Anda di halaman 1dari 16

2.1.

Pendidikan sebagai proses pematangan

Kematangan adalah kemampuan seseorang untuk berbuat sesuatu dengan cara-cara


tertentu. Singkatnya ia telah memiliki intelegensi. Intelegensi itu ialah faktor total. Berbagai
macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat
dan sebagainya) turut mempengaruhi intelegensi seseorang. Kematang disebabkan karena
perubahan “genes” yang mentukan perkembangan struktur fisiologi dalam system saraf, otak
dan indra sehingga semua itu memungkinkan individu matang menggandakan reaksi-reaksi
terhadap setiap stimulus lingkungan.

Kematangan adalah keadaan atau kondisi bentuk, struktur dan kondisi yang lengkap atau
dewasa pada suatu organisme, baik terhadap suatu sifat, bahkan seringkali semua
sifat.Kematangan (maturity) membentuk sifat dan kekuatan dalam diri untuk bereaksi dengan
cara tertentu, yang disebut “readiness” (kesiapan). Readiness yang dimaksud yaitu bertingkah
laku yang instingtif,maupun tingkah laku yang dipelajari.Yang dimaksud dengan tingkah laku
instingtif,yaitu suatu pola tingkah laku yang diwariskan(melalui proses hereditas).

3 ciri tingkah laku instingtif (kesiapan) :

1. Tingkah laku instingtif terjadi menurut pola pertumbuhan herediter.


2. Tingkah laku instingtif adalah tanpa didahului dengan latihan atau praktek
sebelumnya.
3. Tingkah laku yang instingtif berulang setiap saat tanpa ada saraf yang
menggerakkan nya.

Tingkah laku instingtif ini biasanya terjadi karena adanya kematangan seksual,atau
fungsi saraf. yang termasuk tingkah laku yang diwariskan adalah bukan hanya tingkah laku
insting tetapi juga reaksi-reaksi psikologis seperti:reflex, takut, berani, haus,lapar, marah,
tertawa, dan lain-lain adalah tidak usah dipelajari melainkan sudah diwariskan.
Tingkah laku apapun yang dipelajari, memerlukan kematangan. Orang tak akan dapat berbuat
secara inteligen apabila kapasitas itelektualnya belum memungkinkanya. Untuk itu
kematangan dalam struktur otak dan system saraf sangat diperlukan.
Dalam kehidupan individu, banyak hal yang tidak dapat dilakukan atau diperoleh
hanya dengan kematangan, melainkan harus dipelajari. Misalnya mengenai, kemampuan
berbicara, membaca, menulis dan berhitung. Dalam hal ini melakukan aktivitas-aktivitas
semacam itu, kematangan memang tetap diperlukan sebagai penentu readiress untuk belajar.

B. Prinsip-prinsip pembentukan kematangan

Seseorang baru dapat belajar tentang sesuatu apabila di dalam dirinya sudah terdapat
“readiness” untuk mempelajari sesuatu itu. Ada orang yang mengartikan readiness sebagai
kesiapan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu. Readiness dalam belajar
melibatkan beberapa faktor yang bersama-sama membentuk readiness, yaitu:

1. Perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis; ini menyangkut pertumbuhan terhadap


perlengkapan pribadi seperti tubuh pada umumnya, alat-alat indra, dan kapasitas
intelektual.
2. Motivasi; yang menyangkut kebutuhan, minat serta tujuan tertentu individu untuk
mempertahankan serta mengembangkan diri. Motivasi berhubunagn dengan system
kebutuhan dalam diri manusia serta tekanan-tekanan lingkungan.

Dengan demikian, readiness seseorang itu senantiasa mengalami perubahan setiap


hari sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fisiologis individu serta
adanya desakan-desakan dari lingkungan seseorang.

C. Ciri-ciri Adanya Kematangan

Mengetahui adanya tahap kematangan suatu sifat sangat penting artinya bagi seorang
pendidik atau pengasuh, karena pada tingkat itulah si anak akan memberikan reaksi yang
sebaik-baiknya tehadap semua usaha bimbingan atau pendidikan yang sesuai bagi mereka.
Ciri-ciri adanya kematangan tersebut pada diri si anak adalah ditandai dengan adanya:

a. Perhatian si anak
b. Lamanya perhaian berlangsung
c. Kemajuan jika diajar atau dilatih.

Telah banyak percobaan-percobaan diadakan untuk mengetahui sampai dimana


seorang anak dapat berkembang hanya atas dasar kodrat dan sejauh mana atas dasar
pengajaran ataupun pengalaman. Hasilnya antara lain:
a. Pada tahun-tahun pertama “kematangan” ini penting karena memungkinka pengajaran
atau latihan.
b. Dalam perkembangan phylogenetic tidak terdapat perbedaan diantara anak kembar
dan anak yang berbeda rasanya.
c. Berlangsungnya secara bersama-sama antarpertumbuhan kodrat (kematangan) dengan
pengajaran atau latihan adalah sangat menguntungkan bagi perkembangan anak.

D. Fungsi Kematangan dalam Proses Perkembangan atau Belajar

Dalam proses perkembangan fungsi kematangan itu adalah sebagai berikut:

a. Pemberi bahan mentah atau bahan baku bagi sebuah perkembangan; misalnya
kematangan otot dan urat kaki sebagai bahan untuk perkembangan berjalan.
b. Pemberi batas dan kualitas perkembangan, makin baik kualitas perkembangan suatu
fungsi akan semakin baik kualitas hasil perkembangan yang akan terjadi dan juga
sebaliknya.
c. Pemberi kemudahan bagi pendidik atau pengasuh apabila melatih, membimbing
ataupun mengajarnya.

E. Kematangan Sebagai Dasar dari Pembentukan Readiness

Pengaruh kondisi jasmaniah terhadap pola tingkah laku atau pengakuan social sangat
tergantung kepada:

a. Pengakuan individu yang bersangkutan terhadap diri sendiri (self concept)


b. Pengakuan dari orang lain atau kelompoknya. Masing-masing individu mempunyai
sikap tersendiri terhadap keadaan fisiknya.

Perubahan jasmani memerlukan bantuan “motor learning” agar pertumbuhan itu


mencapai kematangan. Kematangan ataupun kondisi fisik baru akan memperoleh pengakuan
social, apabila individu yang bersangkutan mengusahakan “social learning” (belajar
berinteraksi dengan orang lain atau kelompok serta menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta
minat-minat kelompok). Dengan diusahakannya hal di atas, diharapkan individu mencapai
tingkat-tingkat kematangannya sesuai dengan tahap-tahp pertumbuhannya, belajarnya, dan
lingkungan sosialnya.

Dasar-Dasar Biologis Tingkah Laku


Tingkah laku individu didasari oleh pertumbuhan biologisnya. System saraf merupakan
penggerak tingkah laku manusia secara biologis. System saraf terdiri atas komposisi sel-sel
yang disebut neurons. Tiap-tiap neuron mengandung tenaga yang berasal dari proses kimiawi
dan elektronik. Apabila mendapat stimulasi, neurons melepaskan dorongan-dorongan
elektronis yang merangsang gerakan neurons lainnya guna merangsang gerakan urat-urat dan
otot-otot tubuh. Pusat system saraf terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Itulah yang
berfungsi sebagai pengatur gerakan jasmaniah pada tubuh.

F. Lingkungan atau Kultur Sebagai Pembentuk kematangan anak

Perkembangan pada diri seorang anak tergantung pada pengaruh lingkungan dan kultur di
samping akibat tumbuhnya pada pola jasmaniah. Stimulisasi lingkungan serta hambatan-
hambatan mental individu mempengaruhi perkembangan mental, kebutuhan, minat, tujuan-
tujuan, perasaan, dan karakter individu yang bersangkutan. Dalam perkembangan kehidupan
individu, lingkungan yang dihadapi atau direaksi semakin luas. Meluasnya lingkungan dapat
melalui bebrapa cara, antara lain:

1. Perluasan paling nyata adalah dalam arah stimulasi fifik anak. Makin tua umur
manusia makin luas pula medan geografis yang dihadapi, dan arah stimulasinya
semakin melebar pula.
2. Manusia yang mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan di samping itu
pemikirannya meningkat, maka dalam hidupnya terjadi banyak perubahan
lingkungan. Dengan perkataan lain, lingkungan banyak mengalami perubahan di
dalam diri manusia, misalnya di dalam pengamatannya, kesan-kesannya, ingatannya,
imajinasinya, dan yang terlebih penting adalah dalam pemikirannya.
3. Akibat dari keadaan itu, terjadilah perubahan lingkungan di dalam kemampuan
individu membuat keputusan. Perubahan lingkungan itu terjadi akibat belajar serta
bertambahnya kematangan manusia. Semakin tua atau dewasa, manusia pun menjadi
merdeka dan bertanggung jawab. Dengan adanya kemampuan mengontrol lingkungan
yang lebih luas, maka makin banyaklah kesempatan manusia untuk belajar. Dengan
makin banyaknya manusia belajar, maka kematangan tidak semakin berkurang,
melainkan dapat lestari bahkan mengikat.

. Konsep Dasar Kematangan Belajar


Kematangan (maturity) adalah suatu keadaan atau kondisi bentuk struktur dan fungsi
yang lengkap atau dewasa pada suatu organisasi..1[1] Kematangan membentuk sifat dan
kekuatan dalam diri untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disebut “Readiness” yang
berupa tingkah laku, baik tingkah laku yang instingtif maupun tingkah laku yang dipelajari.
Tingkah laku instingtif adalah suatu pola tingkah laku yang diwariskan melalui proses
hereditas. Sedangkan maksud dari tingkah laku yang dipelajari yaitu orang tak akan berbuat
secara intelijen apabila kapasitas intelektualnya belum memungkinkan.
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan berdasakan karakteristiknya. meliputi:
1) Kematangan adalah merupakan suatu keadaan atau tahap pencapaian proses pertumbuhan
atau perkembangan.
2) Kematangan dapat berarti matangnya suatu sifat atau potensi fisik yang menjadi secara
kodrat akibat proses pertumbuhan dan hanya tergantung pada waktu belaka.
3) Kematangan juga dapat berarti matangnya suatu fungsi atau potensi mental psikologis
akibat proses perkembangan karena pengalaman dan latihan
4) Kematangan potensi fisik dan mental psikologis itu merupakan suatu keadaan yang akan
berfungsi sebagai prerequisite dalam proses perkembangan kearah pematangan fungsi atau
potensi.
Dengan demikian, kematangan yang dimaksud adalah kematangan potensi fisik dan
potensi mental psikologis yang telah dicapai dalam sutau tahap pertumbuhan atau
perkembangan.

Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau


menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Disamping
itu, ada pula yang memandang bahwa belajar adalah sebagai latihan belaka seperti tampak
pada latihan membaca dan menulis. Untuk menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut ,
berikut ini akan disajikan beberapa definisi dari para ahli.

1
Skinner, seperi yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology:
The Teaching-learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi
(penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.2[2]
Chaplin(1972) dalam dictionary of Psychologymembatasi belajar dengan dua
rumusan yaitu; Pertama, belajar adalah perolehan perubahan-perubahan tingkah laku yang
relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Kedua, belajar adalah proses
memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.3[3]
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan
belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam
/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. 4[4]
Dari Pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan, bahwa belajar adalah suatu proses
adaptasi untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan latih

Untuk mengetahui kondisi kematangan siswa dalam belajar pada tahap atau jenjang
tertentu adalah mengidentifikasi perkembangan psiko-fisik siswa itu sendiri. Antara lain:
a. Perkembangan motorik
b. Perkembangan kognitif, dan
c. Perkembangan sosial dan moral (sikap)
2. Perkembangan Psiko-Fisik Anak atau Siswa
Sebelum mempelajarari perkembangan, yang perlu diingat adalah bahwa
perkembangan dan pertumbuhan itu berbeda. Perkembangan ialah merupakan serangkaian
perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman dan
terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif (E.B. Harlock).5[5]
Sedangkan pertumbuhan ialah merupakan perubahan secara fiologis sebagai hasil dari
proses pematangan fungsi-fungsi fisik, yang berlangsung secara normal pada diri anak yang
sehat, peredaran waktu tertentu ( kartono ).6[6]

6
Selanjutnya, pembahasan mengenai perkembangan ranah psikologi fisik pada bagian
ini akan menyusun fokuskan pada proses perkembangan yang dipandang memiliki
keterkaitan langsung dengan kegiatan belajar siswa. Proses-proses perkembangan tersebut
meliputi:7[7]
a. Perkembangan motorik (motor development)
b. Perkembangan Kognitif
c. Perkembangan Sosial dan moral (Psiko-sosial).

2.1. Perkembangan Motorik/Fisik Siswa


Dalam psikologi, kata motor diartikan sebagai istilah yang menunjuk pada hal,
keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya. Jadi,
perkembangan motorik yaitu proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan
perolehan aneka ragam keterampilan anak.8[8]
Menurut Gleitman, ada 2 bekal yang dibawa anak sejak lahir yaitu bekal kapasitas
motor (jasmani) dan bekal kapasitas panca indra (sensorik).9[9]
Bekal pertama yang dibawa anak adalah kapasitas motorik. Kapasitas motorik dapat
mendorong anak untuk beraktivitas sebagaimana tugasnya dalam perkembangannya. Mula-
mula seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit kendali terhadap aktivitas alat-alat
jasmaniahnya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mulai mampu duduk dengan
bantuan sanggaan dan dapat meraih atau menggenggam benda-benda didekatnya.
Bekal kedua yang dibawa anak dari rahim ibunya ialah kapasitas sensorik. Kapasitas
sensorik seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama dengan berlakunya reflek-reflek
motorik. Berkat adanya bekal sensorik ini, anak dapat memahami pembicaraan orang lain,
mengutarakan keinginannya, mengingat kembali simbol-simbol atau benda yang telah
diketahuinya, dan merasakan kesakitan dan kenikmatan dengan baik. Untuk itu pendidik
harus membimbingnya dalam melakukan tugas perkembangannya tersebut.
Semua kapasitas yang dibawa anak dari rahim ibunya seperti pemaparan diatas adalah
modal dasar yang tampak bermanfaat bagi kelanjutan perkembangannya. Dalam hal ini
proses belajar keterampilan tertentu (khususnya di sekolah) merupakan pedukung yang
sangat berarti bagi perkembangan fisik anak,terutama dalam perolehan kecakapan-kecakapan
psikomotor atau ranah karsa anak tersebut.

9
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6-12 tahun, perkembangan
fisiknya mulai tampak benar-benar proposional (berkeseimbangan). Artinya, organ-organ
jasmani yang tumbuh serasi. Gerak-gerakan tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah
seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Contoh jika dalam usia belita atau usia
anak TK tidak berani naik sepeda atau memanjat pohon dan melompati pagar, pada usia
sekolah ia akan menunjukan keberanian melakukan itu. Gerakan tubuh anak ini disamping
karena kemantangan fisiknya, juga disebabkan oleh adanya perkembangan mentalnya.
Namun patut dicatat perkembangan seperti itu. Jikalau tidak ditunjang oleh dukungan
proses belajar, Kematangan fisik tersebut akan kurang berarti dan tidak akan menjadikan
keterampilan-keterampilan psikomotorik. Belajar keterampilan fisik (motor learning)
dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan atau
kematangan fisik dan keterampilan yang melibatkan penggunaan tangan (seperti
menggambar) dan tungkai(seperti berlari) secara baik dan benar.
Sehubungan dengan hal diatas, motor skill (kecakapan-kecakapan jasmani) perlu
dipelajari melalui aktivitas latihan langsung yang disertai dengan pengajaran teori-teori
pengetahuan yang bertalian dengan motor skill itu sendiri. Semantara itu, aktivitas latihan
perlu dilaksanakan dalam bentuk praktek yang berulang-ulang oleh siswa, termasuk praktek
contoh gerakan-gerakan yang salah dan dibutuhkan, sehingga siswa dapat memahami bagian
mana yang keliru, kemudian upaya perbaikan seyogyanya segera dilakukan. Akan tetapi,
dalam praktek itu hendaknya dilibatkan pengetahuan ranah akal siswa. Praktek tanpa
melibatkan ranah akal umpamanya insight (tilikan akal) siswa yang memadai terhadap teknik
dan patokan kinerja yang diperlukan, maka praktek tersebut tak dapat dipandang bernilai dan
hanya ibarat orang yang sedang senam beramai-ramai belaka.
2.2. Perkembangan Kognitif Siswa
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti
mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai
salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku
mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan. Ranah kejiawaan yang berpusat di otak ini
juga berhubungan dengan konasi(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan
ranah rasa.10[10]

10
Seorang pakar terkemuka dalam displin psikolgi kognitif dan psikologi anak, jean
piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan sebagai
berikut.11[11]
2.2.1. Sensori-Motorik (0-18 atau 24 bulan)
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori
motorik ini, inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi
stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan
tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja.

2.2.2. Pra-Operasional (± 18 bulan-7 tahun)


Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis,
permainan simbolis, imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini
menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak
sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada
suatu aktivitas internal.

Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi


yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (imitasi)
dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda).

Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya sekarang dapat mengatakan bahwa


menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia
sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit.

Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara


persepsual, emosional-motivational, dan konseptual) untuk mengambil perspektif orang lain.
Contoh: anak diajak kelapangan balap mobil. Dilapangan tadi ada 3 buah mobil merah, putih
dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan urutan mobil tadi dari sudut
pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut
perspektifnya sendiri.

Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi


dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada
satu dimensi saja dan mengabaikan dimesi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan
hubungannya antara dimensi-dimensi ini. Contoh: sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah
gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam
dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih

11
banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang
satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.

Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversable). Anak belum mampu
untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang
sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam periode ini adalah percakapan antara orang dewasa
dan anak sebagai berikut:

Totok, kau punya saudara Ya!


Siapa nama saudaramu Mita
Apa Mita punya saudara Tidak
Hubungan “Totok punya saudara Mita” bagi anak tidak dapat dibalik.

Berpikir pra-operasional adalah terarah statis. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka
anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi
perpindahannya A ke B. Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tongkat yang
sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian
tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat yang sedang jatuh diabaikan oleh anak.

2.2.3. Operasional Konkrit (7-11 tahun)

Bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka
ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan
hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.

Contoh: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak.
Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari
kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-
kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara
kebetulan ia menemukan kombinasi tsb.

2.2.4. Operasional Formal (mulai 11 tahun)

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan
nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
“gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas
(saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara
fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia
tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan
penalaran dari tahap operasional konkrit.
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:

1. Sifat deduktif-hipotetis: Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja cara lain. Ia akan
memikirkan dulu secara teoritis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai
hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi
penyelesaian. Analisis teoritis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan
pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi, kemudian mencari hubungan
antara proposisi yang berbeda-beda tadi. berhubung dengan itu maka berpikir operasional
formal juga disebut berpikir proporsional.

2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris. Sifat ini merupakan kelengkapan sifat
yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat
digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan
tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak
diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu
secara teoritis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin;
kemudian secara sistematis mencoba setiap sel matriks tsb secara empiris. Bila ia
menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya
lagi.

Dari contoh ini nampak bahwa berpikir operasional formal memungkinkan orang
untuk mempunyai tingkah laku “problem solving” yang betul-betul ilmiah, serta
memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.

2.3. Perkembangan Sosial dan Moral siswa (psikososial)

Pendidikan, ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya


penumbuhkembangan sumberdaya manusia melalui proses hubungan interpersonal
(hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi,
dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Berdasarkan hal ini, tentu tak
mengherankan apabila seseorang siswa sering menggantungkan responsnya terhadap guru
pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru
dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengan
lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.

Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan


moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil
perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar
sosial) siswa tersebut baik dilingkungan sekolah maupun dlingkungan lebih luas. Ini
bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan
norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan.

3. Pengembangan Belajar Siswa

Dari pemaparan diatas tentang kematangan siswa dilihat dari psiko-fisiknya.


Kematangan dalam diri siswa adalah suatu wadah yang siap untuk diisi, diolah atau di
kembangkan, yang bertujuan menjadikannya produk yang bermutu tinggi.

Pengembangan belajar siswa itu sangat penting dalam menunjang pencapaian tujuan
pendidikan yaitu menjadikan anak bangsa cerdas dan berpancasila. Pengembangan belajar
siswa itu meliputi pengembangan Aspek kognitif, Afektif dan Psikomotor. Dengan maksud
demi menjadikan sumberdaya manusia yang berkualitas dan lebih aplikatif. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini akan di paparkan tentang pengembangan 3 ranah tadi, Sebagai berikut: 12
[12]

3.1. Aspek Kognitif

Aspek kognitif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan


pengetahuan. Artinya kegiatn belajar mengajar beretujuan menambah tingkat pengetahuan
dan wawasan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan. Aspek kognitif dapat
ditelusuri dari suatu keadaan dimana siswa mendapatkan penambahan pengetahuan dari yang
semula tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Pada dasarnya konsep pembelajaran kognitif disini menuntut adanya prinsip-prinsip
utama sebagai berikut.
a. Pembelajaran yang aktif, maksudnya adalah siswa sebagai subyek belajar menjadi factor
yang paling utama. Siswa dituntut untuk belajar dengan mandiri secara aktif.
b. Prinsip pembelajaran dengan interaksi social untuk menambah khasanah perkembangan
kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.

12
c. Belajar dengan menerapkan apa yang dipelajari agar siswa mempunyai pengalaman dalam
mengeksplorasi kognitifnya lebih dalam. Tidak melulu menggunakan bahasa verbal dalam
berkomunikasi.
d. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa tidak melakukan banyak kesalahan dalam
menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif.
e. Dalam memberikan materi kepada siswa diperlukan penstrukturan baik dalam materi yang
disampaikan maupun metode yang digunakan. Karena pengaturan juga sangat berpengaruh
pada tingkat kemampuan pemahaman pada siswa.
f. Pemberian reinforcement yang berupa hadiah dan hukuman pada siswa. Saat melakukan
hal yang tepat harus diberikan hadiah untuk menguatkan dia untuk terus berbuat dengan
tepat, hadiah tersebut bias berupa pujian, dan sebagainya. Dan sebaliknya memberikan
hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan agar dia menyadari dan tidak mengulangi lagi,
hukuman tersebut bias berupa: teguran, nasehat dan sebagainya tetapi bukan dalam hukuman
yang berarti kekerasan.
g. Materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena dengan begitu
seseorang akan lebih terlatih untuk mengeksplorasi kemampuan kognitifnya.
h. Pembelajaran dilakukan dari pengenalan umum ke khusus (Ausable) dan sebaliknya dari
khusus ke umum atau dari konkrit ke abstrak (Piaget).
i. Pembelajaran tidak akan berhenti sampai ditemukan unsure-unsur baru lagi untuk
dipelajari, yang diartikan pembelajaran dengan orientasi ketuntasan.
j. Adanya kesamaan konsep atau istilah dalam suatu konsep bias sangat mengganggu dalam
pembelajaran karena itulah penyesuaian integrative dibutuhkan. Penyesuaian ini diterapkan
dengan menyusun materi sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-
hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.
3.2. Aspek Afektif
Aspek afektif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan,
ini berarti terhadap matiri pelajaran yang disampaikan siswa meresponnya dengan berbagai
ekspresi yang mewakili perasaan mereka. Suatu pelajaran tertentu misalnya akan memancing
terbentuknya rasa senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan
yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan
secara keseluruhan. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik
dipengaruhi oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki minat belajar dan sikap positif
terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu sehingga dapat
mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para guru sadar akan hal ini,namun
belum banyak tindakan yang dilakukan guru secara sistematik untuk meningkatkan minat
siswa.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan,
karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi
khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan
evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
Ada beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk
dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration
model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka
dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-
isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
(3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain,
(5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk
menentukan pilihannya sendiri.
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala
aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara
eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model
pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan
pemikiran tentang nilai-nilai. Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi
situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi
tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari alternatif tindakan dengan
memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau
ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.
3. Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau
tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan
menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa
menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model
ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan
merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai: (1) pemilihan: para siswa
mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan
mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya, (2) mengharagai pemilihan: siswa
menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya, (3) berbuat: siswa
melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi
kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan
pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan
mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1) menghadapkan siswa pada suatu
situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih
salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/
menganalisis kebaikan dan kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-
tindakan yang lebih baik, (5) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri.
Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru
hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai
fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan
membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan sesuatu yang permisif
melalui ekspresi bebas, (2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan
masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3)
pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberrikan
dorongan, (4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan
keputusan, guru memberikan klarifikasi, (5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih
luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.
3.3. Aspek Psikomotor
Aspek psikomotorik dalam pendidikan merupakan aspek yang berhubungan dengan
tindakan atau perilaku yang ditampilkan anak didik setelah menerima suatu materi tertentu,
artinya mereka bertindak atau berprilaku berdasarkan pengetahuan dan perasaan sesuai
atauberdasarkan pengembangan sendiri dari yang disampaikan pendidik.

an.

Anda mungkin juga menyukai