Arsitek, noMADen, Ketua Badan Pengkajian & Litbang IAI & Anas Hidayat Arsiteks, Pengajar arsitektur UKDC/UPN, REK (REpublik Kreatif)
Manekawarna Arsitektur Sumenep
Dalam percaturan arsitektur di Nusantara, Pulau Madura secara umum sudah cukup dikenal melalui tradisi pola permukimannya yang khas, yaitu Tanean Lanjeng, berupa deretan rumah yang berjajar memanjang searah tanean (halaman). Selain itu, sebenarnya Pulau Madura dan khususnya Kabupaten Sumenep masih menyimpan banyak khazanah arsitektur dari berbagai periode historis yang masih relatif lestari sampai saat ini, sehingga sangat layak untuk didokumentasikan dan dikaji secara lebih mendalam, selain sebagai destinasi wisata sejarah. Contohnya antara lain arsitektur “klasik” di Kompleks Kraton Sumenep, Masjid Jamik Sumenep dan Makam Asta Tinggi. Ketiganya merupakan arsitektur hybrid (campuran) dari berbagai langgam arsitektur. Langgam China, Eropa dan Madura sangat jelas terlihat di beberapa bagian kompleks bangunan tersebut. Seperti diketahui pula bahwa arsitek dari Kompleks Kraton Sumenep merupakan arsitek keturunan Tionghoa, yaitu Lauw Pia Ngo, yang fasih menggabungkan beberapa langgam yang berbeda-beda. Pulau Madura juga sangat dikenal sebagai pulau garam. Kisah tentang kehidupan masyarakat petani garam ini bisa ditarik hingga jauh sebelum kedatangan Belanda. Dikisahkan tentang tentara dari Bali yang menyerbu Madura namun berhasil ditaklukkan, dan akhirnya menetap di Desa Pinggir Papas dan bermata pencaharian sebagai petani garam. Komunitas masyarakat ini hingga kini masih berdiam dan bermata pencaharian sebagai petani garam. Pada akhirnya, tidak dipungkiri bahwa salah satu bukti kejayaan industri garam Madura juga dapat dilihat dari peninggalan kompleks pabrik, gudang dan perumahan rancangan kolonial Belanda yang kini diwarisi oleh P.T. Garam. Berikutnya adalah Komunitas masyarakat Tionghoa di Sumenep tersebar di sepanjang pantai mulai dari Pasongsongan, Panaongan, Dungkek dan Pabean. Di Desa Pasongsongan misalnya, hingga kini masih dapat dilihat pola perkampungan Tionghoa yang sudah teradaptasi dengan kultur masyarakat setempat, yang terlihat dari gubahan arsitekturnya. Pelabuhan di Pasongsongan ini dulunya merupakan salah satu pelabuhan besar “Internasional” di Madura. Yang tak kalah menarik di Sumenep yakni ditemukannya sosok Arsitektur Jengki yang merupakan salah satu periode “sempalan” dalam sejarah arsitektur di Indonesia. Arsitektur Jengki dengan taste Madura ini merupakan pengejawantahan dari kemakmuran juragan tembakau di Sumenep masa itu (tahun 1960 hingga 1970an). Berikut akan dijabarkan secara lebih khusus tentang Arsitektur Jengki di Sumenep ini, mengingat posisinya yang cukup urgen untuk mengungkap salah satu fragmen sejarah arsitektur Indonesia yang mash tercecer.
Arsitektur Jengki a la Sumenep
Jejak Arsitektur Jengki di Kabupaten Sumenep dapat ditemukan di dua kecamatan, yaitu di Kecamatan Pragaan dan Kecamatan Blutoh. Sejauh ini telah terdokumentasi ada enam kompleks kelompok bangunan berarsitektur jengki. Rinciannya, dua kompleks terdapat di Desa Prenduan di Kecamatan Pragaan, dan empat kompleks terdapat di Desa Kapedi, Kecamatan Blutoh. Secara fungsional, kompleks bangunan berlanggam Jengki ini adalah sebagai rumah tinggal dan gudang tembakau. Dari enam kompleks kelompok bangunan tersebut, yang lima kompleks masih relatif lestari secara fisik, sedangkan satu kompleks gudang tembakau telah diruntuhkan dan tidak sempat terdokumentasi. Arsitektur selalu hadir dalam suatu ruang dan waktu tertentu bersama dengan konteks lain yang menyertainya seperti faktor sosial, budaya, ekonomi ataupun politik. Demikian pula kehadiran arsitektur Jengki di Sumenep yang dipicu oleh booming tembakau yang ketika dekade 1960-1970an merupakan salah satu komoditas unggulan yang bernilai ekonomi sangat tinggi sehingga menjadi salah satu penggerak perekonomian Madura. Perdagangan tembakau ketika itu diperankan oleh pedagang-pedagang tembakau lokal disekitar Pamekasan dan Sumenep . Khusus di Sumenep terdapat di desa Kapedi dan Prenduan yang secara turun temurun telah memasok bahan baku ke pabrikan-pabrikan rokok besar di Surabaya, Malang, Kediri, bahkan hingga Semarang dan Kudus. Begitu tingginya nilai tembakau Madura sehingga lahir ungkapan: Bila diibaratkan makanan, maka tembakau selain tembakau Madura adalah ‘nasi’nya dan tembakau Madura adalah ‘lauk’nya”. Lahir pula ungkapan ‘daun emas’ untuk tembakau Madura. Tingginya nilai ekonomi tembakau Madura ketika itu turut membawa kemakmuran masyarakat setempat yang terlibat dalam proses pertanian dan perdagangan tembakau, khususnya bagi pedagang tembakau. Aktivitas pedagang tembakau yang mengharuskan berhubungan dengan pabrikan rokok membuat mereka sering bepergian ke kota-kota besar sekaligus pula membentuk pola relasi dengan pemilik-pemilik pabrikan rokok secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas bepergian dan pola relasi ini turut pula membawa serta wawasan dan pengetahuan tentang budaya dan gaya hidup kota yang populer ketika itu. Maka, dengan kemakmuran yang dimiliki mereka ingin mengikuti gaya hidup kota itu dan membawanya hingga ketempat tinggal mereka di Madura. Salah satu simbol kemakmuran adalah ditandai dengan wujud arsitektur rumah tinggal. Munculnya Langgam Jengki pada rumah-rumah pedagang tembakau di dekade 1970an di Prenduan dan Kapedi merupakan salah satu simbol kemakmuran yang bisa dilihat secara kasat mata hingga kini. Selain rumah tinggal berlanggam Jengki itu, turut serta pula simbol-simbol gaya hidup kota lainnya, seperti memiliki mobil-mobil mewah eropa yang populer ketika itu (Chevrolet Impala, Fiat Sport, Mercedes Benz, BMW dan Opel Kapiten). Pun ketika mengadakan pesta pernikahan misalnya, para juragan tembakau ini mampu mendatangkan artis-artis top kala itu, seperti misalnya Ucok AKA Harahap atau Rhoma Irama dengan Soneta-nya. Arsitektur Jengki sendiri sudah lebih dulu populer di kota-kota besar di Indonesia mulai dekade 1950an hingga 1960an. Namun arsitektur Jengki ini baru mendarat dan menjadi populer pada kalangan pedagang tembakau di Sumenep pada pertengahan dekade 1970. Sehingga mungkin saja arsitektur Jengki di Sumenep ini menjadi Late Jengki (Jengki Akhir) dari sejarah perkembangan arsitektur Jengki di Indonesia. Ketika tata niaga tembakau berubah pada dekade 80an akhir yang menyebabkan terkikis habisnya peran para juragan tembakau, maka redup pula kejayaan arsitektur Jengki yang legendaris ini. Kini semua keturunan juragan tembakau tersebut tidak lagi mengandalkan tembakau sebagai mata pencaharian utama seiring merosotnya nilai tembakau Madura dan hilangnya peran mereka dalam tata niaga tembakau. Rumah-rumah dan gudang-gudang bergaya arsitektur Jengki masih bisa dilihat walaupun dalam kondisi yang cenderung kurang terawat, menjadi artefak penting yang menunjukkan jejak kejayaan masa lalu para pedagang tembakau Madura.
Bingkai Historis Sinkronis-Global
Dalam konteks historis global, era 1950 sampai 1960an merupakan era setelah meredupnya kolonialisme di Asia, Afrika dan Amerika Latin, maka sang penjajah dan si terjajah berusaha untuk menghapus jejak masa lalu dan membangun tata dunia baru. Juga di dalam arsitektur, dengan merumuskan arsitektur yang baru, dengan kata lain: yang pernah menjajah mulai berubah, yang pernah terjajah sedang bangkit. Dalam The Practice of Modernism, Modern Architects and Urban Transformation 1954-1972 (2007), John R. Gold menyatakan di era tersebut, ketika jumlah arsitek melonjak naik secara drastis di Amerika dan Eropa Barat, mulai muncul firma arsitek yang bersifat tim daripada individual dengan kreativitas baru yang cukup radikal. Tahun 1960an, oleh Reymer Banham ditandai dengan tiga pendekatan teknologi yang digunakan oleh arsitek, yaitu: pragmatic, radical dan pop (dalam Reyner Banham, Historian of the Immediate Future yang ditulis Nigel Whiteley (2002). Lebih lanjut Gold menyatakan: by the 1960, the centre of attractions moved further west: “Visit to America, especially to California, he caused me to believe that there can be a different way of doing things”.
Pada tahun 1960an, juga muncul gerakan arsitektur Metabolisme di Jepang,
kelompok ini merupakan kumpulan arsitek yang dimotori oleh Kisho Kurokawa, Kiyonori Kikutake, Fumihiko Maki serta Masato Otaka. Metabolisme merupakan gerakan arsitek yang mendesain dengan memperhatikan hubungan “baru” antara arsitektur dan alam, antara humanity dan technology. Di benua hitam Afrika, tahun 1950 hingga 1960an, merupakan masa krusial ketika arsitek-arsitek Afrika didikan Eropa mulai berkarya dan mewarnai arsitektur di Afrika. Di masa itu, masa pasca kolonialisme, arsitek-arsitek Afrika mulai memunculkan wacana untuk menggantikan peran para arsitek Eropa (yang sangat dipengaruhi tradisi Inggris dan Perancis) yang masih mendominasi praktik di negara-negara Afika (Kultermann, 1969). Arsitek Afrika masa itu antara lain Jean-Francois Zevaco dan Elie Azagury (Maroko), juga ada nama Ifeami Ekwueme dan Oluwole Olumuyiwa (Nigeria). Arsitektur revolusioner di Meksiko, terjadi antara 1950 hingga 1960an, sangat berkaitan dengan politik Meksiko masa itu. Pada 1953, Juan O’Gorman melancarkan kritik atas arsitektur fungsional di Meksiko, yang tak memperhatikan kaum proletar. O’Gorman mendesain karya-karya dengan bentuk yang tidak meainstream. Di akhir revolusi, Obregon Santacilia menyatakan: Revolution [did not] produce a revolusionary architecture, …. (Carranza, 2010) Di arsitektur Brazil, antara tahun 1950 sampai 1960 disebut sebagai “miraculous years”, ketika itu arsitektur Brazil berhasil meletakkan dasar bagi inovasi-inovasi arsitektur Modern. Oscar Niemeyer menjadi nama besar yang “menguasai” Brazil. Selain itu, juga ada nama-nama seperti Lina Bo Bardi yang kelahiran Italia, juga Vilanova Artigas, Carlos Millan, Julio Katinsky, Ruy Ohtake dan lain-lain. Artigas - yang merupakan anggota Partai Komunis Brazil - membuat rancangan-rancangan yang dijuluki xenophobia types, yang ingin melawan pengaruh Le Corbusier di Brazil karena dianggap arsitektur borjuis. Ada persamaan antara gerakan arsitektur Jengki dengan gerakan arsitektur Global ketika itu yang mencari bentuk baru, hubungan baru, kreasi baru, dalam suasana yang “revolusioner”. Bedanya, kalau gerakan arstektur di dunia global masa itu didominasi oleh para arsitek, sedangkan gerakan per-Jengki-an arsitektur di Indonesia justru didominasi para aannemer (pemborong) lulusan STM. Ada hirarki yang hilang, aannemer yang mendesain dianggap arsitek kelas dua, hanya pekerja tukang, yang hingga sekarang masih minim sekali pengetahuan kita tentang mereka dan sepak terjangnya kala itu. Meninjau hal tersebut diatas maka Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) melalui Badan Pengkajian dan Litbang telah mencanangkan program pengarsipan dan inventarisasi khazanah arsitektur Jengki yang akan diwujudkan dalam Jengki Weeks 2016, sebagai upaya turut mendokumentasikan salah satu bingkai sejarah perkembangan arsitektur modern di Indonesia. IAI sebagai lembaga profesi akan bekerjasama dengan berbagai organisasi, komunitas, akademisi, praktisi, perorangan dan mahasiswa yang memiliki minat di bidang pengarsipan dan pendokumentasian, untuk membongkar kembali jejak-jejak arsitektur Jengki, terutama di Sumenep.