Disusun Oleh:
Aprilia Puspitasari 1215099
Nurul Habibah Usmana 1215232
Jovianto Handoyo 1315085
Giovanni Yugi Setiawan 1315124
Risya Juniarti 1315209
Pembimbing:
dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B – KBD, FInaCS
1
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
KASUS ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi ............................................................................................ 16
2.2 Fisiologi ............................................................................................. 17
2.3 Histologi ............................................................................................18
2.4 Apendisitis ........................................................................................ 19
2.4.1 Definisi ................................................................................ 19
2.4.2 Etiologi ................................................................................ 19
2.4.3 Epidemiologi ....................................................................... 20
2.4.4 Klasifikasi ........................................................................... 21
2.4.5 Patogenesis .......................................................................... 22
2.4.6 Manifestasi klinis ................................................................ 24
2.4.7 Pemeriksaan penunjang ....................................................... 25
2.4.8 Penatalaksanaan .................................................................. 25
2.4.9 Komplikasi ...........................................................................26
2.4.10 Prognosis ............................................................................. 27
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA.....……………………………………………………….. 29
2
IDENTITAS UMUM
3
ANAMNESIS
• Keluhan Utama : Pasien datang ke IGD RSI hari Rabu, 21 Oktober 2018 jam 01.20
dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang mendadak sejak 20 Oktober 2018
pukul 22.00.
• Keluhan Penyerta: Nyeri dirasakan seperti melilit, terasa semakin nyeri, dan terasa
tegang. Keluhan disertai adanya mual dan muntah 4-5x dalam sehari, berisi makanan,
muntah dirasakan keluar cukup banyak, tidak disertai adanya darah. BAB mencret
sebanyak 7-8x dengan konsistensi cair, tanpa disertai darah dan lendir, berwarna coklat,
bau biasa, sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing, BAK lancar tidak ada keluhan.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 2 hari yang lalu, dirasakan terus menerus.
4
PEMERIKSAAN FISIK
27 Oktober 2018
Keadaan umum : Compos Mentis, GCS : 15 (M6E5V4)
Kesan sakit : Sedang
TB/BB : 155cm/50kg
BMI : 20,84 (normal)
Tanda Vital :
– Tekanan darah : 110/70 mmHg
– Nadi : 79x/menit, regular, equal, isi cukup
– Respirasi : 20x/menit
– Suhu : 36,6oC
– SpO2 : 99%
Kepala :
– Mata : konjungtiva tidak anemis; sklera tidak ikterik; pupil bulat isokor, diameter 3 mm;
refleks cahaya direk +/+, indirek +/+
Leher :
– KGB : tidak teraba membesar
Thorax :
– Pulmo : pergerakan simetris, sonor, VBS + kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-
– Cor : BJ murni S1 = S2, reguler, murmur -, gallop –
Abdomen :
– Inspeksi : Cembung
– Auskultasi: Bising usus (+) berkurang
– Perkusi : Timpani
– Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-
Ekstremitas Bawah :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
Pemeriksaan Foto thorax AP
Hasil :
- Cor agak membesar
- Sinus dan diafragma kiri normal, sinus kanan tumpul
- Pulmo, hilus kanan dan kiri kasar, corakan paru bertambah
- Tampak bercak lunak diperi hiler kanan
- Tak tampak kranialisasi. Tampak penebalan peri bronchial
KESAN :
- Pembesaran jantung ringan tanpa bendungan paru
- Tak tampak TB paru aktif
- Bronchitis dengan BP ringan diperihiler kanan
7
Pemeriksaan USG abdomen:
Hasil:
• Liver : Besar dan bentuk normal, permukaan rata , tepi tajam. Tekstur parenkim homogen.
Echogenitas normal . V. porta tidak melebar (diameter 13mm) dan cabangnya terlihat
gambara bercak2 hiperechoic/ air bubble. Sauran empedu normal
• Gall bladder : bentuk dan ukuran normal, dinding rata, tidak melebar. IntrLuminal tidak
tampak kelainan. Perigallbladder normal.
• Common bile duct : tidak melebar. Intraluminal ke distal terhalang oleh gas usus.
• Pankreas: Besar dan Bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal.
Ductus pancreaticus major normal.
• Spleen: besar dan bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal . V.
lienalis tidak tampak melebar.
• R-L Kidneys : tampak agak kecil(panjang RK 84mm, LK 85mm). texture parenkim
homogen, echogenisitas sedikit meningkat. Sinus renal tidak tampak kelainan. Sistem
pelvocalyces tidak tampak melebar.
• Vesica urinaria : tidak dpaat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine, balon kateter
(+)
• Intraperitoneal : daerah RLQ terlihat struktur tubuler dengan diameter 7 – 8mm, dinding
menebal, hipoechoic, didekatnya terlihat sedikit koleksi cairan.
Kesan:
• Appendix dengan gabaran kearah peradangan akut
• Liver didaerah v. Porta terlihat gambaran air bubble (susp. Karena enterocolitis
nekroticans ?)
• Gall bladder tidak tampak kelainan
• CBD tidak melebar, ke distal terhalang oleh gas usus
• Pankreas dan spleen tidak tampak kelainan
• R – L kidneys tampak agak kecil dengan echogenisitas sedikit meningkat, kearah kelainan
parenkim yang kronis ?
• Urinary bladder tidak dapat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine
9
Appendiks tak tampak membesar dan reguler, tak tampak kekaburan pada sekitar appendiks.
Scanning pada aorta:
• Tampak adanya nodul dengan gambaran ring enhancement.
Scanning di rongga pelvis dan para iliaka
• Tampak multiple nodul hipodens yang memberikan enhancement post pemberian
kontras didaerah para iliaka kiri dan kanan.
Scanning hemithoraks bagian posterior tak tampak adanya bayangan hipodens.
Kesan CT Scan menunjukkan:
Tampak gambaran usus halus didaerah jejuenum yang menebal dan ireguler serta mukosa yang
memberikan gambaran saw teeth appearance, baik kolon di daerah kolon sigmoid descendens
dan transversum dengan dinding yang menebal dan ireguler juga dengan gambaran saw teeth
app lesi yang ireguler pada mukosa kolon serta tidak memberikan enhancement post pemberian
kontras.
Tampak caecum tidak menyempit dengan dinding yang menebal dan ireguler.
Appendiks tak tampak membesar dan regular, tak tampak kekaburan pada lemak sekitar
appendiks.
Tampak daerah ileum dan yeyenum tidak berdilatasi.
-> colitis ulcerasive didaerah kolon sigmoud descendes dan kolon transversum
Ec?
• Cholecystitis ringan
• Tampak adanya lesi hiperdens diginjal kanan dengan
-> Nefrotiliasis kanan batu kecil
• Gastritis
• Tampak pembesaran kelenjar di daerah diparailiaka kiri dan kanan
• Tampak pembesaran kelenjar pada aorta
• Tak tampak Efusi pleura
• Hepar, pancreas, limpa, kandung kemih, tak tampak kelainan
• Tak tampak massa intra abdomen
10
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 22 Oktober 2018
11
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 24 Oktober 2018
12
DIAGNOSIS KERJA
• Colitis fulminan susp microperforation
PRA BEDAH
Diagnosis pra bedah : tumor flexural duodenojejunal susp ganas
Rencana tindakan pembedahan : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal
dan functional stapling anastomosis
TINDAKAN OPERATIF
Diseksi peri jejunal proximal
Reseksi jejunum proximal
Anastomosis functional jejunum dengan stapler
Temuan operasi (2 desember 2017 12.50-14.30 WIB) :
Massa tumor anular jejunum proximal ± 20cm dari trentz, Ø 3.5x3x2 cm telah
menyumbat lumen, curiga ca cT3N0-1Mx DD/ lymphoma
Liver tak teraba nodul
13
PENATALAKSANAAN
• Tindakan Bedah
• Operatif
Diagnosis pre operasi: tumor flexural duodenojejunal susp ganas
Tindakan operatif : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal dan functional
stapling anastomosis
• Post-operatif
Observasi tanda vital
Puasa 12 jam lalu minum air teh manis 8x25 ml dan NGT di alirkan
Hana (25-10-2018)
14
Infus Gabaxa 100 cc dalam 500 cc dalam B fluid
VIP albumin 3x1 sach
Glutrop 3x1
Pelastin 3x1 IV
Tamoliv ½ fls prn
Furamin 3x1 amp
Pumpicell 2x1
Dulcolax supp
Hana (28-10-2018)
Pasien pulang dalam keadaan baik, nyeri berkurang, mual (-), muntah (-).
TTV baik
Obat pulang : Meiact tab 2x1, Pumpitor tab 2x1, Glutrop tab 1x1
Kontrol tanggal 5-11-2018
15
PROGNOSIS
16
BAB I
PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering
menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah
segera untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
Apendisitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang progresif dan
menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan diagnosa dan keterlambatan
penatalaksanaannya akan menyebabkan peningakatan morbiditas dan mortalitas.
Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, apendisitis jarang terjadi,
dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat waktu transit feses dan
menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat menyababkan obstruksi pada lumen apendiks.
Kejadian apendisitis dapat berkurang karena kebiasaan diet tinggi serat dan kebiasaan
menggunakan toilet jongkok bila dibandingkan dengan toilet duduk.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi
Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli. Untuk
mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya terdapat valvula Bauhini.
Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi
apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi
peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah di retrocaecal(65%),
pelvic, antecaecal, preileal, postileal.
18
Apendiks menerima aliran darah dari cabang apendikuler dari a.ileocoelica. Arteri ini
berasal dari ileum terminalis superior memasuki mesoapendiks dekat dasar apendiks. Cabang
arteri kecil berjalan melalui a. caecal. Sistem limfe apendiks berjalan menuju nodus limfatik
yang terbentang sepanjang ileocoelica. Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis
yang berasal dari plexus mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya
berasal dari n.vagus.
2.2 Fisiologi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula
Ileocecalis(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi).
Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum
dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum).
Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun
dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di
seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi
obliterasi lumen apendiks komplit.
19
2.3 Histologi
Komposisi histologis dari apendiks serupa dengan usus besar, terdiri dari empat
lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Mukosa apendiks
terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet,
sel-sel neuro endokrin, dan beberapa sel paneth. Lamina propria dari mukosa adalah lapisan
selular dengan banyak komponen sel- sel migratori, dan aggregasi limfoid. Berbeda dengan
di usus besar dimana limfoid folikel tersebar, pada apendiks folikel limfoid ini sangat banyak
dijumpai terutama pada apendiks individu berusia muda. Seringkali, folikel limfoid ini
mengubah kontur lumen dari apendiks. Lapisan terluar dari mukosa adalah muskularis
mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular yang kurang berkembang pada apendiks.
20
Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa, merupakan
lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini terpisah menjadi 2 bagian, yakni
lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar. Pada lapisan ini sering
terlihat degenerasi granular sitoplasmik eosinofilik terutama pada lapisan sirkular. Di antara
dua lapisan otot ini terdapat pleksus myenterik atau pleksus Auerbach, yang serupa secara
morfologi dan fungsi dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai tambahan,
pembuluh limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan ini.
Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa, Diantara lapisan serosa dan
muskularis eksterna terdapat regio subserosal, yang terdiri dari jaringan penyambung longgar,
pembuluh darah, limfe, dan saraf. Lapisan serosa sendiri merupakan selapis sel-sel mesotelial
kuboidal, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa.
2.4 Apendisitis
2.4.1 Definisi
2.4.2 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :
21
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid submukosa,
35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan
oleh parasit dan cacing.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih
ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
2.4.3 Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas. Insidensi appendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
22
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
2.4.4 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis secara umum yang sampai saat ini banyak dianut adalah
klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan
edema, belum tampak adanya eksudat serosa.
Gambar 2.4 Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis
23
3. Apendisitis Gangrenosa (grade III):
Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang
berwarna keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.
Gambar 2.5 Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik
Gambar 2.6 Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga
pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
24
Gambar 2.7 Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa
2.4.5 Patogenesis
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36
jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan absess setelah 2-3 hari
Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith,
tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hiperplasia folikel
limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendisitis
berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan
limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella;
atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris.
Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus.
Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran,
dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan
herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan dan perubahan kebiasaan BAB yang
minimal. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis
lain5. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang
25
biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi
oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang
mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri
akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada
appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi
tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada
appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses
ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi
38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak
bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi.
Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Pada
remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri
tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat
kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya
26
nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada
ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri
biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi
biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi
perforasi. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang.
Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% kasus
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-
18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk
membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada
kebanyakan pasien dengan gejala appendisitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendikolit, adanya cairan atau massa
periappendiks. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendiks sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena
letak appendiks yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendiks. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas, sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka
CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendisitis dengan CT-
scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada
appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.
2.4.8 Penatalaksanaan
27
tindakan operasi, jangan berikan analgetik lebih awal karena dapat memberikan masking effect,
dapat diberikan antiemetik parenteral dan antibiotik intravena spektrum luas sebelum
dilakukan tindakan operasi.
Operatif: apendektomi.
Open Appendectomy
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae
M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan
vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan
karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting. Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
2.4.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat
komplikasi akibat tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi
adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal,
fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.
28
Bila adanya ruptur appendiks/perforasi terjadilah invasi oleh bakteri disekitar
peritoneum dan reaksi awal adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan/adhesive biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi
usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat
terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam
pembuluh darah.
2.4.10 Prognosis
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta
stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak berkomplikasi membawa
mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan
pascabedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah
berkurang menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi (10-15%) pada anak kecil dan orang
tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini.
29
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, H., 1992. Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat Darurat.
Edisi 11. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441- 452.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Klinngensmith M E et al : The Washington Manuai of Surgery 5 th ;Lippincott William &
Wilkins, Philadelphia, 2008;227 -234
Moore, K.L. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Smeltzer C, Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth,
(Edisi 8 vol 2). Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :EGC
31