Anda di halaman 1dari 34

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
SMF PENYAKIT DALAM LANTAI I RUANG MAWAR RSUD
BAHTERAMAS
Jln. Kapten Pierre Tendean No. 50 Telp (0401) 319611

REFERAT

INDIKASI TRANSFUSI TROMBOSIT PADA

DEMAM BERDARAH DENGUE

Gustavita Maria Bandong

Hartyn Ariskah Hadry

Pembimbing: dr. Haeril Aswar, Sp.PD

1
INDIKASI TRANSFUSI TROMBOSIT PADA DEMAM BERDARAH

DENGUE

Gustavita Maria Bandong, Hartyn Ariskah Hadry

I. Pendahuluan

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri

sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis

hemoragik ditambah tanda-tanda perembesan plasma berupa hemokonsentrasi atau


1
penumpukan cairan di rongga tubuh.

Demam berdarah dengue hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Target Pemerintah untuk menekan

kasus DBD menjadi 20 per 100.000 penduduk di daerah endemis bahkan belum

pernah tercapai. Jumlah kejadian DHF di Indonesia sepanjang bulan Januari–

November 2007 mencapai 127.687 kasus, dengan jumlah kasus meninggal 1296

kasus. Keadaan ini masih menunjukkan peningkatan dari tahun–tahun

sebelumnya.2

Sepanjang tahun 2008 di Indonesia dilaporkan sebanyak 136.339 kasus

dengan jumlah kematian 1.170 orang (CFR = 0,86%, dan IR = 60,06 per 100.000

penduduk). Angka insidens/incidence rate (IR) tertinggi terdapat di Provinsi DKI

Ja- karta (317,09 per 100.000 penduduk) dan terendah di Provinsi Maluku,

sedangkan angka kematian/case fatality rate (CFR) tertinggi terdapat di Provinsi

2
Jambi (3,67%).1,3

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang

disebabkan oleh empat serotipe virus dengue yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4 dengan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi di banyak daerah di dunia. Virus dengue

dapat menyebabkan manifestasi klinis yang bermacam-macam dari asimtomatik

sampai fatal.4

Trombositopeni merupakan salah satu kriteria yang dikemukakan WHO

sebagai diagnosis klinis DHF atau DBD. Trombositopeni tampak pada beberapa

hari setelah demam dan mancapai titik terendah pada fase syok, sedangkan pada

awal demam sampai hari ketiga umumnya jumlah trombosit masih normal,

trombositopeni terjadi setelah hari ketiga sampai hari ketujuh sakit.2

Trombositopenia berat sering terjadi pada fase akut DBD dan merupakan

dilema dalam menangani pasien DBD karena kekhawatiran terjadi perdarahan.

Perdarahan dan koagulopati merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada dengue

dengan tanda bahaya dan dengue berat, akan tetapi penyebabnya multifaktorial

dan bukan semata-mata akibat trombositopenia.1

Transfusi trombosit profilaksis merupakan salah satu penanganan

trombositopenia. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum ada kesepakatan batas

nilai minimum trombosit untuk melakukan transfusi trombosit profilaksis. Di

samping itu, risiko alloimunisasi, reaksi alergi, transmisi infeksi (bakteri, virus,

dan parasit), hingga transfusion related acute lung injury (TRALI) pada transfusi

3
trombosit dapat merugikan pasien.1

Pada dasarnya tata laksana DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan

cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat

perdarahan. Manifestasi perdarahan adalah salah satu komplikasi yang ditakuti dan

berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada DBD. Sejak diperkenalkannya

transfusi trombosit dalam tata laksana DBD, indikasi pasti dan pada situasi apa

transfusi trombosit ini diberikan masih bervariasi. Belum ada panduan yang jelas

tentang pemberian transfusi trombosit. Keputusan pemberian transfusi trombosit

selama ini masih tergantung dari pengalaman para klinisi dan ketersediaan

komponen trombosit. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap terjadinya syok dan

perdarahan pada pasien DBD, menyebabkan praktek pemberian transfusi

komponen darah sering dilakukan secara berlebihan. Banyak dokter memberikan

transfusi demi menghindari kepanikan bukan berdasarkan standar pelayanan

medis. Kumar dkk melaporkan bahwa 35% pasien dengue mendapatkan

profilaksis transfusi trombosit yang tidak perlu dan 89% dari pasien tersebut

mendapat dosis transfusi yang tidak tepat.2,4

II. Epidemiologi

Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis.

Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam

jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968

hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia

sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.5

4
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.Jumlah penderita dan luas

daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas

dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan

di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24

orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak

saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. 5

Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili

Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang

terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam

Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam

kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus

Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-

2, Den-3, Den-4. 5

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41

tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah

provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,

menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi

Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain

itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus

menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus DBD

tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,

5
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan

distribusi penduduk serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan

penelitian lebih lanjut. 5

III. Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk

kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai

genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe,yaituDEN-

1,DEN-2,DEN-3,danDEN- 4. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan

dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik berat.1

Semua serotipe virus Dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia. Infeksi

virus Dengue pada manusia sudah lama ditemukan dan menyebar terutama di

daerah tropik pada abad 18 dan 19 seiring dengan pesatnya perkembangan

perdagangan antar benua. Vektor penyebar virus Dengue yaitu Aedes aegypti pun

ikut menyebar bersama dengan kapal niaga tersebut4. Pada saat terjadi kejadian

luar biasa (KLB) beberapa vektor lain seperti Aedes albopictus, Ae.polynesisensis,

Ae. scutellaris complex ikut berperan.3

IV. Patogenesis Demam Berdarah Dengue

Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan. Teori

yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (seconday heterologous

infection theory) atau teori antibody dependent enhancement (ADE).

Hipotesis infeksi sekunder menyatakan bahwa seseorang yang terinfeksi

6
kedua kalinya dengan virus dengue yang berbeda, maka akan terjadi reaksi

anamnestik dari antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya. Ikatan virus-

antibodi non netralisir ini mengaktivasi makrofag dan akan bereplikasi di

dalam makrofag. Sedangkan teori ADE menyatakan bahwa adanya antibodi yang

timbul justru bersifat mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.6

Siklus intraseluler virus dengue hampir serupa dengan siklus virus lain yang

juga tergolong dalam genus flavivirus. Infeksi virus Dengue dimulai saat vektor

mengambil darah host dan memasukkan virus ke dalamnya. Virus Dengue

berikatan dan masuk ke dalam sel host melalui proses endositosis yang

dimediasi oleh reseptor aÞ nitas rendah seperti DC-Sign (dendritic cells).

Selama terjadi internalisasi dan asidifikasi endosom, virus berfusi dengan

membran vesikuler mengakibatkan masuknya nukleokapsid menuju sitoplasma

dengan genome tanpa amplop (uncoating genome). 6

Selanjutnya proses translasi terjadi di membran retikulum endoplasma, suatu

protein intermediate rantai negatif terbentuk dan menjadi dasar dicetaknya

beberapa rantai RNA virus (vRNA). Sehingga terbentuklah protein virus dalam

jumlah yang banyak. Bersama dengan struktur protein lainnya seperti inti (core),

premembran (prM), dan amplop (E), vRNA akan menjadi cikal bakal virus dengue

yang baru. Pematangan virus terjadi di kompartemen golgi dan akhirnya akan

disekresikan keluar sel menuju sirkulasi. 6

7
Sistim vaskuler

Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas

vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,

sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume

plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung

penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan

hipoproteinemi.7

Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa

perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat.

Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi

dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada

DBD dan DSS melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni dan

kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan

fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita

menunjukkan koagulogram yang abnormal. 7

Sistim respon imun

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak

dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang

berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral

maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen.

Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue

primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang

8
telah ada meningkat (booster effect). 7

Gambar 1. Respon Imun Infeksi Virus Dengue7

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar

demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan

menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar

antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi

primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam

hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.

Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan

mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder

dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM

yang cepat. 7

Patofisiologi DBD dan DSS seringkali mengalami perubahan, oleh karena itu

9
muncul banyak teori respon imun seperti berikut. Pada infeksi pertama terjadi

antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali protein E dan

monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi

akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktifitas

netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan

penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur

hidup terhadap serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi

yang non netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan

penderita menjadi parah; hal ini terjadi apabila epitop virus yang masuk tidak

sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes. 7

Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang

berbeda terjadilah proses berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai super

antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan

Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik

yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang

bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2)

dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai usaha tubuh untuk bereaksi

terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1

yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu INF gama, Il-2 dan CSF (Colony

Stimulating Factor).(8,9) Dimana IFN gama akan merangsang makrofag untuk

mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha. IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang

juga mempunyai efek pada endothelial sel termasuk didalamnya pembentukan

10
prostaglandin dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM -

1). 7

Gambar 2. Patogenesis Demam Berdarah Dengue dan Sindroma Syok

Dengue

Sedangkan CSF (Colony Stimulating Factor) akan merangsang neutrophil,

oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan mudah

mengadakan adhesi Neutrophil yang beradhesi dengan endothel akan

mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endothel lisis dan

akibatnya endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang termasuk

dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitochondria dan

siklus GMPs. Akibatnya endothel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan

endothel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler sehingga

terjadi syok. 7

Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan dipermukaan virus

11
sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+, limfosit T akan teraktivasi yang bersifat

sitolitik, sehingga semua sel mengandung virus dihancurkan dan juga mensekresi

IFN gama dan TNF alpha. 7

V. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi dengue dapat tanpa gejala (asimptomatik), ringan,

berat, hingga mengancam jiwa. Saat ini telah disepakati bahwa infeksi dengue

adalah suatu penyakit yang memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan

penyakit dan outcome yang tidak dapat diramalkan. Panduan terbaru World Health

Organization (WHO) tahun 2009, merupakan penyempurnaan panduan

sebelumnya, yaitu panduan WHO tahun 1997. Redefinisi kasus terutama untuk

kasus infeksi dengue berat. Panduan WHO 1997 mengambil rujukan kasus infeksi

dengue di Thailand yang tidak dapat mewakili semua kasus di belahan dunia lain.

Sering ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke empat kriteria WHO 1997,

namun terjadi syok.1,8

Gambar 3. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8

12
8
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran

lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 4.

8
Gambar 4. Patogenesis dan Spektrum Klinis DBD WHO 1997

13
Infeksi virus dengue memiliki spektrum klinis yang bervariasi mulai dari yang

asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang

lebih berat yaitu demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue. Patofisiologi

yang mendasari perbedaan demam dengue dan demam berdarah dengue adalah

adanya kebocoran plasma pada demam berdarah dengue yang sering berakibat pada

gangguan hemodinamik dan terjadi syok hipovolemik. Abnormalitas hematologi

sering muncul pada demam berdarah dengue termasuk leukopenia, trombositopenia,

gangguan koagulasi juga penekanan sumsum tulang. Infeksi virus dengue dapat

menyebabkan terjadinya perubahan yang kompleks dan unik pada berbagai

mekanisme homeostasis dalam tubuh penderita. Kompleks virus antibodi yang

terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem kaskade koagulasi hingga terbentuknya

suatu fibrin. Di samping itu selain terhadap sistem koagulasi, juga mengaktifkan

sistem fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen yang kesemuanya

memberikan akibat yang kompleks yang ditimbulkan oleh infeksi virus dengue

tersebut.6,9

Mekanisme gejala klinis berupa perdarahan didasari faktor yang multipel, yaitu

trombositopenia, trombopati, vaskulopati, dan koagulasi intravaskuler diseminata

(KID), masa perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan

beberapa kadar faktor koagulasi, hipoÞ brinogenemia dan peningkatan produk

pemecahan fibrin (fibrinogen degradation product). Disamping itu terjadi pula

aktivasi sistem kinin, serta terbentuknya bradikinin. Berbagai kelainan hematologis

telah terbukti menyertai perjalanan penyakit demam berdarah dengue (DBD),

14
keadaan ini dipakai sebagai alat penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan

yang tepat serta untuk penelitian lebih jauh mengenai patofisiologi DBD. 6,9

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis

dan fase pemulihan.

Fase febris

Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema

kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus

ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan

muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie,

perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan

perdarahan gastrointestinal.3,9

Fase kritis

Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai

kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya

berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni

progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.3,9

Fase pemulihan

Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke

intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita

membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. 3,9

15
Gambar 5. Perjalanan Penyakit Demam Berdarah9

Dengue Berat

Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan : 3,9

1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat secara

progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau syok

(takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler (capillary refill

time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang

menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)

2. Adanya perdarahan yang signifikan

3. Gangguan kesadaran

4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen yang

hebat atau bertambah, ikterik)

5. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,

ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya,

16
VI. Diagnosis

Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi

dengue. Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe

demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya

gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja,

rumah yang sakit serupa.3

Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan kesadaran penderita, status

hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda syok dapat dikenal lebih dini,

adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura, apakah ada

hepatomegali/asites/kelainan abdomen lainnya, cari adanya ruam atau ptekie atau

tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak ditemukan maka

lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 % sedangkan

spesifisitasnya mencapai 82 %.3

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan

hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih) menunjukkan

adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung memberikan hasil

yang rendah. 3

Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu

isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus. Imunoglobulin

M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,

meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat

17
terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig

M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,

Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke-14 dengan titer yang rendah

(<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi pada hari

ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur hidup. 3

Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue

(Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan

pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam

darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah,

praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l

yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue

sudah dapat ditegakkan lebih dini. 3

Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita infeksi dengue di

Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset demam)

hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan

sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan spesifisitas

mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR

dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue20. Penelitian lainnya di

Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa memberikan sensitivitas sampai

93,3 %.3

VII. Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.

18
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran

plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.

Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan

terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak

demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan

cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada

kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai

apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap

kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun

asites yang masif perlu selalu diwaspadai.

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi

yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi

saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa

parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.

Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari

karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas

(lambung/duodenum).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD

dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi

dalam 5 kategori, sebagai berikut:

19
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 6).

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (gambar 7).

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 8).

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 9).

8
Gambar 6. Penanganan Tersangka DBD Tanpa Syok

Gambar 7. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang


8
Rawat

20
8
Gambar 8. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

21
8
Gambar 9. Penatalaksanaan Sindroma Syok Dengue pada Dewasa

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya

pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan

kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan

22
terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular,

pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun

koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan

standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih

mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya

dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di

intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem


8
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan

efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan

kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan

hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam

pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kgBB) akan

menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat

sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)

dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu

jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke

dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa

keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga

terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam


8
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

23
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan

yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma

(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang

intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi

jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan

yang mungkin didapatkan hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan

diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan

setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga

kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di

mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik

belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
8
menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

VIII. Patofisiologi Perdarahan dan Trombositopenia pada Demam Berdarah

Dengue

Penyebab perdarahan pada pasien DBD adalah vaskulopati, trombositopenia,

dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskuler diseminata

(KID/DIC) (Gambar 1). Kompleks virus-antibodi mengakibatkan trombositopenia

dan gangguan fungsi trombosit. Selain itu, kompleks virus-antibodi ini

mengaktifkan faktor Hageman (faktor XIIa), sehingga terjadi gangguan sistem

koagulasi dan fibrinolisis yang memperberat perdarahan, serta mengaktifkan

sistem kinin dan komplemen yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas

24
pembuluh darah dan kebocoran plasma, serta meningkatkan risiko KID yang juga

mem- perberat perdarahan yang terjadi.1

Na Nakorn, dkk. melakukan penelitian terhadap sumsum tulang pasien DBD

selama tahap demam akut dan menemukan hiposeluleritas dengan penurunan

megakariosit, eritroblast, dan prekursor mieloid. Temuan ini kemudian dijelaskan

dengan adanya infeksi DENV secara langsung ke sel progenitor hematopoietik dan

sel stroma. Nimmannitya, dkk. mengemukakan bahwa penyebab utama

trombositopenia adalah destruksi trombosit di perifer oleh aktivasi komplemen

seperti ikatan antara trombosit dengan fragmen dan antigen DENV atau secara

langsung oleh DENV. Destruksi trombosit ini terjadi di hati pada fase akut, dan di

limpa pada fase penyembuhan.1

Selain mengalami defisit kuantitatif, juga terdapat gangguan fungsi trombosit.

Endotel vaskuler yang teraktivasi akibat infeksi DENV memberi peluang kepada

trombosit dalam sirkulasi pembuluh darah untuk berinteraksi dengan kolagen

dalam lapisan sub-endotel yang kemudian memicu agregasi trombosit dan

bermuara pada trombositopenia. Para peneliti telah membuktikan bahwa pada

penderita aterosklerosis dan trombosis, peningkatan produksi protrombosis von

Willebrand Factor (vWF) dan penurunan produksi anti- trombosis prostaglandin

I2 (PGI2) oleh endotel yang teraktivasi memicu agregasi trombosit. Diduga

agregasi trombosit pada pasien DBD juga dipicu oleh perubahan kadar vWF dan

PGI2 akibat endotel yang teraktivasi oleh sitokin yang dihasilkan oleh monosit

25
yang mengandung DENV dan T helper-1 (Th-1) yang berfungsi sebagai stress

cells. Peningkatan ekspresi vWF dihubung- kan dengan defisiensi enzim protease

pembelah vWF yang disebut a disintegrin- like and metalloprotease with

thrombos- pondin type 1 domain 13 (ADAMTS13). Defisiensi ADAMTS13 dapat

terjadi akibat faktor genetik, sehingga produksinya tidak memadai, atau akibat

pembentukan antibodi penetralisir anti-ADAMTS13. Suplementasi ADAMTS13

dapat dilakukan dengan cara transfusi fresh frozen plasma (FFP) atau

cryosupernatant.1

Beberapa penelitian menemukan tidak terdapat hubungan signifikan antara

tingkat keparahan penyakit dengan jumlah trombosit. Meskipun trombositopenia

dan hipofibrinogenemia merupakan kelainan hemostatik paling me- nonjol yang

bertanggung jawab pada kejadian perdarahan pada infeksi DENV, trombositopenia

dan koagulopati bukan merupakan prediktor terjadinya perdarahan pada infeksi

DENV. Lye, dkk. mendapatkan insidens perdarahan terjadi pada 6% pasien

dengan trombosit >150.000/ mm3, 12% pada trombosit 100-149.000/ mm3, 11%

pada trombosit 80-99.000/ mm3, 10% pada trombosit 50-79.000/mm3, 11% pada

trombosit 20-49.000/mm3, 13% pada trombosit 10-19.000/mm3, dan 0% pada

trombosit <10.000/mm3 (p=0,22). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

kejadian perdarahan saat masuk rumah sakit tidak tergantung nilai trombosit.

Selain itu, pada pasien sindrom syok dengue anak, Lum, dkk. mendapatkan bahwa

trombositopenia tidak dapat memprediksi kejadian perdarahan hebat pada analisis

26
univariat, yang menjadi prediktor hanyalah syok dan hematokrit rendah. Penelitian

prospektif lain juga mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara skor

perdarahan dengan nilai trombosit.1

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Malavige, dkk. tahun 2006

melaporkan pada pasien DBD dewasa jumlah trombosit <5.000/mm3 secara

signifikan berhubungan dengan manifestasi perdarahan.17 Makroo, dkk. pada

penelitiannya terhadap 225 pasien dengue melaporkan kejadian perdarahan lebih

sering terjadi pada trombosit <20.000/ mm3.1

Faktor risiko terjadinya perdarahan antara lain durasi syok, pemakaian aspirin

atau OAINS, pemberian plasma expander seperti dextran 40 dan Haemaccel

dalam jumlah besar, dan manajemen pada fase febril dan fase toksik yang tidak

tepat. Pemberian cairan intravena untuk menaikkan tekanan darah secara cepat

dapat memperburuk perdarahan akibat peningkatan aliran darah sirkulasi

secaratiba-tiba ke daerah yang mengalami kerusakan vaskuler seperti mukosa

lambung.1

IX. Transfusi Trombosit Profilaksis pada Demam Berdarah Dengue

Prinsip terapi baik dengue tanpa bahaya maupun dengue dengan tanda bahaya

bahkan dengue berat adalah pemberian cairan untuk mempertahankan sirkulasi

darah. Over atau under- treatment akan menghasilkan outcome tidak memuaskan,

sehingga diperlukan pertimbangan klinis tepat termasuk keputusan untuk

melakukan koreksi trombositopenia berat. 1

27
Transfusi trombosit profilaksis didefinisikan sebagai pemberian transfusi

trombosit tanpa adanya manifestasi perdarahan. Pemberian transfusi trombosit ini

masih kontroversial, tetapi banyak digunakan oleh sebagian klinisi meskipun

secara tidak tepat. Survei Whitehorn, dkk. terhadap 306 klinisi dari 20 negara di

seluruh dunia yang sering merawat pasien dengue melaporkan bahwa 112 (37,9%)

klinisi melakukan transfusi trombosit profilaksis dengan berbagai derajat

trombositopenia. Sellahewa berpendapat bahwa transfusi profilaksis pada pasien

dengue tidak mempunyai landasan dan merupakan intervensi irasional dan tidak

tepat. Makroo, dkk. mencatat bahwa kebanyakan pemberian transfusi trombosit

tidak berdasarkan alasan medis, tetapi lebih pada respons terhadap tekanan sosial

oleh pasien dan keluarganya. Demikian pula Kumar, dkk. juga mengamati bahwa

kebutuhan transfusi trombosit kebanyakan akibat reaksi panik klinisi pada epidemi

demam dengue.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama Divisi

Penyakit Tropis dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medis Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia telah membuat pro- tokol penatalaksanaan yang

tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi, praktis dalam

pelaksanaannya, dan mempertimbangkan cost effectiveness. Berdasarkan protokol

tersebut, pemberian transfusi trombosit hanya diindikasikan pada perdarahan

spontan dan massif, yaitu epistaksis tidak terkendali walaupun dengan pemasangan

tampon hidung, hematemesis melena atau hematokesia, hematuria, per- darahan

otak dan perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan 4-5 mL/kgBB/ jam

28
dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1

Panduan transfusi trombosit oleh British Committee for Standardization in

Hematology merekomendasikan pemberian transfusi trombosit profilaksis pada

pasien trombositopenia stabil tanpa faktor risiko perdarahan dengan nilai trombosit

<10.000/ mm3. Directorate of National Vector Borne Diseases Control Program,

India, mengeluarkan panduan serupa, menekankan bahwa transfusi trombosit

profilaksis tidak dibutuhkan pada pasien stabil meskipun trombosit <20.000/mm3.

Panduan praktik klinik Singapura juga merekomendasikan pemberian transfusi

trombosit profilaksis hanya dilakukan pada trombosit <10.000/ mm3 pada pasien

dengan kegagalan fungsi sumsum tulang tanpa adanya faktor risiko perdarahan

tambahan, dan <20.000/mm3 pada pasien dengan faktor risiko perdarahan

tambahan atau terjadi penurunan trombosit yang cepat.1

Eapen, dkk. memberikan tiga langkah untuk menangani pasien dengue berat:


 1. Hindari transfusi trombosit pada pasien infeksi dengue, karena lebih banyak

trombosit akan menyebabkan pemben- tukan sumbat trombosit oleh vWF,

sehingga memperberat kegagalan organ. 2. Jika transfusi trombosit sangat di-

perlukan pada pasien dengan perdarahan serius, sebaiknya dilakukan transfusi

FFP/ cryosupernatant untuk menangani defisiensi ADAMTS13 sebelum transfusi

trombosit. 3. Plasma exchange untuk mengeluarkan kelebihan vWF juga perlu

dipertimbangkan pada pasien dengue berat.

29
The Trial of Platelet Prophylaxis Study of United Kingdom mengevaluasi

keamanan strategi terapi transfusi trombosit saja dengan tanpa transfusi trombosit

pada trombositopenia. Pada pasien sindrom syok dengue yang mendapat transfusi

trombosit profilaksis didapatkan peningkatan trombosit hanya sementara dan akan

kembali ke nilai trombosit sebelum transfusi dalam 5 jam setelah transfusi.1

Penelitian Lye, dkk. dan Assir, dkk. juga menyimpulkan hal yang sama, yakni

transfusi trombosit tidak dapat mencegah perdarahan atau memperpendek durasi

perdarahan yang terjadi dan justru berkaitan dengan efek samping transfusi.

Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa pada pasien infeksi DENV yang stabil

dengan trombosit >10.000/mm3 tidak direkomendasikan untuk pemberian

transfusi trombosit profilaksis.1

Transfusi trombosit meskipun berasal dari donor tunggal, tetap dapat

menimbulkan risiko antara lain alloimunisasi dan penolakan trombosit, reaksi

alergi, febrile non-hemolytic reactions, sepsis, dan TRALI serta infeksi parasit dan

virus. Selain risiko reaksi transfusi tersebut, pemberian transfusi profilaksis juga

akan meningkatkan biaya pengobatan.1

X. Dosis dan Cara Pemberian Transfusi Trombosit pada Demam Berdarah

Dengue

Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan

masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah

trombosit < 100.000/ul, dengan atau tanpa koagulasi intravaskuler. Macam sediaan

30
komponen transfusi terbagi sesuai komponen darah yaitu seluler dan nonseluler.

PRP merupakan salah satu komponen transfusi darah yang diperoleh dari hasil

whole blood/darah lengkap dengan metode pemutaran (sentrifuge) dalam

kecepatan dan durasi waktu tertentu. Sedangkan TC adalah komponen seluler yang

merupakan hasil tahap lanjutan dari proses pemisahan PRP. TC ini dapat diperoleh

dengan cara pemutaran (sentrifuge) darah lengkap segar atau dengan cara

tromboferesis. Keduanya digunakan untuk meningkatkan kadar trombosit pada

kasus DHF sesuai dengan indikasi masing–masing.2

Dosis yang biasanya digunakan pada trombositopenia adalah 1 unit/10 kg BB,

biasanya diperlukan 5-7 unit pada orang dewasa. Satu kantong trombosit pekat

yang berasal dari 450 ml darah lengkap diperkirakan dapat menaikkan jumlah

trombosit sebanyak 9000-11.000/ul/ m2 luas permukaan tubuh; pada dewasa

dengan berat badan 70 kg diperkirakan dapat menaikkan 5000-10.000/ul.2

Bila keadaan penderita mendesak dan memerlukan plasma kaya trombosit,

maka bisa diberikan PRP. Kadang-kadang dari 2 kantong yang berisi masing-

masing 250 cc darah dapat dibuat dua unit plasma kaya trombosit (PRP) dan

selanjutnya dibuat Trombocyte Concentrate (TC). PRP bisa digunakan untuk

mengatasi kebocoran plasma. PRP ini juga diindikasikan pada pasien

trombositopenia pada kasus kejadian luar biasa DHF ketika jumlah trombosit

dibawah 5.000-10.000/mm3.2

XI. Kesimpulan

Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksi DENV yang masih

31
menjadi masalah kesehatan di Indonesia dengan insidens dan angka kematian

cukup tinggi. Trombositopenia yang terjadi, terutama pada akhir fase akut febris,

sering dikait- kan dengan kejadian perdarahan pada DBD sehingga menimbulkan

dilema untuk mengatasinya. Sampai saat ini transfusi trombosit profilaksis pada

DBD masih kontroversial dan belum ada kesepakatan indikasi nilai minimum

trombosit. Dengan menimbang risiko reaksi transfusi dan biaya transfusi

trombosit, transfusi trombosit profilaksis terutama pada kasus DBD stabil dan

tanpa komplikasi perdarahan perlu dipikirkan dengan baik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Mulyo, Sostro. Transfusi trombosit profilaksis pada demam berdarah dengue:


bermanfaat atau merugikan?. SMF Penyakit Dalam, RSUD Siwa, Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan. CDK-235/ vol. 42 no. 12, th. 2015

2. Sumantri T, Suryanto. Difference Number of Thrombocytes in DHF Patients


After Giving the PRP (Platelet Rich Plasma) Transfusion with TC
(Thrombocyte Concentrate). Mutiara Medika. Vol. 11 No. 3: 181-188,
September 2011

3. Sudjana, Primal. 2010. Diagnosis dini penderita DBD dewasa. Buletin Jendela
Epidemiologi, vol.2. Agustus 2010.

4. Wibowo K, Juffrie M, Laksanawati IS, Mulatsih S. Pengaruh transfusi


trombosit terhadap terjadinya perdarahan masif pada demam berdarah dengue.
Sari Pediatri, Vol. 12, No. 6, April 2011. Yogyakarta.

5. Pangribowo S, Tryadi A. 2010. Demam berdarah dengue di Indonesia tahun


1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, vol.2. Agustus 2010.

6. Rena NMRA, Utama S, Parwati TM. Kelainan hematologi pada demam


derdarah dengue. J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3 September 2009.
Denpasar.

7. Soegijanto, Soegeng. Patogenesa dan perubahan patofisiologi infeksi virus


dengue. Ilmu Kesehatan Anak. Unair: Surabaya.

8. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan terapi cairan pada demam
berdarah dengue. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FKUI, RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Medicinus
Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009

9. WHO. 2012. Overview, differential diagnosis and dengue diagnostics. In:


Handbook for Clinical Management of Dengue. Available from:

33
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf, last
accessed March 2016.

34

Anda mungkin juga menyukai