Anda di halaman 1dari 14

Belajar Kenal tentang Sustainable Livelihood

Approach (SLA)
Konsep Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Oleh: Candra

A. Latar Belakang Konsep Sustainable Livelihood


Gagasan dan konsep penghidupan yang layak (sustainable livelihood - SL) tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran Robert Chambers di pertengahan 1980-an, yang kemudian dikembangkan
oleh Chambers, Conway, dan para ahli yang lain di awal tahun 1990-an. Konsep tersebut kemudian
diadopsi oleh banyak lembaga internasional sebagai alternatif pendekatan pembangunan pada awal
1990-an yang dipicu dari maraknya kasus kelaparan dan kerawanan pangan di sejumlah negara
pada tahun 1980-an (Haidar, “Sustainable Livelihod Approach: The Framework, Lessons Learnt from
Practice and Policy Recommendations,” 2009)
Chambers dan Conway dalam “Sustainable rural livelihoods: Practical concepts for the
21st Century” (1991: i) memaknailivelihood sebagai orang-orang dengan kemampuan dan cara hidup
mereka yang didalamnya termasuk juga makanan, pendapatan dan aset (baik tangible assets berupa
sumberdaya dan perbekalan, dan intangible assets berupa klaim dan akses). Sebuah penghidupan
dikatakan berkelanjutan secara lingkungan ketika dapat dikelola atau meningkatkan baik aset lokal
maupun global di mana suatu penghidupan bergantung, dan dapat memberikan manfaat bagi
penghidupan yang lain.
Konsep awal mengenai sustainable livelihood sebagaimana yang diajukan dalam laporan
Advisory Panel of the World Comission on Environemnt and Development (WCED, 1987), yang
menyatakan bahwa:
“Livelihood didefinisikan sebagai persedian dan arus makanan dan uang tunai yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Keamanan (security) mengacu pada mengamankan kepemilikan, atau
akses ke, sumber daya dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan, termasuk cadangan dan aset
untuk menghadapi risiko, mengurangi guncangan dan memenuhi kontinjensi. Berkelanjutan mengacu
pada pemeliharaan atau peningkatan produktivitas sumber daya secara jangka panjang. Sebuah
rumah tangga mungkin mendapatkan keamanan penghidupan berkelanjutan dalam banyak cara-
melalui kepemilikan tanah, ternak atau anaman; hak untuk merumput, memancing, berburu atau
mengumpulkan (meramu); melalui pekerjaan dengan upah yang memadai; atau melalui campuran
beragam kegiatan.” (Chambers dan Conway, 1991)

Chambers dan Conway memodifikasi definisi WCED tersebut, dan mengajukan definisi sustainable
livelihood, sebagai berikut:
"Penghidupan terdiri dari kapabilitas, aset (perbekalan, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan
yang dibutuhkan untuk sarana hidup: sebuah penghidupan dapat berkelanjutan jika dapat mengatasi
dan pulih dari tekanan dan guncangan, dapat memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset,
dan memberikan peluang menciptakan penghidupan berkelanjutan bagi generasi berikutnya; dan
yang memberikan kontribusi berupa manfaat nyata ke penghidupan lain di tingkat lokal dan global,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.” (1991)

Menurut Guiterrez-Montes, Emery dan Fernandez-Baca (2009), ada sejumlah kesamaan antara
pendekatan sustainable livelihood denganCommunity Capitals Frameworks (CCF), di mana keduanya
merupakan pendekatan yang berpusat pada manusia, mengedepankan prinsip partisipatori, fokus
pada sumberdaya eksisting di masyarakat, dan berorientasi untuk membantu masyarakat
menyiapkan diri mereka sendiri dalam mengidentikasi potensi strategis dan proses perubahan.

B. Prinsip-Prinsip Sustainable Livelihood


Ashley dan Carney, dalam Sustainable Livelihoods: Lessons from Early Experience (1999)
mengemukakan prinsip-prinsipsustainable livelihood sebagai berikut: Bahwa dalam kegiatan
pembangunan yang fokus pada kemiskinan harus:
 Berpusat pada manusia/masyarakat (people-centred): Bahwa upaya mengurangi kemiskinan
yang berkelanjutan akan tercapai hanya jika ada dukungan eksternal yang fokus pada apa yang
penting bagi orang-orang, memahami perbedaan antara kelompok orang dan bekerja dengan mereka
dengan cara yang sama dan sebangun dengan strategi penghidupan mereka saat ini, lingkungan
sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan.
 Responsif dan partisipatif: Bahwa orang miskin itu sendiri-lah yang harus menjadi aktor kunci
dalam mengidentifikasi dan mengatasi prioritas penghidupan. Orang luar harus terlibat dalam proses
yang memungkinkan mereka untuk mendengarkan dan menanggapi orang miskin.
 Multi-level: Penghapusan kemiskinan merupakan tantangan besar yang hanya akan diatasi
dengan bekerja di berbagai tingkatan; dengan memastikan bahwa kegiatan di tingkat mikro dapat
memberikan informasi pada penyusun kebijakan dan dapat menciptakan lingkungan yang yang
efektif; dan bahwa struktur dan proses di tingkat makro juga mendukung masyarakat untuk
membangun kekuatan mereka sendiri.
 Kemitraan: Bahwa kemitraan ini harus dapat dibangun baik dengan publik dan sektor swasta.
 Berkelanjutan: Bahwa ada empat dimensi kunci untuk keberlanjutan, yaitu: ekonomi,
kelembagaan, sosial dan kelestarian lingkungan. Semuanya penting, dan harus ada keseimbangan
di antara mereka.Dinamis: Bahwa dukungan eksternal harus mengakui dang menghormati sifat
dinamis dari strategi penghidupan, fleksibel dalam merespon perubahan situasi di masyarakat, dan
mengembangkan komitmen jangka panjang

De Haan dalam “The Livelihood Approach: A Critical Exploration” (2012) menyebutkan bahwa
konsep sustainable livelihood di Inggris yang dikembangkan oleh DFID dipengaruhi oleh pemikiran
“Third Way” yang digagas oleh Anthony Giddens pada awal 1990-an, dan menjadi corak dari
pemerintahan Partai Buruh pada masa pemerintahan Perdana Menteri Toni Blair. Konsep ini
kemudian diadopsi oleh berbagai negara dan lembaga internasional, seperti UNDP, OXFAM, CARE,
SIDA, World Bank, dll. (diantaranya lihat Ashley dan Carney, 1999; Narayan 2000, dikutip dari De
Haan 2008; Haidar, 2009; De Haan, 2012). Dari situ, pendekatan sustainable livelihoodkemudian
diterapkan dalam berbagai program/proyek pembangunan di seluruh dunia yang pendanaannya
didukung oleh negara dan lembaga donor internasional tersebut, termasuk di Indonesia.

C. Pentagonal Aset
Penjelasan mengenai dasar-dasar sustainable livelihood umumnya digambarkan dalam
bentuk diagram berbentuk pentagonal, yang dalam aplikasinya oleh berbagai ahli, institusi maupun
program/proyek kemudian memiliki banyak varian, namun secara prinsip umumnya masih mengacu
pada konsep awalnya. Kerangka kerja livelihood mengidentifikasi 5 (lima) kategori aset utama atau
jenis-jenis modal di mana penghidupan dibangun, yang disebut sebagai The Assest
Pentagon (Pentagonal Aset). Pentagon ini dikembangkan untuk memungkinkan informasi tentang
aset masyarakat yang akan disajikan secara visual, yang dapat menggambarkan hubungan antar
aset tersebut (DFID, 1999).
Kelima aset tersebut, yaitu:
(1) Modal manusia (human capital), yaitu, kerja pertama dan terpenting tetapi juga keterampilan,
pengalaman, pengetahuan dan kreativitas.
(2) Modal alam (natural capital), yaitu, sumber daya seperti tanah, air, hutan dan padang rumput, tetapi
juga mineral;
(3) Modal fisik (physical capital), yaitu, rumah, alat dan mesin, stok pangan atau ternak, perhiasan dan
peralatan pertanian;
(4) Modal finansial (financial capital), yaitu, uang dalam rekening tabungan atau kaus kaki tua, pinjaman
atau kredit; dan
(5) Modal sosial (social capital), yang menunjuk pada kualitas hubungan antara orang-orang, misalnya,
apakah seseorang dapat mengandalkan dukungan dari satu keluarga atau bantuan dari
tetangga (mutual).
Modal alam dianggap sangat penting di daerah pedesaan, sementara di daerah perkotaan
dianggap kurang relevan dibandingkan dengan tempat tinggal dan upah tenaga kerja. Selain itu,
dalam studi penghidupan di perkotaan, infrastruktur dasar seperti transportasi, air dan energi
sebagian besar termasuk dalam modal fisik bersama-sama dengan tempat tinggal dan peralatan
produksi (De Haan 2000:344; lihat juga Dalal-Clayton, Dent and Dubois, 2003:16).
Pentagonal Aset tersebut pada dasarnya adalah sebuah diagram lama-laba (Web atau Radar
Chart) dengan lima variabel (asset). Ketersediaan, akses dan kualitas dari tiap aset tersebut sangat
mungkin akan berbeda-beda pada tiap keluarga, komunitas dan wilayah, sehingga ketika dilakukan
pengukuran dan kemudian dipetakan maka bentuk pentagonal atau Radar Chart-nya juga akan
menjadi berbeda pula.

D. Kerangka Kerja Sustainable Livelihood


Gambaran dasar dari konteks, struktur, proses, strategi dan outcome dari kerangka
kerja sustainable livelihood yang diuraikan dalam “Sustainable Livelihoods Guidance Sheets,” DFID
(1999), sebagai berikut:
Dalam guidance tersebut ditegaskan bahwa bentuk kerangka ini tidak dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa titik awal untuk semua livelihood (atau analisis penghidupan) adalah Konteks
Kerentanan (Vulnerability Context) yang melalui serangkaian permutasi menghasilkan Outcome
Penghidupan (Livelihood Outcome). Alasannya, karena livelihood dibentuk oleh banyak kekuatan dan
faktor yang berbeda dan terus berubah. Analisis yang berpusat pada masyarakat (people-centred)
kemungkinan besar dapat dimulai dengan investigasi secara simultan atas aset masyarakat, tujuan
mereka (Livelihood Outcome yang mereka cari) dan Strategi Penghidupan (Livelihood Strategies)
yang mereka adopsi untuk mencapai tujuan tersebut.
Umpan balik yang penting antara Transformasi Struktur dan Proses (Transforming Structures
and Processes) dengan Konteks Kerentanan. Bahwa kondisi yang terjadi dalam struktur dan proses
(politik, ekonomi, hukum, sosial, dll.) akan turut berpengaruh terhadap tingkat kerentanan masyarakat
miskin. Umpan balik lainnya adalah antara Outcome Penghidupan dengan Aset Penghidupan
(Livelihood Aset). Dalam hal ini, tingkat kesejahteraan pada akhirnya juga akan berpengaruh
terhadap aset yang dapat dimiliki dan/atau diakses.
Kerangka kerja tersebut kemudian banyak diadopsi dan diadaptasi dalam berbagai
program/proyek pembangunan di berbagai bidang dan sektor, baik di wilaya perdesaan maupun
perkotaan, yang diinisasi oleh negara dan lembaga donor internasional (diantaranya lihat Carney,
2001; Krantz, 2001; Dalal-Clayton and Bass, 2002; Saragih, Lassa dan Ramli, 2007; IMM, 2008)
Salah satu adaptasi kerangka pemikiran dari pendekatan sustainable livelihood adalah yang
diajukan oleh Dalal-Clayton, Dent dan Dubois (2003), berikut ini:
Rakodi dalam Rakodi, Carole and Lloyd-Jones (Urban Livelihoods: A People-centered
Approach to Reducing Poverty, 2002) berpendapat bahwa penerapan pendekatan sustainable
livelihood di daerah pedesaan berfokus pada peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani
pertanian miskin. Jika rumah tangga petani memiliki akses ke berbagai jenis modal, maka mereka
akan mampu mencukup diri dalam hal penyediaan makanan, air, sanitasi, bahan bakar dan tempat
tinggal, sehingga mereka dapat mencapai kesejahteraan dasar. Sementara penerapan
pendekatan sustainable livelihood di daerah perkotaan, berfokus pada mengatasi kebutuhan rumah
tangga miskin, di mana mereka memang lebih bergantung pada pasar (dan ekonomi tunai) untuk
penyediaan tenaga kerja, lahan dan perumahan dan layanan terorganisir (untuk air, sanitasi dan
energi). Interaksi rumah tangga miskin perkotaan dengan struktur pemerintahan demikian lebih cepat
dan sehari-hari daripada kebanyakan rumah tangga pedesaan, tingkat pendapatan yang diperlukan
untuk menghindari kemiskinan lebih tinggi karena tingginya biaya barang non-makanan, dan cara di
mana pasar dan jasa beroperasi adalah hal yang penting bagi mereka.
Salah satu analisis terhadap sustainable livelihood untuk kawasan perdesaan yang
ditawarkan Scooner (dalam “Sustainable Livelihoods from Theory to Conservation Practice…,” 2010).
Scooner membuat model yang menghubungkan antara analisis kontekstual, sumberdaya,
kelembagaan, strategi dan outcome dalam penerapan pendekatan sustainable livelihood di
perdesaan.

Dari kerangka analisis tersebut, ada tiga strategi yang umum dilakukan dalam sustainable
rural livelihood, yaitu:
(1) Intensifikasi/ekstensifikasi pertanian. Strategi ini mempertimbangkan antara intentifikasi modal
(seringkali didukung dengan input eksternal dan kebijakan) dan tenaga kerja (berdasarkan tenaga
kerja sendiri dan sumber daya sosial dan proses yang lebih otonom).
(2) Diversifikasi mata pencaharian. Strategi ini mempertimbangkan antara pilihan aktif untuk
berinvestasi dalam diversifikasi dengan tujuan akumulasi dan reinvestasi, dan diversifikasi yang
ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi yang lebih permanen dari
kegiatan livelihood, ketika pilihan lain gagal untuk memberikan penghidupan. Ada dua strategi, yaitu:
(a) diversifikasi yang melibatkan upaya pengembangan portofolio pendapatan produktif yang luas dan
mencakup semua jenis guncangan atau stres secara bersama-sama; (b) strategi yang fokus
mengembangkan respon dalam menangani jenis tertentu dari guncangan atau stres umum melalui
koping mekanisme (coping mechanisms) yang baik.
(3) Migrasi. Strategi ini melihat adanya perbedaan antara penyebab yang berbeda migrasi (contohnya,
migrasi sukarela dan tidak sukarela), efek migrasi (contohnya, reinvestasi di bidang pertanian,
perusahaan atau konsumsi di rumah atau lokasi migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari
tempat yang berbeda).

E. Implikasi Kebijakan dari Pendekatan Sustainable Livelihood


Bagi Chambers dan Conway (1991), konsep sustainable livelihood memiliki implikasi
kebijakan baik bagi si kaya maupun si miskin. Bagi orang kaya, prioritasnya adalah dengan
mengubah gaya hidup mereka untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Jika orang kaya
membuat kebutuhan yang lebih rendah, maka akan lebih banyak yang tersisa untuk orang miskin dan
generasi mendatang. Sementara untuk si miskin ada lebih banyak hal yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Meningkatkan kapabilitas/kemampuan. Kemampuan penghidupan (livelihood
capability) dalam konteks perubahan dan ketidakpastian yang membutuhkan kemampuan
untuk menjadi mudah beradaptasi, fleksibel, cepat berubah, memilik akses informasi yang
memadai, dan mampu memanfaatkan dan mengubah beragam sumber daya dan
kesempatan. Ada implikasi praktis untuk penyediaan infrastruktur dan layanan, termasuk: (a)
Pendidikan untuk kemampuan mata pencaharian terkait; (b) Kesehatan, baik preventif dan
kuratif untuk mencegah disabilitas permanen; (c) Peluang lebih besar dan lebih baik untuk
pertanian, dan dukungan untuk eksperimen petani; (d) Transportasi, komunikasi dan jasa
informasi (tentang hak, pasar, harga, keterampilan); (e) Kredit yang fleksibel untuk usaha
kecil baru.
2. Meningkatkan ekuitas. Mengutamakan kemampuan, aset dan akses yang lebih
miskin, termasuk kelompok minoritas dan perempuan. Implikasi praktis bagi kelompok ini
termasuk: (a) Redistribusi aset nyata, terutama tanah, dan tanah untuk penggarap; (b)
Kepastian hak atas tanah, air, pohon dan sumber daya lainnya, dan keamanan
mewariskannya untuk anak-anak; (c) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya milik
umum dan hak-hak yang adil terkait akses untuk orang miskin; (d) Meningkatkan intensitas
dan produktivitas penggunaan sumber daya, dan mengeksploitasi sinergi ekonomi skala
kecil; (e) Hak dan akses yang efektif untuk layanan, terutama pendidikan, kesehatan dan
kredit; (f) Menghapus pembatasan yang memiskinkan dan melemahkan orang
miskin. Harcourt dalam Women Reclaiming Sustainable Livelihoods (2012) menegaskan
pandangan Chambers dan Conway ini , yaitu mengenai pentingnya peran perempuan dalam
mengaplikasikan pendekatan sustainable livelihood untuk mengatasi kemiskinan di
masyarakat.
3. Meningkatkan keberlanjutan sosial. Mengurangi kerentanan dengan menahan
tekanan eksternal, meminimalkan guncangan, dan menyediakan jaring pengaman, sehingga
orang miskin tidak menjadi lebih miskin. Langkah-langkah praktis meliputi: (a) Perdamaian,
hukum yang adil dan ketertiban; (b) Pencegahan bencana; (c) Strategi mengatasi perubahan
msim untuk menjamin ketersediaan makanan, pendapatan dan pekerjaan bagi orang miskin
pada saat tertentu; (d) Dukungan cepat di pada tahun-tahun yang buruk, dan memberi harga
tinggi untuk aset berwujud yang dijual masyarakat di masa yang sulit; (f) Pelayanan
kesehatan yang mudah diakses dan efektif dalam musim yang buruk, termasuk pengobatan
untuk kecelakaan; (f) Ketentuan untuk kesuburan rendah.

F. Kekuatan dan Keterbatasan dari Pendekatan Sustainable Livelihood


Pendekatan sustainable livelihood mencermati relasi antara konteks kerentanan, ketersedian
aset (manusia, alam, keuangan, fisik dan sosial), pengaruh dan akses terhadap aset-aset tersebut
terhadap transformasi struktur dan proses bagi strategi penghidupan untuk mencapai outcome
penghidupan yang lebih baik, khususnya bagi orang miskin. Dari cakupan pendekatan ini dapat
dikatakan lebih bersifat holistik dibanding beberapa pendekatan pembangunan lain yang sudah
dikenal sebelumnya yang cenderung menekankan pada salah satu atau sebagian aset dan kapital
saja, seperti sumberdaya daya fisik, alam atau ekonomi/keuangan saja.
Pendekatan ini juga membantu memberi pemahaman mengenai penyebab kemiskinan
dengan berfokus pada berbagai faktor, pada tingkat yang berbeda, yang secara langsung atau tidak
langsung menentukan atau membatasi akses orang miskin terhadap sumber daya/ aset dari berbagai
jenis, dan dengan demikian berpengaruh terhadap penghidupan mereka. Selain itu, pendekatan ini
juga menyediakan kerangka kerja yang lebih realistis untuk menilai efek langsung dan tidak langsung
pada kondisi kehidupan masyarakat, untuk kriteria tertentu, misalnya, produktivitas atau pendapatan
(lihat Krantz, “The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction: An Introduction,” 2001)
Pendekatan ini tidak bersifat rigid/kaku, namun dapat diterapkan fleksibel tergantung pada
konteks negara/daerah. Karenanya, pendekatan ini dapat diterapkan di manapun dalam situasi di
mana mata pencaharian perlu dipahami dan ditingkatkan sehingga membuatnya lebih berkelanjutan.
Meskipun demikian, berdasarkan karakkteristiknya pendekaan ini hanya cocok dipraktekkan pada
negara yang sedang berkembang (developing world) (lihat Morse, McNamara dan Acholo, 2009;
Morse dan McNamara, 2013).
Sementara menurut Ashley dan Carney (1999), kelebihan dari pendekatan sustainable
livelihood ini adalah tidak hanya dapat digunakan di tingkat program dan proyek saja, tetapi juga
dapat digunakan di tingkat kebijakan. Beberapa cara di mana pendekatansustainable livelihood dapat
memberikan nilai tambah terhadap kebijakan, yaitu:
1. Membantu untuk memastikan bahwa kebijakan tidak diabaikan: Dalam hal ini analisis sustainable
livelihood dapat memberikan informasi penting tentang bagaimana struktur dan proses yang ada
mempengaruhi penghidupan masyarakat. Dalam analisis sustainable livelihoodumumnya juga
mengidentifikasi dan merekomendasikan perlunya reformasi kebijakan tertentu.
2. Menyediakan bahasa yang sama (common language) bagi para pembuat kebijakan dari berbagai
sektor: Kerangka dan terminologi dalam pendekatan sustainable livelihood dapat membantu dan
menjadi bahasa bersama dalam analisis dari sektor-sektor yang berbeda, atau ketika membahas isu-
isu lintas sektoral seperti kemiskinan, desentralisasi, pembangunan pedesaan dan reformasi sektor
publik, yang memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap penghidupan (livelihood).
Demikian pula ketika menyusun kerangka kerja mengenai peran sektor swasta dalam mengurangi
kemiskinan.
3. Mendorong pendekatan yang lebih berfokus pada orang dalam penyusunan kebijakan: Dalam
pandangan Ashley dan Carney, pendekatansustainable livelihood dapat membantu pembuat
kebijakan berpikir di luar kotak-kotak sektoral dan dapat melihat perubahan kebijakan dari perspektif
orang/pihak lain. Termasuk menyoroti mengenai kebutuhan untuk melakukan konsultasi yang lebih
luas tentang isu-isu kebijakan, terutama dengan orang miskin. Kerangka sustainable livelihood juga
dapat menginformasikan program reformasi kebijakan dengan menggambarkan dampak kebijakaan
saat ini dan di masa depan terhadap kehidupan masyarakat.
Selain kekuatan, ada beberapa keterbatasan dari pendekatan sustainable livelihood ini.
Menurut Krantz, (2001), dari hasil pengamatannya terhadap implementasi pendekatan sustainable
livelihood oleh sejumlah lembaga internasional, menilai bahwa pendekatan ini kurang memberi
gambaran yang lebih jelas dalam hal bagaimana mengidentifikasi orang-orang miskin yang menjadi
subyek dari pendekatan ini. Keterbatasan lainnya adalah pada kurangnya penjelasan mengenai
bagaimana caranya agar sumber daya dan peluang penghidupan lainnya dapat didistribusikan secara
lokal, mengingat proses ini seringkali dipengaruhi oleh struktur informal dari dominasi sosial dan
kekuasaan di dalam masyarakat itu sendiri.
Aspek lain yang juga dipandang kurang terelaborasi dalam pendekatan adalah sustainable
livelihood ini mengenai keseimbangan gender. Umum dipahami bahwa gender merupakan aspek
hubungan sosial dan dan relasi antara laki-laki dan perempuan yang kerap ditandai dengan adanya
ketimpangan dan dominasi sosial. Kendala lain yang menurut Krantz juga mungkin dihadapi dalam
implementasi pendekatan sustainable livelihood ini adalah sulit tersedianya suatu sistem
perencanaan pembangunan yang fleksibel untuk dapat mengakomodasi proses analisis yang luas
dan terbuka.
Sementara itu, Ashley dan Carney (1999) juga mengingatkan bahwa ada batasan dalam
pendekatan sustainable livelihood di tingkat kebijakan, yaitu:
1. Analisis penghidupan (livelihood analysis) untuk tingkat nasional adalah tidak praktis: Tidak mudah
untuk melakukan analisis rinci dari penghidupan masyarakat di seluruh wilayah negara untuk
mendukung pembuatan kebijakan nasional, karena kemungkinan adanya tingkat heterogenitas yang
tinggi. Meskipun demikian, analisis sustainable livelihood secara umum dapat menyoroti kesenjangan
kunci dalam informasi yang ada.
2. Kesulitan membongkar dan memahami 'struktur dan proses': Kerangka sustainable
livelihood sebagai cara untuk melakukan analisis tingkat rumah tangga yang lebih rinci dengan
menggunakan pentagonal aset dan menyoroti hubungan antara komponen, sesungguhnya tidak
dapat diberlakukan secara sama untuk masalah meso atau makro. Struktur dan proses kebijakan
tingkat meso dan makro (aktor, peran dan relasi) terlalu luas dan kompleks.
3. Masalah dalam mengatasi hambatan untuk mengubah kebijakan, struktur dan proses: Bahkan
jika sustainable livelihood menyoroti perlunya perubahan dalam struktur dan proses, mereka tidak
dapat membantu dalam melakukan perubahan tersebut. Tantangan menangani ketidaksetaraan,
pertentangan dalam kepentingan sosial-ekonomi, atau kurangnya kapasitas pelaksanaan tetap besar,
dengan atau tanpa sustainable livelihood. Ashley dan Carney menggarisbawahi bahwa berbagai
keterampilan lain di pemerintahan, reformasi kelembagaan, resolusi konflik, peningkatan kapasitas
dan negosiasi tetap dibutuhkan. Bahkan, ada mungkin sedikit prospek reformasi kebijakan atau
pemerintah yang justru bertentangan dengan pencapaian luas mata pencaharian yang berkelanjutan.
Hal ini dapat menempatkan kendala mendasar pada pekerjaan sustainable livelihood.
Dari analisis terhadap pengalaman penerapan pendekatan ini di sejumlah negara, Norton
dan Foster (2001) menyimpulkan bahwa ada beberapa kelemahan dan masalah yang telah
diidentifikasi antara lain sebagai berikut:
 Sifat holistik dari multi-dimensi dalam kerangka kerja pada pendekatan ini- dengan
penekanan pada 'dunia yang kompleks' - dapat menyulitkan dalam membuat prioritas tindakan (ketika
agenda yang ingin digarap menjadi 'terlalu besar');
 Kemungkinan ada masalah dalam bahasa dan pemaknaannya dengan mitra kerja program,
yang kerap menyulitkan pendekatan ini dapat menjadi agenda bersama (dalam kasus program yang
diinisiasi oleh lembaga/negara donor);
 Pendekatan ini mungkin kurang menarik bagi organisasi mitra utama yang berada pada jalur
sektoral (yang mungkin bahkan melihatnya sebagai ancaman, karena pendekatan ini yang cenderung
multi-dimensi/sektor);
 Pendekatan ini kurang memberi perhatian yang memadai terhadap faktor sejarah dan politik;
 Kerangka kerja dalam pendekatan ini tidak sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan akan
'analisis nasional' dan karena itu kurang cocok digunakan untuk analisis makro;
 Ada terlalu banyak variabel kunci untuk analisis kebijakan yang terkandung dalam satu 'kotak'
dalam kerangka kerja pada pendekatan ini, dan panduan untuk membongkar keterkaitan makro-mikro
(ekonomi, sosial dan politik) dipandang juga tidak cukup memadai.

G. Strategi Penanganan Kemiskinan dalam Pendekatan Sustainable Livelihood


Ada banyak strategi penanganan kemiskinan menggunakan pendekatan sustainable livelihood yang
ditawarkan dan sudah dipraktekkan oleh berbagai program/proyek, perguruan tingi, lembaga non
pemerintah dan lembaga/negara donor. Salah satu strategi yang dapat menjadi ilustrasi strategi
dalam penanganan kemiskinan dengan pendekatan sustainable livelihood, yang dikembangkan oleh
CGAP dan Ford Foundation (2006), sebagaimana dikutip oleh de Montesquiou et.al. dalam From
Extreme Poverty to Sustainable Livelihoods (2014). Dalam pendekatan tersebut dibuat klasifikasi
mulai dari melarat/fakir miskin (destitute), sangat miskin (extreme poor), agak miskin (moderate poor),
rentan tidak miskin (vulnerable non-poor), tidak miskin (non-poor), dan kaya (wealth), yang
dipisahkan oleh garis kemiskinan. (Pembahasan lebih lanjut mengenai Graduation Approach dapat
dilihat pada CGAP, 2009; Hasjemi dan de Montesquiou, 2011; UNHCR, 2011; dan Moury, 2014).

Ada tiga strategi yang digunakan, yaitu:


1. Program perlindungan sosial (social protection). Strategi ini memiliki catatan jejak
yang lebih baik untuk mencapai miskin ekstrim melalui berbagai intervensi, mulai dari jaring
pengaman sosial (seperti, bantuan transfer tunai dengan syarat ataupun tanpa syarat,
bantuan pangan, jaminan kerja) bagi mereka yang membutuhkan segera, sebagai pengaman
agar tidak tergelincir ke kemelaratan.;
2. Intervensi penghidupan (livelihoods interventions). Strategi ini mempromosikan
penggunaan aset manusia dan material untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan
dan "cara hidup" (seperti, menjadi petani atau tukang). Tujuan dari strategi promosi
penghidupan adalah untuk menjaga orang-orang tetap bekerja dan produktif, dengan tetap
terjaga martabat mereka, untuk jangka panjang. Tapi beberapa program pengembangan
mata pencaharian telah membahas kebutuhan rumah tangga sangat miskin. Hal ini terutama
terjadi di daerah pedesaan, di mana program pengembangan mata pencaharian cenderung
fokus pada rumah tangga yang aktif secara ekonomi, biasanya orang-orang dengan lahan
yang cukup untuk menghasilkan surplus yang dapat dijual ke pasar;
3. Inklusi keuangan (financial inclusion). Strategi ini umumnya fokus pada yang
masyarakat yang aktif secara ekonomi dan dengan demikian tidak menjangkau kaum sangat
miskin (extreme poor). Mereka yang sangat orang miskin mungkin memilih untuk tidak
meminjam karena mereka berpikir utang lebih mungkin justru akan memberatkan dan
bukannya membantu mereka. Dalam jenis pendekatan dengan jaminan kelompok yang
digunakan oleh beberapa penyedia jasa keuangan, anggota kelompok umumnya justru
mengecualikan mereka yang termiskin, karena takut bahwa orang-orang seperti akan tidak
mampu mengembalikan pinjamannya dan harus ditanggung oleh kelompok tersebut. Selain
itu banyak penyedia jasa keuangan menganggap bahwa mereka termiskin itu terlalu mahal
biaya pelayanannya, karena jumlah pinjaman umumnya kecil sementara biaya
operasionalnya sama. Meskipun mereka mungkin diabaikan oleh penyedia jasa keuangan,
orang yang sangat miskin tetap meminjam dan menyimpan uang, apakah secara informal
(menyimpan uang tunai di rumah, meminjam uang dalam jumlah kecil dari teman atau
keluarga yang memilikinya untuk cadangan) atau semi-formal melalui kelompok simpan
pinjam berbasis masyarakat yang umum ada di komunitas miskin di seluruh dunia
berkembang (Catatan: semacam kelompok arisan di Indonesia). Bahkan orang-orang yang
sangat miskin juga merasa perlu menghemat uang, terutama karena itu menyangkut masalah
kelangsungan hidup mereka sendiri. Tabungan adalah satu-satunya alat yang tersedia untuk
melindungi terhadap guncangan (social and economic shocks) bagi orang-orang yang tidak
memiliki akses ke asuransi, kredit darurat, atau apa pun selain sumber daya mereka sendiri
(CGAP dan Ford Foundation, dalam de Montesquiou, 2006).

Pendekatan yang digunakan disebut “Graduation Approach” yang mencoba mengeluarkan


masyarakat dari kondisi sangat miskin (extreme poverty) ke kondisi penghidupan berkelanjutan, yang
dibangun pada elemen lima inti: dukungan konsumsi, tabungan, transfer aset, pelatihan keterampilan
teknis, dan pendampingan regular mengenai keterampilan hidup (lihat de Montesquiou, 2006:22, dan
UNHCR, 2014). Pendekatan mengacu pada aspek yang paling relevan perlindungan sosial,
pengembangan mata pencaharian, dan inklusi keuangan untuk memberikan hasil dengan
menggabungkan dan mengkomuninasikan dukungan untuk kebutuhan mendesak dengan modal dan
aset manusia investasi jangka panjang. Tujuannya adalah untuk melindungi peserta dalam jangka
pendek sambil mempromosikan kehidupan yang berkelanjutan untuk masa depan.
Pendekatan ini memiliki visi, yaitu:
1. Investasi awal yang tinggi dari peserta program akan membantu keluarga yang
sangat miskin dalam mengembangkan penghidupan yang berkelanjutan;
2. Rumah tangga ini mengembangkan kapasitas mereka dalam meningkatkan
pendapatan dan membangun aset, serta meningkatkan ketahanan mereka, dan seiring waktu
kerentanan mereka terhadap guncangan juga akan berkurang. Ini dapat mengurangi risiko
mereka untuk jatuh kembali ke dalam kemiskinan yang ekstrim;
3. Keuntungan dalam jangka panjang akan bertambah baik untuk individu maupun
keluarga yang terkena dampak langsung, dan juga untuk tujuan-tujuan sosial yang lebih luas,
seperti memutus mata rantai kemiskinan lintas generasi dan mengurangi ketidaksetaraan.
Dari gambar tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Dukungan konsumsi. Bantuan ini diberikan kepada masyarakat yang termasuk kelompok
sasaran (hasil targeting), dalam bentuk uang saku tunai dalam jumlah kecil atau bahan makanan.
Dukungan ini dapat memberikan mereka "ruang bernapas" dengan meringankan stres hidup sehari-
hari;
 Tabungan. Setelah konsumsi pangan masyarakat stabil, mereka didorong untuk mulai
melakukan penghematan, baik secara semi-formal melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM),
atau lebih formal melalui rekening pada penyedia jasa keuangan formal. Selain untuk membangun
aset, tabungan juga bermanfaat menanamkan disiplin keuangan dan membiasakan peserta dengan
layanan keuangan formal. Graduation Approach dapat menawarkan pelatihan literasi keuangan,
mengajar peserta tentang kas dan manajemen keuangan, dan mengakrabkan mereka dengan
tabungan dan kredit. Fitur ini mengajarkan tentang pentingnya penghematan dari bidang inklusi
keuangan;
 Analisa pasar dan pengalihan aset. Beberapa bulan setelah program dijalankan, setiap
peserta menerima aset (misalnya, ternak jika mata pencaharian melibatkan peternakan; persediaan
barang dagangan jika mata pencaharian adalah ritel) untuk membantu menmbangun satu atau lebih
kegiatan ekonomi. Sebelumnya dilakukan identifikasi pilihan mata pencaharian yang berkelanjutan
dalam rantai nilai yang dapat menyerap pelaku ekonomi baru. Dari daftar tersebut peserta memilih
dari daftar menu aset, berdasarkan preferensi mata pencaharian dan pengalaman masa lalu;
 Pelatihan keterampilan teknis. Peserta menerima pelatihan keterampilan dasar dalam hal
memanfaatkan dan merawat aset serta menjalankan bisnis. Pelatihan tersebut sangat penting dalam
mengelola usaha kecil yang sukses, serta dapat memberikan informasi mengenai bantuan dan
layanan yang diperlukan (misalnya, dokter hewan, untuk peserta program yang banyak yang pilihan
mata pencaharian melibatkan peternakan);
 Pendampingan (life skill coaching). Mereka yang berada dalam kondisi kemiskinan ekstrim
umumnya kurang percaya diri dan terbatas modal sosial-nya. Diperlukan pendampingan secara
kontinyu dalam waktu yang cukup (sekitar 18 sampai 36 bulan program). Selama pendampingan
tersebut, peserta dibantu dalam melakukan perencanaan bisnis dan manajemen uang, bersama
dengan dukungan sosial dan layanan kesehatan dan pencegahan penyakit. Dalam beberapa kasus,
telah terbukti berharga untuk mengorganisir kelompok-kelompok dukungan sosial di masyarakat atau
berhubungan dengan penyedia layanan kesehatan (de Montesquiou et.al., 2006).

Catatan:
Tulisan ini menjadi bagian dari desk study dalam sebuah laporan kajian tentang penghidupan
berkelanjutan di Bappenas (2016)

Anda mungkin juga menyukai