Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi Fraktur Radius

Gambar. Anatomi radius distal.


Radius distal terdiri dari atas tulang metaphysis, scaphoid facet
dan lunate Facet, dan Sigmoid notch, bagian dari metaphysis melebar
kearah distal, dengan korteks tulang yang tipis pada sisi dorsal dan radial.
Permukaan artikular memiliki permukaan cekung ganda untuk artikulasi
dengan baris karpal proksimal (skafoid dan fossa lunate), serta
kedudukan untuk artikulasi dengan ulna distal. 80 % dari beban aksial
didukung oleh radius distal dan 20% ulna dan kompleks fibrocartilage
segitiga (TFCC).
Radius distal terdiri dari permukaan sendi yaitu :
1. Facet skafoid
2. Facet lunatum
3. Sigmoid notch
Skafoid merupakan sisi lateral dari distal radius, sisi medial dari distal
radius yaitu sigmoid notch dan facet lunatum.
DRUJ ( distal radioulnar joint ) Sisi distal dari ulna berartikulasi
dengan radius distal dan merupakan tempat melekatnya kompleks
ligamentum triangular fibrocartilage. Radius distal terbagi menjadi
beberapa kolum, yaitu Kolum lateral dan Kolum medial yang terbagi
menjadi sisi dorsal dan sisi medial. Kedua kolum ini berkorelasi secara
anatomis dengan facet dari tulang schapoid dan facet dari tulang lunatum.
B. Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan
fraktur radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan fraktur
klaviluka atau radius distal. Akibat trauma pada tulang tergantung pada
jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.

C. Klasifikasi Fraktur
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur ekstensi dari
radius distal. Namun yang paling sering digunakan adalah sistem
klasifikasi oleh Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur Colles
dibedakan menjadi 4 tipe berikut :
Tipe I: Fraktur radius ekstra artikuler
Tipe II: Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
Tipe III: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe IV: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe V: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar
Tipe VI: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radioulnar
Tipe VII: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan sendi
radioulnar
Tipe VIII: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal
dan sendi radioulnar
D. Etiologi
1. Trauma
2. Gerakan plintir mendadak
3. Kontraksi otot ekstem
4. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

E. Patofisiologi
Fraktur umumnya terjadi karena kegagalan tulang menahan
tekanan akibat trauma. Trauma tersebut dapat bersifat langsung atau
tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi
biasanya bersifat komunitif ataupun transverse dan jaringan lunak juga
mengalami kerusakan. Sementara itu, pada trauma yang tidak langsung
trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur dan
biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Meskipun hampir sebagian besar fraktur disebabkan kombinasi
beberapa gaya (memutar, membengkok, kompresi, atau tegangan), pola
garis fraktur pada hasil pemeriksaan sinar X akan menunjukkan
mekanisme yang dominan.
Tekanan pada tulang dapat berupa:
1. Berputar (twisting) yang menyebabkan fraktur bersifat spiral
2. Kompresi yang menyebabkan fraktur oblik pendek
3. Membengkok (bending) yang menyebabkan fraktur dengan fragmen
segitiga ‘butterfly’
4. Regangan (tension) cenderung menyebabkan patah tulang
transversal; di beberapa situasi dapat menyebabkan avulsi sebuah
fragmen kecil pada titik insersi ligamen atau tendon.2
Setelah terjadinya fraktur komplit, biasanya fragmen yang patah
akan mengalami perpindahan akibat kekuatan cedera, gravitasi, ataupun
otot yang melekat pada tulang tersebut. Perpindahan yang terjadi yaitu
sebagai berikut:
1. Translasi (shift) – fragmen bergeser ke samping, ke depan, atau ke
belakang.
2. Angulasi (tilt) – fragmen mengalami angulasi dalam hubungannya
dengan yang lain.
3. Rotasi (twist) – Satu fragmen mungkin berbutar pada aksis
longitudinal; tulang terlihat lurus.
4. Memanjang atau memendek – fragmen dapat terpisah atau
mengalami overlap.2

Gambar. Mekanisme cedera: (a) spiral (twisting); (b) oblik pendek


(kompresi); (c) pola ‘butterfly’ segitga (bending); (d) transversal (tension).
Pola spiral dan oblik panjang biasanya disebabkan trauma indirek energi
rendah; pola bending dan transversal disebabkan oleh trauma direk
energi tinggi.
Pada kebanyakan aktifitas, sisi dorsal dari radius distal cenderung
mengalami tension, sisi volar dari radius distal cenderung mengalami
kompresi, hal ini disebabkan oleh bentuk integritas dari korteks pada sisi
distal dari radius, dimana sisi dorsal lebih tipis dan lemah sedangkan
pada sisi volar lebih tebal dan kuat. Beban yang berlebihan dan
mekanisme trauma yang terjadi pada pergelangan tangan akan
menentukan bentuk garis fraktur yang akan terjadi.

F. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
2. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal

H. Penatalaksanaan
1. Medis
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat
menangani fraktur :
a) Rekognisi
Pengenalan riwayat kecelakaan, patah atau tidak, menentukan
perkiraan yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang spesifik,
kelainan bentuk tulang dan ketidakstabilan, tindakan apa yang
harus cepat dilakukan misalnya pemasangan bidai.
b) Reduksi
Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Cara
penanganan secara reduksi : Pemasangan gips Untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur. Reduksi
tertutup (closed reduction external fixation) Menggunakan gips
sebagai fiksasi eksternal untuk memper-tahankan posisi tulang
dengan alat-alat : skrup, plate, pen, kawat, paku yang dipasang
di sisi maupun di dalam tulang. Alat ini diangkut kembali setelah
1-12 bulan dengan pembedahan.
c) Debridemen
Untuk mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan lunak
sekitar fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak
beraturan.
d) Rehabilitasi
Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk
mengembalikan fungsi normal.
e) Perlu dilakukan mobilisasi Kemandirian bertahap.
2. Keperawatan
Tindakan yang harus diperhatikan agar ektremitas dapat berfungsi
sebaik-baiknya maka penanganan pada trauma ektremitas
meliputi 4 hal (4 R) yaitu :
a) Recognition
Untuk dapat bertindak dengan baik, maka pada trauma
ektremitas perlu diketahui kelainan yang terjadi akibat
cedernya. Baik jaringan lunak maupun tulangnya dengan cara
mengenali tanda-tanda dan gangguan fungsi jaringan yang
mengalami cedera. Fraktur merupakan akibat dari sebuah
kekerasan yang dapat menimbulkan kerusakan pada tulang
ataupun jaringan lunak sekitarnya. Dibedakan antara trauma
tumpul dan tajam. Pada umumnya trauma tumpul akan
memberikan kememaran yang “diffuse” pada jaringan lunak
termasuk gangguan neurovaskuler yang akan menentukan
ektremitas.
b) Reduction
Tindakan mengembalikan ke posisi semula, tindakan ini
diperlukan agar sebaik mungkin kembali ke bentuk semula
agar dapat berfungsi kembali sebaik mungkin . Penyembuhan
memerlukan waktu dan untuk mempertahankan hasil reposisi
(retaining) penting dipikirkan tindakan berikutnya agar
rehabilitasi dapat memberikan hasil sebaik mungkin.
c) Retaining
Tindakan imobilisasi untuk memberi istirahat pada anggota
gerak yang sehat mendapatkan kesembuhan. Imobilisasi yang
tidak adequat dapat memberikan dampak pada penyembuhan
dan rehabilitasi.
d) Rehabillitasi
Mengembalikan kemampuan dari anggota/alat yang
sakit/cedera agar dapat berfungsi kembali. Falsafah lama
mengenai rehabilitasi ialah suatu tindakan setelah kuratif dan
hanya mengatasi kendala akibat sequaele atau kecacatan;
padahal untuk mengembalikan fungsi sebaiknya rehabilitasi,
yang menekankan pada fungsi, akan lebih berhasil bila dapat
dilaksanakan secara dini, mencegah timbulnya kecacatan.
Dislokasi sendi perlu dilakukan reposisi segera karena
akibat dari penundaan akan dapat menimbulkan keadaan
avaskuler nekrosis dari bonggol tulang yang menyebabkan
nyeri pada persendian serta kekakuan sendi. Dalam fase
shock lokal (antara 5-20 menit) dimana terjadi relaksasi dari
otot sekitar sendi dan rasa baal (hypestesia) reposisi dapat
dilakukan tanpa narkose, lewat dari fase shock lokal
diperlukan tindakan dengan pembiusan untuk mendapatkan
relaksasi waktu melakukan reposisi. Apabila tidak berhasil
maka perlu dipikirkan terjadi “button hole ruptur” dari kapsul
(simpai) sendi yang dapat “’mencekik” sirkulasi perdarahan
daerah bonggol sendi, hal ini memerlukan tindakan reposisi
terbuka. Untuk mendapatkan lingkup gerak sendi yang baik,
maka selama dilakukan imobilisasi diberikan latihan isometrik
kontraksi otot guna mencegah”disuse Athrophy”.
I. Komplikasi
1. Dini
a. Kompresi / trauma saraf ulnaris dan medianus
b. Kerusakan tendon
c. Edema paska reposisi
d. Redislokasi
2. Lanjut
a. Arthrosis dan nyeri kronis
b. Shoulder Hand Syndrome
c. Defek kosmetik ( penonjolan styloideus radius )
d. Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak
seharusnya.
e. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
f. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
Perawat perlu menentukan : data biografi, riwayat terjadinya trauma
(bila tidak ada riwayat terjadi fraktur patologis) dimana terjadinya
trauma, jenis trauma, berat ringananya trauma.
1. Obat-obatan yang sering digunakan
2. Kebiasaan minum-minuman keras
3. Nutrisi
4. Pekerjaan atau hobby
b. Pemeriksaan fisik
1. Look (Inspeksi)
Pasien dapat terlihat kesakitan, mencoba melindungi anggota
badannya yang patah, terdapat pembengkakan, deformitas
berupa bengkok, terputar, pemendekan dan juga gerakan yang
tidak normal.
2. Feel (Palpasi)
Palpasi dilakukan hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Nyeri dapat berupa nyeri tekan yang
sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu sewaktu menekan atau
menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah
dengan sumbunya. Selain itu juga diperlukan pemeriksaan
vaskuler pada daerah distal dan pengukuran tungkai.
3. Movement (Pergerakan Sendi)
Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif untuk menilai
apakah terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan.
Selain itu dilakukan juga penilaian Range of Movement (ROM).
Pada penderita fraktur setiap gerakan akan menimbulkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar,
selain itu gerakan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
c. Aktivitas atau istirahat
Ditujukan dengan terbatasnya atau kehilangan fungsi, yang
cenderung pada bagian tengah yang disebabkan oleh fraktur
sekunder bengkak pada jaringan dan rasa nyeri.
d. Sirkulasi
Ditunjukkan dengan : hipertensi atau hipotensi, tachicardi yang
disebabkan karena respon stress atau hipovolemik, nadi berkurang
atau menurun lebih kecil pada bagian distal perlukan disebabkan
karena keterlambatan pengikatan pembuluh darah mempengaruhi
bagian jaringan menjadi bengkok hematom pada tempat perlukaan
disebabkan adanya darah ekstravaskuler berada pada daerah
perlukaan.
e. Neurosensori
Ditunjukkan dengan kehilangan gerakan atau sensasi, spasme otot :
kaku atau tak terasa (parestesi), perubahan total, pemendekan,
kekakuan abnormal, terpuntir, krepitasi, agitasi karena nyeri atau
cemas.
f. Rasa nyaman
Tiba-tiba nyeri hebat pada tempat luka (mungkin lokasi pada jaringan
atau kerusakan tulang saat immobilisasi) nyeri ini disebabkan
terputusnya saraf, otot spasme setelah immobilisasi.
g. Keamanan
Kulit laserasi, perdarahan, perlukaan, lokasi bengkak.
h. Tempat fraktur dan sistem jaringan
1. Edema
2. Perubahan warna
3. Parestesia dengan numbness dan tingling karena
ketidakseimbangan aliran darah dalam pembuluh darah yang
menuju berbagai organ atau peningkatan tekanan jaringan
4. Nyeri akibat penimbunan darah sekitar tulang yang
mengakibatkan tertekannya saraf.
5. Kulit terbuka dan tertutup
Kulit terbuka apabila tulang sampai menembus kulit-kulit tertutup
apabila tulang masih berada didalam kulit
6. Krepitasi akibat sensasi yang berkertak : bunyi yang terdengar
pada saat kedua tulang saling bergerak
7. Perdarahan terjadi karena kerusakan pembuluh darah arteri dan
vena
2. Persiapan Pre Operasi
a) Diet
8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam
sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum, (puasa) pada
operasi dengan anestesi umum. Pada pasien dengan anestesi local
atau spinal anestesi makanan ringan diperbolehkan.
b) Persiapan perut
Pemberian leukonol/lavement sebelum operasi dilakukan pada bedah
saluran pencernaan atau pelvis daerah peripheral. Untuk pembedahan
pada saluran pencernaan dilakukan 2 kali yaitu pada waktu sore dan
pagi hari menjelang operasi.
c) Persiapan kulit
Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut. Pencukuran
dilakukan pada waktu malam menjelang operasi. Rambut pubis
dicukur bila perlu saja, lemak dan kotoran harus terbeba dari daerah
kulit yang akan dioperasi. Luas derah yang dicukur sekurang-
kurangnya 10-20 cm2.
d) Pemeriksaan penunjang
Meliputi hasil laboratorium, foto rontgen, ECG,USG, dll.
e) Persetujuan operasi/informend consent
Izin tertulis dari pasien atau keluarga harus tersedia. Persetujuan bila
didapat dari keluarga dekat yaitu suami/istri, anak, mertua, orang tua
dan keluarga terdekat. Pada kasus gawat darurat ahli bedah
mempunyai wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa surat izin
tertulis dari pasien atau keluarga. Setelah dilakukan berbagai cara
untuk mendapatkan kontak dengan anggota keluarga pada sisa waktu
yang masih mungkin.

3. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
b/d agen Asuhan keperawatan  Kaji nyeri secara komprehensif termasuk
injuri fisik, …. jam tingkat lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
fraktur kenyamanan klien kualitas dan faktor presipitasi.
meningkat, tingkat  Observasi reaksi nonverbal dari ketidak
nyeri terkontrol dg nyamanan.
KH:  Gunakan teknik komunikasi terapeutik
 Klien melaporkan untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
nyeri berkurang dg sebelumnya.
scala 2-3  Kontrol faktor lingkungan yang
 Ekspresi wajah mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
tenang pencahayaan, kebisingan.
 klien dapat istirahat  Kurangi faktor presipitasi nyeri.
dan tidur  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
 v/s dbn (farmakologis/non farmakologis).
 Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol
nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
Administrasi analgetik :.
 Cek program pemberian analgetik; jenis,
dosis, dan frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian
dan dosis optimal.
 Monitor TV
 Berikan analgetik tepat waktu terutama
saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan
gejala efek samping.

2 Resiko Setelah dilakukan Memberikan posisi yang nyaman untuk


terhadap askep … jam terjadi Klien:
cidera b/d peningkatan Status  Berikan posisi yang aman untuk pasien
kerusakan keselamatan Injuri dengan meningkatkan obsevasi pasien,
neuromus fisik Dg KH : beri pengaman tempat tidur
kuler,  Bebas dari cidera  Periksa sirkulasi periper dan status
tekanan  Pencegahan neurologi
dan Cidera  Menilai ROM pasien
disuse  Menilai integritas kulit pasien.
 Libatkan banyak orang dalam memidahkan
pasien, atur posisi
3 Sindrom Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri
defisit self akep … jam  Monitor kemampuan pasien terhadap
care b/d kebutuhan ADLs perawatan diri
kelemaha terpenuhi dg KH:  Monitor kebutuhan akan personal hygiene,
n, fraktur  Pasien dapat berpakaian, toileting dan makan

 melakukan  Beri bantuan sampai pasien mempunyai


aktivitas sehari- kemapuan untuk merawat diri
hari.  Bantu pasien dalam memenuhi
 Kebersihan diri kebutuhannya.
pasien terpenuhi  Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari sesuai kemampuannya
 Pertahankan aktivitas perawatan diri
secara rutin

4 Risiko Setelah dilakukan Konrol infeksi :


infeksi b/d asuhan keperawatan  Bersihkan lingkungan setelah dipakai
imunitas … jam tidak terdapat pasien lain.
tubuh faktor risiko infeksi  Batasi pengunjung bila perlu.
primer dan infeksi  Intruksikan kepada pengunjung untuk
menurun, terdeteksi dg KH: mencuci tangan saat berkunjung dan
prosedur  Tdk ada tanda- sesudahnya.
invasive, tanda infeksi  Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci
fraktur  AL normal tangan.
 V/S dbn  Lakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan.
 Gunakan baju dan sarung tangan sebagai
alat pelindung.
 Pertahankan lingkungan yang aseptik
selama pemasangan alat.
 Lakukan perawatan luka, dainage, dresing
infus dan dan kateter setiap hari.
 Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
 berikan antibiotik sesuai program.
 Jelaskan tanda gejala infeksi dan anjurkan
u/ segera lapor petugas
 Monitor V/S
Proteksi terhadap infeksi
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal.
 Monitor hitung granulosit dan WBC.
 Monitor kerentanan terhadap infeksi..
 Pertahankan teknik aseptik untuk setiap
tindakan.
 Inspeksi kulit dan mebran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase.
 Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
 Ambil kultur, dan laporkan bila hasil positip
jika perlu
 Dorong istirahat yang cukup.
 Dorong peningkatan mobilitas dan latihan
sesuai indikasi

5 Kerusakan Setelah dilakukan Terapi ambulasi
mobilitas askep … jam terjadi  Kaji kemampuan pasien dalam melakukan
fisik peningkatan ambulasi
berhubung Ambulasi :Tingkat  Kolaborasi dg fisioterapi untuk
an dengan mobilisasi, perencanaan ambulasi
patah Perawtan diri Dg  Latih pasien ROM pasif-aktif sesuai
tulang KH : kemampuan
 Peningkatan  Ajarkan pasien berpindah tempat secara
aktivitas fisik bertahap
 Evaluasi pasien dalam kemampuan
ambulasi

Pendidikan kesehatan
 Edukasi pada pasien dan keluarga
pentingnya ambulasi dini
 Edukasi pada pasien dan keluarga tahap
ambulasi
 Berikan reinforcement positip atas usaha
yang dilakukan pasien.
6 Kurang Setelah dilakukan Pendidikan kesehatan : proses penyakit
pengetahu askep …. Jam  Kaji pengetahuan klien.
an tentang pengetahuan klien  Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda
penyakit meningkat dg KH: gejala serta komplikasi yang mungkin
dan  Klien dapat terjadi
perawatan mengungkapkan  Berikan informasi pada keluarga tentang
nya b/d kembali yg perkembangan klien.
kurang dijelaskan.  Berikan informasi pada klien dan keluarga
paparan  Klien kooperatif tentang tindakan yang akan dilakukan.
terhadap saat dilakukan  Diskusikan pilihan terapi
informasi, tindakan  Berikan penjelasan tentang pentingnya
keterbatan ambulasi dini
kognitif  jelaskan komplikasi kronik yang mungkin
akan muncul

DAFTAR PUSTAKA

Apley. Alan Graham , Solomon. Louis. Apley's System of Orthopaedics

and Fractures. Butterworth-Heinemann,

Dios.RR. Distal Radial Fracture Imaging.. Access from

www.emedicine.com. On 20 Januari 2019

Hoynak. Bryan.C. Wrist Fracture in Emergency Medicine. Access from

www.emedicine.com. On 20 Januari 2019

Mansjoer, A,. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Media

Aesculapius.Jakarta : 2000

Nelson. David L .Distal Fractures of the Radius. Access from

www.emedicine.com. On 20 Januari 2019


Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Malang : Yarsif

Watampone: 2003

Anda mungkin juga menyukai