Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEBIJAKAN FISKAL

KELOMPOK:6

Dani Setiawan

Irha Bashira Firman

Yusuf Fadillah

KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

PROF. DR. HAMKA

JAKARTA 2012
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah swt, karena ridho dan karunia Nya kami dapat menyelesaikan
tugas makalah sebagaimana yang diamanahkan oleh Ibu Evindyah, selaku dosen mata
kuliah Ekonomi Universitas Prof. Dr. Hamka.
Sebagai warga negara Indonesia, kita hendaknya turut untuk memberikan aspirasi
atau kontribusi kepada negara untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam arti, bahwa
masyarakat seperti kita ini, punya hak dan kewajiban menilai hasil kerja pemerintah.
Menganalisis kebijakan pemerintah yang harus kepada pro rakyat.
Apalagi bila kita berbicara mengenai keseimbangan anggaran pemasukan dan
pengeluaran, diharapkan pemerintah dapat mengatur sedemikian rupa agar bisa
membawa keuntungan akan tetapi tidak memberatkan rakyatnya. Dalam makalah ini,
hendak dibahas mengenai mekanisme kebijakn fiskal yang merujuk kepada sistem
pemasukan dan pengeluaran negara.
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan di kalangan mahasiswa serta
bermanfaat bagi masyarakat.
Kepada Ibu Evindyah, selaku dosen Ekonomi, diharapkan dapat menerima makalah
ini untuk dianalisis dari segi hasil karya mahasiswa. Kami ucapkan terimakasih sebanyak-
banyaknya, serta mohon maaf bila ditemukan banyak kekurangan pada makalah ini.

Jakarta, 10 Mei 2012

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4

1.2 Masalah................................................................................................................4

1.3 Tujuan..................................................................................................................4

1.4 Manfaat................................................................................................................4

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Kebijakan fiskal.....................................................................................5

2.2 Fungsi Kebujakan fiskal......................................................................................7

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Definisi Kebijakan Fiskal...................................................................................9

3.2 Tujuan Kebijakan Fiskal.....................................................................................9

3.3 Instrumen Kebujakan Fiskal...............................................................................9

3.4 Kebijakan Fiskal Mempunyai Berbagai Bentuk................................................9

3.5 Kostumisasi APBN Oleh Pemerintah...............................................................10

3.6 Pengaruh Krisis Ekonomi Pada Kebijakan Fiskal............................................11

3.7 Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai...............................................................11

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran
pemerintah (goverment expenditure). Berbicara tentang kebijakan fiskal berkaitan erat dengan
kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah
tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri.Ke-
empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan
dan pengeluaran.

Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana
ketidakpastiannya sangat tinggi.Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun
tajam.Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun
semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah.Tingkat bunga
yang sedemikian sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal.

Menurut Mohamad Ikhsan, (http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara yang


tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru-baru ini sepakat mendorong lebih
cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk memulihkan
perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus
perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan.Hambatan ini dirasakan
terutama di negara berkembang.

2.2 Rumusan masalah

Dari latar belakang di atas dapat di buat beberapa rumusan masalah yaitu antar lain:

1. Definisi kebijakan fiskal (fiskal policy)


2. Pengaruh pajak terhadap pendapatan dan konsumen
3. Pengaruh pajak terhadap keseimbangan ekonomi
4. Politik anggaran
5. Efektivitas kebijakan fiskal

2.3 Tujuan

1. Agar lebih memahami definisi dari kebijakan fiskal


2. Serta mempermudah pembaca memahami pengaruh pajak terhadap keseimbangan
ekonomi.

2.4 Manfaat
1.) Mengetahui apa yang terjadi dengan kekayaan alam Indonesia.
2.) Mengetahui mekanisme ekonomi di Indonesia.
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan
ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan
perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.
Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.

2.1.1 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah bisa disebut sebagai perbelanjaan pemerintah atau


negara. Belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk membiayai
belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah. Belanja untuk daerah adalah semua
pengeluaran untuk membiayai dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan
penyesuaian.
a) Belanja Pemerintah Pusat:

 Belanja Pegawai

 Belanja Barang

 Belanja Modal

 Pembayaran Bunga Utang

 Subsidi

 Belanja Hibah

 Bantuan Sosial

 Belanja Lain-lain

b) Dana yang dialokasikan ke Daerah

 Dana Perimbangan

 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian


c) Pengeluaran untuk Pembiayaan

 Pengeluaran untuk Obligasi Pemerintah


 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri
 Pembiayaan lain-lain

2.1.2 Pendapatan/ penerimaan Pemerintah

a) Pajak

Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat/daerah)


terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang (pemungutannya dapat
dipaksakan) tanpa ada imbalan langsung bagi pembayarnya. Jenis pajak di
Indonesia yakni, pajak usat dan pajak daerah.1

a. Pajak Pusat
 Pajak Penghasilan (PPh)
 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)
 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM)
 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
 Bea Meterai
 Bea Masuk
 Cukai
 Pajak Ekspor
b. Pajak Daerah
 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
 Pajak Hotel dan Restoran (PHR)
 Pajak Reklame
 Pajak Hiburan
 Pajak Bahan Bakar

b) Retribusi

Retribusi merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah


(pusat/daerah) berdasarkan undang-undang (pemungutannya dapat dipaksakan) di
mana pemerintah memberikan imbalan langsung bagi pembayarnya. Contoh,
pelayanan medis di rumah sakit milik pemerintah, pelayanaan perpakiran oleh
pemerintah, pembayaran uang sekolah, dll.
c) Keuntungan BUMN/BUMD

Sebagai pemilik BUMN, pemerintah pusat berhak memperoleh bagian


laba yang diperoleh BUMN. Demikian pula dengan BUMD, pemerintah daerah
sebagai pemilik BUMD berhak memperoleh bagian laba BUMD.

d) Denda dan Sita

Pemerintah berhak memungut denda atau menyita asset milik masyarakat,


apabila masyarakat (individu/kelompok/organisasi) diketahui telah melanggar
peraturan pemerintah. Misalnya: denda pelanggaran lalulintas, denda ketentuan
peraturan perpajakan, penyitaan barang-barang illegal, penyitaan jaminan atas
hutang yang tidak tertagih, dll.

e) Pencetakan Uang
Pencetakan uang umumnya dilakukan pemerintah dalam rangka menutup
defisit anggaran, apabila tidak ada alternatif lain yang dapat ditempuh pemerintah.
Penentuan besarnya jumlah uang yang dicetak harus dilakukan dengan cermat,
agar pencetakan uang tidak menimbulkan inflasi.

f) Pinjaman
Pinjaman pemerintah merupakan sumber penerimaan negara, yang
dilakukan apabila terjadi defisit anggaran. Pinjaman pemerintah dikemudian hari
akan menjadi beban pemerintah, karena pinjaman tersebut harus dibayar kembali,
berikut dengan bunganya. Pinjaman dapat diperoleh dari dalam maupun luar
negeri. Sumber pinjaman bisa berasal pemerintah, institusi perbankan, institusi
non bank, maupun individu.

g) Sumbangan, Hadiah, Dan Hibah


Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh pemerintah dari individu,
institusi, atau pemerintah. Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh dari
dalam maupun luar negeri. Tidak ada kewajiban pemerintah untuk
mengembalikan sumbangan, hadiah, atau hibah. Sumbangan, hadiah, dan hibah
bukan penerimaan pemerintah yang dapat dipastikan perolehannya. Tergantung
kerelaan dari pihak yang memberi sumbangan, hadiah, atau hibah.

2.2 Fugsi Kebijakan Fiskal

a) Fungsi alokasi
Maksudnya adalah untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam
masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dapat
terpenuhi. Kelangkaan akan barang dan jasa dalam masyarakat akan mengundang berbagai
kerawanan dalam masyarakat. Tanpa adanya prakarsa pemerintah kemungkinan pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan dapat terpenuhi dengan baik.

b) Fungsi distribusi
Fungsi distribusi, yang pada pokoknya mempunyai tujuan berupa terselenggaranya
pembagian pendapatan nasional yang adil. Keadilan dalam pembagian pendapatan nasional
merupakan unsur yang sangat asasi yang harus dinikrnati dan dirasakan oleh seluruh
masyarakat Indonesia.

c) Fungsi stabilisasi

Yaitu terjaminnya stabilisasi dalam pemerintahan suatu negara, terrnasuk


kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga yang relatif stabil dan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang cukup memadai. Melalui kebijakan fiskal diharapkan pemerintah dapat
mengusahakan terhindarnya perekonomian dari keadaan-keadaan yang tidak diinginkan,
seperti inflasi, neraca pembayaran defisit dan sebagainya(Soediyono, 1997).2
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Definisi Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengelolah dan
mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik yang diinginkan dengan cara mengubah-
ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Atau lebih jelasnya Kebijakan Fiskal adalah
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan
kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam
rangka melaksanakan pembangunan.

Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar,
namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.

3.2 Tujuan kebijakan fiscal.

adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan
memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah , jumlah transfer pemerintah ,
dan jumlah pajak yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan
nasional dan tingkat kesempatan kerja .

3.3 Instrumen kebijakan fiscal.

adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi.
Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan
dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli
masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

3.4 kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk.

 BLT(bantuan langsung runai)


Yaitu bantuan yang langsung di berikan kepada masyarakat. banyak orang
melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu
ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli masyarakat juga
meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat juga meningkat. meningkatnya
permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan
memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
 Pajak expor tambang

pajak yang dibebankan kepada para pengusaha tambang yakni PPh Badan sebesar 25 %,
turun pada tahun 2010 yang sebelumnya yakni 45 %. Pengusaha tidak membayar pajak
pertambahan nilai (PPN), karena pada implementasi di lapangan, tanah yang dikeruk langsung
dijual ke pabrik pengolahan di luar negeri, sehingga belum ada proses pemisahan.
Selanjutnya, pengusaha tambang harus membayar royalti 13.5% dari penjualan bersih.
Royalti ini merupakan penerimaan pemerintah non pajak. Royalti yang dibayar ini, bermakna
bahwa pengusaha tambang mengambil sumber daya alam negara yang pada dasarnya merupakan
milik negara, sehingga perusahaan tambang harus membayar imbalan karena telah mengolah
SDA milik negara.

3.5 kostumisasi APBN (anggaran pendapatan belanja negara) oleh pemerintah.

Misalnya dengan deficit financing. defcit financing adalah anggaran dengan menetapkan
pengeluaran penerimaan. deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu
pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan
meminjam dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper
inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk menutup anggaran yang
defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya, rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk
memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar
negeri.

tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing
dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi dengan
nama Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir. proyek ini adalah
contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan adanya proyek ini pengeluaran
pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini
akan mendorong kegiatan ekonomi agar menjadi bergairah.

3.6 Pengaruh krisis ekonomi pada kebijakan fiscal.

dimana Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang


dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi
defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran
bunga hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya
peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran.Dominasi
kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya
kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.
3.7 Mekanisme pajak pertambahan nilai.

Objek Pajak Pertambahan Nilai ,Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN,
maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi
dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.

 Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:

1. adanya penyerahan;
2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap
barang yang dihasilkan.

 Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:

1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;


2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat
dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
7. penyerahan secara konsinyasi.

 Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah:

1. penyerahan kepada Makelar;


2. penyerahan untuk jaminan utang-piutang;
3. penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang
telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak;
4. penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau
pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak
atas barang kena pajak.

 Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk:

1. barang berwujud dan bergerak;


2. barang berwujud dan tidak bergerak;
3. barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia.

Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil
perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang
hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan
dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan
termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri,
yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.

Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut
harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.

 Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang
dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.
Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa Orang
Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN 1984
sebagai berikut:

Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan
atau tidak melakukan usaha.

 Badan dapat terdiri dari :

1. PT, CV, Perseroan lainnya;


2. BUMN/BUMD;
3. Firma, Kongsi, Koperasi;
4. Dana Pensiun;
5. Persekutuan, Perkumpulan;
6. Yayasan;
7. Ormas, orsospol, organisasi lainnya;
8. Lembaga;
9. Bentuk Usaha lainnya;
10. Bentuk Badan Lainnya.

 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai :

Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar
Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.

Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut:

1. untuk PPN Barang adalah harga jual;


2. untuk PPN Jasa adalah penggantian;
3. untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;
4. untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak
dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB
atau JKP;
5. untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman
suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan
semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;

6. untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.

Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang
atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga
yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.

 Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:

1. untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak
termasuk laba kotor;
2. untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
3. untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual
adalah harga pasar wajar;
4. untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya
dibayar.

 Menghitung PPN Pajak Masukan

Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau
nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya.
Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang
yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan
dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN
Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi
pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.

 Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi
lainnya;
2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi
seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5. menerapkan pemungutan sekali.

Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000
yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu
dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.

Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.

Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan
tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan,
dengan beberapa contoh.

Mengkredit Pajak Masukan

Yang melatar belakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan
pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung
besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk
memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai
dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu
membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar
sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka
tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi
persyaratan.

 Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga)


alternatif:

1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan;
2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak
Masukan;
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran
sama dengan Pajak Masukan.

Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma
Penghitungan Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP.
Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP
atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh
dikreditkan terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan
usaha yang menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus dibayar
kembali.

Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus
untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan
yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP.

Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan Pemungutan pajak
dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal, yang besarnya pajak terutang
sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan
pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus sebagai
pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka dalam pembukuan.

Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib
pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan,
modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung
pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.

Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka arab,
serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun metode
penilaian persediaan dan sebagainya.

 Yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut adalah:

1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh
UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan;
2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan
pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan
dengan menggunakan Norma Penghitungan.
4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam
menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17
Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan
menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal
9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.

 Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut:


1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak
Keluaran;
2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak
Keluaran.

Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran
bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan
BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak
dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan,
sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan
menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP
pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.

 Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan :

Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan
Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya
seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan
Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun
demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau
penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam
menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan.

Baik Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman Penghitungan


Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak. Penggunaan
Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping memudahkan
wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk dapat kompensasi, restitusi dan
hak-hak lainnya.

 Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan
mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan
pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif
proporsional dan progresif.

Dengan diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM bersama-


sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang menggantikan PPn
sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951.

Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah
diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

 Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor

Sebagai pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka


menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang, maka diberlakukan
pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan tingkat keadilan vertikalnya maka
diterapkan tarif proporsional yang progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan
maksimal 50% dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%, kelompok
dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%.

Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan
bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya
Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun
pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut
Bea Masuk.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang di lakukan dengan tujuan untuk mengelola isi
permintaan barang dan jasa, untuk mempertahankan produksi Yang mendekati full employment
dan untuk mempertahankan tingkat harga barang dan jasa agar inflasi dan deflasi tidak terjadi.

Bagi negara sedang berkembang sebenarnya sulit untuk menyesuaikan antara pendapatan
negara yang sedang berkembang rendah sedangkan kebutuhan untuk menyediakan barang dan
jasa serta membelanjai pengeluaran yang lainya lebih besar. Sedangkan kebijakan campuran
adalah merupakan campuran daari dua kebijakan diatas yang di lakukan dengan cara mengubah
pengeluaran, pengenaan pajak ataupun jumlah uang yang beredar secara bersama-sama.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.econlib.org/library/Enc/FiscalPolicy.html
2. http://dictionary.reference.com/browse/straitjacket
3. Heyne, PT, Boettke, PJ, Prychitko, DL (2002): Jalan Ekonomi Berpikir (10 red). Prentice
Hall.
4. Larch, M. dan J. Nogueira Martins (2009): Kebijakan Fiskal Membuat di Uni Eropa –
Sebuah Kajian Praktek dan Tantangan kini. Routledge.
5. ”Kebijakan Moneter” . Federal Reserve Board. 3 Januari .
6. ” BM Friedman , “Kebijakan Moneter,” Abstrak. . ” Ensiklopedi Internasional &
Perilaku Ilmu Sosial . 2001. hal 9976-9984.
7. Rogoff, Kenneth , 1985. “Komitmen optimal ke Target Moneter Intermediate”,
Quarterly Journal of Economics 100, hal 1169-1189
8. Forder, James (Desember 2004). “” Kredibilitas “dalam Konteks: Apakah Bankers
Tengah dan ekonom Interpretasikan Jangka Waktu Berbeda”? (pdf). Econ Jurnal .
9. ”Bank of England didirikan 1694″ . BBC. 31 Maret .
10. ”Undang-undang Federal Reserve” . Federal Reserve Board. 14 Mei .
11. Friedman, Milton (1960). Sebuah Program Stabilitas Moneter. Fordham University
Press.
12. Bernanke, Ben (2006). “Agregat Moneter dan Kebijakan Moneter di Federal Reserve:
Sebuah Perspektif Sejarah” .Federal .
13. Nelson, Edward (2007). “Milton Friedman dan US Sejarah Moneter: 1961-2006″ :.
Federal Reserve Bank of St Louis Review (89 171 .
14. ”Blog: Favorite Friedman tanda kutip” .
15. Friedman, mengutip Milton, Wikiquote
16. ”Nilai Tukar” . Perpustakaan Ekonomi dan Liberty. 31 Maret .

Anda mungkin juga menyukai