Inovasi yang secara esensi merupakan penemuan produk baru adalah suatu
proses produksi yang tidak murah dan juga tidak mudah. Berbagai macam upaya
dilakukan oleh perusahaan dalam pengembangan produk baru, mulai dari
mengenali kehidupan pasar, mengidentifikasi potensi diri, mengintegrasikan
sumber daya dan meningaktkan kolaborasi yang semuanya diinvestasikan untuk
sebuah produk baru. Dalam istilah manajemen, seperti yang telah disebutkan
dalam bahasan sebelumnya, proses tersebut disebut “lead tim” yaitu suatu waktu
tertentu yang dimulai dari pencarian ide baru sampai dengan meralisasikannya
menjadi produk baru sehingga siap dipasarkan.
Beramalogi kepada kehidupan manusia, lead time hampir sama dengan
keadaan seorang ibu yang sedang hamil dan siap melahirkan seorang anak.
Kesehatan anak yang dilahirkan adalah harapan semua anggota keluarga, untuk
itu, proses kehamilan adalah momen penting dan sangat menentukan bagi
keselamatan bayi. Proses melahirkan adalah masa berdarah darah memerlukan
penanganan yang penuh dengan kehati-hatian. Kesalahan perlakuan persalinan
akan membahayakan dan mengakibatkan kegagalan hidup bagi sang bayi yang
baru dilahirkan. Selanjutnya, anak yang baru dilahirkan agar bisa mandiri dan
dewasa juga memerlukan perawatan, penguatan dan pengembangan kekuatannya
agar ia mampu berkembang dengan sempurna. Proses perkembangan diri tersebut
tidak berlangsung secara tiba-tiba secara perlahan dan bergradasi.
Begitu halnya proses yang harus dilalui dalam pengembangan produk baru
di sebuah perusahaan. Proses pengembangan ide sampai dengan dihasilkan dan
diluncurkannya produk baru adalah masa kritis yang menentukan keberhasilannya
di pasar. Ada pula proses yang berdarah-darah di mana perusahaan harus
berinvestasi untuk membangun pasar, menentukan strategi, melakukan promosi
untuk pengenalan barang, dan menaklukkan pesaing bisnis. Semua kegiatan
tersebut pasti memerlukan investasi finansial yang tidak sedikit.
Upaya perusahaan untuk memasarkan produk baru melalui promosi,
sosilaisasi atributif, atau media pengenalan produk dimaksudkan agar pasar dapat
menerima produk tersebut sebagai bagian dari kebutuhannya. Terdapat jedah
waktu tertentu antara saat pertama kali sebuah produk diperkenalkan sampai
dengan diterimanya di masyarakat sebagai suatu kebutuhan. Begitu produk baru
diluncurkan, tidak serta merta masyarakat dapat menerimanya. Diperlukan waktu
tertentu bagi masyarakat untuk menimbang-nimbang apakah mereka memerlukan
produk baru tersebut, bagaimana efek kemanfaatannya dibandingkan dengan
produk yang sudah ada, sejauh mana nilai tambah relatif yang mereka peroleh
dibandingkan dengan harganya, dan seterusnya.
Berprosesnya sebuah pertimbangan di masyarakat dalam waktu tertentu
untuk menerima atau menolak produk baru disebut dengan difusi. Penerimaan
masyarakat atas produk baru sebagai kebutuhan sehingga mereka
menggunakannya disebut dengan adopsi. Sebuah produk baru sekalipun
mempunyai nilai terobosan atau 'breakthrough' tidak selalu memperoleh status
adopsi sekalipun telah mlalui sebuah proses difusi yang panjang.
Setelah diadopsi oleh masyarakat, produk baru itu pun belum tentu bisa
bertahan lama untuk selalu diadopsi; ada yang terus diadopsi ada yang
ditinggalkan oleh masyarakat karena faktor yang bermacam-macam. Samli dan
Weber (2000) dalam A. Coskun Samli (2011, hal 63) bahwa dari 147 temuan baru
berpotensi yang mereka amati, hanya 29 di antaranya yang mampu bertahan
selama 10 tahun. Sisanya tidak ditinggalkan oleh pelanggan mereka karena
banyak hal. Terdapat sejumlah faktor yeng menyebabkan sebuah inovasi tidak
bisa bertahan dalam kehidupan masyarakat; yang jelas, kebutuhan masyarakat
terus berkernbang, dan suatu inovasi produk yang tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat pasti akan ditinggalkan oleh penggunanya.
9.1. HAKIKAT DIFUSI
Konsepsi difusi inovasi sebenarnya banyak digunakan pada penyebaran
pengetahuan dari kelompok sosial tertentu kepada kelompok sosial lainnya; atau
antar kelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan sosial. Hampir semua
kelompok sosial dipastikan memperoleh apa yang mereka miliki saat ini
(reportoire) melalui difusi inovasi yang dilakukan beberapa tahun silani.
Masyarakat Eropa, misalnya, memperoleh inovasi teknis dalani kehidupan mereka
saat ini dari sejumlah sumber asing pada abad pertengahan; misalnya, angka
numerik (Indian), kompas (Cina), tabel astronomi (Arab), kertas (Cina), aljabar
(Persia), percetakan (Cina), dan bahan peledak (Cina).
Studi tentang difusi inovasi banyak dilakukan dalani bidang sosiologi
pedesaan, antropologi, sejarah, ilmu pertanian, dan demografi yang berkaitan
dengan budaya dan perilaku kehidupan suatu masyarakat. Kajian difusi inovasi
pada umumnya dimaksudkan untuk memahami proses penting dalam evolusi
budaya. Suatu bentuk budaya atau perilaku dalam lingkungan sosial selalu
berubah dari waktu ke waktu, kebiasaan lama tergeser dengan perilaku baru.
Pergeseran perilaklu tersebut bjusa berbentuk nilai, sikap, keterampilan, gaya
hidup, dan seterusnya. Misalnya, dahulunya orang Indian yang hidup di Amerika
Utara pada 10.000 SM memperlakukan kuda sebagai binatang buruan. Hanya
sampai tahun 5.000 SM, kuda, keledai, dan bison sudah difungsikan sebagai
hewan yang membantu masyarakat untuk bercocok tanam. Dan, baru pada abad
ke 19 orang Indian menggunakan kuda sebagai binatang tunggangan setelah
mereka bekerja sebagai wrangler di daratan Meksiko Utara, (ebook UCDavis,
University of California, hal. 352).
Sebuah difusi inovasi dalam kehidupan sosial tidak terjadi dalam waktu
yang sekejap. Penggunaan produk baru atau cara kehidupan baru dalam
masyarakat memerlukan proses difusi yang sangat lama, bertahujs'-tahun, raturan
bahkan ribuan tahun. Dalam sejarah disebutkan bahwa difusi kehidupan bercocok
tanam mememerlukan waktu selama 4.000 tahun dari Timur Tengah sampai ke
daratan Inggris. Penelitian Ryan dan Gross (1943) yang dikutip oleh Everett M.
Rogers dan Karyn L. Scott (1977) menyebutkan bahwa pengenalan biji jagung
hibrida yang mampu meningkatkan kapasitas penen di Iowa, Amerika Serikat
pada tahun 1928fbaru pada tahun 1941 atau setelah 13 tahun kemudian, seluruh
petani menggunakan benih tersebut secara 100% dalam tanaman di ladangnya.
Begitu pula dalam memperkenalkan inovasi produk lain yang memerlukan waktu
puluhan Jmiun sebelum diadopsi secara penuh. Kaplan dan Morse (2002) yang
dikutip oleh Marilyn L. Leibrenz-Himes, dkk. (2009) menyebutkan difusi sampai
adopsinya secara penuh oleh masyarakat untuk mobil kendaraan (1886)
memerlukan waktu selama 56 tahun, listrik (1873) selama 45 tahun, telepon
(1876) selama 36 tahun, microwave (1953) selama 31 tahun, televisi (1926)
selama 26 tahun, internet (1975) selama 23 tahun, dan telepon seluler (1983)
selama 14 tahun.
Studi tentang difusi inovasi sebelumnya memang digunakan untuk kajian
sosiologi atau perilaku dalam kelompok sosial. Namun, pada tahun-tahun
berikutnya bahasan difusi inovasi tidak hanya pada konteks sosiologi pedesaan
atau pertanian, tetapi banyak para pakar yang menerapkan konsepsi difusi inovasi
pada aspek bisnis. Rogers dan Shoemaker's (1971) yang mengkaji sebanyak 1.500
peristiwa difusi inovasi yang sebagian besar tentang inovasi teknis yang dilakukan
oleh perusahaan kepada pelanggan. Saat ini kajian difusi inovasi bukan
dilaksanakan secara meluas yang meliputi bidang manajemen, pendidikan,
informatika, akuntansi, kesehatan, politik, dan lain-lainnya. Sasaran mereka tetap
sama; yakni, untuk mengetahui tipologi perilaku yang mendorong masyarakat
untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi baru.
Penelitian tentang difusi inovasi baru dalam berbagai bidang yang
dilakukan oleh sejumlah peneliti di antaranya adalah oleh Olosegun Folorunso,
dkk. tentang inovasi situs jaringan sosial bagi mahasiswa (International Journal
of Computer Science and Security, Volume 4, Issue3, 2007), Mark K. Warford
tentang penerapan kebijakan baru tentang penguasaan bahasa asing di Buffalo
State College, NY (Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal,
Volume 10, Issue 3, 2007), Henna Makinen tentang penggunaan program dijital
dalam akuntansi (Thesis pada Helsinki School of Economics, 2010), Benjamin
Osayawe Ehigie dan Elizabeth B. McAndrew tentang penggunaan Total Quality
Management (TQM) sebagai alat manajemen (Management Decision, Vol. 43 No
6, 2005), dan lain-lainnya. Secara nyata setiap inovasi adalah hal baru dalam
bidang apa saja yang diperkenalkan kepada masyarakat. Sebelum memberikan
keputusannya, masyarakat memerlukan proses sosial, psikologi, mental, berpikir,
dan pertimbangan teknis lainnya. Sehingga, kajian difusi inovasi akan tetap
menjadi hal yang menarik untuk diteliti, khususnya oleh mereka yang menggeluti
bidang komunikasi sosial psikologi atau inovasi.
Memahami difusi inovasi berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada
bermakna sangat penting bagi para ilmuwan, profesional, dan prakitisi bisnis,
khususnya dalam pengelolaan pemasaran produk baru kepada masyarakat. Bagi
seorang ilmuwan, transformasi budaya adalah suatu kenyataan yang tidak bisa
dielakkan dari jaman dahulu yang primitif sampai dengan jaman modern ini.
Inovasi produk atau proses dalam berbagai bidang terus bermunculan dan masing-
masing bidang memerlukan tipologi proses penyerapannya di masyarakat. Sesuai
dengan fungsi keilmuan, kajian difusi inovasi akan mengungkapkan dan
menjelaskan hakikat paradigma difusi dan inovasi dalam masyarakat. Hasil
kajiannya diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi dan mengontrol setiap
kebijakan yang berkaitan dengan difusi inovasi, baik yang dilakukan oleh
penguasa, pengusaha, lembaga sosial, dan kelompok masyarakat lainnya.
Hasil penelitian Everett M. Rogers (1995) yang dilakukan pada lebih dari
1.500 kasus menyimpulkan bahwa dalam difusi terdapat unsur pokok yang tidak
bisa ditinggalkan. Berdasarkan unsur pokok tersebut, ia membangun definisi
difusi yang dinyatakan sebagai "theprocess by which an innovation is
communicated through certain channels over time among the members of a social
system" (proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu
dalam waktu tertentu kepada segenap anggota sistem sosial.) Pada definisi di atas,
seperti yang disebutkan oleh Rogers, terdapat 4 (empat) unsur penting dalam
difusi; yakni, inovasi, saluran komunikasi, waktu tertentu, dan sistem sosial.
Unsur pertama dalam proses difusi adalah inovasi, yang pada umumnya
adalah ide, praktek, nilai, atau objekyang dipersepsikan lebih baik dibandingkan
dengan yang ada sebelumnya. Ciri-ciri inovasi, sebagaimana yang dipersepsikan
oleh anggota sistem sosial, menentukan tingkat adopsinya. Di antara ciri-ciri
inovasi tersebut adalah: »J» manfaat relatif (relative advantage), yang dapat
diukur secara ekonomi, keunggulan sosial, rasa, kenyamanan, atau kepuasan.
(dalam konteks ini ukuran kemanfaatan adalah persepsi dan bukan fakta objeknya,
sehingga bila produk baru yang telah didesain canggih tetapi masyarakat
menganggapnya biasa saja, maka inovasi tersebut kurang memberikan
manfaatrelatif kepada masyarakat.)
kesepadanan (compatibility), yaitu persepsi masyarakat apakah produk
baru tersebut setara dengan nilai yang ada, pengalaman, dan kebutuhan
masyarakat (produk yang dianggap kurang sepadan tidak akan diadopsi
atau proses adopsinya relatif lebih lama dibandingkan dengan produk yang
sepadan).
Kerumitan (complexity), yaitu persepsi masyarakat tentang tingkat
kerumitan/ kesulitan untuk memahami atau menggunakan produk baru
tersebut (ide baru yang sederhana dan mudah difahami berkecenderungan
lebih cepat diadopsi dibandingkan dengan ide yang rumit dan bertele-tele.)
kemungkinan dapat dicoba (friability), yakni, apakah sebuah ide, alat, atau
produk baru yang diperkenalkan bisa langsung dicoba atau tidak (produk
baru yang dapat dicoba memberi kepastian tentang kualitasnya sehingga
adopsinya relatif lebih cepat.)
kemungkinan dapat dilihat (observability), yakni, sejauh mana produk
baru tersebut mampu memberikan hasil nyata dan dapat dilihat secara
langsung oleh masyarakat (semakin mudah seseorang melihat basilnya,
semakin cepat pula sebuah produk diadopsi oleh masyarakat.)
Unsur kedua dalam proses difusi adalah saluran komunikasi, yaitu,
cara/alat yang digunakan dalam proses transformasi pesan antara pihak terkait
pada kegiatan akses, penciptaan, dan berbagi informasi untuk pemahaman.
Saluran media masa pada umumnya lebih efektif untuk membangun pemahaman
atas hakikat produk inovasi, dan saluran interaksi tatap muka lebih efektif untuk
mengubah sikap dan nilai yang derada dalam pikiran masyarakat.
Unsur ketiga adalah waktu, yang dalam proses difusi terkait pada tiga
bahasan dimensi; yakni, pengambilan keputusan, sifat masyarakat, dan rentang
waktu adopsi. Dimensi pengambilan keputusan adalah proses mental yang
terdapat diri individu atau masyarakat yang dimulai dari penerimaan pengetahuan
tentang objek inovasi sampai dengan terbangunnya sikap dan keputusan untuk
menerima atau menolak. Dimensi sifat individu atau masyarakat adalah tipologi,
kebiasaan, atau sifat keterbukaan yang diniilikinya. Terdapat kelompok
masyarakat yang begitu terbuka sehingga cepat menerima sebuah inovasi; tetapi,
ada pula masyarakat yang tertutup sehingga difusi inovasi sangat lambat. Adapun,
dimensi rentang waktu adopsi berkaitan dengan jumlah anggota masyarakat yang
mengadppsi sebuah inovasi dalam waktu tertentu.
Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang terkait
dengan keterlibatan struktur kerja antar unit dalam kehidupan masyarakat untuk
pengambilan keputusan. Dalam sistem sosial terdapat nilai, norma, struktur kerja,
kepemimpinan, dan agen pembaharu (change agent) yang semuanya
mempengaruhi proses difusi inovasi sampai dengan adopsinya.
9.3.KELOMPOKADOPSI
Sebuah inovasi yang dilontarkan oleh suatu perusahaan, organisasi, atau
kelompok masyarakat tertentu kepada masyarakat secara umum memerlukan
proses. Seperti yang telah dibahas di atas, proses penyampaian informasi dan
proses berpikir yang dilalui dalam pemikiran individu dalam masyarakat disebut
difusi. Sesuai dengan hakikatnya' yang didifusikan kepada masyarakat adalah
karaketristik produk atau layanan baru. Dengan kata lain, dalam proses difusi
yang menjadi sasaran kegiatannya adalah bagaimana menjadikan masyarakat
mempunyai pengetahuan tentang produk atau layanan baru agar mereka dapat
mengadopsinya.
Adopsi adalah adalah keputusan untuk menerima atau rnenolak suatu
inovasi. Ukuran penerimaan atau penolakan suatu produk atau layanan baru bisa
berbentuk hitungan unit kelompok sosial atau pribadi dan ukuran waktu yang
diperlukan untuk memberikan keputusan. Dalam kehidupan sosial
kemasytarakatan, tingkat adopsi individu terhadap produk atau layanan baru tidak
sama. Menanggapi suatu produk baru terdapat kelompok individu yang langsung
dapat menerima dan menggunakannya, ada yang memikir-mikir terlebih dahulu,
dan ada pula yang langsung menolak. Mereka yang menolak, setelah berlangsung
sekian lama dan melihat hampir banyak orang yang menggunakannya, bsa saja
memutuskan untuk menerima dan menggunakan produk atau layanan baru
tersebut.
Dalam konteks adopsi anggota masyarakat terhadap inovasi, berdasarkan hasil
penelitiannya terhadap pengenalan produk baru, Everett M. Rogers (1995)
menyebutkan 5 (lima) kelompok individu dalam menyikapi produk baru, seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 9.2.