Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS BEDAH

TN. S, USIA 55 TAHUN DENGAN RETENSI URIN ET CAUSA


HIPERPLASIA PROSTAT DAN VESIKOLITIASIS

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing :

dr. Hery Unggul W, Sp.B

Disusun Oleh :

Yara Cantika

1810221028

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS BEDAH

TN. S, USIA 55 TAHUN DENGAN RETENSI URIN ET CAUSA


HIPERPLASIA PROSTAT DAN VESIKOLITIASIS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Bagian Ilmu Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Oleh :

Yara Cantika

1810221028

Ambarawa, 2018

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Dokter pembimbing

dr. Hery Unggul W, Sp.B


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
penyayang, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tn, S, Usia 55 tahun dengan Retensi
Urin et causa Hiperplasia Prostat dan Vesikolitiasis”. Laporan kasus ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik bagian Ilmu Bedah.

Penulis mendapatkan banyak bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai


pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Hery Unggul W, Sp.B selaku pembimbing dan
seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu Bedah atas kerjasamanya selama
penyusunan referat ini.

Penulis mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran. Semoga referat ini


dapat bermanfaat baik bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang
berkepentingan.

Ambarawa, 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit bidang urologi yang paling sering terjadi di indonesia adalah ISK,
Hiperplasia prostat, dan batu saluran kemih. Hiperplasia prostat merupakan suatu
kondisi yang berkaitan dengan penuaan yang pertama kali muncul saat usia laki-
laki di atas 40 tahun. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun dapat mengurangi
kualitas hidup penderita.
Pembesaran prostat ini akan merangsang kandung kemih sehingga kandung
kemih sering berkontraksi meski belum penuh. Apabila kandung kemih sudah
terdekompensasi, akan terjadi residual urin. Residu yang statis ini akan menjadi
faktor risiko dari batu saluran kemih (Saputra et al., 2016).
Berdasarkan penjelasan diatas maka saya membuat laporan kasus tentang
pasien retensi urin et causa hiperplasia prostat dan vesikolitiasis.
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 55 Tahun
Alamat : Karang Jati 3/1 Bergas
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 06 September 2018
Tanggal Pemeriksaan : 06 September 2018

II.2 Subjektif
II.2.1 Keluhan Utama
Pasien tidak dapat buang air kecil.
II.2.2 Keluhan Penyerta
Kencing berwarna merah dan nyeri ketika buang air kecil.
II.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak dapat buang air kecil sejak 6 hari SMRS, pasien tidak dapat
buang air kecil. Awalnya sejak 6 bulan yang lalu pasien merasakan pipis berwarna
merah disertai gumpalan darah dan ketika buang air kecil terasa nyeri, pasien
menyatakan buang air kecil menetes dan perlu mengejan. Pasien sudah mencoba
mengobati ke RS KS 5 hari sebelum masuk RSUD Ambarawa, di RS tersebut
dilakukan pemasangan kateter dan USG abdomen. Pasien belum sempat bertemu
dokter urologinya. Pasien memutuskan pulang keesokan harinya.
II.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Trauma, Hipertensi, Kolesterol, dan DM disangkal.
II.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dan riwayat penyakit dan
keganasan lainnya disangkal.
II.2.6 Sosial Ekonomi
1. Pekerjaan : Montir Bengkel
2. Pendidikan : SMK
3. Gaya Hidup : Merokok (-)
4. Cara Bayar : Awal masuk menggunakan BPJS Non-PBI lalu
diganti menjadi Umum kesan ekonomi baik.

II.3 Objektif
II.3.1 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
3. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
b. Heart Rate : 80 x/menit
c. Respiratory Rate : 20 x/menit
d. Temperature : 36,5°C
e. SPO2 : 98%
4. Status Generalis :
a. Kepala : Mesocephal
b. Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
c. Hidung : Nasal Discharge (-/-), Nafas Cuping Hidung (-/-)
d. Mulut : Bibir Pucat (-), Bibir Sianosis (-)
e. Telinga : Discharge (-/-)
f. Leher : Pembersaran KGB (-)
g. Thoraks : Dalam Batas Normal
h. Abdomen :
 Inspeksi : Datar, Darm Contour, (-) Darm Steifung (-)
 Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
 Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (-)
 Perkusi : Timpani (+), Pekak Hepar (+)
i. Genitalia : Terpasang Kateter Produksi 600cc/4 jam warna kemerahan
j. Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Anemis -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Capillary refill <1 detik <1 detik

k. RT : Sfingter ani (+) kuat, Ampula Recti tidak Kolaps, Mukosa


Licin, Sulcus Medianus (-), Massa arah jam 11 sampai 1 teraba kenyal,
batas tegas, nyeri tekan (-), Lendir (-), Darah (-), Tinja (+)
II.3.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
LABORATORIUM DARAH
07 September 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12,2 (L) g/dl 13,2-17,5
Leukosit 10100 sel/uL 3.600-11.000
Trombosit 272.000 sel/uL 150.000-440.000
Eritrosit 3,64 juta (L) sel/uL 4,4 juta – 5,0 juta
Hematokrit 31,5 (L) % 35-47
Indeks Eritrosit
MCH 33,4 Pg 26-34
MCV 88,7 (L) fL 80-100
MCHC 38,7 (L) g/dL 32-36
Hitung Jenis
Limfosit 2,19 103 1,0-4,5
Monosit 0,562 103 0,2-1,0
Neutrofil 6,53 103 1,8-7,5
3
Eosinofil 0,598 10 0,04-0,8
Basofil 0,078 103 0-0,2
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 167 (H) mg/dl 74-100
Ureum 25,5 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,09 mg/dl 0,062-1,1
Serologi
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Koagulasi
PTT 9,0 (L) detik 9,3-11,4
APTT 25,7 Detik 24,5-32,8
2. USG 01 September 2018

Kesan :
 Mild Hepatomegaly dengan parenkim homogen
 Multiple lesi hiperekhoik dengan acoustic shadow di dalamnya (Ukuran
terbesar ±2,44) DD/ Calcified mass, Multiple Veskolitiasis disertai
blood clot
 Pembesaran Prostat (Volume ±45,7cc) dengan struktur balon kateter
pada uretra pars prostatica
 Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ-organ intraabdominal
lainnya.

II.4 Diagnosis Kerja


Retensi Urin et causa Hiperplasia Prostat dan Vesikolitiasis
II.5 Plan
1. Inf. RL 20 tpm
2. Inj. Ranitidin 2x1amp
3. Inj. Ketorolac 3x1amp
4. Inj. Ceftriaxone 2x1amp
5. Monitoring Keadaan Umum
6. Edukasi : Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, tindakan
yang akan dilakukan, prognosis, dan pengobatan setelah operasi.
7. Konsultasi : Konsul dr. Hery Unggul W., Sp.B
Jawaban : Program Operasi Prostatektomi dan Ekstraksi Batu Buli Senin 10
September 2018
II.6 Catatan Perkembangan Pasien
Jumat, 07 September 2018
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Tidak bisa BAK KU/Kes: sakit sedang/CM Retensi Urin ec Hiperplasia  Inf RL 20 tpm
sejak 7 hari yang Tanda Vital Prostat + Vesikolitiasis  Inf. Levofloxacin 1x1
lalu, BAK TD: 120/80 mmHg HR: 79x/menit reguler  Inj. Ketorolac 3x1
menggunakan RR: 20x/menit S: 36oC  Diet Biasa
Kateter Status Generalis  Mobilisasi miring-miring, duduk-duduk,
 Air kencing Abdomen: Datar, BU (+) normal, Nyeri tekan (-), Jalan-jalan
berwarna merah dan Timpani (+)  Cek Laboratorium
nyeri ketika BAK DC: 250 cc / 2 jam warna kemerahan
 Program Operasi Senin 10/09/18 jika
 Mual (-), Muntah TS Acc
(-), BAB (+), Flatus
(+)
Sabtu, 08 September 2018
 Keluhan nyeri perut KU/Kes: sakit sedang/CM Retensi Urin ec Hiperplasia  Inf Futrolit 20 tpm
karena tidak bisa Tanda Vital Prostat + Vesikolitiasis  Inj. Taxegram 2x1
BAK membaik TD: 110/80 mmHg HR: 81x/menit reguler  Inj. Toramine 3x1
 Kateter berisi urin RR: 20x/menit S: 37oC  Diet Biasa
kemerahan Status Generalis  Mobilisasi miring-miring, duduk-duduk,
 Nafsu makan baik Abdomen: Datar, BU (+) normal, Nyeri tekan (+) Jalan-jalan
 Kualitas tidur baik minimal region suprapubik, Timpani (+)  Program Operasi Senin 10/09/18 jika
 Mual (-), Muntah DC: 700 cc / 4 jam warna kemerahan TS Acc
(-), BAB (+)
 Minggu, 09 September 2018
 Keluhan nyeri perut KU/Kes: sakit sedang/CM Retensi Urin ec Hiperplasia  Inf Futrolit 20 tpm
karena tidak bisa Tanda Vital Prostat + Vesikolitiasis  Inj. Taxegram 2x1
BAK membaik TD: 120/80 mmHg HR: 76x/menit reguler  Inj. Toramine 3x1
RR: 18x/menit S: 36,6oC  Diet Biasa
 Kateter berisi urin Status Generalis  Mobilisasi miring-miring, duduk-duduk,
kemerahan Abdomen: Datar, BU (+) normal, Nyeri tekan (+) Jalan-jalan
 Nafsu makan baik minimal region suprapubik, Timpani (+)  Program Operasi Senin 10/09/18 jika
 Kualitas tidur baik DC: 300 cc / 3 jam warna kemerahan TS Acc
 Mual (-), Muntah
(-), BAB (+)
 Senin, 10 September 2018
 Keluhan nyeri perut KU/Kes: sakit sedang/CM Retensi Urin ec Hiperplasia  Inf Futrolit 20 tpm
karena tidak bisa Tanda Vital Prostat + Vesikolitiasis  Inj. Taxegram 2x1
BAK membaik dan TD: 130/80 mmHg HR: 71x/menit reguler  Inj. Toramine 3x1
hanya dirasakan RR: 18x/menit S: 36,3oC  Puasa Pre Operasi
ketika ditekan Status Generalis  Program Operasi Hari ini
 Kateter berisi urin Abdomen: Datar, BU (+) normal, Nyeri tekan (+)
kemerahan minimal region suprapubik, Timpani (+)  Instruksi Post Operasi
 Nafsu makan baik DC: 150 cc / 2 jam warna kemerahan
 Inf Futrolit 20 tpm
 Kualitas tidur baik  Inj. Taxegram 2x1
 Mual (-), Muntah  Inj. Toramine 3x1
(-), BAB (+), Puasa  Inj. Pumpisel 1x1
(+), Alergi (-)  Inf. Resfar 1x1
 Diet Biasa
 Spoel Periodik
 Aff traksi 24 Jam
Laporan Operasi
Jam Operasi Dimulai : pk 13.40
Jam Operasi Selesai : pk 14.45
Diagnosa Pre-Operasi : Retensi Urin e.c Hiperplasia Prostat + Vesikolitiasis
Diagnosa Post-Operasi : Retensi Urin e.c Hiperplasia Prostat + Vesikolitiasis
Nama Tindakan Bedah : Prostatektomi + Ekstraksi Batu Buli
Hasil Temuan Operasi : Hiperplasia Prostat + Batu Buli ± 3 cm x 2cm
Prostatektomi dan Ekstraksi Batu Buli Traksi Jahit Operasi Selesai

Dokumentasi saat dilakukan Operasi Prostatektomi dan Ekstraksi Batu Buli

Selasa, 11 September 2018


Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri sekitar jahitan KU/Kes: sakit sedang/CM Post operasi Protatektomi  Inf Futrolit 20 tpm
luka post operasi Tanda Vital dan ekstraksi batu buli H+1  Inj. Taxegram 2x1
 Mual (-), Muntah TD: 90/60 mmHg HR: 90x/menit a.i Retensi Urin ec  Inj. Toramine 3x1
(-), BAB (-), BAK RR: 18x/menit S: 36,6oC Hiperplasia Prostat +  Inj. Pumpisel 1x1
(+) DC, flatus (+) Status Generalis Vesikolitiasis  Inf. Resfar 1x1
Abdomen: datar, terbalut perban pada luka post  Diet Biasa, Banyak minum air putih
operasi, terpasang drain, BU (+) normal, Nyeri tekan  Spoel Periodik
(+) pada sekitar luka post operasi, Timpani (+)
 Aff traksi Sore ini
Drain: 100 cc / sejak post operasi warna merah
DC: 400 cc / 1 jam warna merah muda bening, irigasi
lancar
Rabu, 12 September 2018
Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri sekitar jahitan KU/Kes: sakit sedang/CM Post operasi Protatektomi  Inf Futrolit 20 tpm
luka post operasi Tanda Vital dan ekstraksi batu buli H+2  Inj. Taxegram 2x1
 Mual (-), Muntah TD: 120/80 mmHg HR: 100x/menit a.i Retensi Urin ec  Inj. Toramine 3x1
o
(-), BAB (-) sudah 2 RR: 20x/menit S: 36,7 C Hiperplasia Prostat +  Inj. Pumpisel 1x1
hari, BAK (+) DC Status Generalis Vesikolitiasis  Inf. Resfar 1x1
warna merah pada Abdomen: datar, terbalut perban pada luka post  Diet Biasa, Banyak minum air putih
selang ketika pipis, operasi, terpasang drain, BU (+) normal, Nyeri tekan  Mobilisasi Miring-miring, duduk-duduk
flatus (+) (+) pada sekitar luka post operasi 10 jahitan, Timpani
 Spoel Periodik
(+)
 Ganti Balut
Drain: 100 cc / sejak 2 hari post operasi warna merah
DC: 200 cc / 30 menit jernih bening, irigasi lancar

Kamis, 13 September 2018


 Subjektif Objektif Assessment  Plan
 Nyeri sekitar jahitan KU/Kes: sakit sedang/CM Post operasi Protatektomi  Inf Futrolit 20 tpm
luka post operasi Tanda Vital dan ekstraksi batu buli H+3  Inj. Taxegram 2x1
 Pasien sudah latihan TD: 130/70 mmHg HR: 83x/menit a.i Retensi Urin ec  Inj. Toramine 3x1
duduk namun tidak RR: 20x/menit S: 36,7oC Hiperplasia Prostat +  Inj. Pumpisel 1x1
kuat lama Status Generalis Vesikolitiasis  Inf. Resfar 1x1
 Mual (-), Muntah Abdomen: datar, terbalut perban pada luka post  Diet Biasa, Banyak minum air putih
(-), BAB (-) sudah 3 operasi, terpasang drain, BU (+) normal, Nyeri tekan  Mobilisasi Miring-miring, duduk-duduk
hari, BAK (+) DC (+) pada sekitar luka post operasi 10 jahitan, Timpani
 Spoel Periodik
nyeri ketika pipis, (+)
flatus (+) Drain: 100 cc / sejak 3 hari post operasi warna merah
DC: 150 cc / 30 menit jernih bening kemerah mudaan,
irigasi lancar
Jumat, 14 September 2018
 Subjektif Objektif Assessment  Plan
 Nyeri sekitar jahitan KU/Kes: sakit sedang/CM Post operasi Protatektomi  Inf Futrolit 20 tpm
luka post operasi Tanda Vital dan ekstraksi batu buli H+4  Inj. Taxegram 2x1
 Nyeri bertambah TD: 120/80 mmHg HR: 89x/menit a.i Retensi Urin ec  Inj. Toramine 3x1
ketika efek obat RR: 20x/menit S: 36,5oC Hiperplasia Prostat +  Inj. Pumpisel 1x1
berkurang Status Generalis Vesikolitiasis  Inf. Resfar 1x1
 Mual (-), Muntah Abdomen: datar, terbalut perban pada luka post  Diet Biasa, Banyak minum air putih
(-), BAB (-) sudah 4 operasi, terpasang drain, BU (+) normal, Nyeri tekan  Mobilisasi Miring-miring, duduk-
hari, BAK (+) DC, (+) pada sekitar luka post operasi 10 jahitan, Timpani
duduk, Jalan-jalan
flatus (+) (+)
 Ganti Balut
Drain: minimal / sejak 1 hari yang lalu warna merah
 Infus Habis Aff dan Irigasi Aff
DC: 300 cc / 15 menit jernih bening, irigasi lancar
 Ganti Oral :
 Sharox 2x1, Fendex 3x1, Pomifar 2x1,
Enercone 2x1
Sabtu, 15 September 2018
Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri sekitar jahitan KU/Kes: sakit ringan/CM Post operasi Protatektomi  Sharox 2x1
luka post operasi Tanda Vital dan ekstraksi batu buli H+5  Fendex 3x1
terasa di luar dan di TD: 120/80 mmHg HR: 92x/menit a.i Retensi Urin ec  Pomifar 2x1
dalam jika diberi RR: 20x/menit S: 36,6oC Hiperplasia Prostat +  Enercone 2x1
penekanan Status Generalis Vesikolitiasis  Diet Biasa, Banyak minum air putih
 Mual (-), Muntah Abdomen: datar, terbalut perban pada luka post  Mobilisasi Miring-miring, duduk-
(-), BAB (-) sudah 5 operasi, terpasang drain, BU (+) normal, Nyeri tekan duduk, Jalan-jalan
hari, BAK (+) DC, (+) pada sekitar luka post operasi 10 jahitan, Timpani  BLPL
flatus (+) (+)
Drain: minimal / sejak 2 hari yang lalu warna merah
DC: 150 cc / 1 jam bening kemerah mudaan.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Ilmu Dasar
1. Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi
oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum (Drake et. al.,2007). Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 18 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm
dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu, lobus
medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan lobus posterior.Selama
perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja (Basuki, 2011).
Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30%
dari stroma fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona
transisional. Zona perifer membentuk 70% dari jaringan kelenjar prostat dan
mencakupi bagian posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona transisional
mencakupi 5% hingga 10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya
proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum. Zona
sentral mencakupi 25% dari jaringan kelenjar prostat dan membentuk konus
sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke basis kandung kemih.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan
dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah
depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah
ligamentum triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia
denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan
melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar
belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan
prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari
prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran
pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang
merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan
prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena
sedikit mengandung jaringan kelenjar.
III.2 Hiperplasia Prostat
1. Definisi
Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker. Istilah benign prostatic hiperplasia (BPH) menjelaskan proses
proliferasi elemen seluler pada prostat, suatu pembesaran prostat, atau
disfungsi berkemih akibat pembesaran prostat dan bladder outlet
obstruction (BOO).
BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa teori atau hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi
maka tidak terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi.
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia
pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosterone diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan
untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan
hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormone estrogen
oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan
bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. Testosteron yang
dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar
adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk
ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk
kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan
reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian
hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi
nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan
menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.
Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian, didapatkan ternyata ada
hubungan antara pertumbuhan sel epitel dan sel stroma prostat.
Differensiasi dan perkembangan sel epitel prostat dikontrol secara tidak
langsung oleh androgen dependent mediator yang dihasilkan oleh stroma.
Androgen dependent mediator mempunyai nama lain Stromal Growth
Faktor. Growth Faktor ini akan berikatan dengan GF reseptor pada sel
stroma dan epitel. Selanjutnya terjadi pertumbuhan sel prostat. Growth
Faktor yang diketahui adalah, Epitelial GF (EGF), Insulin GF (IGF),
Fibroblast GF (FGF), Keratinosit GF (KGF), Transforming GF β (TGF-β).
EGF, IGF, FGF dan KGF diketahui memiliki aktivitas merangsang
terjadinya mitosis pada sel epitel. Sedangkan TGF-β memiliki aktivitas
menghambat aktivitas mitosis. Pada BPH diduga aktivitas EGF, IGF, FGF
dan KGF lebih tinggi daripada TGF-β.

Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel


yang Mati
Beberapa penelitian lainnya, mendapatkan bahwa BPH terjadi
bukan karena proliferasi sel yang lebih dominan, tapi terjadi karena aktivitas
kematian sel atau apoptosis yang berkurang.

Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral
pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”,
antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan
adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan
tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi
lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini,
menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori
ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction
potential of prostatic stroma during adult hood.
3. Gejala Klinis
Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala
obstruktif dan gejala iritatif:
Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran kencing lemah (loss
of force), pancaran kencing terputus-putus (intermitency), tidak lampias
saat selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin kencing lagi
sesudah kencing (double voiding) dan keluarnya sisa kencing pada akhir
berkemih (terminal dribbling).
Gejala iritatif adalah frekuensi kencing yang tidak normal
(polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering kencing (nocturia),
sulit menahan kencing (urgency), dan rasa sakit waktu kencing (disuria),
kadang juga terjadi kencing berdarah (hematuria).
4. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk gejala LUTS pada BPH dapat
ditentukan dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score
(IPSS) yang termasuk di dalamnya rasa kencing yang tidak puas, frekuensi,
intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia (Longo et
al, 2012). Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan,
sedang dan berat. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan, diantara 8 – 19
derajat sedang, sedangkan nilai 20– 35 termasuk derajat berat
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE)
sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran
tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum,
adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja
teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
 Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
 adakah asimetris
 adakah nodul pada prostate
 Apakah batas atas dapat diraba
 Sulcus medianus prostate
 Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris
dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi
prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.
Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan adalah
uroflowmetri dan tes prostate-specific antigen (PSA). Uroflowmetri
merupakan teknik urodinamik untuk menilai uropati obstruktif dengan
mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Apabila Flow rate < 15 mL/sec,
ini menandakan obstruksi, dan apabila postvoid residual volume > 100 mL,
ini menandakan retensi. Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik
dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan,
laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11
– 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin
yang dihasilkan (Roehrborn, 2013).
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) dapat
dilihat dengan pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar
pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya
adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk
membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran
dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka
sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur (Homma
et al,2011).
Tes Prostate-Specific Antigen menghitung PSA di dalam darah
pasien. Tes ini digunakan untuk mendiagnosa BPH dan carcinoma prostat.
Direkomendasikan untuk laki-laki diantara 40 - 50 tahun yang punya risiko
tinggi. Stamey, adalah pertama untuk mengaitkan kadar serum PSA dengan
volume jaringan prostate. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun
1980-an didapatkan kadar serum PSA daripada BPH adalah 0.30 ng/mL per
gram jaringan dan 3.5 ng/mL per cm3 dari jaringan kanker. Vesely,
mendapatkan bahawa volume prostat dan kadar serum serum PSA
mempunyai korelasi signifikan dan meningkat dengan pertambahan usia.
Kadar PSA meningkat secara moderate dalam 30 hingga 50% pasien BPH,
tergentung besarnya prostat dan derajat obstruksi, dan PSA juga meningkat
bagi 25 hingga 92% pasien dengan carcinoma prostat.
Pemeriksaan Pencitraan (Imaging)
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan
misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih
juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat (Burnicardi, 2010).
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya obstruksi pada traktus
urinarius. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras
(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal
ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu
adanyatrabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli. foto setelah miksi
dapat dilihat adanya residu urin.
c. Ultrasonografi / Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal
ultrasonografi (TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostate,
pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung kemih, mengukur
sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu.
Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostate untuk
menentukan jenis terapi yang tepat.
5. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya
akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Organisasi kesehatan
dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini
berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.
Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada umumnya tidak ada terapi
hanya watchful & waiting dan dilakukan kontrol sahaja. Nilai IPSS diantara
8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19
– 35 termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open
Prostatectomy) atau operasi reseksi transuretral (Transurethral Resection of
the Prostate). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross
hematuria rekuren, batu vesika urinaria rekuren, infeksi saluran kemih yang
rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).
Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the Prostate
(TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH dengan
LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP
mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-kasus
klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH.
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan
hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan
tindakan, yaitu observasi (watchful & waiting), medikamentosa, tindakan
operatif dan tindakan invasif minimal.

1. Observasi (Watchful waiting)


Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian
bawah (LUTS) ringan dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa
mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.
2. Medikamentosa
a. Antagonis reseptor adrenergik-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan
menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi
tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis
adrenergik-α non selektif yang pertama kali diketahui mampu memperbaiki
laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Diketemukannya obat antagonis adrenergik α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-α2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1 yang
selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya
adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu,
terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-a terbukti dapat
memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu,
meningkatkan kualitas hidup atau quality of life (Qol), dan meningkatkan
pancaran urine. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan
obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan
obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti
terjadinya intoleransi sampai pemberian 6- 12 bulan.
Dibandingkan dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis
adrenergik-α lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik-α saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-α
tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar PSA
lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-α reductase.
Berbagai jenis antagonis adrenergik a menunjukkan efek yang
hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing-masing mempunyai
tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda. Efek
terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines,
dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan
pengobatan.
Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat
antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan
tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien
mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5%
setelah pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo.
Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah pemberian doksazosin atau
terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian tamsulosin atau plasebo.
Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovaskuler tidak
tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis
adrenergik α yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor
adrenergik-α1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd
yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-
10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%13,32.
b. Inhibitor 5 a-redukstase
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai
untuk mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis
oleh enzim 5 α-redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik
menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-
30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin,
dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat
setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-
bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA
sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada
deteksi dini kanker prostat. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini
merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and
wait”.
3. Tindakan operatif
Tindakan opertaif terbagi kepada dua yaitu, prostatektomi terbuka,
contohnya seperti Retropubic infravesica (Terence Millin), Suprapubic
Transvesica/TVP (Freeyer), dan Transperineal dan prostatektomi
endourologi seperti Transurethral resection (TURP), Trans Urethral
Incision of Prostate (TUIP), dan Pembedahan dengan laser (Laser
prostatectomy). Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah
menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.
a. Transurethral resection (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hamper seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer
ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan
berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat
mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh
membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi
urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi
dari pasien nonobstruksi.
Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya
dilakukan TURP. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif
TURP meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi
urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TURP
sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan TURP merupakan
tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi
kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan
non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat
operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades).

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu
besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan
metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI)
pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan
menyayat memakai alat seperti yang dipakai pada TURP tetapi memakai
alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat
muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai
tampak kapsul prostat.

4. Tindakan Invasif Minimal


a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai
diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan
kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro
(microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio
kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu
juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan
uretra menurun sehingga obstruksi berkurang.
Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana
proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan
gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter.
Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan
mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-
80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60% perbaikan pada flow rate
maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan prostat ini
belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan ialah
bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang
berada pada leher vesika dan prostat.Cara kerja TUMT ialah antene yang
berada pada kateter dapat memancarkan microwave kedalam jaringan
prostat. Oleh karena temperature pada antene akan tinggi maka perlu
dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa ureter.
Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi
penetrasi juga berkurang.

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)


Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula
dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00
dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan
balon ini ialah mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar
melalui mekanisme prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen
uretra melebar, kapsul prostat diregangkan, tonus otot polos prostat
dihilangkan dengan penekanan tersebut dan reseptor alpha adrenergic pada
leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak

c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)


Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang
baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan
perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat
dipertahankan.

d. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra,
hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk
stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang
diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis
indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau
bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars prostatika
diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu
alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah
benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter
pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi
infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara
apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi
yang lebih invasif. Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga
dipasang di uretra pars prostatika dengan kateter pendorong.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini didiagnosis sebagai Retensi Urin e.c Hiperplasia Prostat dan
Vesikolitiasis. Vesikolitiasis yang terbentuk dikarenakan adanya sumbatan pada
traktus urinarius akibat hiperplasia prostat. Cairan urin yang tersisa dalam vesika
urinaria pasien ditambah stasis yang lama terjadilah pengendapan yang
menyebabkan terbentuknya batu buli. Terapi suportif awal yang dilakukan adalah
pemasangan kateter yang bertujuan untuk mengevakuasi cairan urin dalam buli
yang menumpuk sehingga kegawat daruratan urologi dapat teratasi. Kemudian
dilakukan tindakan operatif prostatektomi dan juga ekstraksi batu buli untuk
membebaskan sumbatan pada traktus urinarius. Setelah tindakan operasi pasien
merasa lebiih baik dan diijinkan pulang pada hari ke 5 post operatif.
DAFTAR PUSTAKA

Saputra, R, V et al., 2016, ‘Kejadian Batu Saluran Kemih pada Pasien Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) Periode Januari 2013-Desember 2015 di RSUP
Kariadi Semarang’, Jurnal Kedokteran Diponegoro
Sjamsuhidajat, R, W, de Jong, 2017, Buku Ajar Ilmu Bedah : Masalah
pertimbangan Klinis Bedah dan Metode Pembedahan, Sistem Organ dan
Tindak Bedahnya, Ed. ke-4, Jakarta : EGC
Tanto, C, et al., 2014, Kapita Selekta Kedokteran, Ed. Ke-4, Jakarta : Media
Aesculapius
Tortora, GJ dan Derrickson, B 2014, Principles of anatomy & physiology, 14th ed,
Wiley, USA

Anda mungkin juga menyukai