Anda di halaman 1dari 69

PENGARUH PASCAERUPSI GUNUNG MERAPI

TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT


SEKITAR DAN INDUSTRI PARIWISATA

Karya tulis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti
Ujian Praktik Bahasa Indonesia di SMA Budi Mulia tahun pelajaran
2017/2018

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

Nama : Agustina Dwi Pangestuti


Kelas : XII MIPA 3
NIS : 0000433877

SEKOLAH MENENGAH ATAS


SMA BUDI MULIA
(Status : TERAKREDITASI A)
Jl. H.O.S Cokroaminoto No.1 Sudimara Jaya Kec. Ciledug Kota
Tangerang – 15151
Telp. (021) 7304142 - 7328730 fax (021)7328739
Website :www.budi-mulia.com
HALAMAN PENGESAHAN

Karya tulis ini telah disetujui dan disahkan pada hari ......... tanggal
………..… tahun 2017. Tempat di SMA Budi Mulia, oleh:

Pembimbing Materi Pembimbing Teknis

Wan Kamsulisa Harlina, S.Pd. Hj. Titin Suprihatin, S.Pd.

Mengetahui,
Kepala SMA Budi Mulia

Dr. H. Moh. Suryadi Syarif, S.E., M.M.

ii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahkan untuk:


1. Bapak Dr. H. Moh Suryadi Syarif, S.E., M.M. selaku Kepala SMA
Budi Mulia.
2. Bapak H. M. Budiharsodjo, M.Pd., M.M. selaku Wakil Kepala SMA
Budi Mulia Bidang Kurikulum.
3. Bapak H. Yusri, S.Ag., M.A. selaku Wakil Kepala SMA Budi Mulia
Bidang Kesiswaan.
4. Ibu Wan Kamsulisa Harlina, S.Pd. selaku Pembimbing Materi/Wali
Kelas.
5. Ibu Hj. Titin Suprihatin, S.Pd. selaku Pembimbing Teknis.
6. Bapak dan Ibu Dewan Guru dan Staf SMA Budi Mulia.
7. Untuk teman-teman SMA Budi Mulia.

iii
HALAMAN MOTTO

1. Memulai dengan penuh keyakinan, menjalankan dengan penuh


keihklasan, dan menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan.
2. Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam
mengatasi adanya masalah adalah sesuatu yang utama.
3. Jangan tunda sampai besok apa yang bisa engkau kerjakan hari
ini.
4. Kegagalan hanya terjadi apabila kita menyerah.
5. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kebesaran dan limpahan rahmat yang diberikan-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “PENGARUH
PASCAERUPSI GUNUNG MERAPI TERHADAP PEREKONOMIAN
MASYARAKAT SEKITAR DAN INDUSTRI PARIWISATA”
Adapun penulisan karya tulis ini disusun berdasarkan tugas yang
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Akhir Sekolah Nasional
tahun ajaran 2017/2018 di SMA Budi Mulia.
Dalam penulisan karya tulis ini, berbagai hambatan telah penulis
alami.Oleh karena itu, terselesaikannya karya tulis ini tentu saja bukan
karena kemampuan penulis semata-mata.Namun karena adanya
dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis juga berterima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan karya tulis ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya
tulis ini yang terdapat banyak kekurangan, kesalahan, maupun
kelemahannya baik dalam penulisan ataupun pengembangan materi. Ini
semua disebabkan karena keterbatasannya kemampuan.Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan dan penulis hargai.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
para pembaca pada umumnya.

Tangerang, 14 Januari 2018

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………..….. i


HALAMAN PENGESAHAN …………………………...….. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………......... iii
HALAMAN MOTTO ………………………………….......... iv
KATA PENGANTAR …………………………………...….. V
DAFTAR ISI ……………………………………………........ vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………..… 1
B. Ruang Lingkup ………………………………………………..… 2
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………. 2
D. Metode Penulisan …………………………………………..….. 3
1. Metode Observasi ………………………………………...... 3
2. Metode Wawancara ……………………………………..…. 3
3. Metode Kepustakaan ………………………………….….... 3
E. Sistematika Penulisan …………………………………………. 3

BAB II PENGARUH PASCAERUPSI GUNUNG MERAPI


TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT
SEKITAR DAN INDUSTRI PARAWISATA
A. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap
Perekonomian Masyarakat Sekitar ……………….…...... 6
1. Letak Geografis Gunung Merapi …………………….......… 6
2. Kronologis Gunung Merapi ……………………………….... 7
3. Kondisi Perekonomian Masyarakat Terhadap Gunung
Merapi ……………………………………………………….... 8
4. Deskripsi Perekonomian Gunung Merapi ………..………. 11
a. Sistem Pertanian ……………………………………...… 11
b. Sistem Peternakan ……………………………….…..… 13
5. Pola Adaptasi Perekonomian Masyarakat Terhadap
Gunung Merapi ……………………………………….…..… 16
a. Pola Adaptasi Pertanian …………………………….… 16
b. Pola Adaptasi Peternakan …………………………….. 17
6. Dampak Ekonomi Terhadap Pariwisata ………………...… 17

vi
7. Dampak Bencana Terhadap Hilangnya Mata
Pencaharian …………………………………………………. 19
8. Estimasi Kerugian Ekonomi ………………………………… 20

B. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap Industri


Pariwisata ……………………………………………….…... 23
1. Peran Kawasan Wisata Volcano Tour Sebagai Peluang
Kerja Baru Bagi Masyarakat ……………………………….. 24
2. Alasan Perubahan Mata Pencaharian ………………......... 27
3. Keberlanjutan Kawasan Wisata Volcano Tour …………… 29
4. Dampak Parawisata Terhadap Ekonomi ………………….. 31
a. Dampak Positif Parawisata Terhadap Ekonomi …….. 33
b. Dampak Negatif Parawisata Terhadap Ekomoni ....…. 34
5. Partisipasi Pemerintah Dalam Membangun Pariwisata
Dan Perekonomian Pasca Erupsi Gunung Merapi ……... 38

BAB III PENUTUP ………………………………………….. 39


A. Kesimpulan …………………………………………… 39
B. Saran ………………………………………………….. 42

DAFTAR GAMBAR …………………………………….….. viii


DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..… ix
LAMPIRAN ………………………………………………..… xi

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gunung adalah sebuah bentuk tanah yang menonjol di atas
wilayah sekitarnya.Gunung adalah bagian dari permukaan bumi
yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sekitarnya.Beberapa otoritas mendefinisikan gunung dengan
puncak lebih dari besaran tertentu.Gunung pada umumnya memiliki
lereng yang curam dan tajam atau bisa juga dikelilingi oleh puncak-
puncak atau pegunungan.
Terdapat tiga jenis tipe utama dari gunung. Gunung api,
gunung lipatan, dan gunung patahan. Ketiga tipe ini terbentuk dari
lempeng tektonik ketika bagian dari kerak bumi bergerak, roboh
dan tenggelam.Tenaga endogen, pengangkatan isotasi dan intrusi
magma mengangkat lapisan batuan ke atas dan membentuk
sebuah dataran yang lebih tinggi dari dataran sekitar.Ketinggian
dari pengangkatan ini membentuk bukit, jika bukitnya lebih tinggi
dan lebih curam maka terbentuklah gunung.
Manfaat gunung bagi kehidupan sangat banyak.Indonesia
sebagai salah satu negara dengan gunung berapi terbanyak di
dunia memiliki tanah yang subur sebagai manfaat dari abu vulkanik
yang dikeluarkan oleh gunung.Diantara manfaat gunung yaitu
menyuburkan tanah, mengeluarkan material yang bermanfaat,
sebagai tempat penyimpan air, sebagai objek wisata, dan juga
pendakian.Selain itu, gunung juga memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai penahan goncangan, penyalur pembuangan tenaga panas
bumi, menjaga keseimbangan panas antara kutub dan khatulistiwa,
penyubur tanah, dan berperan dalam siklus aliran air.
Gunung Merapiadalah gunung berapi di bagian
tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif
di Indonesia. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan
modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai
lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat
padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68
kali.Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar
terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya
masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya

1
berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat
kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas
gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api
Dekade Ini (Decade Volcanoes).
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih
besar sekitar 10-15 tahun sekali.Letusan-letusan Merapi yang
dampaknya besar tercatat pada tahun 1006 , 1786, 1822, 1872,
dan 1930. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki
kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930,
merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga
sekarang.
Sejak peristiwa erupsi, masyarakat sekitar yang bekerja di
sektor pariwisata secara praktis mengalami perubahan pendapatan
dan pola penghidupan.Hal tersebut dikarenakan modal
penghidupan mereka banyak yang mengalami kerusakan bahkan
ada pula yang hilang.Bencana erupsi sangat berdampak pada
wisata alam.Dampak tersebut mulai dari perubahan kondisi objek
wisata, jumlah kunjungan dan ekonomi masyarakat setempat yang
bekerja di sektor pariwisata.Dampak yang dihasilkan akibat erupsi
tidak selalu negatif, tetapi bisa juga erupsi tersebut berdampak
positif terhadap objek wisata dan aktifitas di dalamnya.

B. Ruang Lingkup Penulisan


Untuk memudahkan penulisan karya tulis ini, penulis
membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh pascaerupsi Gunung Merapi terhadap
perekonomian masyarakat sekitar?
2. Adakah pengaruh pascaerupsi Gunung Merapi terhadap industri
pariwisata?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh pascaerupsi Gunung Merapi
terhadap perekonomian masyarakat sekitar.
2. Untuk mengetahui pengaruh pascaerupsi terhadap industri
pariwisata.

2
D. Metode Penulisan
Dalam memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun
karya tulis ini, penulis menggunakan metode-metode dengan teknik
pengolahan data sebagai berikut:
1. Metode Observasi
Metode Observasi adalah proses pengumpulan data
dengan cara melakukan pengamatan lalu mencatatnya dengan
sistematis terhadap objek. Oleh karena itu, penulis
menggunakan metode ini agar lebih jelas dan secara langsung
dapat mengetahui Gunung Merapi yang berada di Daerah
Merapi.

2. Metode Wawancara
Metode Wawancara adalah suatu metode yang apabila kita
kunjungi langsung ketempat yang kita tinjau.Maka secara
langsung kita dapat mengumpulkan data-data secara langsung.

3. Metode Kepustakaan
Metode Kepustakaan adalah suatu sistem metode dimana
dalam pembuatan karya tulis ini penulis harus mengumpulkan
atau mencari buku yang berkaitan dengan pascaerupsi Gunung
Merapi terhadap perekonomian masyarakat sekitar dan industri
pariwisata.

E. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun karya tulis ini, penulis memutuskan untuk
melampirkan sistematika penulisan. Dimana sistematika ini untuk
memudahkan pembaca dalam memahami karya tulis ini penulis
menggunakan urutan sebagai berikut:

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
HALAMAN MOTTO
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Ruang Lingkup Penulisan
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
1. Metode Observasi
2. Metedo Wawancara
3. Metode Kepustakaan
E. Sistematika Penulisan

BAB II PENGARUH PASCAERUPSI GUNUNG MERAPI


TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR
DAN INDUSTRI PARIWISATA
A. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap Perekonomian
Masyarakat Sekitar
1. Letak Geografis Gunung Merapi
2. Kronologis Gunung Merapi
3. Kondisi Perekonomian Masyarakat Terhadap Gunung
Merapi
4. Deskripsi Perekonomian Gunung Merapi
a. Sistem Pertanian
b. Sistem Peternakan
5. Pola Adaptasi Perekonomian Masyarakat Terhadap
Gunung Merapi
a. Pola Adaptasi Pertanian
b. Pola Adaptasi Peternakan
6. Dampak Ekonomi Terhadap Pariwisata
7. Dampak Bencana Terhadap Hilangnya Mata Pencaharian
8. Estimasi Kerugian Ekonomi

B. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap Industri Pariwisata


1. Peran Kawasan Wisata Volcano Tour Sebagai Peluang
Kerja Baru Bagi Masyarakat
2. Alasan Perubahan Mata Pencaharian
3. Keberlanjutan Kawasan Wisata Volcano Tour
4. Dampak Parawisata Terhadap Ekonomi
a. Dampak Positif Parawisata Terhadap Ekonomi
b. Dampak Negatif Parawisata Terhadap Ekomoni
5. Partisipasi Pemerintah Dalam Membangun Pariwisata
Dan Perekonomian Pasca Erupsi Gunung Merapi

4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

5
BAB II
PENGARUH PASCA ERUPSI TERHADAP
PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR DAN
INDUSTRI PARIWISATA

A. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap Perekonomian


Masyarakat

1. Letak Geografis Gunung Merapi


Gunung Merapi terletak dalam wilayah provinsi Jawa
Tengah: Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan
Kabupaten Klaten: Dan Daerah Istimewa Yogyakarta:
Kabupaten Sleman. Jarak puncak Merapi dari kota terdekat
adalah sekita 3 km dari Yogyakarta, kira-kira 26,5 km dari
Magelang, lebih kurang 25 km dari Klaten dan sekitar 27,5 km
dari Boyolali. Menurut Atlas Tropische van Nederland (1938)
lembar 21,gunung ini teletak pada posisi geografi 7°32,5’
Lintang selatan dan 110°26,5’ Bujur Timur dengan tinggi pinggir
kawah sebelah Timur sebelum longsor tahun 1958 adalah 2911
M diata permukaan laut. Sementara, menurut Sandy (1977:18)
tinggi merapi adalah 2914 M diatas permukaan air laut.
Pendakian puncak gunung ini termudah jika dilakukan melalui
boyolali, dengan melwati pos observasi vulkanologi yang
terletak dikecematan selo yang memakan waktu pendakian
sekitar 3,5 sampai 4 jam. Puncak merapi dapat pula dicapai
melalui kaliurang kabupaten Sleman menerobos hutan hutan
lindung dengan resiko pendakian lebih sulit dan memakan
waktu lebih dari 4 jam.
Gunung Merapi digolongkan sebagai gunung api jenis strato
karena sering mengalami pelongsoran pada puncaknya. Ciri
strato yang dimilikinya adalah lereng terjal, Topografinya
berubah-ubah akibat tumpukan material disekitar kepundannya
labil dan melongsor sewaktu-waktu, teristimewa dimusim
penghujan. Gunung ini diaggap sebagai gunung api paling
berbahaya di Indonesia selain Gunung Kelud di Jawa Timur dan
gunung Awu di pulau sangir, Sulawesi Utara (Pardyanto, et al.
1982 : 18), dan dimasukkan kedalam tipe A didasarkan pernah

6
meletus dalam data sejarah, baik data yang didaptkan secara
lisan melalui penduduk setempat maupun data yang diperoleh
para ahli Geologi.
Gunung yang sangat giat ini terletak di titik silang dua buah
sesar, yaitu sesar Transversal yang memisahkan Jawa Timur
dan Jawa Tengah, dan sebuah Sesar Longitudinal lewat Jawa.
Kegiatan gunung Merapi selalu berpindah-pindah dari Utara ke
Barat laut kemudian ke barat daya hingga kini (Suriyo dan
Kumudinata, 1973 : 4). Puncak merapi acap berubah-ubah,
Kadang-kadang ditempati doma lava. Di puncak Merapi terdapat
4 buah kawah yaitu pasar bubar, pusung London, Kawah 48
dan 46, dengan 5 buah lapangan fumarola yaitu woro I, II, III
dan gendol A, B (Reksowirogo, 1979 : 250). Terdapat 13 sungai
yang akan dipenuhi banjir material merapi terutama lahar disaat
saat meletus dan musim penghujan, ialah sungai Wowo,
Gendol, Kuning, Kode, C, Bebeng, Boyong, Krasak, Batang,
Putih, Lamat, Blongkeng, Senowo, dan Pabean.

2. Kronologis Gunung Merapi


Indonesia adalah salah satu negara yang berada pada jalur
Ring of Fire, yaitu daerah yang sering mengalami gempa bumi
dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan
Samudra Pasifik sehingga Indonesia memiliki banyak gunung
api yang tersebar sepanjang pulau Sumatera sampai Sulawesi.
Posisi Indonesia yang berada pada Lingkaran Cincin Api Pasifik
ini menyebabkan Indonesia sering mengalami peristiwa gempa
bumi dan gunung meletus (erupsi).
Selama kurun waktu tahun 1970-2010 tercatat telah terjadi 5
peristiwa gunung meletus yang tergolong besar, antara lain
letusan Gunung Merapi tahun 2010, letusan Gunung Kelut
tahun 1990, letusan Gunung Colo tahun 1983, letusan Gunung
Galunggung tahun 1982, dan letusan Gunung Merapi pada
tahun 1972. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui Gunung
Merapi telah mengalami dua kali erupsi besar selama kurun
waktu 40 tahun terakhir.Gunung Merapi adalah gunung termuda
dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari
Gunung Ungaran.Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona
subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah

7
Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di
sepanjang bagian tengah Pulau Jawa.
Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena
aktivitas vulkanik semakin tinggi.Pada tahun 2010 Gunung
Merapi telah mengalami dua kali erupsi yaitu pada tanggal 26
Oktober 2010 dan 5 November 2010.Akibat erupsi tersebut,
kawasan rawan Bencana Gunung Merapi mengalami kerusakan
parah. Tercatat dampak bencana erupsi Gunung Merapi
tersebut telah menimbulkan total kerusakan dan kerugian
sebesar Rp 3,557 triliun.
Bencana alam dapat memberikan dampak dalam penurunan
ekonomi lokal serta hilangnya mata pencaharian
masyarakat.Aset natural, finansial, fisik, manusia, dan sosial
dapat terdampak sehingga pasar menjadi kacau dan efek dari
semua itu adalah terganggunya kondisi sosial serta ekonomi
wilayah yang mengalami bencana (FAO & ILO, 2009).Erupsi
Gunung Merapi ini tentunya dapat menimbulkan dampak bagi
masyarakat sekitar dan lingkungan.Pasca peristiwa
terjadinyabahaya yang memicu bencana, terdapat kelompok
masyarakat yang selamat dan bertahan hidup. Namun, mereka
harus merasakan dampak tidak hanya pada segi fisik, tetapi
mereka juga dapat menghadapi adanya potensi dampak sosial,
seperti stagnasi pertumbuhan ekonomi, melemahnya hubungan
sosial, meningkatnya angka kemiskinan, hilangnya mata
pencaharian dan lainnya

3. Kondisi Perekonomian Masyarakat Terhadap Gunung


Merapi
Kondisi perekonomian di beberapa wilayah Kabupaten
Magelang nyaris lumpuh pasca hujan abu dan pasir erupsi
Merapi, sementara aktivitas perdagangan di Kota Yogyakarta
mulai pulih meski abu masih menyelimuti kota itu. Di beberapa
wilayah Magelang seperti di Muntilan sejak Rabu hingga
Minggu, di beberapa titik tidak ada toko yang buka, begitu juga
di kawasan Borobudur perdagangan nyaris lumpuh total.
Pasar tidak buka sehingga yang pedagang tidak berjualan.
Buruh-buruh bangunan tidak mendapatkan pekerjaan.Padahal,
bagi mereka, hasil upah kerja hari ini adalah untuk biaya hidup
esok hari.Kalau sudah tujuh hari tidak bekerja otomatis tidak

8
ada pemasukan.Warga masyarakat yang sangat membutuhkan
bantuan, meliputi dusun Ngasem, Bintaro, Nepen dan dusun
lainnya di desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan.Ada juga di
desa Tersangede, Kecamatan Salam.Masih ada banyak lagi
daerah nasibnya seperti itu dan belum mendapatkan bantuan.
Warga korban bencana letusan Merapi saat ini memang
mengalami kelangkaan kebutuhan pangan. Sementara selama
Gunung Merapi meletus, mereka tidak bisa bekerja sehingga
mereka pun tidak mempunyai uang untuk membeli kebutuhan
makan. Warga masyarakat tersebut bahkan terancam
kelaparan. Yang pedagang tidak bisa berjualan karena
perekonomian berhenti. Sedangkan, warga yang menjadi
penambang pasir juga takut mencari pasir karena banjir lahar
dingin. Intinya, kegiatan perekonomian mereka terhenti
sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Erupsigunung Merapi juga berdampak pada pertanian dan
peternakan sekitar lereng Merapi salah satunya seperti tanaman
kopi dan ternak sapi perah di Dusun Jambu, Desa Kepuharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Propinsi DIY.
Erupsi gunung Merapi mengakibatkan sumber air menjadi rusak
sehingga peternak mengalami kesulitan mendapatkan air untuk
ternaknya. Pada saat hujan abu yang terkena dampak adalah
hijauan pakan ternak karena helai daun terkontaminasi oleh abu
sehingga banyak peternak membeli pakan hijauan dari luar
daerah yaitu dari Kabupaten Gunungkidul dan Kab. Kulonprogo
dengan harga Rp 5000,- per 40 kg.
Hal tersebut menyebabkan biaya produksi menjadi lebih
tinggi dan berakibat sebagian peternak yang menjual ternaknya
dengan harga sangat murah yaitu 50% dari harga normal.
Akibat dari aktivitas Gunung Merapi terjadi penurunan
produktivitas susu dan kopi glondong. Pada kondisi normal
(tidak ada aktivitas Merapi) produksi susu sebesar 9-10 liter per
hari per ekor, dengan adanya aktivitas Merapi produksi susu
turun menjadi 7-8 liter/hari/ekor, sedang produktivitas kopi
glondong turun 33%. Dampak letusan gunung Merapi terhadap
produksi pakan ternak juga dirasakan oleh sebagian besar
peternak di kawasan lereng Gunung Merapi. Rumput untuk
pakan ternak tidak dapat termanfaatkan sepenuhnya karena
tercampur dengan abu. Hal ini dapat diketahui dari hasil
wawancara dan observasi lapang terhadap peternak dan

9
petugas Dinas Peternakan setempat serta ternak sapi yang ada
di lokasi dampak. Diketahui bahwa sekitar 10 – 12 kg dari 30 –
40 kg rumput dan daun- daunan yang diberikan pada ternak
tidak termakan. Berdasarkan data tersebut dapat diprediksikan
bahwa pakan yang terbuang sebanyak 22,30%.
Letusan Gunung Merapi juga berimbas pada sektor
pariwisata di Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah yang dekat
dengan gunung berapi teraktif di dunia tersebut.Sejumlah lokasi
pariwisata terpaksa ditutup akibat serangan debu vulkanik
Merapi.Sementara tempat wisata yang buka mengalami
penurunan jumlah pengunjung. Kawasan wisata Candi
Borobudur, misalnya.Untuk sementara objek wisata Borobudur
ditutup akibat tebalnya abu dan material pasir dari Gunung
Merapi yang menyelimuti semua bangunan candi.Ketebalan abu
vulkanik yang menempel pada bangunan candi mencapai tiga
centimeter.
Menurut pihak Balai Konservasi dan Taman Wisata Candi
Borobudur, candi akan ditutup untuk proses pembersihan
kembali. Pembersihan dilakukan karena abu vulkanik
mengandung tingkat keasaman yang tinggi yang dikhawatirkan
bisa merusak struktur batu candi.Erupsi Merapi juga
berpengaruh pada menurunnya jumlah pengujung di Candi
Prambanan di Klaten, Jateng.Penurunan kunjungan mencapai
30 hingga 50 persen.Sebelum Merapi meletus, biasanya akhir
pekan pengunjung candi mencapai 5.000 orang.Kini hanya
sekitar seribu hingga 1.500 saja.
Kondisi tak jauh berbeda dialami objek-objek wisata lainnya
di Provinsi DIY dan Jateng.Akibat letusan Merapi, pariwisata di
Kabupaten Sleman bagian utara, lumpuh total.Sebanyak
sembilan lokasi wisata yang berada di dalam zona rawan
bencana Merapi--sejauh 10 - 20 kilometer--telah tutup.
Rencananya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat akan
menutup tidak langsung 4 lokasi wisata lainnya.
Untuk mengurangi kerugian lebih banyak serta menjaring
wisatawan, pemerintah setempat akan mengalihkan tujuan
wisata ke obyek wisata sejarah yang masih bertahan serta
aman. Dengan tutupnya obyek wisata itu Pemda Sleman telah
kehilangan pemasukan retribusi dari berbagai sektor wisata,
seperti sektor pariwisata alam, belanja, pendidikan, agrowisata
serta minat khusus. Jumlah pengunjung 5.000 orang pada hari

10
biasa serta meningkat tiga kali lipat saat event tertentu, saat ini
anjlok hingga nol persen.
Kita hanya dapat berharap pemerintah segera memulihkan
perekonomian warga lereng Merapi. Sebab, warga sudah terlalu
lama di pengungsian dan kehilangan pekerjaannya. Antara lain
dengan membantu membangkitkan aktivitas ekonomi
masyarakat seperti pasar tradisional agar kehidupan
masyarakat berangsur-angsur pulih.

4. Deskripsi Perekonomian Akibat Erupsi Gunung Merapi


a. Kondisi Pertanian
Sebelum tahun 1912 penduduk melakukan
peladangan didalam hutan.Pada waktu itu setiap keluarga
rata-rata memiliki area perladangan didalam hutan sebanyak
3 sampai 4 tempat.Masing-masing tanah garapan diolah
maksimum sebanyak 3 sampai 4 kali masa panen, kemudian
dibelokkan selama 2 tahun lebih. Setelah pohon-pohon
keras ditebang dan proses pembakaran selesai, dimulai lah
segera masa tanam pertama. Panen pertama tidak begitu
berhasil akibat belum semua daun mengalami
pembusukan.Panen kedua dan ketiga merupakan panen
yang berhasil baik karena daun daun telah membusuk
secara sempuirna sehingga kesuburan tanah
meningkat.Panen keempat, biasanya, hasilnya kembali
berkurang atau menyusut seperti panen pertama; tanah
mulai berkurang kesuburannya.Ini berartitanah harus segera
diberokan sehingga sebidang tanah baru perlu dibuka dan
diolah. Proses itu berlangsung selama beberapa tahun dan
akan kembali ke bidang tanah yang pertama setelah
diperkirakan kesuburannya pulih.
Tanaman utama ditegalan adalah jagung yang
merupakan makanan utama sehari hari. Khusus di Wukirsari,
pekarangan banyak ditanami tanaman obat obatan seperti
adas, pulosari, dan sejenisnya, sedangkan tanaman yang
diusahakan secara khusus untuk diperdagangkan adalah
tembakau.
Hasil tegalan dan pekarangan biasanya hanya pas
pasan untuk dikonsumsi keluarga.Apabila terdapat kelebihan

11
hasil pertanian barulah kelebihannya dibawah kepasar
terdekat untuk ditukarkan dengan kebutuhan sehari hari
seperti garam, minyak goring, minyak tanah, sabun, gula,
dan sebagainya. Harga kayu bakar perikat, sebesat 40
sampai 50 kg, dipasar terdekat sekitar Rp.750,00 hingga
Rp.1000,00 (pada 1991). Pada musim kemarau rumput akan
menjadi barang komoditi yang dijual dipasar pasar terdekat
dengan harga antara Rp.500,00 sampai Rp.750,00 untuk
satu pikul, seberat 50 kg (tahun 1991).
Beralih mengenai erupsi Gunung Merapi terhadap
pertanian, erupsi tersebut telah menghasilkan sekitar 140
juta m3 material erupsi.Material dan awan panas yang
dikeluarkan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lahan
pertanian, perkebunan, dan infrasrtuktur irigasi. Material
vulkanik menutupi lahan pertanian rata-rata setebal 5-10 cm,
bahkan mencapai 29 cm. Material ini mempunyai sifat fisik
yang keras dan sulit ditembus air.
Material piroklastik atau tuf-volkanik dari erupsi
Gunung Merapi menimbulkan kerusakan lahan pertanian,
perkebunan, pemukiman, dan lain-lain.Kerusakan yang
berdampak berat terhadap lahan pertanian adalah
penurunan sifat fisik dan kimia tanah.Materi kasar erupsi
mengubah sifat-sifat tanah produktif menjadi tidak subur dan
menurunkan produktivitasnya dalam tempo relatif
singkat.Sifat fisik material tuf-volkanik pada umumnya
bertekstur kasar/pasir, berat volume tanah tinggi, dan
kapasitas daya pegang air sangat rendah, sehingga
berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya longsor,
terutama pada wilayah berlereng. Lapisan atas dari bahan
tuf-volkanik umumnya memiliki unsur dan kapasitas tukar
kation sangat rendah.
Meskipun kadar P dan K total tanah tergolong tinggi,
namun sebagian besar P dan K tanah berada dalam bentuk
yang tidak dapat dipertukarkan, sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Upaya yang diperlukan untuk perbaikan lahan
rusak adalah rehabilitasi dan konservasi tanah, yang
mencakup tiga aspek, yaitu:
1. Memperbaiki tanah yang telah rusak (didasarkan atas
peta-peta tanah – tataguna lahan – bahaya erosi –
kapabilitas lahan).

12
2. Melindungi tanah dari kerusakan (didasarkan atas
pertanian – konservasi – usahatani konservasi – sistem
pengawasan).
3. Membuat tanah semakin subur (didasarkan atas
konservasi tanah – komprehensif - mempercepat
tercapainya suksesi alami).
Penyuluhan kepada masyarakat akan menginspirasi mereka
dalam upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dan perbaikan
lingkungan.

b. Kondisi Peternakan
Sebelum tahun 1912 ternak hanya berfungsi sebagai
tabungan dan status social, kemudian bertambah fungsinya
sebagai pendukung sistem pertanian, yaitu sebagai
penghasil pupuk kandang untuk menyuburkan tanah tegalan
dan pekarangan. Selain itu, pertenakan sapi terutama sapi
perah akan menghasilkan susu untuk meningkatkan
kesehatan keluarga atau untuk menambah penghasilan
keluarga. Selain dikonsumsi sendiri susu perah ini mereka
pasarkan ke KUD setempat dengan harga Rp.200,00 perliter
(tahun1991).
Hasil identifikasi jumlah sapi potong dan sapi perah
yang mati akibat erupsi gunung Merapi dilaporkan masing-
masing adalah 1,2 dan 8,3% dari total ternak yang terancam
yang berada di KRB I, II dan III. Proporsi ternak terancam
terhadap populasi sebelum terjadi erupsi gunung Merapi
berturut-turut adalah 14,1; 39,1 dan 21,5% untuk ternak sapi
potong, sapi perah dan kerbau (PUSLITBANG
PETERNAKAN, 2010). Dilaporkan bahwa erupsi gunung
Merapi tidak menyebabkan kematian pada ternak kerbau,
meskipun terinventarisasi sekitar 21,5% berada dalam
wilayah KRB.
Pemerintah sangat mengkhawatirkan kondisi populasi
ternak ruminansia besar (sapi potong, sapi perah dan
kerbau) akibat erupsi gunung Merapi ini.Ternak unggas,
domba dan kambing sebenarnya mengalami kematian yang
cukup besar, namun informasi yang diperoleh menjadi tidak
lengkap karena pemerintah hanya fokus pada ternak
ruminansia besar.Jumlah ternak mati di masing-masing
wilayah untuk ternak sapi disajikan secara rinci pada Tabel

13
1. Jumlah ternak mati terbanyak adalah di Kabupaten
Sleman mencapai 2.468 ekor atau sekitar 21% dari populasi
ternak terancam di wilayah tersebut. Jumlah kematian ternak
lain seperti domba, kambing dan unggas tidak teridentifikasi
secara lengkap di masingmasing kabupaten. Hal ini
diakibatkan karena pemerintah memang hanya akan
melakukan ganti rugi serta pembelian ternak untuk sapi dan
kerbau.

Tabel 1. Jumlah ternak sapi yang mati akibat erupsi Merapi


Jumlah ternak mati (ekor)
Kabupaten
Sapi potong Sapi perah
Boyolali 14 52
Klaten 223 132
Magelang 16 td
Sleman 235 2.233
Total 488 2.419
Td: Tidak diketahui
Sumber: TIM IDENTIFIKASI PENANGANAN TERNAK
KORBAN MERAPI, 1 DESEMBER 2010 (unpublished)

Kematian ternak disebabkan oleh berbagai hal,


utamanya adalah terkena awan panas dan lahar Merapi saat
terjadinya erupsi bagi ternak-ternak yang belum sempat
dievakuasi. Sebagian besar peternak yang tergabung dalam
Koperasi Peternakan ‘Sarono Makmur’ di Dusun Srunen,
Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten
Sleman mengalami kerugian akibat ternak sapi perah yang
mati cukup besar. Dari populasi sekitar 1.450 ekor, 83%
diantaranya mati terkena awan panas dan 150 ekor lainnya
terpaksa dijual akibat luka bakar yang sangat parah.
Koperasi ini merupakan salah satu koperasi susu yang
terdampak erupsi gunung Merapi paling parah dibandingkan
2 koperasi susu lainnya. Koperasi ‘UPP Kaliurang’ yang
terletak di Dusun Boyong, Desa Hargobinangun, Kecamatan
Pakem dan Koperasi Susu ‘Warga Mulya’ di Dusun Bunder,
Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten
Sleman tidak terlalu mengalami dampak erupsi secara
langsung. Kedua koperasi ini berada di wilayah barat Kali
Gendol yang menjadi kanal utama aliran lahar dan awan

14
panas.Kematian sapi dilaporkan sebanyak 22 ekor yang
disebabkan karena sapi-sapi tersebut tidak sempat
dievakuasi ke lokasi penampungan sementara, sehingga
tidak terurus karena tidak ada yang memberi pakan dan
minum. Rendahnya jumlah ternak yang dievakuasi
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah
keterbatasan sarana penampungan ternak dan ketersediaan
pakan baik hijauan maupun konsentrat. Sampai dengan
batas akhir tahap identifikasi dan inventarisasi ternak yang
telah ditetapkan, tercatat sejumlah 183 titik lokasi
penampungan ternak sementara, dimana Kabupaten
Sleman, yang didominasi oleh usaha peternakan sapi perah,
masih menunjukkan adanya peningkatan jumlah lokasi sejak
awal bulan November sampai dengan awal Desember 2010.
Hal ini sangat dipahami mengingat ke-3 kabupaten lain yang
berada di wilayah Jawa Tengah I dan II sudah kembali
dalam posisi aman dari KRB.
Pemerintah telah menetapkan harga pembelian
ternak sapi dan kerbau berdasarkan jenis dan umur
ternak.Sapi jantan siap potong adalah Rp. 22 ribu/kg bobot
hidup dan sapi betina tidak produktif adalah Rp. 20 ribu/kg
bobot hidup. Pedet dihargai maksimal Rp. 5 juta/ekor, sapi
dara sekitar Rp. 7 juta/ekor, sementara sapi bunting dan sapi
perah sedang laktasi, masingmasing adalah Rp. 9 juta/ekor
dan Rp. 10 juta/ekor. Pemerintah juga menetapkan akan
mengganti ternak yang mati melalui mekanisme yang telah
ditetapkan dengan petunjuk teknis dari Ditjen Peternakan,
Kementerian Pertanian. Berdasarkan informasi dan hasil dari
narasumber kunci maupun pengolahan data dari berbagai
sumber di tingkat kabupaten, menunjukkan bahwa diperoleh
data tentang dinamika populasi ternak mati berdasarkan
umur ternak sesuai dengan kondisi yang ada di lokasi
penampungan sementara.Persentase komposisi ternak yang
terdapat di lokasi penampungan sementara pada masing-
masing kabupaten disajikan dalam Tabel 2.Hal ini
dipergunakan dalam mengestimasi kerugian ekonomi pada
ternak mati.

15
5. Pola Adaptasi Perekonomian Masyarakat Terhadap
Gunung Merapi
a. Pola Adaptasi Pertanian
Pengukuhan hutan di lereng merapi sebagai hutan
lindung sejak tahun 1912 menyebabkan penduduk
meninggalkan sistem pertanian peladangan dan beralih ke
sistem tegalan dengan mengintensifkan pengelolaan tanah
yang terletak dipinggir-pinggir hutan lindung, dipinggir jurang,
yang terletak diperbatasan desa. Tanah yang dipilih adalah
tanah yang terbebas dari pasir dan batuan vulkanik serta
rata.Alasan pemilihan tanah seperti itu karena tanah yang
berbatu kebanyakan tidak subur dan sangat mungkin dihuni
lelembut.Selain itu, tanah yang rata dan tidak berpasir lebih
mudah untuk digarap dan ditanami.
Dalam setahun tanaman jagung hanya ditanam
sebanyak dua kali meskipun pada rata-rata umur 90 hari
sudah dapat dituai. Keadaan ini disebabkan terbatasnya
jumlah tenaga kerja dalam keluarga untuk menanam dan
memanen jagung lebih dari dua kali dalam setahun; juga
kebutuhan pupuk kandang akan meningkat, padahal belum
pasti setiap keluarga dapat memenuhinya. Kecuali itu,
kesuburan tanah menjadi berkurang jika ditanami jagung
lebih dari dua kali dalam setahun.Beberapa bidang tanah
tegalan sengaja diberokan karena terbatasnya tenaga kerja
dalam keluarga.Pemberian itu, juga ditujukan untuk
mengembalikan kesuburan tanah dan penyedia makanan
ternak.
Tanaman penyeling diusahakan tidak hanya di
tegalan, tetapi juga di kebun yang terletak di pekarangan
rumah, yang digunakan untuk menutupi kebutuhan
konsusmsi keluarga sehari-hari.Tanaman penyeling ini
sengaja mereka pilih karena mudah ditanam, dipelihara, dan
berumur pendek, sehingga dapat dipetik hasilnya sewaktu-
waktu.
Sebagian besar hasil panenan yang biasanya
disimpan didalam lumbung atau pogo, dikonsumsi seluruh
anggota keluarga dan sebagian lainnya disediakan sebagai
bibit untuk masa tanam berikutnya.Apabila terdapat sisa
hasil panen, barulah mereka jual ke pasar terdekat untuk
ditukarkan dengan barang kebutuhan hidup sehari-hari yang

16
tak dapat diproduksi sendiri, seperti sabun, minyak tanah,
dan goreng, dan sebagainya.
Masa panen pertama, seusai hujan abu, merupakan
masa sulit, tanah belum begitu subur karena lapisan teratas
banyak mengandung abu vulkanik yang masih panas.Akan
tetapi, panen berikutnya merupakan panen yang melimpah
ruah, sebab tanah menjadi lebih subur daripada
sebelumnya.

b. Pola adaptasi Peternakan


Adanya pengukuhan hutan lindung membawa akibat
berubahnya teknik pemeliharaan, dari teknik penggembelan
ke teknik pemeliharaan didalam kandang, dengan
risikopemilik ternak harus merumput setiap hari.Untuk
mempercepat perkembangan tubuh dan daya tahan ternak
terhadap penyakit, setiap sore ternak dikeluarkan dari
kandang dan diajak berjalan-jalan menggerakkan badan
keliling desa.
Kandang ternak dibangun seluas sekitar enam meter
persegi atau lebih di samping teampat tinggal mereka.
Kandang ini terbuat dari bambu atau kayu, beratapkan
genting atau alang-alang kering bagi yang tidak berpunya.
Pada hari biasa perumputan dilakukan setiap pagi
dan sore di pekarangan maupun di tegalan dan di dalam
hutan lindung yang berbatasan dengan desa.Pada musim
kemarau perumputan hanya dilakukan pada pagi hari saja
karena sulitnya mendapatkan rumput hijau.Untuk mencukupi
kebutuhan ternak pada musim itu, pada siang hari penduduk
mencari rambanan yang terdapat di pekarangan dan di
tegalan.Pada musim itu, mereka terpaksa melalukan
perumputan di lereng atas sejarak sekitar tiga-empat jam
perjalanan pergi-pulang.

6. Dampak Ekonomi Terhadap Pariwisata


Secara formal, para ahli membedakan dampak ekonomi
yang terjadi karena kegiatan pariwisata, terdiri dari Efek
Langsung (Direct Effects), Efek Tidak Langsung (Indirect
Effects) dan Efek Induksi (Induced Effects). Sementara itu,
Efek Tidak Langsung dan Efek Induksi kadang-kadang

17
disebutnya sebagai Efek Sekunder (Secondary Effects) yang
menyertai Efek Langsung selaku Efek Primer (Primary Effect).
Dampak total ekonomi pariwisata merupakan jumlah
keseluruhan dampak yang terjadi baik langsung, tidak langsung
maupun induksi, yang masing-masing dapat diukur sebagai
keluaran bruto (gross output) atau penjualan (sales),
penghasilan (income), penempatan tenaga kerja (employment)
dan nilai tambah (value added).
a) Direct Effects
Perubahan produksi sehubugan dengan dampak langsung
atas perubahan belanja wisatawan. Misalnya, kenaikan
jumlah wisatawan yang menginap di hotel-hotel akan
langsung menghasilkan kenaikan penjualan di sektor
perhotelan. Tambahan Penjualan yang diterima hotel-hotel
dan perubahan pembayaran yang dilakukan hotel-hotel
untuk upah dan gaji karyawan, pajak dan kebutuhan barang
dan jasa merupakan effek langsung (direct effect) dari
belanja wisatawan itu.

b) Indirect Effects
Perubahan produksi yang dihasilkan dari pembelanjaan
berbagai babak berikutnya dari penerimaan hotel kepada
industri para pemasoknya, yaitu pemasok barang dan jasa
kepada hotel. Misalnya, perubahan penjualan, lapangan
kerja dan penghasilan dalam industri linen (sprei, selimut,
bed-cover, handuk, taplak dsb.) adalah salah satu dari efek
tidak langsung (indirect effect) dari perubahan penjualan
hotel. Usaha-usaha pemasok barang dan jasa kepada
perusahaan linen merupakan babak lain dari efek tidak
langsung, yang akhirnya tidak terlepas dari keterkaitan hotel
dengan banyak sektor ekonomi lainnya di daerah itu sampai
pada beberapa tingkat.

c) Induced Effects
Perubahan dalam kegiatan ekonomi yang terjadi karena
belanja rumah tangga dari penghasilan yang diperoleh
langsung atau tidak langsung dari belanja wisatawan.
Misalnya, karyawan hotel dan industri linen, yang ditunjang
langsung atau tidak langsung oleh adanya pariwisata,
membelanjakan uang mereka di daerah setempat untuk
perumahan, makanan, angkutan dan serangkaian kebutuhan
barang dan jasa untuk rumah tangga. Maka penjualan,
penghasilan dan lapangan kerja yang dihasilkan oleh belanja
rumah tangga dari tambahan upah, gaji atau penghasilan
pemilik merupakan Efek Induksi (induced Effects).

18
Angka-angka yang digunakan merupakan angka yang lazim
dijumpai dalam penelitian dampak ekonomi pariwisata pada
umumnya.Masing-masing penelitian dapat menunjukkan angka-
angka yang berbeda dan mungkin lebih lengkap tergantung
pada luas lingkupnya. Penelitian yang lebih lengkap mungkin
akan mengukur juga sektor mana yang menerima dampak
primer atau sekunder dan mungkin juga mengungkapkan
perbedaan tentang belanja serta dampak dari sub-kelompok
(market segment) wisatawan tertentu. Penelitian lain dapat juga
mengungkapkan dampak perpajakan dari belanja wisatawan
dengan menerapkan tingkat pajak daerah itu atas perubahan
penjualan dan penghasilan yang terkait. Selain itu, dampak
lainnya seperti konstruksi serta kegiatan pemerintah (lintas
sektoral, pusat dan daerah) yang berkaitan dengan pariwisata
dapat juga diperhitungkan.
Melalui efek tidak langsung dan efek induksi, perubahan
belanja wisatawan sebetulnya dapat mempengaruhi tiap sektor
ekonomi dengan berbagai jalan.Besaran efek sekunder
tergantung pada kecenderungan usaha dan rumah tangga di
daerah tersebut untuk membeli barang dan jasa dari pemasok
lokal. Efek induksi akan dirasakan, khususnya jika sebuah
pemberi kerja menutup usahanya. Bukan hanya industri
penunjangnya yang menderita (indirect effect), melainkan
seluruh ekonomi setempat terkena dampaknya mengingat
berkurangnya penghasilan rumah tangga di daerah
itu.Misalnya, toko-toko eceran tutup, “kebocoran uang” ke luar
daerah itu meningkat karena penduduk pergi ke luar daerah
untuk mencari barang dan jasa. Dampak sebaliknya akan
terjadi jika kenaikan penghasilan dan lapangan kerja meningkat
tajam.
Pemakai terakhir (Final demand) merupakan istilah yang
acap digunakan oleh para ekonom untuk penjualan kepada
konsumen terakhir.Nah, bagaimana dengan
pariwisata?Pemakai terakhir barang dan jasa pariwisata adalah
rumah tangga, yaitu rumah tangga para wisatawan, para
karyawan, pegawai negeri, para pengusaha, para petani, para
peternak dsb.Demikian pula halnya belanja pemerintah dinilai
sebagai pemakai terakhir.

7. Dampak Bencana Terhadap Hilangnya Mata


Pencaharian
Sebelum bencana, sebagian besar masyarakat Umbulharjo
bekerja sebagai peternak. Data dari Potensi Desa Umbulharjo
menunjukkan bahwa pada tahun 2008, jumlah penduduk yang

19
bekerja sebagai peternak adalah 2.520 orang atau sebesar
57,53% dari total penduduk Desa Umbulharjo, sedangkan pada
tahun 2011, setelah terjadi bencana, masyarakat yang bekerja
sebagai peternak hanya sebesar 327 orang atau sebesar 6,99%
dari jumlah penduduk Desa Umbulharjo secara keseluruhan.
Artinya jumlah peternak berkurang sebesar 2.193 orang jika
dibandingkan pada tahun 2008.
Penurunan jumlah peternak tersebut disebabkan oleh
banyaknya ternak yang menjadi korban erupsi Gunung Merapi
pada tahun 2010, akan tetapi bukan hanya hal tersebut saja
yang menjadi alasan. Pemerintah sebenarnya telah berusaha
untuk memberikan uang ganti rugi pada ternak yang mati, yakni
8,5 juta untuk ternak induk, 5,5 juta untuk ternak dara, dan 3,5
juta untuk ternak yang masih kecil. Sebenarnya dengan uang
tersebut bisa saja masyarakat kembali membeli ternak dan
kembali menjadi peternak, akan tetapi karena dampak yang
terjadi akibat bencana mencakup hampir seluruh aspek
kehidupan, maka sebagian besar masyarakat lebih memilih
menggunakan uang tersebut sebagai simpanan untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Oleh Chambers dan
Conway (1991), strategi bertahan hidup seperti ini disebut
dengan strategi penyimpanan (hoard), hal ini dilakukan agar
masyarakat mampu mengatasi tekanan yang terjadi pada
kehidupannya.
Hal lain yang juga menyebabkan masyarakat kehilangan
pekerjaan adalah kondisi yang serba sulit dalam memelihara
ternak di tempat penampungan. Sebelum bencana, masyarakat
peternak memiliki kandang ternak di setiap rumahnya, namun
kehancuran rumah membuat masyarakat harus mengungsi.Di
tempat pengungsian, kondisi kandang komunal yang disediakan
oleh pemerintah sangat tidak mendukung.Luas kandang begitu
sempit dan air sulit dicari untuk memelihara ternak.Belum lagi
sumber pakan ternak juga sulit didapatkan akibat tidak adanya
rumput yang tumbuh beberapa saat pascabencana.Dengan
demikian ternak yang masih hidup dijual.Hal ini lah yang
membuat peternak kehilangan pekerjaan meski ternaknya tidak
menjadi korban dalam erupsi Merapi 2010.

8. Estimasi Kerugian Ekonomi


Estimasi kerugian ekonomi yang dilakukan meliputi faktor
sumberdaya, yang terdiri dari lahan kebun hijauan dan jumlah
ternak. Faktor lain seperti tenaga kerja dan modal tidak
diperhitungkan dalam diperlukan.
Estimasi kerugian ekonomi pada usaha peternakan
dilakukan dengan perhitungan volume dan nilai masing-masing

20
komoditas, seperti jumlah ternak mati dan kebun hijauan pakan
ternak yang rusak. Komponen lain seperti sarana kandang dan
alat-alat pendukung serta SDM peternakan tidak diperhitungkan
dalam kajian ini. Informasi yang akurat tentang hal ini sulit
diperoleh karena peternak masih dalam kondisi yang tidak
kondusif dan sebagian besar masih tinggal di barak-barak
pengungsian.Estimasi yang dilakukan mengacu kepada jumlah
ternak mati (sapi dan kerbau) berdasarkan komposisi
persentase ternak.Ternak domba dan kambingdiasumsikan 10%
mengalami kematian dari total ternakyang terancam. Nilai
ekonomi diestimasi berdasarkannilai yang berlaku saat
pengamatan di lapang danpenetapan harga dari pemerintah
untuk ternak sapi dankerbau.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa kerugian terbesar dalam
usaha peternakan terjadi di wilayah Kabupaten Sleman,
mencapai lebih dari 43 milyar.Hal ini disebabkan karena
identifikasi ternak di wilayah ini berjalan dengan sangat baik,
sehingga semua komponen dapat diestimasi kerugiannya.
Estimasi kerugian ini berdasarkan jumlah ternak yang mati,
kerusakan kebun hijauan pakan ternak serta menurunnya
produksi susu selama 3 bulan. Kerugian-kerugian lain, seperti
kerusakan infrastruktur lembaga pemasaran susu berupa
peralatan mulai dari tingkat peternak sampai koperasi susu
belum diestimasi secara rinci. Estimasi kerugian ekonomi pada
usaha peternakan hampir mencapai Rp. 55 milyar, belum
termasuk dengan jumlah ternak yang telah dan akan dijual.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya banyak
ternak sapi yang telah dijual oleh peternak.Tim identifikasi
melaporkan bahwa sampai dengan tanggal. 1 Desember 2010
tercatat sejumlah 83 ekor sapi potong dan 331 ekor sapi perah
telah dijual oleh peternak di Kabupaten Sleman. Selain memang
kondisi sapi yang sudah cukup parah akibat luka bakar,
pemeliharaan ternak di lokasi penampungan ternak sementara
dan berada di tempat pengungsian menjadi alasan lain bagi
para peternak yang telah dan ingin menjual ternaknya. Kerugian
ekonomi akibat erupsi gunung Merapi yang mengakibatkan
ternak sapi yang sudah terjual dan akan dijual oleh peternak.
Informasi ini dilaporkan hanya untuk ternak sapi potong dan sapi
perah.
Estimasi total kerugian ekonomi pada usaha peternakan
mencapai Rp. 88,320 milyar di ke-4 kabupaten terdampak
erupsi Merapi. Hal ini mungkin saja merupakan nilai yang under
estimate mengingat estimasi berdasarkan informasi yang
diperoleh dengan akurat dan terdapat beberapa data yang tidak
dilaporkan. Sebagai contoh, ternak domba dan kambing yang
cukup banyak ditemukan di lokasi penampungan ternak

21
sementara mengindikasikan bahwa mungkin juga banyak ternak
tersebut yang sudah dijual atas akan dijual oleh peternak.
Namun, hal ini tidak dilaporkan secara reguler dan tim
identifikasi tidak menginventarisir ternak lain selain sapi dan
kerbau. Demikian pula halnya, dengan komoditas ayam ras
(pedaging dan petelur) yang terdampak erupsi Merapi di wilayah
selain Kabupaten Sleman. Pernyataan pemerintah tentang
penggantian ternaksapi dan kerbau yang akan dijual mencapai
sekitar Rp. 29,75milyar. Hal ini masih jauh di bawah rencana
alokasi anggaran pembelian ternak sebesar Rp. 100
milyar.Anggaran tersebut memang tidak dialokasikan
seluruhnya untuk pembelian ternak, namun juga untuk sarana
pendukung lainnya seperti pengadaan pakan, obat-obatan dan
kandang relokasi sementara.Pada kenyataannya juga bahwa
tidak semua peternak berkeinginan untuk menjual
ternaknya.Pemerintah juga telah menetapkan untuk mengganti
ternak yang mati, bahkan Menteri Pertanian juga menyatakan
akam mengganti ternak yang mati, selain sapi dan kerbau
(KOMPAS, 2011).Hal ini menunjukkan bahwidentifikasi perlu
menggali kembali up datinginformasi untuk pengumpulan data-
data ternak selainsapi dan kerbau.
Estimasi kerugian ekonomi berdasarkansumberdaya petani
yang dimiliki meliputi lahan, tenagakerja dan modal tidak dapat
dihitung secarakeseluruhan. Kerugian karena lahan pertanian
yangrusak akibat tertutup abu vulkanik tidak akanmenghasilkan
produksi untuk jangka waktu yang relative cukup lama dan hal
ini akan berdampak terhadapterganggunya proses produksi.
Tenaga kerja keluargajuga mengalami dampak kerugian ini
karena lapanganpekerjaan yang hilang maupun tidak
memperolehpenghasilan sebagai upah buruh
kerja.Pemerintahdiharapkan dapat menanggulangi upaya
operasionalyang bersifat koordinatif dalam bentuk
kegiatanmitigasi bencana dengan meminimalkan
dampakbencana terhadap kehidupan manusia.
Hal ini sesuaidengan ketentuan BNPB dalam pokok-
pokokkegiatannya sehingga kerugian jiwa dan material serta
kerusakan yang terjadi dapat segera diatasi melalui upaya
mitigasi yang meliputi kesiap-siagaan (preparedness) serta
penyiapan kesiapan fisik, kewaspadaan dan kemampuan
(BNPB, 2008).Mengingat rumitnya masalah pascabencana
erupsi Merapi, maka program tanggap darurat tersebut harus
dikoordinasikan secara baik dan terencana dalam satu wilayah.
Penyelamatan nyawa manusia menjadi prioritas dalam
menangani kasus bencana alam, namun kenyataannya ternak
di wilayah terdampak erupsi Merapi menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses penyelamatan ini. Berbagai upaya

22
mitigasi dan adaptasi dalam subsektor peternakan dapat
dilakukan, diantaranya adalah pembangunan kandang-kandang
sementara bagi ternak yang dievakuasi dan dilengkapi dengan
kebutuhan air dan pakan yang memadai.BADAN LITBANG
PERTANIAN (2010) telah merekomendasikan untuk dapat
disusun suatu standar operasional prosedur dalam penanganan
bencana alam termasuk erupsi gunung berapi, bagi kegiatan
usaha pertanian.

B. Pengaruh Pasca Erupsi Terhadap Industri Pariwisata


Bencana alam dapat memberikan dampak dalam penurunan
ekonomi lokal serta hilangnya pekerjaan masyarakat.Aset natural,
finansial, fisik, manusia, dan sosial dapat terdampak sehingga
pasar menjadi kacau dan efek dari semua itu adalah terganggunya
kondisi sosial serta ekonomi wilayah yang mengalami bencana
(FAO & ILO, 2009).Melemahnya kinerja perekonomian suatu
wilayah tersebut juga diperparah oleh hancurnya sarana
pendukung kegiatan ekonomi seperti saluran telekomunikasi,
pembangkit energi, dan sarana transportasi (Sukandarrumidi,
2010).Gunung Merapi kembali mengalami erupsi pada tanggal 26
Oktober 2010 dan 5 November 2010. Akibat erupsi tersebut,
Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi mengalami kerusakan
parah, tercatat dampak bencana erupsi Gunung Merapi tersebut
telah menimbulkan total kerusakan dan kerugian sebesar Rp 3, 557
triliun (Bappenas, 2011). Sebelum terjadi bencana, masyarakat
yang tinggal di kawasan bencana Gunung Merapi hidup dengan
berbagai macam aktivitas.Sebagian besar masyarakat lereng
Merapi bekerja sebagai peternak dengan komoditi unggulan berupa
sapi perah (Bappenas, 2011).Akibat erupsi Gunung Merapi, ribuan
ternak mati dan jumlah produksi komoditas unggulan peternakan
mengalami penurunan sehingga mengindikasikan bahwa banyak
peternak kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain, kerusakan wilayah yang ditimbulkan oleh
bencana justru menimbulkan rasa penasaran wisatawan untuk
berkunjung ke bekas daerah bencana. Jika dikelompokkan dalam
jenis pariwisata, kegiatan wisata ini dapat masuk ke dalam jenis
pariwisata gelap (dark tourism).Dark tourism mengacu pada produk
dan tempat yang dapat menarik pengunjung yang berminat pada
bencana, tempat pembantaian, dan peristiwa mengerikan lainnya

23
(Seaton, 1996; Stone, 2006 dalam Petford et al, 2010). Melihat
adanya peluang untuk mengubah bencana menjadi berkah, maka
kawasan bencana pun dibuka menjadi kawasan wisata dengan
nama resmi Volcano Tour.
Menurut Inskeep (1991) dan Miller & Morisson (1985),
kemunculan kawasan wisata dapat membuka peluang pekerjaan
bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.Dengan
demikian, diperkirakan sebagian besar masyarakat lokal yang
semula bekerja di bidang pertanian dan peternakan kini berganti
pekerjaan menjadi pekerja di kawasan wisata sebagai salah satu
strategi untuk bertahan hidup. Pengetahuan serta pemahaman
mengenai dampak baik langsung maupun tidak langsung
merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam rangka
mewujudkan pemulihan bencana yang berkelanjutan (IRP, 2009),
akan tetapi pemahaman mengenai dampak tidak langsung masih
minim dilakukan pada upaya penanggulangan bencana.
Pemerintah seringkali hanya terfokus pada pemulihan
dampak langsung seperti kerusakan fisik wilayah tanpa
memperhatikan dampak tidak langsung khususnya penurunan
kemampuan masyarakat untuk kembali ke pekerjaan
semula.Padahal penilaian terhadap dampak langsung dapat
memberikan gambaran pada langkah-langkah pemulihan sosial dan
ekonomi yang harus terintegrasi dengan pemulihan fisik. Dengan
terintegrasinya pemulihan fisik dengan pemulihan sosial ekonomi,
maka suatu komunitas akan mampu untukmemiliki ketahanan
(resilience). Melalui ketahanan dan keberlanjutan ini maka
masyarakat akan mampu meminimalisir dampak dan memulihkan
diri secara cepat.

1. Peran Kawasan Wisata Volcano Tour Sebagai Peluang


Kerja Baru Bagi Masyarakat
Kawasan Wisata Volcano Tour dibuka pada awal Desember
2010 dengan nama resmi Kawasan Wisata Volcano Tour. Selain
karena adanya potensi wisata, faktor lain yang juga mempengaruhi
pembukaan kawasan wisata ini adalah adanya kemampuan
masyarakat Dusun Pelemsari dan Pangukrejo, Desa Umbulharjo
untuk melihat potensi dan bergerak bersama dalam memanfaatkan
potensi tersebut. Dengan demikian, atas inisiatif masyarakat maka
kawasan ini dibuka sebagai kawasan wisata.Usaha masyarakat

24
untuk bersama-sama membuka Kawasan Wisata Volcano Tour
dapat diartikan sebagai keberadaan modal sosial warga Dusun
Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo.
Menurut Adger (2003), modal sosial merupakan komponen
yang sangat diperlukan untuk mengatasi bahaya dan dampak yang
disebabkan oleh bencana, modal sosial juga memungkinkan
masyarakat untuk mengambil peluang baru dalam bencana
sehingga kemiskinan dan kerentanan yang dialami masyarakat
dapat berkurang. Dalam hal ini peluang baru yang dimanfaatkan
oleh masyarakat adalah kerusakan wilayah.Dengan demikian,
masyarakat korban bencana Merapi di Dusun Pelemsari dan Dusun
Pangukrejo, Desa Umbulharjo dapat bangkit dari keterpurukan
ekonomi.Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour membuka
peluang kerja sehingga masyarakat yang pada mulanya kehilangan
pekerjaan sebagai peternak kini dapat memiliki aktivitas baru. Hal
ini selaras dengan yang dikatakan oleh Inskeep (1991) dan Mill &
Morrison (1985) bahwa kegiatan wisata dapat menciptakan
berbagai lapangan kerja baik langsung ataupun tidak langsung bagi
masyarakat. Ada pun berbagai jenis mata pencaharian yang
dilakukan oleh masyarakat di kawasan Volcano Tour antara lain
petugas lapangan seperti petugas parkir dan tiket serta penyedia
barang dan jasa seperti penjual makanan, penjual suvenir, dan
penyedia jasa angkut. Segala kegiatan ekonomi yang berlangsung
di kawasan wisata Volcano Tour dikelola dan dikoordinir oleh
seluruh masyarakat melalui wadah pengelolaan bernama Tim
Pengelola Volcano Tour yang diketuai oleh Kepala Desa
Umbulharjo.
Dalam Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Volcano Tour Desa
Umbulharjo (2011), dipaparkan bahwa Tim Pengelola Volcano Tour
dibuat dengan tujuan:
1. Memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung
yang datang ke lokasi kawasan wisata Volcano Tour.
2. Memberdayakan masyarakat dan membuka lapangan mata
kerja, khususnya untuk korban erupsi Merapi.
3. Memberikan alternatif pemulihan ekonomi bagi warga
masyakat khususnya yang terkena dampak langsung erupsi
Merapi.
4. Melindungi, mengamankan, dan menjaga semua fasilitas
barang maupun potensi wilayah, baik milik warga maupun
pemerintah

25
5. Menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan warga
masyarakat.

Berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Tim Pengelola


Kawasan Wisata Volcano TourDesa Umbulharjo, masyarakat yang
diizinkan untuk bekerja di kawasan ini hanya masyarakat yang
sebelum erupsi bermukim di Dusun Pelemsari atau Dusun
Pangukrejo, Desa Umbulharjo, kecuali untuk masyarakat yang
bekerja sebagai pemilik warung. Masyarakat yang berasal dari luar
Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo
diperbolehkan untuk menjadi pemilik warung, akan tetapi mereka
harus membayar harga sewa tanah dengan biaya yang lebih
mahal. Untuk memasuki Kawasan Volcano Tour, pengunjung
diminta untuk membayar tiket sebesar Rp 5.000,00.Hasil penjualan
tiket ini tidak hanya digunakan untuk retribusi pendapatan pekerja,
tapi juga dialokasikan kepada beberapa kepentingan masyarakat
secara luas.Dengan demikian manfaat yang dihasilkan dari
keberadaan Kawasan Wisata Volcano Tour diharapkan dapat
dirasakan oleh semua pihak.
Lima belas persen dari hasil penjualan tiket dan pendapatan
dari tarif parkir di kawasan wisata Volcano Tour dialokasikan pada
pembangunan dusun di Desa Umbulharjo yang hancur akibat
erupsi Gunung Merapi.Dengan demikian keberadaan Kawasan
Wisata Volcano Tour tidak hanya bermanfaat bagi pemulihan
ekonomi saja, tetapi juga pemulihan fisik.
Dusun Pelemsari dan Pangukrejo mendapatkan alokasi
terbesar dari pedapatan Kawasan Wisata Volcano Tour. Alokasi
dana pembangunan dari Volcano Tour pada Dusun Pangukrejo
pada tahun 2011 adalah Rp 36.222.848, sedangkan Dusun
Pelemsari mendapatkan jatah sebesar Rp 25.873.463 (Tim
Pengelola Volcano Tour Desa Umbulharjo, 2011). Dua dusun di
Desa Umbulharjo yang mengalami kerusakan terparah pada erupsi
Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu adalah Dusun Pangukrejo
dan Dusun Pelemsari atau Kinahrejo (Harwati, 2011) sehingga
memerlukan rekonstruksi dengan dana yang lebih besar dibanding
dusun-dusun lain di Desa Umbulharjo.
Pemberian dana bantuan dari hasil penjualan tiket masuk
dan parkir Kawasan Wisata Volcano Tour diprioritaskan kepada
masyarakat-masyarakat yang rentan, seperti lansia, anak yatim
piatu, dan ekonomi lemah. Dana ini juga diprioritaskan kepada

26
mereka yang mengalami kerusakan dan kerugian terparah seperti
anggota keluarga meninggal dan juga anggota Volcano Tour yang
mendapatkan risiko akibat keberadaan Volcano Tour itu sendiri.
Dengan Tour untuk pembangunan dusun dan dana sosial, berarti
Volcano Tour juga turut berkontribusi bagi rehabilitasi dan
rekonstruksi di Desa Umbulharjo.

2. Alasan Perubahan Mata Pencaharian


Pada penelitian yang dilakukan oleh Dove dan Hudayana
(2008) di Dusun Turgo, Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi,
diketahui bahwa erupsi tahun 1994 telah menjadi agen perubahan
ekonomi masyarakat dimana sebelum erupsi ekonomi masyarakat
berbasis pada pertanian, tapi setelah erupsi perekonomian menjadi
berbasis peternakan. Pergantian sumber penghidupan ini ternyata
terjadi pula pada masyarakat Dusun Pelemsari dan Dusun
Pangukrejo, Desa Umbulharjo setelah erupsi tahun 2010.
Peristiwa erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 telah
menyebabkan banyak kerusakan yang membuat masyarakat
Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo
mengalami ketidakmampuan dalam mengatasi tekanan ekstrem.
Menurut FAO & ILO (2009), tekanan ekstrem tersebut membuat
aset penghidupan masyarakat menjadi hilang atau berkurang. Pada
bencana erupsi Gunung Merapi ini, aset penghidupan yang hilang
serta berkurang adalah aset natural, fisik, dan finansial.
Akibat dampak langsung tersebut, masyarakat tidak mampu
kembali ke mata pencaharian sebelumnya, yaitu sebagai peternak
sapi perah.Hal ini karena beberapa peternak mendapatkan
ternaknya mati padahal ternak merupakan salah satu sumber daya
penghidupan. Ternak yang mati diganti oleh pemerintah, akan
tetapi karena bencana berdampak dalam menghilangkan segala
harta benda maka tidak semua masyarakat menggunakan uang
ganti tersebut untuk membeli kembali ternak, melainkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu peternak yang
ternaknya tidak mati mengalami kesulitan dalam memelihara ternak
karena kondisi tempat penampungan yang tidak dilengkapi dengan
fasilitas pemeliharaan ternak yang memadai serta sumber pakan
ternak.Dikatakan pula oleh Tobin & Whiteford (2001) bahwa
seringkali tempat penampungan berada jauh dari sumber daya
penghidupan masyarakat.
Menurut Chambers dan Conway (1991), salah satu upaya
mempertahankan hidup bagi masyarakat yang sedang mengalami
tekanan adalah melakukan diversifikasi, artinya mencari jenis
aktivitas pekerjaan dan sumber penghasilan baru. Oleh karena itu,
masyarakat melakukan perubahan mata pencaharian dan
memanfaatkan kesempatan kerja di sektor pariwisata.

27
Hal yang membuat sektor pariwisata muncul adalah dampak
langsung bencana berupa kerusakan lingkungan serta modal
sosial.Isu mengenai kerusakan lingkungan yang parah
memunculkan rasa penasaran wisatawan untuk berkunjung dan
menyaksikan dampak bencana di Gunung Merapi secara
langsung.Sirkulasi manusia untuk pergi ke daerah bencana untuk
secara visual mengonsumsi kerusakan, trauma, dan bencana
disebut dengan dark tourism (Petford & al, 2010).Terbukanya
peluang kerja baru di Kawasan Wisata Volcano Tour juga didukung
oleh adanya modal sosial masyarakat. Masyarakat dari Dusun
Pangukrejo dan Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo menyadari
bahwa dirinya mengalami keterpurukan ekonomi pascabencana
dan mereka meyakini bahwa bekerjasama satu sama lain akan
mempermudah pemulihan kondisi ekonomi. Dengan demikian
masyarakat secara bergotong royong membuka daerah bekas
bencana sebagai kawasan wisata dengan nama resmi Kawasan
Wisata Volcano Tour. Keberadaan modal sosial dalam
memungkinkan masyarakat untuk mengambil peluang baru dalam
bencana sehingga kemiskinan dan kerentanan yang dialami
masyarakat dapat berkurang (Adger, 2003).
Keberadaan suatu kegiatan wisata dapat menciptakan
berbagai lapangan kerja baik langsung ataupun tidak langsung bagi
masyarakat (Inskeep, 1991; Mill and Morrison, 1985). Dengan
demikian, dibukanya kawasan wisata Volcano Tour memberikan
kesempatan bagi masyarakat lokal untuk bekerja sebagai penjual
suvenir, tukang ojek, penyedia jasa antar motor trail dan jeep,
pemilik warung, serta petugas lapangan. Oleh karenanya, sebagian
besar masyarakat yang kehilangan pekerjaan sebagai peternak kini
berganti mata pencaharian menjadi pekerja di sektor pariwisata.
Dalam keberjalanannya, masyarakat membentuk suatu tim
pengelola kawasan wisata yang membawahi beberapa paguyuban
dan kelompok kerja. Paguyuban pekerja dan kelompok kerja
memberlakukan sistim jadwal (shift) serta retribusi pendapatan
yang ketentuannya berbeda-beda tergantung pada jenis pekerjaan.
Sistem jadwal diberlakukan agar semua pekerja mendapatkan
proporsi kerja yang adil, sedangkan retribusi pendapatan dan hasil
penjualan tiket dimasukkan ke dalam kas dusun untuk
pembangunan wilayah dan membantu masyarakat
rentan.Keberadaan pengelolaan terpadu di Kawasan Wisata
Volcano Tour dapat mendistribusikan manfaat dari keberadaan
kegiatan wisata kepada semakin banyak orang dan hal tersebut
berpotensi untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan korban
bencana.
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di KRB Gunung
Merapi merupakan masyarakat yang rentan karena lokasi tempat
tinggal mereka menyimpan potensi bahaya.Meski demikian,

28
kerentanan tersebut dapat tereduksi dengan adanya ketahanan
yang telah dimiliki.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Sagala et al (2009), ketahanan sosial masyarakat lereng Merapi
dipengaruhi oleh variabel komunitas dan institusi.Artinya hubungan
sosial antar masyarakat dan peran pemerintah sangat penting
untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat lereng Merapi.
Ternyata modal sosial di dalam masyarakat tersebut telah ada,
akan tetapi dukungan dari pemerintah dalam menciptakan
ketahanan sosial masih kurang.
Modal sosial yang menciptakan ketahanan sosial
masyarakat lereng Merapi kembali terlihat pascaerupsi 2010, di
mana mereka mampu mengatasi dampak bencana dengan
menggunakan modal sosial yang dimiliki.Hal tersebut terlihat dari
kapasitas masyarakat Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo,
Desa Umbulharjo untuk bergotong-royong membuka daerah bekas
bencana sebagai kawasan wisata.Dengan kemampuan ini,
masyarakat korban bencana dapat sedikit demi sedikit memulihkan
dampak ekonomi yang dialaminya sehingga ketahanan yang
dimiliki masyarakat menurunkan kerentanan ekonomi.
Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour ini sebenarnya
juga merupakan salah satu praktik dari konsep hidup dengan
bencana (living with risk) seperti yang dikatakan oleh Kelman &
Mather (2008) karena melalui kegiatan ini masyarakat dapat
menganggap bahaya bencana gunung api sebagai sumberdaya
dan memanfaatkannya. Dengan demikian kegiatan ini mampu
diintegrasikan dengan kehidupan sehari-hari dan mata pencaharian
masyarakat.Selain itu, Kelman & Mather (2008) juga mengatakan
bahwa konsep ini mengarahkan masyarakat pada penghidupan
yang berkelanjutan yang merupakan suatu indikator terwujudnya
ketahanan.Meski demikian menciptakan masyarakat yang
berkelanjutan serta memiliki ketahanan adalah hal yang kompleks
dan membutuhkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan
politik.Dikatakan pula oleh Sagala (2009) bahwa masyarakat lereng
Merapi membutuhkan peran pemerintah untuk memperkuat
ketahanan sosial yang dimilikinya.

3. Keberlanjutan Kawasan Wisata Volcano Tour


Meski Kawasan Wisata Volcano Tour sebenarnya mampu
membantu masyarakat bangkit dari keterpurukan ekonomi, namun
jumlah pengunjung Kawasan Wisata Volcano Tour semakin lama
semakin menurun.Hal ini karena rasa penasaran masyarakat telah
terjawab dan kerusakan wilayah akibat bencana semakin lama
semakin pulih.Hal ini sesuai dengan teori Petford (2009) bahwa
seiring berjalannya waktu, tingkat kegelapan dari dark tourism
semakin lama semakin menurun.Artinya, daya tarik wisata semakin

29
lama semakin menurun.Sekarang sudah terlihat kerusakan
berangsur-angsur pulih, sehingga menimbulkan penurunan jumlah
wisatawan dan hasil pendapatan.
Menurunnya daya tarik wisata, jumlah pengunjung, dan
pendapatan mengindikasikan bahwa Kawasan Wisata Volcano
Tour mungkin tidak akan berlanjut. Dengan alasan yang sama,
Harjito (2011) juga meramalkan bahwa kegiatan wisata di kawasan
Volcano Tour tidak prospektif untuk dilakukan. Meski demikian,
tidak semudah itu untuk mengatakan ketidakberlanjutan suatu
kegiatan penghidupan tanpa melakukan penilaian terlebih dahulu.
Menurut Chambers dan Conway (1991), keberlanjutan suatu
penghidupan dapat dinilai berdasarkan aspek ekologis dan sosial.
Secara ekologis, meskipun kerusakan lingkungan berangsur-
angsur mulai pulih, tetapi setidaknya kegiatan wisata di Kawasan
Wisata Volcano Tour belum menunjukkan tanda-tanda dapat
merusak lingkungan sehingga ia masih memiliki kesempatan untuk
berlanjut. Meski demikian, kemampuan masyarakat lokal untuk
tetap mengelola dan menjaga keberjalanan kegiatan wisata adalah
suatu tantangan tersendiri untuk mewujudkan keberlanjutan sosial
kegiatan penghidupan di Kawasan Wisata Volcano Tour.Jika
kegiatan penghidupan ini dapat bertahan meski menghadapi segala
tekanan dan ancaman, maka kegiatan tersebut dapat dikatakan
sebagai penghidupan yang berkelanjutan (Chambers dan Conway,
1991).
Melihat semakin menurunnya daya tarik Kawasan Wisata
Volcano Tour, pemerintah tidak juga mengambil tindakan untuk
mendukung pengembangan kegiatan wisata di kawasan
ini.Ketiadaan dukungan optimal dari pemerintah ini juga mungkin
menjadi salah satu faktor yang membuat daya tarik Kawasan
Wisata Volcano Tour tidak berkembang.Maka dari itu, jika Kawasan
Wisata Volcano Tour ingin terus menjadi suatu kawasan wisata
yang berkelanjutan maka dukungan optimal dari pemerintah sangat
dibutuhkan.Seperti yang dikatakan oleh Tobin (1999) bahwa salah
satu hal yang diperlukan untuk mempertahankan suatu
keberlanjutan dan ketahanan komunitas adalah dukungan dari
agensi atau pemimpin politik yang bertanggung jawab.
Pengembangan pariwisata di Kawasan Wisata Volcano Tour
memang tidak dapat diarahkan kepada pengembangan fisik karena
lokasinya yang terletak di KRB III Gunung Merapi, meski demikian
bukan berarti perencanaan pariwisata tidak dibutuhkan di kawasan
ini. Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan potensi
wisata kebencanaan di Kawasan Wisata Volcano Tour adalah
membuat inovasi baru yaitu menghubungkan Volcano Tour di Desa
Umbulharjo dengan Volcano Tour di Desa Kepuharjo dan Desa
Glagaharjo karena di kedua desa tersebut pemandangan
kerusakan wilayah masih sangat terasa.

30
Meski perencanaan pariwisata diperlukan, akan tetapi hal
lain yang perlu diketahui adalah masyarakat kini sudah banyak
yang kembali bekerja sebagai peternak. Beberapa di antara mereka
bahkan lebih cenderung memilih bekerja sebagai peternak
dibandingkan pekerja di Volcano Tour. Alasan yang mendasari
pekerja untuk kembali menjadi peternak adalah pekerjaan sebagai
peternak dinilai lebih menjanjikan karena memberikan penghasilan
yang relatif tetap setiap bulannya, sedangkan pendapatan sebagai
pekerja di sektor pariwisata cenderung fluktuatif karena besarannya
tergantung dari jumlah wisatawan yang datang. Meski saat ini sapi
yang dipelihara belum bisa memproduksi susu, akan tetapi
masyarakat menganggap sapi yang mereka miliki adalah aset
investasi yang nantinya akan memberikan penghasilan.
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pekerjaan di
Kawasan Wisata Volcano Tour menunjukkan indikasi
ketidakberlanjutan. Untuk membuat pekerjaan masyarakat di
kawasan ini menjadi berkelanjutan, sebaiknya Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Sleman melakukan hal yang dapat
mendukung kegiatan wisata, namun yang sifatnya tidak memicu
pembangunan fisik di wilayah rawan bencana seperti peningkatkan
kualitas SDM dan inovasi kegiatan wisata seperti menghubungkan
Volcano Tour yang terdapat di Desa Umbulharjo dengan Volcano
Tour yang ada di Desa Kepuharjo dan Glagaharjo.
Meski demikian, pemerintah juga perlu menyadari bahwa
banyak masyarakat yang kini telah kembali bekerja sebagai
peternak karena pekerjaan sebagai peternak dianggap lebih
menjanjikan. Apabila sebagian besar masyarakat memilih untuk
bekerja sebagai peternak, maka sebaiknya masyarakat tetap tidak
diperbolehkan untuk kembali membangun di lahan rumahnya yang
termasuk dalam KRB III karena hal ini akan sangat
membahayakan.

4. Dampak Pariwisata Terhadap Ekonomi


Menurut IUOTO (International Union of Official Travel
Organization) yang dikutip oleh Spillane (1993), pariwisata
mestinya dikembangkan oleh setiap negara karena delapan alasan
utama seperti berikut ini:
a) Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi
nasional maupun international.
b) Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi,
transportasi, akomodasi, jasa-jasa pelayanan lainnya.
c) Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya, nilai-nilai sosial
agar bernilai ekonomi.
d) Pemerataan kesejahtraan yang diakibatkan oleh adanya
konsumsi wisatawan pada sebuah destinnasi.

31
e) Penghasil devisa.
f) Pemicu perdagangan international.
g) Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan
profesi pariwisata maupun lembaga yang khusus yang
membentuk jiwa hospitality yang handal dan santun, dan
h) Pangsa pasar bagi produk lokal sehingga aneka-ragam produk
terus berkembang, seiring dinamika sosial ekonomi pada
daerah suatu destinasi.

Sedangkan menurut Cohen (1984), dampak pariwisata terhadap


kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikatagorikan
menjadi delapan kelompok besar yaitu:
a) Dampak terhadap penerimaan devisa.
b) Dampak terhadap kesempatan kerja.
c) Dampak terhadap harga-harga.
d) Dampak terhadap pendapatan masyarakat.
e) Dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan.
f) Dampak terhadap kepemilikan dan control.
g) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan
h) Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Dalam buku ‘Sosiologi Pariwisata’ yang ditulis oleh I Gede


Pitana tahun 2005, menunjukkan bahwa pariwisata juga dapat
memberikan dampak negatif terhadap perekonomian, antara lain:
a) Timbulnya kesenjangan pendapatan antar kelompok
masyarakat.
b) Memburuknya ketimpangan daerah.
c) Hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya
ekonomi (sumber daya alam, manusia, kewirausahaan, modal).
d) Munculnya neo- kolonialisme/ neo- imperalisme.
e) Wahana eksploitasi negaja maju ke negara berkembang,
khususnya dalam hal impor barang.
f) Kecilnya muatan lokal yang mengakibatkan kebocoran ekonomi
(economic linkage).
g) Ketergatungan terhadapa negara maju.

Sedangkan menurut Ismayanti dalam buku ‘Pengantar


Pariwisata’ dampak pariwisata yang merugikan masyarakat dari sisi
ekonomi antara lain:
a) Bahaya ketergantungan terhadap industri pariwisata.
b) Peningkatan inflasi dan nilai lahan.
c) Peningkatan frekuensi impor.
d) Produksi musiman.
e) Pengembalian modal lambat.
f) Mendorong timbulnya biaya eksternal lain.

32
Banyaknya daya tarik wisata di sekitar kawasan Gunung Merapi
ini, secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada
perekonomian wilayah baik di Kabupaten Sleman maupun
kecamatan- kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman.

a. Dampak Positif Pariwisata Terhadap Ekonomi


1) Penyerapan Tenaga Kerja
Industri pariwisata merupakan industri yang mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan mampu
menciptakan peluang kerja dari yang tidak terdidik sampai
dengan tenaga yang sangat terdidik. Di samping itu
pariwisata juga menyediakan peluang kerja diluar bidang
pariwisata tetapi mendukung kegiatan pariwisata seperti
petani sayuran, peternak daging, supplier bahan makanan,
dan lain-lain yang akan membantu kelancaran operasional
industri perhotelan dan restoran. Sedangkan untuk kawasan
Cangkringan paska erupsi terlihat bahwa industri pariwisata
sangat membantu proses penyembuhan kesejahteraan
masyarakat hal ini terlihat bagaimana masyarakat terlibat
langsung pada sebagian besar pelaksanaan kegiatan
pariwisata di daerah daya tarik wisata.

2) Pembangunan Sistem Infrastruktur dan Transportasi


Dengan adanya pariwisata telah membuat
pembangunan infrasruktur dan transportasi daerah wisata
berkembang dengan pesat. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan wisatawan dalam
berwisata. Berkembangnya sektor pariwisata juga dapat
mendorong pemerintah lokal untuk menyediakan
infrastruktur yang lebih baik, penyediaan air bersih, listrik,
telekomunikasi, transportasi umum dan fasilitas pendukung
lainnya sebagai konsekuensi logis dan kesemuanya itu
dapat meningkatkan kualitas hidup baik wisatawan dan juga
masyarakat local itu sendiri sebagai tuan rumah.
Demikian pula sistem infrastruktur dan transportasi
daerah wisata kawasan Merapi 2010 secara perlahan-lahan
bangkit dan berbenah diri baik melalui dukungan pemerintah
maupun swasembada. Hal ini bisa dilihat di daerah Volcano
Tour yang masuk ke dalam wilayah desa Kepuharjo dan
Umbulharjo yang memiliki fasilitas cukup lengkap seperti
lahan parkir, toilet umum, mushola, warung, jaringan listrik,
dan pos informasi sekaligus pos keamanan.

33
3) Diversifikasi Usaha
Untuk desa-desa tertentu, pariwisata telah
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan usaha
dimana masyarakat lokal akan melakukan diversifikasi
usahanya sehingga mereka tidak bergantung pada mata
pencaharian tertentu melainkan mencoba untuk memulai
usaha lain yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan pariwisata. Hal ini bisa dilihat dari mata pencaharian
masyarakat desa Pentingsari, kecamatan Cangkringan yang
selain menjadi petani dan peternak, mereka juga bekerja
sebagai pelaku desa wisata dan membuka industri rumah
tangga seperti industri jamur dan nangka kering yang
produksinya sudah sampai ke luar propinsi seperti ibukota
Jakarta.

4) Penerimaan Devisa
Kontribusi pariwisata terhadap pendapatan
pemerintah dapat diuraikan menjadi dua, yakni: kontribusi
langsung dan tidak langsung. Kontribusi langsung berasal
dari pajak pendapatan yang dipungut dari para pekerja
pariwisata dan pelaku bisnis pariwisata pada kawasan
wisata yang diterima langsung oleh dinas pendapatan suatu
destinasi. Hal ini bisa berupa retribusi masuk, fasilitas parkir
maupun toilet. Sedangkan kontribusi tidak langsung
pariwisata terhadap pendapatan pemerintah berasal dari
pajak atau bea cukai barang-barang yang diimport dan pajak
yang dikenakan kepada wisatawan yang berkunjung seperti
halnya pajak yang dikenakan sebesar 10% bagi setiap tamu
hotel yang akan menginap maupun tamu restoran yang akan
makan.

5) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal


Perekonomian masyarakat lokal sebagaimana yang
terjadi di wilayah Merapi khususnya desa Kepuharjo dan
Umbulharjo dapat terlihat hampir semua obyek wisata di
daerah tersebut melibatkan masyarakat secara langsung
dalam kegiatan wisatanya.

b. Dampak Negatif Pariwisata Terhadap Ekonomi


1) Timbulnya Kesenjangan Pendapatan Antar Kelompok
Masyarakat
Kesenjangan pendapatan dapat terjadi antara
kelompok masyarakat yang terlibat dalam pariwisata dan
kelompok masyarakat yang tidak terlibat dalam
pariwisata.Kesenjangan pendapatan ini terjadi di antara

34
kelompok masyarakat di destinasi wisata Kawasan Gunung
Merapi.Salah satu contohnya adalah di Desa Wisata
Pentingsari.Menurut hasil wawancara dengan Kepala
Pedukuhan Pentingsari, masyarakat di desa wisata ini ada
yang setuju pedukuhannya dijadikan daya tarik wisata dan
ada yang tidak.Bagi masyarakat lokal yang setuju dan
terlibat dalam kegiatan pelayanan wisata, meraka mendapat
keuntungan ekonomi dari sistem bagi hasil yang diterapkan
di desa wisata tersebut.Sedangkan bagi yang tidak terlibat
dengan kegiatan pariwisata, mereka tidak mendapatkan
keuntungan tersebut.Hal ini yang menyebabkan adanya
kesenjangan pendapatan antara masyarakat yang terlibat
dan yang tidak terlibat dalam pariwisata.

2) Memburuknya Ketimpangan Daerah


Ketimpang daerah ini dapat terjadi pada antar desa di
satu kecamatan.Contonya adalah di Kecamatan
Cangkringan, tidak semua desa memiliki daya tarik wisata.
Menurut data dari dokumen ‘Kecamatan Cangkringan dalam
Angka Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS), desa yang memiliki daya tarik wisata hanya
Desa Umbulharjo dan Desa Kepuharjo, sedangkan 3 desa
lainnya tidak ada. Dari keberadaan daya tarik ini, kedua
desa tersebut dapat menarik para wisatawan untuk datang,
sehingga adanya peningkatan lapangan kerja bagi
masyarakat lokal di kedua desa. Hal inilah yang menjadi satu
alasan pariwisata di Umbulharjo dan Kepuharjo
berkembang.khususnya di Kecamatan Cangkringan pun
tertuju untuk mengembangkan daya tarik di kedua desa yang
sudah memiliki daya tarik wisata. Oleh karena itu,
pengembangan infrastruktur dan fasilitas yang berada di
sekitar desa tersebut pun dikembangkan secara optimal.
Berbeda hal nya dengan desa-desa lainnya yang ada di
Kecamatan Cangkringan.Kurangnya minat wisatawan untuk
berkunjung ke desa-desa tersebut mengakibatkan
pengembangan infrastruktur dan fasilitas hanya
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal,
bukan untuk wisatawan, sehingga tidak dapat dipungkiri lagi
adanya ketimpangan antar desa yang memiliki daya tarik
wisata dan desa yang tidak memiliki daya tarik wisata.
Selain itu dapat dianalisis dalam hal penyediaan air
bersih, masyarakat yang berada di sekitar daya tarik wisata
mempunyai kecenderungan mendapatkan air bersih ebih
mudah dibandingkan masyarakat yang berada jauh dari
daya tarik wisata.

35
3) Ketergantungan Terhadap Negara Lain
Ketergantungan terhadap negara maju ini pada
umumnya terjadi pada fasilitas atau usaha pariwisata yang
bertaraf internasional yang mengandalkan barang-barang
impor dari negara maju untuk memenuhi kebutuhannya
dalam pelayanan pariwisata. Ketergantungan ini dapat
mengakibatkan negara maju melakukan kebijakan
yang mengeksploitasi negara berkembang. Salah satu
contohnya adalah dengan menaikkan harga barang - barang
yang diperlukan oleh fasilitas dan usaha pariwisata di negara
berkembang. Di Desa Umbulharjo terdapat daya tarik dan
akomodasi wisata yang berkelas, yaitu ‘The Cangkringan
Jogja Villas & Spa’ serta ‘Merapi International Golf Course’.
Fasilitas akomodasi dan area golf yang
bertaraf internasional ini merupakan tempat dipastikan
menggunakan barang- barang impor dari negara maju yang
memiliki standar internasional untuk memenuhi
kebutuhannya dalam pelayanan wisata.

4) Kebocoran Ekonomi (Economic Leakage)


Leakage atau kebocoran dalam pembangunan
pariwisata dikategorikan menjadi dua jenis kebocoran yaitu
kebocoran impor dan kebocoran ekspor.Biasanya
kebocoran impor terjadi ketika terjadinya permintaan
terhadap peralatan-peralatan yang berstandar internasional
yang digunakan dalam industri pariwisata, bahan makanan
dan minumanimport yang tidak mampu disediakan oleh
masyarakat lokal atau dalam negeri. Dengan adanya ‘The
Cangkringan Jogja Villas & Spa’ serta ‘Merapi International
Golf Course’ yang bertaraf internasional, barang- barang
yang digunakan pada umumnya merupakan barang- barang
yang sesuai standar internasional. Keuntungan dari adanya
kedua fasilitas pariwisata tersebut seharusnya kembali
kepada wilayah itu sendiri, khususnya untuk kesejahteraan
masyarakat.Akan tetapi, karena kepemilikan dan investornya
bukan masyarakat lokal, makanya sebagian besar
keuntungannya pun diterima oleh orang luar Cangkringan
dan Sleman.

5) Ketergantungan pada satu sekor industri


Ketergantung suatu wilayah hanya pada sektor
pariwisata akan mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi
sangat beresiko tinggi. Industri pariwisata di Cangkringan ini
merupakan penarik sumber tenaga kerja lokal yang
efektif.Akan tetapi, hal ini juga dapat berdampak buruk bagi

36
masyarakatnya sendiri karena adanya ketergantungan
kepada industri pariwisata. Hal ini diperkirakan akan terjadi
di daya tarik wisataVolcano Tour. Daya tarik wisata Volcano
Tour ini berada di Desa Umbulharjo dan Kepuharjo, dimana
kedua desa ini terkena dampak erupsi yang sangat
parah.Daya tarik ini hanya mengandalkan kondisinya
permukiman yang hilang akibat erupsi.Saat ini, daya tarik
wisata tersebut menarik banyak tenaga kerja.Masyarakat
lokal di sekitar Volcano Tour sangat menggantungkan
kehidupan dan perekonomiannya terhadap
pariwisata Volcano Tour. Akan tetapi, apabila daerah yang
menjadi Volcano Tour sudah direvitalisasi dan sudah tidak
terdapat bekas erupsi, maka pariwisata di Volcano Tour ini
pun akan hilang, dan masyarakat lokal yang berkerja di daya
tarik ini akan terancam kehilangan pekerjaannya.

6) Peningkatan Nilai dan Harga Lahan


Peningkatan nilai dan harga lahan ini dapat terjadi
apabila di sekitar lahan terdapat tempat- tempat yang
bernilai lebih, seperti lokasi daya tarik wisata. Pembangunan
pariwisata juga berhubungan dengan meningkatnya harga
sewa rumah, harga tanah, dan harga-harga properti lainnya
sehingga sangat dimungkinkan masyarakat lokal tidak
mampu membeli dan cenderung akan tergusur ke daerah
pinggiran yang harganya masih dapat dijangkau. Menurut
hasil survey lapangan dan data dari instansi, Desa
Umbulharjo merupakan desa yang memiliki daya tarik wisata
paling banyak di Kecamatan Cangkringan.Daya tarik yang
ada di desa ini mulai dari desa wisata, bumi perkemahan,
tempat golf, dan Volcano Tour.Di desa ini juga terdapat
banyak akomodasi yang menunjang kegiatan wisata, mulai
dari losmen (homestay) sampai dengan hotel berbintang.Di
BPS tercatat terdapat 21 losmen (homestay) dan 1 hotel
berbintang. Kondisi ini mengakibatkan adanya peningkatan
nilai lahan di Desa Umbulharjo, sehingga nilai dan harga
lahan di Umbulharjo lebih tinggi dibanding nilai lahan di
desa- desa lainnya. Kondisi ini mengakibatkan hanya
masyarakat yang ekonominya bercukupan masih dapat
bertahan tinggal di daera tersebut, tetapi bagi masyarakat
lokal yang berekonomi rendah maka akan tersingkirkan ke
daerah pinggiran.

37
5. Partisipasi Pemerintah Dalam Membangun Pariwisata dan
Perekonomian Pasca Erupsi Gunung Merapi
Kekhawatiran pemerintah terhadap bencana merapi, seperti
banjir lahar yang melanda tidak hanya desa-desa di lereng Merapi,
tetapi juga memporakporandakan kota-kota, seperti Kota
Yogyakarta dan Magelang, sudah dirasakan sejak Pemerintahan
Jajahan Belanda, yang pada 1912 mengkukuhkan ladang-ladang
milik rakyat di lereng Merapi menjadi hutan lindung.
Setelah kemerdekaan, lembaga-lembaga kegunungapian yang
dikelola Pemerintah Jajahan Belanda diambil alih dan diteruskan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.Struktur lemba-lembaga
tersebut kemudian disempurnakan untuk mempermudah
pengorganisasiannya, pengelolaannya, dan pembagian tugas
massing-masing lembaga-lembaga.Penelitian Gunung APi diubah
menjadi Direktorat Vulkanologi yang berkedudukan di Bandung di
bawah naungan Direktur Jendral pertambangan umum. Direktorat
Vulkanologi dibantu, dan membawahi pos-pos pengamatan gunung
api tersebar di lereng gunung api di seluruh Indonesia.
Pemerintahan kemudian mendirikan pusat penelitian dan
pengembangan Geologi, serta Diktorat Geologi tata lingkungan
yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Direktorat Vulkanologi.
Khusus untuk Gunng merapi, Direktorat Vulkanologi telah
merenovasi dan membangun 7 buah pos pengamatan gunung
merapi, masing masing terletak di Korijaya, Ngepos, Krinjing,
Babadan, Jrakah, Selo, dan Delas.Kesemua pos pengamatan itu
berada dibawah koordinasi langsung pengawasan gunung merapi
yang berkedudukan di Yogyakarta yang juga merupakan
laboratorium geofisika gunung merapi.

38
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adanya bencana erupsi Gunung Merapi 2010 menimbulkan
dampak langsung maupun tidak langsung bagi lingkungan sekitar.
Adapun dampak langsung akibat erupsi Gunung Merapi antara
lainperubahan lahan yang sangat signifikan, terutama terkait
dengan perubahan tata guna lahan dan juga membawa dampak
terhadap lahan yang terkena erupsi. Akibat erupsi Gunung Merapi
ratusan hektar lahan pertanian hancur dan ribuan ternak mati.
Kerusakan pada bidang peternakan dan pertanian ini diiringi
dengan menurunnya jumlah produksi komoditas unggulan, yakni
susu, sehingga mengindikasikan bahwa banyak peternak
kehilangan pekerjaan. Selain hal tersebut, uang ganti rugi tidak
digunakan untuk membeli ternak, kondisi tempat penampungan
yang tidak mendukung serta kesulitan mencari pakan ternak juga
yang membuat peternak kehilangan pekerjaan.
Sedangkan dampak tidak langsung adanya erupsi Gunung
Merapi adalah hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat,
gangguan kesehatan yang berkepanjangan, dan masalah
transportasi. Namun, disamping itu adanya erupsi Gunung Merapi
juga membawa berkah bagi lingkungan, yaitu tanah sekitar menjadi
subur, dan material pasir Gunung Merapi dapat dimanfaatkan
masyarakat untuk bahan bangunan. Meski demikian, ternyata
kerusakan wilayah akibat bencana menjadi daya tarik wisata
sehingga dibukalah Kawasan Wisata Volcano Tour. Selain karena
adanya daya tarik wisata, hal lain yang menjadi alasan dibukanya
Kawasan Wisata Volcano Tour adalah kemauan masyarakat untuk
berusaha bersama memulihkan kondisi ekonomi yang terpuruk
akibat bencana. Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour ini
terbukti mampu memberikan peluang kerja bagi
masyarakat.Dengan demikian, alasan perubahan pekerjaan
masyarakat di wilayah studi adalah hilangnya pekerjaan
masyarakat sebagai peternak dan terbukanya peluang kerja di
kawasan wisata Volcano Tour.Ada pun jenis-jenis pekerjaan yang
ada di kawasan wisata tersebut antara lain penjual makanan di

39
warung, penjual suvenir, penyedia jasa angkut ojek, motor trail, dan
jeep, serta petugas tiket dan parkir.
Meski mampu membantu masyarakat untuk pulih dari
bencana, namun daya tarik Kawasan Wisata Volcano Tour
menunjukkan kecenderungan menurun, terlihat dari jumlah
pengunjung dan hasil penjualan tiket yang semakin berkurang serta
pemandangan kerusakan yang semakin hilang. Dengan demikian
dikhawatirkan bahwa kegiatan di kawasan ini tidak akan berlanjut.
Sampai saat ini belum ada dukungan optimal dari pemerintah untuk
mengembangkan kegiatan wisata.Padahal kawasan Volcano Tour
yang dikembangkan dapat menjadi suatu penghidupan yang
berkelanjutan bagi masyarakat serta menciptakan ketahanan
sosial.
Kerugian ekonomi yang cukup besar akibat erupsi Gunung
Merapi terhadap usaha peternakan sudah selayaknya mendapat
perhatian yang serius dari pemerintah.Hal ini terkait dengan pelaku
usaha yang hampir seluruhnya adalah peternak rakyat. Estimasi
total kerugian pada usaha peternakan mencapai Rp. 88,320 milyar
berdasarkan jumlah ternak mati, ternak yang sudah dijual dan akan
dijual, kerusakan kebun pakan ternak dan menurunnya produksi
susu. Program rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana pada
usaha ini harus betul-betul menyentuh pada usaha peternakan
rakyat yang memerlukan waktu relatif cukup lama.Diperlukan
program jangka pendek, menengah dan panjang dalam upaya
memulihkan kehidupan peternak berdasarkan lokasi tempat tinggal
peternak dalam kawasan rawan bencana.
Kerugian ekonomi yang cukup besar akibat erupsi Merapi
terhadap usaha peternakan sudah selayaknya mendapat perhatian
yang serius dari pemerintah.Hal ini terkait dengan pelaku usaha
yang hampir seluruhnya adalah peternak rakyat. Estimasi total
kerugian pada usaha peternakan mencapai Rp. 88,320 milyar
berdasarkan jumlah ternak mati, ternak yang sudah dijual dan akan
dijual, kerusakan kebun pakan ternak dan menurunnya produksi
susu. Program rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana pada
usaha ini harus betul-betul menyentuh pada usaha peternakan
rakyat yang memerlukan waktu relatif cukup lama.Diperlukan
program jangka pendek, menengah dan panjang dalam upaya
memulihkan kehidupan peternak berdasarkan lokasi tempat tinggal
peternak dalam kawasan rawan bencana.

40
Program jangka pendek menengah bagi peternak di wilayah
KRB I dan II meliputi pemulihan kondisi ternak dengan pemberian
pakan cukup dan penyembuhan luka bakar, terutama di bagian
ambing.Penanaman hijauan pakan ternak perlu ditingkatkan
dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong dan pematang sawah
untuk membantu terjaminnya pasokan hijauan pakan.Pengadaan
bantuan pakan konsentrat untuk sapi perah sangat diperlukan
karena kondisi peternak yang belum pulih sepenuhnya dalam
menata kehidupan sehari-hari.Hal tersebut bagi peternak di wilayah
KRB III perlu didorong untuk memperbaiki kondisi kandang
penampungan ternak sementara. Bantuan kandang dengan
rancangan knock down sangat diharapkan mengingat kandang ini
dapat dipergunakan kembali saat peternak kembali ke lokasi asal,
ataupun di tempat relokasi yang baru.
Program jangka menengah bagi peternak di wilayah KRB III
dapat dicarikan peluang alternative dengan usaha peternakan
lainnya, seperti ayam ras pedaging.Hal ini diharapkan dapat
menjadi alternative usaha yang dapat memberikan penghasilan
bulanan karena masa panen sekitar 35 hari per periode
pemeliharaan. Pola kemitraan inti-plasma dapat dibangun dan
difasilitasi oleh pemerintah daerah dengan melibatkan lembaga
pembiayaan, seperti perbankan maupun danacorporate social
responsibility perusahaan inti.
Program jangka panjang diutamakan untuk peternak sapi
perah di KRB III dengan perbaikan infrastruktur kelembagaan
koperasi susu melalui program padat karya. Perlu dikaji mekanisme
beban kredit yang saat ini ditanggung oleh peternak, utamanya
bagi koperasi yang baru saja menerima kredit seperti kredit usaha
pembibitan sapi (KUPS) dan sebagian besar sapinya terdampak
bencana Merapi.Mekanisme pengadaan kredit ketahanan pangan
dan energi (KKPE) dengan bunga ringan untuk pemulihan usaha
peternakan perlu diakselerasi guna memperbaiki perekonomian
peternak.

41
B. Saran
Peran pemerintah dalam mengenali tanda-tanda bencana
perlu diperkuat agar dapat memberikan pengarahan kepada
masyarakat dalam evakuasi.BNPB dan BPBD selaku lembaga yang
berfungsi dalam perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi serta
pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
diharapkan dapat bertindak secara cepat, tepat, efektif dan efisien
dalam meminimalisir bencana.Koordinasi dengan lembaga terkait
terutama Dinas Kesehatan sangat diperlukan untuk mengurangi
dampak kesehatan yang dialami masyarakat.Demikian juga,
koordinasi dengan lembaga lainnya seperti Badan Lingkungan
Hidup, Palang Merah Indonesia serta LSM diperlukan untuk
penanganan dampak yang lebih lanjut.
Selain itu, juga diperlukan penanganan pasca erupsi yang
bertujuan untuk meminimalisir adanya kerusakan lanjut akibat
adanya erupsi Gunung Merapi. Hal yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Melakukan evakuasi terhadap masyarakat yang terkena erupsi
Gunung Merapi.
b. Menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil
letusan.
c. Mengidentifikasi daerah yang terancam bencana.
d. Memberikan saran penanggulangan bencana.
e. Memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka
panjang.
f. Memperbaiki fasilitas yang rusak.
g. Menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun.
h. Melanjutkan pemantauan secara berkesinambungan.
i. Melakukan perbaikan infrakstruktur yang rusak.

Karena sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang bisa


mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi. Hanya
Merapi itu sendirilah yang tau apa yang akan terjadi pada dirinya
dari waktu ke waktu. Toh demikian, alam masih berbaik hati dengan
menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia setiap kali dirinya
akan menggeliat.
Masalahnya, manusia (modern) sering kurang tanggap
dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh alam, bahkan
cenderung mengabaikannya.Tetapi tidak demikian halnya dengan

42
masyarakat yang tinggal di lereng-lereng.Mereka punya sistem
kepercayaan sendiri mengenai lingkungan alam yang diwariskan
secara turun menurun.Mereka percaya bahwa hal terpenting dalam
lingkungan orang desa disekitar merapi dengan lingkungan adalah
sarana kehidupan.

43
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Replika Gunung Merapi ………………………………… 1


Gambar 2.Singkapan Batuan Merapi ………………………… ….… 2
Gambar 3.Morfologi Puncak Gunung Merapi …………………….. 2
Gambar 4.Evolusi Kerak Bumi ……………………………………… 3
Gambar 5.Tipe Letusan Gunung Berapi …………………………… 3
Gambar 6.Selayang Pandang Merapi ……………………………… 4
Gambar 7.Pertumbuhan Kubah Merapi …………………………… 4
Gambar 8.Pemantauan Gunung Merapi …………………………... 5
Gambar 9.Peta Kawasan Gempa Bumi Merusak Yogyakarta Dan
Jawa Tengah ……………………………………………. 5
Gambar 10.Tertutupnya Pemukiman Masyarakat Oleh Abu
Vulkanik ………………………………………………… 6
Gambar 11.Sisa Motor Akibat Gunung Merapi …………………… 6
Gambar 12.Sisa Lampu Patromak ……………………………….… 7
Gambar 13. Sisa Alat Makan ………………………………………... 7
Gambar 14. Sisa Buku-Buku Dan Kaset …………………………… 8
Gambar 15.Kondisi Dapur Akibat Erupsi Gunung Merapi ……..… 8
Gambar 16.Kondisi Isi Rumah Akibat Erupsi Gunung Merapi ….. 9
Gambar 17.Sisa Peralatan Dapur …………………………………. 9
Gambar 18.Kerangka Hewan Ternak Penduduk ………………… 10
Gambar 19.Alat Seismometer ……………………………………… 10
Gambar 20.Foto Penulis Di Museum Merapi …………………..… 11
Gambar 21.Foto Penulis Di Depan Gedung Museum Merapi ..… 11
Gambar 22.Wisata Vulcano Tour ………………………………..… 12
Gambar 23.Foto Penulis Di Vulcano Tour ………………………… 12
Gambar 24.Foto Penulis Di Vulcano Tour ………………………… 13
Gambar 25.Foto Penulis Di Candi Borobudur ……………………. 13
Gambar 26.Foto XII MIPA 3 ………………………………………… 14
Gambar 27.Foto Penulis Di Universitas Gadjah Mada …………... 15
Gambar 28.Foto XII MIPA 3 Di Universitas Gadjah Mada ………. 15
Gambar 29.Foto XII MIPA 3 Di Universitas Gadjah Mada ………. 16

viii
DAFTAR PUSTAKA

Adger, N. (2003). Social Capital, Collective Action, and Adaptation to


Climate Change. Economic Geography, Vol. 79, No. 4 , 387-404
BADAN LITBANG PERTANIAN. 2010. Laporan Hasil Kajian Singkat
(Quick Assessment): Dampak Erupsi Gunung Merapi di Sektor
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Bappenas. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Erupsi
Gunung Merapi Provinsi DIY dan Jawa Tengah Tahun 2011-2013
Chambers, R., & Conway, G. (1991).Sustainable Rural Livelihood:
Practical Concepts for 21st Century. IDS Discussion Paper 296 , 1-
29.
Harjito, D. A. (2011).Recovery Pengembangan Wisata Bencana
Pascaerupsi. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi:
Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat
Pascabencana , 172-181.
Inskeep, E. (1991). Tourism Planning, An Integrated And Sustainable
Approach. New York: Van.
International Recovery Platform(IRP). (2009). Supporting Livelihood in
Disaster Recovery. Knowledge for Recovery Series Info Kit
Livelihoods 2
Kelman, I., & Mather, T. A. (2008).Living with Volcanoes: The Sustainable
Livelihoods Approach for Volcano Related Opportunities. Journal of
Volcanology and Geothermal Research 172 , 189–198.
Mill, R.C. and A.M. Morrison. (1985), The Tourism System: An Introductory
Text, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Miller, C.D., 1985, Holocene eruptions at the Inyo volcanic chain,
California-implications for possible eruptions in the Long Valley
caldera: Geology, v. 13, p.14-17.
Petford, N., & al, e. (2010).On the Economics and Social Typology of
Volcano Tourism with Special Reference to Montserrat, West Indies.
Dalam P. Ertfud-Cooper, & M. Cooper, Volcano and geothermal
tourism : Sustainable Geo-resources for Leisure and Recreation (hal.
85-93).
Sukandarrumidi.(2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene.
Jakarta: Penerbit Kanisisus

ix
http://princesshaa.blogspot.co.id/2013/01/dampak-ekonomi-pariwisata-
paska-erupsi.html
http://medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/article/viewFile/9
59/968
http://ilmu-perpustakaan.blogspot.co.id/2011/12/dampak-letusan-gunung-
merapi-terhadap.html
http://www.sappk.itb.ac.id/jpwk/wp-content/uploads/2014/02/Jurnal-2-
Anastasia.pdf
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/en/berita-terbaru-
topmenu-58/968-meraapi

x
LAMPIRAN

Gambar 1. Replika Gunung Merapi

xi
Gambar 2.Singkapan Batuan Merapi

Gambar 3.Morfologi Puncak Gunung Merapi


Gambar 4. Evolusi Kerak Bumi

Gambar 5.Tipe Letusan Gunung Merapi


Gambar 6. Selayang Pandang Merapi

Gambar 7.Pertumbuhan Kubah Merapi


Gambar 8.Pemantauan Gunung Merapi

Gambar 9.Peta Kawasan Gempa Bumi Merusak Yogyakarta Dan Jawa


Tengah
Gambar 10.Tertutupnya Pemukiman Masyarakat Oleh Abu Vulkanik

Gambar 11.Sisa Motor Akibat Erupsi Gunung Merapi


Gambar 12.Sisa Lampu Petromak

Gambar 13. Sisa Alat Makan


Gambar 14. Sisa Buku-Buku Dan Kaset

Gambar 15. Kondisi Dapur Akibat Erupsi Gunung Merapi


Gambar 16. Kondisi Isi Rumah Akibat Gunung Merapi

Gambar 17.Sisa Peralatan Dapur


Gambar 18. Sisa Hewan Ternak Penduduk

Gambar 19.Alat Seismometer


Gambar 20.Foto Penulis Di Museum Merapi

Gambar 21.Foto Penulis Di Depan Gedung Museum Merapi


Gambar 22.Wisata Vulcano Tour

Gambar 23.Foto Penulis Di Vulcano Tour


Gambar 24.Foto Penulis Di Vulcano Tour

Gambar 25.Foto Penulis Di Candi Borobudur


Gambar 26.Foto XII MIPA 3
Gambar 27.Foto Penulis Di Universitas Gadjah Mada

Gambar 28.Foto XII MIPA 3 Di Universitas Gadjah Mada


Gambar 29.Foto XII MIPA 3 Di Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai