Anda di halaman 1dari 6

Ada Jengki di Sumenep!

Mohammad Cahyo Novianto


Arsitek, noMADen, Ketua Badan Pengkajian & Litbang IAI
&
Anas Hidayat
Arsiteks, Pengajar arsitektur UKDC/UPN, REK (REpublik Kreatif)

Manekawarna Arsitektur Sumenep


Dalam percaturan arsitektur di Nusantara, Pulau Madura secara umum sudah cukup
dikenal melalui tradisi pola permukimannya yang khas, yaitu ​Tanean Lanjeng​,
berupa deretan rumah yang berjajar memanjang searah ​tanean​ (halaman). Selain
itu, sebenarnya Pulau Madura dan khususnya Kabupaten Sumenep masih
menyimpan banyak khazanah arsitektur dari berbagai periode historis yang masih
relatif lestari sampai saat ini, sehingga sangat layak untuk didokumentasikan dan
dikaji secara lebih mendalam, selain sebagai destinasi wisata sejarah.
Contohnya antara lain arsitektur “klasik” di Kompleks Kraton Sumenep,
Masjid Jamik Sumenep dan Makam Asta Tinggi. Ketiganya merupakan arsitektur
hybrid​ (campuran) dari berbagai langgam arsitektur. Langgam China, Eropa dan
Madura sangat jelas terlihat di beberapa bagian kompleks bangunan tersebut.
Seperti diketahui pula bahwa arsitek dari Kompleks Kraton Sumenep merupakan
arsitek keturunan Tionghoa, yaitu Lauw Pia Ngo, yang fasih menggabungkan
beberapa langgam yang berbeda-beda.
Pulau Madura juga sangat dikenal sebagai pulau garam. Kisah tentang
kehidupan masyarakat petani garam ini bisa ditarik hingga jauh sebelum
kedatangan Belanda. Dikisahkan tentang tentara dari Bali yang menyerbu Madura
namun berhasil ditaklukkan, dan akhirnya menetap di Desa Pinggir Papas dan
bermata pencaharian sebagai petani garam. Komunitas masyarakat ini hingga kini
masih berdiam dan bermata pencaharian sebagai petani garam. Pada akhirnya,
tidak dipungkiri bahwa salah satu bukti kejayaan industri garam Madura juga dapat
dilihat dari peninggalan kompleks pabrik, gudang dan perumahan rancangan
kolonial Belanda yang kini diwarisi oleh P.T. Garam.
Berikutnya adalah Komunitas masyarakat Tionghoa di Sumenep tersebar di
sepanjang pantai mulai dari Pasongsongan, Panaongan, Dungkek dan Pabean. Di
Desa Pasongsongan misalnya, hingga kini masih dapat dilihat pola perkampungan
Tionghoa yang sudah teradaptasi dengan kultur masyarakat setempat, yang terlihat
dari gubahan arsitekturnya. Pelabuhan di Pasongsongan ini dulunya merupakan
salah satu pelabuhan besar “Internasional” di Madura.
Yang tak kalah menarik di Sumenep yakni ditemukannya sosok Arsitektur
Jengki yang merupakan salah satu periode “sempalan” dalam sejarah arsitektur di
Indonesia. Arsitektur Jengki dengan ​taste​ Madura ini merupakan pengejawantahan
dari kemakmuran juragan tembakau di Sumenep masa itu (tahun 1960 hingga
1970an). Berikut akan dijabarkan secara lebih khusus tentang Arsitektur Jengki di
Sumenep ini, mengingat posisinya yang cukup urgen untuk mengungkap salah satu
fragmen sejarah arsitektur Indonesia yang mash tercecer.

Arsitektur Jengki ​a la​ Sumenep


Jejak Arsitektur Jengki di Kabupaten Sumenep dapat ditemukan di dua kecamatan,
yaitu di Kecamatan Pragaan dan Kecamatan Blutoh. Sejauh ini telah terdokumentasi
ada enam kompleks kelompok bangunan berarsitektur jengki. Rinciannya, dua
kompleks terdapat di Desa Prenduan di Kecamatan Pragaan, dan empat kompleks
terdapat di Desa Kapedi, Kecamatan Blutoh. Secara fungsional, kompleks bangunan
berlanggam Jengki ini adalah sebagai rumah tinggal dan gudang tembakau. Dari
enam kompleks kelompok bangunan tersebut, yang lima kompleks masih relatif
lestari secara fisik, sedangkan satu kompleks gudang tembakau telah diruntuhkan
dan tidak sempat terdokumentasi.
Arsitektur selalu hadir dalam suatu ruang dan waktu tertentu bersama
dengan konteks lain yang menyertainya seperti faktor sosial, budaya, ekonomi
ataupun politik. Demikian pula kehadiran arsitektur Jengki di Sumenep yang dipicu
oleh ​booming​ tembakau yang ketika dekade 1960-1970an merupakan salah satu
komoditas unggulan yang bernilai ekonomi sangat tinggi sehingga menjadi salah
satu penggerak perekonomian Madura. Perdagangan tembakau ketika itu
diperankan oleh pedagang-pedagang tembakau lokal disekitar Pamekasan dan
Sumenep . Khusus di Sumenep terdapat di desa Kapedi dan Prenduan yang secara
turun temurun telah memasok bahan baku ke pabrikan-pabrikan rokok besar di
Surabaya, Malang, Kediri, bahkan hingga Semarang dan Kudus. Begitu tingginya nilai
tembakau Madura sehingga lahir ungkapan: Bila diibaratkan makanan, maka
tembakau selain tembakau Madura adalah ‘nasi’nya dan tembakau Madura adalah
‘lauk’nya”. Lahir pula ungkapan ‘daun emas’ untuk tembakau Madura.
Tingginya nilai ekonomi tembakau Madura ketika itu turut membawa
kemakmuran masyarakat setempat yang terlibat dalam proses pertanian dan
perdagangan tembakau, khususnya bagi pedagang tembakau. Aktivitas pedagang
tembakau yang mengharuskan berhubungan dengan pabrikan rokok membuat
mereka sering bepergian ke kota-kota besar sekaligus pula membentuk pola relasi
dengan pemilik-pemilik pabrikan rokok secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivitas bepergian dan pola relasi ini turut pula membawa serta wawasan dan
pengetahuan tentang budaya dan gaya hidup kota yang populer ketika itu. Maka,
dengan kemakmuran yang dimiliki mereka ingin mengikuti gaya hidup kota itu dan
membawanya hingga ketempat tinggal mereka di Madura.
Salah satu simbol kemakmuran adalah ditandai dengan wujud arsitektur
rumah tinggal. Munculnya Langgam Jengki pada rumah-rumah pedagang tembakau
di dekade 1970an di Prenduan dan Kapedi merupakan salah satu simbol
kemakmuran yang bisa dilihat secara kasat mata hingga kini. Selain rumah tinggal
berlanggam Jengki itu, turut serta pula simbol-simbol gaya hidup kota lainnya,
seperti memiliki mobil-mobil mewah eropa yang populer ketika itu (Chevrolet
Impala, Fiat Sport, Mercedes Benz, BMW dan Opel Kapiten). Pun ketika mengadakan
pesta pernikahan misalnya, para juragan tembakau ini mampu mendatangkan
artis-artis top kala itu, seperti misalnya Ucok AKA Harahap atau Rhoma Irama
dengan Soneta-nya.
Arsitektur Jengki sendiri sudah lebih dulu populer di kota-kota besar di
Indonesia mulai dekade 1950an hingga 1960an. Namun arsitektur Jengki ini baru
mendarat dan menjadi populer pada kalangan pedagang tembakau di Sumenep
pada pertengahan dekade 1970. Sehingga mungkin saja arsitektur Jengki di
Sumenep ini menjadi ​Late Jengki ​(Jengki Akhir) dari sejarah perkembangan
arsitektur Jengki di Indonesia.
Ketika tata niaga tembakau berubah pada dekade 80an akhir yang
menyebabkan terkikis habisnya peran para juragan tembakau, maka redup pula
kejayaan arsitektur Jengki yang legendaris ini. Kini semua keturunan juragan
tembakau tersebut tidak lagi mengandalkan tembakau sebagai mata pencaharian
utama seiring merosotnya nilai tembakau Madura dan hilangnya peran mereka
dalam tata niaga tembakau. Rumah-rumah dan gudang-gudang bergaya arsitektur
Jengki masih bisa dilihat walaupun dalam kondisi yang cenderung kurang terawat,
menjadi artefak penting yang menunjukkan jejak kejayaan masa lalu para pedagang
tembakau Madura.

Bingkai Historis Sinkronis-Global


Dalam konteks historis global, era 1950 sampai 1960an merupakan era setelah
meredupnya kolonialisme di Asia, Afrika dan Amerika Latin, maka sang penjajah
dan si terjajah berusaha untuk menghapus jejak masa lalu dan membangun tata
dunia baru. Juga di dalam arsitektur, dengan merumuskan arsitektur yang baru,
dengan kata lain: yang pernah menjajah mulai berubah, yang pernah terjajah sedang
bangkit. Dalam ​The Practice of Modernism, Modern Architects and Urban
Transformation 1954-1972​ (2007), John R. Gold menyatakan di era tersebut, ketika
jumlah arsitek melonjak naik secara drastis di Amerika dan Eropa Barat, mulai
muncul firma arsitek yang bersifat tim daripada individual dengan kreativitas baru
yang cukup radikal. Tahun 1960an, oleh Reymer Banham ditandai dengan tiga
pendekatan teknologi yang digunakan oleh arsitek, yaitu: ​pragmatic​, ​radical​ dan ​pop
(dalam ​Reyner Banham, Historian of the Immediate Future ​yang ditulis​ Nigel
Whiteley​ (2002). Lebih lanjut Gold menyatakan:
by the 1960, the centre of attractions moved further west: “Visit to America,
especially to California, he caused me to believe that there can be a different
way of doing things”.

Pada tahun 1960an, juga muncul gerakan arsitektur Metabolisme di Jepang,


kelompok ini merupakan kumpulan arsitek yang dimotori oleh Kisho Kurokawa,
Kiyonori Kikutake, Fumihiko Maki serta Masato Otaka. Metabolisme merupakan
gerakan arsitek yang mendesain dengan memperhatikan hubungan “baru” antara
arsitektur dan alam, antara humanity dan technology.
Di benua hitam Afrika, tahun 1950 hingga 1960an, merupakan masa krusial
ketika arsitek-arsitek Afrika didikan Eropa mulai berkarya dan mewarnai arsitektur
di Afrika. Di masa itu, masa pasca kolonialisme, arsitek-arsitek Afrika mulai
memunculkan wacana untuk menggantikan peran para arsitek Eropa (yang sangat
dipengaruhi tradisi Inggris dan Perancis) yang masih mendominasi praktik di
negara-negara Afika (Kultermann, 1969). Arsitek Afrika masa itu antara lain
Jean-Francois Zevaco dan Elie Azagury (Maroko), juga ada nama Ifeami Ekwueme
dan Oluwole Olumuyiwa (Nigeria).
Arsitektur revolusioner di Meksiko, terjadi antara 1950 hingga 1960an,
sangat berkaitan dengan politik Meksiko masa itu. Pada 1953, Juan O’Gorman
melancarkan kritik atas arsitektur fungsional di Meksiko, yang tak memperhatikan
kaum proletar. O’Gorman mendesain karya-karya dengan bentuk yang tidak
meainstream. Di akhir revolusi, Obregon Santacilia menyatakan: ​Revolution [did not]
produce a revolusionary architecture, ….​ (Carranza, 2010)
Di arsitektur Brazil, antara tahun 1950 sampai 1960 disebut sebagai
“​miraculous years​”, ketika itu arsitektur Brazil berhasil meletakkan dasar bagi
inovasi-inovasi arsitektur Modern. Oscar Niemeyer menjadi nama besar yang
“menguasai” Brazil. Selain itu, juga ada nama-nama seperti Lina Bo Bardi yang
kelahiran Italia, juga Vilanova Artigas, Carlos Millan, Julio Katinsky, Ruy Ohtake dan
lain-lain. Artigas - yang merupakan anggota Partai Komunis Brazil - membuat
rancangan-rancangan yang dijuluki ​xenophobia types​, yang ingin melawan pengaruh
Le Corbusier di Brazil karena dianggap arsitektur borjuis.
Ada persamaan antara gerakan arsitektur Jengki dengan gerakan arsitektur
Global ketika itu yang mencari bentuk baru, hubungan baru, kreasi baru, dalam
suasana yang “revolusioner”. Bedanya, kalau gerakan arstektur di dunia global masa
itu didominasi oleh para arsitek, sedangkan gerakan per-Jengki-an arsitektur di
Indonesia justru didominasi para ​aannemer​ (pemborong) lulusan STM. Ada hirarki
yang hilang, ​aannemer​ yang mendesain dianggap arsitek kelas dua, hanya pekerja
tukang, yang hingga sekarang masih minim sekali pengetahuan kita tentang mereka
dan sepak terjangnya kala itu.
Meninjau hal tersebut diatas maka Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) melalui
Badan Pengkajian dan Litbang telah mencanangkan program pengarsipan dan
inventarisasi khazanah arsitektur Jengki yang akan diwujudkan dalam ​Jengki Weeks
2016​, sebagai upaya turut mendokumentasikan salah satu bingkai sejarah
perkembangan arsitektur modern di Indonesia. IAI sebagai lembaga profesi akan
bekerjasama dengan berbagai organisasi, komunitas, akademisi, praktisi,
perorangan dan mahasiswa yang memiliki minat di bidang pengarsipan dan
pendokumentasian, untuk membongkar kembali jejak-jejak arsitektur Jengki,
terutama di Sumenep.

Anda mungkin juga menyukai