Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH K3

DOSEN : Pak Taufik S.T

DISUSUN OLEH :

- MULKIA FARHAN (160120120)


- KHAIRUN NISA (160120126)
- M. IQBAL LUBIS (160120118)

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK MESIN


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2018
KATA PENGANTAR
1
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami ucapkan atas berkah dan rahmat dari Allah
SWT yang telah memberikan berkat kesehatan dan nikmat berfikir bagi kami untuk dapat
menyelesaikan makalah kami ini yang berjudul “KESELAMATAN dan KESEHATAN
KERJA (K3)”
Makalah ini disusun untuk memberikan atau menambah pengetahuan dan pemahaman
bagi pembacanya khususnya tentang pengertian pengeluaran pemerintah pusat, jenis-jenis
pengeluaran pemerintah pusat serta fungsi pengeluaran pemerintah pusat. Kami menyadari
bahwa makalah kami ini masih memiliki banyak kekurangan dan sangat jauh dari kata
sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan
untuk memperbaiki dan menambah penulisan dan kelengkapan isi makalah ini.

Ucapan terima kasih juga tak lupa kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu kami dalam penulisan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
bagi kelompok kami sendiri khususnya, teman-teman sependidikan dan bagi siapapun yang
membacanya.

Bukit Indah, 19 Maret 2016

Penulis

2
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

K3 atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam suatu pekerjaan, karena dengan tidak adanya K3 atau Kesehatan dan
Keselamatan Kerja akan tidak diragukan lagi banyak terjadi kecelakaan dalam kerja yang
bersifat ringan sampai yang berat.

Kebanyakan perusahaan juga merasa keberatan dengan adanya K3 atau Kesehatan dan
Keselamatan Kerja karena setiap perusahaan atau industri merasa mereka harus mengeluarkan
biaya tambahan padahal tidak demikian K3 merupakan langkah penghematan dan
meningkatkan produktifitas. Karena dengan K3 perusahaan tidak di bebani dengan biaya
kesehatan atau kecelakaan tenaga kerja atau karyawan karena kesehatan dan keselamatan
dalam kerja sudah terjamin.

Pemerintah membuat aturan K3 seperti pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja, yaitu : mencegah dan mengurangi kecelakaan; mencegah,
mengurangi dan memadamkan kebakaran; mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-
kejadian lain yang berbahaya; memberikan pertolongan pada kecelakaan; memberi alat-alat
perlindungan diri pada para pekerja; mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar atau radiasi, suara dan getaran.

Untuk itu kami memilih judul Penerapan Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja karena dalam kenyataan banyak perusahaan atau industri yang mengabaikan tentang
pentingnya K3.

3
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
2) Apa tujuan dari pembuatan Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
3) Apa yang mendasari Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
4) Bagaimana peran pemerintah dalam menangani masalah K3 di Indonesia?
5) Apa saja Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
6) Bagaimana Struktur Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
7) Bagaimana Management Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
2) Untuk mengetahui tujuan dari pembuatan Undang-undang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
3) Untuk mengetahui yang mendasari Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja.
4) Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menangani masalah K3 di Indonesia.
5) Untuk mengetahui Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
6) Untuk mengetahui Struktur Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
7) Untuk mengetahui Management Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Menurut Labib (2012: 1) peraturan K3 di Indonesia telah ada sejak pemerintahan
Hindia Belanda, peraturan K3 yang berlaku pada saat itu adalah Veiligheids Reglement. Setelah
kemerdekaan dan diberlakukannya UndangUndang Dasar 1945, maka beberapa peraturan
termasuk peraturan keselamatan telah dicabut dan diganti. Peraturan yang mengatur tentang K3
adalah UndangUndang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970. Ketentuan-ketentuan penerapan
K3 yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 adalah: (1) tempat kerja yang
menggunakan mesin, pesawat, perkakas, (2) tempat kerja pembangunan perbaikan, perawatan,
pembersihan atau pembongkaran gedung, (3) tempat usaha pertanian, perkebunan, pekerjaan
hutan, (4) pekerjaan usaha pertambangan dan pengelolahan emas, perak, logam, serta biji logam
lainnya, dan (5) tempat pengangkutan barang, binatang, dan manusia baik di daratan, melalui
terowongan, permukaan air, dalam air dan di udara. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut,
maka tempat yang telah disebutkan harus dilakukan pelaksanaan prosedur K3.

Lahirnya Undang-undang keselamatan kerja sebagaimana yang kita kenal dengan


UUK3 tidak lepas dari sejarah pahit perjuangan bangsa. Dalam literatur hukum perburuhan
yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat
suram yakni zaman perbudakan, rodi dan poenali sanksi. Menurut Abduh (dalam Labib, 2012:
2) “di Indonesia tingkat kecelakaan kerja merupakan salah satu yang tertinggi di dunia,
sedikitnya pada tahun 2007 terjadi 65.000 kasus kecelakaan kerja. Data tersebut diperkirakan
50% yang tercatat oleh Jamsostek dari jumlah sebenarnya”. Menyadari akan pentingnya
peranan pekerja bagi perusahaan, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga
keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan.

Menurut Mangkunegara (2002: 163) “K3 adalah suatu pemikiran dan


upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Keutuhan dan kesempurnaan tersebut ditujukan secara khusus terhadap tenaga kerja, sehingga
menghasilkan suatu hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat yang adil dan
makmur”. Penerapan konsep K3 muncul sejak manusia mengenal suatu pekerjaan.
5
Keselamatan kerja bertujuan dalam melakukan pekerjaan agar diperoleh suatu cara yang mudah
dan menjamin keselamatan dari gangguan alam, binatang maupun gangguan dari manusia
lainnya. Masalah K3 juga merupakan bagian dari suatu upaya perencanaan dan pengendalian
proyek sebagaimana halnya dengan biaya, perencanaa, pengadaan serta kualitas. Hal itu saling
mempunyai keterkaitan yang sangat erat (Barrie, 1995: 365). Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengemukakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja mengalami beberapa
perkembangan, antara lain:

 Dimulai dari perkembangan desain peralatan yang aman dan nyaman digunakan untuk
si pengguna pada zaman manusia batu dan goa ketika membuat peralatan berburu
seperti kapak dan sebagainya. Pada fase ini berkembang safety engineering.
 Perkembangan selanjutnya diikuti dengan perkembangan kesehatan kerja dan sanitasi
lingkungan.
 Selanjutnya terjadi pergeseran-pergeseran konsep K3 mulai dari factor manusia
sampai kepada elaborasi faktor manusia dalam sistem manajemen terpadu. Pada era
ini mulai berkembang pola koordinasi antar unit terkait safety, health dan
environment, sehingga munculah konsep “integratedHSE management system”.
 Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa K3 ternyata mempunyai ruang lingkup
yang lebih luas lagi tidak hanya terbatas di dalam dunia industri.

Sejarah kelahiran K3 timbuldengan memperhatikan banyaknya resiko yang diperoleh


perusahaan industri. Pemilik industri wajib mengatur dan memelihara ruangan, alat dan
perkakas, serta rambu-rambu peringatan di tempat kerja. Sehingga pekerja terlindungi dari
bahaya yang mengancam kesehatan badan, kehormatan dan harta bendanya. Lahirnya tatanan
baru dalam masyarakat yang ditandai dengan menguatnya tuntutan terhadap pelaksanaan K3
sebagai bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia berdasarkan nilai-nilai keadilan,
keterbukaan dan demokrasi maka pelaksanaan hukum K3 mutlak harus dilaksanakan secara fair
dan seimbang di semua tempat kerja.

2.2 Tujuan Pembuatan Undang-undang K3

Merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang yang bekerja dalam lingkungan
perusahaan, terutama yang secara khusus bergerak di bidang produksi, untuk dapat memahami
arti pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya. Hal ini memiliki
6
urgensi yang besar, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun karena aturan perusahaan yang
meminta untuk menjaga hal-hal tersebut dalam rangka meningkatkan kinerja dan mencegah
potensi kerugian bagi perusahaan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting
perusahaan berkewajiban menjalankan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di
lingkungan perusahaannya. Patut diketahui pula bahwa ide tentang K3 telah ada sejak dua puluh
tahun yang lalu, namun hingga saat ini, masih ada pekerja dan perusahaan yang belum
memahami korelasi antara K3 dengan peningkatan kinerja perusahaan, bahkan tidak
mengetahui eksistensi aturan tersebut. Akibatnya, seringkali mereka melihat fasilitas K3
sebagai sesuatu yang mahal dan seakan-akan mengganggu proses bekerja. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu landasan filosofis pengaturan K3 yang telah
ditetapkan pemerintah dalam undang-undang.

Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yaitu:

a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;


b. mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberikan pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luaskan suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis,
peracunan, infeksi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

7
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang berbahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Dari tujuan pemerintah tersebut terlihat bahwa esensi dibuatnya aturan penyelenggaraan
K3 pada hakekatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan,
pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang,
produk tehnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya
kecelakaan. Dengan adanya aturan tersebut, potensi bahaya kecelakaan kerja dapat dieliminasi
atau setidaknya direduksi.

Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan K3, yaitu: (1)
seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan; (2) pembentukan konsep
budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3 serta keterlibatan berupa
dukungan serikat pekerja dalam pelaksanaan program K3 di tempat kerja; dan (3) kualitas
program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.

Hal lain yang juga diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya program K3
adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi program
serta melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang
terkena musibah kecelakaan kerja. Apabila terjadi peristiwa demikian, maka
hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.

a. Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.


b. Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
c. Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
d. Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
e. Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
f. Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).

8
g. Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
h. Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
i. Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada pihak yang
berwenang.
j. Membuat satuan kerja yang terdiri atas orang yang berkompeten dalam penanganan
kecelakaan di area terjadi kecelakaan kerja.

Inti dari terlaksananya K3 dalam perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa
kombinasi aturan, sanksi, dan keuntungan dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja
dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan
pedoman bagi pekerja dan pengusaha.

Penerapan K3 dalam perusahaan akan selalu terkait dengan landasan hukum penerapan
K3 itu sendiri. Landasan hukum tersebut memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan yang
menentukan bagaimana K3 harus diterapkan. Di Indonesia, sumber-sumber hukum yang
menjadi dasar penerapan K3 adalah sebagai berikut.

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
d. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena
Hubungan Kerja.
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis
Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 10

Sementara itu, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) pertama kali diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan
undang-undang ini, pemeliharaan kesehatan diartikan sebagai upaya penanggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan,
termasuk pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Yang berhak memperoleh
pemeliharaan jaminan kesehatan adalah tenaga kerja, suami atau istri, dan anak. Ruang lingkup
jaminan pemeliharaan kesehatan dalam undang-undang ini meliputi:
9
a. rawat jalan tingkat pertama;
b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus; dan
g. pelayanan gawat darurat.

2.3 Alasan-alasan yang mendasari dikeluarkannya undang-undang K3

1. Kemelut dalam perindustrian Indonesia mulai terasa setelah PD II meletus, yang membawa
akibat terputusnya hubungan Indonesia dengan Eropa, sehingga mesin-mesin yang
diperlukan di Indonesia tidak didatangkan lagi. Karena keadaan yang memaksa, mesin-
mesin atau bagian-bagian dari mesin-mesin yang tidak memenuhi syarat-syarat penjagaan
keamanan tidak boleh digunakan lagi.
2. Selama Pemerintahan Jepang, tidak sedikit mesin-mesin yang diangkut keluar Indonesia
atau dipindahkan ke pabrik yang lain untuk dipasang lagi dengan tidak mengindahkan
peraturan-peraturan penjagaan keselamatan karyawan.
3. Setelah Indonesia merdeka, semua fenomena diatas tidak dapat diatasi sekaligus.
Akibatnya jumlah kecelakaan kerja yang menimpa karyawan dalam perusahaan semakin
bertambah.

2.2.1 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam UU K3

Penggunaan mesin-mesin yang memberikan kemudahan bukanlah berarti


mengesampingkan teknologi tradisional. Tujuan pokoknya adalah penekanan biaya produksi
dan hal ini juga akan memacu pekerja untuk semakin meningkatkan keselamatan kerja untuk
menekan kecelakaan kerja akibat penggunaan teknologi mesin-mesin.

Penyebab kecelakaan kerja yang terbesar adalah faktor manusia, yaitu kurangnya
kesadaran pengusaha

dan tenaga kerja sendiri terutama dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-
undangan. Namun setelah berlakunya UU Tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan kerja
dan ditegaskan kembali dalam Pasal 86 ayat UU NO.13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan
kesadaran para pengusaha dan tenaga kerja itu sendiri meningkat. Sebab menurut Pasal 86 ayat

10
UU NO.13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan bahwa buruh atau pekerja berhak untuk
memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Menurut Susilo Martoyo (2000: 140) bahwa program-program keselamatan yang


dapat dilakukan pada perusahaan adalah sebagai berikut:

1) Mempergunakan mesin-mesin yang dilengkapi alat-alat pengaman


2) Menggunakan peralatan-peralatan yang lebih baik
3) Melakukan pemeliharaan fasilitas pabrik secara berkala.
4) Memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pengoperasian peralatan-peralatan beserta
larangan-larangan yang dianggap perlu.
5) Memberikan pengarahan kepada karyawan akan pentingnya keselamatan kerja.

Sedangkan menurut Justine T. Sirait (2007: 262) pelaksanaan program keselamatan dapat
dilakukan dalam bentuk sebagai berikut:

1) Dukungan oleh manajemen puncak


2) Menunjuk seorang direktur keselamatan
3) Mendidik para karyawan untuk bertindak aman
4) Menganalisis kecelakaan

Adapun penjelasan dari bentuk pelaksanaan program keselamatan yang dikemukakan oleh
Justine T. Sirait adalah sebagai berikut:

1. Dukungan manajemen puncak

Dukungan manajemen puncak mutlak diperlukan agar program keselamatan kerja bisa
berjalan dengan efektif. Dukungan manajemen puncak bisa dilihat dari kehadiran karyawan
pada pertemuan yang membahas masalah keselamatan kerja, inspeksi karyawan secara
periodik, laporan keselamatan kerja yang teratur, dan pencantuman masalah keselamatan kerja
pada berbagai rapat yang dilakukan oleh para pempinan perusahaan.

2. Menunjuk seorang direktur Keselamatan

Untuk menjalankan suatu program, seseorang haruslah diberi tugas dan tanggung jawab
untuk menyusun dan memelihara program tersebut. Biasanya ditentukan oleh besar atau
tidaknya perusahaan itu sendiri, jika perusahaan terlalu kecil dilakukan penambahan tugas

11
terhadap seseorang untuk melaksanakan usaha-usaha keselamatan kerja. Jika perusahaan
berskala besar, biasanya diangkat seorang staf direktur program keselamatan kerja.

3. Mendidik Para Karyawan Untuk Bertindak Aman

Sebagian besar program keselamatan kerja haruslah di titik beratkan untuk mendidik
karyawan agar bertindak, berpikir, dan bekerja secara aman. Beberapa cara pendidikan yang
dapat dilakukan, antara lain melalui:

4. Menganalisa Kecelakaan

Kecelakaan dapat dipelajari dari berbagai aspek, misalnya personalianya, pekerjaan


yang menimbulkan kecelakaan, alat-alat dan perlengkapan yang dipergunakan, departemen
tempat terjadinya kecelakaan, dan akibatnya. Analisis ini bertujuan agara kelak dikemudian
hari terjadi perbaikan . Cara yang umum yang digunakan dalam menganalisa kecelakaan adalah
meminta pendapat dari mandor atau pengawas pekerjaan.

Disamping usaha untuk mencegah para karyawan mengalami kecelakaan, perusahaan


perlu juga memelihara kesehatan para karyawan. Kesehatan ini menyangkut kesehatan fisik dan
kesehatan mental. Kesehatan para karyawan dapat terganggu akibat stress maupun karena
kecelakaan. Kesehatan karyawan yang buruk akan mengakibatkan kecenderungan tingkat
absensi yang tinggi dan tingkat produktivitas yang rendah. Adanya program kesehatan yang
baik akan menguntungkan secara material, karena karyawan yang sehat akan jarang sakit dan
jarang absen, bekerja dalam lingkungan yang lebih menyenangkan, sehingga secara
keseluruhan mereka akan mampu bekerja lebih lama. Istilah kesehatan menurut Susilo Martoyo
(2000: 140):“adalah kondisi kesehatan jasmani maupun rohani. Sehat jasmani berarti seluruh
organ tubuh berfungsi baik dan normal. Sedangkan sehat rohani adalah apabila seeorang telah
mampu beradaptasi dengan organisasi dimana ia bekerja, mampu mengatasi stress dan frustasi”.

Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan dalam hal penciptaan kesehatan kerja:

1) Menjaga kesehatan karyawan dari gangguan-gangguan penglihatan, pendengaran,


kelelahan, dan sebagainya.
2) Penyediaan fasilitas-fasilitas pengobatan dan pemeriksaan bagi karyawan.

Menurut Leon C. Megginson dalam Mangkunegara (2004: 161) kesehatan kerja


membicarakan tentang risiko kesehatan atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.

12
Adapun di bawah ini beberapa contoh penyakit kerja yang terjadi dalam sektor industri yang
dikemukakan oleh Basir Barthos (2001: 145) adalah sebagai berikut:

1) Kelembaban lantai yang mengakibatkan rematik dan masuk angin


2) Kelembaban udara yang dapat mengakibatkan penyakit radang paru-paru basah.
3) Pencahayaan yang yang dapat mengakibatkan kerusakan mata akibat keremangan dan
kesilauan.
4) Partikel debu yang berterbangan yang tidak terlihat mengakibatkan sesak napas
5) Model tempat duduk atau bangku yang disediakan tak sesuai yang mengakibatkan
sakit punggung.

Menurut Justine T. Sirait (2007: 266) bahwa pelaksanaan program kesehatan dapat berupa
dan sebaiknya terdiri dari salah satu atau keseluruhan elemen-elemen berikut:

1) Pemeriksaan kesehatan pada waktu karyawan pertama kali diterima bekerja.


2) Pemeriksaan kesehatan para karyawan kunci secara periodik
3) Pemeriksaan kesehatan secara sukarela untuk semua karyawan secara periodik.
4) Tersedianya peralatan dan staf medis yang cukup.
5) Pemberian perhatian yang sistematis dan preventif terhadap masalah ketegangan
industri (industrial stresses)
6) Tersedia psychiatrist untuk konsultan.
7) Kerja sama dengan psychiatrist di luar perusahaan atau yang ada di lembaga –lembaga
konsultan.
8) Mendidik para karyawan perusahaan tentang arti pentingnya kesehatan.

Menurut Basir Barthos (2001: 150) upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal
mengurangi penyakit akibat kerja antara lain sebagai berikut:

1) Pengaturan Jam Kerja


2) Pemberian Perhatian Terhadap Daya Tahan Tubuh Pekerja
3) Memperhatikan Kenyamanan Kerja
4) Memperhatikan Keamanan Kerja

Adapun penjelasan dari upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal mengurangi
penyakit akibat kerja yang dikemukakan oleh Basir Barthos (2001: 150) adalah sebagai
berikut:

13
1. Pengaturan Jam Kerja

Jam kerja normal 40 jam kerja seminggu untuk era industri tidak lagi memberikan
jaminan produktivitas tinggi. Kaitan positif antara jam kerja dengan produktivitas belum benar-
benar akurat. Yang sudah jelas adalah keadaan pekerja dapat dipengaruhi oleh kurangnya
istirahat yang memadai sehingga menimbulkan pengaruh kejiwaan terhadap para pekerja.
Sebagai contoh mengatasi penggunaan shift kerja harus ada pembatasan yang tegas.

2. Pemberian Perhatian Terhadap Daya Tahan Tubuh Pekerja

Daya tahan tubuh pekerja baik secara fisik maupun mental mempengaruhi keselamatan
dan kesehatan kerja karyawan. Pekerja yang daya tahan tubuhnya buruk akan mempengaruhi
motivasi dalam bekerja, kreativitas bekerja.

3. Memperhatikan Kenyamanan Kerja

Kenyamanan kerja perlu diupayakan di semua sektor pekerjaan, mengingat setiap


pekerjaan mempunyai tingkat kerawanan tertentu. Beberapa contoh dapat dikemukakan adalah
sebagai berikut :

a. Penggunaan bahasa asing pada manual dan label yang dapat disalah tafsirkan dalam
melaksanakan tugas.
b. Perbedaan model-model instrumentasi dan alat-alat pengamanan yang tidak sesuai
dengan kondisi orang asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Contohnya
penggunaan model kursi empuk dengan karet busa dalam ruangan ber AC bagi orang
barat sangat serasi dan nyaman, tetapi bagi orang Indonesia malahan dapat membuat
mengantuk sehingga menurunkan produktivitas kerja. Sebaiknya bagi orang Indonesia
menggunakan kursi rotan tanpa bahan-bahan busa.

4. Memperhatikan Keamanan Kerja

Keamanan kerja dalam melakukan suatu pekerjaan ditandai dengan adanya


kesempurnaan di dalam lingkungan kerja, alat kerja, bahan kerjayang dikendalikan oleh sistem
manajemen yang baik. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa rasa aman di dalam
menjalankan tugas masih menjadi dambaan bagi semua pekerja.

Sebagai contoh:

14
1) Terdapatnya alat-alat terutama pada industri pengolahan yang terbuka yang
mengundang bahaya
2) Curahan bahan yang dpaat menyebarkan partikel-partikel bahan-bahan yang dapat
menyebabkan sakit.
3) Perencanaan lingkungan oleh limbah industri pengolahan yang dapat mengganggu
keamanan si pekerja.
4) Sistem manajemen yang terbuka yang dapat memepengaruhi sikap kerja yang baik.

2.4 Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Masalah K3

Cara pemerintah dalam menanggulangi maslah K3 yaitu dengan membuat aturan K3


seperti pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yaitu : mencegah
dan mengurangi kecelakaan; mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; mencegah
dan mengurangi bahaya peledakan; memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada
waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya; memberikan pertolongan pada
kecelakaan; memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; mencegah dan
mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu kotoran, asap, uap, gas,
hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran.

Lalu dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, melindungi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti dari sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang
dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Program Jamsostek
sebagai pengejawantahan dari program K3 diwajibkan berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 PP No. 14
Tahun 1993 bagi setiap perusahaan.

2.5 Macam-macam Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Undang-Undang K3

1. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie).


2. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 203 tentang Ketenagakerjaan.

15
Keputusan Menteri terkait K3

1. Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan,
Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
2. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174
Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi.
3. Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
4. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit
Akibat Kerja.
5. Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Nasional.
6. Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di
Tempat Kerja.
7. Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di
Tempat Kerja.
8. Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.
9. Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
10. Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
11. Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Instruksi Menteri terkait K3

Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan Khusus K3


Penanggulangan Kebakaran.
16
Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan
Pengawasan Ketenagakerjaan terkait K3

1. Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998 tentang Cara
Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.
2. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak dan
Kewajiban Teknisi Lift.
3. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.

2.5.1 Mengenal Dasar Hukum K3 Indonesia

Dasar hukum Kesehatan dan Keselamat Kerja adalah dimana suatu perbuatan atau
tingkah untuk melakukan pekerjaan seesuai dengan dasar hukum yang ada sesuai dengan
aturan:

1) Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja

Di dalam UU No.1 tahun 1951 tentang Kerja, mengatur tentang jam kerja, cuti tahunan,
cuti hamil, cuti haid bagi pekerja wanita, peraturan tentang kerja anak-anak, orang muda, dan
wanita, persyaratan tempat kerja, dan lain-lain. Dalam Pasal 16 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1951
yang menetapkan, bahwa “Majikan harus mengadakan tempat kerja dan perumahan yang
memenuhi syarat-syarat kebersihan dan Kesehatan”.

2) Undang-undang No. 2 Tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja

Undang-undang No. 2 tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja, Undang-Undang


Konpensasi Pekerja (Workmen Compensation Law) Undang-undang ini menentukan
penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-undang Keselamatan Kerja diundangkan pada tahun 1970 dan menggantikan


Veilligheids Reglement pada Tahun 1910 (Stb. No. 406).

17
Mengatur tentang syarat-syarat keselamatan kerja, kewajiban dari pengurus, sanksi
terhadap pelanggaran terhadap undang-undang ini dan juga mengatur tentang Panitia Pembina
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang merupakan jenis


perlindungan prevensif yang diterapkan untuk mencegah timbulnya Kecelakaan Kerja (K2) dan
Penyakit Akibat Kerja (PAK). Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
menegaskan bahwa perlindungan terhadap Pekerja/buruh di tempat kerja merupakan hak yang
harus dipenuhi oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh.

Secara umum perlindungan di tempat kerja (work place) mencakup :

a. Keselamatan dan Kesehatan Kerja;

b. Moral dan Kesusilaan;

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Selain Undang-undang tentang Keselamatan Kerja, Pemerintah telah mengeluarkan


regulasi guna mendukung Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, berbagai peraturan
yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara lain :

1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;


2) Permenaker No. 4 Tahun 1995 Tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan
Kerja;
3) Instruksi Menaker RI No. 5 Tahun 1996 Tentang Pengawasan dan Pembinaan K3
pada Kegiatan Konstruksi Bangunan; dan
4) Permenaker No. 5 Tahun 1996 tentang SMK3

2.5.2 Urgensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang
kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan dalam Pasal 9 bahwa “setiap
tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan

18
moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat, martabat, manusia, moral dan agama”.
Undang-Undang tersebut kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur antara
lain:
a. Ruang lingkup keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah,
di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada dalam wilayah hukum
kekuasaan RI. (Pasal 2).

b. Syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:


 Mencegah dan mengurangi kecelakaan
 Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
 Mencegah dan mengurangi peledakan
 Memberi pertolongan pada kecelakaan
 Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
 Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
 Memelihara kesehatan dan ketertiban
 dll (Pasal 3 dan 4).
c. Pengawasan Undang-Undang Keselamatan Kerja, “direktur melakukan pelaksanaan umum
terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan
membantu pelaksanaannya. (Pasal 5).

d. Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan dan


Keselamatan Kerja untuk mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi
yang efektif dari pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk melaksanakan tugas bersama
dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).

e. Setiap kecelakan kerja juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja di dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1). (Suma’mur. 1981: 29-34).

19
Dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur
pula bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Selain diwujudkan dalam bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan kerja


juga diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

Tujuan pelayanan kesehatan kerja adalah:


a. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
b. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan
atau lingkungan kerja.
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
d. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang
menderita sakit.

Selanjutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang


Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi:
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan
khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib
Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1984 tentang
Mekanisme Pengawasan Ketenagakerjaan.

Arti penting dari kesehatan dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah tujuan dan
efisiensi perusahaan sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak melakukan pekerjaannya
masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak khawatir akan ancaman yang mungkin
menimpa mereka. Selain itu akan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas nasional.
Setiap kecelakaan kerja yang terjadi nantinya juga akan membawa kerugian bagi semua pihak.
Kerugian tersebut diantaranya menurut Slamet Saksono (1988: 102) adalah hilangnya jam kerja
selama terjadi kecelakaan, pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin dan alat kerja
serta pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.

20
Menurut Mangkunegara tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai
berikut:
a) Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara
fisik, sosial, dan psikologis.
b) Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan seefektif
mungkin.
c) Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d) Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e) Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f) Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi
kerja.
g) Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
Melihat urgensi mengenai pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka di setiap
tempat kerja perlu adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan keselamatan kerja.
Pelaksananya dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus perusahaan secara bersama-sama
dengan seluruh tenaga kerja serta petugas kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja yang
bersangkutan. Petugas tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai keahlian di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus tempat
kerja/perusahaan.

Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan dan


keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban menjelaskan
tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua alat pengaman diri yang
harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang
telah dipekerjakan, pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala,
menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya
di tempat kerja dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker setempat.

Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk dilaksanakan
semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan keberatan bila melakukan
pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja
juga memiliki kewajiban untuk memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati
persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui urgensi

21
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada di tempat
kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih mudah terwujud.

2.5.3 Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) Bersertifikasi


BNSP Latar Belakang Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Bersertifikasi BNSP :

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi RI No.


PER15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja
pada Bab 2, Pasal 3, ayat 1 & 2 sebagaimana ayat 1 yang berbunyi : “ Petugas P3K di tempat
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 harus memiliki lisensi dan buku kegiatan
P3K dari kepala Instansi yang bertanggung dibidang ketenagaakerjaan” Dan ayat 2 yang
berbunyi: “Untuk mendapatkan lisensi sebagai mana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi
syarat – syarat sebagai berikut :

1. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;


2. Sehat jasamani dan rohani;
3. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K; dan
4. Memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar di bidang P3K di Tempat kerja yang
dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.

Guna dapat mengantisipasi terjadinya gangguan kesehatan yang mendadak dan


kecelakaan kerja diperlukan pedoman Undang-undang No. 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan
Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 03/Men/1982 tentang
Pelayanan Kesehatan Kerja.

Untuk dapat ditunjuk sebagai Petugas P3K di tempat kerja oleh perusahaan, petugas P3K
tersebut perlu mendapatkan pelatihan dengan kurikulum yang sesuai dengan Permenakertrans
No. 15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada kecelakaan (P3K) di Tempat Kerja.

Sasaran dan Manfaat Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Bersertifikasi BNSP :
 Peserta diharapkan akan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memahami
peraturan dan konsep P3K.

22
 Peserta memiliki keterampilan dan mampu melakukan pertolongan pertama pada
kecelakaan jika terjadi kecelakaan di tempat kerja.
 Peserta mampu memberikan pertolongan jika terjadi penyakit mendadak ditempat kerja.
 Peserta mampu mengembangkan sistem P3K ditempat kerja.

2.6 Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Husen (2009: 193) “program K3 sangat perlu karena setiap institusi,
perusahaan ataupun perorangan, serta lainnya memang diwajibkan oleh Undang-undang untuk
melaksanakannya”. Guna terlaksanakannya Undang-undang, pemerintah melakukan
pengawasan dengan membentuk panitia pengawasan yang bermutu dan memiliki banyak
pengalaman di bidangnya. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan
kerja, dapat diketahui struktur pengawasan hukum K3 adalah sebagai berikut

23
Bagan 1: Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Penjelasan:
a. Direktur pengawasan adalah Menteri Tenaga Kerja yang melakukan pengawasan
pelaksanakan umum terhadap Undang-undang K3.
b. Pegawai pengawas ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya
Undang-undang K3 dan membantu pelaksanaannya.
c. Ahli K3 merupakan instansi-instansi pemerintah dan instansi-instansi swasta yang
dapat mengoperasikan K3 dengan tepat, sama seperti pegawai pengawas Ahli K3
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang K3
dan membantu pelaksanaannya.
d. Panitia Banding adalah panitia teknis yang anggota-anggotanya terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang yang diperlukan.
e. Panitia Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) bertugas
memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban bersama dibidang K3, dalam rangka melancarkan
usaha berproduksi.

2.7 Manajemen Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Hukum manajemen K3 berlandaskan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-
05/MEN/1966 tentang sistem sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
selanjutnya disebut SMK3. SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan
yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses
dan sumber daya yang dibutuhkan pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko
yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman dan produktif.
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih
dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja wajib menerapkan sistem manajemen K3,
sistem manajemen K3 dilaksanakan oleh pengurus, pengusaha, dan seluruh tenaga kerja sebagai
satu kesatuan.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Sejarah kelahiran K3 sudah ada pada zaman batu. Pada saat itu masyarakat sudah
menerapkan K3 dalam kehidupannya. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya
zaman, serta akibat dari banyaknya kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, membuat
masyarakat sadar akan pentingnya pengelolaan K3.
2. Dalam rangka mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya
tempat kerja yang aman membuat masyarakat mulai memikirkan bahwa perlindungan
ketenagakerjaan sangat diperlukan, sehingga pemerintah membuat payung hukum
ketenagakerjaan tentang K3. Adapun produk hukumnya adalah Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri tentang K3.
3. Pelaksanaan hukum K3 diawasi oleh direktur yaitu Menteri Tenaga Kerja dan direktur
menunjuk atau membentuk Panitia Pengawas, Tenaga Ahli K3, Panitia Banding, P2K3.
Pengawasan dilakukan oleh staf-staf/tenaga-tenaga yang bermutu dan memiliki banyak
pengalaman di bidangnya.
4. Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan pengembangan, penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman dan produktif. Hukum manajemen K3 berlandaskan pada Peraturan Menteri
Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1966 tentang sistem sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja.

3.2 Saran
1. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam memahami
keseimbangan air dan elektrolit pada olahraga penghasil keringat.
2. Perlu diadakan penelitian dan penulisan lebih lanjut mengenai kajian ini

25
Daftar Pustaka

______. Evaluasi dan Penunjukan Calon Ahli K3 Materi 9. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

R.I. ______. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.

Barrie, Donald S. Dan Boyd C., Jr., Paulson. 1995. Manajemen Konstruksi Profesional(Sudinarto, Ed.).
Jakarta: Erlangga.

Bhuyung.2014.Undang-undang Keselamatan kerja.Tersedia http://bhuyunk123.blogspot.co.id


/2014/ 05/ undang-undang-keselamatan-kerja.html

Ferli.1982.Keselamatan dan kesehatan kerja. Tersedia: https://ferli1982.wordpress.com


/2012/08/13/kesehatan- dan-keselamatan-kerja-sebagai- komponen-jamsostek-
berdasarkan-uu-nomor-1-tahun-1970-uu-no-3-tahun-1992-dan-uu-nomor-40-tahun-
2004

Husen, Abrar. 2009. Manajemen Proyek. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Labib, Syahrul. 2012. Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Bagi Pekerja pada
Proyek Bangunan Tinggi di Wilayah Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas
Teknik UM.

Mangkunegara, A.A. Prabu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

PPKI UM. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Edisi Ke Lima). Malang: Universitas Negeri Malang.

http://sentraltraining.com/training-petugas-pertolongan-pertama-pada-kecelakaan-p3k-
bersertifikasi-bnsp/

https://primamoklet.wordpress.com/2010/07/16/makalah-tentang-fungsi-uu-k3/

http://adicandahar.blogspot.co.id/2010/11/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3.html

http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.co.id/2013/11/kumpulan-perundang-
undangan-k3.html

26

Anda mungkin juga menyukai