasarkan atas kriteria tertentu seperti eksternalitas, efisiensi,
dan akuntabilitas.

Dalam pembagian urusan harus terdapat kejelasan


pembagian wewenang mengatur dan mengurus di wilayah
yurisdiksi: pusat, provinsi dan kabupaten/kota.7 Tidak boleh
terdapat tumpang tindih antara satu yurisdiksi dengan yurisdiksi
lainnya. Wewenang mengatur dan mengurus harus dibagi habis
secara jelas antar tingkatan pemerintahan. Wewenang mengurus
dan mengatur berdasarkan azas sentralisasi diletakkan di
Pemerintah Pusat. Sedangkan wewenang mengatur dan mengurus
berdasarkan azas desentralisasi dan tugas pembantuan titik
beratnya diletakan pada yang paling dekat dengan masyarakat
(prinsip subsidiaritas).

Di negara kesatuan, tidak mungkin terdapat satu urusan


yang hanya dilakukan secara desentralisasi tanpa sentralisasi.
Artinya, negara dapat memberi wewenang kepada Pemerintah
Pusat mengatur urusan-urusan pemerintahan, sekalipun urusan
tersebut diselenggarakan dengan melalui azas desentralisasi atau
tugas pebantuan. Dalam urusan yang diserahkan kepada daerah,
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk membuat NSPK
yang harus dijadikan dasar oleh provinsi dan kabupaten/kota
untuk mengelola urusan yang menjadi kewenangannya.
Pemerintah Pusat dapat mengatur dan mengurus urusan yang
7
Diskusi tentang pembagian urusan antar susunan pemerintah dapat dibaca dalam
paper Benyamin Husein dan Eko Prasojo berjudul “Konsep Pembagian Kewenangan
(Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan”, paper tidak diterbitkan

98
menurut kriteria tertentu sebaiknya dikelola secara inklusif oleh
Pemerintah Pusat. Hal ini berbeda dengan negara federal dimana
baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian
masing-masing dapat secara inklusif memiliki wewenang mengatur
dan mengurus untuk satu urusan pemerintahan tertentu.

4.3.1.2 Identifikasi Permasalahan

Pembagian urusan pemerintahan masih menjadi tarik menarik


antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah
satu sumbernya adalah karena ketidakjelasan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 dalam membagi urusan antar tingkat pemerintahan
yang berbeda. Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
telah menentukan kriteria yang digunakan untuk membagi
urusan, namun dalam praktik penggunaan kriteria itu sangat sulit
dilakukan. Kriteria efisiensi dalam penyelenggaraan urusan selalu
mengarah pada skala ekonomi sehingga urusan cenderung
diserahkan kepada pemerintah yang lebih tinggi. Sedangkan
kriteria akuntabilitas cenderung menunjuk pada tingkat
pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Penerapan
kriteria eksternalitas juga tidak sederhana karena pemerintah
daerah sering kurang memperhatikan dampak dari kegiatannya
terhadap pihak lain diluar jurisdiksinya.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 telah mencoba


mengatur urusan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota
untuk semua urusan konkuren. Peraturan pemerintah tersebut
menjelaskan bahwa provinsi menyelenggarakan urusan skala
provinsi sedangkan kabupaten/kota menyelenggarakan urusan
skala kabupaten/kota. Namun, mana urusan yang skala provinsi
dan mana urusan skala kabupaten/kota untuk setiap sektor

99
belum dapat dirumuskan dengan jelas. Akibatnya, banyak pelaku
dan pemangku kepentingan yang kemudian memberi interpretasi
yang berbeda-beda tentang mana urusan Pemerintah Pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota.

Ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan


pemerintahan sering menjadi sumber konflik antara daerah
dengan kementrian dan lembaga di pusat dan menimbulkan
kekaburan dari konsep desentralisasi itu sendiri. Kementrian dan
LPNK sering mengembangkan peraturan perundangan yang tidak
sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Mereka enggan
untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan sektornya
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mereka
memahami pembagian urusan berdasarkan atas apa yang sudah
mereka lakukan secara rutin berdasarkan struktur kelembagaan
yang ada, bukan atas pertimbangan yang konsepsional tentang
pembagian peran antara pusat dan daerah dalam era
desentralisasi. Akibatnya, disharmoni antara Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang sektoral tak
terhindarkan dan menciptakan arena konflik antara daerah dan
kementerian/lembaga dalam pengelolaan urusan pemerintahan.

Masalah lain yang muncul dari pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pembagian urusan menjadi
urusan wajib dan urusan pilihan yang harus diselenggarakan
daerah. Secara generik urusan wajib yang terkait dengan
pelayanan dasar diserahkan secara simetris kepada daerah.
Urusan pilihan yang terkait dengan pengembangan sektor
unggulan, mensyaratkan daerah untuk memilih urusan
pemerintahan berdasarkan potensi unggulan ekonomi yang ada di
wilayahnya. Namun dalam praktek, pertimbangan tersebut

100
diabaikan dan daerah cenderung melaksanakan semua urusan
walaupun urusan tersebut tidak terkait dengan potensi unggulan
daerah yang bersangkutan.

Dalam penyelenggaraan urusan wajib, utamanya


pemenuhan kebutuhan dasar warga, pemerintah perlu membuat
standar pelayanan minimal (SPM) atau standar lainnya untuk
menjamin agar warga dimanapun mereka berada dapat mengakses
secara sama pelayanan tersebut. Namun, sejauh ini SPM dan
standar pelayanan untuk berbagai urusan belum dapat
dirumuskan secara memadai sehingga ketimpangan pelayanan
antar daerah tak terhindarkan.

4.3.1.3 Analisis

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah


menentukan urusan pemerintahan yang secara ekslusif menjadi
kewenangan pusat dan urusan yang di desentralisasikan ke
daerah dan menentukan kriteria untuk membagi urusan di
desentralisasikan ke daerah. Penyerahan urusan pemerintahan ke
daerah yang sangat masif dan serentak, yang belum pernah
dilakukan oleh negara lainnya, membuat Indonesia mengalami
kesulitan untuk belajar dari pengalaman negara lain dalam
melakukan desentralisasi urusan. Lessons learned sulit diperoleh
dari negara-negara lainnya sehingga contoh-contoh tentang
pembagian urusan antar susunan pemerintahan yang barang kali
dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan hal yang sama di
Indonesia menjadi tidak ada.

Di tingkat pusat masalah muncul karena kurang sinkronnya


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang
sektoral. Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah
memerintahkan pengalihan urusan wajib dan pilihan kepada

101
daerah, namun dalam kenyataannya beberapa kementerian dan
lembaga masih enggan melakukannya. Banyak undang-undang
sektoral yang belum searah dengan semangat dari kebijakan
desentralisasi. Keinginan untuk mempertahankan status-quo
muncul karena kepentingan-kepentingan jangka pendek dari para
pejabat di kementrian dan lembaga terkait dengan risiko
perampingan organisasi dan berkurangnya akses terhadap
anggaran ketika urusan di desentralisasikan ke daerah.

Dari sisi lain, kesulitan muncul dari meluasnya miskonsepsi


para pemangku kepentingan di daerah tentang desentralisasi dan
hubungan antar susunan pemerintahan. Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah membentuk persepsi para
pemangku kepentingan di daerah bahwa semua urusan diluar
urusan eklusif adalah urusan daerah dan pemerintah tidak lagi
memiliki kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan urusan
diluar urusan yang ekslusif. Daerah seringkali menganggap setiap
pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap
urusan yang telah didesentralisasikan sebagai campur tangan
pusat terhadap urusan daerah. Sedangkan dalam negara
kesatuan, tidak ada urusan yang sepenuhnya menjadi urusan
daerah. Pemerintah Pusat setidak-tidaknya memiliki kewenangan
untuk merumuskan NSPK, yang seharusnya menjadi dasar bagi
daerah dalam menyelenggarakan urusan yang telah
didesentralisasikan.

Miskonsepsi lainnya muncul terkait dengan hubungan


antara provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan yang telah
didesentralisasikan. Kabupaten/kota cenderung menganggap
semua urusan yang didesentralisasikan tersebut menjadi
urusannya dan mengabaikan interdependensi dan interrelasi
dalam penyelenggaraan urusan antar kabupaten/kota dimana

102
provinsi dapat mengambil peran untuk mengatur dan mengurus
urusan yang karena pertimbangan eksternalitas, efisiensi, dan
akuntabilitas sebaiknya dilakukan pada tingkat provinsi. Belum
adanya pengaturan yang jelas tentang pembagian urusan antara
provinsi dan kabupaten/kota dalam urusan wajib dan pilihan
membuat duplikasi dan konflik dalam penyelenggaraan urusan
antara provinsi dan kabupaten/kota sering tidak dapat dihindari.

Konflik kepentingan antar kementerian/lembaga, provinsi,


dan kabupaten/kota menjadi salah satu faktor yang mempersulit
upaya untuk memperjelas pembagian urusan antar susunan
pemerintahan. Pembagian urusan menjadi arena perebutan
kewenangan, akses terhadap anggaran, dan sumber daya
kekuasaan antar susunan pemerintahan. Upaya untuk
memperjelas pembagian urusan antar susunan pemerintahan
tidak dapat dihindari selalu memunculkan pro dan kontra antara
para pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Karena itu,
pembagian urusan harus dilakukan secara tepat dengan
menggunakan kriteria yang jelas, rasional, dan proporsional sesuai
dengan kompetensi dan sumberdaya yang tersedia pada masing-
masing susunan pemerintahan.

4.3.1.4 Usul Penyempurnaan

1) Perlu restrukturisasi pengaturan mengenai pembagian urusan


pemerintahan dalam penyempurnaan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. Restrukturisasi dilakukan dengan menata
kembali arsitektur pembagian urusan pemerintahan antar
tingkat pemerintahan. Pertama, konsep yang digunakan untuk
membagi urusan pemerintahan menjadi urusan ekslusif atau
absolut dan urusan konkuren (dapat didesentralisasikan).
Urusan ekslusif atau absolut adalah urusan yang sepenuhnya

103
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan urusan
konkuren adalah urusan yang dapat diatur oleh pemerintah
dan atau daerah, yang penentuannya dilakukan dengan
kriteria tertentu. Kedua, memperjelas cara penyelenggaraan
urusan pusat dengan menentukan urusan yang sebaiknya
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sendiri secara langsung,
dengan menggunakan dekosentrasi, dan tugas pembantuan.
Dekonsentrasi perlu dibatasi hanya pada urusan ekslusif dan
urusan concurrent yang karena kriteria tertentu dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Dengan memperjelas cara penyelenggaraan urusan
pemerintahan, hubungan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
akan dapat ditata dengan lebih baik.

2) Perlu pengaturan yang jelas tentang urusan wajib dan urusan


pilihan. Urusan wajib dibedakan menjadi dua kelompok
urusan, urusan yang terkait dengan pelayanan dasar warga
yang secara minimal harus dipenuhi oleh daerah dan urusan
wajib yang terkait dengan kebijakan nasional, seperti statistik,
kebudayaan, tata ruang dan lain-lainnya. Urusan wajib yang
terkait dengan pelayanan dasar harus diselenggarakan oleh
daerah berdasarkan SPM yang dibuat oleh pemerintah,
sedangkan urusan wajib yang terkait dengan kepentingan
pemerintah diselenggarakan berdasarkan standar lainnya yang
diatur dalam NSPK yang dibuat pemerintah. Karena
penyelenggaraan urusan wajib ini sangat penting bagi
kesejahteraan masyarakat maka undang-undang juga perlu
mengatur tentang sangsi bagi daerah yang gagal
menyelenggarakan urusan wajib sesuai dengan SPM atau
NSPK yang dibuat oleh pemerintah.

104
3) Perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas tentang
penyelenggaraan urusan pilihan. Daerah menyelenggarakan
urusan pilihan untuk pengembangan keunggulan daerah
dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengambilan
keputusan tentang urusan pilihan yang akan dikelola oleh
daerah dapat didasarkan pada struktur PDRB, mata
pencaharian penduduk, dan pemanfaatan sumberdaya lokal
yang tersedia di daerah. Penyelenggaraan urusan pilihan yang
dibuat oleh daerah harus sinergik dan terintegrasi dengan
kebijakan nasional untuk peningkatan daya saing bangsa.

4) Agar daerah fokus melaksanakan urusan wajib dan pilihan


yang sesuai dengan prioritas dan potensi unggulan daerah,
maka dilakukan pemetaan (mapping) baik oleh pusat maupun
daerah terhadap setiap urusan pemerintahan tersebut. Dengan
pemetaan tersebut setiap daerah akan tahu urusan pilihan
yang akan dilaksanakan dan urusan wajib yang menjadi
prioritas. Kementerian dan lembaga juga tahu daerah-daerah
yang menjadi stakeholders utamanya sehingga fokus dalam
pencapaian target-target nasional dalam urusan sektornya
masing-masing.

5) Untuk urusan yang berdampak ekologis khususnya urusan


kehutanan dan kelautan akan lebih optimal kalau
pengelolaannya diserahkan kepada daerah provinsi mengingat
eksternalitasnya yang dalam banyak hal melewati batas-batas
administrasi pemerintahan. Keuntungan lainnya adalah lebih
mudah dalam aspek pengendalian baik terhadap hutan
maupun aspek lingkungan hidup dibandingkan kalau
diserahkan melalui mekanisme dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah 38 Nomor 2007.
Untuk mencegah terjadinya resistensi dari kabupaten/kota,

105
maka perlu ada ”trade off” dalam aspek bagi hasilnya.
Kabupaten/kota mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan laut
dan hutan yang dilakukan oleh provinsi. Melalui pengaturan
tersebut pengendalian dapat dilakukan dengan lebih efektif
tanpa merugikan kabupaten/kota dalam aspek bagi hasilnya.

6) Untuk menjalankan fungsi monitoring, supervisi, dan fasilitasi


penyelenggaraan urusan, pemerintah menugaskan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/kota.
Sedangkan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan urusan oleh provinsi dilakukan oleh
pemerintah. Di dalam menjalankan peran sebagai wakil
Pemerintah Pusat, gubernur dibantu oleh perangkat dalam
bentuk sekretariat dan guna menciptakan sinerji dengan
perangkat daerah, dayaguna dan hasilguna dipimpin oleh
sekretaris daerah dan dengan pembiayaan dari APBN.

7) Mengingat variabilitas antar daerah dalam penyelenggaraan


urusan dasar sangat tinggi, maka undang-undang perlu
memberi ruang bagi daerah untuk membuat standar
pelayanan daerah yang melampaui SPM yang ditetapkan
secara nasional. Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari yang ditentukan
dalam SPM dapat membuat standar pelayanan diatas standar
yang diatur dalam SPM. Untuk memberdayakan daerah yang
kurang mampu memenuhi standar pelayanan provinsi dan
SPM, provinsi perlu diberi peran untuk melakukan ekualisasi
di daerahnya. Dengan memberi peran ini pada provinsi maka
diharapkan pemerataan akses pelayanan masyarakat di
berbagai daerah dapat diperbaiki sehingga kesejahteraan sosial
ekonomi yang merata dapat diwujudkan di daerah.

106
4.3.2 Gubernur Sebagai Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah
4.3.2.1 Dasar Pemikiran

Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memiliki peran yang


sangat kuat dalam menjaga kepentingan nasional. Pemerintah
Pusat memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa kebijakan-
kebijakan nasionalnya dapat dilaksanakan secara efektif di
seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan
pemerintahan daerah harus mengikuti NSPK yang ditentukan oleh
Pemerintah Pusat. Penyerahan urusan pemerintahan yang
sebagian besar diberikan kepada kabupaten/kota menuntut
pemerintah untuk memastikan bahwa kabupaten/kota mengatur
dan mengurus urusan tersebut sesuai dengan NSPK yang telah
dibuat oleh pemerintah.

Untuk menjamin agar kabupaten/kota mematuhi NSPK


yang telah dibuatnya, maka pemerintah perlu melakukan
pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasan.
Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah Pusat ketika
melakukan pemantauan, evaluasi, pembinaan, dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan harus melakukannya sendiri,
mendelegasikanya kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat berdasarkan azas dekonsentrasi, atau menugaskan kepada
pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan
azas tugas pembantuan. Pertanyaan seperti ini penting
diperhatikan karena pilihan institusi dan mekanisme yang akan
digunakan memiliki implikasi yang sangat luas baik secara politik,
organisasional dan legal.

Dalam sejarah perkembangan pemerintahan daerah,


gubernur memiliki peran yang berubah-ubah. Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957, gubernur memiliki peran sebagai
kepala daerah dan sekaligus sebagai alat pusat. Sedangkan dalam

107
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 gubernur lebih banyak
diperankan menjadi alat Pemerintah Pusat. Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974, pelaksanaan otonomi
dititikberatkan pada daerah tingkat II dan bersamaan dengan itu
asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi. Dalam kenyataannya, pelaksanaan dekonsentrasi
lebih menonjol daripada desentralisasi, peran kepala wilayah lebih
menonjol daripada kepala daerah. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah gubernur, bupati, dan walikota bertindak
sebagai kepala daerah sekaligus sebagai kepala wilayah.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemerintah


menerapkan split model dengan mendudukan kepala daerah
kabupaten/kota semata-mata sebagai alat daerah dan tidak
merangkap sebagai kepala wilayah. Bupati/walikota adalah kepala
daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Daerah
provinsi dinyatakan sebagai daerah otonom yang memiliki otonomi
terbatas. Disamping sebagai daerah otonom, provinsi juga sebagai
wilayah administrasi dan gubernur disamping sebagai kepala
provinsi juga sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menganut


paradigma yang sama dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, namun lebih memperkuat peranan gubernur sebagai wakil
pemerintah di daerah dengan dirincikan tugas, wewenang dan
kewajiban yang bersifat ”attributed” yang dinyatakan dalam Pasal
37 dan Pasal 38.8 Dalam perkembangannya, keberadaan pasal

8
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Pusat menggunakan “fused
model” yang menempatkan gubernur disamping sebagai kepala daerah otonom juga
menjadi wakil pemerintah pusat, sedangkan untuk kabupaten dan kota diberlakukan
”split model”, yang artinya bupati/ walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah
otonom. Bupati/walikota menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak
merangkap sebagai wakil Pemerintah Pusat. Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam
E. Koswara Kertapraja, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

108
tersebut dirasakan belum mampu menempatkan gubernur secara
jelas baik sebagai kepala provinsi dan sebagai wakil Pemerintah
Pusat. Tarik menarik peran gubernur sebagai kepala provinsi dan
wakil Pemerintah Pusat selalu terjadi sesuai dengan dinamika
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan kepentingan
pemerintah dalam menjamin kepentingan nasional dan kesatuan
bangsa.

Pengaturan mengenai peran gubernur baik sebagai kepala


provinsi dan sebagai wakil pemerintah perlu dirancang untuk
menjamin keutuhan wilayah Indonesia, kesatuan bangsa, dan
mendorong dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Harus ada pembagian peran yang jelas dari gubernur sebagai
kepala provinsi dan wakil Pemerintah Pusat, instrumen
kelembagaan dan sumber biaya yang akan digunakan oleh
gubernur dalam menjalankan masing-masing perannya,
mekanisme yang akan digunakan untuk memainkan masing-
masing peran itu dengan baik dan implikasi dari pelaksanaan
masing-masing peran tersebut. Pilihan untuk memanfaatkan
kedudukan gubernur sebagai wakil pusat dan instrumen
kelembagaannya perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap
kompleksitas struktur birokrasi di daerah, efisiensi dan kejelasan
hubungan antara susunan pemerintahan.

4.3.2.2 Identifikasi Permasalahan

Peran kepala daerah provinsi atau gubernur dalam


penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini masih sangat
terbatas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur
peran gubernur dalam Pasal 37 dan Pasal 38 dengan
menempatkan gubernur sebagai sebagai aparat dekonsentrasi
atau wakil Pemerintah Pusat di daerah. Dalam Pasal 38 Undang-

109
Undang Nomor 32 Tahun 2004, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota,
koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah
kabupaten/kota, dan koordinasi pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Dalam kenyataannya, peran gubernur
sebagaimana disebutkan tadi kurang dapat dilaksanakan secara
optimal karena berbagai sebab, sebagaimana diuraikan berikut ini.

Pertama, konflik kepentingan sering terjadi ketika gubernur


sebagai kepala daerah otonomi memiliki kepentingan yang berbeda
dengan Menteri/Kepala LPNK dalam berbagai aspek pengelolaan
kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya, dalam
pengelolaan kegiatan pertambangan, kehutanan, dan kegiatan
lainnya, seringkali posisi gubernur sebagai kepala daerah otonom
berbeda dengan posisi yang diambil oleh kementerian/LPNK.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peranan ganda
gubernur sebagai kepala daerah dan wakil Pemerintah Pusat di
daerah yang bertanggungjawab kepada Presiden belum diatur
secara jelas sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda-beda
tentang kedudukan gubernur, baik sebagai kepala daerah atau
sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Peran ganda gubernur, sebagai kepala daerah dan wakil


Pemerintah Pusat, sering menimbulkan konflik peran ketika
kepentingan provinsi berbeda dengan kepentingan pemerintah.
Sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, gubernur seringkali
harus mengamankan kebijakan Pemerintah Pusat, yang
kadangkala berbenturan dengan kepentingan daerahnya. Ketika
kebijakan kementerian/LPNK berbeda dengan kepentingan daerah
gubernur mengalami kesulitan untuk mengambil peran sebagai

110
wakil Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
belum mengatur situasi seperti ini, karena itu revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur secara lebih jelas
hal ini.

Kedua, sebagai wakil Pemerintah Pusat gubernur


melaksanakan tugas dekonsentrasi. Namun, peran gubernur
dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi tidak diatur dengan jelas.
Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) tidak mengatur dengan jelas
mengenai tugas yang harus dilakukan gubernur. Pasal tersebut
hanya mengatakan bahwa pemerintah dapat melimpahkan
penyelenggaraan urusannya kepada gubernur. Selebihnya,
pelimpahan urusan pemerintah kepada gubernur tidak diatur
dalam Undang-Undang. Hal ini sering membuat kedudukan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah menjadi tidak
jelas.

Ketiga, dalam menjalankan tugas dekonsentrasi, gubernur


sebagai wakil pusat di daerah tidak mempunyai perangkat
dekonsentrasi sendiri, hanya dibantu oleh perangkat daerah yang
ditugaskan untuk melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi
dengan sumber pembiayaan yang kurang jelas. Hal ini sering
menimbulkan ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban
pengelolaan tugas dekonsentrasi. Disamping itu tidak tersedianya
sarana dan prasarana untuk mendukung peran gubernur dalam
menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi menjadikan kedudukan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak efektif.

Keempat, ketidakjelasan pengaturan tentang peran gubernur


seringkali menimbulkan kerancuan peran dan tugas gubernur
dalam melakukan monitoring terhadap kabupaten/kota.
Pelaksanaan tugas monitoring terhadap kinerja kabupaten/kota

111
sering dilakukan secara campur aduk dalam konteks
dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Pasal 37 dan Pasal 38
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara jelas memberi
tugas kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal
tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah
pembinaan dan pengawasan perlu juga dilakukan dalam
pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan
tugas dekonsentrasi.

Kelima, hubungan koordinasi antara provinsi dan


kabupaten/kota selama ini masih kurang berjalan secara efektif.
Kewenangan dan kapasitas pemerintah provinsi untuk
melaksanakan koordinasi dalam perencanaan program
pembangunan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas
lintas kabupaten/kota kurang dapat dikelola secara efektif dan
sinergik. Pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang
jelas untuk dapat mengatur kegiatan pembangunan dan
pelayanan publik yang mencakup wilayah lebih dari satu
kabupaten/ kota agar dapat diselenggarakan secara sinergik.
Pengaturan yang jelas tentang kewenangan provinsi dalam
koordinasi perencanaan pembangunan daerah dan
penyelenggaraan pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas.

Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh provinsi


kepada kabupaten/kota belum memiliki pengaturan yang jelas.
Akibatnya, pelaksanan tugas pembantuan dari propinsi kepada
kabupaten/kota belum dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Agar pemerintah provinsi memiliki dasar yang kuat
untuk melaksanakan tugas pembantuan kepada kabupaten/kota

112
pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan
konsekuensi dari pelaksanaan tugas pembantuan.

4.3.2.3 Analisis

Provinsi dan kabupaten/kota sama-sama merupakan daerah


otonom. Namun, kendati keduanya adalah daerah otonom,
provinsi memiliki peran ekualisasi, fasilitasi, dan pemberdayaan
terhadap kabupaten/kota terkait dengan kebijakan yang
menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 peran tersebut tidak diatur dengan jelas.
Karena itu, pelaksanaan berbagai peran tersebut belum dapat
dilakukan secara optimal. Rendahnya optimalitas dari
pelaksanaan peran tersebut, sering membuat penyelenggaraan
pemerintahan kabupaten/kota kurang dapat dikoordinasikan
secara efektif dan sinergik untuk mencapai tujuan pembangunan
provinsi. Seharusnya hubungan antara provinsi dan
kabupaten/kota dalam wilayahnya diatur dalam NSPK yang
ditetapkan Pemerintah Pusat melalui kementerian/LPNK dalam
pelaksanaan setiap urusan pemerintahan yang bersifat konkuren.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang mengamankan
melalui mekanisme pembinaan dan pengawasan agar tata
hubungan yang diatur dalam NSPK berjalan secara optimal.

Disamping hubungan antara pemerintah provinsi dan


kabupaten/kota, masalah lain yang perlu dicarikan solusinya
adalah peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai wakil
Pemerintah Pusat seringkali kurang dapat dipisahkan dengan
tegas dalam beberapa hal. Pertama, kapan gubernur harus
bertindak sebagai wakil Pemerintah Pusat dan kapan gubernur
harus bertindak sebagai kepala daerah. Hal ini perlu diatur

113
dengan jelas karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran
yang berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat dan kepala daerah membuat
fungsi ganda gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena
struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi
dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda
gubernur.

Kedua, akibat dari tidak berjalannya secara optimal fungsi


ganda itu maka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dari
gubernur belum dapat berjalan dengan baik. Akibat lebih jauh dari
tidak berjalannya peran pembinaan dan pengawasan, maka
penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama ini kurang
terkoordinasi dengan baik dan sinergi dalam pembangunan daerah
tidak dapat diwujudkan secara optimal. Jika tidak dilakukan
pengaturan yang jelas fungsi ganda gubernur sebagai kepala
daerah dan wakil Pemerintah Pusat dalam revisi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 maka upaya untuk mendorong adanya
pembangunan daerah yang sinerjik dan sustainable dalam wilayah
provinsi akan mengalami banyak hambatan.

Pengaturan lebih jelas tentang peran gubernur untuk


melakukan pembinaan dan pengawasan, koordinasi, dan
penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah jika dapat
diperkuat akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini
terjadi dalam hubungan antara bupati/walikota dengan gubernur
yang banyak terjadi di daerah. Miskonsepsi dalam memahami pola
hubungan tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kabupaten/kota.
Lebih dari itu, pengaturan juga diperlukan agar gubernur dapat
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah

114
dan mengendalikan konflik yang terjadi antar kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Penguatan fungsi ganda gubernur juga dapat memperkuat


hubungan antar tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan
peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, maka hubungan
antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat,
dimana gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan
pengawasan terhadap kinerja bupati/walikota dalam
penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya
bupati/walikota dapat melapor dan mengadu kepada gubernur
bila terjadi berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintah
di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/kota.
Penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah akan dapat
memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil
dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial,
sosial, dan ekonomi di daerah.

4.3.2.4 Usul Penyempurnaan

1) Dengan mengingat besarnya permasalahan yang muncul


sebagai akibat dari ketidakjelasan peran kepala daerah
provinsi dan gubernur, maka penyempurnaan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 perlu membuat pengaturan yang jelas
tentang peran gubernur baik sebagai kepala daerah dan wakil
Pemerintah Pusat. Pengaturan yang lebih jelas tentang
kedudukan gubernur yang memiliki “dual function” juga
sangat diperlukan untuk mengurangi konflik dan kesulitan
membangun sinergi dalam pembangunan daerah. Sebagai
wakil Pemerintah Pusat, gubernur seyogyanya mempunyai
perangkat tersendiri yang dibiayai dari APBN. Apabila
perangkat daerah dimanfaatkan sebagai perangkat gubernur

115
sebagai wakil Pemerintah Pusat akan potensial menyebabkan
kerancuan dalam pembiayaan, pengawasan dan pertanggung
jawaban.

2) Sebagai daerah otonom, provinsi dapat membuat kebijakan


kekhasan provinsi yang mencirikan provinsi dan
membedakannya dengan provinsi lainnya. Provinsi juga
memiliki peran dalam pengembangan ekonomi wilayah dan
kerjasama antar daerah dalam pengembangan kawasan.
Provinsi karenanya dapat membuat peraturan daerah yang
terkait dengan kekhasannya yang mengikat kabupaten/kota
yang ada di wilayahnya. Disamping itu, provinsi memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
desentralisasi yang menjadi urusannya, lintas
kabupaten/kota, dan atau urusan yang eksternalitasnya
melewati batas-batas kabupaten/kota. Dalam konteks ini,
gubernur sebagai kepala provinsi memiliki kewenangan
mengambil kebijakan yang mengikat kabupaten/kota yang ada
di wilayahnya sesuai kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom. Untuk itu pengaturan tentang peran gubernur sebagai
kepala daerah provinsi perlu dibuat agar dapat menjadi
instrumen bagi gubernur untuk melakukan koordinasi,
fasilitasi, dan pemberdayaan kabupaten/kota agar mereka
dapat bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan di
provinsinya.

3) Provinsi dapat melakukan peran ekualisasi dalam


penyelenggaraan pelayanan publik dengan memberdayakan
kabupaten/kota yang tidak mampu memenuhi standar
pelayanan yang diterapkan di provinsinya. Provinsi dapat
memberi bantuan teknis dan subsidi kepada kabupaten/kota
yang tidak mampu memenuhi standar pelayanan yang berlaku

116
di provinsinya. Dengan memainkan peran ekualisasi
keberadaan provinsi juga akan dapat dirasakan manfaatnya
oleh kabupaten/kota yang ada di wilayahnya.

4) Pengaturan yang lebih jelas juga diperlukan terhadap


kedudukan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Sebagai
wakil Pemerintah Pusat gubernur memiliki peran menjalankan
urusan pemerintahan umum, seperti melakukan resolusi
konflik yang terjadi di wilayahnya, menjaga keamanan dan
ketertiban, melakukan pemantauan dan evaluasi, pembinaan
dan pengawasan, dan koordinasi kegiatan penyelenggaraan
pemerintah yang ada di wilayahnya. Hubungan antara
gubernur sebagai wakil pusat dengan Kementrian/LPNK dalam
penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah perlu diatur
dengan jelas. Untuk itu, gubernur perlu memiliki anggaran
yang bersumber dari APBN dan dapat digunakan untuk
menjalankan berbagai peran tersebut.

5) Pengaturan yang jelas tentang peran gubernur sebagai kepala


provinsi dan wakil Pemerintah Pusat diperlukan untuk
menghindari kerancuan yang selama ini terjadi dalam
pelaksanaan peran ganda gubernur. Pelaksanaan kedua peran
itu membutuhkan institusi, personalia, anggaran, dan
kewenangan yang jelas dan memadai. Untuk itu pengaturan
yang jelas tentang hal tersebut sangat diperlukan.

4.3.3. Urusan Pemerintahan Umum dan Muspida

4.3.3.1. Dasar Pemikiran

Secara garis besar urusan pemerintahan dibagi atas urusan yang


bersifat absolute yang tidak diotonomikan ke daerah dan kedua
urusan yang bersifat konkuren yaitu urusan pemerintahan yang

117
diotonomikan ke daerah secara konkuren. Urusan konkuren
tersebut dibagi atas dua kelompok besar yaitu pertama urusan
wajib dan kedua urusan pilihan. Urusan wajib terbagi lagi
kedalam dua kelompok yaitu pertama yang terkait dengan
pelayanan dasar dan kedua yang tidak terkait dengan pelayanan
dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan
yang terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang
menjadi kekhasan suatu daerah.

Disamping urusan wajib dan konkuren, dalam pelaksanaan


pemerintahan di daerah terdapat juga urusan pemerintahan yang
terkait dengan:

1. pemeliharaan nilai-nilai persatuan bangsa dalam Negara


Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

2. memelihara ideology Pancasila,

3. memelihara kebinekaan bangsa agar tidak terpecah belah,


menyadari bahwa pluralisme adalah rahmat dan bukan
bencana dan untuk itu perlu dijaga kelestariannya

4. menjaga Konsttitusi bangsa yaitu UUD 1945 dengan segala


perubahannya sebagai hokum dasar yang harus
dipedomani dalam penyusunan berbagai peraturan
perundang-undangan

5. memelihara kerukunan dan toleransi beragama dan


mencegah munculnya gerakan-gerakan ekstrim yang
mengatas namakan agama dan berpotensi memecah belah
persatuan bangsa

6. mengkordinir instansi-instansi pemerintah yang ada di


daerah untuk menciptakan kesatuan tindakan dan

118
harmonisasi kegiatan sesuai dengan kewenangan masing-
masing.

7. Memelihara stabilitas kehidupan politik yang dinamis di


daerah sehingga tidak terjadi gejolak politik yang
mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat daerah.

Urusan-urusan tersebut tidak masuk dalam urusan pemerintahan


baik yang bersifat absolut maupun konkuren. Urusan tersebutlah
yang masuk dalam kategori urusan pemerintahan umum. Di
tingkat nasional urusan tersebut menjadi kewenangan Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan Negara. Di tingkat daerah belum ada
pengaturan yang jelas tentang urusan pemerintahan umum
tersebut.

Salah satu ruang lingkup dari urusan pemerintahan umum


adalah kegiatan mengkordinir instansi-instansi pemerintah yang
ada di daerah. Ada berbagai instansi pemerintah yang bukan
masuk dalam ranah perangkat daerah karena bersumber dari
urusan pemerintahan yang tidak diotonomikan atau urusan
absolute. Diantara instansi pemerintah tersebut adalah dari unsur
TNI, Polri, Kejaksaan, Instansi dari Kementerian Keuangan,
Instansi dari Kementerian Agama, Gubernur, bupati dan walikota
sebagai kepala pemerintahan daerah mendapatkan pelimpahan
untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum dari Presiden.
Konsekuensi logisnya adalah gubernur, bupati dan walikota
karena jabatannya bertindak sebagai kordinator bagi forum
instansi-instansi pemerintah tersebut, namun tidak termasuk
mengkordinir unsur yang ada diluar kekuasaan eksekutif seperti
pengadilan (yudikatif), perwakilan BPK dan lembaga-lembaga non
eksekutif lainnya.

119
Forum komunikasi antar instansi dalam ranah eksekutif
tersebut yang dimasa orde baru disebut dengan istilah
musyawarah pimpinan daerah (muspida). Dasar hukumnya
bersumber dari UU 5 tahun 1974 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah. Namun dengan digantinya UU 5/1974
dengan UU 22/1999 dan kemudian diganti pula dengan UU
32/2004 maka sebenarnya dasar hokum yang emayungi forum
muspida tersebut sudah tidak ada lagi, namun keberadaan
muspida masih dirasakan penting oleh pimpinan pemerintahan
daerah untuk mendukung sinerji dan harmonisasi kegiatan antar
instansi pemerintah yang ada di daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

4.3.3.2. Identifikasi Masalah

Dalam masa transisi demokrasi dewasa ini diperlukan


pengaturan urusan pemerintahan umum yang ada di daerah.
Dalam era Orde Baru urusan tersebut dilakukan oleh Kepala
Daerah yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota dalam kapasitasnya
juga sebagai Kepala Wilayah sebagai representasi wakil
pemerintah pusat di daerah yang memegang kendali atas

Urusan pemerintahan umum tersebut. Bahkan pada masa Orde


Baru, camat juga diposisikan sebagai wakil pusat di wilayah
kecamatan yang bertugas melaksanakan urusan pemerintahan
umum di toingkat kecamatan. Urusan pemerintahan umum
adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan secara hirarkhis dilimpahkan kepada
Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat pada waktu itu.

Dalam era reformasi dewasa ini urusan pemerintahan


umum tersebut tidak ada secara jelas dan tegas diatur dalam UU

120
32/2004. Hanya Gubernur yang berperan sebagai wakil pusat di
daerah. Itupun dimaksudkan hanya sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat untuk melakukan binwas dan fasilitasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
kabupaten/kota. Tidak diatur secara jelas dan tegas tugas-
tugasnya dalam pelaksanaan urusan pemeruintahan umum.
Terlebih di tingkat kabupaten/kota, dengan dihapuskannya posisi
Bupati/Walikota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan
juga difungsikannya camat hanya sebagai perangkat daerah, telah
menyebabkan tidak adanya institusi pemerintahan yang
melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut.

Kondisi ini yang kemudian menyebabkan tidak adanya


pelaksana urusan pemerintahan umum di daerah. Akibatnya
banyak terjadi kegiatan-kegiatan ekstrim yang bersifat
primordialisme yang tidak ada yang menanganinya di daerah.
Hanya aparat keamanan saja yang sibuk manakala terjadi
kerusuhan tanpa adanya suatu institusi yang secara fungsional
dan structural melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan
munculnya kerusuhan tersebut. Pemerintah daerah tidak ada
yang melakukan tindakan-tindakan atau program kerja yang
bersifat preventif untuk mencegah munculnya kegiatan-kegiatan
yang membahayakan keutuhan bangsa dan Negara, karena
memang tugas tersebut tidak masuk dalam ranah otonomi daerah.

Dari sisi keberadaan muspida, selama ini keberadaannya


berdasarkan hasil wawancara dengan para kepala daerah baik
kepada gubernur atau bupati/walikota, mereka menyatakan
bahwa forum muspida tersebut masih diperlukan untuk
menunjang kelancaran jalannya roda pemerintahan daerah.
Keberadaan forum tersebut dirasa urgensinya terkait dengan
upaya menyamakan persepsi dari pemerintah daerah ketika

121
menyikapi urusan-urusan yang terkait dengan keamanan,
kerusuhan akibat SARA, bencana, dan penegakan hokum yang
terkait dengan kewenangan daerah seperti penertiban KTP, ijin
bangunan, kaki lima dan gangguan-gangguan kemasayarakatan
lainnya.

Hubungan yang kurang harmonis antar instansi


pemerintah akan menunjukkan ketidak kompakan aparat
pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam menyikapi
berbagai urusan yang bersifat “cross cutting” yaitu kombinasi
antara urusan yang menjadi kewenangan daerah dan kewenangan
yang bukan masuk ranah otonomi daerah seperti kerukunan
SARA, masalah keamanan dan ketertiban, penegakan hukum
antar hukum yang berlandaskan perda dan hukum yang
berdasarkan undang-undang yang menjadi kewenangan pihak
kepolisian atau kejaksanaan dan banyak lagi contoh-contoh
lainnya.

Tidak adanya dasar hokum yang tegas dari keberadaan


muspida akan menyebabkan kesulitan dalam pertanggung
jawaban aspek keuangan. Dalam menunjang kegiatan forum
muspida tersebut, pemerintah daerah sering terbebani dalam
pendanaannya. Hal ini akan menjadi temuan manakala ada
pemeriksaan keuangan oleh BPK. Pada satu sisi kegiatan tersebut
memang harus dibiayai, namun pada sisis yang lain dasar hokum
untuk membiayainya tidak ada. Posisi dilematis ini yang kemudian
menyebabkan pemerintah daerah dalam posisi serba salah. Pemda
memerlukan bantuan aparat pemerintah seperti TNI dan Polri tapi
dasar hukum pembiayaannya tidak ada. Hal-hal ini yang
memerlukan pemecahan dalam revisi UU 32/2004. Kalau hal-hal
ini tidak ada dasar pengaturannya maka sulit menciptakan bagi
pemda untuk memperoleh dukungan dari pihak-pihak non

122
pemerintah daerah ketika pemda dihadapkan pada kegiatan-
kegiatan yang bersifat “cross cutting” yang melibatkan kewenangan
pemda dan kewenagan instansi-instansi diluar pemda.

4.3.3.3. Analisis

Dalam era transisi demokrasi seperti sekarang ini, perlu


adanya pengaturan yang jelas dan tegas siapa unit pemerintahan
yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan umum di
tingkat daerah. Tanpa kejelasan tersebut akan sulit meminta
pertanggung jawaban manakala terjadi kerusuhan atau tindakan-
tindakan yang mengarah kea rah anarkhis di daerah. Kepolisian
sebagai aparat keamanan hanya mampu bertindak setelah terjadi
peristiwa. Tanpa adanya payung hukum yang tegas dan jelas,
akan sulit bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan-
kegiatan pembinaan dan pemantauan untuk mencegah kegiatan-
kegiatan yang berpotensi memecah belah bangsa.

Di tingkat nasional Presiden sebagai kepala pemerintahan


negara yang bertanggung jawab atau urusan pemerintahan
umum tersebut. Sudah seyogyanya juga di tingkat provinsi urusan
pemerintahan umum tersebut menjadi kewenangan Gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan di tingkat
kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Bupati/walikota sebagai
kepala pemerintahan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan
umum tersebut menjadi urusan pemerintahan yang menjadi
domain pemerintah pusat dan oleh Presiden dilimpahkan
pelaksanaannya kepada gubernur di tingkat provinsi dan oleh
Presiden dilimpahkan kepada bupati/walikota di tingkat
Kabupaten/Kota.

123
Pada tingkat kecamatan, mengingat camat adalah berstatus
perangkat daerah kabupaten/kota, maka bupati/walikota
melimpahkan pelaksanaan urusan pemerintahan umum di
tingkat kecamatan kepada camat. Camat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan urusan pemerintahan umum di level paling
bawah.

Dari aspek kelembagaan adalah tidak mungkin kepala


daerah melaksanalkan sendiri urusan pemerintahan umum
tersebut. Mengingat kompleksitas dari urusan umum tersebut,
maka kepala daerah harus dibantu oleh unit pemerintahan dalam
aspek administrasi dan dukungan operasional. Karena rusan
pemerintahan umum tersebut masuk dalam ranah urusan
menjadi kewenangan pusat dalam hal ini Presiden selaku kepala
pemerintahan Negara, maka unit pemerintahan yang membantu
kepala daerah juga merupakan unit perpanjangan tangan pusat
atau unit dekonsentrasi. Keberadaan unit Kesbangpol di tingkat
daerah dengan berbagai macam nomenklatur yang dapat dialih
fungsikan untuk membantu kepala daerah dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan umum tersebut. Di tingkat provinsi,
gubernur akan dibantu kantor kesbangpol provinsi dan di tingkat
kabupaten/kota, bupati atau walikota akan dibantu oleh kantor
kesbangpol kabupaten/kota.

Dari aspek pembiayaan, karena urusan pemerintahan


umum tersebut adalah urusan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat maka pembiayaannya dibebankan kepada APBN
baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Bupati/Walikota yang melimpahkan tugas tersebut ke camat
harus diikuti dengan pembiayaannya yang bersumber dana APBN
yang dialokasikan ke kabupaten/kota. Dari aspek kelembagaan
maka kelembagaan kesbangpol yang ada di Kementerian Dalam

124
Negeri yang mebnjadi penanggung jawab di tingkat nasional, yang
di tingkat daerah, gubernur, bupati dan walikota akan dibantu
oleh kantor kesbangpol daerah yang merupakan perpanjangan
kesbangpol pusat di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi dan
pembiayaannya atas beban APBN.

Dalam konteks keberadaan muspida sebagai implikasi dari


dilimpahkannya urusan pemerintahan umum dari Presiden
kepada gubernur, bupati dan walikota sebagai kepala
pemerintahan daerah, maka untuk efektifitas pemerintahan
daerah, perlu dilakukan pengaturan tentang muspida dalam revisi
UU 32/2004. Pengaturan tersebut juga menyangkut aspek
pembiayaannya. Karena urusan merintahan umum tersebut
adalah urusan pusat yang dilimpahkan kepada kepala daerah,
maka konsekunsi logisnya pembiayaannya juga harus dari pusat
yang bersumber dari APBN. Dengan fungsi yang jelas dari muspida
dan pembiayaan yang jelas yang bersumber dari APBN akan
menghilangkan keragu-raguan pemda dalam menjalin program
dan kegiatan yang bersifat “cross cutting”.

4.3.3.4. Usul Penyempurnaan

Dalam revisi UU 32/2004 perlu diatur hal-hal sebagai


berikut terkait dengan urusan pemerintahan umum sebagai
berikut:

1. Perlu adanya definisi urusan pemerintahan umum yang


membedakannya dengan urusan pemerintahan absolut dan
konkuren.

2. Perlu adanya pengaturan tugas-tugas urusan pemerintahan


umum yang harus dilaksanakan gubernur, bupati, walikota
dan pelimpahan dari bupati/walikota kepada camat.

125
3. Perlu pengaturan mengenai kejelasan pembiayaan dan
perangkat pembantu gubernur, bupati dan walikota dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum.

4. Perlu adanya pengaturan mengenai keberadaan muspida


sebagai forum kordinasi antara pimpinan daerah dengan
pimpinan instansi vertical yang ada di daerah dan
pengaturan aspek pembiayaannya yang bersumber dari
APBN sebagai refleksi dari urusan pusat yang dilimpahkan
oleh Presiden kepada kepala daerah.

5. Perlu adanya pengaturan mengenai unit pemerintahan yang


membantu kepala daerah dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum mengingat kompleksitas dari urusan
tersebut di daerah. Instansi kebangpol yang ada selama ini
di daerah dapat dialih fungsikan sebagai unit pembantu
kepala daerah tersebut dengan status menjadi unit
dekonsentrasi.

4.4 Penyelenggara Pemerintahan Daerah

4.4.1 Implikasi Pilkada dan Hubungan Kepala Daerah dengan


DPRD

4.4.1.1 Dasar Pemikiran

Berbagai permasalahan muncul dalam pemilihan kepala daerah


(Pilkada) di Indonesia. Permasalahan yang berasal dari Pilkada
kemudian akan mempengaruhi efektifitas pemerintahan daerah.
Beberapa diantara permasalahan tersebut adalah terjadinya
money politics yang sering sulit dibuktikan tapi sangat dirasakan
oleh masyarakat. Munculnya dinasti elit penguasa lokal yang
ditandai oleh diusulkannya sanak famili kepala daerah baik anak,

126
istri, menantu, saudara untuk menjadi calon kepala daerah.
Persoalan etika juga sering disepelekan yaitu terjadinya beberapa
kasus kepala daerah yang sudah menjabat dua kali kemudian
mencalonkan dirinya sebagai wakil kepala daerah. Memang secara
legal tidak menyalahi karena tidak ada hukum positif yang
dilanggar tapi dari segi etika pemerintahan dan kepantasan sulit
untuk diterima akal sehat. Persoalan moral juga mewarnai
beberapa calon kepala daerah dimana calon yang sudah diketahui
secara meluas melakukan perbuatan asusila yang nampak dalam
video tapi karena tidak menjadi kasus hukum menjadi tidak
melanggar persyaratan sehingga yang bersangkutan tetap
mencalonkan diri.

Kondisi tersebut menunjukkan kepada kita memang semua


permasalahan tersebut diatas harus dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan agar menjadi syarat normatif yang selama
ini tidak ada sehingga tidak ada hukum positif yang dilanggar.
Kita menyadari bahwa disamping hukum yang tertulis ada juga
hukum yang tidak tertulis namun dihormati keberadaannya
khususnya yang terkait dengan persoalan etika dan kepantasan.
Namun persoalan muncul ketika etika dan kepantasan tersebut
tidak diatur secara tertulis, maka pelanggaran atas etika tersebut
dianggap hal-hal yang wajar saja dilakukan dalam masa transisi
demokrasi sekarang ini untuk mendukung ambisi pribadi.

Persoalan lain yang timbul adalah dalam sistem politik yang


demokratis ketegangan hubungan antara kepala daerah dengan
DPRD menjadi isu politik yang jamak dijumpai di daerah.
Diberlakukannya Pilkada langsung untuk
gubernur/bupati/walikota dan anggota DPRD membuat masing-
masing pihak sama-sama memiliki legitimasi politik yang sangat
kuat. Sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah

127
keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana masing-
masing tidak dapat menjatuhkan yang lainnya. Karena hubungan
keduanya tidak diatur dengan jelas maka ketegangan dan konflik
sering terjadi antara kepala daerah dan DPRD. Dalam banyak hal
konflik diantara mereka sering mengganggu efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Hubungan antara kepala daerah dengan DPRD harus


dikembangkan sebagai upaya penegakan prinsip-prinsip checks
and balances. Sebagai institusi yang berfungsi mengawasi kepala
daerah dan perangkatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, DPRD harus memiliki kapasitas yang memadai untuk
menjalankan fungsi tersebut. Juga dalam menjalankan fungsi
legislasi dalam konteks membuat peraturan daerah bersama
dengan kepala daerah, para anggota DPRD harus memiliki
dukungan sumber daya yang memadai agar mereka dapat menjadi
mitra yang setara dan sejajar kapasitasnya dengan kepala daerah.
Kegagalan dalam membangun kapasitas DPRD dapat membuat
fungsi DPRD dalam melakukan check and balance tidak efektif.

Untuk membuat hubungan antara kepala daerah dan DPRD


menjadi dinamis maka pengaturan tentang hubungan antara
kepala daerah dan DPRD harus didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:

a. Prinsip checks and balances

DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan dan


sekaligus lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki
fungsi melakukan pengawasan terhadap kepala daerah.

b. Prinsip negara hukum

Kedudukan, hak, dan kewajiban dari kepala daerah dan DPRD


harus secara jelas diatur dalam peraturan perundangan dan

128
masing-masing pihak harus bertindak sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku.

c. Prinsip Kesetaraan

Keduanya memiliki kedudukan yang setara, dimana kepala


daerah dan DPRD tidak dapat saling menjatuhkan satu sama
lainnya.

d. Kemitraan

Sebagai sesama unsur penyelenggara pemerintahan daerah


keduanya harus dapat bekerjasama dan bermitra dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

4.4.1.2 Identifikasi Permasalahan

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sangat banyak menyedot energi


baik Pemerintah Pusat dan pemerintah disamping isu
pembentukan daerah otonom baru. Dalam konteks otonomi
daerah kedua isu menguras habis perhatian kita sehingga sering
terabaikan tujuan utama otonomi daerah adalah mensejahterakan
rakyat daerah yang kalau berhasil, maka secara agregat akan
menyumbang kepada peningkatan kesejahteraan nasional.

Beberapa masalah krusial dalam konteks implikasi dari


pilkada antara lain adalah:

a. Terjadinya praktek money politics dan dirasakan secara


meluas, namun sulit menemukan bukti-bukti.

b. Tumbuhnya gejala oligarki dalam Pilkada ditandai dengan


majunya banyak calon yang berasal dari keluarga kepala
daerah baik istri, anak, menantu dan lain-lainnya. Ditengarai
majunya mereka dengan memanfaatkan fasilitas dan resources
yang dimiliki oleh kepala daerah terkait.

129
c. Merosotnya nilai-nilai etika dalam pemerintahan ketika
seseorang yang sudah dua kali menjabat kepala daerah
mengajukan dirinya menjadi wakil kepala daerah. Walaupun
secara hukum tertulis tidak ada yang dilanggar, namun dari
aspek etika sangat sulit untuk diterima dan mencederai akal
sehat.

d. Dikerahkannya birokrasi daerah untuk memberikan dukungan


kepada petahana (incumbent). Adalah sangat sulit bagi
birokrasi daerah untuk bersikap netral dalam Pilkada. Untuk
kepentingan karirnya mereka dipaksa oleh situasi untuk
memihakkan diri pada salah satu calon kepala daerah. Banyak
fakta menunjukkan diadakannya mutasi atau demosi jabatan
daerah ketika salah satu calon memenangkan Pilkada.

e. Ada beberapa kasus calon terlibat dalam gambar video


melakukan tindakan asusila, namun karena tidak terjadi
proses hukum maka tidak ada alasan hukum untuk melarang
yang bersangkutan mencalonkan diri. Karena kepala daerah
adalah kepala pemerintahan di daerah, maka kejadian tersebut
akan mencoreng kewibawaan pemerintahan daerah.

f. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sering tidak harmonis


tidak lama setelah keduanya terpilih. Keduanya sering terlibat
dalam berebut peran karena masing-masing merasa
mempunyai andil yang sama dalam pemenangan sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam beberapa kasus
kondisi tersebut telah menyebabkan terjadinya pengkotak-
kotakkan birokrasi daerah baik yang memihak kepala daerah
maupun yang memihak wakil kepala daerah.

g. Tingginya biaya pilkada yang harus ditanggung baik oleh


pemerintahan daerah maupun oleh calon kepala daerah.

130
Tingginya biaya tersebut terutama akan menjadi beban berat
bagi daerah-daerah miskin sedangkan pada sisi lain banyak
daerah yang masih sulit untuk memberikan pelayanan dasar
yang paling minimal kepada rakyatnya. Tingginya biaya yang
ditanggung calon kepala daerah ditengarai menjadi salah satu
penyebab banyaknya kepala daerah yang kemudian
bermasalah secara hukum dan akan menganggu jalannya roda
pemerintahan daerah.

Masalah lain dari penyelenggara pemerintahan daerah


adalah dalam konteks hubungan antara kepala daerah dan DPRD.
Dalam praktek sering terjadi masalah diantara keduanya karena
interpretasi terhadap peraturan perundangan sesuai dengan
kepentingannya sendiri, sehingga ketegangan dan konflik antara
kepala daerah dan DPRD sering terjadi di banyak daerah. Arena
yang sering menjadi sumber konflik antar keduanya adalah
pembentukan peraturan daerah, pembuatan APBD dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam pembentukan peraturan daerah dan pembuatan


APBD, masalah muncul ketika salah satu pihak tidak bersedia
membahas usulan pihak lainnya. Banyak kasus menunjukan
bahwa DPRD tidak mau membahas usulan Perda dan rancangan
APBD yang disampaikan oleh bupati/walikota/ gubernur. Anggota
DPRD sering menjadikan APBD sebagai arena untuk
memperjuangkan kepentingan pengusaha kliennya untuk
memperoleh kontrak proyek dari pemerintah daerahnya. 9
Akibatnya, banyak daerah yang mengalami keterlambatan dalam
9
Fenomena DPRD Kota Surabaya dapat dijadikan misal. Beberapa pimpinan fraksi besar
menitipkan proyek yang besarnya berkisar dari 50- 220 proyek. Persoalannya, dari total
786 proyek yang dititipkan anggota dewan ini sebagian besar nilainya dibawah Rp. 50
juta. Itu artinya, mekanisme pelaksanaannya melalui penunjukan langsung, bukan
lelang terbuka. Salah satu anggota dewan menjelaskan bahwa itu semua hasil
Jaringasmara/ Penjaringan Aspirasi Masyarakat. Namun, data Tempo menyebutkan ada
sebagian proyek.

131
pengesahan APBD sehingga mengganggu kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa daerah bahkan
gagal mengesahkan APBD-nya sehingga terpaksa menggunakan
APBD tahun sebelumnya.

Dalam pengelolaan sekretariat DPRD, ketegangan antara


kepala daerah dan DPRD muncul terutama terkait dengan
pengangkatan sekretaris dewan. Sekretaris dewan sering
mengalami role conflict dan mengalami posisi dilematis, ketika
hubungan antara kepala daerah dengan DPRD kurang harmonis.
Sebagai pejabat karir, nasib sekretaris dewan sering dipengaruhi
oleh penilaian dari sekretaris daerah kabupaten/kota/provinsi
yang tentunya juga amat dipengaruhi oleh kepentingan kepala
daerah. Sedang sebagai sekretaris dewan, yang bersangkutan
harus memfasilitasi DPRD yang sering memiliki kepentingan dan
sikap yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kepala daerah ketika
dihadapkan pada isu yang sama. Karena perbedaan kepentingan
politis kepala daerah dan DPRD pengangkatan sekretaris dewan
sering menjadi sumber ketegangan antara kepala daerah dan
DPRD.

Dalam bidang pengawasan, ketegangan dan konflik antara


kepala daerah dan DPRD sering terjadi karena perbedaan
pemahaman antara anggota DPRD dengan pengelola SKPD dalam
mencermati indikator kinerja keberhasilan dari program dan
proyek pembangunan di daerah. Rendahnya kualitas perencanaan
program dan proyek membuat proses pengawasan program dan
proyek menjadi semakin sulit, karena indikator kinerja dan
pencapaian kemajuan program dan proyek tidak terdefinisikan
dengan jelas. Akibatnya seringkali terjadi perbedaan pendapat dan
penilaian antara kepala daerah dengan DPRD dalam menilai
kinerja program dan proyek yang ada di daerah.

132
4.4.1.3 Analisis

Salah satu pilar yang mendukung efektifitas pemerintahan daerah


dalam mensejahterakan masyarakat daerah adalah terpilihnya
kepala daerah yang cakap (capable) mempunyai integritas dan
dapat diterima (acceptable with integrity). Untuk itu maka perlu
dipikirkan mekanisme agar kepala daerah yang capable dan
accepable dapat terealisir. Pada sisi lain pemilihan kepala daerah
dan wakilnya secara berpasangan sering menimbulkan masalah
setelah terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Untuk itu perlu kiranya dipikirkan adanya mekanisme pemilihan
hanya untuk kepala daerah saja sedangkan wakilnya ditunjuk
oleh kepala daerah terpilih. Dengan cara demikian akan terhindar
potensi konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 18 UUD 1945 juga menyatakan secara eksplisit bahwa


pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan secara
demokratis. Tidak ada satu katapun yang secara eksplisit
mengisyaratkan adanya jabatan wakil kepala daerah. Berbeda
sekali dengan keberadaan Wakil Presiden yang secara eksplisit
dinyatakan dalam konstitusi. Keberadaan wakil kepala daerah
dalam undang-undang pemerintahan daerah lebih merupakan
kompromi politik antara pihak pemerintah dengan DPR sebagai
institusi pembuat undang-undang. Namun ketika dalam praktek
banyak konflik yang muncul antara kepala daerah dengan
wakilnya, maka perlu diadakan pengakajian ulang mengenai
keberadaan wakil kepala daerah yang jelas-jelas tidak diatur
keberadaannya dalam konstitusi.

Apabila kita kembali pada hakekat pemerintahan, maka


keberadaan pemerintah harus didukung oleh kombinasi dari dua

133
unsur yaitu politik dan administrasi. Kombinasi tersebut yang
selama ini telah melahirkan adagium “when politic ends,
administration begins”. Ini berarti kekuatan politik harus
didukung oleh kapasitas administrasi yang memadai untuk
menjalankan kekuasaan politik tersebut. Untuk itulah maka
apabila posisi wakil kepala daerah secara politis ingin tetap
dipertahankan, maka adalah kurang cocok kalau orang politik
yang berperan sebagai kepala daerah didukung juga oleh orang
politik sebagai wakil kepala daerah. Dalam kondisi transisi
demokrasi seperti sekarang ini adalah akan lebih efektip kalau
kepala daerah yang politis dimbangi oleh wakil kepala daerah yang
profesional. Keberadaan politik adalah justifikasi legitimasi kepala
daerah sedangkan keberadaan profesionalisme dalam diri wakil
kepala daerah akan mendukung kekuatan politik yang legitimate
untuk menciptakan kesejahteraan melalui keberadaan wakil
kepala daerah yang profesional.

Ketika menentukan pilihan profesional sebagai pendamping


kepala daerah, maka opsi yang ada adalah apakah direkrut dari
kelompok PNS atau bebas. Pilihan PNS akan mengurangi waktu
penyesuaian bagi wakil kepala daerah karena pengalaman PNS
yang lama dalam bidang pemerintahan dibandingkan non PNS.
PNS khususnya yang ada di loingkungan pemda sudah
mempunyai pengalaman yang banyak dalam pengelolaan daerah.
Keberadaan PNS sebagai wakil kepala daerah akan membantu
menyeimbangkan pencapaian tujuan politis dan tujuan
administratif dari kebijakan desentralisasi.

Pada sisi lain mengikat jumlah penduduk daerah yang


sangat variatif, maka untuk daerah-daerah yang berpenduduk
sedikit tidak diperlukan adanya wakil kepala daerah karena
keberadaan kepala daerah saja sudah cukup untuk memimpin

134
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya untuk daerah-
daerah yang berpenduduk banyak dimana keberadaan wakil
kepala daerah diperlukan, maka jumlah kepala daerah yang ada
dapat bervariasi atau lebih dari satu orang sesuai dengan beban
tugas yang diemban oleh kepala daerah yang dapat dialihkan
kepada wakil kepala daerah.

Untuk menghindari munculnya masalah etika dan moral


dalam pilkada maka perlu adanya pengaturan mengenai
persyaratan kepala daerah. Calon kepala daerah yang sudah jelas
terbukti secara hukum cacat terkait masalah moral dilarang untuk
ikut mencalonkan diri. Demikian juga terkait masalah etika, perlu
diatur bahwa calon kepala daerah yang sudah dua kali menjabat
kepala daerah tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai wakil
kepala daerah. Dengan adanya pengaturan tersebut akan menjadi
aturan tertulis dan hukum positif yang mengikat.

Untuk menekan biaya yang timbul dalam Pilkada, perlu


dipikirkan bahwa Pilkada provinsi cukup dilakukan melalui
pemilihan oleh DPRD. Ada beberapa pemikiran yang melandasinya
yaitu:

1. Dari sisi pelayanan publik yang diberikan oleh provinsi.


Ternyata sedikit sekali pelayanan publik langsung yang
diberikan provinsi kepada masyarakat. Ini berarti intensitas
pertemuan antara gubernur dan masyarakat provinsi yang
bersangkutan tidaklah tinggi. Rendahnya intensitas hubungan
antara gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut
akuntabilitas yang tinggi dari gubernur kepada masyarakat.
Dari sini lahir argumen kenapa gubernur cukup dipilih oleh
DPRD saja sebagai wakil rakyat. Berbeda dengan pemilihan
bupati/walikota. Sebagian terbesar pelayanan publik langsung

135
diberikan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk
itu intensitas pertemuan bupati/walikota dengan warganya
akan tinggi sekali. Konsekuensinya rakyat menuntut
akuntabilitas yang tinggi dari bupati/walikota. Untuk itu maka
pemilihan bupati/walikota sebaiknya tetap langsung oleh
rakyat.

2. Dari sisi legal; konstitusi dalam Pasal 18 menyatakan bahwa


gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis.
Demokratis bisa berkonotasi dua yaitu bisa dipilih langsung
oleh rakyat dan bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga
perwakilan rakyat.

Dalam sejarah pemerintahan daerah, hubungan kepala


daerah dan DPRD dapat dikatakan belum pernah mencapai titik
yang ideal, terutama juga dilihat kacamata negara demokratis,
yang menganut adanya pemisahan dan penyebaran kekuasaan.
Pelimpahan kekuasaan pemerintahan daerah kepada kepala
daerah dan DPRD sebenarnya dilakukan dalam rangka pembagian
kekuasaan antara kedua unsur penyelenggara pemerintahan
daerah sehingga terjadi mekanisme check and balance dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme check and
balance penting diperkuat efektivitasnya agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu dari keduanya dan
agar kepala daerah dan DPRD dapat bekerjasama dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.

Untuk dapat mewujudkan adanya check and balance maka


kapasitas DPRD mesti harus ditingkatkan karena berbagai temuan
menunjukan bahwa kemampuan DPRD dalam menjalankan
fungsinya sangat rendah.10 Kapasitas DPRD jauh lebih rendah
10
Lihat temuan GDS 2002 dan GAS 2006 dalam Dwiyanto, Agus, dkk, 2003. Reformasi
Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta dan Dwiyanto, Agus,
dkk, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan di Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta.

136
dibandingkan dengan kepala daerah dan perangkatnya.
Akibatnya, peran DPRD untuk merepresentasikan kepentingan
warganya dalam proses pembentukan peraturan daerah dan
proses penyusunan APBD sering tidak dapat dilakukan secara
efektif. Kedua kegiatan tersebut sering menjadi arena dominasi
kepentingan elit politik dan birokrasi (elite captures). Hal ini
membuat kepercayaan warga terhadap DPRD menjadi semakin
terkikis dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPRD
semakin rendah.

Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa DPRD belum


mampu merepresentasikan kepentingan warganya. Pertama,
kapasitas kelembagaan DPRD yang masih terbatas dalam memberi
dukungan kepada para anggotanya. Sebagai sebuah institusi
sekretariat DPRD mestinya dapat memberi dukungan kepada para
anggota DPRD dalam menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat
di daerah, terutama dalam pembentukan peraturan daerah,
penyusunan APBD, dan dalam melakukan pengawasan terhadap
jalannya pemerintahan daerah. Karena itu sekretariat DPRD harus
dilengkapi dengan tenaga profesional yang memiliki kemampuan
teknis untuk mendukung kegiatan dari para anggota DPRD.

Kedua, DPRD pada umumnya belum memiliki sekretaris


DPRD yang profesional dan mampu membangun kapasitas
organisasi untuk memberi dukungan kepada anggota DPRD.
Posisi sekretaris DPRD masih dianggap sebagai posisi buangan
dan marginal bukan posisi strategis dalam konteks pengembangan
karir di birokrasi daerah. Persepsi yang seperti ini membuat
daerah sering tidak menempatkan calon yang terbaik untuk posisi
sekretaris daerah. Apalagi kenyataan bahwa sekretaris DPRD
sering mengalami posisi yang sulit ketika terjadi konflik antara
kepala daerah dengan DPRD, membuat mereka yang memiliki

137
kemampuan yang baik tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD.
Semua hal diatas membuat sekretaris dewan pada umum belum
mampu memberi dukungan yang optimal kepada DPRD.

Ketiga, kemampuan anggota DPRD pada umumnya secara


individu masih rendah sehingga tidak dapat secara optimal
menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan
pengalaman mereka dalam kegiatan pemerintahan yang terbatas
sering membuat kemampuan mereka untuk menjalankan peran
sebagai anggota DPRD tidak optimal. Keterbatasan kemampuan
mereka menjalankan peran sebagai anggota DPRD ikut mendorong
munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap anggota DPRD
dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Keempat, ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD sebagai


wakil rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD yang sekarang
terjadi lebih menempatkan mereka sebagai wakil partai politik
daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi partai politik terhadap
para anggota DPRD-nya yang sangat kuat membuat para anggota
DPRD tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat yang
diwakilinya, manakala kepentingan rakyat yang diwakili berbeda
dengan kepentingan politik partainya.

Kelima, keterbatasan anggaran yang tersedia bagi anggota


DPRD untuk menyerap, menggali, dan memperjuangkan
kepentingan warga dan konstituen. DPRD juga memiliki
keterbatasan anggaran dan sumber daya yang tidak
memungkinkan mereka menjalankan fungsi check and balance.
Akibatnya, kemampuan DPRD untuk dapat menjalankan fungsi
pengawasan terhadap kinerja kepala daerah masih sangat
terbatas.

138
Dengan memahami berbagai faktor diatas, maka
pemberdayaan DPRD hanya akan efektif kalau dapat
menyelesaikan berbagai masalah diatas. Pemberdayaan DPRD
setidaknya harus mampu meningkatkan antara lain: kapasitas
sekretariat DPRD dan pejabatnya, kemampuan anggota DPRD
dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, ketersediaan
sumber daya untuk memberi dukungan kepada DPRD dalam
menjalankan seluruh fungsinya, dan kualitas hubungan antara
anggota DPRD dengan konstituennya.

4.4.1.4 Usulan Penyempurnaan

1) Perlu ada pengaturan bahwa gubernur dipilih oleh DPRD


sedangkan bupati/walikota tetap dipilih secara langsung oleh
rakyat.

2) Perlu ada pengaturan bahwa hanya kepala daerah yang dipilih


sedangkan wakilnya ditunjuk dari PNS dan pengaturan
mengenai jumlah wakil kepala daerah yang diperbolehkan
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk suatu daerah.

3) Perlu diatur batasan etika dan moral dalam persyaratan calon


kepala daerah.

4) Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kedudukan dan


hubungan antara DPRD dan kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pengaturan tersebut
harus mampu menjamin terjadi check and balance dalam
hubungan kerja keduanya untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat di daerah.

5) Perlu ada pengaturan yang dapat memperkuat posisi sekretaris


DPRD sebagai seorang manajer yang profesional dan

139
independen dari sekretariat daerah. Sebagai pimpinan
organisasi pendukung kegiatan DPRD maka sekretaris DPRD
harus dapat bertindak secara profesional dan independen dari
tekanan pihak kepala daerah. Untuk itu perlu ada pengaturan
yang jelas tentang kedudukan sekretaris DPRD, hubungannya
dengan sekretaris daerah, kepala daerah, dan DPRD.
Pengaturan harus memungkinkan sekretaris DPRD untuk
mengoptimalkan dukungannya kepada DPRD agar dapat
menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Untuk itu maka perlu kejelasan kompetensi manajerial, teknis
maupun pemerintahan dari pegawai yang akan menduduki
jabatan sekretaris DPRD.

6) Perlu ada pengaturan yang memungkinkan sekretariat DPRD


memfasilitasi DPRD dan para anggotanya untuk menjalankan
perannya sebagai wakil rakyat di daerah. Sekretariat DPRD
harus memiliki sumber daya yang memadai untuk merekrut
tenaga ahli yang dapat memberi dukungan kepada DPRD dan
para anggotanya dalam menjalankan semua fungsi yang
melekat pada anggota DPRD.

7) Untuk dapat menjalankan fungsi representasi, anggota DPRD


perlu memiliki anggaran yang memadai untuk menjalin
hubungan yang erat dengan warga yang diwakilinya. Kegiatan
anggota DPRD dalam menjalankan fungsi representasi harus
memperoleh anggaran yang wajar dan memadai. Pengaturan
perlu dibuat agar anggaran yang disediakan benar-benar
dipergunakan untuk menjalankan fungsi representasi dan
tidak dipergunakan untuk tujuan lain yang tidak terkait
dengan pelaksanaan fungsi representasi.

140
8) Dalam hal terjadi konflik antar kepala daerah dan DPRD, maka
Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat menjadi institusi
yang dapat menjadi wasit yang baik dalam penyelesaian
konflik antara kepala daerah dan DPRD. Untuk
pelaksanaannya Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam
Negeri untuk mewakili Presiden mengambil tindakan yang
diperlukan dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara
DPRD dan kepala daerah.

9) Untuk menghindari tumpang tindih pengaturan, maka revisi


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur garis-
garis besar dari Pilkada, sedangkan secara teknis mekanisme
pemilihan, persyaratan calon, sampai dengan penetapan
kepala daerah diatur dalam undang-undang tentang pilkada.

10) Khusus mengenai pengaturan DPRD sepanjang yang sudah


diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka mengikuti pengaturan dalam
undang-undang tersebut. Revisi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 hanya akan mengatur hal-hal yang belum diatur
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

4.5 Organisasi Perangkat Daerah

4.5.1 Dasar Pemikiran

Organisasi perangkat daerah memiliki posisi yang sangat penting


dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Desain, struktur, mekanisme kerja, dan kualitas aparatur
sangat menentukan kinerja daerah. Seberapa tepat daerah
merancang desain, struktur, dan proses kerja sehingga mampu
menjalankan fungsi secara efisien, efektif, dan sinergik menjadi
kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

141
Dalam merancang desain dan struktur birokrasinya, daerah
tentunya harus mendasarkan pada urusan wajib terkait pelayanan
dasar yang menjadi prioritas daerah dan urusan pilihan sesuai
dengan potensi unggulan daerah Pengembangan birokrasi di
daerah harus juga mempertimbangkan prinsip-prinsip efisiensi,
efektivitas, dan kemudahan interaksi. Struktur perangkat daerah
harus efisien. Prinsip efisiensi ini mengajarkan bahwa struktur
harus sederhana dan ramping tapi mampu mengemban banyak
fungsi. Dengan struktur yang seperti ini maka daerah akan dapat
menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya dengan
pengorbanan sumber daya yang kecil.

Dengan berazaskan pada prinsip efektivitas maka daerah


harus mengembangkan struktur organisasi yang mampu
mewujudkan outputs dan outcomes sesuai yang diharapkan dari
penyelenggaraan setiap urusan pemerintahan daerah. Efektivitas
mengukur kemampuan struktur organisasi untuk merealisasikan
program-program yang dikembangkan oleh daerah. Sedangkan,
prinsip kemudahan interaksi menjamin adanya kemudahan
interaksi antar organisasi di daerah dan antar organisasi dengan
warganya.

Dengan mengembangkan struktur organisasi atau perangkat


daerah yang memenuhi ketiga prinsip diatas, maka daerah akan
dapat mengembangkan organisasi yang ramping tetapi
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan
efektif. Organisasi daerah juga mampu berinteraksi secara wajar
dan saling melengkapi dan mendukung kegiatan-kegiatan dari
organisasi daerah lainnya sehingga sinergi antar organisasi di
daerah dapat diwujudkan. Kemudahan interaksi antara organisasi
daerah dengan warganya juga sangat penting diwujudkan karena
kemudahan interaksi akan sangat warga untuk mengakses

142
pelayanan publik di daerahnya. Kemudahan interaksi akan dapat
menghemat energi pemerintah daerah dan warganya dalam
mengakses pelayanan publik dan kegiatan pemerintahan lainnya.

4.5.2 Identifikasi Permasalahan

Pengalaman dalam pelaksanaan otonomi daerah menunjukan


kecenderungan daerah untuk membentuk organisasi perangkat
daerah yang banyak jumlahnya dan kurang didasarkan pada
kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. 11 Besarnya
organisasi perangkat daerah yang dimaksud dapat dilihat dari
banyaknya jumlah dinas daerah, jumlah badan dan jumlah
kantor. Banyak daerah kabupaten dan kota yang mempunyai
dinas yang sebenarnya kurang relevan dengan kebutuhan
masyarakat atau potensi unggulan yang ada di daerah tersebut.
Masih banyak dijumpai adanya dinas pertanian atau bahkan
kehutanan di daerah perkotaan. Berbagai studi menunjukan
bahwa para pemangku kepentingan di daerah menilai struktur
birokrasi di daerah cenderung gemuk dan menyerap anggaran
yang besar. Akibatnya, banyak anggaran pemerintah yang terserap
untuk belanja pegawai dan memenuhi kebutuhan birokrasi
daripada yang digunakan untuk membiayai pelayanan
masyarakat.

Disamping struktur birokrasi yang besar dan kompleks,


masalah lainnya adalah adanya orientasi pegawai daerah untuk
menduduki jabatan struktural sangat tinggi dan berlebihan. Hal
ini disebabkan karena jabatan struktural dalam birokrasi publik
memiliki fungsi yang multidimensional. Jabatan struktural bukan
hanya memberikan mereka kekuasaan, penghormatan, tetapi juga
tambahan penghasilan yang berarti. Semakin tinggi jabatan
11
Diskusi tentang hal ini dapat dibaca dalam Roy Salomo, “Pokok-Pokok Pemikiran
Untuk Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004: Perangkat Daerah”,
paper tidak diterbitkan

143
strukturalnya, semakin besar nilai yang diperoleh oleh pejabatnya.
Hal seperti ini mendorong birokrasi dan para pejabatnya untuk
memperbesar struktur birokrasi di daerah sehingga dapat
menyediakan banyak tempat bagi para pejabat birokrasi di daerah.
Karenanya tidak mengherankan kalau banyak daerah yang
mengembangkan struktur birokrasi yang besar dan kompleks.

Orientasi yang berlebih pada jabatan struktural, membuat


pengembangan jabatan fungsional kurang berkembang di dalam
birokrasi daerah. Banyak daerah yang belum mengembangkan
jabatan fungsional. Padahal jabatan fungsional tidak menuntut
organisasi yang besar, bahkan dapat memperbaiki kualitas
pelayanan pemerintah daerah melalui peningkatan kapasitas
aparatur birokrasi. Penciptaan jabatan fungsional dalam birokrasi
pemerintah di daerah penting didorong agar daerah dapat
mempercepat pengembangan kapasitas aparaturnya dengan baik
dan cepat.

Belum adanya analisis jabatan dan analisis beban kerja


membuat daerah tidak pernah tahu secara pasti berapa besar
organisasi yang dibutuhkan dan berapa banyak jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan. Akibatnya, pengembangan struktur
birokrasi di daerah seringkali lebih banyak didasarkan atas
pertimbangan subyektif, jangka pendek, dan pemahaman yang
kurang tepat terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi
oleh Daerah.

Masalah lainnya adalah adanya kecenderungan dari


kementerian/LPNK untuk mendesak daerah membuat struktur
organisasi sebagaimana yang ada di pusat dengan tawaran akan
diberi bantuan. Disamping itu munculnya berbagai undang-
undang sektoral yang mengharuskan daerah untuk membentuk

144
suatu organisasi yang sering relevansinya tidak ada di daerah
yang bersangkutan seperti kewajiban membuat organisasi
bencana walaupun daerah tersebut bukan berpotensi bencana.
Sama halnya dengan diwajibkannya daerah membuat lembaga
penyuluhan pertanian di daerah perkotaan yang tidak ada
petaninya. Pada akhirnya semua instruksi dan desakan tersebut
akan bermuara pada membengkaknya kelembagaan daerah yang
sekaligus juga meningkatkan overhead cost dan mengurangi biaya
pelayanan publik.

4.5.3 Analisis

Ada beberapa penyebab mengapa daerah cenderung


mengembangkan struktur organisasi yang besar dan kompleks. 12
Pertama, kecenderungan semakin kuatnya politisasi birokrasi di
daerah. Pilkada yang membutuhkan resources yang besar memberi
peluang kepada aparat birokrasi untuk terlibat pemenangan calon
kepala daerah. Banyak aparat birokrasi yang terlibat menjadi tim
sukses dari calon kepala daerah dengan harapan jika calonnya
terpilih akan memperoleh kedudukan yang lebih baik dalam
birokrasi di daerah. Disamping itu, kepala daerah terpilih sering
berusaha memasukan pendukungnya dalam jabatan birokrasi
sehingga diharapkan dapat memberi dukungan terhadap
keberhasilan program-program yang dijanjikannya dalam Pilkada.
Untuk dapat menampung para pendukungnya sering kepala daerah
kemudian mengembangkan struktur birokrasi di daerah.

Kedua, jumlah pegawai negeri yang besar di daerah


mendorong mereka mengembangkan struktur organisasi yang besar
agar dapat menampungnya dalam jabatan-jabatan struktural yang
ada. Dilihat dari kepentingan birokrasi, pengembangan struktur
12
Disamping berbagai hal diatas Salomo juga menjelaskan faktor-faktor lainnya seperti
orientasi pada jabatan struktural yang sangat besar dan dampak dari pembubaran
instansi vertikal di daerah yang sering memaksa daerah membuat struktur yang gemuk.

145
yang besar tentu menguntungkan. Namun, dilihat dari kepentingan
publik sangat merugikan karena banyak anggaran yang kemudian
terserap untuk pembiayaan birokrasi daripada untuk kepentingan
publik. Disamping memerlukan pembiayaan yang tinggi, struktur
yang besar dan kompleks juga cenderung mempersulit interaksi
antara pemerintah dengan warganya. Pelayanan publik menjadi
semakin rumit dan panjang.

Ketiga, belum ada tradisi untuk melakukan evaluasi kinerja


(performance review) yang secara periodik menilai ketepatan antara
struktur birokrasi dengan visi dan misi daerah. Akibatnya, banyak
daerah tidak memiliki visi dan misi yang jelas sehingga mereka
dapat mengembangkan struktur birokrasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan daerah dan mengembangkan struktur berdasar
kepentingan sempit dan jangka pendek. Analisis jabatan juga sangat
jarang dilakukan. Karenanya tidak mengherankan kalau daerah
cenderung memiliki struktur yang besar dan kompleks.
Pelaksanaan otonomi yang diharapkan dapat dijadikan sebagai
peluang bagi daerah untuk merestrukturisasi birokrasi sehingga
lebih efisien ternyata tidak menjadi kenyataan.

Dengan melihat kondisi yang seperti ini, maka tidak


mengherankan kalau banyak anggaran daerah yang terserap untuk
membiayai struktur yang gemuk tersebut. Sejauh ini data
Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa rata-rata provinsi,
kabupaten dan kota di Indonesia mengalokasikan dana sekitar
77,45% pada tahun 2004, dan 76,43% pada tahun 2005 dari
anggarannya untuk belanja aparatur. Sedangkan dari besaran
anggaran untuk belanja publik masih terdapat komponen biaya
overhead. Akibatnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat menjadi semakin kecil. Hal ini

146
menjelaskan mengapa desentralisasi di Indonesia belum banyak
memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah.

Pembengkakan organisasi juga berdampak pada melebarnya


rentang kendali (span of control) dan menimbulkan masalah
"inkoherensi institusional" karena fungsi yang seharusnya ditangani
dalam satu kesatuan unit harus diderivasi ke beberapa unit
organisasi sehingga pada akhirnya mengarah pada proliferasi
birokrasi. Kondisi tersebut lebih jauh juga berpotensi menimbulkan
dis-harmoni atau bahkan friksi antar unit organisasi sebagai akibat
tarik-menarik kewenangan. Untuk itu pengaturan bagi perangkat
daerah yang efektif harus menjadi perhatian penting dalam
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

4.5.4 Usulan Penyempurnaan

1) Perlu ada pengaturan tentang norma, kriteria, dan standar


dalam pengembangan Organisasi perangkat daerah.
Pengaturan harus mendorong daerah untuk dapat membentuk
organisasi perangkat yang sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki; karakteristik potensi dan kebutuhan daerah;
kemampuan keuangan daerah; ketersediaan sumber daya
aparatur; dan pengembangan pola kemitraan antar daerah
serta dengan pihak ketiga.

2) Perlu adanya pengetatan struktur organisasi daerah agar


mempunyai struktur organisasi sesuai dengan prioritas
kebutuhan pelayanan dasar serta sektor unggulan yang
potensial dikembangkan di daerah yang bersangkutan. Untuk
itu perlu adanya pemetaan atau mapping dari
kementerian/LPNK di pusat untuk memetakan daerah-daerah
dengan potensi unggulan atau prioritas pelayanan dasar sesuai
dengan kewenangan kementerian/LPNK terkait. Dengan cara

147
tersebut setiap kementerian/LPNK akan mempunyai
stakeholders yang jelas yang akan dilibatkan dalam
pencapaian target nasional dari kementerian/LPNK tersebut.
Cara tersebut akan menghilangkan pola instruksi yang
memaksakan daerah untuk membuat organisasi yang seragam
di seluruh daerah, tapi akan sesuai dengan sektor unggulan
dan prioritas pelayanan dasar dari daerah tersebut.
Pendekatan tersebut akan menciptakan pola asimetris antar
daerah dalam menerapkan organisasi perangkat daerah.

3) Perlu juga disusun pengaturan yang mendorong daerah


melakukan analisis jabatan dan menjadikannya sebagai dasar
dalam mereformasi perangkat pemerintahannya yang
dimilikinya. Analisis jabatan harus dapat memberi informasi
kepada daerah tentang kebutuhan jabatan, klasifikasi jabatan,
standar kompetensi jabatan, sistem renumerasi, dan sistem
informasi kepegawaian.

4) Pengaturan organisasi perangkat daerah perlu memikirkan


pengembangan jabatan fungsional secara signifikan. Jika
daerah mampu untuk mengembangkan jabatan fungsional
secara signifikan maka daerah dapat mengurangi tekanan yang
ada padanya untuk membuat struktur gemuk demi
menampung tenaga kerja yang jumlahnya cukup besar. Selain
itu pengembangan jabatan fungsional juga dapat membantu
pengembangan profesionalisme pegawai daerah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan daerah.

5) Perlu juga disusun pengaturan tentang insentif berbasis


kinerja sehingga orientasi pegawai daerah yang cenderung
untuk menduduki jabatan struktural dapat berubah. Dengan
mengembangkan ukuran kinerja yang jelas dan memberikan

148
insentif berbasis pada kinerja, maka minat aparat daerah
untuk menduduki jabatan fungsional dapat ditingkatkan dan
pengembangan profesionalisme aparat di daerah dapat
dipercepat dan mengurangi tekanan birokrasi atas jabatan
struktural yang cenderung akan memicu penggembungan
struktur organisasi pemerintah daerah.

6) Perlu ada pengaturan yang membatasi besaran anggaran


untuk belanja pegawai. Pengaturan tentang hal ini dapat
dilakukan dengan menentukan besaran proporsi anggaran
belanja pegawai terhadap APBD. Besaran belanja pegawai
yang sekarang ini berkisar 70-90% APBD sudah amat
merugikan kepentingan publik di daerah. Anggaran untuk
belanja pegawai setidak-tidaknya tidak boleh melebihi besaran
anggaran yang disediakan untuk pelayanan publik.
Pengaturan tentang masa transisi untuk mendorong daerah
agar dapat memperkecil proporsi anggaran untuk belanja
pegawai sangat diperlukan.

4.6 Kecamatan

4.6.1 Dasar Pemikiran

Peran dan fungsi kecamatan mengalami pergeseran yang sangat


berarti sesuai dengan konteks politik dan legal, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
kecamatan memiliki kedudukan yang sangat kuat, karena
kecamatan diakui sebagai wilayah administratif dan sebagai
kepala wilayah camat juga menjalankan tugas dekonsentrasi.
Dalam kedudukan yang seperti ini, kecamatan memiliki peran

149
yang strategis karena menjadi ujung tombak dari banyak kegiatan
pemerintahan.

Namun, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1979 peran


kecamatan mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Kecamatan bukan lagi perangkat dekonsentrasi tetapi berubah
menjadi perangkat daerah. Camat sebagai perangkat daerah
berperan membantu bupati/walikota menjalankan tugas
desentralisasi dan tugas dekonsentrasi dalam konteks
pemerintahan daerah hanya dilakukan oleh gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat. Camat berdasarkan kewenangan yang
dilimpahkan oleh bupati/walikota memiliki kewenangan untuk
melakukan Binwas terhadap kepala desa, karena eksistensi desa
yang diatur dengan Perda kabupaten/kota dan berada dalam
ranah Binwas kabupaten/kota dan desa diperlakukan sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan
tradisi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kecamatan
tetap diperlakukan sebagai perangkat daerah dan karena itu,
keberadaan dan fungsinya sangat tergantung pada daerah, sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing.

Sebagai perangkat daerah, kecamatan semestinya dapat


difungsikan sebagai salah satu agen pelayanan atau menjadi
intermediaries yang penting dalam hubungan antara warga dengan
kabupaten/kota. Di daerah tertentu yang memiliki lingkungan
geografis yang luas dan akses terhadap pusat pemerintahan di
kabupaten sangat sulit kecamatan dapat menjadi salah satu agen
pelayanan publik dan menjadi intermediaries dalam hubungan
antara pemerintah dengan warganya. Namun, sayang keberadaan
kecamatan selama ini belum memperoleh apresiasi yang wajar dan
dimanfaatkan oleh kabupaten/kota memfasilitasi pelayanan
kepada warganya. Sedangkan, potensi yang tersedia di kecamatan

150
sebenarnya dapat diberdayakan untuk menjadi salah satu pilihan
bagi kabupaten/kota untuk memperbaiki kinerja pelayanan dan
pemerintahannya. Bupati/walikota dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada camat untuk memberi pelayanan kepada
warganya.

4.6.2 Identifikasi Permasalahan

Salah satu masalah utama dalam pengembangan kecamatan


adalah ketidakjelasan tentang kedudukan camat. Walaupun
camat sudah tidak lagi sebagai kepala wilayah, namun seringkali
masyarakat dan warganya masih menganggap dan mengharapkan
camat untuk berperan sebagai kepala wilayah. Namun,
kedudukan camat sebagai perangkat daerah sekarang ini memiliki
kewenangan yang terbatas, yaitu kewenangan atributif untuk
menjalankan fungsi kordinatif. Belum banyak bupati/walikota
yang melimpahkan kewenangan kepada camat untuk
menyelenggarakan pelayanan pemerintah yang berskala
kecamatan berdasarkan prinsip delegatif. Sedangkan, potensi yang
tersedia di kecamatan sering memadai untuk dijadikan sebagai
salah satu agen pelayanan pemerintah.

Sebagai akibat dari ketidakjelasan peranannya, kecamatan


pada umumnya juga belum memiliki anggaran yang jelas.
Sementara ekspektasi masyarakat untuk mengambil peran
tertentu dalam pelayanan dan menjalankan fungsi pemerintahan
umum sangat besar. Dalam posisi seperti ini camat seringkali
menghadapi situasi yang sulit untuk dapat memainkan peran
sesuai dengan harapan masyarakat. Karena itu, status, fungsi,
dan anggaran kecamatan perlu diperjelas sehingga keberadaannya
membawa manfaat bagi masyarakat di wilayahnya.

4.6.3 Analisis

151
Secara paradigmatik, kedudukan kecamatan mengalami
perubahan besar, sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikeluarkan oleh
pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
kecamatan diperlakukan sebagai perangkat dekonsentrasi dan
sekaligus sebagai kepala wilayah. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 kecamatan diperlakukan sebagai
perangkat daerah. Perubahan kedudukan yang mendasar ini tentu
memiliki pengaruh terhadap keberadaan kecamatan dan
kontribusinya terhadap keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.

Sebagai perangkat daerah, peran camat kemudian sangat


tergantung pada tindakan yang diambil oleh bupati/walikota,
apakah mereka bersedia mendelegasikan sebagian perannya
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa daerah
memberdayakan kecamatan dengan memberikan kewenangan
delegatif kepada camat untuk menyelenggarakan pelayanan
tertentu. Sebaliknya, banyak bupati/walikota yang tidak mau
mendelegasikan kewenangannya kepada camat sehingga peran
camat menjadi sangat terbatas.

Untuk melihat kedudukan kecamatan dalam


penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka posisi kecamatan
dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda dalam mengelola
kegiatan pemerintahan di daerah. Perspektif pertama
menggunakan wawasan kewilayahan dalam melihat kedudukan
dan peran kecamatan. Dalam perspektif ini kecamatan dapat
menjadi SKPD yang digunakan oleh daerah sebagai penyelenggara
kegiatan pelayanan tertentu yang berskala kecamatan, seperti
pengelolaan kebersihan, pengawasan bangunan, perizinan
kegiatan usaha berskala kecamatan, administrasi kependudukan,

152
pengelolaan kebersihan, prasarana umum, dan pelayanan lainnya
sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan.

Dalam perspektif ini, kecamatan diberi kewenangan delegatif


untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Untuk itu perlu
diatur mengenai kewenangan delegatif minimal yang harus
dilimpahkan kepada camat dan kejelasan mengenai sumber
pembiayaan, perangkat serta sarana dan prasarana yang
diperlukan. Pelimpahan kewenangan bupati/walikota tersebut
adalah untuk pelayanan publik yang berskala kecamatan dan
sesuai dengan karakteristik kecamatan yang bersangkutan.
Perspektif ini cocok digunakan menjelaskan peran kecamatan
terutama untuk daerah yang memiliki wilayah geografis yang luas
dan kendala transportasi bagi warganya untuk dapat mengakses
pelayanan pada tingkat kabupaten/kota.

Dalam perspektif kedua, yang mengutamakan pendekatan


sektoral dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran
kecamatan menjadi sangat terbatas. Ketika pelayanan publik dan
kegiatan pemerintahan dikelola secara sektoral dan akses
masyarakat luas untuk mengakses pelayanan pada tingkat
kabupaten/kota sangat mudah maka pengembangan struktur
birokrasi berbasis sektoral menjadi pilihan yang cocok. Daerah
dapat mengembangkan pelayanan di tingkat kabupaten/kota
seperti pelayanan One-Stop Service (satu pintu) yang mengabaikan
peran kecamatan. Warga dapat berinteraksi dengan
pemerintahnya di tingkat kabupaten/kota dengan mudah dan
murah.

Yang menjadi masalah sekarang ini adalah ketika daerah


mengembangkan struktur kelembagaan yang tidak jelas
orientasinya, apakah berbasis sektoral, kewilayahan, atau

153
kombinasi dari keduanya. Jika hal seperti ini terus berlanjut maka
daerah akan sulit mengembangkan pemerintahan yang efisien,
efektif, responsif, dan interaktif. Konflik antara kepentingan
wilayah dan sektor akan selalu terjadi dan kepentingan warga
akan adanya pelayanan publik yang mudah diakses, efisien, dan
efektif akan sulit untuk diwujudkan. Karena itu daerah perlu
didorong untuk memiliki orientasi yang jelas dalam pengembangan
perangkat daerah dan pendekatan yang digunakan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.

Untuk daerah yang secara geografis cakupan wilayahnya


sangat luas, akses terhadap pelayanan di ibukota kabupaten/kota
sulit dan mahal, dan kendala transportasi masih sangat berarti,
maka penguatan kelembagaan kecamatan menjadi pusat
pelayanan sangat diperlukan. Daerah perlu memberi kewenangan
delegatif kepada kecamatan secara lebih jelas dan rinci. Namun,
untuk daerah kota yang wilayah geografisnya relatif sempit, akses
terhadap pelayanan di kota mudah dan murah, dan transportasi
mudah diperoleh maka keberadaan kecamatan menjadi tidak
begitu penting. Daerah dapat mendorong penyelenggaraan
pelayanan publik yang tersentralisasi di kota dengan
menggunakan satu pintu, sehingga penyelenggaraan pelayanan
publik menjadi murah, mudah, dan lebih akuntabel.

4.6.4 Usul Penyempurnaan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disampaikan usulan


penyempurnaan pengaturan mengenai kecamatan sebagai
berikut :

1) Tetap menjadikan kecamatan sebagai SKPD, tidak


dikembalikan lagi menjadi wilayah administrasi pemerintahan
seperti pada masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

154
Sebagai SKPD peran kecamatan perlu ditempatkan pada
kedudukan yang jelas, sesuai dengan kebutuhan daerah. Jika
dari pertimbangan kewilayahan, aksesibilitas, dan transportasi
keberadaan kecamatan sebagai pusat pelayanan amat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik
tertentu maka kecamatan perlu diberdayakan sebagai pusat
pelayanan publik pada skala kecamatan.

2) Untuk daerah yang ingin menjadikan kecamatan sebagai pusat


pelayanan publik maka bupati/walikota wajib melimpahan
kewenangan delegatif tertentu kepada camat. Beberapa
pelayanan seperti: pengelolaan kebersihan, pemeliharaan
prasarana umum, perizinan usaha kecil skala kecamatan dan
pengawasan tata ruang dapat didelegasikan kepada
kecamatan. Dalam hal ini daerah harus memberikan
perangkat kelembagaan, pembiayaan, dan personel yang
memadai kepada kecamatan agar mereka dapat menjalankan
perannya secara optimal.

3) Untuk kawasan kota yang wilayah geografisnya relatif sempit,


pelayanan di kota mudah diakses, dan sarana transportasi
mudah diperoleh, daerah dapat mengembangkan pelayanan
satu atap dan terpusat di kota. Dalam konteks ini daerah tidak
memerlukan perangkat kecamatan sebagai pusat pelayanan.
Untuk daerah yang seperti ini keberadaan kecamatan yang
kuat menjadi tidak relevan dan karena tugas utama camat
adalah membantu bupati/walikota dalam penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat kecamatan. Pengaturan yang memberi
kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan struktur
kelembagaan dan perangkat daerah yang berbeda sesuai
dengan kondisi daerahnya perlu diatur dengan jelas dalam
undang-undang ini.

155
4) Pembentukan, penggabungan, dan pembubaran kecamatan
perlu diatur dengan ukuran dan kriteria yang jelas agar
tindakan yang diambil oleh daerah benar-benar bermanfaat
bagi kepentingan warga di daerah. Khusus untuk penambahan
kecamatan baru, yang cenderung marak di berbagai daerah,
perlu dibuat pengaturan yang lebih ketat agar pembentukan
Kecamatan baru benar-benar dilakukan untuk kepentingan
masyarakat di daerah bukan hanya untuk kepentingan elit di
daerah. Selain itu, pembentukan kecamatan perlu melalui
proses persiapan sesuai tahap dan parameter yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat, sehingga daerah kabupaten/kota tidak
dengan mudah membentuk kecamatan baru tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan.

4.7 Aparatur Daerah

4.7.1 Dasar Pemikiran

Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu pilar utama dari
NKRI. Sebagai salah satu pilar penyangga NKRI maka keberadaan
dan kualitas dari PNS menjadi salah satu aspek strategis dalam
mempertahankan kelangsungan NKRI. Kebijakan untuk
meningkatkan profesionalisme, wawasan nasional, dan kepedulian
PNS terhadap masalah bangsa menjadi sangat stretegis dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah
diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pencapaian tujuan
tersebut. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa harapan
tersebut masih jauh dari yang diinginkan. Munculnya banyak mis-
konsepsi dalam memahami otonomi daerah telah membuat
manajemen kepegawaian menjadi terkotak-kotak pada wilayah

156
yang sempit dan menjauhkan dari keinginan membangun
aparatur yang berwawasan nasional dan profesional.

Untuk mempertahankan PNS sebagai pilar NKRI maka


pemerintah perlu mengembangkan manajemen kepegawaian yang
bersifat nasional yang memungkinkan mobilitas pegawai antar
daerah otonom berjalan dengan lancar. Mobilitas pegawai antar
daerah otonom bukan hanya penting untuk membangun wawasan
nasional tetapi juga untuk peningkatan kapasitas pegawai itu
sendiri. Tour of duty and area karenanya harus menjadi bagian
yang penting dalam perencanaan karir PNS dan pengembangan
manajemen kepegawaian di daerah. Manajemen kepegawaian di
daerah harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan manajemen
kepegawaian nasional. Lebih dari itu reformasi kepegawaian harus
terintegrasi dengan reformasi birokrasi di daerah. Karena itu
pendekatan terpadu perlu dikembangkan agar keduanya dapat
berjalan bersama dan sinergis.

Peran PNS sebagai pilar dari NKRI hanya akan dapat


diwujudkan kalau profesionalisme menjadi nilai penting dalam
pengembangan kebijakan dan manajemen kepegawaian.
Pemerintah harus dapat mengembangkan kebijakan dan
manajemen kepegawaian yang mampu menjaga netralitas PNS
terhadap partai politik dan kegiatan politik. Manajemen
kepegawaian harus dapat meningkatkan kapasitas PNS untuk
mengambil jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik
yang ada di daerah dan bertindak adil terhadap semua kelompok
dan golongan yang ada di masyarakat. Manajemen kepegawaian
harus dapat menjadikan PNS bertindak independen dari semua
kegiatan politik dan melindungi mereka dari campur tangan
kekuatan dan kekuasaan politik yang ada di daerah.

157
Untuk dapat meningkatkan profesionalisme maka
rekrutmen PNS dan penempatan mereka dalam jabatan harus
dilakukan berdasarkan meritokrasi dan berbasis kompetensi,
terbuka, dan kompetitif. Untuk dapat mewujudkan prinsip
meritokrasi dan melakukan rekrutmen dan promosi berbasis pada
kompetensi maka pemerintah perlu mengembangkan ukuran dan
standar kompetensi untuk jabatan di lingkungan pemerintahan
daerah. Pemerintah dapat memulainya dari jabatan yang dinilai
strategis.

Promosi jabatan publik secara terbuka dapat dilakukan


dengan memberi peluang yang sama kepada semua yang
memenuhi persyaratan kompetensi untuk bersaing
memperebutkan jabatan publik yang tersedia. Persaingan yang
terbuka perlu didorong agar dapat menjadi insentif bagi PNS
untuk meningkatkan kapasitas dirinya sesuai dengan aspirasi
karir yang dimilikinya. Rekrutmen dan promosi harus berbasis
pada jabatan. Analisis jabatan perlu dilakukan secara periodik
untuk menentukan kebutuhan aparatur secara pas baik jumlah
ataupun klasisifikasinya. Untuk mempercepat pengembangan
profesionalisme maka sistem penggajian harus dikembangkan
berdasarkan atas kinerja. Besaran gaji dan insentif yang diberikan
harus sebanding dengan beban kerja, tanggungjawab, dan
pencapaian kinerja.

4.7.2 Identifikasi Permasalahan

Rendahnya profesionalisme aparatur daerah menjadi persoalan


utama dalam manajemen kepegawaian daerah. Tidak adanya
standar kompetensi untuk jabatan struktural dan fungsional
mempersulit penerapan prinsip meritokrasi dalam rekrutmen dan
promosi pejabat publik di daerah. Kepala daerah memiliki ruang

158
yang sangat besar untuk menempatkan pejabat publik sesuai
dengan selera dan kepentingannya. Dalam suasana politisasi yang
sangat kuat sekarang ini, sebagai akibat dari eforia Pilkada, ruang
yang tersedia bagi kepala daerah sering dimanfaatkan untuk
menempatkan pejabat daerah berdasarkan ukuran-ukuran
subyektif seperti loyalitas, afiliasi politik, dan kemampuan
membayar untuk menduduki jabatan tersebut. 13 Fenomena
seperti ini tentu mempersulit upaya pengembangan
profesionalisme aparatur daerah.

Pelaksanaan Pilkada yang membutuhkan sumber daya yang


besar dan mobilisasi masa yang sangat banyak telah memberi
peluang bagi para calon kepala daerah untuk menarik para pejabat
karir dalam struktur pemerintah di daerah untuk terlibat terlalu
jauh dalam kegiatan Pilkada, sebagai bagian dari tim sukses,
menjadi pasangan calon kepala atau wakil kepala daerah, dan
pendukung pencalonan mereka sebagai kepala daerah. Bagi para
pejabat birokrasi, Pilkada juga menjadi peluang bagi mereka untuk
dapat membangun akses terhadap kekuasaan politik yang
diharapkannya nanti dapat mempercepat promosi mereka kedalam
jabatan birokrasi yang lebih strategis. Banyak pejabat birokrasi
yang kemudian secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam
proses Pilkada dan menjadi bagian dari upaya pemenangan calon
kepala daerah yang didukungnya.

Fenomena seperti ini lazim terjadi di daerah dan membuat


politisasi birokrasi di daerah menjadi sangat intens dan
mengganggu upaya untuk mewujudkan aparatur yang profesional
tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Sedangkan
tanpa aparatur yang profesional amat sulit membayangkan
13
GDS, 2002 dan GAS 2006 yang diselenggarakan oleh PSKK UGM menunjukan adanya
penguatan subyektifitas dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik pasca
pelaksanaan otonomi daerah.

159
pelaksanaan otonomi daerah akan dapat mendorong terjadinya
kemajuan daerah.

Masalah lain yang perlu diselesaikan dalam kepegawaian di


daerah adalah rendahnya mobilitas aparat birokrasi di daerah.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, mobilitas pegawai antar
daerah menjadi sangat rendah. Rendahnya mobilitas pegawai antar
daerah dikawatirkan membuat wawasan nasional dari para pejabat
birokrasi daerah menjadi sangat kurang. Hal ini tentu sangat
merugikan dilihat dari kepentingan untuk mempertahankan
integrasi nasional dan juga dari pengembangan profesionalisme
aparatur daerah. Profesionalisme birokrasi menuntut aparatur
memiliki pengalaman penugasan yang berbeda dalam bidang dan di
wilayah yang berbeda. Pengaturan perlu dilakukan untuk
mendorong adanya mobilitas pegawai antar daerah.

Rendahnya mobilitas pegawai antar daerah sering terkait


dengan sistem rekrutmen yang tertutup dan berbau Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Rekrutmen yang tertutup membuat
jabatan yang tersedia di satu daerah tidak dapat diakses oleh
daerah lainnya. Kondisi seperti ini sering menutup kesempatan
bagi PNS yang memiliki pengalaman dan kompeten di daerah lain
untuk dapat bersaing secara wajar menduduki jabatan tersebut.
Meluasnya praktik KKN melalui rekrutmen dan promosi pejabat
publik di daerah sering mendorong daerah menjadi semakin
tertutup dalam melakukan rekrutmen dan promosi pejabat publik
di daerah.

Sisi lain dari masalah kepegawaian adalah tidak adanya


kejelasan jumlah pegawai yang dibutuhkan daerah. Akibatnya
daerah mengalami suatu situasi kelebihan dan kekurangan
pegawai dalam waktu yang bersamaan. Pemerintahan daerah

160
kelebihan pegawai yang tidak mempunyai kompetensi yang
memadai untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan
kompetensi tertentu. Sebaliknya pemerintahan daerah juga
kelebihan pegawai yang tidak jelas kompetensinya sehingga
mereka menjadi beban bagi keuangan pemerintahan daerah dan
membengkakkan overhead cost pemerintah daerah.

Masalah lain yang menyebabkan PNS sulit untuk menjadi


netral adalah diberikan kewenangan Pembina kepegawaian kepada
kepala daerah. Kepala daerah adalah pejabat politis yang berbasis
spoil system. Ada kecenderungan kepala daerah mengelola
kepegawaian dengan pendekatan spoil system dan bukan
berdasarkan pendekatan meritokrasi. Akibatnya terjadi
kecenderungan politisasi PNS di daerah untuk melakukan
pemihakan khususnya dalam pilkada. Kondisi tersebut akan
berdampak pada menurunnya profesionalisme dan
mengedapannya aliansi politis dalam menajemen kepegawaian.
Pada gilirannya pelayanan publik yang menjadi korban karena
penempatan pejabat bukan atas dasar profesionalisme tapi atas
pertimbangan politis.

4.7.3 Analisis

Memiliki PNS yang netral, profesional, dan berdedikasi tinggi


sebagai aparat negara dalam mengabdi pada masyarakat adalah
harapan masyarakat luas yang tampaknya masih sangat jauh
untuk menjadi realitas.14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
belum memiliki pengaturan yang mampu mengarahkan
pengembangan profesionalisme dari PNS di daerah. Masih banyak

14
Berbagai masalah dalam manajemen kepegawaian terkait dengan netralitas, rendahnya
profesionalisme, dan mobilitas pegawai dapat dibaca dalam Siti Zuhro, “Kepegawaian”,
paper tidak diterbitkan.

161
ruang yang tersedia bagi berbagai pihak untuk melakukan
inflitrasi politik dalam kehidupan birokrasi pemerintah di daerah.
Dalam rekrutmen pejabat di daerah sering terjadi
bupati/walikota/gubernur menempatkan pejabat kedalam jabatan
publik tidak berdasar pada pertimbangan kompetensi dan
profesionalisme tetapi menggunakan ukuran subyektif seperti
afiliasi politik, kesamaan etnis, dan kekerabatan. Setelah
pelaksanaan otonomi daerah, kecenderungan menguatnya
pertimbangan subyektif dalam rekrutmen dan penempatan pejabat
publik sangat kuat. GDS 2002 dan GAS 2006 telah dilakukan di
banyak kabupaten/kota dan provinsi membuktikan bahwa
subyektivitas dalam penempatan para pejabat publik di daerah
sudah sampai pada titik yang sangat merugikan pengembangan
profesionalisme di dalam birokrasi pemerintah. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pencarian solusi terhadap masalah ini perlu
segera dilakukan.

Belum tersedianya peraturan yang mengatur hubungan


antara pejabat politik (elected officials) dengan pejabat karir
memang menjadi salah satu sebab dari menguatnya politisasi
birokrasi di daerah. Efuria demokrasi telah mendorong para
politisi baik yang ada di DPRD ataupun di eksekutif
(bupati/walikota/gubernur) untuk melakukan intervensi
kehidupan birokrasi untuk kepentingan politiknya. Dalam Pilkada
banyak bupati/walikota yang menekan para pejabat karir seperti
sekreatris daerah dan kepala dinas yang dibawahnya untuk
melakukan berbagai tindakan politis yang seharusnya tidak
dilakukan oleh mereka sebagai seorang birokrat yang profesional.
Misalnya, dengan menjadi tim sukses dan menggunakan resources
daerah untuk mendukung pencalonan bupati/walikotanya.

162
Pada sisi lain, banyak pejabat karir yang melihat Pilkada
sebagai peluang untuk melakukan manuver politik dengan
mendukung kegiatan pencalonan bupati/walikota/gubernur. Para
pejabat birokrasi berharap dengan menjadi tim sukses mereka
akan memiliki akses terhadap kekuasaan dan memperoleh jabatan
yang strategis. Mereka berpikir bahwa akses terhadap kekuasaan
dapat menjadi jalan tol bagi pengembangan karir mereka dalam
birokrasi pemerintahan di daerah. Bagi para pejabat birokrasi ini
membangun akses terhadap kekuasaan menjadi jalur yang lebih
mudah dan cepat untuk mengembangkan karir daripada
menunjukan kinerja dan profesionalismenya.

Kecenderungan diatas harus diakhiri. Hubungan antara


pejabat karir dan politik di daerah harus diatur dengan jelas
sehingga dinamika hubungan keduanya dapat mendorong
peningkatan kinerja pemerintah daerah. Untuk itu perlu dibuat
kerangka hukum yang mengatur agar hak-hak dan kewenangan
politik dari gubernur/bupati/walikota tidak digunakan untuk
kepentingan politik partai. Hubungan antara pejabat politik
dengan pejabat karir harus diatur dengan jelas dan pengaturan itu
harus dapat menjadi instrument terwujudnya aparatur daerah
yang profesional. Untuk itu, rekrutmen pejabat birokrasi di daerah
harus mengikuti prinsip-prinsip meritokrasi, terbuka, dan
kompetitif.

Untuk menjaga netralitas PNS dari penetrasi politik maka


harus ada pejabat karir tertinggi yang menjadi penanggung jawab
pengelolaan PNS di lingkungan pemda. Untuk itu maka peran
sekretaris daerah untuk menjalankan peran sebagai pejabat
pembina karir tertinggi di daerah yang memberikan masukan
kepada kepala daerah ketika akan melakukan penempatan PNS
dalam jabatan-jabatan structural maupun fungsional yang ada di

163
daerah. Sekda yang berperan mengusulkan pejabat-pejabat yang
layak untuk menduduki suatu jabatan sesuai dengan kompetensi
yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut.

Pada dasarnya ada tiga kompetensi yang harus dipenuhi


seoang PNS untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Pertama
adalah kompetensi yang bersifat admionistratif dan manajerial
yang terkait dengan golongan pangkat yang harus dipenuhi untuk
menduduki jabatan tersebut termasuk sekolah penjenjangan yang
sifatnya manajerial yang harus diikuti sebelum menduduki
jabatan tersebut. Kedua adalah kompetensi yang bersifat tehnis
yang dibuktikan dengan adanya sertifikasi yang dipersyaratkan
untuk menduduki suatu jabatan. Sertifikasi ditetapkan oleh
kementerian tehnis terkait dengan jabatan tersebut. Jabatan
kepala bagian atau biro keuangan harus mempunyai sertifikasi
dari kementerian keuangan. Ketiga adalah sertifikasi
pemerintahan atau kepamong-prajaan yang ditetapkan oleh
Kementerian Dalam Negeri yaitu pemahaman tentang otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pemahaman tentang
undang-undang pemerintahan daerah dan hal-hal terkait dengan
aspek pemerintahan lainnya.

Adalah sangat sulit bagi kepala daerah yang berbasis politis


untuk menetapkan pejabat-pejabat untuk menduduki jabatan
structural tertentu tanpa didukung oleh pertimbangan
kompetensi. Untuk itu maka peran sekda sangat membantu
memberikan pertimbangan yang sifatnya tehnis dan berbasis
meritokrasi untuk menjadi masukan bagi kepala daerah dalam
menentukan pejabat-pejabat yang akan diproyeksikan menduduki
jabatan-jabatan tertentu di lingkungan pemda. Diskresi kepala
daerah untuk mengangkat pejabat-pejabat dilingkungan pemda.

164
Namun diskresi tersebut harus dimbangi dengan pendekatan
meritokrasi yang diberikan oleh sekda.

Untuk menciptakan kondisi tersebut yaitu keseimbangan


antara diskresi politis dengan pertimbangan tehnis maka perlu
diperkuat posisi sekda agar jangan di kooptasi oleh kekuatan
politik local. Untuk itu maka perlu dipertimbangkan jabatan sekda
menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk menentukannya.
Kepala daerah mengusulkan kepada pemerintah pusat dan pusat
akan menempatkan pejabat-pejabat yang memang disiapkan
untuk menduduki jabatan sekda. Untuk menciptakan check and
balance dalam penempatan sekda, maka kepala daerah berhak
meminta penggantian sekda apabila dipandang sekda tersebut
sulit diajak bekerjasama oleh kepala daerah. Pemerintah akan
menugaskan pejabat penggantinya yang akan menjadi sekda di
daerah tersebut.

Dengan cara demikian maka sekda akan menjadi alat


perekat nasional dan menjaga prinsip-prinsip meritokrasi untuk
diterapkan oleh kepala daerah sebagai pejabat politik. Cara ini
diharapkan menghilangkan pendekatan primordialisme dalam
manajemen kepegawaian di daerah. PNS akan menjadi
professional yang menjadi tanggung jawab sekda untuk menjaga
dan memeliharanya.

Konsekuensi dari penempatan sekda oleh pemerintah pusat


akan berimplikasi perlunya pusat mempunyai sumber calon-calon
pejabat sekda yang memadai. Untuk itu maka PNS yang sudah
berpangkat IV/c menjadi kewenangan pusat untuk mengelolanya.
Untuk itu diperlukan adanya data base yang komprehensif di
pusat mengenai PNS yang sudah memasuki golongan pangkat
IV/c. Kelompok tersebutlah yang diproyeksikan menjadi pejabat

165
sekda dengan wawasan nasional dan kompetensi yang memadai
untuk menduduki jabatan tersebut. Merekalah alat perekat
bangsa secara nasional yang akan mengawal profesionalisme PNS
yang bekerja di daerah.

Dengan demikian sekda akan menjadi bawahan kepala


daerah yang memberikan pelayanan secara professional kepada
kepala daerah dalam pemnyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Secara operasional sekda akan berada dibawah komando pejabat
politis (kepala daerah) namun secara professional, karirnya
dilindungi dari pengaruh politis. Keseimbangan ini akan
menghasilkan pemerintahan daerah yang kuat dan kepala daerah
boleh berulang kali berganti namun pelayanan publik akan tetap
terpelihara sehingga tujuan otonomi daerah untuk
mensejahterakan rakyat tetap menjadi misi utama pemerintahan
daerah.

Dari aspek jumlah PNS yang diperlukan daerah akan sangat


tergantung pada ratio PNS terhadap penduduk dan dengan
mempertimbangkan kondisi geografis daerah. Pada dasarnya ada
tiga jenis PNS di daerah yaitu tenaga guru, paramedik dan tenaga
administrasi. Untuk itu maka harus ada rasio guru terhadap
murid; rasio paramedik terhadap penduduk dan rasio tenaga
administrasi terhadap penduduk serta dengan mempertimbangkan
kondisi geografis suatu daerah. Atas dasar pertimbangan tersebut
akan dapat dihitung berapa jumlah guru, paramedik dan tenaga
administrasi yang dibutuhkan oleh suatu daerah. Dengan
demikian daerah tidak akan mengalami kondisi kekurangan atau
kelebihan PNS.

Berdasarkan pendekatan manpower planning, mensyaratkan


bahwa pemda harus mempunyai pegawai dalam jumlah dan

166
kualifikasi yang memadai untuk menyelenggarakan pemerintahan
daerah. Dengan adanya pengaturan ratio dan juga kompetensi
diharapkan pemda akan mempunyai pegawai dengan kompetensi
yang memadai.

4.7.4 Usulan Penyempurnaan

Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


seyogyanya diarahkan pada pengembangan sistem kepegawaian
daerah yang menghargai profesionalisme dan menjauhkan
birokrasi pemerintah dari intervensi politik yang berorientasi pada
kepentingan politik sempit dari aktor-aktor politik daerah, seperti
gubernur/bupati/walikota dan para anggota DPRD.
Penyempurnaan juga dilakukan untuk mencegah para pejabat
karir memanfaatkan peluang politik yang terbuka dengan adanya
Pilkada untuk membangun akses terhadap kekuasaan.
Kecenderungan para pejabat karir menjadi tim sukses
gubernur/bupati/walikota dalam Pilkada baik secara terang-
terangan atau diam-diam dan menggunakan sumber daya publik
untuk memenangkan calon yang didukungnya harus dihindari.

Untuk itu ada beberapa pengaturan yang perlu dibuat:

1) Membuat pengaturan yang jelas dan tegas tentang hubungan


antara pejabat politik dan aparat birokrasi di daerah yang
mampu menjamin terwujudnya aparatur daerah yang
profesional. Penggunaan hak-hak politik yang dimiliki oleh
gubernur, bupati/walikota tidak boleh dilakukan untuk
kepentingan politik yang sempit, seperti kepentingan partai,
kelompok, dan pribadi tetapi harus dilakukan dalam rangka
mewujudkan aparatur daerah yang profesional, peduli kepada
kepentingan publik, dan berwawasan kebangsaan.

167
2) Mengembangkan konsep sistem pengembangan aparatur
daerah yang terintegrasi secara nasional. Aparatur daerah
adalah bagian yang tak terpisahkan dari aparatur negara.
Untuk itu, perlu ada pengaturan yang memungkinkan
pemerintah mengendalikan pengembangan dan distribusi
aparatur daerah dengan klasifikasi dan jabatan tertentu.
Pemerintah Pusat merekrut PNS dalam golongan pangkat IV/c
dan mendistribusikan menjadi sekda di daerah atas
permintaan daerah.

3) Perlu ada pengaturan tentang klasifikasi jabatan fungsional


yang dinilai strategis dan dapat dimobilisasi untuk
menyeimbangkan penyebarannya secara nasional. Pemerintah
Pusat dapat mendistribusikan pegawai profesional strategis
tertentu, seperti: dokter spesialis, akuntan, perencana, dan
keahlian langka lainnya.

4) Perlunya pengaturan mengenai standar kompetensi dalam


jabatan-jabatan dalam jajaran birokrasi pemerintah daerah,
terutama untuk jabatan yang strategis. Ukuran kompetensi
yang diperlukan untuk menduduki jabatan strategis tertentu
harus didefinisikan dengan jelas. Definisi ukuran kompetensi
penting dalam perencanaan dan pengembangan karir pejabat
birokrasi pemerintah. Ukuran ini juga dapat mendorong para
pegawai untuk mengembangkan kompetensinya sesuai dengan
aspirasi karir masing-masing. Sedikitnya ada tiga kompetensi
yang perlu diatur dalam penentuan promosi untuk suatu
jabatan. Pertama, kompetensi administratif atau manajerial
yang terkait dengan pemenuhan persyaratan
pangkat/golongan dari jabatan dan pendidikan penjenjangan
yang harus dimiliki. Kedua, kompetensi teknis yang terkait
dengan persyaratan teknis yang terkait dengan jabatan

168
tersebut. Persyaratan teknis harus dibuktikan dengan
sertifikasi yang dikeluarkan oleh kementerian teknis yang
membidangi urusan tersebut. Ketiga, kompetensi
pemerintahan yang terkait pemahaman tentang dasar-dasar
pemerintahan termasuk kebijakan desentralisasi, hubungan
pusat dan daerah, dan hal-hal lain terkait dengan
pemerintahan daerah.

5) Rekrutmen dilakukan secara terbuka, kompetitif, berbasis


pada kompetensi. Perlu pengaturan mengenai ratio jumlah
pegawai dikaitkan dengan jumlah penduduk dengan
mempertimbangkan kondisi geografis daerah. Dengan cara
demikian tidak lagi terjadi pengangkatan pegawai diluar
jumlah yang telah ditentukan berdasarkan ratio dan
pertimbangan geografis tersebut.

6) Mendorong daerah mengembangkan manajemen kepegawaian


yang mampu mendorong adanya profesionalisme, terbuka,
kompetitif, dan politis. Daerah didorong untuk mampu
mengembangkan sistim insentif berbasis pada kinerja.

4.8 Peraturan Daerah (Perda)

4.8.1 Dasar Pemikiran

Setiap daerah otonom memiliki kewenangan mengatur dan


mengurus rumah tangganya sendiri. Kewenangan ini memberi
daerah hak untuk membuat produk hukum untuk
menyelenggarakan otonomi yang dimilikinya, berupa Perda.
Daerah membentuk peraturan daerah untuk mengatur dan
mengurus fungsi-fungsi pemerintahan yang telah diserahkan
kepada daerah. Namun demikian, Perda sebagai bagian dari sistim
peraturan perundangan-undangan tidak boleh bertentangan

169
dengan peraturan perundangan yang memiliki kedudukan yang
lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori). Bahkan, Perda
seharusnya dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangan-
undangan yang lebih tinggi.

Terkait dengan muatan Peraturan Daerah, Pasal 12 Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa muatan dari
Perda adalah a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b) menampung kondisi khusus daerah; serta c) penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.15Dengan
demikian ketaatan terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi menjadi prasyarat yang utama dalam
penyusunan Perda. Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk
menjaga konsistensi dan koherensi antara Perda dengan peraturan
yang lebih tinggi melalui fungsi pembinaan dan pengawasan
(Binwas).

Agar Perda yang dibuat oleh daerah mencerminkan aspirasi


dan kebutuhan daerah maka daerah harus melibatkan para
pemangku kepentingan yang ada di daerahnya dalam membuat
peraturan daerah. Representasi berbagai kelompok kepentingan
dalam proses pembuatan peraturan daerah penting untuk dijaga
agar Perda sungguh-sungguh menggambarkan kebutuhan daerah
dan mampu mendorong pembangunan daerah sebagaimana
diharapkan oleh warganya. Untuk itu, konsultasi publik dalam
pembuatan Perda wajib dilakukan.

4.8.2 Identifikasi Permasalahan

Dalam negara kesatuan produk hukum yang dihasilkan oleh


daerah dibuat dalam upaya melaksanakan berbagai peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, karenanya tidak boleh
15
Yance Arizona , Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif
dalam http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas Pengujian Perda.pdf

170
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Namun, dalam kenyataannya selama pelaksanaan otonomi daerah
banyak sekali Perda yang bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Banyak
Perda yang kemudian terpaksa dibatalkan oleh pemerintah,
karena dinilai menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi
daerah. Lebih dari itu, banyak kelompok dalam masyarakat yang
mengeluh dan merasa dirugikan oleh munculnya berbagai Perda
yang dinilai tidak berwawasan kebangsaan.16

Berbagai masalah lain tersebut terjadi karena pembentukan


Perda sering tidak melibatkan pemangku kepentingan. GAS 2006
menunjukkan proses pembuatan Perda cenderung sangat elitis
dan karenanya, Perda sering kurang mampu menjawab berbagai
persoalan dan kebutuhan masyarakat. Keterlibatan masyarakat
dalam proses pembuatan Perda sering hanya dijadikan sebagai
formalitas dan tidak substantif.17 Berbagai kelompok kepentingan
sering mengeluh karena banyak masukan dan pemikiran yang
disampaikan dalam publik hearing di DPRD tidak diakomodasi
tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, ketika peraturan daerah
tersebut ditetapkan banyak protes dan resistensi muncul dari
berbagai kelompok masyarakat.

16
Salah satu contohnya adalah Perda Syariat. Di Desa Garuntungan, Kecamatan
Kindang, Bulukumba, wanita kristen yang akan menghadiri acara resmi yang diadakan
puskesmas setempat di sodorkan jilbab, meskipun masyarakat tahu bahwa wanita
tersebut beragama kristen. Padahal, pasal 13 perda tersebut menyebutkan bahwa perda
hanya berlaku bagi masyarakat islam. Bahkan, di ayat 2 menegaskan bahwa masyarakat
yang bukan islam pakaiannya disesuaikan dengan agamanya masing-masing. Sumber
;The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
Depancasilaisasi Lewat Perda SI.
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/
gatraedisi-vii.pdf.
17
Menyangkut Perda Syariat, Denny Indrayana menemukan fakta bahwa dalam
pembuatannya terjadi manipulasi dengan mendatangkan orang untuk membawa aspirasi
yang kemudian diklaim sebagai aspirasi masyarakat. Sumber: Denny Indrayana. Ada
Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist.
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatrae
disi-vii.pdf

171
Masalah lain adalah kecenderungan Perda dibuat untuk
mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak Perda
terkait dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah
cenderung memperburuk iklim investasi, karena tidak ramah
terhadap investasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dalam
menyikapi Perda seperti ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 sebenarnya telah memiliki pengaturan tentang kewenangan
pemerintah untuk membatalkan Perda yang dinilai bertentangan
dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan
perundangan yang yang lebih tinggi. Namun mekanismenya terlalu
rumit sebab pembatalan Perda harus dengan Peraturan Presiden
dan dibatasi waktu 60 (enam puluh) hari.

4.8.3 Analisis

Banyak studi menunjukan bahwa keterbatasan dalam memahami


kedudukan produk hukum daerah dalam konteks peraturan
perundang-undangan, orientasi pada kepentingan yang sempit
dan berjangka pendek, dan kegagalan memahami kepentingan
umum sering membuat produk hukum daerah, seperti Perda,
gagal memenuhi azas pembentukan Perda. Konflik antar susunan
pemerintahan sering terjadi karena Perda dan peraturan kepala
daerah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bahkan,
tidak jarang kasus pertentangan antar produk hukum daerah
dengan produk hukum yang lebih tinggi ini menyeret pejabat
daerah ke pengadilan. Kontroversi juga banyak terjadi di daerah
sebagai akibat dari ketidakpuasan pemangku kepentingan di
daerah terhadap Perda. Demonstrasi dan protes dari berbagai
kelompok kepentingan di daerah yang menuntut pencabutan
Perda dan peraturan kepala daerah sering terjadi di banyak
daerah.

172
Dalam mengatasi persoalan yang muncul terkait dengan
Perda yang dinilai merugikan kepentingan umum atau
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi,
ada dua pilihan yang tersedia yaitu: executive review atau judicial
review. Argumentasi dari pilihan yang pertama adalah bahwa
dalam negara kesatuan daerah memperoleh kewenangan sebagai
akibat dari penyerahan kewenangan yang diberikan oleh Presiden
sebagai kepala pemerintahan. Karena itu pemerintah berhak
menilai apakah daerah telah menggunakan kewenangan yang
diberikannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang.

Sedangkan argumentasi dari pilihan kedua adalah bahwa


Perda adalah produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga
legislatif daerah,18 karenanya tidak dapat dibatalkan dengan
mudah oleh Pemerintah Pusat. Walaupun daerah menerima
pelimpahan kewenangan dari pemerintah mereka dapat juga
melakukan judicial review jika keberatan terhadap tindakan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang membatalkan Perda yang
dibentuknya.

Perdebatan tentang bentuk pengawasan terhadap Perda


tentu menambah kerumitan dari masalah yang dihadapi sekarang
ini dalam pembentukan peraturan daerah. Pengalaman selama ini
dengan menerapkan executive review Pemerintah Pusat masih
kesulitan mengendalikan pembentukan peraturan yang dinilai
merugikan kepentingan umum. Salah satunya karena pencabutan
Perda menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dilakukan
dengan Peraturan Presiden. Persoalan menjadi semakin rumit dan
kompleks karena jumlah Perda yang bertentangan dengan

18
Kontroversi tentang kedudukan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah atau sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah dapat dibaca dalam bab tentang DPRD.

173
peraturan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan
umum tiap tahunnya dapat berjumlah ribuan.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2008 Direktorat Jendral


Perimbangan Keuangan Daerah telah mengevaluasi lebih dari
7200 peraturan dan rencana peraturan daerah dan
merekomendasi 2000 perda tentang pajak dan retribusi untuk
dicabut karena merugikan kepentingan umum atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.19 Kementerian Dalam Negeri,
dari 1999-Maret 2006 telah membatalkan 506 peraturan daerah
dan menilai 393 Perda lainnya sebagai layak dibatalkan. 20 Melihat
banyaknya kasus penerbitan Perda yang dinilai melanggar
kepentingan umum maka pengaturan pencabutan Perda yang
bermasalah perlu dibuat lebih sederhana, efisien, dan tanpa
mengurangi hak-hak daerah untuk membuat produk hukum yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.

Untuk mencegah agar Perda dan peraturan kepala daerah


tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih
tinggi maka pemberdayaan pemerintahan daerah melalui
peningkatan kapasitas pembentukan peraturan daerah perlu
dilakukan. Peningkatan kapasitas teknis pemerintahan daerah
dalam memahami materi kewenangan yang dimilikinya (rationae
materie), wilayah wewenangnya (rationae locus), tenggang waktu
kewenangannya (rationae temporis), dan prosedur
pembentukannya. Sebagaimana ditemukan dalam berbagai
penelitian, kepala daerah dan anggota DPRD yang berwenang
untuk secara bersama-sama membentuk Perda sering tidak
19
Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat
9.617 Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah
itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri
untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi. Dari jumlah ini
sampai akhir tahun 2007 sejumlah 761 perda telah dibatalkan.
20
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=search&query=pembatalan
%20perda

174
memahami berbagai masalah teknis dalam pembentukan Perda
dan peraturan kepala daerah. Karena itu penguatan kapasitas
teknis dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi
kesalahan dalam pembentukan Perda dan peraturan kepala
daerah.

Dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan banyaknya


Perda yang bermasalah, Pemerintah Pusat dapat menggunakan
asas preventif dan asas represif. Perda yang terkait dengan
kepentingan umum dan dampak dari kesalahan dalam Perda
langsung dirasakan oleh masyarakat dan ketika kerusakan terjadi
tidak mudah dikembalikan, seperti antara lain: Perda tentang
pajak dan retribusi, tata ruang, dan APBD maka asas preventif
dapat diberlakukan. Sedang untuk Perda daerah lainnya asas
represif lebih cocok untuk diterapkan karena lebih efisien, mudah,
dan akuntabel. Mengingat banyaknya kasus Perda yang
bermasalah yang tidak mungkin diselesaikan dengan peraturan
presiden maka undang-undang pemerintahan daerah dapat
membuat pengaturan yang lebih sederhana dengan melimpahkan
kewenangan Presiden dalam pengendalian peraturan daerah
kepada Menteri Dalam Negeri untuk peraturan daerah provinsi
dan gubernur untuk peraturan daerah kabupaten/kota.

4.8.4 Usulan Perubahan

1) Perlu ditegaskan secara jelas bahwa fungsi Perda sebagai


produk hukum daerah adalah penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
dibentuk untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
telah dilimpahkan ke daerah. Sebagai pihak yang
melimpahkan kewenangan kepada daerah, Pemerintah Pusat
tentu dapat membatalkan Perda yang dinilai bertentangan

175
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum (executive review). Pengaturan yang lebih
jelas tentang mekanisme dan prosedur pembatalan Perda yang
bertentangan dengan peraturan perundangan perlu dibuat
sederhana, terbuka, menggunakan kriteria yang jelas, dan
memperhatikan kedudukan dan susunan pemerintahan yang
ada.

2) Pengaturan mengenai penggunaaan asas preventif dan asas


represif dalam pembatalan Perda dan produk hukum daerah
lainnya perlu dibuat dengan jelas. Pertimbangan untuk
menggunakan asas represif atau preventif tergantung pada
dampak dari kerugian yang ditanggung oleh masyarakat dan
risiko pemulihan dari dampak negatif dari penerbitan Perda
yang bermasalah. Asas preventif sebaiknya hanya dilakukan
pada Perda dalam bidang tertentu, seperti Perda tentang pajak
dan retribusi daerah, APBD, dan tata ruang. Selebihnya
seharusnya menggunakan asas represif.

3) Sekarang ini dalam euforia reformasi dan otonomi daerah,


muncul ego kedaerahan yang ditandai dengan kurangnya
sinergi antara program pembangunan antar tingkatan dan
susunan pemerintahan. Akibatnya akan sulit untuk mencapai
target nasional karena masing-masing daerah cenderung akan
mengedepankan kepentingannya masing-masing dan kadang-
kadang merugikan daerah lainnya. Untuk menciptakan sinergi
pembangunan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota,
maka Perda tentang RPJMD kabupaten/kota harus
mendapatkan persetujuan gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat dan Perda RPJMD provinsi mendapatkan persetujuan
Menteri Dalam Negeri sebelum disahkan sebagai Perda.
Dengan demikian berarti bahwa Perda RPJMD juga sebaiknya

176
masuk dalam ranah pengawasan preventif untuk menjamin
sinergi pembangunan antar tingkatan dan susunan
pemerintahan.

4) Perlu ada pengaturan yang lebih jelas mengenai hak-hak warga


untuk terlibat dalam proses pembuatan Perda. Kepala daerah
dan DPRD dalam membentuk Perda perlu melibatkan
pemangku kepentingan yang terkait. Hak-hak warga dan
pemangku kepentingan dalam proses pembentukan Perda
harus dijamin sehingga materi Perda benar-benar
merefleksikan kepentingan umum. Pemerintahan daerah wajib
membuat program legislasi daerah (Prolegda) dan
mensosialisasikan kepada warga di daerahnya sehingga
mereka mengetahui dengan jelas mengenai Perda yang akan
dibentuk di daerahnya.

5) Pembatalan Perda kabupaten/kota untuk efisiensi dapat


dilimpahkan oleh Presiden kepada gubernur selaku wakil
Pemerintah Pusat. Namun apabila daerah merasa kurang puas
dapat melakukan “appeal” ke Menteri Dalam Negeri. Untuk
Perda provinsi Presiden melimpahkan pembatalannya kepada
Menteri Dalam Negeri dan apabila tidak puas dapat melakukan
“appeal” ke Presiden. Mekanisme ini merupakan “executive
review”.

6) Untuk memudahkan Pemerintah Pusat mengetahui jumlah


Perda yang diterbitkan oleh daerah, maka setiap Perda
sebelum diundangkan dalam lembaran daerah harus
mendapatkan nomor registrasi yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri untuk Perda provinsi dan
pemerintahan daerah provinsi untuk Perda kabupaten/kota.

177
4.9 Perencanaan Pembangunan Daerah

4.9.1 Dasar Pemikiran

Di Indonesia, ada dua jenis perencanaan yang dibuat oleh


Pemerintah Pusat, perencanaan pembangunan nasional dan
perencanaan tata ruang. Kedua jenis perencanaan ini memiliki
keterkaitan yang erat satu sama lain tetapi sekaligus memiliki
perbedaan yang tegas. Perencanaan yang pertama diatur dalam
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, yang mengatur
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam
undang-undang ini diatur mengenai perencanaan jangka panjang,
jangka menengah, dan tahunan, serta harmonisasi dan
sinkronisasi antar jenjang waktu perencanaan tersebut. Kemudian
diatur juga mengenai harmonisasi antara perencanaan oleh
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, sehingga
membentuk suatu sistem perencanaan pembangunan nasional
yang harmonis. Perencanaan pembangunan kemudian
diterjemahkan dalam kebijakan penganggaran, sebagai instrumen
investasi Pemerintah Pusat.

Jenis perencanaan yang kedua adalah perencanaan tata


ruang (spatial planning), yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam undang-
undang ini, penataan ruang diselenggarakan oleh negara melalui
berbagai jenjang pemerintahan tetapi tetap melibatkan peran
masyarakat dalam pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasannya.
Prinsip yang dikedepankan dalam undang-undang ini adalah
harmonisasi dalam pemanfaatan ruang, sehingga lebih
mengesampingkan kebebasan daerah untuk mengeksploitasi
ruang untuk kepentingannya semata. Hal ini karena karakteristik
ruang yang bersifat kontinum dan tidak dibatasi oleh wilayah

178
administratif. Dalam rangka menjamin terjadinya harmonisasi,
Pemerintah Pusat menggunakan berbagai instrumen
pengendalian: insentif, disinsentif, sanksi administratif, dan sangsi
pidana. Pengendalian dalam perencanaan tata ruang relatif lebih
ketat karena ruang adalah sumber daya yang akan menjadi obyek
pemanfaatan untuk mencapai tujuan pembangunan.

Sebagai konteks yang perlu dicatat untuk masukan ke


dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah bahwa segala ketentuan yang akan
memuat mengenai perencanaan, hendaknya mengacu dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Keduanya adalah
undang-undang yang lebih khusus mengatur perencanaan.
Pengaturan tentang perencanaan daerah yang akan dibentuk
dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dijaga
konsistensinya dengan kedua undang-undang perencanaan diatas
dan bahkan, diharapkan dapat memberi dukungan implementasi
terhadap kedua undang-undang itu.

4.9.2 Identifikasi Permasalahan

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah mengatur


perencanaan pembangunan secara cukup rinci, namun dalam
pelaksanaannya masih ada beberapa hal memerlukan
penyempurnaan. Pertama, keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan pembangunan daerah dengan pembangunan
nasional dan antara perencanaan kabupaten/kota dengan
perencanaan provinsi masih perlu ditingkatkan. Selama ini banyak
daerah yang perencanaan pembangunan daerahnya belum
mengacu kepada rencana pembangunan provinsi dan nasional.
Dalam perencanaan tata ruang, masih banyak daerah yang belum

179
menggunakan rencana tata ruang yang lebih tinggi sebagai dasar
dalam mengembangkan kegiatan pembangunan daerahnya.
Akibatnya, konsistensi dan sinergi dalam pembangunan daerah
belum dapat secara optimal diwujudkan.

Kedua, kebijakan pembangunan daerah sebagaimana


dinyatakan dalam RPJMD dan RKPD sering belum dikaitkan
dengan rencana tata ruang daerah. Pengintegrasian antara
dokumen RPJMD dan RKPD dengan dokumen tata ruang sering
belum dapat dilakukan dengan optimal. Kegiatan pembangunan
yang memiliki dimensi ruang belum dapat ditempatkan dalam
lokasi yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang.
Kemampuan untuk mengisi rencana tata ruang dengan kegiatan
pembangunan yang sesuai masih sangat rendah. Akibatnya,
banyak kegiatan pembangunan daerah yang kurang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah dibuat dan menimbulkan berbagai
masalah lingkungan yang merugikan kepentingan masyarakat.

Ketiga, dokumen rencana pembangunan daerah sering


belum secara jelas memuat secara rinci hasil pembangunan yang
diharapkan (outcomes), keluaran yang dihasilkan, dan masukan.
Akibatnya keterkaitan antara masukan, keluaran, dan hasil yang
diharapkan belum dapat diamati dengan mudah oleh para
pelaksana dan pemangku kepentingan. Bahkan, dalam
mendefinisikan masukan untuk kegiatan pembangunan daerah
sering belum memasukan masukan diluar pendanaan, seperti aset
dan peraturan perundangan yang spesifik dibuat untuk
mendukung kegiatan pembangunan.

Belum dimasukannya aset seperti barang milik daerah,


tanah, sumber daya alam yang pengelolaannya dikuasakan pada
daerah sebagai masukan yang penting dalam pembangunan

180
daerah membuat kegiatan pembangunan daerah cenderung
menguntungkan para pengusaha besar di daerah. Banyak kasus
menunjukan terjadinya penguasaan aset daerah yang digunakan
dalam pembangunan daerah yang manfaatnya kurang dapat
dirasakan oleh masyarakat luas. Karena itu definisi tentang
masukan untuk kegiatan pembangunan seharusnya mencakup
tidak hanya pendanaan tetapi juga aset dan sumber daya lainnya
yang dikuasai oleh daerah.

Keempat, banyak dokumen rencana pembangunan daerah


yang belum dibuat atas dasar data yang akurat dan reliabel. Para
perencana pembangunan daerah sering mengalami kendala untuk
membuat rencana pembangunan daerah yang berbasis pada
informasi yang akurat dan reliable karena keterbatasan data yang
dimilikinya. Tidak tersedianya data yang lengkap dan
dikumpulkan secara berkala membuat para perencana mengalami
kesulitan dalam membuat rencana pembangunan yang mampu
menjawab secara tepat masalah yang berkembang di daerah.

Kelima, dalam tataran empirik dewasa ini kurang tercipta


sinergi dan harmonisasi antara perencanaan pembangunan pusat
dan daerah dan antara daerah. Masing-masing daerah berjalan
sesuai dengan rencana dan prioritasnya sendiri-sendiri. Akibatnya
sangat sulit untuk merealisasikan target-target nasional yang
ditetapkan Pemerintah Pusat karena adanya fragmentasi
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Kondisi
tersebut diperparah lagi oleh adanya pergantian elit daerah baik
kepala daerah maupun DPRD dengan prioritas yang mungkin
berbeda dengan elit pendahulunya. Akibatnya tidak akan terjadi
kontinuitas perencanaan dan pembangunan di daerah dan pada
gilirannya akan menganggu pencapaian target pembangunan
nasional secara keseluruhan.

181
Keenam, kebingungan sering terjadi di daerah terkait
dengan sumber legitimasi dari RPJMD. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menentukan bahwa RPJMD harus disahkan melalui
Perda sementara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
perencanaan pembangunan nasional mengatakan bahwa RPJMD
cukup disahkan melalui peraturan kepala daerah. Perbedaan
konsep RKPD di dalam kedua undang-undang tersebut, dimana
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD
sebagai rencana kerja pembangunan daerah sementara Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan RKPD sebagai
rencana kerja pemerintah daerah.

4.9.3 Analisis

Kesulitan pemerintah dalam menjaga konsistensi perencanaan


pembangunan daerah dengan nasional dan antar daerah telah
lama dirasakan oleh banyak pihak. 21 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 telah
mengatur perlunya daerah membuat RPJPD, RJPMD, RKPD, dan
Renja SKPD namun keduanya memiliki pengaturan yang berbeda
terkait dengan basis legalitas dari dokumen perencanaan dan
definisi dari konsep yang dipergunakan. Perbedaan tersebut sering
membuat kebingungan aparat di daerah. Revisi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 diharapkan dapat memberi solusi terhadap
perbedaaan tersebut sehingga daerah dapat memiliki dasar
hukum yang jelas dalam menyiapkan dokumen perencanaan.

Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang keterkaitan


antara rencana pembangunan dengan rencana tata ruang juga
sering menjadi sumber dari keengganan daerah untuk mengisi
rencana tata ruang daerah. Akibatnya, kegiatan pembangunan
daerah dengan rencana tata ruang yang ada sering tidak
21
Jeremias T. Keban, “Perencanaan Pembangunan Daerah”, paper tidak diterbitkan.

182
nyambung dan menghasilkan masalah baru yang merugikan
kepentingan publik di daerah. Adanya pengaturan yang
mengamanatkan daerah untuk mengisi perencanaan tata ruang
dengan kegiatan pembangunan sosial ekonomi yang relevan akan
dapat mendorong daerah untuk tunduk pada dokumen tata ruang
yang dimilikinya. Pengaturan ini diharapkan dapat juga
mendorong terintegrasinya pembangunan daerah bukan hanya
dengan rencana tata ruang tetapi juga dengan rencana
pembangunan nasional.

Terbatasnya informasi dan data yang valid dan terbarukan


menjadi salah satu penyebab dari rendahnya kualitas
perencanaan pembangunan daerah. Tidak tersedianya data yang
mengukur hasil pembangunan yang diharapkan (outcomes),
keluaran, dan masukan sering membuat para pelaksana dan
pemangku kepentingan mengalami kesulitan untuk memahami
rasionalitas dari kegiatan pembangunan daerah. Hal ini juga
memberi peluang kepada para perencana dan pelaku
pembangunan untuk melakukan praktik KKN dengan menitipkan
proyek-proyek pembangunan yang relevansinya dengan prioritas
pembangunan daerah amat rendah. Untuk mengurangi praktik
KKN dalam perencanaan maka perlu pengaturan yang
mengharuskan dokumen rencana pembangunan daerah memuat
ketiga komponen tersebut diatas. Pemuatan data tersebut akan
dapat membuat para pemangku kepentingan memahami
rasionalitas kegiatan pembangunan daerah.

Disamping itu, pengaturan perlu dibuat untuk memastikan


bahwa daerah memperhitungkan masukan diluar pendanaan
dalam kegiatan pembangunan daerah. Selama ini banyak daerah
yang mengabaikan pentingnya inventarisasi dan penilaian aset
dalam merencanakan kegiatan pembangunan daerah. Aset daerah

183
atau aset negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada daerah
kurang diperhitungkan dalam pembangunan daerah. Aset tersebut
sering dianggap sebagai given dan karenanya penilaian yang wajar
dari aset tersebut dan kontribusinya terhadap pembangunan
daerah belum dihargai secara wajar. Akibatnya, banyak
pemanfaatan aset daerah berupa tanah, sumber daya alam, dan
barang daerah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta
yang manfaatnya bagi kepentingan publik belum dapat dirasakan
secara meluas.

Untuk mendorong daerah melakukan berbagai perubahan


dan perbaikan sebagaimana tersebut diatas, maka daerah harus
didorong untuk melakukan dokumentasi data yang penting bagi
kegiatan perencanaan pembangunan. Data tentang indikator
pencapaian hasil pembangunan, keluaran, masukan baik
pendanaan ataupun diluar pendanaan seperti barang daerah,
sumber daya alam, dan aset-aset lainnya yang pengelolaannya
dikuasakan pada daerah sangat penting didokumentasikan
dengan baik. Data-data tersebut perlu dikumpulkan secara
berkala dan bersifat terbuka bagi pemangku kepentingan. Dengan
adanya data dasar yang lengkap, relevan, dan terbarukan secara
berkala maka kualitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pembangunan akan menjadi semakin baik.

Untuk menciptakan sinergi pembangunan pusat dengan


daerah dapat dimulai dari mapping urusan dan kelembagaan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah.
Setiap kementerian/LPNK akan melakukan pemetaan daerah
provinsi atau kabupaten/kota yang mempunyai sektor unggulan
sesuai bidang kerja kementerian/LPNK terkait. Analisis terhadap
PDRB dan mata pencaharian penduduk serta pemanfaatan lahan
dapat dijadikan acuan dalam menentukan sektor unggulan daerah

184
tersebut. Demikian juga dengan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib yang terkait dengan pelayanan dasar.
Kementerian/LPNK terkait dapat memetakan daerah-daerah mana
yang mempunyai masalah mendasar dalam arti dibawah rata-rata
nasional atau dibawah SPM dalam pencapaian pelayanan
dasarnya. Hasil pemetaan tersebut akan diikuti dengan
pembentukan kelembagaan daerah yang akan mewadahi urusan
yang terkait dengan sektor unggulan dan pelayanan dasar
prioritas di daerah tersebut.

Dengan cara demikian setiap kementerian/LPNK akan


mengetahui secara pasti daerah-daerah yang akan menjadi
stakeholders utamanya. Melalui mekanisme musyawarah
pembangunan nasional, masing-masing kementerian/LPNK
membuat perencanaan strategis di bidangnya masing-masing
dengan melibatkan stakeholders utamanya. Dalam Renstranas
ditentukan peran masing-masing tingkatan pemerintahan dalam
perencanaan pembangunan termaksud. Dengan cara tersebut
akan tercipta sinergi dan harmonisasi perencanaan pembangunan
antara pusat dan daerah dalam pencapaian target nasional dalam
bidang pembangunan tertentu.

4.9.4 Usulan Penyempurnaan

1) Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah untuk


menjamin keterkaitan, keserasian, dan sinergi kegiatan
pembangunan antar daerah dan antara kegiatan
pembangunan daerah dengan tujuan pembangunan nasional.

2) Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah untuk


mendefinisikan hasil pembangunan yang diharapkan,
keluaran, dan masukan dalam dokumen RPJMD dan RENJA
SKPD. Indikator hasil pembangunan yang diharapkan,

185
keluaran, dan masukan harus dirumuskan dengan jelas dan
menjadi dasar dalam pengembangan sistem informasi daerah.

3) Perlu ada pengaturan yang mendorong daerah melakukan


inventarisasi dan penilaian aset daerah atau aset yang
dikuasakan kepada daerah dan memperhitungkannya secara
wajar dalam kegiatan perencanaan pembangunan daerah.

4) Perlu pengaturan tentang keharusan daerah untuk


mengumpulkan secara berkala data tentang indikator hasil
pembangunan yang diharapkan, keluaran, dan masukan dari
semua kegiatan pembangunan daerah dan
mengintegrasikannya dengan sistem informasi nasional.

5) Perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan tentang


perencanaan pembangunan daerah antara undang-undang
pemerintahan daerah dengan undang-undang perencanaan
pembangunan nasional. Kejelasan tentang basis legal dari
dokumen perencanaan yang selama ini menjadi sumber
kebingungan daerah dalam menetapkan RPJMD perlu segera
diakhiri.

4.10 Keuangan dan Aset Daerah

4.10.1 Dasar Pemikiran

Penerimaan daerah yang terbatas semestinya digunakan secara


efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Setiap rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah hendaknya

186
memiliki pengaruh terhadap membaiknya kesejahteraan
masyarakat. Pemerintah yang diberi amanat untuk menjalankan
fungsi dan tugasnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
seharusnya menempatkan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat sebagai kriteria utama dalam mengalokasikan
anggaran pemerintah. Pemerintah dibentuk untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Karena itu, keberadaan pemerintah
harus dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, terutama
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Tentu tidak elok kalau keberadaan pemerintah justru


menyita lebih banyak sumberdaya daripada yang digunakannya
untuk melayani masyarakatnya.22 Biaya pemerintahan seharusnya
lebih kecil daripada biaya untuk melayani warganya. Anggaran
yang dihabiskan untuk membiayai kegiatan pemerintah harus
lebih kecil daripada anggaran yang digunakan untuk melayani
warganya. Apa yang terjadi sekarang ini dimana belanja pegawai
jauh melebihi belanja untuk pelayanan publik mesti harus
dikoreksi sehingga pada saatnya nanti belanja untuk pelayanan
publik menjadi jauh lebih besar daripada belanja pelayanan
publik. Dengan cara ini maka fungsi pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya akan dapat terwujud.

Aset pemerintah harus juga digunakan untuk sebesar-


besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama ini
pemahaman pejabat pemerintah tentang aset yang tersedia di
daerah cenderung terbatas. Aset cenderung dipahami terbatas
pada barang milik pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan
aset sebenarnya jauh lebih luas, termasuk tanah, sumberdaya

22
Sebagai contoh, Kabupaten Bantul pada tahun 2006 mendapatkan pemasukan dari
retribusi masyarakat miskin yang sakit sebesar Rp.15.682.736.550. tapi, anggaran
untuk masyarakat miskin hanya 0,92% dari total anggaran belanja daerah. Sumber:
Sinar Harapan. Ayo, Pantau Anggaran Daerah! 21 Mei 2008.

187
alam, dan aset non-tangible lainnya. Karena terbatasnya
pemahaman para pengambil kebijakan tentang aset sering
menyebabkan pemanfaatan aset di daerah sering kurang optimal
dilihat dari kepentingan masyarakat. Banyak aset negara di
daerah yang digunakan oleh pihak lain, utamanya sektor dunia
usaha, yang manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh pelaku
usaha daripada masyarakat luas di daerah.

Untuk itu, penyebarluasan konsep aset yang luas perlu


dilakukan dikalangan para penyelenggara pemerintahan daerah.
Pengaturan tentang penggunaan aset untuk kepentingan ekonomi
dan lainnya perlu dilakukan. Pengaturan tentang pemberdayaan
aset mesti harus menempatkan kepentingan masyarakat sebagai
pertimbangan utama. Penyelenggara pemerintahan daerah harus
dapat memanfaatkan aset-aset negara di daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4.10.2 Identifikasi Permasalahan

Permasalahan paling besar dalam keuangan daerah adalah adanya


mis-alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan prioritas daerah.
Hal ini dapat kita lihat dari tingginya belanja pegawai dan
operasional pemerintah (berkisar 70%-90%). Kecenderungan ini
menunjukan bahwa selama ini pemerintahan daerah masih lebih
banyak mengurus dirinya sendiri daripada mengurus kebutuhan
warganya. Akibatnya muncul ketidakpuasan publik terhadap
kinerja pemerintah daerahnya.

Proses penganggaran yang relatif tertutup mendorong


terjadinya elite captures dalam penganggaran, dimana sebagian
besar anggaran lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi

188
kebutuhan elit birokrasi dan politik. 23 Akses warga dan pemangku
kepentingan di daerah yang rendah terhadap proses penganggaran
membuat elit birokrasi dan politik sering lebih menempatkan
kepentingannya diatas kepentingan warganya. Disparitas
anggaran untuk kebutuhan birokrasi dan DPRD dan anggaran
untuk pelayanan publik adalah salah satu bukti dari terjadinya
elite captures dalam proses penganggaran.

Masalah lain dalam bidang keuangan daerah adalah


rendahnya kapasitas daerah dalam membelanjakan dananya
untuk pembangunan daerah. Kecenderungan daerah untuk
menginvestasikan uangnya di SBI dan deposito menunjukan
ketidakmampuannya untuk memanfaatkan revenues yang
dimilikinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. 24
Juga kecenderungan daerah untuk mengalokasikan anggaran
yang dimilikinya untuk kegiatan-kegiatan yang bukan menjadi
prioritas yang penting menjadi bukti bahwa kapasitas daerah
untuk mengelola dana yang dimilikinya untuk pembangunan
daerah masih perlu didorong dan ditingkatkan.

Dalam pemanfaatan aset negara di daerah, masih sering


terjadi aset-aset negara di daerah dimanfaatkan oleh pelaku
ekonomi yang hasilnya kurang memberi sumbangan terhadap
perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hutan, sumber
daya alam, dan lahan yang dimanfaatkan oleh para pelaku usaha
sering justru menghasilkan kerugian bagi masyarakat luas.
Kerusakan lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem sebagai
akibat dari pengelolaan aset yang kurang bertanggungjawab
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat

23
Dwiyanto, dkk, 2007. Ibid.
24
Daerah cenderung menyimpan dana tersebut pada Bank simpanan daerah dan telah
mencapai angka 3,1% dari PDB Bulan November 2006. Sumber; Desentralisasi Fiskal
dan Kesenjangan Daerah; Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.

189
generasi sekarang dan mendatang. 25 Banyak aset lahan yang
dikuasai oleh pelaku usaha yang diubah menjadi kawasan
pemukiman yang memiliki nilai tambah yang berlipat ganda, yang
keuntungannya hanya dinikmati oleh para pelaku usaha.

4.10.3 Analisis

Tidak adanya pagu yang jelas tentang berapa banyak anggaran


dapat dialokasikan untuk biaya belanja pegawai dan operasional
birokrasi pemerintah membuat daerah menghabiskan sebagian
besar anggarannya untuk membiaya dirinya sendiri, bukan untuk
biaya melayani warganya. Banyak daerah yang menghabiskan
sekitar 90% dari APBD-nya untuk belanja pegawai dan kegiatan
operasional satuan birokrasinya. Hal ini disebabkan karena tidak
ada insentif yang efektif bagi daerah untuk merampingkan satuan
organisasinya. Tidak adanya pagu anggaran untuk belanja
pegawai dan biaya operasional pemerintah dan insentif untuk
merampingkan birokrasinya memberi ruang yang besar bagi
daerah untuk mengembangkan birokrasinya.

Kecenderungan daerah untuk mengembangkan struktur


birokrasi yang gemuk juga menjadi salah satu penyebab dari
besaran jumlah anggaran yang digunakan untuk membiayai
birokrasi. Mengurangi jumlah biaya belanja pegawai hanya dapat
dilakukan dengan mendorong daerah untuk merampingkan
struktur birokrasinya. Adanya pagu anggaran untuk belanja

25
Penambangan liar di Provinsi Bangka Belitung dapat dijadikan misal. Pemerintah
setempat tidak mampu mengendalikan penambangan liar yang dilakukan masyarakat.
Berdasarkan data dari Bapedalda Provinsi bangka Belitung, luas daerah yang rusak
berbentuk kawah dengan lebar 2-50 Hektar dan kedalaman sampai dengan 9 meter
adalah 400.000 hektar. Butuh dana triliunan untuk mereklamasinya. Ironisnya lagi,
hasil penambangan cenderung diselundupkan ke luar negeri melalui kerjasama gelap
dengan aparat keamanan laut dan birokrasi-peradilan. Sumber: AMCA: The Spirit Of
Budak Bangka. Timah Bangka: Antara Dendam Sejarah dan Perjuangan Mendapatkan
Akses. Dan Erwiza Erman (peneliti LIPI). Politik Penguasaan Sumber Daya Timah di
Bangka Belitung.

190
birokrasi dan pegawai akan dapat mendorong daerah melakukan
rasionalisasi dan rightsizing.

Namun, rasionalisasi dan rightsizing memiliki implikasi


sosial dan politik yang cukup besar yang mesti diperhitungkan.
Keresahan dan protes dari kalangan aparat di daerah tentu sangat
besar dan dapat menimbulkan risiko politik bagi Pemerintah
Pusat. Pembatasan pagu anggaran untuk belanja pegawai harus
dilakukan dengan hati-hati dan dilaksanakan secara bertahap
sesuai dengan kemampuan daerah.

Mendorong daerah lebih peduli kepada kepentingan publik


juga dapat dilakukan dengan membuat proses penganggaran
menjadi lebih terbuka, transparan, dan partisipatif.
Kecenderungan yang umum terjadi di daerah, dimana praktik
penganggaran sangat tertutup dan elitis, harus segera dihentikan.
Salah satu caranya adalah dengan mendorong partisipasi
pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk terlibat dalam
proses penganggaran. Proses penganggaran yang cenderung
ekslusif harus dirubah menjadi inklusif, partisipatif, dan terbuka
sehingga para pemangku kepentingan dapat mengetahui berapa
banyak pagu anggaran yang ada dan untuk apa saja anggaran
tersebut dialokasikan dan berapa besarannya. Cara seperti ini
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.

Dalam penggunaan aset daerah, yang sekarang cenderung


kurang menguntungkan masyarakat dan sering menjadi arena
KKN, Pemerintah Pusat perlu membuat pengaturan yang lebih
jelas. Tidak adanya pengaturan yang melindungi kepentigan warga
dalam penggunaan aset daerah sering membuat pemanfaatan aset
daerah lebih menguntungkan pelaku usaha dan kurang dapat

191
dirasakan manfaatnya oleh warga dan pemerintah daerah.
Penguatan terhadap pengaturan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang aset daerah diperlukan agar dapat
menjadi pegangan yang efektif bagi daerah untuk
mendayagunakan aset daerah secara lebih produktif dan
bermanfaat bagi kepentingan warga di daerah.

Dalam pemanfaatan uang daerah, alokasi melalui DAU


sebagai subsidi umum (Block Grant) telah memberikan ruang yang
luas bagi elit lokal untuk memanfaatkannya sesuai dengan
kepentingan mereka. Pada satu sisi anggaran banyak dihabiskan
untuk biaya opearsional birokrasi daerah termasuk elite politiknya
(kepala daerah dan DPRD), pada sisi yang lain anggaran pelayanan
publik cenderung menurun terus. Apalagi menjelang Pilkada,
banyak anggaran dialokasikan dengan dalih bantuan sosial yang
ditujukan kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk
mendapatkan dukungan politik dalam Pilkada. Untuk mengatasi
hal tersebut diperlukan pengaturan yang bersifat affirmative dalam
undang-undang yang mengatur pemanfaatan DAU agar jangan
disalah gunakan untuk kepentingan sempit dari birokrasi daerah.
Sudah waktunya DAU diarahkan untuk pembiayaan pelayanan
dasar yang masih jauh dari harapan sekalipun yang bersifat
minimal.

4.10.4 Usulan Penyempurnaan

1) Perlu adanya pengaturan yang memberi insentif kepada daerah


untuk memperkecil proporsi anggaran belanja aparatur
terhadap anggaran daerah secara keseluruhan. Selama ini
belanja untuk aparatur (gaji pegawai dan biaya operasional
birokrasi pemerintah) sangat besar sehingga anggaran yang
tersedia untuk kegiatan pembangunan relatif sangat kecil.

192
Untuk mengatasi kondisi seperti ini maka pengaturan yang
mendorong daerah memperkecil belanja aparatur perlu diatur
sehingga besaran proporsi untuk kegiatan pembangunan dan
pelayanan publik dapat ditingkatkan.

2) Perlu ada pengaturan yang mengharuskan daerah melakukan


penganggaran secara terbuka, partisipatif, dan akuntabel.
Undang-undang perlu mengharuskan daerah melakukan
konsultasi publik yang luas dalam membuat anggaran.
Dokumen anggaran yang rinci harus dapat diakes oleh warga
yang membutuhkannya.

3) Perlu ada pengaturan yang memberi insentif kepada daerah


untuk merampingkan birokrasinya dan mengurangi belanja
aparaturnya. Pemerintah Pusat telah membuat Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 yang mengatur tentang
organisasi dan tata laksana daerah yang mengatur mengenai
besaran struktur birokrasi yang ada di daerah. Namun,
pengaturan itu belum mampu memberi insentif yang efektif
bagi daerah untuk merampingkan struktur birokrasinya.

4) Perlu ada pengaturan yang jelas tentang pemberdayaan aset


daerah agar penggunaan aset daerah dapat dilakukan secara
akuntabel, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat luas. Konsep aset perlu diperluas meliputi hutan
dan sumberdaya alam. Daerah perlu diberi kewenangan
mengelola aset secara akuntabel, produktif, dan bermanfaat
bagi kepentingan publik.

5) Perlu pengaturan yang mengarahkan DAU untuk membiayai


pelayanan dasar dengan mengacu pada pencapaian SPM
sehingga mengurangi potensi pemanfaatan anggaran sesuai

193
preferensi elit daerah tapi mengacu pada pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat daerah.

4.11 Pelayanan Publik

4.11.1 Dasar Pemikiran

Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (prima) menjadi


salah satu ciri tata pemerintahan yang baik (good governance).
Kinerja pelayanan publik sangat besar pengaruhnya terhadap
kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu membangun
sistem manajemen pelayanan publik yang handal adalah
keniscayaan bagi daerah kalau mereka ingin meningkatkan
kesejahteraan warganya. Tidak mengherankan kalau perbaikan
kualitas pelayanan publik menjadi salah satu alasan mengapa
pemerintah mendesentralisasikan kewenangan penyelenggaraan
pelayanan publik kepada daerah.

Dengan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan


pelayanan kepada daerah, Pemerintah Pusat berharap pelayanan
publik akan menjadi lebih responsif terhadap dinamika
masyarakat di daerahnya. Ketika manajemen pelayanan
diserahkan ke daerah, kesempatan warga untuk ikut
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan seharusnya
menjadi semakin terbuka. Warga harus dapat dengan lebih mudah
mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan. Mereka harus
dapat menyampaikan aspirasinya (local voice) kepada rezim
pelayanan. Mekanisme penyampaian keluhan harus
dikembangkan di setiap satuan birokrasi pelayanan dan birokrasi
wajib menindaklanjuti keluhan yang disampaikan warga
penggunanya. Untuk mengawasi praktik penyelenggaraan

194
pelayanan di daerah kabupaten/kota, gubernur sebagai wakil
pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya.

Mengingat terbatasnya resources yang tersedia bagi daerah


untuk penyelenggaraan pelayanan publik maka daerah perlu
didorong untuk mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu
ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Agar pemerataan
akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga maka perlu ada
pengaturan tentang standar pelayanan minimum untuk pelayanan
yang termasuk dalam kategori pelayanan dasar. Penetapan
standar pelayanan minimum tidak berarti membatasi ruang bagi
daerah untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan
aspirasi dan kapasitas daerah. Daerah yang memiliki kapasitas
lebih dapat menyelenggarakan pelayanan diatas standar
pelayanan minimum.

4.11.2 Identifikasi Permasalahan

Penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menunjukan kinerja


yang bervariasi.26 Beberapa daerah berhasil mengembangkan
inovasi dalam manajemen pelayanan publik dengan
mengembangkan berbagai teladan (best practices). Misalnya,
beberapa kota/kabupaten berhasil mengembangkan manajemen
pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan
seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Blitar. Sementara
Kabupaten Jembrana berhasil memberikan pelayanan pendidikan
dan kesehatan secara gratis dan beberapa kabupaten seperti
Sragen, Sidoarjo, dan banyak kabupaten/kota berhasil
mengembangkan pelayanan satu pintu (OSS). Namun, pada saat
yang sama banyak kabupaten/kota yang gagal mewujudkan
kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi daerah ternyata

26
Roy V Solomo, Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004, paper tidak diterbitkan.

195
memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan
pelayanan di daerah.

Salah satu masalah yang penting dalam penyelenggaraan


pelayanan adalah semakin menguatnya unsur-unsur subyektivitas
dalam penyelenggaraan pelayanan. Hal ini ditandai dengan
semakin maraknya diskriminasi dalam pelayanan berbasis pada
unsur-unsur subyektivitas seperti pertemanan, etnis, afiliasi
politik, kesamaan profesi (sesama PNS), dan agama. 27 Disamping
diskriminasi pelayanan publik, masalah lain dalam
penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas
pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna
biro jasa (intermediaries) dalam penyelenggaraan pelayanan.
Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan
publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80% tergantung pada
jenis pelayanan.28 Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan
ketidaksanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan
penyelenggara pelayanan. Hal ini menjelaskan besarnya
opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses
pelayanan publik.

Kecenderungan prosedur pelayanan hanya mengatur


kewajiban dan mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik
menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan
publik sering menjadi sumber ketidakpuasan warga terhadap
pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan
dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada pengguna dan dapat berbuat seenaknya dalam

27
Diskusi lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca di Dwiyanto, dkk, 2003 dan Dwiyanto,
2007. Ibid
28
Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta
pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna
yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar
dan bervariasi antar jenis perizinan.

196
mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggara pelayanan
publik sering menjadi arena konflik antara pemerintah dengan
warganya.

4.11.3 Analisis

Ada beberapa penyebab mengapa kinerja pelayanan publik di


daerah pada umumnya masih jauh dari yang diharapkan.
Pertama, penyelenggaraan pelayanan selama ini cenderung
dianggap sebagai domain rezim pelayanan. Jenis pelayanan,
kualitas, dan cara pelayanan sepenuhnya ditentukan oleh rezim
pelayanan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk ikut
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal
terkait dengan pelayanan yang dibutuhkannya. Akibatnya,
pelayanan yang diberikan oleh daerah sering tidak sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhannya. Kedua, prosedur pelayanan
cenderung hanya mengatur kewajiban dari warga pengguna, tetapi
hak-haknya tidak pernah diatur dan dilindungi. Prosedur juga
sering gagal mengatur mengenai kewajiban dari penyelenggara
pelayanan. Akibatnya, rezim pelayanan dapat memperlakukan
warga pengguna seenaknya. Tidak adanya pengaturan tentang
hak-hak warga membuat proses pelayanan publik menjadi penuh
dengan ketidakpastian.

Ketiga, proses pelayanan seringkali dikaitkan dengan


struktur hirarkhi birokrasi di daerah. Panjangnya jenjang hirarkhi
birokrasi dengan sendirinya membuat proses pelayanan publik
menjadi panjang dan menghabiskan banyak energi dari warga dan
penyelenggara pelayanan. Apalagi ketika prosedur pelayanan
dibuat dengan semangat untuk mencegah terjadinya moral
hazards proses pelayanan publik menjadi sangat kompleks dan
sulit diikuti secara wajar oleh warga pengguna. Akibatnya, banyak

197
warga cenderung menggunakan biro jasa atau perantara.
Besarnya angka pengguna biro jasa menunjukan bahwa
masyarakat tidak lagi sanggup mengakses pelayanan secara wajar.

Keempat, birokrasi pelayanan belum mampu


mengembangkan budaya dan etika pelayanan yang menghargai
posisi pengguna sebagai warga negara yang berdaulat. Birokrasi
pelayanan masih menempatkan warga sebagai obyek pelayanan
yang dapat diperlakukan seenaknya sesuai dengan kemauannya.
Kepuasan warga belum menjadi kriteria utama bagi birokrasi
pelayanan untuk menilai kinerjanya. Akibatnya, akuntabilitas
birokrasi belum dilihat dari kepuasaan warga terhadap
pelayanannya melainkan dari kepatuhan birokrasi terhadap
peraturan dan prosedur pelayanan.

Rakyat sebagai pengguna pelayanan publik harus


mempunyai kepastian tentang jenis dan kualitas pelayanan publik
yang disediakan pemerintah daerah. Untuk itu harus dibangun
kontrak pelayanan publik antara pemerintah daerah dengan
masyarakat. Kontrak tersebut akan menjelaskan jenis pelayanan,
kualitas, biaya, prosedur dan waktu yang diperlukan untuk
mengakses pelayanan publik tersebut. Kemudian kalau
pemerintah daerah gagal memenuhi kontrak pelayanan publik
tersebut, harus terdapat kejelasan kemana masyarakat harus
menyampaikan keluhannya. Keberadaan ombudsman daerah
dapat dijadikan saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan
keluhannya.

4.11.4 Usulan Penyempurnaan

198
1) Perlu pengaturan yang jelas tentang konsep pelayanan dasar
yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Selama ini
pelayanan dasar belum didefinisikan dengan jelas dalam
perundangan-undangan yang ada. Tidak adanya definisi yang
jelas tentang pelayanan dasar yang wajib disediakan oleh
pemerintah daerah dapat memiliki risiko tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat. Apa saja yang termasuk dalam
pelayanan dasar harus didefinisikan dengan jelas, sehingga
perhatian daerah terhadap penyelenggaraan pelayanan dasar
dapat diamati oleh warga dan pemangku kepentingannya
dengan mudah.

2) Perlu ditegaskan dalam undang-undang ini tentang kewajiban


daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai
dengan SPM dan atau standar lainnya yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat. Daerah dapat menyelenggarakan pelayanan
dasar diatas standar nasional, sesuai dengan kemampuan dan
aspirasi masyarakatnya.

3) Dalam penyelenggaraan pelayanan dasar, daerah harus


mengembangkan sistim pelayanan yang berkeadilan, efisien,
responsif, akuntabel, dan partisipatif. Daerah harus dapat
menyelenggarakan pelayanan yang mudah diakses oleh semua
warganya terlepas dari ciri-ciri subyektifnya, mampu
menjawab kebutuhan warga, dan yang diselenggarakan secara
partisipatif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat.

4) Dalam mewujudkan sistem pelayanan publik sebagaimana


tersebut diatas daerah harus mengembangkan manajemen
pelayanan publik yang memungkinkan terjadi perbaikan
secara berkelanjutan. Karena itu manajemen pelayanan publik

199
harus menjamin adanya hak warga untuk menyampaikan
aspirasi, keluhan, dan usulan perbaikan (local voices) dan
menjadikan hal itu sebagai bagian yang penting untuk
perbaikan kinerja dan akuntabilitas publik.

5) Untuk mendorong adanya perbaikan manajemen pelayanan


yang berkelanjutan maka daerah perlu didorong untuk secara
periodik melakukan evaluasi kinerja pelayanan publik dengan
melakukan, antara lain, pengembangan indeks kepuasan
warga pengguna.

6) Lembaga ombudsman daerah dapat dijadikan sebagai lembaga


mediasi penyelesaian masalah dan konflik yang terjadi antara
warga pengguna dengan manajemen pelayanan publik.

7) Daerah perlu mendorong birokrasi pelayanannya utuk


mengembangan maklumat atau kontrak pelayanan yang
mengatur secara proporsional dan seimbang hak dan
kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan.
Maklumat atau kontrak pelayanan dapat menjadi alat yang
mudah dan sederhana bagi warga mengawasi praktik
penyelenggaraan pelayanan. Bagi penyelenggara, keberadaan
maklumat pelayanan penting karena dapat menjadi pedoman
bagi mereka untuk mewujudkan pelayanan sesuai yang
dijanjikannya.

4.12 Partisipasi Masyarakat

4.12.1 Dasar Pemikiran

Kebijakan desentralisasi hanya akan berhasil meningkatkan


kesejahteraan warganya jika diikuti dengan pemberdayaan
masyarakat agar mereka dapat berperan serta dan sekaligus

200
mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Otonomi daerah yang melimpahkan kewenangan pada elit politik
dan birokrasi di daerah harus diikuti dengan otonomi pada tingkat
warga untuk dapat mengontrol perilaku elit politik dan birokrasi
dalam menggunakan kekuasaannya. Untuk ruang bagi warga
untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan harus dibuka
seluas-luasnya. Hanya dengan cara seperti ini maka desentralisasi
pemerintahan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di
daerah.

Partisipasi masyarakat memiliki fungsi penting, diantaranya


adalah sebagai sarana bagi warga untuk mengekspresikan
kebutuhan dan kepentingannya sehingga proses kebijakan daerah
menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
warga. Lebih dari itu, partisipasi penting untuk menjamin warga
memiliki ownership dalam proses kebijakan dan karenanya dapat
menciptakan kepedulian dan dukungan warga untuk keberhasilan
pembangunan di daerahnya. Partisipasi juga dapat digunakan
melakukan pendidikan dan pembelajaran bagi warga terhadap
masalah dan kebijakan publik. Partisipasi karenanya dapat
membentuk sense of citizenship yang sangat penting bagi
pengembangan demokrasi dan pembangunan bangsa.

4.12.2 Identifikasi Permasalahan

Salah satu tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi daerah


adalah mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan warganya. Otonomi daerah diharapkan mampu mendorong
adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam proses
pembuatan peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah,
dan pengawasan kegiatan pemerintahan di daerah. Namun,

201
setelah pelaksanaan otonomi daerah tampak bahwa partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan
pemerintahan belum seperti yang diharapkan.

Memang banyak studi menunjukan bahwa ada


kecenderungan yang meluas mengenai munculnya banyak forum
komunikasi dan partisipasi masyarakat di banyak kabupaten/kota
di Indonesia. Namun, munculnya banyak forum komunikasi dan
partisipasi warga di daerah ternyata belum mampu secara berarti
meningkatkan keterlibatan warga dalam proses kebijakan di
daerah karena berbagai forum itu seringkali didominasi oleh elit
sehingga kepentingan yang diperjuangkan dalam proses kebijakan
masih lebih banyak kepentingan elit daripada kepentingan warga
pada umumnya. Otonomi daerah masih lebih banyak dinikmati
oleh elit politik dan birokrasi di daerah daripada warga pada
umumnya.

Salah satu kesulitan dalam mendorong partisipasi


masyarakat adalah terbatasnya akses warga terhadap informasi.
Rendahnya akses warga terhadap informasi membuat mereka
mengalami kesulitan dalam mengambil peran yang optimal dalam
proses kebijakan di daerah, walaupun kebijakan tersebut
berpengaruh sangat besar terhadap kehidupannya. Penelitian
sebelumnya menunjukan bahwa keterbukaan pemerintah untuk
membuka akses warga terhadap informasi masih sangat mendua,
karena sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya konflik kepentingan.
Pemerintah daerah dapat sangat terbuka kepada warganya dan
mendorong warganya untuk berpartisipasi ketika pemerintah
daerah tidak memiliki kepentingan terhadap isu dan masalah yang
dipersoalkan. Namun ketika penyelenggara pemerintahan daerah
memiliki kepentingan dan kepentingannya dapat terganggu jika

202
transparansi dilakukan, maka penyelenggara negara cenderung
menjadi sangat tertutup dan mencegah keterlibatan masyarakat. 29

Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses


kebijakan maka penyelenggara pemerintahan daerah perlu
membuka akses publik seluas-luasnya terhadap informasi tentang
berbagai kebijakan pemerintah, seperti dalam penyusunan Perda,
APBD, dan prioritas pembangunan daerah. Keterbukaan informasi
ini akan dapat mengurangi dominasi elit lokal dalam proses
kebijakan di daerah. Selama ini proses kebijakan publik
cenderung didominasi oleh elit lokal karena mereka yang memiliki
akses terhadap informasi dan kekuasaan. Masyarakat luas
cenderung menempati posisi pinggiran sehingga kepentingannya
sering kurang dapat terakomodasi dalam proses kebijakan di
daerah.

Peningkatan partisipasi masyarakat juga memerlukan


pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Kepercayaan diri yang
rendah terhadap kemampuannya untuk ikut mempengaruhi
proses perubahan dan besarnya risiko yang harus dibayar dari
keterlibatannya dalam proses kebijakan sering membuat minat
mereka terlibat dalam proses kebijakan di daerah masih amat
rendah. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan
di daerah masih amat terbatas. Untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam proses kebijakan di daerah maka berbagai
upaya untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang manfaat
partisipasi terhadap perbaikan kehidupannya dan memperkecil
risiko ketika mereka terlibat dalam proses kebijakan perlu
dilakukan.

29
Dwiyanto, Agus, 2003. Governance Reform and Regional Autonomy: Executive
Summary, Yogyakarta: CPPS GMU

203
4.12.3 Analisis

Kebijakan desentralisasi menuntut adanya ruang partisipasi


masyarakat yang semakin besar karena pelaksanaan
desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan
kemampuan warga di daerah untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelimpahan urusan ke
daerah mesti harus diikuti dengan kemampuan masyarakat di
daerah untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Tanpa adanya penguatan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dikawatirkan kebijakan
dan program pembangunan daerah menjadi semakin jauh dari
aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Dari uraian diatas ada 4 masalah penting dalam penguatan


partisipasi masyarakat: dominasi elit politik dan birokrasi dalam
proses kebijakan, akses informasi yang terbatas, sikap pemerintah
yang mendua dalam menyikapi partisipasi masyarakat, dan
kesadaran masyarakat yang rendah untuk berperan serta dalam
proses kebijakan. Keempat masalah tersebut menunjukan bahwa
penguatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah terkait dengan costs of and demand for
participation. Kesadaran dan kesepahaman tentang manfaat
partisipasi bagi mereka menunjukan bahwa demand for
partipaticipation masih rendah. Namun, rendahnya kebutuhan
mereka untuk berpartisipasi mungkin juga disebabkan oleh
besarnya cost dan risiko yang harus dibayar untuk berpartisipasi.
Akses warga terhadap informasi sangat terbatas, dominasi elit
politik dan birokrasi dalam proses kebijakan, dan sikap
pemerintah yang mendua terhadap partisipasi membuat cost dan
risiko untuk berpartisipasi menjadi semakin besar.

204
Untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat maka
daerah berkewajiban untuk menghilangkan kendala (costs) dan
menaikkan kebutuhan (demand) masyarakat untuk terlibat dalam
proses kebijakan di daerah. Warga harus dijamin aksesnya
terhadap informasi tentang berbagai hal terkait dengan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, karena
informasi adalah bahan baku utama bagi proses kebijakan publik.
Selama ini akses terhadap informasi tentang kegiatan
pemerintahan masih sangat terbatas. Lebih dari itu, berbagai
prosedur dan ketentuan tentang proses kebijakan yang
menghambat warga dan pemangku kepentingan untuk terlibat
dalam proses kebijakan harus dapat dipermudah. Proses
kebijakan di daerah harus didorong menjadi semakin terbuka,
mudah diakses, dan dekat dengan masyarakat sehingga kendala
untuk berpartisipasi menjadi semakin rendah.

Untuk mendorong keingingan berpartisipasi dalam proses


kebijakan di daerah maka utilisasi informasi dan pengetahuan
yang disumbangkan oleh masyarakat dalam proses kebijakan di
daerah harus menjadi semakin besar. Salah satu faktor yang
mendorong rendahnya kebutuhan untuk berpartisipasi adalah
rendahnya keyakinan masyarakat bahwa informasi dan usulan
yang mereka sampaikan akan dimanfaatkan dalam pengambilan
keputusan. Dalam perencanaan pembangunan daerah, misalnya,
banyak warga yang apatis dengan proses Musrenbang yang terjadi
di lingkungannya karena mereka tidak yakin apa yang diputuskan
dalam musrenbang akan diakomodasi dalam pengambilan
keputusan tentang alokasi anggaran. Tidak adanya koneksi antara
Musrenbang dengan keputusan yang dibuat oleh panitia anggaran
menjadikan masyarakat enggan untuk terlibat dalam proses

205
Musrenbang.30 Proses kebijakan yang tidak akomodatif terhadap
aspirasi publik seperti ini yang menjadi salah satu faktor yang
mendorong mengapa partisipasi masyarakat dalam proses
kebijakan di daerah selama ini relatif rendah.

4.12.4 Usulan Penyempurnaan

Untuk mendorong terselenggaranya pemerintahan daerah yang


partisipatif maka pengaturan yang jelas tentang partisipasi
masyarakat dalam peraturan perundangan perlu dilakukan.
Pengaturan tersebut setidak-tidaknya mencakup berbagai hal
sebagai berikut:

1) Perlu adanya penegasan bahwa daerah wajib menjamin hak


warga baik secara perseorangan ataupun berkelompok untuk
terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pemerintahan di
daerah.

2) Perlu ada penegasan ruang untuk keterlibatan publik dalam


pelaksanaan pemerintahan daerah terutama dalam hal
penyusunan kebijakan, perencanaan pembangunan, proses
pembahasan anggaran, proses pembahasan rancangan
peraturan, dan penyediaan pelayanan publik daerah. Hak
warga untuk terlibat dalam proses kebijakan tersebut adalah
hak yang harus dilindungi oleh daerah dan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari proses kebijakan di daerah. Karena
itu daerah harus melakukan konsultasi seluas-luasnya dengan
warga dan para pemangku kepentingan sebelum menetapkan
satu kebijakan. Pelanggaran terhadap hak warga ini dan
kewajiban daerah melindungi hak warga untuk terlibat dalam
30
Banyak temuan menunjukan tidak adanya koneksi antara proses musrenbang yang
dikelola oleh eksekutif dengan proses penganggaran yang dikelola oleh DPRD. Usulan
dan keputusan masyarakat yang telah diperbincangkan di Musrenbag sering tidak lagi
dibahas dalam rapat komisi anggaran. Tidak adanya kesinambungan antara proses
birokrasi dan politik dalam proses penganggaran sering membuat masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap institusi dan mekanisme perencanaan dari bawah.

206
proses kebijakan menjadi bagian yang penting dalam penilaian
kinerja daerah.

3) Perlu ada pengaturan tentang hak-hak warga untuk


memperoleh akses terhadap informasi dan data yang
dibutuhkan dalam kebijakan. Akses terhadap informasi juga
penting bagi warga agar dapat terlibat dalam pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kegagalan
dalam menjamin akses warga terhadap informasi akan
mempersulit keterlibatan warga dalam pembuatan kebijakan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

4) Dalam penyelenggaraan pelayanan, hak warga terhadap


informasi tentang biaya, waktu, dan cara pelayanan harus
diatur dengan jelas. Daerah juga perlu memberi ruang bagi
warga dan pemangku kepentingan untuk menyampaikan
keluhan, kritik, dan saran dan menjadikannya sebagai bagian
dari masukan untuk perbaikan manajemen pelayanan publik.
Daerah perlu mendorong perangkat dan aparatnya untuk
menyelenggarakan pelayanan publik yang partisipatif.

5) Perlu pengaturan tentang keterkaitan antara proses


pengambilan keputusan yang partisipatif (misalnya,
Musrenbang) dengan proses pengambilan keputusan yang
teknokratis dan birokratis (alokasi anggaran). Penguatan
keterkaitan antara hasil keputusan Musrenbang dengan proses
alokasi anggaran sangat penting sebagai insentif bagi warga
untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah.
Sebaliknya, tidak adanya keterkaitan antara proses yang
terjadi di Musrenbang dengan keputusan alokasi anggaran
menjadi dis-insentif bagi warga untuk berpartisipasi dalam
proses kebijakan publik.

207
4.13 Kawasan Perkotaan

4.13.1 Dasar Pemikiran

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memiliki pengaturan


mengenai kawasan perkotaan, namun belum memadai. Kemajuan
kehidupan ekonomi dan modernitas telah mendorong semakin
cepatnya pertumbuhan kawasan perkotaan, yang memiliki gaya
hidup dan perilaku yang berbeda dengan gaya hidup di kawasan
lainnya. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah
membuat kehidupan kawasan perkotaan menjadi semakin
kompleks dan membutuhkan pengaturan yang semakin dinamik
dan terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga kemajuan
kawasan perkotaan dapat mendorong perubahan sosial ekonomi
pada kawasan lainnya.

Tumbuh suburnya kawasan perkotaan baru, terutama di


daerah yang menjadi konsentrasi pemukiman baru telah
menimbulkan berbagai fenomena baru yang menarik. Kawasan
permukiman baru dibangun dengan ciri perkotaan yang modern
dengan fasilitas kehidupan sosial dan ekonomi yang berbeda
dengan kawasan induknya. Secara fisik kawasan perkotaan baru
tersebut memiliki ciri-ciri kota yang modern namun secara sosial
sering terpisah dengan kawasan lainnya, yang masih mencirikan
kawasan perdesaan. Dalam pengaturan administrasi
pemerintahan kawasan perkotaan tersebut sering masih menjadi
satu dengan kawasan lainnya, yang masih bercirikan sistim
administrasi pemerintahan yang tradisional. Akibatnya, sering
muncul masalah yang sebenarnya dapat dihindari jika pengaturan
mengenai kawasan perkotaan dapat dilakukan secara terintegrasi
dengan kawasan lainnya.

208
Pengaturan kawasan perkotaan perlu dibuat agar dapat
mengakomodasi tantangan yang dihadapi dalam perkembangan
yang sangat cepat, baik dari sisi teknologi, sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Pengaturan yang dibuat harus dapat mengakomodasi
kebutuhan daerah dalam mengembangkan kawasan perkotaan,
tetapi juga harus dapat melindungi kepentingan lainnya seperti
kebutuhan konservasi lingkungan, kehidupan sosial yang sehat,
dan terwujudnya tata pemerintahan yang baik.

4.13.2 Identifikasi Permasalahan

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah terdapat


pengaturan mengenai kawasan perkotaan, namun pengaturan
tersebut belum cukup mengatur berbagai isu yang terkait dengan
isu kawasan perkotaan. Berbagai aspek kelembagaan, pelayanan,
dan pengaturan tentang pengembangan kawasan perkotaan belum
banyak diatur dalam undang-undang yang ada. 31 Akibatnya,
muncul banyak masalah dalam pengelolaan kawasan perkotaan.

Salah satu masalah yang banyak dijumpai di banyak daerah


adalah seringnya terjadi pelanggaran terhadap rencana tata ruang
dalam rangka mengakomodasi munculnya kawasan perkotaan
dan segala implikasinya. Rencana tata ruang yang ada di banyak
daerah sering mengalami konversi karena tekanan kepentingan
ekonomi. Tidak jarang perubahan rencana tata ruang memiliki
dampak ekologis yang dapat merugikan kepentingan publik.
Sayangnya, pengaturan mengenai hal ini dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 belum dilakukan secara memadai. Untuk
memberi landasan yang kuat kepada daerah untuk mengelola
pertumbuhan kawasan perkotaan dan mengarahkannya untuk
kesejahteraan masyarakat maka pengaturan tentang pengelolaan
31
Berbagai masalah dalam pengembangan perkotaan yang belum diatur dalam UU
32/2004 dan memerlukan pengaturan dalam revisi sebagian telah dijelaskan dalam
Diamar, Ibid.

209
kawasan perkotaan perlu diatur dalam undang-undang
pemerintahan daerah.

Masalah lain adalah kurangnya integrasi perkembangan


kawasan perkotaan dengan wilayah lainya. Ada banyak daerah
yang memiliki pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat
namun belum terintegrasi dengan baik secara kelembagaan, fisik,
dan lingkungan dengan kawasan lainnya. Akibatnya seringkali
muncul ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi,
sosial, dan kelembagaan antar kawasan dalam satu
kabupaten/kota. Munculnya kawasan kota mandiri yang memiliki
kehidupan kota yang sangat modern sementara pemerintah daerah
yang membawahinya masih memiliki pola manajemen yang
tradisional sering menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan
kawasan perkotaan. Upaya pemerintah daerah untuk merespon
kebutuhan kawasan kota mandiri perlu didukung dengan
perangkat perundang-undangan yang memadai.

Untuk dapat mengembangkan managemen pengelolaan


kawasan perkotaan yang modern, daerah perlu diberi peluang
untuk memberdayakan lembaga dan aparaturnya untuk dapat
mengelola kawasan perkotaan modern, seperti kota mandiri,
dengan baik. Manajemen kota mandiri perlu diberi kewenangan-
kewenangan untuk mengelola kawasan tersebut sebagaimana
yang dimiliki oleh kota atau daerah induk. Hal seperti ini belum
diatur dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pengaturan tentang pengelolaan kota perlu dibuat dalam undang-
undang pemerintahan daerah.

4.13.3 Analisis

210
Pengaturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan amat
diperlukan mengingat perkembangan kawasan perkotaan di
beberapa daerah di Indonesia dalam dekade terakhir ini sudah
sangat cepat. Diperkirakan 10 tahun mendatang, 70% penduduk
Pulau Jawa tinggal di perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan
yang sangat berbeda dengan kawasan lainnya menuntut adanya
pengaturan yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya. Keberadaan kawasan perkotaan memberi peluang
dan sekaligus tantangan yang perlu direspon dengan tepat oleh
Pmerintah Pusat. Kegagalan merespon dengan tepat
perkembangan kawasan perkotaan dapat menimbulkan masalah
perkotaan yang kompleks yang merugikan penghuni kawasan
perkotaan dan sekitarnya.

Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang pengelolaan


kawasan perkotaan membuat pemerintah cenderung mengelola
kawasan perkotaan secara adhoc dan reaktif, sesuai dengan
masalah yang berkembang di kawasan tersebut. Tindakan yang
diambil cenderung sporadis dan reaktif, kurang visioner sehingga
kebijakan yang komprehensif sangat sulit dikembangkan.
Akibatnya, banyak masalah yang muncul terkait dengan
perkembangan kawasan perkotaan tidak dapat diselesaikan
dengan baik.

Misalnya, dalam bidang kelembagaan dalam pengelolaan


kawasan perkotaan. Sampai sekarang baik Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 ataupun peraturan perundang-undangan
lainnya belum mengatur tentang kelembagaan pengelolaan
kawasan perkotaan. Dinamika kehidupan perkotaan sering
melampaui batas-batas wilayah administratif. Kehidupan
perkotaan memiliki eksternalitas baik positif ataupun negatif
melewati batas-batas administratif. Berbagai upaya sudah

211
dilakukan di berbagai daerah untuk menyelenggarakan
pengelolaan bersama berbagai masalah dan kebutuhan bersama
antar kota dan antar kota dengan kabupaten sekitarnya. Namun,
karena pengelolaan bersama tersebut tidak memiliki landasan
perundang-undangan yang kokoh, maka seringkali
penanganannya kurang optimal. Bentuk kelembagaan yang
berkembang juga sangat bervariasi dengan tingkat efektivitas yang
berbeda-beda tergantung dari kesungguhan dari masing-masing
kepala daerah.

Masalah lain yang perlu diatur adalah pengelolaan kawasan


kota dalam satu kabupaten/kota. Selama ini pengaturan
kehidupan perkotaan di kabupaten/kota dilakukan seperti halnya
kawasan perdesaan. Sedangkan, kota kecamatan atau kota
kabupaten yang memiliki ciri-ciri demografis, sosiologis, dan
ekonomis yang berbeda sering menuntut pengelolaan yang
berbeda. Kehidupan perkotaan juga menciptakan kebutuhan dan
dinamika kehidupan yang berbeda dengan kehidupan perdesaan.
Kawasan perkotaan tentu membutuhkan manajemen yang
berbeda dengan kawasan perdesaan. Sayangnya, dalam struktur
kelembagaan yang ada, kabupaten/kota memiliki keterbatasan
untuk dapat merespon dinamika kehidupan yang berbeda karena
peluang untuk mengembangkan inovasi dalam pengelolaan
kawasan perkotaan belum diatur dalam peraturan-perundangan
yang ada.

Kota kecamatan yang membutuhkan pelayanan berbeda


tidak dapat direspon oleh camat sebagai perangkat daerah karena
keterbatasan wewenang dan sumber daya yang dimiliki oleh
camat. Kewenangan dan sumber daya yang ada terkonsentrasi di
birokrasi kabupaten. Sedangkan lembaga kecamatan sebenarnya
dapat diberdayakan untuk dapat merespon dinamika dan

212
kebutuhan pelayanan masyarakat di kota kecamatan. Hal yang
sama juga terjadi dalam pengelolaan kawasan kota kabupaten.
Jika dinamika seperti ini tidak diantisipasi dengan baik oleh
pemerintah maka masalah perkotaan dimasa mendatang akan
menjadi semakin kompleks dan sulit diselesaikan dengan baik.

Munculnya banyak kota baru di dalam satu kabupaten,


sebagai akibat dari dinamika ekonomi dan semakin maraknya
industri real estate, telah menimbulkan masalah dan sekaligus
peluang bagi perkembangan daerah. Berbagai masalah muncul
karena besarnya perbedaan status sosial ekonomi dan gaya hidup
penduduk kawasan kota baru dengan wilayah sekitarnya sering
menimbulkan kecemburuan sosial. Pemerintahan kabupaten
sering mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan kedua
kawasan tersebut. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang
hak-hak masyarakat pemilik tanah yang digunakan untuk
pengembangan kawasan baru tersebut juga sering membuat
masyarakat yang tinggal di kawasan tergusur dan kehilangan
sumber kehidupan yang selama ini tergantung pada lahan yang
dimilikinya. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami
kesulitan ekonomi, sementara pengusaha pengembang kawasan
tersebut memiliki keuntungan yang berlimpah.

Masalah lain dalam pengembangan kota baru biasanya


terkait dengan pelanggaran tata ruang. Banyak terjadi pengalihan
peruntukan dari pertanian ke pemukiman atau dari jalur hijau
dan konservasi lingkungan ke pemukiman yang seringkali
menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat luas.
Pengembangan kota baru memerlukan pertimbangan yang
menyeluruh sehingga keberadaannya sedapat mungkin memberi
kemanfaatan yang besar bagi pemerintah dan masyarakat luas
dengan risiko yang minimal. Pertimbangan ekonomi yang selama

213
ini cenderung dominan dalam pengembangan kota baru mesti
harus dilengkapi dengan pertimbangan sosial dan politik yang
masak sehingga keberadaan kota baru dapat memberi manfaat
yang luas dan berkelanjutan.

4.13.4 Usul Penyempurnaan

1) Pemerintah perlu mendefinisikan kawasan perkotaan secara


jelas dan membuat pengaturan kelembagaan yang dapat
digunakan untuk mengelola kawasan perkotaan secara
optimal. Selama ini kawasan perkotaan cenderung hanya
didefinisikan secara administratif, tetapi secara fungsional
belum diatur dengan jelas. Pemahaman tentang kedua aspek
dari kawasan perkotaan tersebut perlu dijadikan sebagai dasar
dalam pengaturan kawasan perkotaan. Lebih dari itu,
pengembangan kawasan perkotaan juga memerlukan
pengaturan yang memadai tentang pengelolaan kelembagaan.
Belum memadainya pengaturan tentang berbagai aspek
kelembagaan dalam pengelolaan kawasan perkotaan, membuat
daerah belum mampu secara optimal mengelola kawasan
perkotaan yang dimilikinya.

2) Perlu ada pengaturan tentang jenis kota dan segala aspek yang
mengikutinya. Kompleksitas yang dihadapi oleh kawasan
perkotaan cenderung berbeda antar jenis kota yang berbeda,
karena itu perlu cara pengaturan yang berbeda untuk masing-
masing jenis kota. Dalam peraturan perundangan yang ada
pengaturan tentang jenis atau tipe kota dan berbagai aspek
yang melekat pada jenis kota tersebut belum dirumuskan
dengan jelas. Sedangkan pengaturan seperti itu penting agar
dapat menjadi pedoman bagi daerah dalam mengembangkan
kawasan perkotaan yang dimilikinya.

214
3) Harus ada kejelasan tentang batas-batas kewenangan
pengelola kota mandiri dalam mengelola “kotanya” dengan
kewenangan pemerintahan daerah yang membawahi kawasan
perkotaan tersebut. Pengelolaan kawasan kota mandiri perlu
diatur secara berbeda karena masalah dan peluang yang
dihadapinya berbeda dengan kawasan lainnya. Daerah dapat
memberi kewenangan kepada pengelola kota untuk
memfasilitas penyelenggaraan pelayanan kepada warganya
sesuai dengan kebutuhan warga kota tersebut. Namun,
keberadaan dan pengelolaan kawasan kota mandiri harus
terintegrasi dengan kawasan lainnya sehingga keberadaan kota
mandiri dapat mendorong perkembangan kawasan lainnya.

4) Perlu ada pengaturan terhadap peranan pihak swasta dalam


membangun dan mengembangkan kawasan perkotaan
termasuk penyiapan fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam
kawasan yang dikembangkannya. Keberadaan fasilitas sosial
dan fasilitas umum untuk mendukung pengembangan
kawasan perkotaan perlu diatur dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari pengembangan kawasan perkotaan. Perlu
juga diatur tentang pengelolaan fasilitas sosial dan fasilitas
umum oleh Pemerintah Daerah agar keberadaannya dapat
berlanjut dan dirasakan oleh masyarakat luas.

4.14 Kawasan Khusus

4.14.1 Dasar Pemikiran

Dalam pelaksanaan desentralisasi dikenal dua macam


desentralisasi yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi
fungsional (Rondinelli, 1980). Desentralisasi fungsional lazimya
dikenal dalam bentuk ”kawasan khusus atau distrik-distrik

215
khusus, atau sering disebut juga special authorities”. Kawasan
khusus dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi khusus
yang diperlukan dalam mencapai tujuan strategik nasional atau
daerah. Misalnya, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan daya saing bangsa Pemerintah Pusat dapat
menetapkan satu kawasan menjadi kawasan, yang memiliki
pengaturan yang khusus sehingga kawasan tersebut dapat
bersaing dalam pasar internasional.

Berbeda dengan desentralisasi teritorial yang bersifat umum,


desentralisasi fungsional memerlukan pengaturan yang khusus
berlaku pada satu kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai
kawasan khusus. Pengaturan khusus tersebut meliputi antara
lain, urusan dan kewenangan yang diserahkan, struktur
kelembagaan, personel, pembiayaan, dan wilayah yang ditetapkan
sebagai kawasan khusus. Pengembangan kawasan khusus sebagai
pengejawantahan dari desentralisasi fungsional juga berbeda
dengan organisasi parastatal, yang merupakan badan usaha yang
didirikan oleh pemerintah daerah untuk melakukan bidang usaha
tertentu. Parastatal di tingkat daerah dan public enterprise di
tingkat nasional dibentuk sebagai institusi untuk mencapai tujuan
politik, ekonomi dan sosial dan sangat diminati di negara-negara
berkembang ketika sektor swasta belum berkembang secara baik.

Kawasan khusus dapat berbentuk kawasan yang meliputi


Kawasan Perbatasan Negara, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan
Konservasi, dan kawasan khusus lainnya, yaitu: kawasan lain
yang dipandang perlu ditetapkan sebagai kawasan khusus.
Pengaturan kawasan khusus secara rinci dilakukan dalam
undang-undang sektoral sesuai dengan jenis kawasannya.
undang-undang pemerintahan daerah hanya mengatur hubungan

216
antara pemerintah dengan daerah terkait dengan tata cara
pembentukan dan pengelolaan kawasan khusus.

4.14.2 Identifikasi Permasalahan

Untuk mendorong percepatan pencapaian tujuan nasional strategik


dalam berbagai bidang seperti ekonomi, lingkungan, dan
pertahanan nasional pemerintah dapat mengembangkan kawasan
khusus. Namun, dalam prakteknya pengembangan kawasan
khusus seringkali menimbulkan berbagai konflik antara badan
pengelola kawasan khusus dengan pemerintahan daerah.
Perbedaan cara pandang terhadap berbagai hal yang seringkali
tumpang tindih dan tidak jelas dalam pengaturan membuat
benturan dan konflik antar badan pengelola kawasan khusus dan
pemerintahan daerah tak terhindarkan.

Tidak selalu sejalannya kepentingan strategik nasional


dengan kepentingan daerah membuat pengelolaan kawasan khusus
sering mengalami kendala ketika berhadapan dengan kepentingan-
kepentingan jangka pendek dan mendesak dari pemerintah daerah.
Pengalaman kegagalan pengembangan kawasan khusus Batam,
yang kurang dirasakan manfaatnya secara nasional, mestinya harus
dijadikan pembelajaran yang baik bagi pengembangan kawasan
khusus lainnya dimasa mendatang. Untuk itu diperlukan
pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah
mengenai kewenangan yang perlu diberikan kepada pengelola
kawasan khusus, hubungan antara kawasan khusus dengan
pemerintahan daerah, dan bagaimana koordinasi dan sinergi antara
keduanya dapat dilakukan.

Masalah lain adalah bahwa Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 hanya membatasi kawasan khusus dari perspektif
industri dan perdagangan. Jenis kawasan khusus lainnya, misalnya

217
pengelolaan kawasan perbatasan dan konservasi lingkungan yang
sangat penting dilihat dari kepentingan nasional strategik belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mengingat
besarnya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, konservasi
lingkungan, dan pengelolaan kawasan strategis seperti daerah
perbatasan, pembentukan kawasan khusus diluar kawasan
ekonomi khusus sangat penting dilakukan.

Karena Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum


mengatur secara rinci pengembangan kawasan khusus terutama
diluar kawasan ekonomi khusus, maka pengaturan pengembangan
kawasan khusus diperlukan. Pengaturan hendaknya mencakup
hubungan pengelola kawasan khusus tersebut dengan
pemerintahan daerah. Dengan demikian akan terbentuk kejelasan
apa hak dan kewajiban daerah dalam kawasan khusus dan
sebaliknya juga menjadi jelas hak dan kewajiban pengelola kawasan
khusus terhadap daerah.

4.14.3 Analisis

Dalam pengembangan kawasan khusus, tentu ada banyak aspek


yang harus dipertimbangkan agar pengembangannya dapat
bermanfaat bagi masyarakat di kawasan khusus ataupun secara
nasional. Pertama, pengaturan kelembagaan dari kawasan khusus.
Pengalaman dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus Batam
menunjukan adanya konflik yang bersumber dari ketidakjelasan
hubungan kelembagaan antara pengelola kawasan khusus (Badan
Otorita) dengan pemerintah daerah.32 Ketidakjelasan pengaturan
sering membuat masing-masing cenderung mengembangkan
kewenangannya, dengan menegaskan peran dari lembaga lainnya.
32
Diskusi mendalam tentang masalah yang terjadi dalam pengelolaan kawasan ekonomi
khusus Batam dalam ketenagakerjaan, sosial ekonomi, dan konfliknya dengan
pemerintah daerah setempat dapat dibaca dalam Diamar, Ibid.

218
Karena urusan khusus yang akan dikelola oleh lembaga
pengelola kawasan khusus tersebut adalah urusan pemerintahan
maka pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur
kelembagaan dari pengelolaan kawasan khusus. Namun, karena
lembaga pengelola kawasan khusus nantinya akan berinteraksi dan
bekerjasama sangat erat dengan daerah, maka daerah perlu
dilibatkan dalam struktur kelembagaan pengusahaan kawasan
khusus. Pengaturan tentang peran pemerintah dan daerah dalam
pengembangan dan pengelolaan kawasan khusus perlu diatur
dengan jelas dalam undang undang. Bahkan, keterlibatan unsur-
unsur non-pemerintah dalam pengelolaan kawasan khusus perlu
dijaga agar aspirasi dan kepentingan warga dan pemangku
kepentingan dalam pengelolaan kawasan khusus dapat
diperhatikan.

Penyebab lain dari konflik yang sering terjadi dalam


pengelolaan kawasan khusus adalah ketidakjelasan pelimpahan
wewenang yang diberikan kepada kawasan khusus. Tujuan
pengembangan kawasan khusus adalah untuk mempercepat
pencapaian tujuan nasional strategik tertentu. Karena itu pengelola
kawasan khusus harus diberi wewenang untuk mengambil tindakan
tertentu dalam rangka melaksanakan mandat yang diberikan
kepada kawasan khusus. Apa kewenangan yang akan dilimpahkan
kepada pengelola kawasan khusus harus diatur secara jelas agar
semua pihak dapat memahami batas-batas kewenangan yang
dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada kawasan khusus dan
bagaimana seharusnya kewenangan itu digunakan untuk mencapai
tujuan dari pengembangan kawasan khusus itu.

Dalam hal prosedur pengembangan kawasan khusus perlu


diingat bahwa pengembangan kawasan khsusus dilakukan atas
insiatif dari pemerintah dan untuk kepentingan nasional. Namun

219
daerah juga dapat mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk
dikembangkan sebagai kawasan khusus apabila memang terdapat
potensi untuk itu. Pemangku kepentingan di daerah yang melihat
potensi untuk pengembangan kawasan khusus tertentu dapat
mengajukan usulan kepada pemerintah, melalui Kementerian
Dalam Negeri. Hal yang sama dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pusat. Pemerintah Pusat yang melihat pentingnya kawasan khusus
tertentu dikembangkan untuk pencapaian tujuan nasional strategik
dapat mengambil inisiatif untuk pengembangan kawasan khusus di
daerah tertentu. Pengaturan tentang hal ini diperlukan dalam
undang-undang.

4.14.4 Usul Penyempurnaan

1) Perlu pengaturan yang jelas mengenai pengalihan urusan


pemerintahan tertentu yang bersifat khusus kepada lembaga
yang secara khusus dibentuk untuk mengelola urusan
tersebut di daerah. Pengaturan tersebut mencakup antara lain:
tujuan pengalihan kewenangan khusus, jenis kewenangan
bersifat khusus yang akan dialihkan kepada lembaga yang
dibentuk untuk mengelola urusan khusus itu, dan wilayah
yang akan terkena pengaturan khusus tersebut. Pengalihan
urusan pemerintahan yang bersifat khusus kepada lembaga
yang secara khusus dibentuk untuk itu, antara lain dalam
pengelolaan kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan,
kawasan konservasi, dan kawasan khsusus lainnya yang
diperlukan dalam pencapaian tujuan nasional strategis.

2) Perlu pengaturan tentang siapa yang berhak mengusulkan


pembentukan kawasan khusus, mekanisme pengusulan, dan
proses pengambilan keputusan tentang penetapan kawasan
khusus. Perlu diatur dengan jelas bahwa untuk mencapai

220
tujuan pembangunan nasional dan daerah, pemerintah dan
daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus
tertentu. Agar pembentukan kawasan khusus dilakukan
dengan pertimbangan yang jelas, mengacu pada kepentingan
daerah dan nasional, maka mekanisme pengusulan penetapan
dan pengambilan keputusan tentang kawasan khusus perlu
diatur dengan jelas.

3) Perlu pengaturan hubungan antara lembaga pengelola


kawasan khusus dengan pemerintahan daerah. Pengaturan
harus menjamin terjadinya sinergi dan koordinasi fungsional
antara pengelolaan kawasan kawasan khusus dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah

4) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kawasan


khusus tidak boleh tumpang tindih dengan urusan yang telah
diserahkan kepada pemerintahan daerah. Agar
penyelanggaraan urusan pemerintahan yang dikelola oleh
kawasan khusus tidak berbenturan dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah maka pengaturan tentang
kewenangan kawasan ksusus dan hubungannya dengan
pemerintahan daerah perlu dilakukan dengan jelas.

4.15 Kerjasama Antar Daerah

4.15.1 Dasar Pemikiran

Kerjasama antar daerah menjadi isu penting dalam pelaksanaan


otonomi daerah karena pemenuhan kebutuhan masyarakat di
daerah tidak semuanya dapat diselenggarakan secara efisien dan
efektif dalam batas jurisdiksi wilayah administratif satu daerah
semata. Otonomi daerah telah mendorong terjadinya fragmentasi
spasial yang semakin tinggi dan membuat jarak yang semakin

221
melebar antara batas wilayah administratif dengan batas wilayah
fungsional. Hubungan sosial dan ekonomi secara fungsional
seringkali tumpang tindih dan melewati batas-batas wilayah
administratif satu daerah otonom. Banyak kegiatan pemerintahan
dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas, seperti:
pengelolaan daerah aliran sungai, pelayanan transportasi,
pengelolaan sampah, penanggulangan bencana, dan penanganan
berbagai masalah kesehatan, dan membutuhkan keterlibatan
lebih dari satu daerah otonom untuk mengelolanya secara efisien
dan efektif.

Namun, dalam kenyataannya, kerjasama antar daerah


dalam penyelenggaraan pelayanan publik amat sulit diwujudkan.
Masing-masing daerah cenderung bekerja sendiri-sendiri sehingga
membuat kegiatan pemerintahan dan pelayanan menjadi kurang
efisien dan efektif. Bahkan, tidak jarang muncul ketegangan
hubungan antar daerah dan penduduk antar daerah otonom
ketika penyelenggaraan pelayanan yang memiliki eksternalitas
tersebut dinilai tidak adil dan merugikan kepentingan sebagian
dari pemangku kepentingan. Kerjasama antar daerah karenanya
perlu diatur dengan jelas dalam undang-undang pemerintahan
daerah.

Mengingat isu dan obyek kerjasama berbeda sifat dan


urgensinya maka kerjasama antar daerah dapat bersifat wajib dan
sukarela. Apapun sifatnya, pengelolaan kerjasama antar daerah
harus memperhatikan berbagai prinsip-prinsip antara lain: (1)
berorientasi pada kepentingan umum, (2) bebas dari keinginan
melakukan KKN, (3) saling menguntungkan dan memberdayakan
para pihak yang terlibat, (4) berbasis pada sikap saling percaya,
menghargai, dan saling membutuhkan, (5) bersifat inklusif dan
partisipatif, dan (6) harus ada komitmen masing-masing pihak

222
untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati.33 Sedangkan,
bentuk kelembagaan kerjasama antar daerah dapat bersifat adhoc
atau melembaga, tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan
para pihak.34

4.15.2 Identifikasi Permasalahan

Upaya untuk melakukan kerjasama antar daerah sudah cukup


diusahakan, walaupun umumnya berakhir dengan kegagalan.
Kasus GERBANGKERTASUSILO yang mencoba mengintegrasikan
pengembangan Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo,
dan Lamongan dapat menjadi salah satu contoh dari kegagalan
mewujudkan kerjasama antar daerah. Di Jawa Tengah, kasus
kerjasama antara Kabupaten Semarang dengan Kota Semarang
juga mengalami kegagalan walaupun mereka menyadari bahwa
tanpa kerjasama mereka tidak mungkin dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan air bersih dan persampahan di Kota
Semarang. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, sudah lama dirintis
kerjasama antara DKI Jakarta dengan beberapa wilayah
sekitarnya (Jawa Barat) melalui proyek BOTABEK, JABOTABEK,
dan sekarang menjadi JABODETABEKJUR untuk mengatasi
berbagai masalah dalam pengembangan wilayah Jakarta dan
sekitarnya.35 Namun, berbagai upaya untuk membangun
kerjasama antara DKI Jakarta dengan wilayah sekitarnya tersebut
selalu mengalami kegagalan.

Cerita kegagalan dalam upaya mendorong kerjasama juga


terjadi dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo. Akibatnya,
pengelolaan DAS Bengawan Solo menjadi tidak efektif untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di sepanjang DAS

33
Keban, Jeremias T., 2009. “Kerjasama Antar Daerah”, Paper tidak dipublikasikan.
34
Pratikno, 2007. “Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format
Kelembagaan, PLOD. Yogyakarta.
35
Keban, Ibid.

223
tersebut dan mengakibatkan terjadi banjir hebat di berbagai
kabupaten dan kota yang dilalui oleh sungai tersebut. Kerjasama
juga amat sulit diwujudkan dalam pengelolaan lahan gambut di
Kalimantan yang selalu menghasilkan kebakaran yang meluas dan
menyebarkan asap ke berbagai daerah sekitarnya. Di wilayah
Sumatera misalnya, upaya untuk mendorong kerjasama antar
daerah dalam membangun jalur transportasi juga belum berhasil
dilakukan dengan baik.

Kasus kerjasama antar daerah yang mungkin dapat dinilai


cukup berhasil adalah kerjasama KERTAMANTUL, yang
melibatkan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten
Bantul dalam pengelolaan sampah. Dalam pengelolaan sampah
ketiga daerah tersebut dapat mewujudkan kerjasama dalam
pengelolaan sampah yang pembiayaannya ditanggung bersama
dan dibagi sesuai dengan volume sampah yang dihasilkan oleh
masing-masing daerah. Sekretariat bersama untuk mengelola
kerjasama ketiga daerah dapat dilembagakan dan inisiatif
kerjasama untuk bidang-bidang lainya mulai dikembangkan.
Keberhasilan dalam pengelolaan sampah bersama menumbuhkan
kepercayaan diantara ketiga daerah tersebut bahwa kerjasama
antar daerah dapat memberi manfaat bersama dan membuat
pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

Dari berbagai kasus kerjasama antar daerah tersebut,


tampak jelas bahwa walaupun kerjasama antar daerah selama ini
banyak mengalami kegagalan namun kerjasama antar daerah
bukan sesuatu yang mustahil karena ternyata jika dikelola dengan
baik dan sungguh-sungguh kerjasama antar daerah dapat sangat
bermanfaat bagi masyarakat di daerah. Keberhasilan
KERTAMANTUL memberi inspirasi bagi daerah lainnya untuk
dapat merintis kerjasama dengan daerah lainnya. Masalah publik

224
sekarang dan di masa mendatang akan semakin kompleks dan
tidak mungkin ditanggung oleh daerah secara sendiri-sendiri.
Kegagalan membangun kerjasama antar daerah bukan hanya
menghilangkan kesempatan warga di daerah untuk memperoleh
pelayanan publik yang berkualitas dan lebih murah tetapi juga
membawa kepada mereka potensi konflik horizontal yang sangat
besar dan sulit dikendalikan, jika hal itu terjadi.

4.15.3 Analisis

Ada dua permasalahan yang perlu diperjelas dalam hal kerjasama


antar daerah, yaitu: mengapa amat sulit mendorong kerjasama
antar daerah dan mengapa banyak dari upaya kerjasama antar
daerah menemui kegagalan? Otonomi daerah yang mendorong
terjadi fragmentasi spasial mestinya harus dibarengi semangat
kerjasama antar daerah yang lebih besar. Jika otonomi daerah
tidak dibarengi oleh penguatan semangat kerjasama antar daerah
maka otonomi daerah dapat menciptakan ketegangan hubungan
antar daerah dan melahirkan potensi konflik horizontal. Apalagi
dalam desain otonomi daerah yang mengalihkan sebagian besar
urusan pemerintahan kepada kabupaten/kota, potensi konflik
antar daerah sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah
akan menjadi semakin besar. Hal ini terjadi karena pelaksanaan
fungsi-fungsi pelayanan dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat
di satu kabupaten/kota akan menjadi semakin sering bertubrukan
dengan batas-batas wilayah administratif dari daerah otonom
lainnya.

Menyadari hal ini, sebenarnya Pemerintah Pusat telah


mendorong kerjasama antar daerah melalui berbagai instrumen
kebijakan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32

225
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah
telah berupaya mendorong terjadinya kerjasama antar daerah.
Bahkan, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Antar Daerah yang dimaksudkan untuk memberi dukungan
kepada daerah untuk melakukan kerjasama dengan daerah lainya
dalam menyelesaikan berbagai masalah publik yang memiliki
eksternalitas yang melewati batas-batas administratif. Namun,
berbagai instrumen kebijakan tersebut tampaknya belum efektif
untuk mendorong daerah untuk bekerjasama karena kendala dan
dis-insentif untuk bekerjasama masih sangat besar.

Salah satu penyebabnya adalah instrumen kebijakan yang


ada belum mampu memberi insentif yang cukup efektif untuk
mendorong daerah bekerjasama. Dalam kondisi dimana modal
sosial dan trust yang ada dalam masyarakat cenderung mengecil 36
maka insentif untuk bekerjasama menjadi instrumen kebijakan
yang penting. Kecenderungan daerah menjadi semakin narrow
minded dan ketegangan hubungan antar daerah yang semakin
tinggi membuat dorongan untuk bekerjasama menjadi semakin
memudar. Peraturan perundang-undangan yang ada sejauh ini
masih belum menjanjikan insentif yang memadai bagi daerah
untuk bekerjasama. Pada hal peluang untuk memanfaatkan
instrument kebijakan yang ada, misalnya melalui penggunaan
DAK sangat terbuka. Untuk itu diperlukan adanya pengaturan
yang membolehkan penggunaan DAK untuk pembiayaan
kerjasama antar daerah dan antar Pemerintah Pusat dengan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga.

36
Dwiyanto, Agus, 2007. “ Apakah kepercayaan publik masih menjadi modal social kita?
Analisis terhadap data Government Assessment Survey 2006”, Makalah Seminar
Bulanan PSKK UGM.

226
Disamping memberi insentif, instrumen kebijakan juga
diperlukan memberi dis-insentif yang lebih besar bagi daerah yang
gagal melakukan kerjasama dalam menyelesaikan masalah publik
yang eksternalitasnya melewati batas-batas provinsi dan
kabupaten/kota. Masalah publik yang strategis dan kegagalan
menyelesaikannya memiliki implikasi yang besar bagi kehidupan
warga di daerah, maka kerjasama menjadi sangat penting dan
bersifat wajib. Di banyak negara lainnya, kolaborasi antar daerah
dan antar susunan pemerintahan menjadi keniscayaan ketika
masalah yang dihadapi bersifat strategis dan melibatkan
kepentingan para pihak.37 Di Indonesia, walaupun masalah yang
dihadapi sangat strategis seperti dalam pengelolaan DAS
Bengawan Solo dan penanganan banjir di Jakarta, kerjasama
antar daerah dan antar pusat dengan daerah amat sulit
diwujudkan. Dalam situasi seperti ini disinsentif diperlukan. Salah
satu caranya dengan membolehkan pemerintah mengambil alih
penanganan masalah tersebut dengan membebankan
pembiayaannya secara proporsional kepada APBD.

Melalui instrument insentif dan dis-insentif ini Pemerintah


Pusat dapat mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah dan
bila mana perlu, antar Pemerintah Pusat dengan daerah.
Instrumen kebijakan ini hanya akan efektif kalau konsekuensi
dari kegagalan melakukan kerjasama cukup signifikan bagi daerah
dan warganya. Insentif dan dis-insentif tersebut perlu diatur
dalam undang-undang pemerintahan daerah. Tentu insentif dan
dis-insentif tidak cukup, mengingat trust yang ada antar daerah
dan antar pusat dengan daerah cenderung menurun selama
dekade terakhir ini. Diperlukan upaya lain untuk mencairkan
hubungan antar daerah dan tradisi untuk bekerjasama. Dalam
37
Lihat Thompson dan Perry, 2006. Collaboration Processes: Inside the Black Box.
Public Administration Review; 66, Academic Research Library, 20-32.

227
konteks ini, fasilitasi terhadap asosiasi berbagai pemerintahan
menjadi sangat penting peranannya.

4.15.4 Usulan Perubahan

1) Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu


memperkuat pengaturan tentang kerjasama antar daerah yang
dapat bersifat wajib dan sukarela. Untuk kerjasama yang
diperlukan untuk menyelesaikan lintas kabupaten/kota dan
provinsi yang bersifat strategis dan kegagalan pengelolaannya
memiliki dampak yang besar bagi warga di daerah maka
kerjasama tersebut bersifat wajib.
2) Ketika kerjasama bersifat wajib dan daerah dinilai gagal
melakukan kerjasama untuk penyelesaian masalah pelayanan
publik yang bersifat lintas kabupaten/kota atau lintas
provinsi, maka Pemerintah Pusat dapat mengambil alih
penyelenggaraan pelayanan tersebut dan membebankan
pembiayaannya pada APBD masing-masing daerah terkait
secara proporsional.
3) Pemerintah Pusat perlu memfasilitasi berbagai bentuk lembaga
kerjasama antara daerah untuk mendorong semangat
kerjasama antar daerah.

4.16 Pembinaan dan Pengawasan (Binwas)

4.16.1 Dasar Pemikiran

Dalam suatu negara kesatuan, Pemerintah Pusat memiliki peran


yang sangat strategis melalui Norma, Standar, Prosedur, dan

228
Kriteria (NSPK) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
NSPK dibuat agar penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
dengan arah kebijakan yang telah ditentukan oleh Pemerintah
Pusat. Untuk menjaga agar daerah melaksanakan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah berdasar NSPK
yang telah ditentukan maka Pemerintah Pusat perlu melakukan
pembinaan dan pengawasan (Binwas). Tujuan dari Binwas adalah
untuk menjamin agar daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat berada
dalam koridor ketentuan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Binwas juga dilakukan untuk melindungi kepentingan rakyat agar
rakyat memperoleh pelayanan sesuai dengan standar yang telah
ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

Dalam melakukan pembinaan Pemerintah Pusat dapat


melakukan berbagai kegiatan yang meliputi: a) koordinasi antar
susunan pemerintahan; b) pemberian pedoman dan standar
pelaksanaan urusan pemerintahan; c) pemberian bimbingan,
supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d)
pendidikan dan pelatihan; dan e) perencanaan, penelitian,
pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan
pemerintahan.38 Sedangkan dalam melakukan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat dapat
melakukan kegiatan, diantaranya: a) pengawasan atas
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan b) pengawasan
terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pengawasan yang dilakukan dapat bersifat preventif dan
pengawasan represif. Dengan melakukan kegiatan Binwas ini

38
Diskusi tentang cakupan konsep pembinaan dan pengawasan dapat dibaca di Muchlis
Hamdi, Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan Pusat-Daerah, paper tidak
diterbitkan.

229
maka Pemerintah Pusat dapat mendorong percepatan terwujudnya
perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Untuk dapat melakukan Binwas, Pemerintah Pusat memiliki


instrumen yang dapat digunakan untuk memberi sanksi ataupun
penghargaan kepada daerah sesuai dengan kemampuannya dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah sesuai dengan
NSPK. Mengingat besarnya cakupan wilayah Indonesia, Binwas
dapat dilakukan secara berjenjang, dimana pemerintah yang lebih
tinggi menjalankan Binwas terhadap pemerintah dibawahnya.
Pemerintah Pusat berkewajiban melakukan Binwas terhadap
provinsi dan gubernur sebagai wakil pusat melakukan Binwas
terhadap kabupaten/kota.

4.16.2 Identifikasi Permasalahan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebenarnya telah


mengisyaratkan mengenai perlunya Binwas dilakukan oleh
Pemerintah Pusat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 217,
namun sayangnya pengaturan tentang hal tersebut secara jelas
dan rinci belum dilakukan. Akibatnya, pelaksanaan urusan
pemerintahan di banyak daerah cenderung berbeda-beda sesuai
dengan intepretasi dan semangat yang dimiliki oleh masing-
masing pimpinan daerah. Akibatnya, sinkronisasi dan integrasi
kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah sulit dilakukan.
Tidak adanya NSPK sering juga membuat Pemerintah Pusat
mengalami kesulitan dalam melakukan pemantauan dalam rangka
Binwas dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007


mengamanatkan pada kementerian dan lembaga pemerintah non-
kementerian untuk merumuskan NSPK untuk masing-masing
urusan yang secara teknis menjadi tanggungjawabnya selambat-

230
lambatnya dua tahun sejak peraturan pemerintah tersebut
diberlakukan. Mengantisipasi pemberlakuan NSPK tersebut,
pemerintah perlu mengatur secara jelas kewenangan, mekanisme,
dan prosedur melakukan Binwas baik yang bersifat umum
maupun teknis. Dalam hal kewenangan dan tanggung jawab
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan,
perlu diperjelas mengenai bidang pengawasan mana yang
seharusnya menjadi tanggungjawab Kementerian Dalam Negeri
dan bidang pengawasan teknis yang seharusnya menjadi tanggung
jawab kementerian/lembaga teknis.

Dalam pelaksanaan Binwas untuk pelaksanaan urusan


pemerintahan di kabupaten/kota perlu diperjelas mengenai peran
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk melakukan
Binwas kinerja kabupaten/kota. Tidak adanya pengaturan yang
jelas sering membuat gubernur kurang dapat menjalankan
perannya untuk melaksanakan Binwas. Disamping itu,
pemberdayaan gubernur baik sebagai wakil Pemerintah Pusat
maupun sebagai kepala daerah memerlukan sumber daya
aparatur yang profesional dan menguasai kemampuan teknis yang
diperlukan dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan
dan pendanaan yang memadai. Sayangnya sejauh ini, gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat belum memiliki aparat sendiri
yang dapat ditugaskan untuk menjalankan fungsi Binwas
terhadap kabupaten/kota. Akibatnya, pelaksanaan Binwas
cenderung kurang efektif.

4.16.3 Analisis

Binwas sebagai upaya untuk menjamin terlaksananya


pembangunan daerah yang terintegrasi, merata, dan sinergik

231
dalam bingkai negara kesatuan perlu dilakukan dengan cermat
dan efektif. Kendati Binwas terdiri dari dua kegiatan yang berbeda,
pembinaan dan pengawasan, namun keduanya saling melengkapi
dan memperkuat upaya untuk mendorong agar daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan NSPK
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Pembinaan yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah dapat mencakup aspek-
aspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan sosial budaya.

Pada aspek politik, pembinaan dapat difokuskan pada


penguatan lembaga perwakilan rakyat daerah bersamaan dengan
lembaga pemberdayaan masyarakat. Pada aspek administratif,
pembinaan dapat difokuskan pada penegasan pembagian urusan
pemerintahan, serta kewenangan pengelolaannya, terutama
berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran. Pada aspek
fiskal, pembinaan dapat berfokus pada peningkatan pendapatan
asli daerah beriringan dengan pelaksanaan kebijakan transfer dan
pinjaman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pada aspek
ekonomi, pembinaan dapat berfokus pada pembangunan ekonomi
daerah, yang dapat menjamin kemungkinan berlangsungnya
privatisasi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembinaan dunia usaha dan
koperasi. Sedangkan pada aspek sosial budaya, pembinaan
diimaksudkan untuk mendorong kemampuan pemerintahan
daerah dalam membangun kehidupan masyarakat dengan
kesadaran berkewarganegaraan yang tinggi.

Sedangkan pengawasan bertujuan untuk menjamin agar


kegiatan pelaksanaan rencana sesuai dengan spefisikasi yang
telah ditentukan, baik yang bersifat substansial atau nilai-nilai
maupun yang bersifat prosedural. Dengan pengawasan
diharapkan tujuan yang tercapai benar-benar dapat membangun

232
kondisi yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam konteks
keberadaan daerah otonom, pengawasan berperan sebagai
penjamin terbangunnya daerah yang maju, terciptanya keadilan
regional, terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam bingkai
sistem dan kepentingan nasional.

Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa pembinaan atas


penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Terkait dengan bidang-
bidang pembinaan sebagaimana tersebut di atas maka tentunya
harus ada kejelasan institusi mana yang akan melakukan
pembinaan. Untuk itulah perlu diformulasikan agar pembinaan
yang bersifat umum seperti terkait dengan aspek manajerial
pemerintahan dan administrasi, pembinaan dilaksanakan oleh
Kementerian Dalam Negeri. Adapun pembinaan yang bersifat
teknis dilakukan oleh Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non
Kementerian sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-
masing. Proses pembinaan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam
Negeri.

Sama halnya dengan pembinaan, pengawasan yang


dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat juga harus secara tegas
diatur institusi mana yang melaksanakannya. Pengawasan yang
bersifat umum dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri,
sedangkan pengawasan yang bersifat teknis dilakukan oleh
Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian dengan
tetap berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan
juga harus secara jelas mengatur mengenai aspek yang diawasi
yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya
terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Kementerian/LPNK terkait melakukan pengawasan teknis

233
terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi bidang
tugasnya dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan
terhadap aspek kelembagaan, personil, pembiayaan, perda
ataupun pelayanan publik yang dihasilkan daerah.

4.16.4 Usulan Penyempurnaan

Berdasarkan hasil Analisis dan pengamatan terhadap masalah,


diusulkan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 terkait dengan aspek Binwas, dilaksanakan dengan
pangaturan sebagai berikut:

1) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah


provinsi dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan
menteri/kepala LPNK terkait. Menteri Dalam negeri
melaksanakan pembinaan bidang pemerintahan umum
sedangkan menteri/kepala LPNK melaksakan pembinaan
teknis urusan pemerintahan terkait dengan bidang tugasnya
masing-masing. Dalam melakukan pembinaan teknis kepada
daerah provinsi menteri/ kepala LPNK berkoordinasi dengan
Menteri Dalam Negeri.

2) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan


daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat. Anggaran yang digunakan untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dibiayai oleh APBN.
Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan
oleh aparatur daerah provinsi dan juga aparatur pusat yang
ada di daerah.

4.17 Inovasi Daerah dan Tindakan Hukum terhadap Aparat


Daerah

234
4.17.1 Dasar Pemikiran

Majunya suatu bangsa banyak ditentukan oleh kemampuan


bangsa tersebut membuat terobosan pemikiran dalam menangani
persoalan-persoalan yang dihadapi serta menciptakan ide-ide baru
dalam pembangunan bangsanya. Upaya untuk menjaga
keseimbangan antara keinginan menciptakan kepastian hukum
dengan pemberian kewenangan diskresi bagi para penyelenggara
pemerintahan daerah perlu dilakukan. Maraknya berbagai bentuk
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para penyelenggara
pemerintahan daerah mengharuskan pemerintah mereformasi
peraturan perundangan agar peluang penyalahgunaan kekuasaan
dapat dikurangi. Namun, di sisi lain Pemerintah Pusat perlu
memberi ruang yang memadai bagi pejabat publik untuk
mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dinamika sosial, politik, dan ekonomi di daerah yang sangat tinggi
sering menuntut para pejabat publik mengambil diskresi dan
menciptakan inovasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dua kepentingan ini, mengurangi peluang untuk
penyalahgunaan kekuasaan dan memberi ruang untuk mengambil
diskresi, sering bersifat dilematis, tetapi pilihan harus diambil oleh
Pemerintah Pusat.

Dalam menghadapi pilihan dilematis seperti ini, Pemerintah


Pusat harus dapat mengambil pilihan yang menjaga keseimbangan
dari kedua kepentingan tersebut. Upaya untuk menegakan
kepastian hukum perlu dilakukan tetapi perlindungan terhadap
inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan warganya dan memenuhi
kepentingan umum juga harus dilakukan. Jika hal ini tidak
dilakukan maka para pejabat publik akan takut melakukan
inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya,

235
penegakan dan perlindungan hukum bagi pejabat publik dalam
mengembangkan inovasi harus ditempatkan sebagai upaya
penguatan kepastian hukum itu sendiri.

Pada sisi lain aparat daerah sekarang ini sering mengalami


kegamangan manakala menemukan daerah abu-abu karena
peraturan perundang-undangan yang bermasalah. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa peraturan perundang-undangan sektor
sering masih belum harmonis dengan peraturan perundang-
undangan otonomi daerah. Kondisi tersebut sering bermuara pada
terjadinya pelanggaran hukum dan bermuara pada tuduhan
tindak pidana. Menghadapi hal tersebut, muncul kecenderungan
aparat daerah menghindari hal-hal yang abu-abu namun
keputusan harus diambil manakala menyangkut kepentingan
masyarakat daerah tersebut.

Untuk itu diperlukan kejelasan dan ketegasan, hal-hal mana


yang masuk dalam ranah administratif dan hal-hal mana yang
masuk ranah pidana manakala diduga terjadi pelanggaran oleh
aparat pemerintahan daerah. Aparat pengawas pemerintah seperti
Badan Pengawasan dan Pemeriksa Pembangunan (BPKP) dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk menentukan
apakah suatu pelanggaran masuk kedalam pelanggaran yang
bersifat administratif (non yustisia) atau masuk ke ranah pidana
(pro yustisia). Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP yang
kemudian ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum manakala
terbukti bahwa yang disangkakan tersebut bersifat pelanggaran
pidana.

4.17.2 Identifikasi Permasalahan

Upaya Pemerintah Pusat untuk meningkatkan efektivitas


penegakan hukum terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan

236
oleh para penyelenggara pemerintahan daerah perlu memperoleh
dukungan. Namun pelaksanan penegakan hukum harus
dilakukan dengan cermat dan konsisten agar tidak menimbulkan
ketidakpastian dikalangan para penyelenggara pemerintaan
daerah. Untuk itu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi mengeluarkan Keputusan Nomor
148/Menpan/5/2003 tentang Pedoman Umum Penanganan
Pengaduan Masyarakat. Keputusan tersebut dikeluarkan sebagai
acuan dalam rangka menangani kasus-kasus penyidikan yang
dilakukan atas dasar pengaduan masyarakat yang sering kurang
dapat dipertanggungjawabkan, serta terjadinya tumpang-tindih
pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan
kejaksaan di daerah.

Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering


membuat para penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami
keresahan dan ketakutan untuk mengambil inisiatif dan diskresi
dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak
penyelenggara pemerintahan yang mengambil ”sikap pasif” dan
kurang ”responsif” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang
berkaitan dengan jabatannya. Mereka sering menjadi takut dan
ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan
akan dapat menurunkan kreativitas, semangat innovasi, dan
keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan
publik.39

Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh


daerah dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practices)
yang berhasil dikembangkan oleh daerah. Dari 524 provinsi dan
39
Tidak jarang satu objek diperiksa berkali-kali oleh pengawas yang berasal dari instansi
yang sama dan hasilnya berbeda-beda. Akibatnya, para pejabat merasa tertekan.
Sumber: Swamandiri; Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan Menuju
Clean Government. http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-
menuju-clean-government/

237
kabupaten/kota di Indonesia hanya sedikit dari mereka yang
berhasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.40 Lebih dari itu, banyak data menunjukan
bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana
daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerakan
sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini
cenderung ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah yang
kemudian sering dibelikan SBI.

4.17.3 Analisis

Persoalan dilematis yang dihadapi dalam perlindungan hukum


terhadap inovasi yang dilakukan oleh aparatur daerah terjadi
karena Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kewenangan pejabat publik mengambil
diskresi. Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi
aparatur daerah belum diatur dengan jelas sementara tuntutan
dan tekanan untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan
masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk
segera bertindak agar masalah dapat diselesaikan dengan baik.

Diluar itu, banyak peraturan perundang-undangan yang


sudah ketinggalan dan tidak sesuai lagi dengan masalah dan
tantangan yang dihadapi oleh daerah, namun belum diperbaharui
dan karenanya sering masih diberlakukan oleh aparat pengawasan
dan penegak hukum. Kondisi seperti ini tentu membuat aparatur
di daerah mengalami kesulitan untuk menanggapi dinamika
politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini. Mereka sering
mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk
mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan untuk merespon kebutuhan publik, namun pada
40
Majalah Temo, Desember/ Januari 2009 menjelaskan 10 Bupati/ Walikota yang dinilai
berhasil memajukan daerah. Salah satu ukuran dari keberhasilannya adalah
kemampuan mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

238
sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di
Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangan yang
berlaku.

Di banyak negara-negara yang memiliki sistim administrasi


publik yang maju, ada banyak peraturan perundang-undangan
yang memberi ruang yang memadai bagi aparatur negara
termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi. Sunset
rules, rule waive, dan reinvention laboratory dibuat untuk memberi
ruang bagi aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam
rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan publik. Seorang aparatur negara yang melakukan
inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik akan memperoleh perlindungan hukum tertentu, sejauh
tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan publik,
tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan
kelompok.

Penyebab lainnya adalah kurang berfungsinya hukum


administrasi negara. Pengembangan hukum acara pidana jauh
lebih maju daripada hukum administrasi negara. Akibatnya,
banyak kasus-kasus kesalahan administrasi dan prosedur yang
kemudian diselesaikan dengan hukum acara pidana. Jika hal
seperti terus berlanjut, sangat sulit mengharapkan aparat daerah
mengembangkan inovasi, yang amat diperlukan untuk daerah
untuk mengatasi kekosongan peraturan dan kejadian-kejadian
yang bersifat kontingensi.

4.17.4 Usulan Penyempurnaan

1) Perlu ada pengaturan yang jelas tentang kesempatan, tata


cara, dan pengelolaan inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Aparatur daerah dapat melakukan

239
inovasi sejauh tidak bertentangan ketentuan dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Pengalaman menunjukan teladan
(best practices) tidak mudah direplikasi di daerah lainnya
karena kesempatan melakukan inovasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan pemerintahan tidak tersedia. Pengaturan
perlu dibuat untuk memberi ruang yang memadai kepada
aparat daerah untuk mengembangkan inovasi tanpa harus
dihadapkan kepada kekhawatiran untuk dihadapkan pada
persoalan hukum sejauh inovasi dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak mengandung
konflik kepentingan, dan tidak merugikan keuangan negara.

2) Untuk menciptakan kepastian hukum bagi aparatur dalam


mengelola kegiatan pemerintahan perlu ada aturan yang jelas
mengenai proses penegakan hukum terhadap aparatur daerah
ketika melaksanakan kebijakan publik yang menjadi
kewenangannya. Pengaturan tersebut harus dapat mendorong
adanya pemerintahan yang bersih tetapi juga tidak
menghalangi aparatur untuk mengembangkan inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3) Perlu ada pengaturan yang melindungi aparatur daerah yang


mengambil kebijakan publik dari tindak pidana sepanjang
tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan umum,
tidak merugikan kepentingan negara, tidak untuk memperkaya
diri sendiri, keluarga, dan kelompok, dan bertentangan dengan
hukum. Kegagalan dari pelaksanaan kebijakan yang terjadi
jangan dianggap pelanggaran pidana dan tidak dapat
dikriminalkan. Pengaturan seperti ini penting untuk mencegah
terjadinya kriminalisasi kegagalan kebijakan publik yang dapat
menghalangi inovasi kebijakan dan pelayanan publik di
daerah.

240
4.18 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

4.18.1 Dasar Pemikiran

Sebagai lembaga yang bertugas memberi pertimbangan kepada


Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) harus memiliki kapasitas
yang memadai untuk merespon berbagai isu terkait dengan
implementasi otonomi daerah. Dinamika politik, ekonomi, dan
legal-administratif dari penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang sangat kompleks sekarang ini sering memunculkan masalah-
masalah baru yang perlu segera dicarikan solusinya oleh
pemerintah. DPOD harus dapat mengantisipasi dan memberi
rekomendasi kebijakan yang solid dan sound kepada Presiden
terkait dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Untuk dapat memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan


sound kepada Presiden dalam merespon berbagai isu kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah maka DPOD harus didukung
oleh tim kajian yang melibatkan pakar dari berbagai latar
keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Untuk itu fungsi advisory dan kajian yang selama ini
melekat pada DPOD harus dipisahkan. DPOD sebagai advisory
body secara kelembagaan dipisahkan dari fungsinya sebagai policy
research and analysis institutions. DPOD sebagai advisory body
hanya beranggotakan para menteri dan pemangku kepentingan
terkait yang bertugas memutuskan mengenai rekomendasi yang
akan diberikan kepada Presiden terkait dengan isu-isu strategis
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Untuk membantu DPOD dalam merumuskan rekomendasi


kebijakan maka DPOD perlu didukung oleh tim kajian (think tank)

241
yang kuat yang melibatkan para pakar dari latar keilmuan yang
relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tugas dari
tim kajian adalah membuat positioning paper terhadap isu-isu
strategis yang muncul dan menyediakan pilihan kebijakan dan
segala konsekwensinya untuk menanggapi setiap isu strategis
yang akan dibicarakan dalam rapat DPOD. Adanya position paper
yang didukung oleh fakta empirik akan membuat para anggota
DPOD dapat memberikan rekomendasi yang conclusive kepada
Presiden.

Untuk itu restrukturisasi DPOD perlu dilakukan. DPOD


diarahkan sepenuhnya menjadi advisory body untuk Presiden
dalam mengambil kebijakan terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Untuk dapat menjalankan fungsinya DPOD
didukung oleh sebuah working groups yang terdiri dari kelompok
pakar yang memiliki latar keilmuan yang relevan dengan masalah
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memiliki integrasi
yang kuat. Dengan demikian, rekomendasi kebijakan yang
diberikan DPOD kepada Presiden benar-benar conclusive dan
didukung oleh kajian yang solid dan memiliki dukungan empirik
yang memadai. Lebih dari itu, DPOD harus dikelola oleh
sekretariat yang kuat dan dipimpin oleh seorang profesional yang
bekerja penuh waktu.

4.18.2 Identifikasi Permasalahan

Salah satu masalah penting dalam pemberdayaan DPOD adalah


kapasitasnya dalam memberi rekomendasi terhadap Presiden
untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam merespon berbagai
masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Misalnya, dalam
pemekaran daerah DPOD sering tidak dapat memberi rekomendasi
yang conclusive dan mampu mengendalikan pemekaran daerah

242
sehingga pemekaran daerah benar-benar membawa manfaat bagi
kemajuan daerah induk dan daerah otonom baru. Banyaknya
daerah otonom baru dan daerah induknya yang mengalami
penurunan kinerja pasca pemekaran menjadi indikasi bahwa
kapasitas DPOD untuk benar-benar menjadi advisory body masih
dipertanyakan. Banyaknya temuan yang menunjukan adanya
penurunan kinerja daerah otonom baru dan daerah induk
membuktikan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh DPOD kurang
valid dan sound.

Masalah lain yang dihadapi oleh DPOD adalah rendahnya


kapasitas internal DPOD dalam mengelola kegiatan DPOD dan
memberi dukungan kepada anggotanya sehingga mereka dapat
bekerja secara efektif. Kesulitan DPOD untuk mengelola sumber
daya yang ada sehingga mampu merumuskan agenda yang
strategik yang perlu direspon oleh para anggota DPRD sering
membuat rekomendasi kebijakan yang diberikan oleh DPOD
menjadi kurang optimal dan efektif. Akibatnya, DPOD sering tidak
mampu memberi rekomendasi kebijakan yang solid dan conclusive
secara cepat untuk merespon masalah dan isu strategis di daerah
seperti pemekaran, restrukturisasi kelembagaan daerah dan
kepegawaian daerah, pemberdayaan kapasitas fiskal daerah, dan
pembatalan peraturan daerah. Sedangkan masalah-masalah
tersebut sangat strategis dan perlu segera ditanggapi oleh
Presiden. Dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang sangat tinggi
di daerah sering membuat keterlambatan dalam merespon
masalah kebijakan tertentu dapat menghasilkan situasi yang lebih
buruk terjadi di daerah.

Kesulitan DPOD untuk memberi dukungan yang optimal


sebagian disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya yang tersedia
di sekretariat DPOD. Terbatasnya sumber daya yang tersedia

243
untuk DPOD, termasuk tenaga ahli untuk melakukan kajian
terhadap isu dan masalah tertentu terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah membuat DPOD menjadi
kurang fungsional. Untuk dapat memberi rekomendasi yang solid
dan sound maka DPOD harus memiliki informasi yang memadai
yang dapat menjadi dasar merumuskan rekomendasi kepada
Presiden.

Ketidaksiapan informasi dan tidakadanya policy papers


terkait dengan isu yang dibahas di rapat DPOD sering membuat
DPOD kurang siap membahas isu dan masalah strategis yang
berkembang di daerah. Restrukturisasi diperlukan untuk
membuat DPOD dapat berperan sebagai advisory body yang kuat
dan effektif.

4.18.3 Analisis

Kurangnya dukungan informasi yang diperlukan untuk memberi


rekomendasi kebijakan sering membuat DPOD terkesan lamban
dalam merespon dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Kebijakan strategis yang perlu diambil oleh
Presiden untuk merespon berbagai masalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti masalah pemekaran
daerah, peningkatan kapasitas fiskal daerah, dana perimbangan
daerah, dan restrukturisasi kelembagaan daerah tentu
membutuhkan broad-based information dan data-data yang
obyektif sebagai pendukungnya. DPOD sering mengalami kesulitan
untuk memproduksi informasi dan fakta empirik yang dapat
menjadi landasan yang kokoh dalam merekomendasi kebijakan
kepada Presiden.

Hal ini terjadi karena sebagai advisory body, DPOD tidak


didukung oleh think tank atau kelompok kerja yang kuat dan

244
mampu menghasilkan positioning paper terkait dengan isu-isu
yang dibicarakan di DPOD. Kelompok kerja dan sekretariat DPOD
yang ada sekarang ini bersifat adhoc dan umumnya dirangkap
oleh pejabat struktural dari berbagai instansi yang terkait.
Akibatnya dukungan sekretariat dan kelompok kerja terhadap
DPOD sebagai advisory body relatif amat terbatas dan kurang
optimal.

Tidak tersedianya tim pakar yang berlatar keilmuan berbeda


namun relevan dengan masalah penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang secara penuh atau paruh waktu bekerja untuk untuk
membantu kelompok kerja yang ada dalam merumuskan position
papers terkait dengan masalah dan isu kebijakan yang perlu
direspon oleh DPOD membuat DPOD mengalami kesulitan untuk
memperoleh informasi yang sahih dan kuat untuk menjadi dasar
dalam merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden.
Keberadaan beberapa pakar pemerintahan daerah dalam
keanggotaan DPOD tidak banyak membantu mengatasi kesulitan
yang dihadapi oleh DPOD dalam merumuskan rekomendasi
kebijakan karena kedudukan mereka sebagai anggota DPOD
hanya terlibat dalam kegiatan DPOD ketika rapat DPOD
diselenggarakan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan kajian secara mendalam terhadap masalah yang akan
dibicarakan dalam persidangan DPOD.

Sebagai advisory body, DPOD memerlukan banyak kajian


untuk merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden.
Untuk itu DPOD memerlukan dukungan sebuah think tank atau
kelompok kerja yang secara khusus dirancang untuk mekakukan
analisis dan merumuskan policy papers and briefs terkait dengan
isu dan masalah strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

245
Adanya policy think tank akan sangat membantu DPOD dalam
menjalankan misinya sebagai advisory body.

Untuk itu restrukturisasi kelembagaan DPOD diperlukan.


DPOD sebagai advisory body perlu didukung oleh sekretariat yang
memadai dan policy think tank yang tangguh. Para pakar yang
selama ini mewakili dunia akademik dalam DPOD sebaiknya
difungsikan sebagai tim pakar untuk think tank yang dibentuk
oleh DPOD. Komposisi keanggotaan DPOD perlu diubah sehingga
hanya terdiri dari para pengambil kebijakan yang terdiri dari
menteri terkait atau yang mewakilinya. Untuk mengembangan
policy think tank yang tangguh DPOD perlu memperoleh sumber
daya yang memadai agar dapat memberi dukungan yang memadai
sehingga analisis dan riset untuk merumuskan policy papers and
briefs dapat dilakukan dengan baik.

Dari sisi pengambilan keputusan keberadaan DPOD sangat


penting untuk memberikan masukan yang sound dan workable
kepada Presiden. Dalam realitas karena DPOD merupakan forum
setingkat menteri, sangat sulit bagi kementerian dalam negeri
untuk mengkordinir kementerian yang lain manakala harus
mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan
kepentingan suatu kementerian yang bertabrakan dengan daerah.
Dari sisi otoritas dalam pengambilan kebijakan yang memerlukan
decision yang mengikat maka ketua DPOD akan lebih efektif
ditingkatkan pada institusi yang mempunyai otoritas diatas
menteri sehingga keputusan-keputusan yang diambil bias
mengikat.

4.18.4 Usulan Penyempurnaan

246
Untuk memperkuat kapasitas DPOD dalam merekomendasi
kebijakan kepada Presiden terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah maka beberapa hal berikut perlu dilakukan:

1) Merumuskan kembali struktur kelembagaan dan keanggotaan


DPOD

DPOD sebagai advisory body kepada Presiden dalam


penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya beranggotakan
menteri, pemangku kepentingan terkait termasuk asosiasi
pemerintahan daerah, dan dipimpin oleh Menteri Dalam
Negeri. Untuk menghindari conflict of interest ketika terjadi
permasalahan yang menyangkut suatu kementerian dengan
daerah, atau bahkan antar kementerian maka ketua DPOD
akan lebih efektif kalau dipegang oleh institusi yang
mempunyai otoritas diatas menteri. Para pakar yang selama ini
menjadi anggota DPOD sebaiknya difungsikan sebagai pakar
yang dipekerjakan pada think tank yang secara khusus
dibentuk untuk merumuskan rekomendasi kebijakan terkait
dengan isu-isu strategik dalam penyelenggaraan otonomi
daerah.

2) Memperkuat dukungan teknis kepada DPOD

DPOD perlu diperkuat dengan lembaga pendukung yang kuat


dan memiliki sumber daya yang memadai untuk dapat
mengelola policy think tank yang tangguh. Keberadaan policy
think tank yang tangguh sangat diperlukan karena dinamika
penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat tinggi dan isu
dan masalah kebijakan berkembang dengan cepat dan
memerlukan kebijakan yang tepat dan efektif.

3) Penguatan sekretariat DPOD

247
Pengaturan perlu dibuat untuk memungkinkan DPOD dapat
bekerja secara efektif dan mampu secara optimal memberi
rekomendasi kebijakan untuk merespon berbagai masalah
kebijakan otonomi daerah. DPOD perlu didukung oleh
sekretariat yang tidak bersifat adhoc, yang pejabatnya
merangkap jabatan-jabatan lainnya di berbagai instansi
terkait, tetapi oleh profesional yang bekerja penuh waktu.

BAB V

PENUTUP

248
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih mengalami banyak
hambatan dan kendala sehingga tujuan dari kebijakan tersebut
belum dapat diwujudkan secara optimal. Hambatan dan kendala
tersebut muncul sebagian karena pengaturan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum mampu secara
tepat mengantisipasi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang
berkembang di daerah yang cenderung menjadi semakin tinggi.
Akibatnya, banyak masalah yang muncul di daerah tidak dapat
diselesaikan dengan pengaturan yang ada. Bahkan, dalam
beberapa hal pengaturan yang ada di Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sudah tidak lagi cocok dan relevan untuk digunakan,
karena situasi yang dihadapi oleh pemerintah baik pusat ataupun
daerah sudah berbeda dengan yang dulu dijadikan sebagai dasar
dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pengaturan tentang pemekaran daerah, kepegawaian,


perencanaan, dan pembagian urusan perlu dirumuskan kembali
karena dinamika yang terjadi di daerah tidak lagi dapat dikelola
dengan menggunakan pengaturan yang ada. Kecenderungan
pemekaran daerah yang sulit dikendalikan dalam beberapa tahun
terakhir ini dan menimbulkan dampak negatif bagi daerah induk
dan daerah otonom baru memerlukan pengaturan yang berbeda
dan dapat menjamin bahwa pemekaran yang terjadi nantinya
benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas baik di daerah
induk ataupun di daerah otonom baru. Hal yang sama juga terjadi
dalam aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah lainnya
seperti aspek kepegawaian. Pengaturan yang ada sekarang
ternyata telah gagal mendorong adanya profesionalisme, mobilitas
pegawai lintas daerah dan antar susunan pemerintahan, dan
netralitas mereka terhadap kekuatan politik yang ada di daerah.
Menghadapi situasi seperti ini maka perbaikan terhadap

249
pengaturan yang ada di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
perlu dilakukan.

Lebih dari itu, muncul fenomena baru yang ada dalam


masyarakat di daerah yang memerlukan norma baru karena
belum diatur sama sekali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 seperti meluasnya kebutuhan partisipasi masyarakat dan
kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam proses kebijakan di
daerah. Fenomena semacam ini perlu diatur dengan jelas sehingga
kapasitas masyarakat yang meningkat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat dimanfaatkan
secara optimal. Hal yang sama juga terjadi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, yang juga belum diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan pelayanan publik adalah hal
yang sangat penting dan salah satu tujuan utama dari
pelaksanaan desentralisasi. Karena itu, dalam revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengaturan tentang pelayanan
publik perlu ditambahkan.

Dengan pertimbangan seperti tersebut diatas, revisi Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004 dirancang untuk memperbaiki
pengaturan-pengaturan yang dinilai kurang mampu bekerja secara
optimal dalam mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi dan
sekaligus, menambah pengaturan baru yang diperlukan untuk
menjamin penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar
membawa manfaat bagi masyarakat di daerah. Tanpa adanya
perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka
amat sulit mengharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah
benar-benar mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi
warganya. Bahkan, tanpa perbaikan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dikhawatirkan penyelenggaraan pemerintahan daerah
akan menjadi semakin buruk dan mengganggu kesejahteraan

250
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, perubahan dan perbaikan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah satu keniscayaan.

Dengan berbagai pertimbangan diatas, maka para


pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan diharapkan dapat
memahami dengan baik mengapa perbaikan terhadap Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 diperlukan, aspek apa saja yang
perlu diperbaiki dan diperkuat, dan hal-hal baru yang
memerlukan pengaturan lebih jelas dalam undang-undang yang
baru. Dengan adanya perbaikan diharapkan berbagai masalah
yang selama ini terjadi di daerah dapat dicarikan solusinya dengan
baik sehingga penyelenggarakan pemerintahan daerah dapat
berjalan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Perbaikan praktik
penyelenggaraan pemerintahan itu nantinya diharapkan dapat
mempercepat terwujudnya kemajuan daerah dan kesejahteraan
warganya.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Arun, and Clark C. Gibson. "Enchantment and


Disenchantment: The Role of Community in Natural Resource
Conservation." World Development 27, no. 4 (1999): 629-49.

251
Andersson, Krister. "What Motivates Municipal Governments?
Uncovering the Institutional Incentives for Municipal
Governance of Forest Resources in Bolivia." Journal of
Environment and Development 12, no. 1 (2003): 5-27.

Andersson, K., C. Gibson, and F. Lehoucq. "The Politics of


Decentralizing Natural Resource Policy." PS: Political Science
and Politics 37, no. 3 (2004): 421-26.

Andrew, Christina W and Michiel S. de Vries, “High Expectation,


Varying Outcomes: Decentralization and Participation in
Brazil, Japan, Russia and Sweden”,
http://ras.sagepub.com/cgi/content/abstract/73/3/424.

Aritonang, Baharuddin. ”Stop Dululah Pemekaran Daerah.”


http://www.bpk.go.id/

Bardhan, P., and D. Mookherjee. "Capture and Governance at Local


and National Levels." American Economic Review 90, no. 2
(2000): 135-39.

Boone, Catherine, “Decentralization As Political Strategy in West


Africa”,
http://cps.sagepub.com/cgi/content/abstract/36/4/355.

Boone, Catherine, “Decentralization opening a new window for


corruption; An Accountability Assesment of malawi’s Four
Years of Democratic Local Governance”,
http://cps.sagepub.com.

Crook, Richard , and James Manor. “Democracy and


Decentralization in Southeast Asia and West Africa:
Participation, Accountability and Performance.” Cambridge:
University of Cambridge, 1998.

Deininger, Klaus, and Paul Mpuga. "Does Greater Accountability


Improve the Quality of Publik Service Delivery? Evidence
from Uganda." World Development 33, no. 1 (2005): 171-91.

Diamar, Son. “Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus,” Paper


tidak diterbitkan, 2007.

Dillinger, B. "Decentralization, Politics and Publik Sector." In


Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations,

252
edited by A. Estache. Washington D.C.: World Bank
Discussion Papers 290, 1995.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003a. “Reformasi Tata Pemerintahan dan


Otonomi Daerah,” Yogyakarta: PSKK UGM

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003b. Teladan dan Pantangan Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: PSKK
UGM

Dwiyanto, Agus, 2006. “Mewujudkan Good Governance Melalui


Pelayanan Publik,” Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Dwiyanto, Agus, dkk. 2007. “Kinerja Tata Pemerintahan Daerah,”


Yogyakarta: PSKK UGM

Esman, M.J. 1991. “Management Dimensions of Development:


Perspectives and Strategies”. West Hartford, Connecticut:
Kumarian Press, Inc.

Ferrazi, Gabe, 2007. “Exploring Reform Options In Functional


Assignment”(Draf Report), Jakarta: DSF and GTZ

Fisman, Raymond and Roberta Gatti. "Decentralization and


Corruption: Evidence across Countries." Journal of Publik
Economics 83, no. 3 (2002): 325-45.

Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, “A Contingency Approach to


Decentralization”, Publik Organization Rev (2006) 6:37-56

Hamdi, Muchlis “Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan


Pusat-Daerah”, paper tidak diterbitkan

Hoessein, Benyamin. “Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi


Daerah dan Tugas Pembantuan”, Paper tidak diterbitkan,
2007.

Hoessein, Benyamin dan Eko Prasojo, “Konsep Pembagian


Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan”, Paper
tidak diterbitkan, 2007.

Indrayana, Denny. Ada Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist.


http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/
SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf

253
Katorobo, 2007. Decentralization and Local Autonomy for
Participatory Democracy, in Publik Administration and
Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New
York: United Nations: Economic and Social Affairs.

Kauneckis, D. dan K. Anderson. 2006. Making Decentralization


Work: A Cross-National Examination of Local Governments
and Natural Resource Governance in Latin America. : Dalam:
kauneck@unr.edu.

Keban, Jeremias T. “Perencanaan Pembangunan Daerah”, Paper


tidak diterbitkan, 2007.

Kertapraja, E. Koswara, ”Pokok-Pokok Pikiran Tentang


Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat”, Paper tidak diterbitkan,2007.

Kertapraja, E. Koswara. Pokok-Pokok Pikiran Tentang


Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat.

Kohl, Benjamin, “Democratizing Decentralization in Bolivia: The


Law of Popular Participation”,
http://jpe.sagepub.com/cgi/content/abstract/23/2/153
KOMPAS. Pejabat di Daerah Harus Kompak, Bupati dan DPR
Jangan Saling
Menjatuhkan.http://www.depdagri.go.id/konten.php?
nama=Berita&op=detail_berita&id=524

LAKPESDAM. ”Merebut Anggaran Publik; Jalan Panjang


Menuju
Demokratisasi”PenganggaranDaerah.http://www.pbet.o
rg/Publikasi/Buku/Merebut_Anggaran_Publik_
Lakpesdam.pdf

Lam,Jermain T.M., “Decentralization in Publik Administration:


Hong Kong’s Experience”,
http://ppa.sagepub.com/cgi/content/abstract/11/1/

Larson, Anne M. "Natural Resources and Decentralization in


Nicaragua: Are Local Governments up to the Job?" World
Development 30, no. 1 (2002): 17-31.

254
Manin, Bernard, Adam Przeworski, and Susan Stokes. "Elections
and Representation." In Democracy, Accountability, and
Representation, edited by Bernard Manin, Adam Przeworski
and Susan Stokes. Cambridge: Cambridge University Press,
1999.

Manor, James. "The Political Economy of Democratic


Decentralization." 145. Washington, D.C.: World Bank,
1999.

Meinzen-Dick, Ruth, Anna Knox, and Monica Di Gregorio.


"Collective Action, Property Rights and Devolution of Forest
and Protected Area Management." In Collective Action,
Property Rights and Devolution of Natural Resource
Management, edited by Arun and Elinor Ostrom Agrawal,
1999.

Oates, W.E. “Fiscal Federalism.” New York: Harcourt Brace and


Jovanovich, 1972.

Osborne, David and Ted Gaebler, 1993, “Reinventing Government.


How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Publik
Sector” New York: Plume.

Oyono, Phil Rene. "One Step Forward, Two Steps Back? Paradoxes
of Natural Resources Managment Decentralization in
Cameroon." Journal of Modern African Studies 42, no. 1
(2004): 91-111.

Peterson, George. Decentralization in Latin America : Learning


through Experience. Washington D.C.: World Bank, 1997.

Piliang, Indra J., Menggagas Format Ideal Hubungan Antara


Kepala Daerah dan DPRD,” Paper tidak diterbitkan,2007.

Pollit, Ch., J. Birchall, and K.Puttman. 1998. Decentralizing Publik


Service Management. London: MacMillan Press, Ltd.

Pratikno, ”Masukan Untuk Revisi UU 32/2004 Terkait Dengan


Kerjasama Antar Daerah”, Paper tidak diterbitkan,2007.

Prasojo, Eko. ”Konsep dan Pengaturan Desentralisasi Fungsional


dan Kawasan Khusus Dalam UU Pemerintahan Daerah”,
Paper tidak dipublikasikan, 2007.

255
Raman, G. Venkat, “Development Model for Developing Countries;
Decentralization as a Developmental Strategy in China”,
http://chr.sagepub.com/cgi/content/abstract/42/4/369.

Ribot, Jesse, C. Waiting for Democracy: The Politics of Choice in


Natural Resource Decentralization. Washington D.C. : World
Resources Institute, 2004.

Rodden, Jonathan. "Comparative Federalism and Decentralization:


On Meaning and Measurement." Comparative Politics 36, no.
4 (2003).

Rodden, Jonathan, and Erik Wibbels. "Beyond the Fiction of


Federalism." World Politics 54, no. 4 (2002): 494-531.

Rondinelli, D. A. “Governments Serving People: The changing Role of


Publik Administration in Democratic Governance. Dalam
Publik Administration and Democratic Governance:
Governments Serving Citizens. New York: United Nations:
Economic and Social Affairs.

Rondinelli, D.A., “Government Decentralization in Comparative


Perspective: Theory and Practice in Developing Countries”,
http://ras.sagepub.com/

Rondinelli, D.A., “Government Decentralization in Comparative


Perspective: Theory and Practice in Developing Countries
High Expectations, varying outcomes :decentralization and
participation”, http://ras.sagepub.com/
cgi/content/abstract/73/3/424.

Rondinelli, D.A. “Implementing Decentralization Programs In Asia:


Comparative Analysis”, Publik Administration and
Development, (1983) Vol. 3 181-207

Rondinelli, D.A., J.S. McCoullough, and R.W. Johnson. "Analyzing


Decentralization Policies in Developing Countries: A Political-
Economy Framework." Development and Change 20, no. 1
(1989): 5-27.

Salomo, Roy V, “Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004,” Paper tidak


diterbitkan, 2007.

256
Salomo, Roy V, “Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU
N0.32/2004: Perangkat Daerah”, Paper tidak diterbitkan,
2007.

Seabright, Paul. "Accountability and Decentralization in


Government: An Incomplete Contracts Model." European
Economic Review 40 (1996).

Swamandiri; Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan


Menuju Clean Government.
http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-
menuju-clean-government/

Tempo, “Anggota DPRD Ramai-ramai Garap Proyek.” ;


www.TempoInteraktif.

Treisman, Daniel. "The Causes of Corruption: A Cross-National


Study." Journal of Publik Economics 76, no. 3 (2000): 399-
45.

Turner, M. dan D. Hulme. 1997. “Governance, Administration and


Development: Making the State Work.” London: MacMillan
Press LTD.

Wastiono, Sadu. “Pokok-Pokok Penyempurnaan Kecamatan”, Paper


tidak diterbitkan, 2007.

Wibbels, Erik. "Federalism and the Politics of Macroeconomic Policy


and Performance." American Political Science Review 44
(2000): 687-702

Yance Arizona , “Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu


Tinjauan Normatif”,
http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas
Pengujian Perda.pdf

Zuhro, Siti. “Kepegawaian”, Paper tidak diterbitkan, 2007.

257

Anda mungkin juga menyukai