Anda di halaman 1dari 22

BAB 9

INOVASI, DIFUSI DAN ADOPSI

Innovation needs to be encouraged so that land manager’s sieze ooportunities


related to climate change of mitigated and adaption (Margaret Bockett, 1943,
Politisi Partai Buruh di Inggris

Inovasi yang secara esensi merupakan penemuan produk baru adalah suatu
proses produksi yang tidak murah dan juga tidak mudah. Berbagai macam upaya
dilakukan oleh perusahaan dalam pengembangan produk baru, mulai dari
mengenali kehidupan pasar, mengidentifikasi potensi diri, mengintegrasikan
sumber daya dan meningaktkan kolaborasi yang semuanya diinvestasikan untuk
sebuah produk baru. Dalam istilah manajemen, seperti yang telah disebutkan
dalam bahasan sebelumnya, proses tersebut disebut “lead tim” yaitu suatu waktu
tertentu yang dimulai dari pencarian ide baru sampai dengan meralisasikannya
menjadi produk baru sehingga siap dipasarkan.
Beramalogi kepada kehidupan manusia, lead time hampir sama dengan
keadaan seorang ibu yang sedang hamil dan siap melahirkan seorang anak.
Kesehatan anak yang dilahirkan adalah harapan semua anggota keluarga, untuk
itu, proses kehamilan adalah momen penting dan sangat menentukan bagi
keselamatan bayi. Proses melahirkan adalah masa berdarah darah memerlukan
penanganan yang penuh dengan kehati-hatian. Kesalahan perlakuan persalinan
akan membahayakan dan mengakibatkan kegagalan hidup bagi sang bayi yang
baru dilahirkan. Selanjutnya, anak yang baru dilahirkan agar bisa mandiri dan
dewasa juga memerlukan perawatan, penguatan dan pengembangan kekuatannya
agar ia mampu berkembang dengan sempurna. Proses perkembangan diri tersebut
tidak berlangsung secara tiba-tiba secara perlahan dan bergradasi.
Begitu halnya proses yang harus dilalui dalam pengembangan produk baru
di sebuah perusahaan. Proses pengembangan ide sampai dengan dihasilkan dan
diluncurkannya produk baru adalah masa kritis yang menentukan keberhasilannya
di pasar. Ada pula proses yang berdarah-darah di mana perusahaan harus
berinvestasi untuk membangun pasar, menentukan strategi, melakukan promosi
untuk pengenalan barang, dan menaklukkan pesaing bisnis. Semua kegiatan
tersebut pasti memerlukan investasi finansial yang tidak sedikit.
Upaya perusahaan untuk memasarkan produk baru melalui promosi,
sosilaisasi atributif, atau media pengenalan produk dimaksudkan agar pasar dapat
menerima produk tersebut sebagai bagian dari kebutuhannya. Terdapat jedah
waktu tertentu antara saat pertama kali sebuah produk diperkenalkan sampai
dengan diterimanya di masyarakat sebagai suatu kebutuhan. Begitu produk baru
diluncurkan, tidak serta merta masyarakat dapat menerimanya. Diperlukan waktu
tertentu bagi masyarakat untuk menimbang-nimbang apakah mereka memerlukan
produk baru tersebut, bagaimana efek kemanfaatannya dibandingkan dengan
produk yang sudah ada, sejauh mana nilai tambah relatif yang mereka peroleh
dibandingkan dengan harganya, dan seterusnya.
Berprosesnya sebuah pertimbangan di masyarakat dalam waktu tertentu
untuk menerima atau menolak produk baru disebut dengan difusi. Penerimaan
masyarakat atas produk baru sebagai kebutuhan sehingga mereka
menggunakannya disebut dengan adopsi. Sebuah produk baru sekalipun
mempunyai nilai terobosan atau 'breakthrough' tidak selalu memperoleh status
adopsi sekalipun telah mlalui sebuah proses difusi yang panjang.
Setelah diadopsi oleh masyarakat, produk baru itu pun belum tentu bisa
bertahan lama untuk selalu diadopsi; ada yang terus diadopsi ada yang
ditinggalkan oleh masyarakat karena faktor yang bermacam-macam. Samli dan
Weber (2000) dalam A. Coskun Samli (2011, hal 63) bahwa dari 147 temuan baru
berpotensi yang mereka amati, hanya 29 di antaranya yang mampu bertahan
selama 10 tahun. Sisanya tidak ditinggalkan oleh pelanggan mereka karena
banyak hal. Terdapat sejumlah faktor yeng menyebabkan sebuah inovasi tidak
bisa bertahan dalam kehidupan masyarakat; yang jelas, kebutuhan masyarakat
terus berkernbang, dan suatu inovasi produk yang tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pasti akan ditinggalkan oleh penggunanya.
9.1. HAKIKAT DIFUSI
Konsepsi difusi inovasi sebenarnya banyak digunakan pada penyebaran
pengetahuan dari kelompok sosial tertentu kepada kelompok sosial lainnya; atau
antar kelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan sosial. Hampir semua
kelompok sosial dipastikan memperoleh apa yang mereka miliki saat ini
(reportoire) melalui difusi inovasi yang dilakukan beberapa tahun silani.
Masyarakat Eropa, misalnya, memperoleh inovasi teknis dalani kehidupan mereka
saat ini dari sejumlah sumber asing pada abad pertengahan; misalnya, angka
numerik (Indian), kompas (Cina), tabel astronomi (Arab), kertas (Cina), aljabar
(Persia), percetakan (Cina), dan bahan peledak (Cina).
Studi tentang difusi inovasi banyak dilakukan dalani bidang sosiologi
pedesaan, antropologi, sejarah, ilmu pertanian, dan demografi yang berkaitan
dengan budaya dan perilaku kehidupan suatu masyarakat. Kajian difusi inovasi
pada umumnya dimaksudkan untuk memahami proses penting dalam evolusi
budaya. Suatu bentuk budaya atau perilaku dalam lingkungan sosial selalu
berubah dari waktu ke waktu, kebiasaan lama tergeser dengan perilaku baru.
Pergeseran perilaklu tersebut bjusa berbentuk nilai, sikap, keterampilan, gaya
hidup, dan seterusnya. Misalnya, dahulunya orang Indian yang hidup di Amerika
Utara pada 10.000 SM memperlakukan kuda sebagai binatang buruan. Hanya
sampai tahun 5.000 SM, kuda, keledai, dan bison sudah difungsikan sebagai
hewan yang membantu masyarakat untuk bercocok tanam. Dan, baru pada abad
ke 19 orang Indian menggunakan kuda sebagai binatang tunggangan setelah
mereka bekerja sebagai wrangler di daratan Meksiko Utara, (ebook UCDavis,
University of California, hal. 352).
Sebuah difusi inovasi dalam kehidupan sosial tidak terjadi dalam waktu
yang sekejap. Penggunaan produk baru atau cara kehidupan baru dalam
masyarakat memerlukan proses difusi yang sangat lama, bertahujs'-tahun, raturan
bahkan ribuan tahun. Dalam sejarah disebutkan bahwa difusi kehidupan bercocok
tanam mememerlukan waktu selama 4.000 tahun dari Timur Tengah sampai ke
daratan Inggris. Penelitian Ryan dan Gross (1943) yang dikutip oleh Everett M.
Rogers dan Karyn L. Scott (1977) menyebutkan bahwa pengenalan biji jagung
hibrida yang mampu meningkatkan kapasitas penen di Iowa, Amerika Serikat
pada tahun 1928fbaru pada tahun 1941 atau setelah 13 tahun kemudian, seluruh
petani menggunakan benih tersebut secara 100% dalam tanaman di ladangnya.
Begitu pula dalam memperkenalkan inovasi produk lain yang memerlukan waktu
puluhan Jmiun sebelum diadopsi secara penuh. Kaplan dan Morse (2002) yang
dikutip oleh Marilyn L. Leibrenz-Himes, dkk. (2009) menyebutkan difusi sampai
adopsinya secara penuh oleh masyarakat untuk mobil kendaraan (1886)
memerlukan waktu selama 56 tahun, listrik (1873) selama 45 tahun, telepon
(1876) selama 36 tahun, microwave (1953) selama 31 tahun, televisi (1926)
selama 26 tahun, internet (1975) selama 23 tahun, dan telepon seluler (1983)
selama 14 tahun.
Studi tentang difusi inovasi sebelumnya memang digunakan untuk kajian
sosiologi atau perilaku dalam kelompok sosial. Namun, pada tahun-tahun
berikutnya bahasan difusi inovasi tidak hanya pada konteks sosiologi pedesaan
atau pertanian, tetapi banyak para pakar yang menerapkan konsepsi difusi inovasi
pada aspek bisnis. Rogers dan Shoemaker's (1971) yang mengkaji sebanyak 1.500
peristiwa difusi inovasi yang sebagian besar tentang inovasi teknis yang dilakukan
oleh perusahaan kepada pelanggan. Saat ini kajian difusi inovasi bukan
dilaksanakan secara meluas yang meliputi bidang manajemen, pendidikan,
informatika, akuntansi, kesehatan, politik, dan lain-lainnya. Sasaran mereka tetap
sama; yakni, untuk mengetahui tipologi perilaku yang mendorong masyarakat
untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi baru.
Penelitian tentang difusi inovasi baru dalam berbagai bidang yang
dilakukan oleh sejumlah peneliti di antaranya adalah oleh Olosegun Folorunso,
dkk. tentang inovasi situs jaringan sosial bagi mahasiswa (International Journal
of Computer Science and Security, Volume 4, Issue3, 2007), Mark K. Warford
tentang penerapan kebijakan baru tentang penguasaan bahasa asing di Buffalo
State College, NY (Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal,
Volume 10, Issue 3, 2007), Henna Makinen tentang penggunaan program dijital
dalam akuntansi (Thesis pada Helsinki School of Economics, 2010), Benjamin
Osayawe Ehigie dan Elizabeth B. McAndrew tentang penggunaan Total Quality
Management (TQM) sebagai alat manajemen (Management Decision, Vol. 43 No
6, 2005), dan lain-lainnya. Secara nyata setiap inovasi adalah hal baru dalam
bidang apa saja yang diperkenalkan kepada masyarakat. Sebelum memberikan
keputusannya, masyarakat memerlukan proses sosial, psikologi, mental, berpikir,
dan pertimbangan teknis lainnya. Sehingga, kajian difusi inovasi akan tetap
menjadi hal yang menarik untuk diteliti, khususnya oleh mereka yang menggeluti
bidang komunikasi sosial psikologi atau inovasi.
Memahami difusi inovasi berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada
bermakna sangat penting bagi para ilmuwan, profesional, dan prakitisi bisnis,
khususnya dalam pengelolaan pemasaran produk baru kepada masyarakat. Bagi
seorang ilmuwan, transformasi budaya adalah suatu kenyataan yang tidak bisa
dielakkan dari jaman dahulu yang primitif sampai dengan jaman modern ini.
Inovasi produk atau proses dalam berbagai bidang terus bermunculan dan masing-
masing bidang memerlukan tipologi proses penyerapannya di masyarakat. Sesuai
dengan fungsi keilmuan, kajian difusi inovasi akan mengungkapkan dan
menjelaskan hakikat paradigma difusi dan inovasi dalam masyarakat. Hasil
kajiannya diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi dan mengontrol setiap
kebijakan yang berkaitan dengan difusi inovasi, baik yang dilakukan oleh
penguasa, pengusaha, lembaga sosial, dan kelompok masyarakat lainnya.
Hasil penelitian Everett M. Rogers (1995) yang dilakukan pada lebih dari
1.500 kasus menyimpulkan bahwa dalam difusi terdapat unsur pokok yang tidak
bisa ditinggalkan. Berdasarkan unsur pokok tersebut, ia membangun definisi
difusi yang dinyatakan sebagai "theprocess by which an innovation is
communicated through certain channels over time among the members of a social
system" (proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu
dalam waktu tertentu kepada segenap anggota sistem sosial.) Pada definisi di atas,
seperti yang disebutkan oleh Rogers, terdapat 4 (empat) unsur penting dalam
difusi; yakni, inovasi, saluran komunikasi, waktu tertentu, dan sistem sosial.
Unsur pertama dalam proses difusi adalah inovasi, yang pada umumnya
adalah ide, praktek, nilai, atau objekyang dipersepsikan lebih baik dibandingkan
dengan yang ada sebelumnya. Ciri-ciri inovasi, sebagaimana yang dipersepsikan
oleh anggota sistem sosial, menentukan tingkat adopsinya. Di antara ciri-ciri
inovasi tersebut adalah: »J» manfaat relatif (relative advantage), yang dapat
diukur secara ekonomi, keunggulan sosial, rasa, kenyamanan, atau kepuasan.
(dalam konteks ini ukuran kemanfaatan adalah persepsi dan bukan fakta objeknya,
sehingga bila produk baru yang telah didesain canggih tetapi masyarakat
menganggapnya biasa saja, maka inovasi tersebut kurang memberikan
manfaatrelatif kepada masyarakat.)
 kesepadanan (compatibility), yaitu persepsi masyarakat apakah produk
baru tersebut setara dengan nilai yang ada, pengalaman, dan kebutuhan
masyarakat (produk yang dianggap kurang sepadan tidak akan diadopsi
atau proses adopsinya relatif lebih lama dibandingkan dengan produk yang
sepadan).
 Kerumitan (complexity), yaitu persepsi masyarakat tentang tingkat
kerumitan/ kesulitan untuk memahami atau menggunakan produk baru
tersebut (ide baru yang sederhana dan mudah difahami berkecenderungan
lebih cepat diadopsi dibandingkan dengan ide yang rumit dan bertele-tele.)
 kemungkinan dapat dicoba (friability), yakni, apakah sebuah ide, alat, atau
produk baru yang diperkenalkan bisa langsung dicoba atau tidak (produk
baru yang dapat dicoba memberi kepastian tentang kualitasnya sehingga
adopsinya relatif lebih cepat.)
 kemungkinan dapat dilihat (observability), yakni, sejauh mana produk
baru tersebut mampu memberikan hasil nyata dan dapat dilihat secara
langsung oleh masyarakat (semakin mudah seseorang melihat basilnya,
semakin cepat pula sebuah produk diadopsi oleh masyarakat.)
Unsur kedua dalam proses difusi adalah saluran komunikasi, yaitu,
cara/alat yang digunakan dalam proses transformasi pesan antara pihak terkait
pada kegiatan akses, penciptaan, dan berbagi informasi untuk pemahaman.
Saluran media masa pada umumnya lebih efektif untuk membangun pemahaman
atas hakikat produk inovasi, dan saluran interaksi tatap muka lebih efektif untuk
mengubah sikap dan nilai yang derada dalam pikiran masyarakat.
Unsur ketiga adalah waktu, yang dalam proses difusi terkait pada tiga
bahasan dimensi; yakni, pengambilan keputusan, sifat masyarakat, dan rentang
waktu adopsi. Dimensi pengambilan keputusan adalah proses mental yang
terdapat diri individu atau masyarakat yang dimulai dari penerimaan pengetahuan
tentang objek inovasi sampai dengan terbangunnya sikap dan keputusan untuk
menerima atau menolak. Dimensi sifat individu atau masyarakat adalah tipologi,
kebiasaan, atau sifat keterbukaan yang diniilikinya. Terdapat kelompok
masyarakat yang begitu terbuka sehingga cepat menerima sebuah inovasi; tetapi,
ada pula masyarakat yang tertutup sehingga difusi inovasi sangat lambat. Adapun,
dimensi rentang waktu adopsi berkaitan dengan jumlah anggota masyarakat yang
mengadppsi sebuah inovasi dalam waktu tertentu.
Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang terkait
dengan keterlibatan struktur kerja antar unit dalam kehidupan masyarakat untuk
pengambilan keputusan. Dalam sistem sosial terdapat nilai, norma, struktur kerja,
kepemimpinan, dan agen pembaharu (change agent) yang semuanya
mempengaruhi proses difusi inovasi sampai dengan adopsinya.

9.2. PROSES DIFUSI INOVASI


Sebuah inovasi, seperti yang disebutkan di atas, pada saat dikenalkan ke
pasar memerlukan proses difusi agar bisa diadopsi oleh masyarakat sebagai suatu
kebutuhan. Waktu yang diperlukan untuk sebuah difusi tidak sama, dan hal itu
tergantung atas banyak hal; misalnya, jenis produk baru yang dipasarkan, media
yang digunakan, pihak yang menyampaikan, kondisi masyarakat, dan lain-
lainnya. Produk inovasi yang kecil-kecilan (incremental) memerlukan waktu yang
relatif pendek dibandingkan dengan mengenalkan produk inovasi radikal. Begitu
pula, produk baru yang efeknya lebih nyata memerlukan waktu yang relatif lebih
pendek dalam difusinya di masyarakat ketimbang produk yang efeknya berbentuk
abstrak. Mengenalkan inovasi produk masakan; misalnya, adopsi terhadap
makanan sup, cake, permen, atau mie dengan resep baru lebih cepat. Pelanggan
mencoba satu atau dua sajian makanan kemudian memutuskan apakah akan
menerima atau menolak barang tersebut. Berbeda dengan mengenalkan sistem
pendidikan yang efeknya sangat abstrak. Meode pengajaran baru hanya dapat
dirasakan efeknya secara mendalam setelah satu semester berjalan.
Kondisi masyarakat juga menentukan panjang (lama) dan pendeknya
proses difusi inovasi produk baru sampai dengan keputusan adopsi oleh seluruh
anggota masyarakat. Dalam masyarakat tradisional dan konvensional penerimaan
ide baru pada umumnya sangat sulit karena sistem nilai yang mereka anut relatif
lebih tertutup. Kondisi pasar pada 50 tahun yang lalu bersifat konservatif,
sehingga, daya scrap pasar terhadap produk baru relatif lambat. Pada tahun-tahun
berikutnya yakni pada era globalisasi di mana keterbukaan informasi, kondisi
pasar tidak terlalu konservatif. Masyarakat lebih terbuka dan lebih siap untuk
menerima suatu hal yang baru. Sehingga, difusi produk baru relatif lebih mudah
dan tidak memerlukan waktu yang lama. Namun, kini dengan semakin pandainya
pasar dalam menentukan kualitas produk, penetrasi pasar juga sangat sulit.
Masyarakat semakin selektif dalarn menentukan pilihannya karena mereka
semakin berpengetahuan; di samping itu, persaingan antar produk baru juga
semakin kompleks, serta karena daur kehidupan produk yang semakin pendek
berkat kecanggihan teknologi yang digunakan dalam sistem produksi.
Dalam proses difusi inovasi, sebenarnya yang ditransformasikan oleh agen
pembaharu atau pengembang inovasi kepada pasar adalah pengetahuan. Begitu
pengetahuan sudah tertangkap (captured) dan terbagikan (shared) secara utuh
kepada masyarakat, terjadilah peristiwa adopsi barang/layanan baru tersebut;
dengan keputusan apakah diterima atau ditolak. Semakin jelas sebuah
pengetahuan dapat dikodifikasi secara eksplisit dan ditransformasikan kepada
masyarakat dengan media yang tepat, maka semakin cepat pula waktu yang dilalui
dalam proses difusi sampai dengan adopsinya oleh masyarakat.
Yang menjadi masalah adalah bahwa tidak semua pengetahuan tentang
inovasi dapat dikodifikasi atau diterjemahkan secara verbal. Terdapat pengetahuan
tersembunyi, bersifat mendasar, dan seringkali berfungsi sebagai inti dari inovasi
itu sendiri yang tidak bisa tertuangkan secara eksplisit. Sehingga, kesulitan dalam
mengkodifikasi nilai inovasi secara eksplisit menjadi hambatan dalam proses
difusi.
Dari sisi perbedaan antara pengetahuan terkodifikasi dan tersembunyi
(tacit), Piergiuseppe Morone dan Richard Taylor (2010, hal 17) menyajikan
konsepsi tentang aliran pengetahuan (knowledgeflow) di antara pihak (agents)
terlibat, yang diambil dari pendapat Marone dan Taylor (2008). Dalam konsepsi
alur pengetahuan terdapat dua konsep yang mirip tetapi berbeda; yaitu, adanya
pemerolehan pengetahuan (knowledge gain) dan difusi pengetahuan (knowledge
diffusion).
Pemerolehan pengetahuan (knowledge gain) berhubungan dengan proses
aliran pengetahun yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk barter antar pihak;
sebagian pengetahuan si "A" dialirkan ke si "B" yang selanjutnya membalas
dengan mengalirkan pengetahuan, yang dilikinya ke si "A". Terdapat dua jenjs
aliran pengetahuan dalam konsepsi yang berbentuk barter ini; yaitu, pertukaran
pengetahuan (knowledge exchange); misalnya, pada proses pengenalan produk
oleh perusahaan dan diberi komentar oleh pelanggan atas kekurangan atau
kelebihan. Jenis lainnya adalah pengalihan pengetahuan (knowledge trade), yakni
tampilan luaran yang teralirkan sebagai pengganti dari hakikat produk, seperti
teknologi produk, paten dagang, pengakuan konsorsium, hasil uji kelayakan, dan
lain-lain. Contoh lain tentang pengalihan pengetahuan (knowledge trade) dapat
dilihat pada kasus sosialisasi penggunaan helm bagi pengendara motor.
Masyarakat mengadopsinya bukan karena unsur keselamatan di balik kebijakan
penggunaan helm tetapi karena takut ditilang polisi. Banyak orang membeli
handphone baru bukan karena yang baru lebih bagus kapasitas jelajahnya tetapi
karena bentuknya yang mungil atau warna yang menarik. Transfer pengetahuan
telah beralih dari hakikat handphone sebagai alat komunikasi ke bentuk dan
warna.
Dalam proses pemerolehan pengetahuan, hakikat objek yang dialirkan
meliputi pengetahuan terkodifikasi dan pengetahuan tersembunyi. Transformasi
pengetahuan terkodifikasi dapat dilakukan antara dua pihak sekalipun dalam jarak
yang terpisah; namun, untuk aliran pengetahuan tersembunyi harus dilaksanakan
secara tatap muka atau interaksi langsung antara kedua pihak.
Sementara itu, konsepsi difusi pengetahuan (knowledge diffusion) adalah
aliran pengetahuan yang dilakukan tanpa adanya unusr kesengajaan atau
perencanaan sebelumnya, tetapi mengalir dengan sendirinya pada saat interaksi
antar pihak terkait. Dalam istilah Jaffe (1986) pengetahuan difusi ini disebut
dengan pengetahuan tumpah (knowledge spill over). Hakikat pengetahuan yang
mengalir dalam jenis ini pada umumnya adalah pengetahuan tersembunyi (tacit);
sekalipun demikian, penyerapannya tetap memerlukan kerangka pemikiran
kognitif yang dimiliki sebelumnya oleh penerima pengetahuan. Secara rinci oleh
Piergiuseppe Morone dan Richard Taylor (2010, hal. 18) pengetahuan difusi
dibedakan atas pengetahuan tumpah (spill over), pengetahuan transfer (transfer),
dan pengetahuan integrasi (integration).
Pengetahuan tumpah dan pengetahuan transfer adalah dua proses yang
sangat mirip; yakni, berlangsungnya peralihan pengetahuan dari satu pihak ke
pihak lain yang menyerap dan memasukkannya dalam konstelasi pengetahuan
personal yang sudah ada dalam kognisinya. Yang membedakan di antara
keduanya terletak pada unsur kesadaran dalam pelaksanaannya; pada pengetahuan
tumpah dilakukan tanpa sengaja (misalnya, pada saat mengobrol antar teman), dan
pada pengetahuan transfer dilakukan berdasarkan kemauan yang direncanakan
(misalnya, dalam rapat kerja, sosialisasi produk). Kedua jenis pengetahuan difusi
ini adalah konsep yang sering dirujuk dalam pembahasan pengetahuan difusi.
Mengingat kegiatannya berlangsung informal dan hakikat pengetahuan berbentuk
tersembunyi (tacit), pengaliran pengetahaun tumpah maupun transfer berlangsung
lebih lama, mahal, dan pengetahuan yang teralirkan bersifat umum. Seperti
diketahui bahwa dalam kegiatan inovasi diperlukan pengetahaun bersifat khusus;
dan dalam proses pengetahuan transfer (transfer) dan tumpah (spill over),
berbagai macam pengetahuan yang teralirkan melalui media tatap muka (face-to-
face).
Sementara itu, pengetahuan integrasi mengacu pada proses dalam diri
seseorang untuk penggabungan antara serpihan pengetahuan yang berserakan
yang tersimpan dalam pikiran orang lain secara terkoordinasi. Biasanya
pengetahuan integrasi dalam pemikiran seseorang berlangsung hanya sementara
dan dalam waktu yang sangat cepat. Integrasi pengetahuan dari berbagai macam
sumber dalam manajemen perlu dilakukan. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan yang dimiliki seseorang sangat terbatas; sementara itu, dalam
rnernproduksi sebuah inovasi diperlukan pengetahuan yang luas yang meliputi
berbagai macam jenis. Untuk itu, seseorang tidak harus menguasai semuanya;
yang perlu dilakukan adalah mengintergrasikan pengetahuan yang berada di
berbagai personel. Melalui integrasi ini ia tidak harus menguasai semua
pengetahuan yang diperlukan dalam rangka penciptaan ide baru dan produksinya
dalam kegiatan inovasi produk atau layanan.
Dari bahasan tentang difusi pengetahuan di atas, dapat diketahui bahwa
pada komunikasi di mana sebuah pengetahuan ditransformasikan dari satu sumber
ke sasaran yang dituju terdapat proses yang tidak sederhana. Begitu pula, secara
kognitif yang dimulai dari diterimanya sebuah pengetahuan dalam diri seseorang
sampai dengan peiigolahan dan penyatuannya dengan pengetahuan yang ia miliki
juga memerlukan proses yang rumit. Bahasan Piergiuseppe Morone dan Richard
Taylor (2010), seperti yang diuraikan di atas, menyinipulkan bahwa dalam proses
difusi pengetahuan terdapat sejumlah dimensi, yang dapat dilihat pada Gambar
9.1.

Gambar 9.1. Takspnomi Aliran Pengetahuan dalam Kognisi Manusia


(Piergiuseppe Morone dan Richard Taylor, 2010)

Konsepsi Piergiuseppe Morone dan Richard Taylor (2010) tentang aliran


pengetahuan antar manusia membedakan bahasannya atas dua dimensi; yakni,
dari dimensi objek (knowledgegain) dan dimensi proses (knowledge diffusion)
yang dilalui. Dari dimensi objeknya, aliran pengetahuan menghasilkan dua macam
informasi yakni informasi pokok tentang benda yang dikomunikasikannya
(knowledge exchange) dan informasi periferal (tambahan) yang melekat pada
benda tersebut (knowledge trade). Sementara itu, dari dimensi prosesnya terdapat
aliran pengetahuan dan penyerapannya oleh seseorang yang berlangsung dalam
konteks formal (knowledge transfer) dan informal (knowledge spill over).
Terdapat pula dalam prosesnya, tidak terjadi perilaku penyerapan, tetapi
pengintegrasian antara sejumlah pengetahuan yang bermacam-macam dan
disatukan menjadi pengetahuan yang utuh (knowledge integration).
Pemahaman terhadap perilaku aliran pengetahuan ini sangat penting untuk
memperkaya kebijakan dalam pengelolaan inovasi. Pada proses pengumpulan dan
pengkristalan ide baru dan produksinya (lead time) integrasi pengetahuan adalah
fokus kegiatan manajemen agar inovasi produk yang digagas mampu
menghasilkan karya yang utuh dan berhasil. Sosok produknya mempunyai kadar
inovasi yang tinggi, produksinya dapat dilaksanakan secara efisiensi biaya, waktu,
dan tenaga, dan pasar juga bisa mengadopsinya secara tepat dan cepat.
Selanjutnya, dalam proses pemasaran aliran pengetahuan yang berbentuk
pertukaran (exchange) dan pengalihan (trade) perlu dikelola secara tepat. Melalui
kedua aliran pengetahuan tersebut, proses difusi dan adposinya dapat diukur.
Hasilnya difungsikan untuk mengembangkan produk baru yang akan datang.

9.3.KELOMPOKADOPSI
Sebuah inovasi yang dilontarkan oleh suatu perusahaan, organisasi, atau
kelompok masyarakat tertentu kepada masyarakat secara umum memerlukan
proses. Seperti yang telah dibahas di atas, proses penyampaian informasi dan
proses berpikir yang dilalui dalam pemikiran individu dalam masyarakat disebut
difusi. Sesuai dengan hakikatnya' yang didifusikan kepada masyarakat adalah
karaketristik produk atau layanan baru. Dengan kata lain, dalam proses difusi
yang menjadi sasaran kegiatannya adalah bagaimana menjadikan masyarakat
mempunyai pengetahuan tentang produk atau layanan baru agar mereka dapat
mengadopsinya.
Adopsi adalah adalah keputusan untuk menerima atau rnenolak suatu
inovasi. Ukuran penerimaan atau penolakan suatu produk atau layanan baru bisa
berbentuk hitungan unit kelompok sosial atau pribadi dan ukuran waktu yang
diperlukan untuk memberikan keputusan. Dalam kehidupan sosial
kemasytarakatan, tingkat adopsi individu terhadap produk atau layanan baru tidak
sama. Menanggapi suatu produk baru terdapat kelompok individu yang langsung
dapat menerima dan menggunakannya, ada yang memikir-mikir terlebih dahulu,
dan ada pula yang langsung menolak. Mereka yang menolak, setelah berlangsung
sekian lama dan melihat hampir banyak orang yang menggunakannya, bsa saja
memutuskan untuk menerima dan menggunakan produk atau layanan baru
tersebut.
Dalam konteks adopsi anggota masyarakat terhadap inovasi, berdasarkan hasil
penelitiannya terhadap pengenalan produk baru, Everett M. Rogers (1995)
menyebutkan 5 (lima) kelompok individu dalam menyikapi produk baru, seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 9.2.

Gambar 9.2. Kelompok Penerima Inovasi dalam Difusi Berdasarkan Waktu


(Everett M. Rogers, 1995)
Seperti yang terlihat pada Gambar 9.2, terdapat lima kelompok individu
dalam masyarakat dalam menyikapi sebuah inovasi produk; yakni, (i) innovators,
(ii) early adopters, (iii) early majority, (iv) late manjority, dan (v) laggards.
(i) Innovators (2,5%): Pada umumnya mereka adalah masyarakat yang
berpendidikan tinggi, mempunyai pemikiran rasional, mengikuti
perkembangan, dan tidak tertinggal dengan informasi kekinian. Mereka
juga adalah pengambil risiko (risk takers). Mereka bukan hanya sekadar
membeli produknya saja, tetapi juga menggunakannya secara nyata.
Kelompok individu ini mempunyai posisi yang kuat dalam menyebarkan
informasi tentang produk baru, baik positif maupun negatif. Oleh karena
itu, mereka adalah agen penyebar informasi dalam kelompoknya dengan
kapasitas yang signifikan. Dalam kehiduoan masyarakat, kelompok
individu yang bertipologi inonovator sangat sedikit; yakni, hanya 2,5%.
(ii) Early adopters (13,5%): Seperti para innovators, mereka adalah individu
dalam masyarakat yang berpendidikan tinggi, rasional, dan selalu
mengikuti perkembangan jaman. Mereka bukan para profesional yang
membutuhkan produk tersebut, keputusannya lebih banyak terpengaruh
oleh para innovator; membeli atau tidak membeli produk baru yang
dipasarkan. Jumlah kelompok individu yang bertipologi innovator awal ini
sekitar 13,5%.
(iii) Early Majority (34%): Kelompok individu dalam masyarakat yang
menjadi pangsa besar pada umumnya adalah kelompok ini. Mereka selalu
mengikuti perkembangan produk dan konsumen yang rasional. Dalam
memberikan keputusannya untuk membeli atau tidak membeli, mereka
mernpertimbangkan sejauh mana fitur yang berada di produkbaru tersebut
benar-benar memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan. Jumlah
kelompok individu dalam masyarakat sekitar 34%.
(iv) Late Majority (34%): Mereka pada umumnya kelompok masyarakat
menengah-bawah dan selalu mernpertimbangkan setiap pembelajaan untuk
barang baru dengan kebutuhan kehidupannya seacara menyeluruh. Mereka
bukan bertipologi proaktif; dalam memberikan keputusanya mereka
melihat bagaimana perilaku kelompok masyarakat pada umumnya. Mereka
baru akan membeli bila mendapat keyakinan bahwa produk baru tersebut
benar-benar bermanfaat bagi kehidupoanya. Jumlah individu pada
kelompok ini sekitar 34%.
(v) Laggards (16%): Anggota masyarakat pada kelompok ini berstatus sosial
ekonomi menengah-bawah dan kelompok bawah-atas yang sering
berpandangan skeptis atas kehadiran produk baru. Mereka kurang
mendapat informasi yang lengkap tentang produk baru dan bisa juga
mereka tidak mempunyai uang untuk membelinya. Sehingga, bisa jadi
mereka akan baru membeli produk baru pada saat nantinya bila harga
sudah turun atau membeli barang bekas. Jumlah individu pada kelompok
ini berjumlah sekitar 16%.
Kelompok individu dan besaran prosentasinya dalam setiap masyarakat
tidak selamanya dalam jumlah prosentasi yang disebutkan di atas. A. Cokun
Samli (2011) memberikan ulasan menarik atas pengelompokan adopsi yang
diungkapkan oleh Everett M. Rogers di atas dalam konteks manajemen secara
operasional. Disebutkan oleh Samli (2011) bahwa sebagai suatu strategi
pemasaran, terdapat tiga masalah kritis dalam proses difusi, untuk memasarkan
produk baru; yaitu, (i) konsistensi, (ii) ketepatan aplikasi, dan (iii) kesenjangan
(chasm).
(i) Dari sisi konsistensinya, Samli berpendapat pada setiap proses difusi
bentuknya tidak selalu berdistribusi normal. Di negara maju, seperti
Singapura dan Cina, mereka yang beratribut innovators pasti lebih besar
dari 2,5%. Adapun, di negara Afrika diduga kelompok laggards (lambat)
lebih besar dari 16%. Distribusi kelompok difusi pada suatu masyarakat
bisa menceng ke kiri atau menceng ke kanan. Sehingga, difusi inovasi
radikal yang sarat dengan teknologi informasi akan lebih cocok bila
dipasarkan ke masyarakat yang mempunyai distribusi adopsi yang
menceng kekri. Sementara itu, difusi produk inovasi incremental (kecil-
kecilan) dengan biaya murah akan lebih tepat bila diterapkan pada
masyarakat yang bertipologi kemencengan distribusi adopsi yang ke
kanan. Sekalipun demikian, kecenderungan ini masih perlu pembuktian
ilmiah sehingga paradigmanya benar-benar digunakan sebagai prediksi
keberhasilan disfusi inovasi atas suatu produk di masa depan.
(ii) Dimensi ketepatan aplikasinya memunculkan suatu pertanyaan apakah
setiap inovasi di pasar memerlukan proses difusi yang berantai dari
innovator, early adopter, early majority, late majority, dan ke kelompok
laggards. Secara operasional, melalui strategi tertentu apakah tidak
mungkin suatu produk baru langsung dipasarkan ke kelompok laggards.
Tentunya, kelompok laggards mempunyai kebutuhan akan produk baru
yang berbeeda dengan kelompok innovators atau early adopters. Sehingga,
proses difusi yang berantai dalam konsepsi Everett M. Rogers untuk
kelompok masyarakat tertentu dan jenis produk baru tertentu yang
dipasarkan tidak harus dijadikan pedoman dalam kegiatan strategi
pemasaran.
(iii) Kesejangan (chasm) adalah keberadaan jurang perbedaan (gap) antara
kelompok adopsi yang satu dengan lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh
Moore (1991) dalam Samli (2011) bahwa proses difusi inovasi an tar
kelompok tidak berlangsung secara kontinum. Terdapat jurang waktu
antara satu kelompok dengan lainnya; dan pada inovasi produk yang
berteknologi lebih tinggi, jurang difusi antar kelompok tersebut semakin
lebar. Pemahaman tentang keberadaan jurang difusi ini sangat penting
khususnya untuk membangun strategi pemasaran yang kuat.

9.4. DIFUSI INOVASI: KASUS PEMANFAATAN SITUS JEJARINtS


SOSIAL
Terdapat sejumlah fenomena yang perlu diteliti lebih lanjut tentang
konsepsi Everett M. Rogers tentang difusi inovasi. Samli, seperti yang disebutkan
di atas, merekomendasikan untuk meneliti kcenderungan kemencengan distribusi
kelompok adopsi dalam masyarakat tertentu. Sebenarnya, untuk penelitian tentang
kebenaran korfsepsi difusi M. Rogers telah terdapat sejumlah kajian ilmiah namun
bukan pada kelompok adopsi yang disebutkan di atas. Konsepsi difusi inovasi M.
Rogers banyak digunakan oleh sejumlah peneliti pada aspek faktor yang menjadi
p^rtimbangan seseorang dalam masyarakat untuk mengadopsi sebuah produk.
Yang berikut adalah dua contoh penelitian ilmiah yang dilakukan oleh kelompok
peneliti yang menerapkan faktor dalam adopsi; yaitu, relative advantage,
compatibility, complexity, friability dan observability pada adopsi situs jejaring
sosial di perguruan tinggi.
Konteks penelitian. Masyarakat dunia saat ini tidak asing kehadiran situs jejaring
sosial yang tersedia di dunia maya. Mereka menggunakan media teknologi
informasi untuk berinteraksi antara satu orang dengan lainnya sepanjang hari
dengan kapasitas yang tidak terbatas. Fasilitas komunikasi yang begitu besar
manfaatnya bagi masyarakat dengan jangkauan global yang mendunia.
Penggunaannya relatif murah. Biaya yang harus dikeluarkan relatif lebih rendah
dibandingkan dengan nilai tambah (added value) atau manfaat yang diperoleh
masyarakat. Membangun situsnya pun dapat dilakukan tanpa biaya, dan seseorang
hanya membayar biaya akes internet saja.
Situs jejaring sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat saat
ini adalah Facebook, Twitter, Linkedin, MySpace, Google Plus +, DevianArt,
Livejournal, dan lain-lainnya. Pada tahun 2011 dan bahkan sampai saat ini, situs
yang paling banyak digunakan oleh masyarakat dunia adalah Facebook yang
diperkirakan diakses sebanyak 750 juta pengunjung setiap bulan, dan Twitter yang
diperkirakan diakses oleh sebanyak 250 juta setiap bulan (eBizjMBA, Januari
2012). Di Indonesia saat ini telah tercatat sebanyak 33 juta pengguna Facebook
(dengan penetrasi sebesar 13,96%), kelompok masyarakat dunia yang paling
banyak nomor dua setelah Amerika Serikat yang beranggotakan sebanyak 146
juta orang, dengan penetrasi sebesar 47,25% (International Business Times, 11
Januari 2011). Adapun, jumlah pengguna Twitter di Indonesia sebanyak 7,6 juta,
dan menjadi peringkat 5 dunia setelah Belanda, Brazil, Venezuela, dan Jepang
(Infographic, 14 Pebruari 2011).
Sejarah Facebook. Situs jejaring sosial di dunia maya pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1997. Diawali dengan fasilitas yang disiapkan oleh
SixDegrees.com di mana para penggunanya dapat membangun profil pribadi,
daftar teman, dan penelusuran teman di internet. Di lain pihak terdapat situs
internet yang khusus rnengelola daftar teman, misalnya, AIM, ICQ buddy, dan
Classmates.com yang seluruh fasilitasnya kemudian disatukan oleh
SixDegrees.com. Pada tahun-tahun berikutnya situs ini mendapat jutaan
pengguna, namun pada tahun 2000 situs ini ditutup karena para penggunanya
kurang puas dengan fasilitas komunikasi yang disajikannya. Setelah itu banyak
situs bermunculan untuk mememenuhi kebutuhan masyarakat untuk berinteraksi
secara sosial di internet, yang di antaranya adalah Friendster (2002), Linkedin,
Visible Path, Xing, dan MySpace (2003), dan lain-lainnya (Danah M Boyd dan
Nicple B. Ellison, 2009).
Sementara itu, situs jejaring sosial Facebook mulai diperkenalkan pada
tahun 2004, oleh mahasiswa Harvard University yang bernama Mark Zuckerberg.
Fasilitas ini mulanya dikenalkan sebagai fasilitas pertemanan bagi mereka yang
mempunyai alamat email di situs harvard.edu, khususnya untuk kemudahan
komunikasi antar mahasiswa. Baru pada tahun 2005 Facebook membuka aksesnya
bagi siswa SMU, para profesor, dan masyarakat umum. Dengan semakin
banyaknya pengguna Facebook, fasilitas yang ada terus ditingkatkan sehingga
mampu menjaring jutaan anggota yang bisa saling terkoneksi. Bahkan, pada saat
pemilihan presiden Amerika tahun 2006 yang lalu, kemenangan Barack Hussein
Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke-44 terletak pada strategi Facebook
yang difungsikan sebagai penggalangan pemilihnya.
Kondisi di Indonesia. Menurut Kementerian Kominfo (Komunikasi dan
Informatika), RI, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2011 sebanyak 45
Juta (Kompasiana, 27 Juli 2011). Di sisi lain, berdasarkan data EPS, jumlah
penduduk di Indonesia pada sensus tahun 2010 yang berumur >15 th. sebanyak
163.972.515 orang (konversi data EPS, 2011).
Data tersebut memberikan informasi bahwa sebanyak 27,44% masyarakat
Indonesia yang berumur > 15 th. telah menggunakan internet dan 20,13% telah
menggunakan situs jejaring sosial untuk berkomunikasi dengan teman, kolega,
kerabat, keluarga, atau kenalan baru. Internet dan alat jejaring sosial, seperti,
Facebook, Twitter, Google Plus+, dan lainnya sebenarnya adalah barang baru bagi
masyarakat Indonesia. Sehingga, kehadirannya di tengah masyarakat Indonesia
bisa disebutkan sebagai inovasi dalam berkomunikasi melalui dunia maya.
Jumlah pengguna alat jejaring sosial yang begitu besar tentunya tidak terjadi
secara serta merta; tetapi, berkembang secara gradual atau pelan-pelan.
Pengenalan internet dan alat jejaring sosial sebagai inovasi produkke masyarakat
Indonesia pasti melewati proses difusi, yang secara ilmiah mempunyai tipologi
perilaku tertentu dan khas (novel) yang melibatkan aliran peiigetahuan sampai
dengan adopsinya. Fenomena ini masih belum diketahui dan memberikan peluang
bagi ilmuwan untuk menelitinya lebih lanjut.
Penelitian difusi jejaring sosial di negara lain. Di teVnpat lain telah
dilakukan penelitian tentang tipologi perilaku dalam difusi inovasi alat jejaring
sosial, seperti yang dilakukan oleh Olosegun Folorunso, dkk (2007) di lingkungan
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Nigeria. Begitu pula, Alan Peslak,
dkk. (2010) melakukan penelitian dengan objek yang sama; yakni mahasiswa di
tiga perguruan tinggi di daerah Northeast, Arnerika Serikat. Kedua penelitian di
atas menggunakan asumsi teoretis yang dikemukakan oleh M. Rogers tentang
permodelan dalam proses difusi inovasi; yang melibatkan lima unsur difusi;
yakni, manfaat relatif (relative advantage), kesepadanan (compatibility),
kerumitan (complexity), Jsisa dicoba (friability), dan bisa dilihat (observability).
Desain penelitian Folorunso (2007) menempatkan lima faktor difusi diatas sebagai
variabel yang berpengaruh terhadap adopsi penggunaan media jejaring sosial
untuk keperluan komunikasi. Efek faktor tersebut dibangun secara tidak langsung;
di antara keduanya ditenpatkan konstruk sikap sebagai variabel intervening. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa untuk aspek penggunaan situs jejaring sosial
hanya compatibility dan inability yang berpengaruh terhadap sikap; sehingga,
model difusinya hanya terdiri atas dua variabel. Ditemukan pula, dalam model
tersebut fungsi friability bernilai negatif. Selanjutnya, tidak ada pengaruh sikap
terhadap keputusan penggunaan situs jejaring sosial untuk komunikasi antar
mahasiswa.
Sementara itu, penelitian Peslak (2010) membuat desain penelitiannya
dengan menempatkan lima variabel difusi di atas sebagai faktor langsung yang
mempengaruhi keputusan penggunaan situs jejaring sosial melalui e-payment.
Hasil menunjukkan bahwa dari kelima variabel tersebut, faktor observability tidak
ditemukan signiflkan, sehingga model difusi untuk situs jejaring sosial hanya
terdiri atas empat faktor. Lebih lanjut, penelitian Peslak juga menemukan bahwa
untuk proses difusi inovasi tidak terdapat perbedaan antara mahasiswa laki-laki
dan perempuan.
Dari hasil penelitian di dua tempat yang berlainan daerah, tingkat sosial,
dan kemajuan teknologi yang berbeda terdapat hasil penelitian yang berbeda pula.
Sekurang-kurangnya, apa yang disampaikan oleh A. Coskun Samli di atas
menjadi relevan. Variansi kondisi masyarakat dan hakikat produk inivasi
memberikan perilaku difusi yang berbeda.
Di Nigeria, faktor kemanfaatan, kerumitan, dan tampilan tidak
berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk mengadopsi suatu produk atau
layanan. Sementara itu, di Amerika hanya faktor tampilan yang tidak berpengaruh
terhadap pemilihan situs jejaring sosial sebagai media komunikasi antar ternan.
Dalam konteks kehidupan mahasiswa di Amerika dalam penggunaan situs jejaring
sosial, tidak adanya pengaruh tampilan dapat dijelaskan secara rasional. Dalam
situs jejaring sosial yang mendapat perhatian utama adalah manfaat dan tingkat
kemudahannya. Dengan sejumlah situs jejaring sosial yang semuanya menarik,
tampilan yang inereka pilih bukan merupakan unsur penting bagi mahasiswa.
Tidak demikian halnya di Nigeria, yang pemanfaatan situs jejaring sosial
belum berkembang besar seperti di Amerika. Sehingga, yang menjadi faktor
penting dalam menentukan apakah seseorang akan menggunakan situs jejaring
sosial masih bersifat dasar yakni seperti apa media tersebut bisa berfungsi
sekurang-kurangnya seperi media konvensiaonal yang ada. Di samping itu, faktor
ketercobaan suatu produk inovasi menjadi penting di Nigeria sekalipun dalam
konteks difusi inovasi jejaring sosial ditemukan negatif; yang bermakna bahwa
semakin mudah dan sering dicoba, mereka malah meninggalkan situs jejaring
sosial di internet. Temuan ini sejalan dengan tidak pentingnya unsur manfaat yang
tidak dilihat oleh mahasiswa di Nigeria terhadap adopsi situs jejarng sosial dalam
kehidupan mereka.

9.5. IMPLIKASI DIFUSI INOVASI DALAM MANAJEMEN


Pada umumnya pasar bersifat konvensional dan hanya sangat sedikit sekali
yang bernuansa inovatif yang penyerapannya terhadap produk sangat tinggi. Pasar
berkecenderungan menolak inovasi radikal. Tipologi konsumen adalah berbelanja
komoditi rutin, membeli barang yang sama, dan menghindari produk baru yang
masih belum jelas tingkat keandalannya. Alasan lain keengganan konsumen
membeli barang baru adalah karena barang lama yang ia miliki masih berfungsi
baik. Dalam kondisi pasar yang demikian tersebut, pernasaran produk baru
menjadi terhambat. Namun, bila perusahaan dalam pengembangan produk
barunya berdasarkan strategi 'market-driven (dorongan pasar) dan 'chasm-
crossing (menyeberangi jurang), resistensi pasar tersebut secara relatif dapat
dielirninasi.
Strategi 'market driven, seperti yang telah dibahas di bagian depan, dalam
mengembangkan produk barunya terdapat perusahaan yang berorientasikan
konsumen (market driven) dan ada pula yang berorientasikan pada pernasaran
(sales-driven). Strategi 'market-driven lebih menguntungkan dari sisi pengenalan
produk kepada konsumen. Hal ini disebabkan karena ide pengembangan produk
dikembangkan dari analisis kebutuhan dan penjaringan masukan dari konsumen.
Kebutuhan utilitas, standar kualitas, produk pesaing, fitur, harga dan lain-lainya
yang diharapkan oleh masyarakat telah teridentifikasi. Sehingga, produk baru
yang ditawarkan kepada konsumen secara fungsional telah dikenal oleh konsumen
dan proses difusinya relatrif tidak terlalu memerlukan waktu yang lama.
Sementara itu, strategi 'chasm-crossing adalah salah saru bentuk
operasional dari pendekatan 'market driven. Asumsi dasar yang dibangunnya
mengatakan bahwa bila terdapat jurang waktu adopsi antara kelompok individu
dalam masyarakat, maka pendekatan 'sales-driven todak akan mampu menembus
pas secara efektif. Seringkali, kelompok individu ruenunda untuk membeli,
mereka berpikir, dan menimbang-nimbang sebelum memuruskan untuk
mengadospsinya secara penuh. Waktu penundaan tersebut itulah yang disebut
dengan jurang (chasm), dan dalam pendekatan 'market driven diperlukan upaya
strategis agar jurang ada tidak semakin melebar.
Konsepsi Moore (1991), seperti yang dikutip oleh A. Coskun Sarffli
(2011) menyebutkan tiga langkah untuk membangun strategi menyeberangi
jurang (crossing-chasm); yaitu, promosi produk secara utuh (promoting the whole
product), penetapan reputasi pribadi (establishingpersonalized reputation), dan
pembangunan kepemimpinan pasar (developing market leadership). Ketiga unsur
tersebut bukan digunakan secara berurutan tetapi model strategi untuk
memperpendek jurang yang terjadi di antara kelompok individu dalam
mengadopsi suatu produk baru.
Bagi pasar yang masih belum mengenal produk baru yang dipasarkan,
promosi yang mengenalkan jenis dan bentuk barang saja tidak cukup. Diperlukan
promosi tuntas yang meliputi pengetahuan tentang atrtibut barang secara rinci,
keunggulan relatif, kemudahan penggunaan, dan prospek masa depan. Sehingga,
kelompok individu terdepan dalam proses difusi; yakni, para innovators, dapat
terpuaskan dan memberikan pintu masuk bagi produk baru ke dalam lingkungan
masyarakat secara luas.

Anda mungkin juga menyukai