Approach (SLA)
Konsep Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan
Oleh: Candra
Chambers dan Conway memodifikasi definisi WCED tersebut, dan mengajukan definisi sustainable
livelihood, sebagai berikut:
"Penghidupan terdiri dari kapabilitas, aset (perbekalan, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan
yang dibutuhkan untuk sarana hidup: sebuah penghidupan dapat berkelanjutan jika dapat mengatasi
dan pulih dari tekanan dan guncangan, dapat memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset,
dan memberikan peluang menciptakan penghidupan berkelanjutan bagi generasi berikutnya; dan
yang memberikan kontribusi berupa manfaat nyata ke penghidupan lain di tingkat lokal dan global,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.” (1991)
Menurut Guiterrez-Montes, Emery dan Fernandez-Baca (2009), ada sejumlah kesamaan antara
pendekatan sustainable livelihood denganCommunity Capitals Frameworks (CCF), di mana keduanya
merupakan pendekatan yang berpusat pada manusia, mengedepankan prinsip partisipatori, fokus
pada sumberdaya eksisting di masyarakat, dan berorientasi untuk membantu masyarakat
menyiapkan diri mereka sendiri dalam mengidentikasi potensi strategis dan proses perubahan.
De Haan dalam “The Livelihood Approach: A Critical Exploration” (2012) menyebutkan bahwa
konsep sustainable livelihood di Inggris yang dikembangkan oleh DFID dipengaruhi oleh pemikiran
“Third Way” yang digagas oleh Anthony Giddens pada awal 1990-an, dan menjadi corak dari
pemerintahan Partai Buruh pada masa pemerintahan Perdana Menteri Toni Blair. Konsep ini
kemudian diadopsi oleh berbagai negara dan lembaga internasional, seperti UNDP, OXFAM, CARE,
SIDA, World Bank, dll. (diantaranya lihat Ashley dan Carney, 1999; Narayan 2000, dikutip dari De
Haan 2008; Haidar, 2009; De Haan, 2012). Dari situ, pendekatan sustainable livelihoodkemudian
diterapkan dalam berbagai program/proyek pembangunan di seluruh dunia yang pendanaannya
didukung oleh negara dan lembaga donor internasional tersebut, termasuk di Indonesia.
C. Pentagonal Aset
Penjelasan mengenai dasar-dasar sustainable livelihood umumnya digambarkan dalam
bentuk diagram berbentuk pentagonal, yang dalam aplikasinya oleh berbagai ahli, institusi maupun
program/proyek kemudian memiliki banyak varian, namun secara prinsip umumnya masih mengacu
pada konsep awalnya. Kerangka kerja livelihood mengidentifikasi 5 (lima) kategori aset utama atau
jenis-jenis modal di mana penghidupan dibangun, yang disebut sebagai The Assest
Pentagon (Pentagonal Aset). Pentagon ini dikembangkan untuk memungkinkan informasi tentang
aset masyarakat yang akan disajikan secara visual, yang dapat menggambarkan hubungan antar
aset tersebut (DFID, 1999).
Kelima aset tersebut, yaitu:
(1) Modal manusia (human capital), yaitu, kerja pertama dan terpenting tetapi juga keterampilan,
pengalaman, pengetahuan dan kreativitas.
(2) Modal alam (natural capital), yaitu, sumber daya seperti tanah, air, hutan dan padang rumput, tetapi
juga mineral;
(3) Modal fisik (physical capital), yaitu, rumah, alat dan mesin, stok pangan atau ternak, perhiasan dan
peralatan pertanian;
(4) Modal finansial (financial capital), yaitu, uang dalam rekening tabungan atau kaus kaki tua, pinjaman
atau kredit; dan
(5) Modal sosial (social capital), yang menunjuk pada kualitas hubungan antara orang-orang, misalnya,
apakah seseorang dapat mengandalkan dukungan dari satu keluarga atau bantuan dari
tetangga (mutual).
Modal alam dianggap sangat penting di daerah pedesaan, sementara di daerah perkotaan
dianggap kurang relevan dibandingkan dengan tempat tinggal dan upah tenaga kerja. Selain itu,
dalam studi penghidupan di perkotaan, infrastruktur dasar seperti transportasi, air dan energi
sebagian besar termasuk dalam modal fisik bersama-sama dengan tempat tinggal dan peralatan
produksi (De Haan 2000:344; lihat juga Dalal-Clayton, Dent and Dubois, 2003:16).
Pentagonal Aset tersebut pada dasarnya adalah sebuah diagram lama-laba (Web atau Radar
Chart) dengan lima variabel (asset). Ketersediaan, akses dan kualitas dari tiap aset tersebut sangat
mungkin akan berbeda-beda pada tiap keluarga, komunitas dan wilayah, sehingga ketika dilakukan
pengukuran dan kemudian dipetakan maka bentuk pentagonal atau Radar Chart-nya juga akan
menjadi berbeda pula.
Dari kerangka analisis tersebut, ada tiga strategi yang umum dilakukan dalam sustainable
rural livelihood, yaitu:
(1) Intensifikasi/ekstensifikasi pertanian. Strategi ini mempertimbangkan antara intentifikasi modal
(seringkali didukung dengan input eksternal dan kebijakan) dan tenaga kerja (berdasarkan tenaga
kerja sendiri dan sumber daya sosial dan proses yang lebih otonom).
(2) Diversifikasi mata pencaharian. Strategi ini mempertimbangkan antara pilihan aktif untuk
berinvestasi dalam diversifikasi dengan tujuan akumulasi dan reinvestasi, dan diversifikasi yang
ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi yang lebih permanen dari
kegiatan livelihood, ketika pilihan lain gagal untuk memberikan penghidupan. Ada dua strategi, yaitu:
(a) diversifikasi yang melibatkan upaya pengembangan portofolio pendapatan produktif yang luas dan
mencakup semua jenis guncangan atau stres secara bersama-sama; (b) strategi yang fokus
mengembangkan respon dalam menangani jenis tertentu dari guncangan atau stres umum melalui
koping mekanisme (coping mechanisms) yang baik.
(3) Migrasi. Strategi ini melihat adanya perbedaan antara penyebab yang berbeda migrasi (contohnya,
migrasi sukarela dan tidak sukarela), efek migrasi (contohnya, reinvestasi di bidang pertanian,
perusahaan atau konsumsi di rumah atau lokasi migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari
tempat yang berbeda).
Catatan:
Tulisan ini menjadi bagian dari desk study dalam sebuah laporan kajian tentang penghidupan
berkelanjutan di Bappenas (2016)