Disusun Oleh:
Aprilia Puspitasari 1215099
Nurul Habibah Usmana 1215232
Jovianto Handoyo 1315085
Giovanni Yugi Setiawan 1315124
Risya Juniarti 1315209
Pembimbing:
dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B – KBD, FInaCS
1
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
KASUS ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi ............................................................................................ 16
2.2 Fisiologi ............................................................................................. 17
2.3 Histologi ............................................................................................18
2.4 Apendisitis ........................................................................................ 19
2.4.1 Definisi ................................................................................ 19
2.4.2 Etiologi ................................................................................ 19
2.4.3 Epidemiologi ....................................................................... 20
2.4.4 Klasifikasi ........................................................................... 21
2.4.5 Patogenesis .......................................................................... 22
2.4.6 Manifestasi klinis ................................................................ 24
2.4.7 Pemeriksaan penunjang ....................................................... 25
2.4.8 Penatalaksanaan .................................................................. 25
2.4.9 Komplikasi ...........................................................................26
2.4.10 Prognosis ............................................................................. 27
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA.....……………………………………………………….. 29
2
IDENTITAS UMUM
3
ANAMNESIS
• Keluhan Utama : Pasien datang ke IGD RSI hari Rabu, 21 Oktober 2018 jam 01.20
dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut yang mendadak sejak 20 Oktober 2018
pukul 22.00.
• Keluhan Penyerta: Nyeri dirasakan seperti melilit, terasa semakin nyeri, dan terasa
tegang. Keluhan disertai adanya mual dan muntah 4-5x dalam sehari, berisi makanan,
muntah dirasakan keluar cukup banyak, tidak disertai adanya darah. BAB mencret
sebanyak 7-8x dengan konsistensi cair, tanpa disertai darah dan lendir, berwarna coklat,
bau biasa, sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing, BAK lancar tidak ada keluhan.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 2 hari yang lalu, dirasakan terus menerus.
4
PEMERIKSAAN FISIK
27 Oktober 2018
Keadaan umum : Compos Mentis, GCS : 15 (M6E5V4)
Kesan sakit : Sedang
TB/BB : 155cm/50kg
BMI : 20,84 (normal)
Tanda Vital :
– Tekanan darah : 110/70 mmHg
– Nadi : 79x/menit, regular, equal, isi cukup
– Respirasi : 20x/menit
– Suhu : 36,6oC
– SpO2 : 99%
Kepala :
– Mata : konjungtiva tidak anemis; sklera tidak ikterik; pupil bulat isokor, diameter 3 mm;
refleks cahaya direk +/+, indirek +/+
Leher :
– KGB : tidak teraba membesar
Thorax :
– Pulmo : pergerakan simetris, sonor, VBS + kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-
– Cor : BJ murni S1 = S2, reguler, murmur -, gallop –
Abdomen :
– Inspeksi : Cembung
– Auskultasi: Bising usus (+) berkurang
– Perkusi : Timpani
– Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas atas :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-
Ekstremitas Bawah :
– Deformitas (-), motorik 5/5
– Akral hangat, CRT <2 detik, oedem -/-
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
Pemeriksaan Foto thorax AP
Hasil :
- Cor agak membesar
- Sinus dan diafragma kiri normal, sinus kanan tumpul
- Pulmo, hilus kanan dan kiri kasar, corakan paru bertambah
- Tampak bercak lunak diperi hiler kanan
- Tak tampak kranialisasi. Tampak penebalan peri bronchial
KESAN :
- Pembesaran jantung ringan tanpa bendungan paru
- Tak tampak TB paru aktif
- Bronchitis dengan BP ringan diperihiler kanan
7
Pemeriksaan USG abdomen:
Hasil:
• Liver : Besar dan bentuk normal, permukaan rata , tepi tajam. Tekstur parenkim homogen.
Echogenitas normal . V. porta tidak melebar (diameter 13mm) dan cabangnya terlihat
gambara bercak2 hiperechoic/ air bubble. Sauran empedu normal
• Gall bladder : bentuk dan ukuran normal, dinding rata, tidak melebar. IntrLuminal tidak
tampak kelainan. Perigallbladder normal.
• Common bile duct : tidak melebar. Intraluminal ke distal terhalang oleh gas usus.
• Pankreas: Besar dan Bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal.
Ductus pancreaticus major normal.
• Spleen: besar dan bentuk normal. Texture parenkim homogen. Echogenitas normal . V.
lienalis tidak tampak melebar.
• R-L Kidneys : tampak agak kecil(panjang RK 84mm, LK 85mm). texture parenkim
homogen, echogenisitas sedikit meningkat. Sinus renal tidak tampak kelainan. Sistem
pelvocalyces tidak tampak melebar.
• Vesica urinaria : tidak dpaat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine, balon kateter
(+)
• Intraperitoneal : daerah RLQ terlihat struktur tubuler dengan diameter 7 – 8mm, dinding
menebal, hipoechoic, didekatnya terlihat sedikit koleksi cairan.
Kesan:
• Appendix dengan gabaran kearah peradangan akut
• Liver didaerah v. Porta terlihat gambaran air bubble (susp. Karena enterocolitis
nekroticans ?)
• Gall bladder tidak tampak kelainan
• CBD tidak melebar, ke distal terhalang oleh gas usus
• Pankreas dan spleen tidak tampak kelainan
• R – L kidneys tampak agak kecil dengan echogenisitas sedikit meningkat, kearah kelainan
parenkim yang kronis ?
• Urinary bladder tidak dapat dinilai karena tidak terisi penuh dengan urine
9
Appendiks tak tampak membesar dan reguler, tak tampak kekaburan pada sekitar appendiks.
Scanning pada aorta:
• Tampak adanya nodul dengan gambaran ring enhancement.
Scanning di rongga pelvis dan para iliaka
• Tampak multiple nodul hipodens yang memberikan enhancement post pemberian
kontras didaerah para iliaka kiri dan kanan.
Scanning hemithoraks bagian posterior tak tampak adanya bayangan hipodens.
Kesan CT Scan menunjukkan:
Tampak gambaran usus halus didaerah jejuenum yang menebal dan ireguler serta mukosa yang
memberikan gambaran saw teeth appearance, baik kolon di daerah kolon sigmoid descendens
dan transversum dengan dinding yang menebal dan ireguler juga dengan gambaran saw teeth
app lesi yang ireguler pada mukosa kolon serta tidak memberikan enhancement post pemberian
kontras.
Tampak caecum tidak menyempit dengan dinding yang menebal dan ireguler.
Appendiks tak tampak membesar dan regular, tak tampak kekaburan pada lemak sekitar
appendiks.
Tampak daerah ileum dan yeyenum tidak berdilatasi.
-> colitis ulcerasive didaerah kolon sigmoud descendes dan kolon transversum
Ec?
• Cholecystitis ringan
• Tampak adanya lesi hiperdens diginjal kanan dengan
-> Nefrotiliasis kanan batu kecil
• Gastritis
• Tampak pembesaran kelenjar di daerah diparailiaka kiri dan kanan
• Tampak pembesaran kelenjar pada aorta
• Tak tampak Efusi pleura
• Hepar, pancreas, limpa, kandung kemih, tak tampak kelainan
• Tak tampak massa intra abdomen
10
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 22 Oktober 2018
11
Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 24 Oktober 2018
12
DIAGNOSIS KERJA
• Colitis fulminan susp microperforation
PRA BEDAH
Diagnosis pra bedah : tumor flexural duodenojejunal susp ganas
Rencana tindakan pembedahan : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal
dan functional stapling anastomosis
TINDAKAN OPERATIF
Diseksi peri jejunal proximal
Reseksi jejunum proximal
Anastomosis functional jejunum dengan stapler
Temuan operasi (2 desember 2017 12.50-14.30 WIB) :
Massa tumor anular jejunum proximal ± 20cm dari trentz, Ø 3.5x3x2 cm telah
menyumbat lumen, curiga ca cT3N0-1Mx DD/ lymphoma
Liver tak teraba nodul
13
PENATALAKSANAAN
• Tindakan Bedah
• Operatif
Diagnosis pre operasi: tumor flexural duodenojejunal susp ganas
Tindakan operatif : Laparotomy reseksi tumor duodenojejunal proximal dan functional
stapling anastomosis
• Post-operatif
Observasi tanda vital
Puasa 12 jam lalu minum air teh manis 8x25 ml dan NGT di alirkan
PROGNOSIS
14
BAB I
PENDAHULUAN
Abses hati telah dikenal sejak zaman Hippocrates (400 SM).(1-4) Sampai sekarang penyakit
ini masih merupakan masalah di bagian bedah dengan angka morbiditas dan mortilitas yang
tinggi.(1,5) Penyakit ini banyak ditemukan pada anak di negara ber-kembang, terutama yang
tinggal di daerah tropis dan subtropis.
Pada tahun 1938, Ochsner dkk (dikutip oleh Nickloes TA, 2009) pertama kali melaporkan
suatu serial kasus abses hati piogenik dengan case fatality rate 77%. (4) Diagnosis dini dan terapi
yang adekuat berhubungan dengan hasil yang lebih bagus.(9-12) Kemajuan di bidang radiologi
diag-nostik dan intervensi selama 3 dekade terakhir telah menghasilkan suatu prosedur invasif
yang minimal dalam tatalaksana penyakit ini. Kombinasi antibiotik dengan teknik drainase
perkutaneus merupakan terapi yang banyak digunakan, namun sebagian kecil pasien tidak
mengalami perbaikan dengan metoda ini sehingga tindakan pembedahan merupakan pilihan
terakhirnya.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rat-rata sekitar 1.500 gr. 2 % berat badan
orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur
sekitar. Hati memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah
merupakan atap dari ginjal, lambunga, pancreas dan usus. Hati memilikki dua lobus yaitu kiri
dan kanan. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus, yang
merupakan unit mikroskopi dan fungsional organ. Hati manusia memiliki maksimal 100.000
lobulus. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid.
Sinusoid dibatasi oleh sel fagostik dan sel kupffer. Sel kupffer fungsinya adalah menelan
bakteri dan benda asing lain dalam darah. (Sylvia a. Price, 2006).
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yyang masuk adalah
darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena porta. Volume total darah yang melewati
hati setiap menitnya adalah 1.500 ml. (Sylvia a. Price, 2006).
16
2.2 Fisiologi
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh. Organ ini melakukan
berbagai fungsi, mencakup hal-hal berikut:
1. Pengolahan metabolik kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka adalah saluran pencernaan.
Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi
asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk
sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein
dan karbohidrat.
Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa
lain dari asam amino
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk pembekuan
darah, serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah.
4. Penyimpangan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D.
6. Pengeluaran bakteri dari sel-sel darah merah yang usang berkat adanya makrofag residen.
7. Ekskresi Kolesterol dan bilirubin (Sherwood, 2001)
17
2.3 Histologi
Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang
disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara
radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata.
Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas
membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung
kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera et al., 2007). Sinusoid hati adalah saluran yang
berliku–liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak
utuh.
Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih
gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik
yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta
kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik,
membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung
(Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007). Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal.
Pada traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena
sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang
paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian
terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri
18
hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga
struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira et al., 2007).
Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik. Asinus
hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini terletak di antara 2
atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu
ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat
dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona
3 terletak paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada
diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira et al., 2007)
2.4.1 Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati (Aru
W Sudoyo, 2006).
Abses adalah pengumpulan cairan nanah tebal, berwarna kekuningan disebabkan oleh
bakteri, protozoa atau invasi jamur kejaringan tubuh. Abses dapat terjadi di kulit, gusi, tulang,
dan organ tubuh seperti hati, paru-paru, bahkan otak, area yang terjadi abses berwarna merah
dan menggembung, biasanya terdapat sensasi nyeri dan panas setempat (Microsoft Encarta
Reference Library, 2004)
Abscess adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang tidak akibat kerusakan
jaringan, Hepar adalah hati (Dorland, 1996). Jadi Abses hepar adalah rongga berisi nanah pada
hati yang diakibatkan oleh infeksi.
2.4.2 Etiologi
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati pyogenik.
a. Abses hati amoeba
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit non patogen dalam
mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya
sebagian individu yang terinfeksi Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif,
sehingga di duga ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen.
19
Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada
hepar (Aru W Sudoyo, 2006).
E.histolytica di dlam feces dapat di temukan dalam dua bentuk vegetatif atau tropozoit
dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar tuibuh manusia. Kista dewasa berukuran 10-
20 mikron, resisten terhadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam
suasana kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu
mengakibatkan destruksi jaringan.
2.4.3 Epidemiologi
Insidens abses hati piogenik berkisar antara 0,006- 2,2% dan jarang ditemukan pada
anak, hanya 3 kasus dari 100.000 pasien rawat inap.7,9 Secara epidemiologis, abses hati
piogenik paling sering ditemukan pada pasien berusia 50-70 tahun.4,10 Pada anak, 50% kasus
abses hati piogenik terjadi pada usia kurang dari 6 tahun,9 dan lebih sering terjadi pada laki-
laki dibanding perempuan dengan rasio 7:1.
Infeksi amuba atau amubiasis disebabkan oleh Entamoeba histolytica, mencakup 10%
dari populasi seluruh dunia dan 95% di antaranya adalah karier yang asimptomatis. Dari 5%
pasien yang simptomatis, sepuluh persen menjadi abses hati.8,18,19 Abses hati amuba juga
jarang terjadi pada anak yaitu sekitar 1-7% pasien anak,9 sering kali terjadi pada anak berusia
kurang dari 3 tahun,9,18 lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio
8:1. 4 Insidens abses hati amuba dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, higiene individu yang buruk,
dan kepadatan penduduk.
20
2.4.4 Klasifikasi
2.4.5 Patogenesis
a. Amoebiasis Hepar
Amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada
dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada
hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme
yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin,
ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya
antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated. (Arief Mansjoer, 2001)
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis
intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri
amebiasis. (Aru W Sudoyo, 2006)
21
Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar :
(Bagan patofisiologi terjadinya amobiasis hepar, Staf Pengajar Patofisiologi,
Fakultas Kedokteran Unibraw Malang 2003)
22
(Bagan pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan manusia. Bruner dan Suddarth, 2000)
Penjelasan
Amuba yang masuk menyebabkan peradangan hepar sehingga mengakibatkan infeksi
Kerusakan jaringan hepar menimbulkan perasaan nyeri
Infeksi pada hepar menimbulkan rasa nyeri sehingga mengalami gangguan tidur atas pola tidur.
Abses menyebabkan metabolisme dihati menurun sehingga menimbulkan perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan.
Metabolisme nutrisi di hati menurun menyebabkan produksi energi menurun sehingga dapat
terjadi intoleransi aktifitas fisik
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri
tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit. Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Jika
inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat
kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya
23
nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada
ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri
biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Pada appendisitis tanpa komplikasi
biasanya demam ringan (37,5 -38,5 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi
perforasi. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang.
Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% kasus
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-
18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk
membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada
kebanyakan pasien dengan gejala appendisitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendikolit, adanya cairan atau massa
periappendiks. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendiks sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena
letak appendiks yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendiks. CT-Scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas, sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka
CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendisitis dengan CT-
scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada
appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.
2.4.8 Penatalaksanaan
24
tindakan operasi, jangan berikan analgetik lebih awal karena dapat memberikan masking effect,
dapat diberikan antiemetik parenteral dan antibiotik intravena spektrum luas sebelum
dilakukan tindakan operasi.
Operatif: apendektomi.
Open Appendectomy
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae
M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan
vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan
karena bila terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting. Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
2.4.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus.
Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus,
abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat
komplikasi akibat tindakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi
adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai,
seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal,
fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks.
25
Bila adanya ruptur appendiks/perforasi terjadilah invasi oleh bakteri disekitar
peritoneum dan reaksi awal adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan/adhesive biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi
usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat
terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam
pembuluh darah.
2.4.10 Prognosis
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta
stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak berkomplikasi membawa
mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan
pascabedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah
berkurang menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi (10-15%) pada anak kecil dan orang
tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini.
BAB III
KESIMPULAN
26
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis akut merupakan
peradangan pada apendiks yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya
hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat
menimbulkan penyumbatan. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada
apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses di sekitar
apendiks.Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Temuan spesifik pada foto polos abdomen adalah
adanya apendikolith. Apendikolith tarnpak soliter, oval, densitas kalsifikasi pada kuadran
bawah kanan, ukurannya dapat mencapai 2 cm. Terkadang dapat berbentuk shell like atau
laminated. Temuan lain adalah ketidakjelasan otot psoas kanan, colon cut off sign,
distensi/dilatasi terisolasi pada loop terminal ileum sekum, dan kolon asenden (kurang sering)
dengan air fluid level. Pada appendikografi nonfilling apendiks merupakan tanda nonspesifik
karena appendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada ±10-20% pada orang normal.
Sonografi memperlihatkan apendiks di atas muskulus psoas. Tanda khasnya berupa apendiks
non-kompresibel dengan diameter 6 mm atau lebih. Tanda CT scan dari apendiks termasuk
ukuran diameter apendiks lebih dari 6mm, kegagalan apendiks terisi dengan kontra oral atau
udara untuk mencapai ujungnya, apendikolith dan penyangatan dari dinding dengan kontras
intravena. Pada MRI, pemberian kontras tampak penyengatan dari dinding apendiks yang
terinflamasi mengindikasikan appendisitis. Penyengatan ringan tampak pada normal apendiks.
27
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, H., 1992. Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat Darurat.
Edisi 11. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441- 452.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Klinngensmith M E et al : The Washington Manuai of Surgery 5 th ;Lippincott William &
Wilkins, Philadelphia, 2008;227 -234
Moore, K.L. 2010. Clinically Oriented Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Smeltzer C, Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth,
(Edisi 8 vol 2). Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :EGC
28