Anda di halaman 1dari 35

MINI CLINICAL EXAMINATION

“Pengelolaan Anestesi pada G1P0A0 Usia 33 Tahun Pro SCTP atas


Indikasi HELLP Syndrome”

Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif


RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Oleh:
Farida Ananda 1710221026

Pembimbing:
dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp. An-KAO

FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN
MINI CLINICAL EXAMINATION

“Pengelolaan Anestesi pada G1P0A0 Usia 33 Tahun Pro SCTP atas


Indikasi HELLP Syndrome”

Disusun oleh:
Farida Ananda 1710221026

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Telah disetujui,
Pada tanggal, 28 Juli 2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Tendi Novara, Msi. Med. Sp.An-KAO


NIP 19791110 201212 1 00

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1. Identitas Pasien


1. Nama : Ny. M
2. Umur : 33 tahun
3. Pendidikan : SMA
4. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
5. Alamat : Banjarparakan RT 01/05, Rawalo
6. No. CM : 02056385
7. Tanggal masuk RSMS : 14 Juli 2018
8. Tanggal Operasi : 14 Juli 2018
9. Pro : SCTP
10. Diagnosis : G1P0A0 Usia 33 Tahun Pro SCTP a.i
HELLP Syndrome

I.2. Laporan Pre-operatif


Subjektif :
Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Pasien merasa lemas.
b. Keluhan Tambahan:
Pasien merupakan pasien rujukan dari Puskesmas Rawalo atas
indikasi tekanan darah tinggi saat kontrol ANC. Nyeri kepala, mual, dan
muntah disangkal oleh pasien.
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sebelumnya kontrol ANC di Puskesmas Rawalo dan
didapatkan tekanan darah tinggi pada pasien, sehingga dirujuk ke
RSMS. Pasien mengatakan bahwa ia merasa lemas. Keluhan lain
seperti nyeri kepala, mual, dan muntah disangkal oleh pasien. Kenceng-
kenceng juga disangkal oleh pasien. Pasien juga menyangkal adanya

1
pengeluaran air, lendir, atau darah dari jalan lahir. Pasien saat ini
mengandung anak pertama dengan usia kehamilan 35+6 minggu. Hari
pertama haid terakhir tanggal 6 November 2017 dan hari perkiraan lahir
tanggal 13 Agustus 2018. Pasien memiliki riwayat rawat inap selama 3
hari di RSMS pada usia kehamilan 31 minggu dengan diagnosa PEB.
Kontrol ANC terakhir pasien adalah saat usia kehamilan 32 minggu di
RSMS setelah rawat inap dan baru kontrol ANC lagi saat usia
kehamilan 35+6 minggu karena pasien merasa lemas dan khawatir
terhadap kondisi janin.
d. Riwayat Penyakit Dahulu:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : (+) rawat inap di RSMS a.i. PEB
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
9) Riwayat Operasi : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga:
1) Penyakit Jantung : disangkal
2) Penyakit Paru : disangkal
3) Penyakit Diabetes Mellitus : disangkal
4) Penyakit Ginjal : disangkal
5) Penyakit Hipertensi : disangkal
6) Riwayat Alergi : disangkal
7) Riwayat Penyakit Hati : disangkal
8) Riwayat Asma : disangkal
f. Riwayat Menstruasi:
1) Menarche : 16 Tahun
2) Lama Haid : + 7 hari
3) Siklus Haid : Teratur, 1x/bulan

2
4) Dismenore : Tidak ada
5) Jumlah Darah Haid : 2-3x/hari ganti pembalut
g. Riwayat ANC:
Pasien terakhir melakukan kontrol ANC di RSMS pada usia
kehamilan 32 minggu.
h. Riwayat Menikah
Pasien menikah 1x saat berusia 32 tahun hingga saat ini.
i. Riwayat Obstetri
G1P0A0.
j. Riwayat KB
Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi.
k. Riwayat Ginekologi
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Keputihan : Tidak ada
Riwayat Kuret : Tidak ada
Riwayat Perdarahan Pervaginam : Tidak ada
l. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Suaminya bekerja
sebagai pedagang dengan penghasilan Rp1.000.000-1.500.000,00.
Kesan sosial ekonomi keluarga pasien adalah golongan menengah
ke bawah. Pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS-PBI) untuk kontrol kehamilan dan persalinan.
Pasien mengaku tidak merokok. Pasien mengaku sedang mencoba
memperbaiki gizi yang dikonsumsi semenjak dirawat di RSMS
sebelumnya. Pasien jarang berolahraga. Riwayat konsumsi obat-
obatan disangkal oleh pasien.

Objektif
KU/Kesadaran : CM, E4V5M6
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Laju Nadi : 118 x/menit reguler, isi tekanan cukup
Laju Pernapasan : 20 x/menit, simetris

3
Suhu : 36 C
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 147 cm
Indeks Massa Tubuh : 28.7 kg/m2 (Obese I)

Airway:
Clear (+), snorling (-), gurgling (-), buka 3 jari, TMD 6 cm, mallampati (II), gitang
(-), karies (-), gisu (-), giyang (-), massa jalan napas (-), massa leher (-)

Status Generalis:
- Kepala : mesocephal (+)
- Mata : CA (+)/(+), SI (-)/(-), RC (+)/(+), isokor 3mm/3mm
- Telinga : discharge (-)
- Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut : discharge (-), sianosis (-)
- Leher : deviasi trakea (-)
- Thoraks : simetris, jejas (-)
P/ SDV (+)/(+), RBK (-)/(-), RBH (-)/(-), Whz (-)/(-)
C/ S1 > S2, M (-), G (-)
- Abdomen : cembung gravid, BU (+) N, defans muscular (-), NT (-), pekak
janin (+)
- Ekstremitas : AH (+)/(+)//(+)/(+), Edema (-)/(-)//(-)/(-)

Pemeriksaan Leopold:
- L1 : Bokong
- L2 : Punggung Kanan
- L3 : Kepala
- L4 : Divergen
- DJJ : 132 x/menit
- His :-
- TFU : 32 cm

4
Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 14 Juli 2018
Hematologi
Hemoglobin : 10.3 (L)
Leukosit : 11990 (H)
Hematokrit : 32 (L)
Eritrosit : 3.7 x 106 (L)
Trombosit : 97000 (H)
PT : 8.7 (L)
APTT : 44.8 (H)
Kimia Klinik
SGOT : 50 (H)
SGPT : 58
LDH : 551 (H)
GDS : 94
Ureum : 53.6 (H)
Kreatinin : 1.26 (H)
Elektrolit
Natrium : 138
Kalium : 4.0
Klorida : 109 (H)
Kalsium : 8.4 (H)

Urine Lengkap
Fisis
Warna : kuning
Kejernihan : jernih
Bau : khas
Kimia
Urobilinogen : normal
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif

5
Berat Jenis : 1.020
Eritrosit : negatif
Protein : 300 (+)
Nitrit : negatif
Sedimen
Eritrosit : negatif
Leukosit : negatif
Epitel
Silinder hialin : negatif
Silinder lilin : negatif
Silinder eritrosit : negatif
Silinder leukosit : negatif
Granuler halus : 0-1 (+)
Granuler kasar : 0-1 (+)
Kristal : negatif
Bakteri : 11-20 (+)
Trikomonas : negatif
Jamur : negatif

Assesment
G1P0A0 Usia 33 Tahun Hamil 35+6 Minggu dengan HELLP Syndrome
Usulan ASA : ASA IIE
Rencana Operasi : SCTP Cito
Rencana Anestesi : RA SAB

Planning
Pro SCTP Cito tanggal 14 Juli 2018

6
I.3 Laporan Durante Operasi beserta Pembahasan
Tanggal operasi : Sabtu, 14 Juli 2018
Jam mulai anestesi : 23.45 WIB
Jam selesai anestesi : 00.45 WIB
Kondisi prainduksi
- Kesadaran : compos mentis
- GCS : E4V5M6
- Tekanan darah : 170/90 mmHg
Pasien memiliki tekanan darah tinggi sejak UK 31 minggu. Sebelum hamil
tidak didapatkan tekanan darah tinggi pada pasien. Sehingga, kasus ini
merupakan preeklamsia pada kehamilan.
- HR : 104 x/menit, reguler, isi tekanan cukup
- RR : 14 x/menit, reguler, pola napas thorakoabdominal
- Suhu : 36.5 0C
Teknik Anestesi
- Anestesi : regional anestesi
Regional anestesi menjadi pilihan utama anestesi pada pasien SCTP, kecuali
bila pasien memiliki kontraindikasi untuk dilakukannya SCTP seperti
penyakit koagulasi. Selain itu, general anestesi dapat mengakibatkan
depresi jalan napas pada ibu dan janin.
- Premedikasi : ondansentron 4 mg
Obat ini menjadi premedikasi yang diberikan untuk menghindari mual dan
muntah akibat pemberian obat-obatan anestesi, misalnya pemberian
golongan opioid seperti bupivacaine.
- Regional Anestesi : SAB
SAB atau subarachnoid blok merupakan salah satu jenis dari anestesi
regional. SAB menjadi teknik anestesi regional yang paling sering
dilakukan dengan komplikasi paling minimal untuk ibu dan janin.
- Posisi Pasien : duduk
Penelitian terdahulu menemukan bahwa penyebaran obat jenis hiberbarik,
salah satunya adalah bupivacaine, dipengaruhi oleh posisi tubuh saat

7
dilakukan penyuntikan. Pada posisi terlentang, penyebaran obat bisa
mencapai level blok T4 dan pada posisi duduk hanya mencapai T8.
- Area Penyuntikan : L3-L4
Makin tinggi area penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin
tinggi. Penyuntikan pada L2-L3 lebih memudahkan penyebaran obat ke
kranial daripada penyuntikan pada L4-L5.
- Jarum : spinocaine nomor 27
- Obat Anestesi Lokal : bupivacaine 15 mg
Bupivacaine adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa
kerja panjang dan mula kerja yang pendek. Obat ini akan mencegah
pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel untuk masuk ke dalam sel.
Pada saat awal penyebaran di ruang subarachnoid sangat dipengaruhi oleh
gravitasi. Indikasi penggunaan obat ini adalah pembedahan di daerah perut
selama 45-60 menit, seperti SCTP pada kasus ini.

Monitoring Durante Operasi


- Tekanan darah, SpO2, dan HR :
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
23.45 170/90 100% 104
00.00 160/90 100% 102
00.15 120/80 100% 88
00.30 140/80 100% 96
00.45 130/80 100% 90

Hemodinamik pasien stabil selama operasi berlangsung.

- Obat yang masuk :


a. Ondansentron 4 mg
Ondansentron merupakan salah satu obat anti-emetik, yang
diberikan seiring dengan pemberian bupivacaine, golongan
opioid, yang dapat menimbulkan efek samping mual dan muntah.
Obat ini bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif

8
pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-
aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah.
b. Bupivacaine 20 mg
c. Methargin 0.2 mg
Methargin merupakan obat yang digunakan untuk meningkatkan
kontraksi uterus. Peningkatan kontraksi uterus pada akhirnya
akan mencegah dan mengontrol terjadinya perdarahan post
partum. Kasus ini seharusnya tidak membutuhkan methargin
karena biasanya diberikan kepada pasien dengan atonia uteri atau
yang tidak menunjukkan respon maksimal dengan pemberian
oksitosin.
d. Furosemid 20 mg
Furosemid merupakan obat golongan diuretik yang digunakan
untuk membuang cairan atau garam berlebih di dalam tubuh
melalui urin dan meredakan terjadinya edema akibat penyakit
lain, seperti gagal jantung, penyakit hati, atau penyakit ginjal.
Obat ini juga dapat menurunkan tekanan darah tinggi pada pasien
ini.
e. Oksitosin 20 iu
Oksitosin memiliki fungsi yang sama dengan methargin.
Oksitosin biasanya diberikan segera setelah bayi lahir.
f. Asam tranexamat 500 mg
Asam tranexamat merupakan obat golongan antifibrinolitik yang
menghambat hancurnya fibrin yang telah terbentuk. Obat ini akan
mencegah terjadinya perdarahan yang lebih lama. Pada kasus ini,
asam tranexamat tidak harus diberikan mengingat tidak
terjadinya perdarahan yang banyak dengan durasi lama.
g. Vitamin K 10 mg
Vitamin K berguna untuk merangsang terbentuknya protrombin
dan faktor-faktor pembekuan lainnya untuk mengatasi kondisi
perdarahan. Pertimbangan penggunaannya pada kasus ini sama
dengan penggunaan asam tranexamat.

9
h. Ketorolac 30 mg
Ketorolac merupakan obat golongan NSAID. Indikasi obat ini
adalah untuk iflamasi akut dan dapat juga bersifat sebagai
analgesik yang biasa digunakan pada saat operasi ringan hingga
sedang.
i. Tramadol 100 mg
Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral
dan bersifat agonis opioid. Obat ini akan membantu meredakan
nyeri derajat sedang hingga berat. Tramadol tidak harus diberikan
ketika pasien masih memberikan respon baik terhadap ketorolac.

- Cairan yang masuk :


a. NaCl 500 cc
NaCl merupakan salah satu contoh dari cairan kristaloid.
Larutan kristaloid terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat
menembus membran kapiler dengan mudah. Mekanisme secara
umum larutan kristaloid menembus membrane kapiler dari
kompartemen intrvaskuler ke kompartemen interstisial,
kemudian didistribusikan ke semua kompartemen
ekstravaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal akan
tetap berada di intravaskuler, sehingga penggunaannya
membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang.
NaCl memiliki komposisi Na dan Cl. Kontraindikasi pemberian
cairan ini adalah pasien-pasien dengan hiponatremia dan retensi
cairan. Penggunaan cairan ini juga harus diawasi secara khusus
pada pasien CHF, insufisensi renal, hipertensi, edema perifer,
dan edema pulmo. Maka, seharusnya penggunaanya pada kasus
ini diperhatikan secara khusus, mengingat pasien memiliki
hipertensi dan harus dicegah kemungkinan komplikasi
terjadinya edema pulmo pada pemberian kristaloid untuk pasien
HELLP syndrome.

10
b. Ringer lactate 500 cc
Ringer lactate merupakan salah satu contoh dari cairan
kristaloid. Penjelasan mengenai cairan kristaloid telah dibhas
pada poin sebelumnya. Ringer lactate memiliki komposisi Na,
K, Ca, dan Cl. Kontraindikasi pemberian cairan ini adalah
pasien-pasien dengan hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan
sel hati, dan asidosis laktat. Penggunaanya pada kasus ini tidak
disarankan mengingat pasien memiliki kerusakan sel hati akibat
HELLP syndrome.
c. Terastarch 500 cc
Terastarch merupakan salah satu contoh dari cairan koloid jenis
HES. Larutan koloid terdiri dari molekul-molekul besar yang
sulit menembus membran kapiler, digunakan untuk mengganti
cairan intravaskuler. Mekanisme secara umum memiliki sifat
seperti protein plasma sehingga cenderung tidak keluar dari
membrane kapiler dan tetap berada di dalam pembuluh darah.
Oleh karena itu, penggunaannya membutuhkan volume yang
sama dengan jumlah volume plasma yang hilang. HES dapat
berefek antikoagulan pada dosis moderat, sehingga
pemberiannya pada saat operasi terkadang memiliki efek
meningkatkan perdarahan. Penggunaan HES pada HELLP
syndrome dapat membantu mempertahankan tekanan darah
optimal.
- Perdarahan : 200 cc
- Urine output : 70 cc

Terapi Cairan
Rumus:
Maintenance (M) : 2 x kgBB/jam
Pengganti Puasa (PP) : Puasa (jam) x M
Stress Operasi (SO) : 6cc/kgBB (operasi sedang)
Jam I : ½ PP + M + SO

11
Jam II : ¼ PP + M + SO
Jam III : Jam II
Jam IV : M + SO
30 Menit : 1/2 Jam I
EBV : 70 x BB
Perhitungan (BB= 62 Kg):
Maintenance (M) : 2 x 62 kg : 124 cc
Pengganti puasa (PP) : 6 x 124 cc : 744 cc
Stress operasi (SO) : 6 x 62 kg : 372 cc
EBV : 70 x BB = 70 x 62 : 4340 cc
Lama operasi (60 menit)
Kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : ½ PP + M + SO
: ½ 744 + 124 + 372
: 868 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 200 cc
Urin output = 70 cc
IWL = 15 x 62 / 24 = 38.75 cc
Total output durante operasi = 308.75 cc

Tabel Keseimbangan Cairan Durante Operasi


Output Cairan Input Cairan
Perdarahan + urin output + Durante operasi = 1500 cc
IWL
= 200 + 70 + 38.75 cc Input cairan D.O. = 1500 cc
Output cairan D.O. = 308.75
cc

Kebutuhan durante operasi


60 menit : 868 cc

Total Cairan Output Total Cairan Input


868 + 308.75 1500 cc
= 1176.75 cc = 1500 cc
Balance Cairan: + 323.25 cc

12
Laporan 2 Jam Post Partum
Jam Pukul TD N S TFU Kontraksi Urin Perdarahan
ke
1 01.00 130/90 73 36,5C 1 jari bawah pusat keras - 7 cc
01.30 150/90 63 1 jari bawah pusat keras - -
02.00 150/90 52 1 jari bawah pusat keras - 5 cc
2 02.30 170/100 57 1 jari bawah pusat keras - -
03.00 160/100 63 36C 2 jari bawah pusat keras - 5 cc

I.4 Laporan Follow-Up Post-Operasi


Hari, Subjektif dan Objektif Assessment Planning
tanggal
Minggu, S: P1A0 usia 33 - Injeksi Cefazoline
15/07/18 Pasien mengeluhkan nyeri tahun post 2 x 1 gr
pukul pada luka bekas operasi SCTP a.i. - Injeksi
14.30 di HELLP Dexametasone 2 x
HCU O : Syndrome 10 mg
Maternal TD : 150/90 mmHg - Injeksi Ketorolac 3
Nadi : 87 x/menit x 30 mg
RR : 14 x/menit - Injeksi Kalnex 2 x
S: 36.5 C 500 mg
- Peroral Dopamet 3
Status Nifas x 500 mg
Lochia rubra: 5 cc - Peroral Nifedipin 3
Kontraksi: keras x 10 mg
TFU: 1 jari di bawah pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 300 cc / 6 jam
BAB (-)
Flatus (+)

13
Senin, S: P1A0 usia 33 - Injeksi Cefazoline
16/07/2018 Pasien mengatakan luka tahun post 2 x 1 gr
pkl 16.00 pada bekas post operasi SCTP a.i. - Injeksi
di HCU berkurang HELLP Dexametasone 2 x
Maternal Syndrome 10 mg
O: - Peroral Dopamet 3
TD : 130/80 mmHg x 500 mg
Nadi : 61 x/menit - Peroral Nifedipin 3
RR : 14 x/menit x 10 mg
S: 36 C
Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 400 cc / 6 jam
BAB (-)
Flatus (+).
Selasa, S: P1A0 usia 33 - Injeksi Cefazoline
17/07/18 Pasien mengatakan nyeri tahun post 2 x 1 gr
pkl 14.30 luka bekas operasi SCTP a.i. - Injeksi
di bangsal berkurang, mobilisasi HELLP Dexametasone 2 x
Flamboyan lebih baik Syndrome 10 mg
- Peroral Dopamet 3
O: x 500 mg
TD : 130/100 mmHg - Peroral Nifedipin 3
Nadi : 88 x/menit x 10 mg
RR : 16 x/menit
S: 36.5 C

14
Status Nifas
Lochia rubra: 3 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah pusat

Status Vegetatif
BAK (+) DC 300 cc / 6 jam
BAB (-)
Flatus (+)
Rabu, S: P1A0 usia 33 - Injeksi Cefazoline
18/07/18 Pasien mengatakan nyeri tahun post 2 x 1 gr
pkl 15.00 luka bekas operasi sudah SCTP a.i. - Injeksi
di bangsal jauh berkurang, mobilisasi HELLP Dexametasone 2 x
Flamboyan lebih baik Syndrome 10 mg
- Peroral Dopamet 3
O: x 500 mg
TD : 120/80 mmHg - Peroral Nifedipin 3
Nadi : 82 x/menit x 10 mg
RR : 14 x/menit
S: 36.5 C

Status Nifas
Lochia rubra: 5 cc
Kontraksi: keras
TFU: 2 jari di bawah pusat

Status Vegetatif
BAK (+)
BAB (-)
Flatus (+)

15
Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 17 Juli 2018
Hematologi
Hemoglobin : 8.6 (L)
Leukosit : 15200 (H)
Hematokrit : 27 (L)
Eritrosit : 3.1 x 106 (L)
Trombosit : 143000 (H)

Pemeriksaan Laboratorium RSMS tanggal 18 Juli 2018


Hematologi
Hemoglobin : 8.6 (L)
Leukosit : 11310 (H)
Hematokrit : 27 (L)
Eritrosit : 3.0 x 106 (L)
Trombosit : 190000
Urine Lengkap
Fisis
Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh
Bau : khas
Kimia
Urobilinogen : normal
Glukosa : negatif
Bilirubin : negatif
Keton : negatif
Berat Jenis : 1.015
Eritrosit : negatif
Protein : 100 (+)
Nitrit : negatif
Sedimen
Eritrosit : negatif
Leukosit : negatif

16
Epitel
Silinder hialin : negatif
Silinder lilin : negatif
Silinder eritrosit : negatif
Silinder leukosit : negatif
Granuler halus : negatif
Granuler kasar : negatif
Kristal : negatif
Bakteri : 11-20 (+)
Trikomonas : negatif
Jamur : negatif

Pasien pulang atas permintaan sendiri pada 18/07/2018 pukul 19.36

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi HELLP Syndrome


HELLP syndrome adalah kelainan multisistem yang merupakan komplikasi
kehamilan dengan temuan hemolisis, disfungsi hepatik, dan trombositopenia pada
pemeriksaan laboratorium. Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Weinstein
pada tahun 1982, dan kemudian disebut yang merupakan akronim dari hemolysis
(H), elevated liver enzyme (EL), low platelets (LP).1,2

II.1 Epidemiologi HELLP Syndrome


Angka kejadian HELLP Syndrome adalah berkisar antara 2-12% dari
seluruh kehamilan dan 10-21% dari seluruh kasus pre-eklampsia. 70% kasus terjadi
pada masa antepartum, sementara 30% kasus terjadi pada masa postpartum.3

II.3 Faktor Resiko HELLP Syndrome


Faktor risiko HELLP Syndrome berbeda dengan preeklampsia. Pasien
HELLP Syndrome secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa HELLP Syndrome (rata-rata
umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit puih dan
multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga.4,5
HELLP Syndrome Preeklampsia
Multipara Nullipara
Usia ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun
Ras kulit putih Riwayat keluarga eklampsia
Riwayat keluaran kehamilan yang jelek ANC yang buruk
Diabetes mellitus
Hipertensi kronis
Kehamilan multipel

II.3 Klasifikasi HELLP Syndrome


Dua sistem klasifikasi digunakan pada HELLP Syndrome. Klasifikasi
pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien
diklasifikasikan sebagai HELLP Syndrome parsial (mempunyai satu atau dua
kelainan) atau HELLP Syndrome total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga

18
kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan
wanita dengan HELLP Syndrome parsial. Konsekuensinya pasien HELLP
Syndrome total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam,
sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif.
Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin dkk.) HELLP
Syndrome kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm3. Jumlah trombosit antara
50.000 - 100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara
100.000 - 150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi
kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal,
dan perlu tidaknya plasmaferesis. HELLP Syndrome kelas I berisiko morbiditas dan
mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.4

II.4 Patogenesis HELLP Syndrome


Patogenesis HELLP Syndrome sampai sekarang belum dinyatakan dengan
jelas. Patologi yang ditemukan adalah adanya kelainan tonus vaskuler, vasospasme,
dan kelainan koagulasi. Sindrom ini diduga merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler, akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregrasi trombosit yag
selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Pada HELLP Syndrome terjadi anemia hemolitik mikroangiopati yang
menyebabkan hemolisis. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh
darah kecil yang endotelnya rusak karena adanya deposit fibrin. Hemolisis
intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses
eritropoiesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel
darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi dan mengeluarkan isoenzim
eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan LDH, oleh karena itu kadar LDH yang
tinggi juga menunjukkan terjadinya proses hemolisis. Peningkatan kadar enzim
hepar terjadi akibat obstruksi aliran darah hepar karena deposit fibrin di sinusoid
sehingga mengakibatkan kerusakan sel hepar. Trombositopenia yang terjadi pada
pasien HELLP Syndrome berhubungan dengan peningkatan konsumsi trombosit
sebagai akibat kerusakan endotel pembuluh darah. Trombosit teraktivasi, sehingga
menyebabkan pengeluaran trombosit dengan waktu kehidupan yang singkat.5,6

19
II.5 Kriteria Diagnosis HELLP Syndrome
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan HELLP Syndrome mempunyai gejala klinis yang
bervariasi. Gejalanya mirip dengan gejala pasien preeklampsia tanpa
HELLP Syndrome. Pasien biasanya mengeluh nyeri perut di bagian
epigastrik atau di kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual
dan muntah (45 – 86%), pasien lain bisa mempunyai gejala klinis yang
menyerupai gejala infeksi virus yang tidak spesifik. Kebanyakan pasien
(90%) mempunyai riwayat badan lemah beberapa hari sebelum serangan.
gejala nyeri perut bagian epigastrik atau di kudran kanan atas disebabkan
adanya obstruksi aliran darah di sinusoid hepar yang disebabkan deposit
fibrin intravaskuler.
Pemeriksaan fisik pada pasien HELLP Syndrome tidak khas. Yang
paling sering dijumpai adalah penambahan berat badan dan edema (60%).
Hipertensi dapat tidak dijumpai pada sekitar 20% kasus, hipertensi ringan
pada sekitar 30%, dan hipertensi berat 50%. Pada beberapa kasus dijumpai
hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal, dan
perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai koma, gangguan mental, dan
penurunan visus. Edema pulmo dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai
pada kasus HELLP Syndrome yang timbul post partum atau antepartum
yang ditangani secara konservatif.8
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada HELLP Syndrome sangat diperlukan,
karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.1
a. Hemolisis
1) Kelainan apusan darah tepi, yaitu ditemukannya sel burr, sel helmet,
schistocyte dan atau fragmentosit.
2) Total bilirubin > 1,2 mg/dL
3) Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
b. Peningkatan enzim hepar
1) Serum AST > 70 U/L
2) LDH > 600 U/L

20
c. Trombositopenia
Hitung trombosit < 100.000/mm3

II.6 Diagnosis Banding HELLP Syndrome


Pasien HELLP syndrome dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat
bervariasi, yang tidak berbeda dengan preeklampsia berat. Akibatnya sering terjadi
salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.4
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi :
1. Perlemakan hati akut dalam kehamilan
2. Apendisitis
3. Gastroenteritis
4. Kolesistitis
5. Batu ginjal
6. Pielonefritis
7. Ulkus peptikum
8. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
9. Trombositopeni purpura trombotik
10. Sindrom hemolitik uremia
11. Ensefalopati dengan berbagai etiologi
12. Sistemik lupus eritematosus

II.7 Tata Laksana HELLP Syndrome


Tatalaksana Awal
Pasien HELLP syndrome harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabikan kondisi ibu, khususnya kelainan
pembekuan darah yang terjadi pada ibu.

21
Penatalaksanaan awal HELLP syndrome 4,5

1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu


a) Jika ada DIC, atasi koagulopati
b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4
c) Terapi hipertensi berat
d) Periksa CT scan atau USG abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
a) Non stress test (NST)
b) Profil biofisik
c) USG untuk memeriksa ada tidaknya IUGR
3) Evaluasi usia kehamilan
a) Jika usia kehamilan ≥ 34 minggu, lahirkan
b) Jika < 34 minggu, berikan terapi glukokortikoid, kemudian lahirkan dalam
waktu 48 jam

Pasien HELLP syndrome harus diterapi MgSO4, untuk mencegah kejang,


baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20% sebagai dosis awal,
diikuti dengan infus 2 gram/jam. Pemberiannya harus diawasi dengan memeriksa
secara rutin produksi urin dan tanda serta gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi
keracunan, segera berikan 10-20 ml kalsium glukonas 10% IV.
Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk sistolik,
dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Obat anti hipertensi yang bisa diberikan
adalah hidralazin bolus 5 mg, bisa diulang 15-20 menit hingga dosis maksimum 20
mg/jam. Obat lain yang bisa diberikan adalah labetolol IV 20-40 mg setiap 10-15
menit hingga dosis maksimum 220 mg dalam 1 jam, atau nifedipin oral 10-20 mg,
dapat diulang dalam 30 menit hingga dosis maksimum 40 mg dalam 1 jam. Selama
periode observasi, kondisi ibu dan janin diperiksa dan diawasi.9
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kesejahteraan janin dengan
NST, profil biofisik atau pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut berguna untuk
menentukan apakah perlu segara mengakhiri kehamilan atau tidak.4
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34
minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu
dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah mengakhiri kehamilan. Jika
tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan
kortikosteroid untuk akselerasi pematangan paru janin. Regimen yang
direkomendasikan adalah betametason (12 mg IM per 24 jam, dua dosis) atau
deksametason (6 mg IM per 12 jam, 4 dosis). Regimen tersebut bermanfaat untuk

22
mempercepat pematangan baru, dan cepat melewati sawar plasenta dengan risiko
kompliksi mineralkortikoid terhadap janin yang minimal.4
Tatalaksana Konservatif
Beberapa penelitian menganjurkan untuk melakukan tatalaksana
konservatif pada pasien HELLP syndrome dengan tujuan untuk memperpanjang
kehamilan pada kasus janin yang masih immatur. Perpanjangan masa kehamilan
bertujuan unuk memperpendek masa perawatan bayi di NICU, dan memperkecil
risiko prematuritas. Terapi yang diberikan adalah bed rest, kortikosteroid dosis
tinggi, dan terapi dengan plasma volume expansion. Tatalaksana tersebut dilakukan
di ICU atau HCU dengan pengawasan ketat terhadap ibu maupun janin. Namun
penatalaksanaan ini cenderung berisiko terhadap perburukan kondisi ibu, yang bisa
terjadi dalam 1 sampai 10 hari. Risiko yang dapat terjadi adalah solusio plasenta,
edema paru, gagal ginjal akut, eklampsia, kematian perinatal, dan kematian ibu.4
Persalinan
Jika HELLP syndrome terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih,
atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada ibu maupun
janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada DIC dan paru janin
belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk mempercepat kematangan paru
dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.4
HELLP syndrome bukan merupakan indikasi segera untuk dilakukannya
terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam menjadi pilihan utama bila
tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks sudah matang, maka dapat dilakukan
induksi persalinan dengan oksitosin per infus. Jika serviks belum matang dapat
dilakukan pematangan serviks dengan menggunakan regimen progtaglandin, atau
dengan SC elektif. Protokol sindrom HELLP dapat dilihat pada bagan di bawah
ini.11,12

23
Sindrom HELLP

- Rujuk ke pelayanan kesehatan tersier (usia kehamilan < 35 minggu)


- Rawat di kamar bersalin
- Berikan MgSO4 IV
- Berikan antihipertensi bila tekanan darah ≥ 160/105 mmHg

- Usia kehamilan < 23 minggu atau tidak viabel


- Fetal distress
- Gawat maternal
DILAHIRKAN
 Eklampsia
 DIC
 Distress pernapasan
 Suspek hematoma hepar

Tidak

24 – 34 minggu ≥ 34 minggu

Pemberian profilaksis
steroid lengkap dalam
waktu 24-48 jam

Tatalaksana Postpartum
HELLP syndrome dapat terjadi baik pada antepartum maupun postpartum.
Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari postpartum, dengan kejadian
tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan. Tatalaksana sindrom HELLP postpartum
hampir mirip dengan sindrom HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang
dan obat antihipertensi. Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak
ada risiko peredaran ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi ketat selama
48 jam pertama postpartum di perawatan intensif. Kebanyakan pasien akan
memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika terjadi perburukan, maka harus
diterapi dan diperiksa ada tidaknya komplikasi atau melakukan pemeriksaan untuk
menyingkirkan diagnosis bandingnya.11

24
Tatalaksana sindrom HELLP postpartum

- Rujuk ke fasilitas kesehatan tersier


- Lanjutkan IV MgSO4
- Obat antihipertensi bila TD ≥ 160/105 mmHg
- Transfusi darah atau produk darah bila perlu

- Mulai atau lanjutkan terapi steroid untuk mencegah rebound trombositopenia


- Lakukan tapering dose steroid dalam 24-48 jam

Observasi :
- Tanda dan gejala hematoma/ infark hepar
- Perubahan rasa nyeri
- Penurunan tekanan darah akut
- Perubahan respirasi, ginjal, atau mental akut

Singkirkan diagnosis
banding sindrom HELLP
- AFLP
- HUS
- Sepsis
- TTP
- SLE
- APLS

II.8 Komplikasi HELLP Syndrome


Komplikasi maternal
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. Sedangkan
morbiditas ibu disebabkan oleh edema pulmo (8%), gagal ginjal akut (3%), DIC
(15%), solusio plasenta (9%), kegagalan atau perdarahan hepar (1%), ARDS, sepsis
dan stroke (<1%). Kehamilan dengan komplikasi sindrom HELLP berhubungan
dengan peningkatan risiko ruptur hepar dan kebutuhan transfusi darah maupun
produk-produk darah. Perkembangan HELLP syndrome pada periode postpartum
meningkatkan risiko gagal ginjal dan edema paru. Adanya solusio plasenta
meningkatkan risiko DIC, kebutuhan transfusi darah, edema paru, dan gagal ginjal.
Pasien dengan asites yang banyak berisiko tinggi mengalami komplikasi
kardiopulmonal.11

25
Komplikasi perinatal
Kematian perinatal mencapai 7,4-20,4%. Kematian perinatal yang tinggi
terutama pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, dan berhubungan dengan
IUGR berat atau solusio plasenta. Angka persalinan prematur mencapai 70%,
dimana 15% terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu. Akibatnya bayi-
bayi dengan kelahiran prematur berisiko tinggi terkena komplikasi akut neonatal
seperti RDS, displasia bronkopulmonal, perdarahan intraserebral dan nekrosis
enterokolitis.4

II.9 Prognosis HELLP Syndrome


Penderita HELLP syndrome mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko sampai
43% untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.1

II.10 Anestesi pada SCTP12


Anestesi diperlukan dalam setiap prosedur SCTP. Teknik anestesi pada
SCTP dibagi dalam dua kategori besar, yaitu anestesi regional dan anestesi general.
Anestesi regional dibagi lagi menjadi anestesi spinal, lumbar epidural, dan
kombinasi spinal-epidural. Teknik anestesi yang banyak digunakan pada SCTP
adalah anestesi regional. Pedoman anestesi obstetrik yang direkomendasikan untuk
SCTP adalah teknik anestesi regional.
Anestesi regional
Anestesi regional dibagi menjadi anestesi spinal, lumbar epidural, dan
kombinasi spinal-eidural. Posisi pasien untuk anestesi spinal adalah duduk atau
lateral decubitus, kemudian disuntikkan cairan hiperbarik tetrakain (7-10 mg),
lidokain (50-60 mg), atau bupivakain (10-15 mg).
Komplikasi tersering anestesi spinal adalah hipotensi karena anestesi
regional dengan epidural blok simpatis dan sensorik yang lebih tinggi atau sampai
vertebra thoracalis II akan menyebabkan vasodilatasi perifer, pelebaran kapiler,
dan penurunan venous return.

26
Anestesi General
Anestesi general biasanya digunakan pada pasien dengan kontraindikasi
untuk dilakukan anestesi regional seperti koagulopati, perdarahan dengan sistem
kardiovaskular yang masih labil, atau prolaps tali pusat dengan bradikardia janin
hebat.
Obat pilihan untuk anestesi general pada seksio sesaria adalah thiopental (4-
5 mg/kgBB) atau propofol (2-2,8 mg/kgBB). Pada keadaan hemodinamik yang
tidak stabil penggunaan thiopental dihindari dan diganti dengan ketamin (1-1,5
mg/kgBB) atau etomidate (0,2 mg/kgBB). Obat-obat anestesi yang dapat melalui
plasenta antara lain agen induksi seperti thiopental dan propofol, agen anestesi
inhalasi seperti halothane dan isoflurane, serta opioid dan agen anestesi lokal.
Asidosis fetus dapat terjadi pada pemakaian anestesi lokal dan opioid. Obat-obat
yang dapat melalui plasenta juga dapat menimbulkan abnormalitas plasenta dan
janin sehingga penggunaannya butuh perhatian khusus.
Komplikasi dari anestesi general adalah aspirasi lambung yang merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu, kegagalan intubasi, hipertensi berat
akibat anestesi yang kurang, dan relaksasi uterus sehingga meningkatkan risiko
perdarahan ibu. Risiko perdarahan yang meningkat menyebabkan angka hematokrit

27
paska operasi rendah dan kehilangan darah saat operasi sehingga memiliki
kecenderungan lebih untuk dilakukan transfusi.

II.11 Pertimbangan Anestesi HELLP Syndrome3


Kelahiran premature pada pasien ini adalah normal dan seringkali dipersulit
dengan Intrauterine Growth Retardation. Maka dari itu, cesar merupakan jalan
keluar terbaik pada pasien dengan HELLP syndrome. Banyaknya keterlambatan
atau kesalahan diagnosa pada kasus ini menjadi peringatan bagi ahli anestesi untuk
peka dan menyadari dengan cepat bahwa wanita hamil dengan nyeri perut, mual,
dan muntah bisa jadi merupakan pasien dengan HELLP syndrome. Kunci utama
untuk mengatasi permasalahan ini adalah menangani hipertensi dan eklampsia,
mempertimbangkan disfungsi dari hati atau ginjal, dan mengurangi ancaman
perdarahan. Pertimbangan pengambilan keputusan anestesi beracuan pada keadaan
ibu dan janin.
Evaluasi preoperatif harus berdasarkan EKG dan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, termasuk jumlah trombosit, tes fungsi hati, konsentrasi kreatinin,
urea, dan adam urat, produk degradasi fibrin, PT dan APTT. Selain itu, transfusi
darah harus diberikan sesuai jumlah hemoglobin. Pada pasien dengan
trombositopenia, tranfusi trombosit disarankan dilakukan pada saat operasi karena
trombosit dipakai oleh tubuh dengan sangat cepat. Pemakaian kateter urin juga
sangat disarankan untuk mengontrol diuresis pasien setiap jamnya.
Penilaian volume intravaskular, kontrol tekanan darah yang tepat, dan
pengawasan hemodinamik harus diperhatikan pada kasus ini. Penurunan volume
intravaskular pada Hellp syndrome biasanya disebabkan oleh tekanan darah yang
sangat tinggi. Penting untuk diingat bahwa pemberian kristaloid yang berlebihan
pada pasien dengan vasospasme, penurunan tekanan onkotik, dan peningkatan
permeabilitas membran kapiler dapat meyebabkan edema pulmo.
Monitoring kadar gula darah direkomendasikan untuk dilakukan karena
beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa hipoglikemia berat pada pasien
HELLP syndrome menunjukkan hubungan dengan kerusakan fungsi hati.

28
Untuk mengatasi kontraksi uterus pada perempuan hamil dengan hipertensi,
oksitosin merupakan pilihan obat utama. Pada kasus krisis hipertensi, ergometrine
tidak dapat diberikan.
Pada beberapa pasien, tekanan darah, jumlah trombosit, dan jumlah dari
enzim hati akan kembali normal pada 40-96 jam postpartum, jadi follow up pada
pasien ini harus dilakukan dengan intensif di ICU. Perdarahan postpartum, DIC,
atau eclampsia dapat menjadi komplikasi yang terjadi.
Tipe Anestesi pada HELLP syndrome
Anestesi regional memberikan banyak keuntungan pada ibu dan janin
dengan HELLP syndrome, tetapi tetap memiliki risiko terkait koagulopati.
Pembengkakan plexus vena epidural dapat menyebabkan hematoma setelah
dilakukan anestesi regional.
Anestesi general memberikan risiko yang lebih besar untuk ibu dan janin.
Risiko tinggi untuk terjadinya depresi napas yang akhirnya mengakibatkan
kematian merupakan salah satu kekurangan anestesi regional. Anestesi tipe ini
dilakukan apabila pasien memiliki kontraindikasi untuk dilakukan anestesi
regional.
Berikut adalah algoritma pemilihan tipe anestesi pada pasien dengan
HELLP syndrome.

29
30
BAB III
KESIMPULAN

HELLP syndrome adalah komplikasi dalam kehamilan yang ditandai


dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan penurunan trombosit. Penegakkan
diagnosis HELLP syndrome adalah berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang
menandakan adanya proses hemolisi, peningkatan enzim hepar, dan penurunan
trombosit. Klasifikasi HELLP syndrome yang sekarang digunakan adalah
klasifikasi menurut Tenesse dan Mississippi. Penatalaksanaan HELLP syndrome
dapat dibagi menjadi tatalaksana awal, tatalaksana konservatif, persalinan, dan
tatalaksana postpartum. Tatalaksana HELLP syndrome harus dilakukan di fasilitas
kesehatan tersier dengan fasilitas yang lengkap. Diperlukan kesepahaman untuk
diagnosis dan tatalaksana HELLP syndrome yang tepat, sehingga dapat
diaplikasikan pada semua fasilitas kesehatan. Begitupun dengan teknik pemilihan
anestesi yang harus dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan matang meliputi
kondisi ibu dan janin.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Haram, K., E. Svendsen, and U. Abildgaard. 2009. The HELLP syndrome :


Cinical issues and management. A Review. BMC Pregnancy and
Childbirth, 9:8.
2. Pokharel, S. K., S. K. Chattopadhyay, R. Jaiswal, and P. Shakya. 2008.
HELLP Syndrome – a pregnancy disorder with poor prognosis. Nepal Med
Coll. J., 10(4) : 260-3.
3. Vellosillo, M, Medina, J. 2016. Anesthetic considerations in HELLP
syndrome. Acta Anaesthesiologica Scandinavica. 60 : 144-57.
4. Rambulangi, J. 2006. Sindrom HELLP. Cermin Dunia Kedokteran, 151 :
24-8.
5. Barton, J. R., B. M. Sibai. 2004. Diagnosis and management of hemolysis,
elevated liver enzymes, and low platelets syndrome. Clinics in Perinatology,
31:807-33.
6. Baxter, J. K., L. Weinstein. 2004. HELLP syndrome : the state of the art.
Obstet Gynecol Surv, 59: 838-45.
7. Dina, S. 2003. Luaran Ibu dan Bayi pada Penderita Preeklampsia Berat dan
Eklampsia dengan atau tanpa Sindrom HELLP.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6228/1/D0300590.pdf. Diakses
tanggal : 17 Juli 2013.
8. Cunningham, F. G., K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, D. J. Rouse,
and C. Y. Spong. Pregnancy Hypertension. In : Williams Obstetrics. 23th
Edition. USA : The McGraw-Hil Companies.
9. Yenicesu, G. I., I. O. Kol, C. Yenicesu, and A. Cetin. 2009. HELLP
(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets) syndrome.
Cumhuriyet Med J, 31: 182-8.
10. Haddad, B, and B. M. Sibai. 2005. Expectant management of severe
preeclampsia: proper candidates and pregnancy outcomes. Clin Obstet
Gynecol, 48: 430-40.
11. O’Brien, J. M., and J. R. Barton. 2005. Controversion with diagnosis and
management of HELLP syndrome. Clin Obstet Gynecol, 48: 460-77.

32
12. Aminah, N. 2013. Perbandingan frekuensi penggunaan anestesi regional
dan anestesi general pada pasien seksio sesaria di RSUP dr Kariadi
Semarang periode Januari 2011- Januari 2013. Jurnal Media Medika Muda.

33

Anda mungkin juga menyukai