Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

APENDISITIS AKUTA PERFORANS DENGAN KOMPLIKASI


PELVIC PERITONITIS & ADHESIOLISIS ILEUS

Disusun Oleh:
Aprilia Puspitasari 1215099
Nurul Habibah Usmana 1215232
Jovianto Handoyo 1315085
Giovanni Yugi Setiawan 1315124
Risya Juniarti 1315209

Pembimbing:
dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B – KBD, FInaCS

BAGIAN ILMU BEDAH


FK UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2018

1
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
KASUS ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi ............................................................................................ 16
2.2 Fisiologi ............................................................................................. 17
2.3 Histologi ............................................................................................18
2.4 Apendisitis ........................................................................................ 19
2.4.1 Definisi ................................................................................ 19
2.4.2 Etiologi ................................................................................ 19
2.4.3 Epidemiologi ....................................................................... 20
2.4.4 Klasifikasi ........................................................................... 21
2.4.5 Patogenesis .......................................................................... 22
2.4.6 Manifestasi klinis ................................................................ 24
2.4.7 Pemeriksaan penunjang ....................................................... 25
2.4.8 Penatalaksanaan .................................................................. 25
2.4.9 Komplikasi ...........................................................................26
2.4.10 Prognosis ............................................................................. 27
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA.....……………………………………………………….. 29

2
IDENTITAS UMUM

• Nama : Tn. Sumadi Heryadi


• Usia : 78 tahun
• Jenis kelamin : Laki - laki
• No. RM : 00.213.844
• Alamat : Jln. Suka Asih blok 1 no 15, Cijerah
• Tanggal masuk : 21 Oktober 2018
• DPJP : dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B-KBD, FINACS
• Ruangan-Bed : Hana 5-4
• Diagnosis : Appendisitis acuta ganggrenosa perforata

3
ANAMNESIS

• Keluhan Utama : Pasien datang ke IGD RSI hari Rabu, 21 Oktober 2018 jam 01.20
dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang mendadak sejak 20 Oktober 2018
pukul 22.00.

• Keluhan Penyerta: Nyeri dirasakan seperti melilit, terasa semakin nyeri, dan terasa
tegang. Keluhan disertai adanya mual dan muntah 4-5x dalam sehari, berisi makanan,
muntah dirasakan keluar cukup banyak, tidak disertai adanya darah. BAB mencret
sebanyak 7-8x dengan konsistensi cair, tanpa disertai darah dan lendir, berwarna coklat,
bau biasa, sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing, BAK lancar tidak ada keluhan.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 2 hari yang lalu, dirasakan terus menerus.

• RPD : Hipertensi -, DM -, Jantung -, belum pernah operasi sebelumnya


• RPK : HT-, DM -, Penyakit jantung -
• RPO : Berobat ke Dokter umum 2 bulan yang lalu diberikan salep dingin
• R. Kebiasaan : Minum sanse herbal, sering berolahraga, tidak suka makan makanan
pedas, tidak mengonsumsi obat OAINS

4
PEMERIKSAAN FISIK

27 Oktober 2018
Keadaan umum : Compos Mentis, GCS : 15 (M6E5V4)
Kesan sakit : Sedang
TB/BB : 155cm/50kg
BMI : 20,84 (normal)
Tanda Vital :
– Tekanan darah : 110/70 mmHg
– Nadi : 79x/menit, regular, equal, isi cukup
– Respirasi : 20x/menit
– Suhu : 36,6oC
– SpO2 : 99%
Kepala :
– Mata : konjungtiva tidak anemis; sklera tidak ikterik; pupil bulat isokor, diameter 3 mm;
refleks cahaya direk +/+, indirek +/+
Leher :
– KGB : tidak teraba membesar
Thorax :
– Pulmo : pergerakan simetris, sonor, VBS + kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-
– Cor : BJ murni S1 = S2, reguler, murmur -, gallop –
Abdomen :
– Inspeksi : Cembung
– Auskultasi: Bising usus (+) berkurang
– Perkusi : Timpani
– Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-
Ekstremitas Bawah :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-

5
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 21 Oktober 2018

6
Pemeriksaan Foto thorax AP
Hasil :
- Cor agak membesar
- Sinus dan diafragma kiri normal, sinus kanan tumpul
- Pulmo, hilus kanan dan kiri kasar, corakan paru bertambah
- Tampak bercak lunak diperi hiler kanan
- Tak tampak kranialisasi. Tampak penebalan peri bronchial
KESAN :
- Pembesaran jantung ringan tanpa bendungan paru
- Tak tampak TB paru aktif
- Bronchitis dengan BP ringan diperihiler kanan

Pemeriksaan Foto BNO


Hasil posisi tegak:
- Preperitoneal fat normal. Psoas line kabur.
- Distribusi udara dalam usus bertambah, dengan tampak bayangan udara usus yang bertambah
diabdomen tengah dengan terlihat gambaran coil spring.
- Tak tampak free air disubdiafragma kanan dan kiri pada foto BNO tegak
- Skeletal tak tampak kelainan.
KESAN :
- Meteorismus dengan paralitik lokal diabdomen tengah ec?
- Adanya ascites belum dapat disingkirkan
- Tak tampak pneumoperitoneum

Hasil posisi LLD:


• preperitoneal fat kanan normal. Psoas line kabur.
• Distribusi udara dalam usus bertambah dengan tampak bayangan udara usus yang
bertambah diabdomen tengah, dengan terlihat gambaran coil spring
• Tak tampak free air dibagian lateral atas abdomen pada foto LLD
Kesan: Meteorismus dengan paralitik lokal diabdomen tengah ec?
Tak tampak pneumoperitoneum

7
Pemeriksaan USG abdomen:
Hasil:
• Liver : Besar dan bentuk normal, permukaan rata , tepi tajam. Tekstur parenkim homogen.
Echogenitas normal . V. porta tidak melebar (diameter 13mm) dan cabangnya terlihat
gambara bercak2 hiperechoic/ air bubble. Sauran empedu normal
• Gall bladder : bentuk dan ukuran normal, dinding rata, tidak melebar. IntrLuminal tidak
tampak kelainan. Perigallbladder normal.
• Common bile duct : tidak melebar. Intraluminal ke distal terhalang oleh gas usus.
• Pankreas: Besar dan Bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal.
Ductus pancreaticus major normal.
• Spleen: besar dan bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal . V.
lienalis tidak tampak melebar.
• R-L Kidneys : tampak agak kecil(panjang RK 84mm, LK 85mm). texture parenkim
homogen, echogenisitas sedikit meningkat. Sinus renal tidak tampak kelainan. Sistem
pelvocalyces tidak tampak melebar.
• Vesica urinaria : tidak dpaat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine, balon kateter
(+)
• Intraperitoneal : daerah RLQ terlihat struktur tubuler dengan diameter 7 – 8mm, dinding
menebal, hipoechoic, didekatnya terlihat sedikit koleksi cairan.
Kesan:
• Appendix dengan gabaran kearah peradangan akut
• Liver didaerah v. Porta terlihat gambaran air bubble (susp. Karena enterocolitis
nekroticans ?)
• Gall bladder tidak tampak kelainan
• CBD tidak melebar, ke distal terhalang oleh gas usus
• Pankreas dan spleen tidak tampak kelainan
• R – L kidneys tampak agak kecil dengan echogenisitas sedikit meningkat, kearah kelainan
parenkim yang kronis ?
• Urinary bladder tidak dapat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine

Pemeriksaan CT scan abdomen:


Hasil:
• Hepar :
• Tidak membesar, densitas masih homogen
8
• Vena porta dan Duktus biliaris intra hepatal normal
• Duktus biliaris intra hepatal
• Tak jelas adanya trombus pada vena porta
• Tak tampak multiple massa/ nodul hipodens didaerah hepar lobus kanan dan kiri
• Tak tampak bayangan hipodens diluar hepar
• Kantung empedu:
• Tidak membesar dinding agak menebal dan ireguler
• Tak tampak batu/SOL
• Duktus biliaris extra hepatal tidak melebar
• Lien:
• Tidak membesar, densita inhomogen
• Vena lienalis tidak melebar
• Tak tampak adanya lesi yang memberikan enhancement post pemberian kontras
• Pankreas
• Tak tampak membesar, parenchimal masih homogen
• Duktus pankreatikus tidak melebar
• Tak tampak massa / SOL
• Ginjal :
• Tak membesar, sistem pelvocalyses tidak melebar
• Tak tampak batu atau kista
• Tampak adanya lesi hiperdens di ginjal kanan
• Kadung kemih :
• Tidak membesar, dinding masih regular
• Tak tampak batu atau massa
• Gaster :
• Tidak membesar, dinding agak menebal dan ireguler
• Tak tampak massa / SOL
Scanning abdomen tampak gambaran sebagian kolon yang menebal dan ireguler serta mukosa
yang memberikan gambaran saw teeth appearance baik kolon di daerah kolon sigmoid
descendens dan transversum dengan dinding yang menebal dan ireguler juga dengan gambaran
saw teeth app lesi yang ireguler pada mukosa kolon serta tidak memberikan enhancement post
pemberian kontras.
Tampak caecum tidak menyempit dengan dinding yang menebal dan ireguler.

9
Appendiks tak tampak membesar dan reguler, tak tampak kekaburan pada sekitar appendiks.
Scanning pada aorta:
• Tampak adanya nodul dengan gambaran ring enhancement.
Scanning di rongga pelvis dan para iliaka
• Tampak multiple nodul hipodens yang memberikan enhancement post pemberian
kontras didaerah para iliaka kiri dan kanan.
Scanning hemithoraks bagian posterior tak tampak adanya bayangan hipodens.
Kesan CT Scan menunjukkan:
Tampak gambaran usus halus didaerah jejuenum yang menebal dan ireguler serta mukosa yang
memberikan gambaran saw teeth appearance, baik kolon di daerah kolon sigmoid descendens
dan transversum dengan dinding yang menebal dan ireguler juga dengan gambaran saw teeth
app lesi yang ireguler pada mukosa kolon serta tidak memberikan enhancement post pemberian
kontras.
Tampak caecum tidak menyempit dengan dinding yang menebal dan ireguler.
Appendiks tak tampak membesar dan regular, tak tampak kekaburan pada lemak sekitar
appendiks.
Tampak daerah ileum dan yeyenum tidak berdilatasi.
-> colitis ulcerasive didaerah kolon sigmoud descendes dan kolon transversum
Ec?
• Cholecystitis ringan
• Tampak adanya lesi hiperdens diginjal kanan dengan
-> Nefrotiliasis kanan batu kecil
• Gastritis
• Tampak pembesaran kelenjar di daerah diparailiaka kiri dan kanan
• Tampak pembesaran kelenjar pada aorta
• Tak tampak Efusi pleura
• Hepar, pancreas, limpa, kandung kemih, tak tampak kelainan
• Tak tampak massa intra abdomen

10
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 22 Oktober 2018

Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 22 Oktober 2018

11
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 24 Oktober 2018

12
DIAGNOSIS KERJA
• Colitis fulminan susp microperforation

PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF


• Infus RL 1500/24jam
• Antran 1x1 prn
• Ranitidin 2x1 i.v
• Tamoliv 1gr prn
• Pelastin 3x1gr

PRA BEDAH
 Diagnosis pra bedah : tumor flexural duodenojejunal susp ganas
 Rencana tindakan pembedahan : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal
dan functional stapling anastomosis

TINDAKAN OPERATIF
 Diseksi peri jejunal proximal
 Reseksi jejunum proximal
 Anastomosis functional jejunum dengan stapler
Temuan operasi (2 desember 2017 12.50-14.30 WIB) :
 Massa tumor anular jejunum proximal ± 20cm dari trentz, Ø 3.5x3x2 cm telah
menyumbat lumen, curiga ca cT3N0-1Mx DD/ lymphoma
 Liver tak teraba nodul

DIAGNOSIS PASCA BEDAH


 Tumor anular jejunum proximal susp carcinoma cT3N1Mx DD/ lymphoma maligna

13
PENATALAKSANAAN
• Tindakan Bedah
• Operatif
Diagnosis pre operasi: tumor flexural duodenojejunal susp ganas
Tindakan operatif : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal dan functional
stapling anastomosis
• Post-operatif
Observasi tanda vital
Puasa 12 jam lalu minum air teh manis 8x25 ml dan NGT di alirkan

Penatalaksanaan setelah operasi :

Hana (25-10-2018)

 Infus futrolit 1500 cc


 Infus gabaxa 100 cc dalam 500 cc B fluid
 Tomit 3x1 amp
 Pelastin 3x1 IV
 VIP albumin 3x1 sach
 Antrain amp IV bila nyeri
 Glutrop 3x1
 Ranitidin 2x1
 Tamoliv 1 gr prn
 Pumpicell 2x1
 GV POD III
Hana (26-10-2018)

 Infus futrolit 1500 cc


 Infus gabaxa 100 cc dalam 500 cc B fluid
 Furamin 3x1 amp
 VIP albumin 3x1 sach
 Dulcolax supp
 Pelastin 3x1 IV
 Glutrop 3x1
 Ranitidin 2x1
 Tamoliv 1 gr Prn
 Pumpicell 2x1
 GV POD III
Hana (27-10-2018)

 Infus Futrolit 1500 cc

14
 Infus Gabaxa 100 cc dalam 500 cc dalam B fluid
 VIP albumin 3x1 sach
 Glutrop 3x1
 Pelastin 3x1 IV
 Tamoliv ½ fls prn
 Furamin 3x1 amp
 Pumpicell 2x1
 Dulcolax supp
Hana (28-10-2018)

 Infus Futrolit 1500 cc


 Infus Gabaxa 100 cc dalam 500 cc B fluid
 VIP albumin 3x1 sach
 Glutrop 3x1
 Tamoliv ½ fls prn
 Pumpicell 2x1
 Dulcolax supp
 Pelastin 3x1 IV
Hana (29-10-2018)

 Infus futrolit 1500 cc


 Infus Gabaxa 100 cc dalam 500 cc B fluid
 Glutrop 3x1
 Tamoliv ½ fls prn
 Dulcolax supp
 Pumpicell 2x1
Hana (30-10-2018)

 Infus B fluid 1L/hari


 Diet PO exstra peptimun 4 x 150 cc
 Makan bubur sumsum PO2
 Glutrop tab 1x1
 Meiact tab 200 mg 2x1
 Pumpitor tab 20 mg 2x1
 Oppsite besar 1
 Oppsite kecil 1
Kondisi pulang

 Pasien pulang dalam keadaan baik, nyeri berkurang, mual (-), muntah (-).
 TTV baik
 Obat pulang : Meiact tab 2x1, Pumpitor tab 2x1, Glutrop tab 1x1
 Kontrol tanggal 5-11-2018

15
PROGNOSIS

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : ad malam

16
BAB I
PENDAHULUAN

Apendiks disebut juga umbai cacing. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering
menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah
segera untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.

Apendisitis merupakan peradangan dari apendiks vermiformis, yang lebih dikenal


dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini merupakan penyakit yang sering dijumpai. Meskipun
sebagian besar pasien dengan apendisitis akut dapat dengan mudah didiagnosis tetapi tanda
dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit
ditegakkan, untuk itu dokter harus mempunyai pengetahuan yang baik untuk mengenal
apendisitis. Pada apendisitis tidak mungkin dapat ditemukan satu galala klinis yang tidak dapat
ditentukan oleh satu test khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Pada beberapa kasus
apendisitis dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga yang memerlukan laparotomi.
Apendisitis akut dapat menyebabkan kamatian karena peritonitis dan syok.

Apendisitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang progresif dan
menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan diagnosa dan keterlambatan
penatalaksanaannya akan menyebabkan peningakatan morbiditas dan mortalitas.

Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, apendisitis jarang terjadi,
dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat waktu transit feses dan
menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat menyababkan obstruksi pada lumen apendiks.
Kejadian apendisitis dapat berkurang karena kebiasaan diet tinggi serat dan kebiasaan
menggunakan toilet jongkok bila dibandingkan dengan toilet duduk.

17
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan


berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya.

Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli. Untuk
mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya terdapat valvula Bauhini.
Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi
apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi
peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah di retrocaecal(65%),
pelvic, antecaecal, preileal, postileal.

18
Apendiks menerima aliran darah dari cabang apendikuler dari a.ileocoelica. Arteri ini
berasal dari ileum terminalis superior memasuki mesoapendiks dekat dasar apendiks. Cabang
arteri kecil berjalan melalui a. caecal. Sistem limfe apendiks berjalan menuju nodus limfatik
yang terbentang sepanjang ileocoelica. Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis
yang berasal dari plexus mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya
berasal dari n.vagus.

2.2 Fisiologi

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula
Ileocecalis(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi).
Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum
dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke


dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun
dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di
seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi
obliterasi lumen apendiks komplit.

19
2.3 Histologi

Gambar 2.2 Histologi apendiks

Komposisi histologis dari apendiks serupa dengan usus besar, terdiri dari empat
lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Mukosa apendiks
terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet,
sel-sel neuro endokrin, dan beberapa sel paneth. Lamina propria dari mukosa adalah lapisan
selular dengan banyak komponen sel- sel migratori, dan aggregasi limfoid. Berbeda dengan
di usus besar dimana limfoid folikel tersebar, pada apendiks folikel limfoid ini sangat banyak
dijumpai terutama pada apendiks individu berusia muda. Seringkali, folikel limfoid ini
mengubah kontur lumen dari apendiks. Lapisan terluar dari mukosa adalah muskularis
mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular yang kurang berkembang pada apendiks.

Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini


tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblas. Lapisan submukosa
juga dapat mengandung sel-sel migratori seperti makrofag, sel-sel limfoid, sel-sel plasma,
serta sel mast. Pembuluh darah dan limfe merupakan komponen yang dominan pada lapisan
ini. Pembuluh limfatik terdapat jelas dibawah dasar dari folikel limfoid. Di lapisan ini juga
terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner. Pleksus saraf ini terdiri dari ganglia, sel- sel
ganglion, kumpulan neuron dengan prosesusnya, dan sel Schwann yang saling
berinterkoneksi membentuk jaringan saraf di lapisan submukosa.

20
Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa, merupakan
lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini terpisah menjadi 2 bagian, yakni
lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar. Pada lapisan ini sering
terlihat degenerasi granular sitoplasmik eosinofilik terutama pada lapisan sirkular. Di antara
dua lapisan otot ini terdapat pleksus myenterik atau pleksus Auerbach, yang serupa secara
morfologi dan fungsi dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai tambahan,
pembuluh limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan ini.

Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa, Diantara lapisan serosa dan
muskularis eksterna terdapat regio subserosal, yang terdiri dari jaringan penyambung longgar,
pembuluh darah, limfe, dan saraf. Lapisan serosa sendiri merupakan selapis sel-sel mesotelial
kuboidal, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa.

2.4 Apendisitis

2.4.1 Definisi

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui secara
pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau
obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan flora
normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi
perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses
disekitar apendiks.

2.4.2 Etiologi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya :

21
1. Faktor sumbatan (obstruksi)

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid submukosa,
35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan
oleh parasit dan cacing.

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih
ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.4.3 Epidemiologi

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas. Insidensi appendisitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu

22
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

2.4.4 Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis secara umum yang sampai saat ini banyak dianut adalah
klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

1. Apendistis akut fokal (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan
edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

Gambar 2.3 Sel –sel radang akut di lapisan mukosa

2. Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti


pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen
pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa
tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

Gambar 2.4 Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis

23
3. Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang
berwarna keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.

Gambar 2.5 Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik

4. Apendisitis Perforasi (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya perforasi apendiks, umumnya sepanjang


antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau
busuk.

Gambar 2.6 Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai

disertai diskontinuitas jaringan

5. Apendisitis Abses (grade V):

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga
pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

24
Gambar 2.7 Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

2.4.5 Patogenesis

Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36
jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan absess setelah 2-3 hari
Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith,
tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hiperplasia folikel
limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendisitis
berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan
limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella;
atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris.

Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki
peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus.
Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran,
dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan
herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan dan perubahan kebiasaan BAB yang
minimal. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis. Distensi appendiks
menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis
lain5. Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang
25
biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi
oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang
mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan
mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri
akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada
appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi
tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic
yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada
appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum. Proses
ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon
terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi
38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak
bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi.
Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Pada
remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa
pada pemeriksaan fisik. Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

2.4.6 Manifestasi Klinis

Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri
tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat
kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya

26
nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada
ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri
biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi
biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi
perforasi. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang.

2.4.7 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% kasus
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-
18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk
membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada
kebanyakan pasien dengan gejala appendisitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendikolit, adanya cairan atau massa
periappendiks. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendiks sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena
letak appendiks yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendiks. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas, sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka
CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendisitis dengan CT-
scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada
appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.

2.4.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kegawatdaruratan lakukan pemasangan infus, pasien dipuasakan


untuk persiapan operasi, berikan analgetik bila pasien sudah dipastikan akan dilakukan

27
tindakan operasi, jangan berikan analgetik lebih awal karena dapat memberikan masking effect,
dapat diberikan antiemetik parenteral dan antibiotik intravena spektrum luas sebelum
dilakukan tindakan operasi.

Operatif: apendektomi.

Teknik operasi Apendektomi

Open Appendectomy

1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae
M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan
vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan
karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting. Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

2.4.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus.

Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat
komplikasi akibat tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi
adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal,
fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang


menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi
pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7 C atau lebih tinggi, dan nyeri tekan abdomen yang
kontinyu.

28
Bila adanya ruptur appendiks/perforasi terjadilah invasi oleh bakteri disekitar
peritoneum dan reaksi awal adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan/adhesive biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi
usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat
terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam
pembuluh darah.

2.4.10 Prognosis

Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta
stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak berkomplikasi membawa
mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan
pascabedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah
berkurang menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi (10-15%) pada anak kecil dan orang
tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini.

29
BAB III
KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan


kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis akut merupakan
peradangan pada apendiks yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya
hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat
menimbulkan penyumbatan. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada
apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses di sekitar
apendiks.Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Temuan spesifik pada foto polos abdomen adalah
adanya apendikolith. Apendikolith tarnpak soliter, oval, densitas kalsifikasi pada kuadran
bawah kanan, ukurannya dapat mencapai 2 cm. Terkadang dapat berbentuk shell like atau
laminated. Temuan lain adalah ketidakjelasan otot psoas kanan, colon cut off sign,
distensi/dilatasi terisolasi pada loop terminal ileum sekum, dan kolon asenden (kurang sering)
dengan air fluid level. Pada appendikografi nonfilling apendiks merupakan tanda nonspesifik
karena appendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada ±10-20% pada orang normal.
Sonografi memperlihatkan apendiks di atas muskulus psoas. Tanda khasnya berupa apendiks
non-kompresibel dengan diameter 6 mm atau lebih. Tanda CT scan dari apendiks termasuk
ukuran diameter apendiks lebih dari 6mm, kegagalan apendiks terisi dengan kontra oral atau
udara untuk mencapai ujungnya, apendikolith dan penyangatan dari dinding dengan kontras
intravena. Pada MRI, pemberian kontras tampak penyengatan dari dinding apendiks yang
terinflamasi mengindikasikan appendisitis. Penyengatan ringan tampak pada normal apendiks.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bailey, H., 1992. Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat Darurat.
Edisi 11. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441- 452.

Craig, S., 2011. Appendicitis Treatment & Management. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment [Accessed 14 November 2018].

Guyton, A.C., & Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Klinngensmith M E et al : The Washington Manuai of Surgery 5 th ;Lippincott William &
Wilkins, Philadelphia, 2008;227 -234
Moore, K.L. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Smeltzer C, Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth,
(Edisi 8 vol 2). Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :EGC

Townsend C M ,Beauchamp R D:Evers B M:Mattox K.L :pocket Comparison Sabiston


Textbook of Surgery 17th Ed.Saunders Philadelphia, 2005 ;681 -688
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, MttoxKL,editors. Sabiston textbook of
surgery.The biological basis of modern surgical practice. 17th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders;2004
Wibowo, D. S., & Paryana, W. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Bandung: Graha Ilmu
Publishing.
Zahari, Divisi Bedah Digestif, Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran/ RS Dr. M. Djamil
Padang

31

Anda mungkin juga menyukai