Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS I

Epidural Hematoma

PEMBIMBING:
dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

Disusun Oleh:
Yudha Daud Pratama
2011730168

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT SYARAF


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus mengenai “Epidural Hematoma” ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimah kasih kepada dr. Wiwin, Sp.S yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Terima kasih juga kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan


penulisan laporan kasus ini. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan
bagi penulis pada khususnya.

Jakarta, 1 Januari 2019

Yudha daud Pratama

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

STATUS PASIEN................................................................................................................ 1

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 29

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN:
Nama Pasien : Tn. S
No. Rekam Medik : 010116**
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pekerja bangunan
Agama : Islam
Alamat : Blora, Jawa tengah
Tanggal masuk RS : 31 Desember 2018

II. ANAMNESIS :
Anamnesis dilakukan dengan metode alloanamnesis dan autoanamnesis

Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien diantar oleh rekan kerjanya dengan keluhan adanya penurunan kesadaran
sebanyak dua kali dikarenakan kepala pasien terbentur aspal 6 jam SMRS . Pada saat di
tempat kejadian, pasien sempat pingsan satu kali, selama 1 menit, kemudian pasien sadar
selama 4 jam namun seperti orang linglung, dan pada saat dibawa ke rumah sakit pasien
kembali pingsan selama 3 menit dan kemudian sadar hingga tiba di rumah sakit. Pada saat
kepala pasien terbentur, OS mengeluarkan darah dari telinga kanannya sebanyak ± 3 potong
kassa. Tanda kejang disangkal, mual, muntah menyembur disangkal. OS mengatakan nyeri
kepala kanan menjalar sampai kebagian alis mata kanan saat tiba di RS dengan mata
berkunang – kunang. Keluhan mata buram, penglihatan ganda disangkal. Keluhan sesak
disangkal. Selebihnya OS hanya dapat mengerang dan sesekali melantur. OS masih ingat
nama, usia, dan tempat tinggal namun tidak mengetahui keberadaanya dan tidak ingat

1
peristiwa kejadian sebelum terbentur, maupun sesudah terbentur serta tidak ingat
pekerjaanya, nama – nama keluarganya. Bicara pelo (-), kepala OS terbentur lantai di
ketinggian 1 meter tanpa helm, Kejang (-), demam (-), Mual (-), muntah (-) .

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit dengan keluhan serupa disangkal. Pasien tidak ada riwayat
penyakit jantung, penyakit ginjal serta penyakit stroke, hipertensi dan diabetes mellitus.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat penyakit di keturunan keluarga disangkal.
Riwayat Pengobatan:
Belum diobati
Riwayat Alergi:
Riwayat alergi terhadap makanan dan obat disangkal.
Riwayat Psikososial:
Pasien adalah seorang pekerja bangunan. Kesehariannya memasang kabel di

sebuah proyek erection building .Teman pasien mengatakan pasien sering

mengkonsumsi kopi, merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Delirium,

GCS : 11, E = 3, M = 4, V =4

Fungsi Luhur : Amnesia post-traumatic, Afasia

Tanda Vital

Suhu : 36,80C

Nadi : 93 x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat

Nafas : 20 x/menit, reguler

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Status Generalis

2
Kepala : Normochepal, deformitas (-), oedema (temporal kanan) rambut hitam
dan sedikit memutih lurus, tidak mudah rontok, Nyeri tekan perikranial (+/-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
hiperemis (+/+), racoon eyes phenomenon (-/-)

Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-)

Telinga : Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah (+/-), membrane


timpani intak (-/+)

Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), tonsil T1/T1

Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid (-)

Thoraks

Paru

Inspeksi : Simetris (+/+), retraksi (-/-), massa (-)

Palpasi : Simetris (+/+), krepitasi (-/-), Vocal fremitus sama kanan kiri,
krepitasi (-/-)

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler kiri = kanan, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : Batas kiri atas ICS II linea para sternalis sinistra
Batas kiri bawah ICS IV linea mid clavicularis sinistra
Batas kanan atas ICS II linea para sternalis dextra
Batas kanan bawah ICS IV linea para sternalis dextra
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Permukaan rata

3
Auskultasi : BU (+) Normal

Palpasi : Supel (+), hepatosplenomegaly (-)

Perkusi : Timpani

Ekstremitas

Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

IV. STATUS NEUROLOGIS


RANGSANG MENINGEAL
Kaku Kuduk : (-)
Lasegue sign : (-) / (-)
Kernig sign : (-) / (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)

NERVUS KRANIALIS
N.I (Olfaktorius) :

Dextra Sinistra
Daya Pembauan sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai

N.II (Optikus)

Dextra Sinistra
Visus sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
Lapang Pandang sulit untuk dinilai Sulit untuk dinilai
Optic disc Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N.III (Okulomotoris), N. IV (Throklearis), dan N. VI (Abdusens)

4
Dextra Sinistra
Ptosis (-) (-)
Pupil
a. Bentuk Isokor,Bulat Isokor,Bulat
b. Diameter
3 mm 3 mm
c. Reflex Cahaya
Direk
Indirek
(+) (+)
(+) (+)
Gerak bola mata sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai

N.V (Trigeminus)
Dextra Sinistra
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Menggigit (+) (+)

Sensibilitas
a. Oftalmikus sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
b. Maksila
sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
c. Mandibula
sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
Reflex
Kornea (+) (+)
N.VII (Facial)
Dextra Sinistra
Motorik
a. Mengangkat alis (+) bila dirangsang nyeri (+) bila dirangsang nyeri
b. Menutup mata
(+) bila dirangsang nyeri (+) bila dirangsang nyeri
c. Menyeringai
(+) bila dirangsang nyeri (+) bila dirangsang nyeri
Sensorik
a. Daya kecap lidah sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
2/3 depan
N.VIII (Vestibulokoklearis)

5
Dextra Sinistra
Pendengaran
a. Test bisik Tidak merespon merespon
b. Test Rinne
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. Test Weber
d. Test Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. Berdiri dengan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
mata terbuka
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. Berdiri dengan
mata tertutup
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N.IX (Glosofaringeus) dan N.X (Vagus)


Arkus faring
a. Pasif sulit untuk dinilai N.
XI b. Gerakan aktif
sulit untuk dinilai
Uvula
a. Pasif sulit untuk dinilai
b. Gerakan aktif
sulit untuk dinilai
Disfonia (-)
Disfagia (-)
(Assesorius)
Dextra Sinistra
Memalingkan kepala sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
Mengangkat bahu sulit untuk dinilai sulit untuk dinilai
N.XII (Hypoglosus)
Posisi lidah Tidak deviasi
Papil lidah Baik
Atrofi otot lidah (-)
Fasikulasi lidah (-)
FUNGSI MOTORIK

Dextra Sinistra
Bentuk Tidak ada deformitas
Kontur Otot Eutrofi Eutrofi
Kekuatan 5 5 5 5 3 3 5 5
Reflex Bisep + +
Reflex Trisep + +

6
Kesan: Hemiparesis ekstremitas sinistra
Sistem Ekstrapiramidal

1. Tremor : -

2. Chorea : -

3. Balismus : -

Tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan

Sistem Koordinasi :

Tidak dilakukan pemeriksaan

Sistem Kortikal :
1. Atensi : Terganggu

2. Konsentrasi : Terganggu

3. Disorientasi : Tempat, Waktu

4. Kecerdasan : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

5. Bahasa : Afasia Fluent

6. Memori : Amnesia

7. Gnosis : Agnosia

FUNGSI SENSORIK

Ekstremitas atas Ekstremitas bawah


Kanan Kiri Kanan Kiri
Nyeri (+) (+) (+) (+)
Raba (+) (+) (+) (+)

7
FUNGSI VEGETATIF
BAK : Normal, tidak terpasang kateter
BAB : Belum BAB sejak masuk rumah sakit

REFLEK FISIOLOGIS
Reflek bisep : (+/+)
Reflek trisep : ( +/±)
Reflek brachioradialis : ( +/±)
Reflek patella : (+/+)
Reflek achilles : ( +/±)

REFLEK PATOLOGIS
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Scaeffer : (-/-)
Gordon : (-/-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tgl 31/12/2018
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN HASIL
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15.1 12 – 15 g/dL
Leukosit 13.8 4.0 – 11.0 ribu/mm3
Trombosit 190 150 - 450 ribu/mm3
Hematokrit 43 31 - 55 %
Eritrosit 4.65 4.76 – 6.45 juta/uL
MCV 88 85 - 123 fl
MCH 28 28 - 40 pq
MCHC 32 29-37 %
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewaktu 96 < 160 mg/dL
Fungsi Ginjal
Kreatinin 0.9 0.8 – 1.5 mg/dl

8
VI. RESUME
Tn.S, 50 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sebanyak dua kali
dikarenakan kepala pasien terbentur aspal 6 jam SMRS . Pada saat kepala pasien terbentur,
OS mengeluarkan darah dari telinga kanannya sebanyak ± 3 potong kassa. pasien sempat
pingsan dua kali, yang pertama 1 menit, yang kedua 3 menit.. OS mengatakan nyeri kepala
kanan menjalar sampai kebagian alis mata kanan saat tiba di RS dengan mata berkunang –
kunang. Selebihnya OS hanya dapat mengerang dan sesekali melantur. OS masih ingat nama,
usia, dan tempat tinggal namun tidak mengetahui keberadaanya dan tidak ingat peristiwa
kejadian sebelum terbentur, maupun sesudah terbentur serta tidak ingat pekerjaanya, nama –
nama keluarganya.

Pada Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
delirium kontak tidak adekuat, fungsi luhur: afasia sensorik, amnesia, dan agnosia.
tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 93 x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat,
pernapasan: 20 x/menit reguler, suhu: 36,80C. Pemeriksaan neurologis hemiparese
ekstremitas dektra.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan: Laboratorium: Leukosit = 13,8.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 CT-Scan kepala + kontras
 MRI + kontras

9
Hasil CT-Scan Kepala Schaedel : tampak gambaran hiperidens pada epidural region
temporal hemisphere dekstra.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Cephalgia, Hemiparese Sinistra, Afasia sensorik, Amnesia
anterograde dan retrograde, Agnosia, Interval Lucid, oedema
temporal kanan
Diagnosis Topis : epidural space hemisfer dextra
Diagnosis Etiologi : Traumatic head injury
Diagnosis Patologi : Edema, Inflamasi

IX. TATALAKSANA

a. Cairan IV line NaCl 0,9 % 20 tpm d. Ceftriaxone 1 x 2 g


b. Tramadol drip 3x1 ampul e. Asam Traneksamat inj 3x1
c. Citicolin 2 x 500 mg
f. Ranitidine 2 x 1 ampul

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA KEPALA / CEDERA KEPALA

A. Definisi

Trauma/cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik


secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik bersifat
sementara atau menetap.1 Cedera otak dibagi menjadi 2, yaitu : cedera otak
primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer merupakan kerusakan
yang terjadi pada otak segera setelah trauma sedangkan cedera otak sekunder
merupakan kerusakan yang berkembang kemudian sebagai komplikasi.3

B. Epidemiologi

Cedera kepala merupakan kedaruratan neurologi yang memiliki akibat


yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di
dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala aktifitas manusia, jika
terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab cedera
kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan
cedera olahraga (10%). Angka kejadian cedera kepala yang dirawat di Rumah
Sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua setelah stroke,
dan merupakan urutan kelima pada 10 penyakit terbanyak yang dirawat di
Rumah Sakit di Indonesia.1

C. Etiologi

Penyebab cedera kepala antara lain :1

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil


 Kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan
 Cedera akibat kekerasan
 Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak
 Kerusakan menyebar karena kekuata benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
 Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam

D. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup.

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses


patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau
menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling
otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan
hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki
efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam
tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di
dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak
sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak
dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.

1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau
pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury).3
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari
tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di
dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal
dan bitnik-bintik perdarahan intraserebral.3

3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).3
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang
secara otomatis menekan otak.3
E. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis


dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan : 1

1. Mekanisme

Cedera kepala dibagi atas cedera tumpul/ cedera kepala tertutup dan
cedera tembus/cedera kepala terbuka. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

a) Cedera Kepala Terbuka/Tembus


Cedera kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan
pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius.
Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga
diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan
dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak
tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat
dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda
klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :

 Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os


mastoid )
 Hemotipanum (perdarahan di daerah gendang telinga )
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung )
 Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
 Otorrhoe (liquor keluar dari telinga)

b) Cedera Kepala Tertutup/Tumpul

Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan


laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat
sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan
dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak
disertai robekan duramater.
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena
adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena
perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi,
gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan
lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara
otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau
dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan
gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat
tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang
mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena
kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran
suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya
terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat
terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan
(countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan
dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah
yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan
yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi
tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya
countrecoup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam
tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam
tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

 Komusio serebri (gegar otak)


Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan biasanya
hanya mengakibatkan pingsan sejenak, dengan atau tanpa amnesia
retrograde. Tanda-tanda kelainan neurologic apapun tidak terdapat
pada penderita yang bersangkutan. Diagnosis digunakan untuk
kasus semacam itu ialah komusio cerebri.
Komosio merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana
terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin
termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung. Komosio
adalah hilangnya kesadaran sekejap, setelah terjadinya cedera pada
otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Komosio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa
terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
 Kontusio serebri (Memar otak)
Merupakan perdarahan kecil/petechie pada jaringan otak
akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Lesi kontusio adalah
adanya akselarasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselarasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala.
Karena itu otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens
retikularis difus. Akibat blokade tersebut otak tidak mendapatkan
input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade
reversible berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”),
“contercoup”, dan “intermediet”, menimbulkan gejala defisit
neurologik, yang bisa berupa refleks babinski positif dan
kelumpuhan UMN. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan -kerusakan
yang   hemoragik   pada   daerah  coup   dan  countre  coup,   dengan   piamater   yang

masih utuh pada kontusio dan robek padalaserasio serebri. 

Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai

adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari

kontusio  akan terjadi  edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu

akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami

kerusakan ataupun peregangan pada sel­sel endotelnya. Cairan akan keluar  dari

pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan

interstisial yang disebut tekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan

mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.

Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh­pembuluh darah yang

mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia.

Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi

dan   hilangnya   auto   regulasi   aliran   darah,   sehingga   edema   semakin   hebat.

Hipoksia   karena   sebab­sebab   lain   juga   memberikan   akibat   yang   sama.   Jika

otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada


jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan
herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam
berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca kontusio
yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio
serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang disertai dengan
kebingungan atau bahkan koma.

 Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara
otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi
karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya
terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma
subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan
tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan
diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian
besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala
dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis)
lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan
serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak.
Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa
terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah
satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan
jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan
hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

 Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang
terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi
karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam
arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat
memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul
tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi
dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi
peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan
koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung
kepada CT scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera
mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.

 Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya
cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya
cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang
bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural
pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

2. Beratnya cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi


beratnya penderita cedera kepala. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala
(menurut Brain Injury Associaton of Michigan) :

Klasifikasi Penjelasan

Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit


Amnesia setelah trauma < 24 jam
GCS 13-15

Sedang Kehilangan kesadaran ≥20 menit dan ≤36 jam


Amnesia setelah trauma ≥24 jam dan ≤7 hari
GCS 9-12

Berat Kehilangan kesadaran ≥36 jam


Amnesia setelah trauma >7 hari
GCS 3-8

3. Morfologi

a. Fraktur cranium
Klasifikasi fraktur tulang sebagai berikut:
 Gambaran fraktur : linear, diastase, comminuted dan depressed

Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang


besar pada permukaan yang lebar, merupakan cedera benturan yang
disebabkan oleh perubahan bentuk kepala dari sisi benturan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat
fraktur.
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir
pada satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau
terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga
menghasilkan fraktur depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari
besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.

 Lokasi anatomis : konveksitas dan basis cranii

Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur


tulang kepala dan 4% dari seluruh cedera kepala. Fraktur basis
kranii sering merupakan ekstensi dari fraktur kubah kranium, dapat
juga timbul dari aliran beban pada benturan langsung pada basis
kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah
sinus sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal dengan
petrosum, sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah
terjadi fraktur. Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan tenaga,
struktur tulang dan foramen pada basis kranii. Fraktur basis kranii
dengan robekan dura sangat mudah terjadi infeksi atau dapat juga
terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan bocornya LCS
berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf
otak dan pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf
otak atau pembuluh darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi.

 Keadaan luka : terbuka, tertutup dan lesi intra kranial

b. Cedera otak difus

Mulai dari konklusi ringan, dimana gambaran CT scan normal


sampai kondisi yang sangat buruk, pada konklusi, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia
retro/anterograde. Cedera otak difus yang berat biasanya diaktifkan
hipoksia, iskemia dari otak karena syok yang berkepanjangan atau
periode apnea yang terjadi segera setelah trauma. Cedera otak difus
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.

c. Perdarahan epidural (Epidural Hematoma/EDH)


Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal
yang disebabkan oleh robeknya arteri meningeal media akibat fraktur
tulang tengkorak.

d. Perdarahan subdural (Subdural Hematoma/SDH)

Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada perdarahan


epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat
dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan
epidural.

e. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus


frontal dan lobus temporal, walaupun dapat terjadi pada setiap bagian
dari otak. Kontusio serebri yang terjadi dalam waktu beberapa jam
atau hari, dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi.

F. Diagnosis
Anamnesis

1. Keluhan utama, dapat berupa : Penurunan kesadaran, Nyeri kepala


2. Anamnesis tambahan :
 Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
 Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena
dan tingkat keparahannya ?
 Apakah ada pingsan ?
 Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
 Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
 Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
 Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness
(penyakit penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan
dengan kejadian trauma
3. Komplikasi / Penyulit
 Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
 Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
 Ada sesak nafas, batuk-batuk
 Muntah atau tidak
 Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
 Adanya kejang atau tidak
 Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
 Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
 Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)

Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita


sudah mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting
untuk menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.

Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
a. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring
atau trakea.
 Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan
nafas bebas.
 Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau
berkumur - ada obstruksi parsial.
 Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8
keadaan tersebut definitif memerlukan pemasangan selang
udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita
datang dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat
immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur
servikal dapat disingkirkan.

b. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat


 Pada inspeksi, baju harus dikendorkan untuk melihat ekspansi
pernafasan dan jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan
gerak dada sama kiri dan kanan.
 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah
dalam rongga pleura.
 Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam
paru-paru.

c. Circulation, dengan kontrol perdarahan


1) Volume darah
 Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai
terbukti sebaliknya.
 Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang
sehingga dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
 Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada
wajah dan ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik.
Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin
merupakan tanda hipovolemik.
 Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan
tanda diperlukan resusitasi segera.
2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan
cara penekanan pada luka.

d. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan
adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
 A : sadar (Alert)
 V : respon terhadap suara (Verbal)
 P : respon terhadap nyeri (Pain)
 U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat
dilakukan pada primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary
survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
 Skor GCS 13-15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
 Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
 Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
 Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit
kepala
 Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.

2) Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)


 Skor GCS 9-12 (konfusi, letargi, atau stupor)
 Konklusi
 Muntah
 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
 Kejang.

3) Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)


 Skor GCS 3-8 (koma)
 Penurunan derajat kesadaran secara progresif
 Tanda neurologis fokal
 Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya


perfusi ke otak atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-
obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika
hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala
dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan
alkohol sampai terbukti sebaliknya.

e. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan
evaluasi terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk
reevaluasi tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
 Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
 Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
 Rhinorrhea, Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan
pemeriksaan naeurologis lengkap.
 Tingkat kesadaran dengan GCS
 Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
 Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak

Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala :

Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi

Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi


sekunder herniasi tentorial

Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese N III
bilateral

Dilatasi unilateral Reaksi menyilang Cedera N. Optikus


(equal) (Marcus-Gunn)

Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati


metabolik, lesi pons

Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik


Amnesia Pasca Trauma (Post-Traumatic Amnesia/PTA)
Indeks lain yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala
adalah durasi amnesia pascatrauma (PTA). PTA didefinisikan sebagai lamanya
waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi,
konsentrasi menurun, atensi menurun, dan atau ketidakmampuan untuk
membentuk memori baru.4

a) PTA 1 hari atau kurang : Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan
terapi yang sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang
menetap , biasanya post-ok syndrome.
b) PTA > 1 hari, tapi < 1 minggu : masa penyembuhan lebih panjang,
biasanya beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya
sangat mungkin dengan perawatan yang baik.
c) PTA 1-2 minggu : Penyembuhan membutuhkan waktu beberapa bulan,
pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat
kembali bekerja, pasien dapat melakukan aktivitas sosial dengan
perawatan yang baik.
d) PTA 2-4 minggu : proses penyembuhan berlangsung lama, biasanya 1
tahun atau lebih. Didapatkan defisit permanen, sebagian tidak dapat
melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas sosial).
e) PTA >4 minggu: terdapat defisit dan disabilitas yang permanen,
dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang.

Pemeriksaan penunjang

1. Foto polos cranium ( scadel )


Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada
setiap cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur
pada tulang tengkorak. Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dalam mendeteksi perdarahan intrakranial.4

2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik
ringan sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang tengkorak,
CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada
otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan
perdarahan pada otak.3

Subdural Hematoma
Secara klinis, ditandai dengan penurunan kesadaran disertai laserasi
berupa hemiparese/plegia dan pada CT-Scan menunjukkan gambaran
hiperdens berupa bulan sabit.2

Gambar 1 Gambaran CT-Scan SDH

Epidural Hematoma
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lateralisasi
berupa hemiparesis/plegia, papil anisokor, adanya refleks patologis satu
sisi, jejas pada kepala.2 Pada pemeriksaan CT-scan menunjukkan lesi
hiperdens berbentuk bikonveks.
Gambar 2 Gambaran CT-Scan EDH

Subarakhnoid Hematoma
Tampak densitas yang meningkat di sulci-sulci pada CT-Scan.

Gambar 3 Gambaran CT-Scan SAH

Itracranial Hematoma
CT Scan kepala nonkontras merupakan modalitas terbaik untuk
diagnosis pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak
sebagai lesi hiperdens dengan edema minimal atau tanpa edema di
sekeliling lesi. Pada subakut batas perifer hematoma membentuk ring-like
enhancement pada CT Scan dan MRI akibat proliferasi kapiler pada kapsul
hematoma.5

Gambar 4 Gambaran CT-Scan ICH


Kontusio Serebri
Pada gambaran CT-Scan menunjukkan perdarahan kecil-kecil di
jaringan otak.

Gambar 5 Gambaran CT-Scan Kontusio serebri

G. Tatalaksana

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan


atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum
yaitu perhatian urutan prioritas terhadap “6B” :2

Breathing (Jalan napas dan pernapasan)

Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas yang perlu segera


dibebaskan dengan tindakan-tindakan, seperti : suction, intubasi,
trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu merupakan
tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema serebri yang
terjadi. Sangat penting diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan
penderita.2

Blood (Sirkulasi darah)

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium


darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang
menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial.
Sebaliknya, tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi
menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan (yang bukan dari
kepala/otak) dan membutuhkan tindakan transfusi). 2

Brain (Otak)

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respons-


respons mata, fungsi motoric, dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respons ini
merupakan implikasi adanya perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila
pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan
lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi terhadap
cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata (reflex okulosefalik, okulovestibuler,
deviasi konjugat, nystagmus).2

Bladder (Kandung kemih)

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)


mengingat bahwa kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan
penderita mengejan sehingga tekanan intrakranial cenderung lebih
meningkat.2

Bowel (Sistem pencernaan)

Usus yang penuh cenderung untuk meninggikan tekanan intracranial.2

Bone (Tulang)

Adanya fraktur mengakibatkan nyeri yang juga pada gilirannya akan


mengakibatkan kenaikan tekanan intracranial. Sehingga penanganan kelainan
tulang sehubungan dengan trauma yang dialami penderita juga harus
dilakukan secara adekuat. 2
Berdasarkan prakteknya, cedera kepala dapat ditangani sesuai dengan
tingkatan klasifikasi klinisnya yaitu berdasarkan tingkat kesadaran (GCS)
terbaik 6 jam pertama pascatrauma:

1. Cedera kepala yang ringan


 Anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan, riwayat
penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde
atau antegrade) serta keluhan-keluhan yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intra kranial seperti : nyeri kepala, pusing, dan
muntah. Amnesia retrograde cenderung merupakan tanda-tanda ada
tidaknya trauma pada kepala, sedangkan amnesia antegrade (pasca
trauma) lebih berkonotasi akan berat ringannya konkusi cedera kepala
yang terjadi.
 Pemeriksaan fisik ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan
sistemik lain, serta mendeteksi defisit neurologis yang mungkin ada.
 Kepentingan pemeriksaan radiologis berupa foto polos kepala
dimaksudkan untuk mengetahui adanya : fraktur tengkorak
(linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus
alinenum sedangkan foto servikal atau bagian tubuh lain dilakukan
sesuai dengan indikasi.
 Pemeriksaan CT-scan memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua
kasus cedera kepala.
 Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan
adalah :
- Amnesia antegrade/pascatraumatika
- Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
- Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat moderat sampai
berat.
- Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
- Adanya fraktur tulang tengkorak
- Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)
- Cedera berat bagian tubuh lain
- Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping di rumah)
2. Cedera kepala sedang

Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga


mencakup pemeriksaan scan tomografi computer otak (CT-Scan). Pada
tingkat ini semua kasus mempunyai indikasi untuk dirawat. Selama hari
pertama perawatan di Rumah Sakit perlu dilakukan pemeriksaan
neurologis setiap setengah jam sekali, sedangkan follow up CT-Scan pada
hari ke-3 atau bila ada perburukan neurologis.
3. Cedera kepala berat

Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita


dalam kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai risiko
terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas, dimana tindakan
“menunggu” dapat berakibat sangat fatal.

 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-


Breathing-Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi dan
anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intracranial
dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motoric, verbal,
pemeriksaan pupil, reflex okulosefalik dan reflex okulovesibuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
masih rendah (syok).
 Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, antikejang, dan
natrium bikarbonat.
 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : CT-scan dan angiografi
serebral
 Rawat selama 7 – 10 hari
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :


1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis
tengah (pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm.
2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula
interna tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri
anterior atau media.
3. Lesi massa ekstra aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari
tabula eksterna
4. Lesi massa intra aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi
hebat dari arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis
tengah.

H. Prognosis

Prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat tiba di rumah sakit.3

GCS saat tiba Mortalitas

15 1%

8-12 5%

<8 40%

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa


mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung
kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.
Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area
di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika
hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Penderita cedera
kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat
peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika
kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan
penderita akan pulih kembali.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Rianawati, dr. Sri Budhi, dkk. 2017. Buku Ajar Neurologi. Hlm. 437. Jakarta:
Sagung Seto.
2. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV hlm.216-220. Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama.
3. Baehr, Mathias. Frotscher, Michael. 2017. Diagnostik Topik Neurologi DUUS.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Dewanto, dr. George, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana
Penyakit Saraf hlm.12-19. Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.
6. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
7. Lumbantobing, S.M.2016. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Penerbit Buku FK UI.
8. Estiasari, Riwanti, dkk. 2018. Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis. Jakarta :
Kolegium Neurologi Indonesia PERDOSSI.

Anda mungkin juga menyukai