Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah Longsor
Longsor adalah suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah
miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena
pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi (Peraturan
Menteri No. 22/PRT/M/2007). Longsor dapat pula diartikan sebagai perpindahan
sejumlah massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng,
yang merupakan pencampuran tanah dan batuan, secara gravitasional menuju
bagian bawah suatu lereng (Cruden, 1991).
Menurut Dibyosaputro (1999) gerakan massa atau longsor adalah proses
bergeraknya puing - puing batuan (termasuk tanah di dalamnya) secara besar-
besaran menuruni lereng secara lambat hinga cepat oleh pengaruh langsung dari
gravitasi. Gaya yang menahan sejumlah massa tanah tersebut dipengaruhi oleh sifat
fisik tanah dan kemiringan lereng yang terdapat di sepanjang lereng tersebut.
Menurut Wudianto (2000), tanah longsor baru bisa terjadi apabila terdapat tiga
hal berikut ini:
1) Terdapat lereng yang cukup curam sehingga tanah bisa meluncur secara cepat
ke bawah;
2) Adanya lapisan di bawah permukaan tanah yang kedap dengan air; dan
3) Terdapat cukup kandungan air di dalam tanah sehingga tanah yang berada di
atas lapisan kedap menjadi jenuh.
Perubahan gaya yang sering terjadi di atas tanah ditimbulkan oleh pengaruh
kondisi alam maupun tindakan manusia yang tidak terkontrol dan melampaui batas
kemampuan alam. Pengaruh kondisi alam dapat diakibatkan oleh adanya curah
hujan, geologi, karakteristik tanah dan kerapatan vegetasi. Pengaruh tindakan
manusia dapat diakibatkan oleh adanya penggunaan tanah seperti mendirikan
pemukiman yang menempati daerah-daerah berlereng curam, dimana daerah
tersebut sangat rentan terhadap terjadinya longsor. Tanah longsor dapat terjadi
karena intensitas hujan yang tinggi dan lebat, gempa bumi, aktivitas vulkanik,
perubahan aliran air tanah, gangguan dan perubahan lereng oleh karena kegiatan

5
konstruksi atau oleh perbuatan manusia, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut
(Sidle, 2007; Djamaluddin dkk, 2006).

2.2 Klasifikasi Tanah Longsor


Menurut Kementrian ESDM (2008), tanah longsor dibedakan atas 6 jenis yaitu
longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan
tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling
banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan
korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

2.2.1 Longsoran Translasi


Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Menurut Hardiyatmo (2006),
longsoran translasi merupakan gerakan di sepanjang diskontinuitas atau bidang
lemah yang secara pendekatan sejajar dengan permukaan lereng, sehingga gerakan
tanah secara translasi. Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan
tipis pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng
yang ada. Longsoran translasi lempung yang mengandung lapisan pasir atau lanau,
dapat disebabkan oleh tekanan air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut.

Gambar 1. Longsoran Translasi


Sumber : Rumata, 2012

2.2.2 Longsoran Rotasi


Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung. Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran rotasi
mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa
tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasi murni (slump) terjadi
pada material yang relatif homogen seperti timbunan buatan (tanggul).

6
Gambar 2. Longsoran Rotasi
Sumber : Rumata, 2012

2.2.3 Pergerakan Blok


Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir
berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu. Menurut
Hardiyatmo (2006), longsoran blok translasi terjadi pada material keras (batu) di
sepanjang kekar (joint), bidang dasar (bedding plane) atau patahan (faults) yang
posisinya miring tajam.
Longsoran ini banyak terjadi pada lapisan batuan, dengan bidang longsor yang
bisa diprediksi sebelumnya. Longsoran semacam ini sering dipicu oleh penggalian
lereng bagian bawah, dan terjadi jika kemiringan lereng melampaui sudut gesek
dalam (φ) massa batuan di sepanjang bidang longsor. Sudut gesek dalam yang
bertambah dengan kekasaran bidang dasar terjadinya longsor, nilainya dapat
berkurang oleh akibat perubahan iklim akibat pelapukan.

Gambar 3. Pergerakan Blok


Sumber : Rumata, 2012

2.2.4 Runtuhan Batu


Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak
ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga
meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat
menyebabkan kerusakan yang parah.

7
Gambar 4. Runtuhan Batu
Sumber : Rumata, 2012

2.2.5 Rayapan Tanah


Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya
berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali.
Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-
tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

Gambar 5. Rayapan Tanah


Sumber : Rumata, 2012

2.2.6 Aliran Bahan Rombakan


Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air.
Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan
jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai
ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di
daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban
cukup banyak.

Gambar 6. Aliran Bahan Rombakan


Sumber : Rumata, 2012

8
2.3 Penyebab Tanah Longsor
Penyebab tanah longsor dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang membuat
lereng menjadi rentan terhadap keruntuhan atau longsor pada kurun waktu tertentu.
Faktor penyebab dapat disebut sebagai faktor-faktor yang membuat lereng
mengalami kegagalan struktur, yang kemudian membuat lereng menjadi tidak
stabil. Penyebab terjadinya gerakan pada lereng tergantung pada kondisi batuan dan
tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan
penggunaan lahan pada lereng tersebut (Effendi, 2008).
Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis
merupakan kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan
kemiringan sedang hingga terjal, sedangkan dinamis adalah dampak dari aktivitas
manusia termasuk perubahan tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal
tanpa memperhatikan stabilitas lereng (Surono, 2003). Sedangkan menurut Sutikno
(1997), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain:
tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah
hujan dan aktivitas manusia di wilayah tersebut.
Karnawati (2004) dalam Alhasanah (2006) menjelaskan bahwa terjadinya
longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan tanah diantaranya
geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan, serta adanya
proses-proses pemicu gerakan seperti infiltrasi air ke dalam lereng, getaran,
aktivitas manusia / perubahan dan gangguan lahan.

Gambar 7. Proses terjadinya gerakan tanah/batuan dan komponen-komponen


penyebabnya
Sumber : Karnawati, 2004
Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi,
struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling
berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau

9
berpotensi untuk bergerak, kondisi lereng seperti ini disebut sebagai kondisi rentan
untuk bergerak. Gerakan pada lereng akan terjadi apabila ada pemicu gerakan.
Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat
mengubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak.
Darsoatmojo dan Soedrajat (2002) dalam Effendi (2008), menyebutkan bahwa
terdapat beberapa ciri/karakteristik daerah rawan bencana longsor, yaitu:
1) Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang umumnya
belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan akan lapuk,
berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat sarang, gembur,
dan mudah meresapkan air.
2) Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah
pelapukan, bidang luncuran tersebut adalah bidang lemah yang licin dapat
berupa batuan lempung atau batuan breksi yang kompak dan dengan bidang
luncuran tersebut miring ke arah lereng yang terjal.
3) Pada jalur patahan/sesar dapat membuat lereng menjadi terjal dan dengan
adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan sehingga
dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.
4) Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan lereng
menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila daerah tersebut
disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan yang bersifat lembek
dan tebal maka mudah untuk longsor.
5) Apabila pada lereng atas (upslope) terdapat saluran air tanpa bertembok,
persawahan, dan genangan air bila saluran tersebut jebol atau apabila turun
hujan maka air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah dan mengakibatkan
kandungan air dalam massa tanah dan daya ikat tanah menurun sehingga gaya
pendorong pada lereng bertambah yang dapat mengakibatkan lereng menjadi
goyah dan bergerak (longsor).
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor penyebab
terjadinya tanah longsor antara lain sebagai berikut:
1) Topografi atau lereng;
2) Keadaan tanah dan batuan;
3) Curah hujan atau hidrologi;

10
4) Gempa bumi atau keberadaan garis sesar; dan
5) Keadaan vegetasi dan penggunaan lahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam dokumen RBI
(Resiko Bencana Indonesia) tahun 2016 mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab
tanah longsor kedalam 7 parameter, yaitu:
1) Kemiringan lereng;
2) Arah lereng (aspect);
3) Panjang/bentuk lereng;
4) Tipe batuan;
5) Tekstur tanah;
6) Kedalaman tanah (solum); dan
7) Curah hujan tahunan.
Parameter-parameter tersebut digunakan sebagai acuan penyusunan peta
bahaya tanah longsor didasarkan pada justifikasi terhadap ketersediaan data secara
spasial (non-survei). Berdasarkan kajian faktor-faktor penyebab tanah longsor
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.1. Penyebab Bencana Tanah Longsor


No Faktor penyebab tanah longsor Sumber
Penyebab terjadinya longsor bergantung pada kondisi
batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi,
1 Effendi, 2008
curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan
pada lereng tersebut
Penyebab tanah longsor dapat bersifat statis seperti
2 sifat batuan dan lereng, serta bersifat dinamis berupa Surono, 2003
aktivitas manusia (perubahan guna lahan)
Faktor-faktor yang mempengaruhi longsor yaitu
tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan
3 Sutikno, 1997
geologi, keadaan vegetasi, curah hujan dan aktivitas
manusia
Faktor-faktor pengontrol gerakan tanah diantaranya
geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata
5 guna lahan, dan faktor pemicunya yaitu infiltrasi air ke Karnawati, 2004
dalam lereng, getaran, aktivitas manusia / perubahan
dan gangguan lahan.
Karakteristik daerah rawan longsor, yaitu adanya
gunung api, adanya bidang gelincir (diskontinuitas), Darsoatmodjo dan
6
adanya jalur patahan/sesar, adanya pengikisan air Soedrajat, 2002
sungai, dan adanya genangan air permukaan.
Parameter penyebab tanah longsor yaitu kemiringan
lereng, panjang lereng, arah lereng (aspect), tipe
7 RBI, 2016
batuan, tekstur tanah, solum tanah, dan curah hujan
tahunan.

11
Dari Tabel 2.1 peneliti menyimpulkan bahwa faktor penyebab longsor dapat
dikategorikan dalam lima faktor utama yaitu topografi, geologi, tanah, hidrologi
dan penggunaan lahan. Kelima faktor tersebut mengacu pada klasifikasi menurut
RBI, 2016 dan faktor penggunaan lahan secara khusus menurut Karnawati, 2004.
Namun untuk parameter solum/kedalaman tanah tidak digunakan karena
membutuhkan uji laboratorium.

2.3.1 Topografi
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk
di dalamnya adalah perbedaan kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng,
dan posisi lereng (Hardjowigeno, 1993). Topografi ikut berperan dalam
menentukan kecepatan dan volume limpasan permukaan. Dua unsur topografi yang
berpengaruh adalah panjang lereng dan kemiringan lereng (Arsyad, 1989). Unsur
topografi lainnya adalah arah lereng (aspect) yang dimana arah lereng berpengaruh
terhadap aspect (sudut arah dating sinar matahari) yang secara langsung
mempengaruhi variasi suhu lingkungan (Babour dkk, 1980).
Ketiga unsur tersebut (kemiringan lereng, panjang lereng dana rah
lereng/aspect) adalah parameter dasar dari aspek topografi yang merupakan
parameter penyebab bencana tanah longsor.

1. Kemiringan Lereng
Menurut Thornbury (1969) kelerengan merupakan perbandingan antara beda
tinggi suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Kelerengan akan memberikan
gambaran tingkat stabilitas baik tanah maupun batuan. Besar kemiringan lereng
dapat dinyatakan dengan beberapa satuan diantaranya adalah dengan persen (%)
ataupun derajat (°). Van Zuidam (1970) mengklasifikasikan kemiringan lereng
menjadi 7.
Tabel 2.2. Klasifikasi Tipologi Kelas Kemiringan Lereng
No Kelas Lereng (%) Tipologi Lereng
1 0–2% Lereng Datar
2 2–7% Lereng Landai
3 7 – 15 % Lereng Miring
4 15 – 30 % Lereng Agak Curam
5 30 – 70 % Lereng Curam
6 70 – 140 % Lereng Sangat Curam
7 > 140 % Lereng Terjal
Sumber: Van Zuidam, 1970

12
Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting
dalam proses terjadinya longsor, hal ini disebabkan lereng yang terjal akan
memperbesar gaya pendorong. Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0%-15%
akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan diatas 15% potensi untuk
terjadi longsor pada saat musim penghujan dan terjadinya gempa bumi akan
semakin besar. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong
atau peluncur. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air,
air laut, dan angin.
Menurut Karnawati (2001), terdapat 3 tipologi lereng yang rentan terjadi
longsor, yaitu :
a. Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau
tanah yang lebih kompak;
b. Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring searah lereng; dan
c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
Kemantapan suatu lereng tergantung kapada gaya penggerak dan gaya penahan
yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang berusaha
untuk membuat lereng longsor, sedangkan gaya penahan adalah gaya-gaya yang
mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahan ini lebih besar
daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan mengalami gangguan
atau berarti lereng tersebut mantap (Das, 1993; Notosiswojo dan Projosumarto,
1984 dalam Mustafril, 2003).
Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter penyebab utama bencana
tanah longsor. Semakin curam suatu lereng maka semakin besar laju dan jumlah
aliran permukaan sehingga semakin peluang terjadinya longsor juga semakin besar.
Kelas lereng potensial terjadi tanah longsor adalah > 15 % (Karnawati, 2001), hal
ini senada dengan penetapan parameter kemiringan lereng untuk pemetaan bencana
tanah longsor yang dikeluarkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) dalam dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia) tahun 2016.
Dokumen RBI memperlihatkan kelas lereng dan harkat yang
merepresentasikan besar pengaruh suatu kelas. Semakin besar nilai harkatnya maka
semakin besar pengaruh kelas lereng sebagai faktor penyebab bencana tanah
longsor.

13
Tabel 2.3. Klasifikasi Harkat Parameter Kemiringan Lereng Penyusun Peta Bahaya
Tanah Longsor
Parameter Kelas Lereng (%) Nilai Kelas
0 – 15 0
15 – 30 1
Kemiringan Lereng 30 – 50 2
50 – 70 3
> 70 4
Sumber: Dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia), 2016

Berdasarkan karakteristik kelas dan tipologi kemiringan lereng tersebut, maka


dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.4. Karakteristik Parameter Kemiringan Lereng


No Karakteristik Kemiringan Lereng Sumber
Membagi kelas lereng berdasarkan tipologinya yaitu
mulai dari tipologi datar hingga terjal dengan
1 Van Zuidam, 1970
klasifikasi kelas 0-2%, 2-7%, 7-15%, 15-30%, 30
70%, 70-140%, dan >140%
Kelas kemiringan lereng potensial terjadi bencana
2 Karnawati, 2001
longsor adalah >15%
Terdapat lima kelas kemiringan lereng yang diurutkan
berdasarkan tingkat bahaya terhadap tanah longsor
3 RBI, 2016
yang dinotasikan dalam nilai kelas 0 hingga 4 yaitu 0-
15%, 115-30%, 30-50%, 50-70%, dan >70%

Dari Tabel 2.4 peneliti mengambil klasifikasi kelas parameter kermiringan


lereng menurut RBI (2016) yaitu dengan kelas kemiringan 0-15% memiliki nilai
kelas “0” dengan definisi tidak berpotensi longsor, hal ini sejalan dengan
pernyataan Karnawati (2001) bahwa longsor berpotensi hanya pad akelas lereng
>15%. Selanjutnya kelas 15-30% dengan nilai kelas “1”, 30-50% dengan nilai kelas
“2”, 50-70% dengan nilai kelas “3” dan >70% dengan nilai kelas “4”.

2. Panjang Lereng
Panjang lereng (length) merupakan salah satu unsur topografi selain
kemiringan lereng (slope). Panjang lereng dan kemiringan lereng merupakan faktor
yang saling mendukung sebagai penyebab bencana tanah longsor. Lahan yang
mempunyai topografi kasar, yaitu dengan kemiringan dan panjang lereng yang
besar secara alamiah akan mempunyai tingkat potensi longsor yang besar dan
begitupun sebaliknya.
Kondisi kelerengan sangat mempengaruhi terjadinya tanah longsor dalam
hubungannya dengan kecuraman dan panjang lereng. Lahan dengan kemiringan

14
lereng yang curam (30-45 %) memiliki pengaruh gaya berat (gravity) yang lebih
besar dibandingkan lahan dengan kemiringan lereng agak curam (15-30 %) dan
landau (8-15 %). Hal ini disebabkan gaya berat semakin besar sejalan dengan
semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal. Gaya berat ini
merupakan persyaratan mutlak terjadinya proses pengikisan (detachment),
pengangkutan (transportation) dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra,
1999).
Identifikasi panjang lereng dapat dilakukan dengan menggunakan penafsiran
foto udara dan analisis model data elevasi spasial. Klasifikasi panjang lereng dilihat
dari besar kemiringan lerengnya dapat menggunakan klasifikasi menurut Dirjen
RRL Departemen Kehutanan (1998).

Tabel 2.5. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng, Panjang Lereng dan Bentuk Lereng
Kemiringan
Panjang Lereng
Lereng Bentuk Lereng Nilai Kelas
(meter)
(%)
0–8 Sangat Pendek (<50) Cembung 1
8 – 15 Pendek (50 -100) Cekung 2
15 – 25 Cukup Panjang (100 – 200) Lurus 3
25 – 45 Panjang (200 – 500) Kompleks 4
> 45 Sangat Panjang (>500) Kompleks 5
Sumber: Dirjen RRL Departemen Kehutanan, 1998

Dokumen RBI (2016) yang dikeluarkan oleh BNPB juga memasukkan


komponen panjang lereng sebagai parameter dalam penyusunan peta bahaya tanah
longsor. Klasifikasi ini memperlihatkan harkat untuk tiap kelas panjang lereng
dengan kriteria bahwa semakin besar nilai kelasnya maka pengaruh terhadap
bencana tanah longsor juga semakin besar.

Tabel 2.6. Klasifikasi Harkat Parameter Panjang Lereng Penyusun Peta Bahaya Tanah
Longsor
Kelas Panjang Lereng
Parameter Nilai Kelas
(meter)
< 200 1
200 – 500 2
Panjang Lereng
500 – 1000 3
> 1000 4
Sumber: Dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia), 2016
Berdasarkan karakteristik kelas parameter panjang lereng yang didasarkan
pada tipologi kemiringan dan bentuk lereng tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa:

15
Tabel 2.7. Karakteristik Parameter Panjang Lereng
No Karakteristik Panjang Lereng Sumber
Mengelompokkan panjang lereng kedalam lima kelas
berdasarkan karakteristik kemiringan lereng dan
bentuk lereng. Kelas panjang lereng diberikan notasi Dirjen RRL Dept.
1
mulai dari sangat pendek hingga sangat panjang yaitu Kehutanan, 1998
<50 meter, 50-100 meter, 100-500 meter dan >500
meter
Klasifikasi dari RBI (2016) memperlihatkan
keterkaitan antara besar panjang lereng dan potensinya
terhadap bencana longsor yang direpresentasikan
2 RBI, 2016
melalui nilai/harkat tiap kelas. Terdapat empat kelas
panjang lereng yaitu <200 meter, 200-500 meter, 500-
1000 meter dan >1000 meter

Dari Tabel 2.7 peneliti mengambil klasifikasi kelas parameter panjang lereng
menurut RBI (2016). RBI melakukan pengkelasan dengan melihat keterkaitan
antara besar panjang lereng dan potensi kejadian bencana tanah longsor
menghasilkan notasi nilai kelas panjang lereng. Panjang lereng kelas <200 meter
memilki nilai sebesar “1”, seterusnya kelas 200-500 meter dengan nilai “2”, kelas
500-1000 meter dengan nilai “3” dan kelas >1000 meter dengan nilai “4”.

3. Arah Kemiringan Lereng (Aspect)


Arah kemiringan lereng (aspect) menggambarkan arah hadap dari sebuah
permukaan (surface). Aspect mengindikasikan arah kemiringan dari laju
maksimum perubahan nilai sebuah sel dibandingkan sel di sekelilingnya. Dalam
analisis surface, keluaran dari perhitungan aspect adalah derajat sesuai arah mata
angin, seperti dapat dilihat pada (Gambar 8). Fungsi dari aspect adalah untuk
mencari arah dari penurunan yang paling tajam (steepest down-slope direction) dari
masing-masing sel ke sel-sel tetangganya. Nilai output adalah arah aspect: ‘0’°
adalah tepat ke utara, ‘90’° adalah timur, dan seterusnya.

Gambar 8. Nilai aspect berdasarkan arah mata angin


Sumber: Hasan, 2012

16
Menurut Howard dan Mitchell (1985), aspect memiliki pengaruh yang besar
terhadap komposisi suatu spesies tumbuhan. Arah lereng berpengaruh pada aspect
(sudut arah datang sinar matahari) yang secara langsung mempengaruhi variasi
suhu lingkungan (Babour dkk, 1980). Perbedaan variasi suhu lingkungan ini
mempengaruhi pertumbuhan hingga distribusi tumbuhan.
Tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran vegetasi, aspect juga
berdampak kepada kondisi fisik tanah (daya pengikat air dalam tanah). Semakin
besar intensitas paparan sinar matahari pada suatu daerah maka akan menyebabkan
air di permukaan tanah menjadi menguap dalam jumlah besar. Penguapan ini
kemudian akan menyebabkan munculnya pori-pori tanah dan juga keretakan
sehingga ketika hujan, maka air dengan cepat mengisi retakan-retakan tersebut dan
menjadikan tanah mengambang dengan cepat menyebabkan air mengalami
kejenuhan dalam waktu yang sangat singkat dan memicu terjadinya longsor.
Arah lereng memainkan peran penting dalam penilaian stabilitas lereng
(Chaunhan dkk, 2010 dalam Rasyid, 2016). Indikator utama parameter aspect
adalah besar intensitas paparan sinar matahari terhadap arah hadap/kemiringan
lereng. Arah lereng di identifikasi berdasarkan posisi arah mata angin terhadap arah
hadap lereng.
Penelitian kerentanan bencana tanah longsor yang dilakukan oleh Rasyid
(2016) di wilayah pegunungan Lompobattang, Provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan arah hadap lereng ke selatan, barat daya dan barat memiliki tingkat
kemungkinan bencana longsor tinggi karena menerima sinar matahari dalam jumlah
besar. Sedangkan untuk arah hadap ke timur, tenggara dan barat laut menerima sinar
matahari lebih sedikit. Sehingga untuk parameter arah lereng (aspect) dapat
ditentukan harkat kelas dengan indikator bahwa semakin besar nilai kelasnya maka
semakin berpengaruh terhadap bencana tanah longsor.

Tabel 2.8. Klasifikasi Harkat Parameter Arah Lereng (aspect) terhadap Bahaya Tanah
Longsor
Parameter Kelas Arah Lereng Nilai Kelas
Datar 0
Timur 1
Tenggara 2
Arah Lereng (aspect)
Barat Laut 3
Timur Laut 4
Utara 5

17
Parameter Kelas Arah Lereng Nilai Kelas
Selatan 6
Barat 7
Barat Daya 8
Sumber: Rasyid, 2016

Berdasarkan karakteristik kelas parameter arah lereng (aspect) yang didasarkan


pada sudut arah hadap lereng terkait intensitas paparan sinar matahari tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.9. Karakteristik Kelas Parameter Arah Lereng (aspect)


No Karakteristik Arah Lereng Sumber
Bahwa arah hadap suatu lereng berpengaruh pada
sudut arah datang sinar matahari yang secara langsung
1 Babour dkk, 1980
mempengaruhi variasi suhu lingkungan pada lereng
tersebut
Arah hadap lereng ke selatan, barat daya dan barat
memiliki tingkat kemungkinan bencana longsor tinggi
2 karena menerima sinar matahari dalam jumlah besar. Rasyid, 2016
Sedangkan untuk arah hadap ke timur, tenggara dan
barat laut menerima sinar matahari lebih sedikit

Dari Tabel 2.9 peneliti mengambil kesimpulan bahwa parameter arah lereng
ditinjau dari potensinya terhadap kejadian bencana longsor dipengaruhi oleh besar
intensitas paparan sinar matahari dilihat dari arah hadap suatu lereng. Berdasarkan
hasil penelitian Rasyid (2016) besar paparan sinar matahari terhadap arah hadap
lereng mulai dari yang terkecil secara berurutan adalah arah timur, tenggara, barat
laut, timur laut, utara, selatan, barat dan barat daya.

2.3.2 Geologi (Tipe Batuan)


Faktor geologi berpengaruh terhadap potensi longsor berdasarkan susunan dan
sifat litologi batuan. Sifat batuan ditentukan oleh asal batuan dan komposisi mineral
yang berpengaruh terhadap kepekaan terhadap erosi dan longsor. Secara umum
sifat-sifat teknis batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral,
kekar/bentuk gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca dan
sedimentasi/rekatan (Rahmat 2010). Berdasarkan klasifikasi BBSDLP (2009).
Batuan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya terdiri dari 3 jenis yaitu batuan
sedimen, vulkanik dan alluvial.

18
1. Batuan Vulkanik
Batuan vulkanik merupakan batuan gunung api yang tidak teruraikan dan
terdiri dari tufa, breksi dan lava. Jenis ini memiliki sifat lulus air dan biasanya
merupakan akuifer atau daerah imbuhan air yang baik. Dalam kejadian tanah
longsor batuan vulkanik biasanya merupakan bidang gelincir karena sifatnya yang
kompak apabila tanah di atasnya jenuh air (Wilopo dan Agus, 2005).
2. Batuan Sedimen
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut dan
pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan tersebut
terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki
permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak mempunyai
rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat lulus air sehingga
menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau dapat berfungsi sebagai imbuhan
air.
3. Batuan Alluvial
Batuan aluvial merupakan batuan berbahan resent atau hasil endapan proses
geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Jenis batuan ini
merupakan akuifer serta bisa berfungsi sebagai imbuhan tanah air dangkal.
Tiap jenis batuan tersebut secara umum memiliki tingkat kepekaan yang
berbeda-beda terhadap bencana tanah longsor didasarkan sifat-sifat teknisnya.

Tabel 2.10. Klasifikasi Kelas Tipe Batuan Berdasarkan Sifat Teknisnya


Kepekaan
No Tipe Batuan terhadap Keterangan
Longsor
Formasi batuan vulkanik merupakan batuan gunung
api yang tidak teruraikan. Batuan ini memiliki sifat
Batuan
1 Tinggi kepekaan terhadap longsor tinggi. Batuan vulkanik
Vulkanik
terdiri atas satuan batuan gunung api muda, gunung
api tua dan batuan intrusi.
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk
dari lingkungan laut dan pesisir serta perairan lain
Batuan sampai batuan tersebut terangkat menjadi daratan
2 Sedang
Sedimen pada masa lalu. Batuan ini memiliki sifat kepekaan
terhadap longsor sedang. Batuan sediamen terdiri
atas satuan batuan tersier dan gamping.
Batuan alluvial merupakan batuan hasil endapan
Batuan
3 Rendah proses geodinamika. Batuan ini memiliki sifat
Alluvial
kepekaan terhadap longsor rendah.
Sumber: Yunianto, 2011

19
Tingkat kepekaan longsor untuk tipe batuan yang dikemukakan oleh Yunianto
(2011) sejalan dengan klasifikasi harkat parameter tipe batuan yang dikeluarkan
oleh BNPB dalam dokumen RBI tahun 2016. Klasifikasi harkat ini memperlihatkan
nilai kelas tiap tipe tanah yang dimana semakin besar nilainya maka pengaruh
terhadap bencana tanah longsor juga besar.

Tabel 2.11. Klasifikasi Harkat Parameter Tipe Batuan Penyusun Peta Bahaya Tanah
Longsor
Parameter Kelas Tipe Batuan Nilai Kelas
Batuan Alluvial 1
Tipe Batuan Batuan Sedimen 2
Batuan Vulkanik 3
Sumber: Dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia), 2016

Berdasarkan karakteristik kelas parameter tipe batuan yang didasarkan pada


tingkat kepekaannya terhadap longsor tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.12. Karakteristik Parameter Tipe Batuan


No Karakteristik Tipe Batuan Sumber
Batuan berdasarkan asal bentuknya dibagi atas tiga
1 BBSDLP, 2009
yaitu batuan vulkanik, sedimen dan alluvial
Yunianto mengientifikasi tiga tipe batuan menurut
tingkat kepekaannya terhadap longsor yaitu batuan
2 vulkanik memiliki kepekaan tinggi, batuan sedimen Yunianto, 2011
kepekaan sedang dan batuan alluvial dengan tingkat
kepekaan rendah
Terdapat tiga kelas tipe batuan yang dinotasikan dalam
3 bentuk nilai kelas untuk melihat besar pengaruh yang RBI, 2016
diberikan terhadap kejadian longsor

Dari Tabel 2.12 peneliti mengambil kesimpulan terdapat tiga kelompok batuan
berdasarkan tipenya dan masing-masing batuan memiliki tingkat kepekaan yang
berbeda-beda ditinjau dari karakteristiknya. Batuan Alluvial memiliki kepekaan
rendah sehingga diberikan notasi “1”, batuan Sedimen dengan kepekaan sedang
diberikan notasi “2” dan batuan Vulkanik tingkat kepekaan tinggi diberi notasi “3”.
Notasi yang diberikan mewakili besar tingkat kepekaannya sehingga disimpulkan
batuan Vulkanik memiliki tingkat kepekaan tertinggi dan batuan Alluvial dengan
kepekaan terendah.

2.3.3 Tekstur Tanah


Tekstur tanah adalah kehalusan atau kekasaran bahan tanah pada perabaaan
berkenaan dengan perbandingan berat antar fraksi tanah. Jadi, tekstur adalah

20
ungkapan agihan besar zarah tanah atau proporsi nisbi fraksi tanah
(Notohadiprawiro, 2000).
Tekstur tanah penting kita ketahui, oleh karena komposisi ketiga fraksi butir-
butir tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan kimia
tanah. Sebagai contoh besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion di dalam tanah
amat ditentukan oleh tekstur tanah. Jika beberapa contoh tanah ditetapkan dan
dianalisis, maka hasilnya selalu memperlihatkan bahwa tanah itu mengandung
partikel-pertikel yang beraneka ragam ukurannya, ada yang berukuran koloid,
sangat halus, kasar dan sangat kasar (Bale, 1986).
Menurut Hardjowigeno (1987) bahan-bahan tanah yang halus dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:
1) Pasir : 2 mm - 0,05 mm
2) Debu : 0,05 mm - 0,002 mm
3) Lempung : < 0,002 mm
Menurut Hardjowigeno (1992) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya
tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir, debu dan liat.
Tekstur tanah dikelompokkan dalam 12 kelas tekstur. Kedua belas kelas tekstur
dibedakan berdasarkan prosentase kandungan pasir, debu dan liat.

Tabel 2.13. Klasifikasi Tekstur Tanah berdasarkan Proporsi (%) Fraksi Tanah
Proporsi (%) fraksi tanah
No Kelas Tekstur Tanah
Pasir Debu Liat
1 Pasir (Sandy) 85 15 10
2 Pasir Berlempung (Loam Sandy) 70-90 30 15
3 Lempung Berpasir (Sandy Loam) 40-87,5 50 20
4 Lempung (Loam) 22,5-52,5 30-50 10-30
Lempung Liat Berpasir (Sandy-Clay-
5 45-80 30 20-37,5
Loam)
Lempung Liat Berdebu (Sandy-silt
6 20 40-70 27,5-40
loam)
7 Lempung Berliat (Clay Loam) 20-45 15-52,5 27,5-40
8 Lempung Berdebu (Silty Loam) 47,5 50-87,5 27,5
9 Debu (Silty) 20 80 12,5
10 Liat Berpasir (Sandy-Clay) 45-62,5 20 37,5-57,5
11 Liat Berdebu (Silty-Clay) 20 40-60 40-60
12 Liat (Clay) 45 40 40
Sumber: Saefuddin, 1989

Tekstur tanah yang merupakan kandungan fraksi butir-butir tanah dapat di


identifikasi pada setiap jenis tanah. Identifikasi ini dianggap penting untuk proses

21
generalisasi kelas tekstur di tiap jenis tanah berdasarkan sistem klasifikasi yang
digunakan. Berikut merupakan klasifikasi kelas tekstur tanah untuk jenis tanah
menggunakan sistem Dudol-Soepraptohardjo (1957-1961).

Tabel 2.14. Klasifikasi Kelas Tekstur Tanah pada Jenis Tanah


No Jenis Tanah Kelas Tekstur Tanah
Pasir (Sandy) sampai Lempung Liat Berdebu
1 Regosol
(Sandy-silt loam)
2 Latosol Liat (Clay)
3 Mediteran Lempung (Loam) sampai Liat (Clay)
4 Grumosol Lempung Berliat (Clay Loam) sampai Liat (Clay)
Debu (Silty), Lempung Berdebu (Silty Loam)
5 Andosol
sampai Lempung (Loam)
6 Rendzina Liat (Clay)
Sumber: Bale, 1996 & Wirjodiharjo, 1963

Tekstur tanah merupakan salah satu parameter penyebab bencana tanah longsor
dengan kriteria bahwa semakin halus tekstur semakin luas permukaan butir tanah,
maka semakin banyak kemampuan menyerap air, sehingga semakin besar
peranannya terhadap kejadian tanah longsor. Jenis tanah yang kurang padat adalah
tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng
lebih dari 20%. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor
terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan
tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika suhu terlalu panas.
Dokumen RBI tahun 2016 yang dikeluarkan oleh BNPB juga memasukkan
komponen tekstur tanah sebagai parameter dalam penyusunan peta bahaya tanah
longsor. Klasifikasi ini memperlihatkan harkat untuk tiap tekstur tanah dengan
kriteria bahwa semakin besar nilai kelasnya maka pengaruh terhadap bencana tanah
longsor juga semakin besar.

Tabel 2.15. Klasifikasi Harkat Parameter Tekstur Tanah Penyusun Peta Bahaya Tanah
Longsor
Parameter Kelas Tekstur Tanah Nilai Kelas
Berpasir 1
Tipe Tanah
Berliat – Berpasir 2
(Tekstur Tanah)
Berliat 3
Sumber: Dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia), 2016

Berdasarkan karakteristik kelas parameter testur tanah yang didasarkan pada


tingkat fraksi jenis tanah dan pengaruhnya terhadap longsor tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa:

22
Tabel 2.16. Karakteristik Parameter Tekstur Tanah
No Karakteristik Tekstur Tanah Sumber
Tekstur tanah terbagi kedalam 12 kelas tekstur yang
1 dibedakan berdasarkan proporsi kandungan pasir, debu Saefuddin, 1989
dan liat
Melakukan klasifikasi kelas tekstur tanah secara umum
dilihat dari jenis tanahnya yaitu tekstur berpasir sampai
liat berdebu merupakan jenis tanah regosol, tekstur
Bale, 1996 dan
2 lempung sampai liat adalah tanah medoteran dan
Wirjodiharjo, 1963
grumosol, tekstur debu sampai lempung adalah tanag
andosol dan tekstur liat merupakan tanah litosol dan
rezina
RBI membagi tekstur tanah kedalam tiga kelas
berkaitan dengan tingkat kepekaan terhadap bencana
3 longsor. Setiap teksur diberikan notasi dari nilai RBI, 2016
terendah sampai tertinggi (1 - 3) yang memperlihatkan
besar tingkat kepekaannya terhadap longsor

Dari Tabel 2.16 peneliti mengambil kesimpulan bahwa terdapat tiga kelas
terkstur tanah menurut RBI (2016) yang diklasifikasikan menurut pengaruhnya
terhadap bencana longsor yaitu tekstur berpasir, berliat-berpasir dan berliat. Tekstur
tanah tersebut juga dapat di ketahui melihat dari jenis tanah secara umum.

2.3.4 Intensitas Curah Hujan


Curah hujan adalah faktor pemicu (trigger) bencana tanah longsor, yaitu
apabila tanah yang jenuh dengan air maka kondisi antara dua lapisan yang berbeda
akan lebih mudah meluncur dikarenakan tanah tersebut licin, atau karena gaya
kohesi tanah yang semakin lemah dan tidak stabil sehingga menimbulakan bahaya
tanah longsor. Butir-butir air hujan yang menerpa tanah dan batuan akan
memperlemah daya ikat butir-butir dan fraksi-fraksi. Sedangkan aliran permukaan
yang telah mengandung materi hasil kekuatan butir hujan akan memperbesar daya
kikis aliran permukaan tersebut tersebut.
Terdapat dua tipe hujan, yaitu tipe hujan deras yang dapat mencapai 70
mm/jam atau lebih dari 100 mm/hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu
longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada
tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, curah hujan
kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang
tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu hingga
lebih satu bulan (Effendi, 2008).

23
Secara umum hujan dapat menyebabkan peningkatan presipitasi dan kejenuhan
tanah serta naiknya muka air tanah. Dengan tingkat intensitas curah hujan yang
tinggi dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan sehingga terjadi erosi pada
kaki lereng dan berpotensi menambah besaran sudut kelerengan yang akan
berpotensi menyebabkan longsor (Rasyid dkk, 2012). Mengacu pada hal tersebut
maka dibutuhkan pengkelasan dengan harkat untuk mengidentifikasi besar
pengaruh suatu kelas intensitas curah hujan terhadap bencana tanah longsor.
Pengkelasan parameter curah hujan menggunakan harkat telah dikeluarkan
oleh BNPB dalam dokumen RBI tahun 2016. Sistem harkat diberikan untuk
mengetahui besar pengaruh aspek curah hujan terhadap bencana longsor dalam
kurun waktu tahunan, semakin besar nilai kelasnya maka pengaruh terhadap
longsor juga semakin besar.

Tabel 2.17. Klasifikasi Harkat Parameter Curah Hujan Penyusun Peta Bahaya Tanah
Longsor
Parameter Kelas Curah Hujan Nilai Kelas
< 2000 1
Intensitas Curah Hujan
2000 – 3000 2
Tahunan (mm)
> 3000 3
Sumber: Dokumen RBI (Resiko Bencana Indonesia), 2016

Berdasarkan karakteristik kelas parameter intensitas curah hujan berdasarkan


klasifikasi kelas curah hujan tahunan serta tingkat kepekaannya terhadap bencana
longsor, maka dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.18. Karakteristik Parameter Intensitas Curah Hujan


No Karakteristik Curah Hujan Sumber
Terdapat dua tipe hujan yaitu hujan deras yang sangat
efektif memicu longsor pada lereng yang mudah
1 menyerap air dan hujan normal yang dapat Effendi, 2008
menyebabkan longsor apabila hujan berlangsung
seelama beberapa minggu hingga sebulan
Tingkat curah hujan yang tinggi akan menyebabkan
2 terjadinya aliran permukaan sehingga terjadi erosi di Rasyid dkk, 2012
kaki lereng dan berpotensi menyebabkan longsor
RBI membagi parameter curah hujan kedalam tiga
kelas berdasarkan kaitannya terhadap tingkat kepekaan
3 bencana tanah longsor. Tingkat kepekaan tersebut di RBI, 2016
definisikan kedalam bentuk nilai/harkat kelas, semakin
tinggi nilai maka tingkat kepekaannya semakin besar

Dari Tabel 2.18 peneliti menyimpulkan bahwa semakin tinggi intensitas curah
hujan pada suatu wilayah maka semakin besar potensi terjadinya longsor. RBI

24
terlah melakukan pengelompokkan curah hujan kedalam tiga kelas pada kurun
waktu tahunan dalam satuan millimeter (mm). Ketiga kelas mempunyai harkat yang
menggambarkan tingkat kepekaan terhadap longsor yaitu semakin besar
nilai/harkatnya maka semakin besar potensi terjadinya longsor.

2.3.5 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan merupakan bagian dari aktivitas manusia, penggunaan lahan
memainkan peran penting dalam proses terjadinya tanah longsor, terutama untuk
merespon pengaruh-pengaruh eksternal dari curah hujan khususnya. Pengaruh yang
diberikan terhadap tanah longsor berbeda-beda, tergantung kepada jenis
penggunaan lahannya.
Lahan yang kehilangan vegetasi penutup akan menjadi retak pada musim
kemarau dan pada musim hujan air akan mudah meresap ke dalam lapisan tanah
sehingga menyebabkan lapisan tanah menjadi jenuh air dan bepeluang untuk terjadi
tanah longsor terutama pada wilayah dengan lereng yang terjal.
Penggunaan lahan seperti persawahan maupun tegalan dan semak belukar,
terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lahan terjal umumnya
sering terjadi tanah longsor. Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi,
sehingga perakaran sebagai pengikat tanah menjadi berkurang dan mempermudah
tanah menjadi retak-retak pada musim kemarau. Pada musim penghujan air akan
mudah meresap ke dalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat
menyebabkan lapisan tanah menjadi jenuh air. Hal demikian cepat atau lambat akan
mengakibatkan terjadinya longsor atau gerakan tanah (Wahyunto, 2007).
Karnawati (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan dapat menjadi faktor
pengontrol gerakan tanah dan meningkatkan risiko gerakan tanah karena
pemanfaatan lahan akan berpengaruh pada tutupan lahan (land cover) yang ada.
Tutupan lahan dalam bentuk tanaman-tanaman hutan akan mengurangi
erosi/longsor. Adapun tutupan lahan dalam bentuk permukiman, sawah dan kolam
akan rawan terhadap erosi, apalagi lahan tanpa penutup akan sangat rawan terhadap
erosi/longsor yang akan mengakibatkan gerakan tanah.
Pola tanam yang tidak tepat justru berpotensi meningkatkan bahaya longsor.
Jenis tanaman apa pun yang ditanam saat rehabilitasi harus sesuai dengan kondisi
geofisik dan sejalan dengan tujuan akhir rehabilitasi lahan. Pohon yang cocok

25
ditanam di lereng curam adalah yang tidak terlalu tinggi, namun memiliki
jangkauan akar yang luas sebagai pengikat tanah (Surono, 2003).
Secara umum yang dapat menyebabkan longsor adalah yang berhubungan
dengan pembangunan infrastruktur seperti pemotongan lereng yang merubah
kelerengan, hal ini juga akan merubah aliran air permukaan dan muka air tanah.
Penggundulan hutan maupun penggunaan lahan yang tidak memperhatikan
ekosistem dapat pula memicu terjadinya gerakan tanah.

Tabel 2.19. Klasifikasi Pemanfaatan Lahan


No Pemanfaatan Lahan Keterangan
1 Hutan tidak sejenis Tidak peka terhadap erosi
2 Hutan sejenis Kurang peka terhadap erosi
3 Perkebunan Agak peka terhadap erosi
4 Permukiman, Sawah, Kolam Peka terhadap erosi
5 Tegalan, Tanah terbuka Sangat peka terhadap erosi
Sumber: Karnawati, 2005

Setelah mengetahui karakteristik dari tiap penggunaan lahan serta kepekaannya


terhadap bencana longsor, maka perlu juga untuk diketahui harkat untuk tiap jenis
guna lahannya. Harkat ini berfungsi untuk mengukur pengaruh dari kelas jenis
lahan terhadap bencana tanah longsor, semakin besar nilai kelasnya maka
pengaruhnya juga akan semakin besar (Puslitnak Bogor, 2004 dalam Rahmat,
2010).

Tabel 2.20. Klasifikasi Harkat Penggunaan Lahan


Penggunaan Lahan Nilai Kelas
Tambak, waduk dan perairan 1
Kota/permukiman, bandara dan lapangan 2
Hutan dan perkebunan 3
Semak-belukar 4
Tegalan, sawah 5
Sumber: Puslitnak Bogor (2004) dalam Rahmat (2010)

Berdasarkan karakteristik kelas parameter penggunaan lahan berdasarkan


klasifikasi pemanfaatan lahan dan tingkat kepekaannya terhadap bencana longsor,
maka dapat disimpulkan bahwa:

Tabel 2.21. Karakteristik Parameter Penggunaan Lahan


No Karakteristik Penggunaan Lahan Sumber
Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi
menyebabkan perakaran sebagai pengikat tanah
1 Wahyunto, 2007
menjadi berkurang dan mempermudah tanah menjadi
retak sehingga berpotensi terjadi longsor

26
No Karakteristik Penggunaan Lahan Sumber
Karnwati mengklasifikasikan pemanfaatan lahan
kedalam lima kelas berdasarkan tingkat kepekaannya
2 Karnawati, 2005
terhadap erosi dengan tegalan/tanah terbuka yang
memiliki kepekaan tertinggi
Mengklasifikasikan penggunaan lahan menjadi lima Puslitnak Bogor
3 jenis berdasarkan harkat yang menilai besar pengaruh (2004) dalam
terhadap potensi tanah longsor Rahmat (2010)

Dari Tabel 2.21 peneliti mengambil klasifikasi kelas parameter penggunaan


lahan berdasarkan klasfikasi dari Puslitnak Bogor (2004) yang memberikan
penilaian harkat untuk tiap jenis penggunaan lahan terkait pengaruhnya terhadap
potensi bencana longsor. Klasifikasi tersebut sesuai dengan pernyataan dari
wahyunto (2007) bahwa penutupan lahan yang minim berpotensi terjadi longsor
sebagai contoh guna lahan tegalan dan sawah.

2.4 Metode Pemetaan Bencana Tanah Longsor


Bencana tanah longsor merupakan suatu peristiwa alam maupun buatan manusia
yang mengakibatkan dampak besar bagi kehidupan manusia, sehingga dalam
penanganan bencana ini perlu dilakukan pemetaan wilayah rawan longsor serta
penyebab utamanya sehingga bentuk penanganan yang dilakukan dapat berjalan
dengan baik. Pemetaan kerawanan merupakan salah satu jenis informasi spasial yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan penanganan bencana struktural maupun
nonstruktural.
Menurut Ruff dan Czurda (2007), analisa tentang kerawanan longsor sudah
banyak diteliti oleh para ahli dengan berbagai metode dan pendekatan. Penilaian
kerawanan tanah longsor dibagi menjadi metode pemetaan secara langsung,
pendekatan deterministik, pendekatan statistik, dan pendekatan heuristik. Pendekatan
deterministik didefinisikan sebagai metode yang dilakukan dengan cara menganalisis
stabilitas suatu lereng. Metode deterministik mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat
digunakan pada area yang luas, karena membutuhkan data fisik lahan yang detail dan
bersifat homogen pada wilayah tersebut. Keuntungannya yaitu dapat digunakan pada
skala yang besar.
Pendekatan statistik yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
menggabungkan beberapa parameter yang diyakini berpengaruh terhadap kejadian
longsor. Kelemahan dari metode statistik ini yaitu membutuhkan basis data yang
mampu mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dengan jumlah banyak.

27
Keuntungan metode statistik yaitu mempunyai tingkat obyektivitas yang tinggi sebab
hukum-hukum statistik digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan longsor suatu
daerah.
Pendekatan heuristik yaitu penilaian kerawanan longsor berdasarkan pengalaman
peneliti, sehingga memiliki tingkat subjektifitasnya relatif besar. Keunggulan dari
metode heuristik yaitu dapat digunakan untuk menganalisa kerentanan longsor yang
disebabkan oleh kejadian yang berbeda dan kondisi geologi kompleks, serta kejadian
longsor pada daerah yang luas.
Dari keempat metode prediksi kerawanan longsor yang ada, metode heuristik lebih
sering digunakan untuk analisis kerawanan longsor wilayah yang luas dan skala kecil
atau regional. Penelitian ini menggunakan metode heuristik khususnya pendekatan
scoring yakni pemberian skor pada masing-masing parameter longsor. Pendekatan
scoring telah banyak digunakan peneliti untuk menilai kerawanan longsor suatu daerah,
contohnya pada penelitian Lulseged dkk. (2005) menyatakan bahwa pendekan scoring
merupakan suatu pendekatan yang sederhana dan cepat dalam pembuatan peta
kerawanan longsor. Selain itu, pendekatan tersebut juga mempunyai aturan yang
praktis dengan cara membuat bobot kelas kerawanan sebagai acuan penilaian. Enrique
(2007) juga menegaskan bahwa pendekatan scoring lebih baik dari pada pendekatan
statistik.
Metode pemetaan bencana longsor menggunakan pendekatan heuristik dilakukan
menggunakan analisis geomorfologi (pembobotan tiap parameter) berbasis
keruangan/spasial, sehingga dalam pengolahannya menggunakan pendekatan spasial
yaitu metode SIG (Sistem Informasi Geografis) khususnya analisis overlay (tumpang-
tindih) dan untuk pembobotannya menggunakan metode AHP (Analytical Hyrarchy
Process).

2.4.1 Metode Pembobotan AHP (Analytical Hyrarchy Process)


1. Pengertian AHP (Analytical Hyrarchy Process)
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan teori umum
mengenai pengukuran. Empat macam skala pengukuran yang biasanya digunakan
secara berurutan adalah skala nominal, ordinal, interval dan rasio. Skala yang lebih
tinggi dapat dikategorikan menjadi skala yang lebih rendah, namun tidak
sebaliknya. Pendapatan per bulan yang berskala rasio dapat dikategorikan menjadi
tingkat pendapatan yang berskala ordinal atau kategori (tinggi, menengah, rendah)

28
yang berskala nominal. Sebaliknya jika pada saat dilakukan pengukuran data yang
diperoleh adalah kategori atau ordinal, data yang berskala lebih tinggi tidak dapat
diperoleh. AHP mengatasi sebagian permasalahan itu (Saaty, 2001).
AHP digunakan untuk menurunkan skala rasio dari beberapa perbandingan
berpasangan yang bersifat diskrit maupun kontinu. Perbandingan berpasangan
tersebut dapat diperoleh melalui pengukuran aktual maupun pengukuran relatif dari
derajat kesukaan, atau kepentingan atau perasaan. Dengan demikian metode ini
sangat berguna untuk membantu mendapatkan skala rasio dari hal-hal yang semula
sulit diukur seperti pendapat, perasaan, prilaku dan kepercayaan (Saaty, 2001).
Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan dari
permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama, kriteria-
kriteria, sub kriteria-sub kriteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas.
Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam
struktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matrik dimana
skala rasio diturunkan dalam bentuk eigen vektor utama atau fungsi-eigen. Matrik
tersebut berciri positif dan berbalikan, yakni aij = 1/ aji (Saaty, 2001).
Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang
terdiri dari :
a) Resiprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A
adalah f kali lebih penting dari pada B maka B adalah1/f kali lebih penting dari
A.
b) Homogenity, yaitu mengandung arti kesamaan dalam melakukan perbandingan.
Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan bola tenis dalam
hal rasa, akan tetapi lebih relevan jika membandingkan dalam hal berat.
c) Dependence, yang berarti setiap level mempunyai kaitan (complete hierarchy)
walaupun mungkin saja terjadi hubungan yang tidak sempurna (incomplete
hierarchy).
d) Expectation, yang berarti menonjolkon penilaian yang bersifat ekspektasi dan
preferensi dalam pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data
kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.

29
Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dalam metode AHP pada dasarnya
adalah sebagai berikut :
a) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan;
b) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan kriteria-kriteria dan alternaif-alternatif pilihan yang ingin dirangking;
c) Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan
atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan
pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya;
d) Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam
matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom;
e) Menghitung nilai eigen vektor dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
maka pengambilan data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vektor yang
dimaksud adalah nilai eigen vektor maximum yang diperoleh dengan
menggunakan matlab maupun dengan manual;
f) Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki;
g) Menghitung eigen vektor dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai
eigen vektor merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis
pilihan dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah
sampai pencapaian tujuan; dan
h) Menguji konsistensi hirarki. Jika tidak memenuhi dengan CR > 0,1 maka
penilaian harus diulang kembali.

2. Prinsip Dasar AHP (Analytical Hyrarchy Process)


Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip
dasar yang harus dipahami antara lain.

a. Decomposition
Decomposition adalah memecahkan atau membagi problema yang utuh
menjadi unsur-unsurnya ke bentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana
setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Struktur hirarki keputusan tersebut
dapat dikategorikan sebagai complete dan incomplete. Suatu hirarki keputusan

30
disebut complete (hierarki penuh) jika semua elemen pada suatu tingkat memiliki
hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya, sementara
hirarki keputusan incomplete (hierarki setengah) kebalikan dari hirarki yang
complete. Bentuk struktur dekomposisi yakni
1) Tingkat pertama : Tujuan keputusan (Goal);
2) Tingkat kedua : Kriteria-kriteria;
3) Tingkat ketiga : Alternatif-alternatif.

Gambar 9. Struktur Hierarki AHP


Sumber: Saaty, 2004

Hirarki masalah disusun digunakan untuk membantu proses pengambilan


keputusan dalam sebuah sistem dengan memperhatikan seluruh elemen keputusan
yang terlibat.

b. Comparative Judgement
Comparative Judgement adalah penilaian yang dilakukan berdasarkan
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan
tingkatan di atasnya. Comparative Judgement merupakan inti dari penggunaan
AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan prioritas dari elemen - elemennya.
Hasil dari penilaian tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk matriks pairwise
comparisons yaitu matriks perbandingan berpasangan memuat tingkat preferensi
beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang digunakan yaitu skala
1 yang menunjukkkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sampai
dengan skala 9 yang menunjukkan tingkatan yang paling tinggi (extreme
importance).

31
c. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vektor method
untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur pengambilan keputusan.

d. Logical Consistency
Logical Consistency dilakukan dengan mengagresikan seluruh eigen vektor
yang diperoleh dari berbagai tingkatan hirarki dan selanjutnya diperoleh suatu
vektor composite tertimbang yang menghasilkan urutan pengambilan keputusan.

3. Tahapan prosedur AHP (Analytical Hyrarchy Process)


Dalam prosedur AHP terdapat 3 tahapan yakni tahap penysusunan prioritas,
perhitungan eigen value dan eigen vektor dan uji konsistensi index random dan rasio
konsistensi.

a. Penyusunan prioritas
Setiap elemen yang terdapat dalam hirarki harus diketahui bobot relatifnya satu
sama lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kepentingan pihak-pihak
yang berkepentingan dalam permasalahan terhadap kriteria dan struktur hirarki atau
sistem secara keseluruhan.
Langkah awal dalam menentukan prioritas kriteria adalah dengan menyusun
perbandingan berpasangan, yaitu membandingkan dalam bentuk berpasangan
seluruh kriteria untuk setiap sub sistem hirarki. Perbandingan tersebut kemudian
ditransformasikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan untuk analisis
numerik. Misalkan terdapat sub sistem hirarki dengan kriteria C dan sejumlah n
alternatif dibawahnya, Ai sampai An. Perbandingan antar alternatif untuk sub
sistem hirarki itu dapat dibuat dalam bentuk matriks n x n, seperti pada Tabel 2.22
dibawah ini.

Tabel 2.22. Matriks Perbandingan Berpasangan


C A1 A2 ... An
A1 a11 a12 ... a1n
A2 a21 a22 ... a2n
... ... ... ... ...
Am am1 am2 ... amn
Sumber : Saaty, 1993

Nilai a11, a22,… amn adalah nilai perbandingan elemen baris A1 terhadap kolom
Al yang menyatakan hubungan:

32
1) Seberapa jauh tingkat kepentingan baris A terhadap kriteria C dibandingkan
dengan kolom A1
2) Seberapa jauh dominasi baris A1 terhadap kolom A1 atau
3) Seberapa banyak sifat kriteria C terdapat pada baris A1 dibandingkan dengan
kolom A1.
Nilai numerik yang dikenakan untuk seluruh perbandingan diperoleh dari skala
perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh Saaty, seperti pada Tabel 2.23
berikut ini.

Tabel 2.23. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan


Tingkat
Definisi Keterangan
Kepentingan
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang
1 Sama pentingnya
sama.
Pengalaman dan penilaian sangat memihak
3 Sedikit lebih penting satu elemen dibandingkan dengan
pasangannya.
Satu elemen sangat disukai dan secara praktis
5 Lebih penting dominasinya sangat nyata, dibandingkan
dengan elemen pasangannya.
Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara
7 Sangat penting praktis dominasinya sangat, dibandingkan
dengan elemen pasangannya.
Satu elemen mutlak lebih disukai
Mutlak lebih
9 dibandingkan dengan pasangannya, pada
penting
tingkat keyakinan tertinggi
Nilai-nilai tengah
diantara dua
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai ini diperlukan suatu kompromi
pendapat yang
berdampingan
Jika elemen i memiliki salah satu angka diatas ketika dibandingkan
Kebalikan
elemen j, maka j memiliki kebalikannya ketika dibanding elemen i
Sumber : Saaty, 1993

Seorang pengambil keputusan akan memberikan penilaian, mempersepsikan


ataupun memperkirakan kemungkinan sesuatu hal/peristiwa yang dihadapi.
Penilaian tersebut akan dibentuk ke dalam matriks berpasangan pada setiap level
hirarki. Contoh Pair-Wise Comparison Matrix pada suatu level of hierarchy, yaitu:

Tabel 2.24. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan


D E F G
D 1 3 7 9
E 1/3 1 1/4 1/8
F 1/7 4 1 5
G 1/9 8 1/5 1
Sumber : Saaty, 1993

33
Baris 1 kolom 2: Jika D dibandingkan dengan E, maka D sedikit lebih
penting/cukup penting daripada E yaitu sebesar 3. Angka 3 bukan berarti bahwa D
tiga kali lebih besar dari E, tetapi D moderat importance dibandingkan dengan E,
sedangkan nilai pada baris ke 2 kolom1diisi dengan kebalikan dari 3 yaitu1/3.
Baris 1 kolom 3 : Jika D dibandingkan dengan F, maka D sangat penting
daripada F yaitu sebesar 7. Angka 7 bukan berarti bahwa D tujuh kali lebih besar
dari F, tetapi D very strong importance daripada F dengan nilai judgement sebesar7.
Sedangkan nilai pada baris 3 kolom 1 diisi dengan kebalikan dari 7 yaitu 1/7.
Baris 1 kolom 4: Jika D dibandingkan dengan G, maka D mutlak lebih penting
daripada G dengan nilai 9. Angka 9 bukan berarti D sembilan kali lebih besar dari
G, tetapi D extreme importance daripada G dengan nilai judgement sebesar 9.
Sedangkan nilai pada baris 4 kolom1diisi dengan kebalikan dari 9 yaitu 1/9.

b. Eigen value dan eigen vektor


Apabila decision maker sudah memasukkan persepsinya atau penilaian untuk
setiap perbandingan antara kriteria-kriteria yang berada dalam satu level (tingkatan)
atau yang dapat diperbandingkan maka untuk mengetahui kriteria mana yang paling
disukai atau paling penting, disusun sebuah matriks perbandingan di setiap level
(tingkatan). Untuk melengkapi pembahasan tentang eigen value dan eigen vektor
maka akan diberikan definisi-definisi mengenai matriks dan vektor.

1) Matriks
Matriks merupakan sekumpulan himpunan objek (bilangan riil atau
kompleks, variable-variabel) yang terdiri dari baris dan kolom dan di susun persegi
panjang. Matriks biasanya terdiri dari m baris dan n kolom maka matriks tersebut
berukuran (ordo) m x n. Matriks dikatakan bujur sangkar (square matrix) jika m =
n dan skala-skalarnya berada di baris ke-i dan kolom ke-j yang disebut (ij) matriks
entri.

2) Vektor dari n dimensi


Suatu vektor dengan n dimensi merupakan suatu susunan elemen-elemen
yang teratur berupa angka-angka sebanyak n buah, yang disusun baik menurut
baris, dari kiri ke kanan (disebut vektor baris atau Row Vektor dengan ordo 1 x n )
maupun menurut kolom ,dari ataske bawah (disebut vektor kolom atau Colomn

34
Vektor dengan ordo n x 1). Himpunan semua vektor dengan n komponen dengan
entri riil dinotasikan dengan R.

3) Prioritas, Eigen value dan Eigen vektor


Untuk menentukan nilai dari masing masing pada matrik m x n maka; Nilai
total matriks dalam masing-masing kolom di bandingkan dengan nilai matriks dan
dijumlahkan untuk tiap baris. Total nilai baris dari matrik hasil perhitungan tersebut
dijumlahkan. Untuk mementukan nilai prioritas adalah dengan membandingkan
nilai total baris dalam matrik tersebut dengan nilai total dari kolom hasil
perhitungan tersebut. Nilai eigen value di dapatkan dari total jumlah dari perkalian
nilai prioritas dalam matrik dibandingkan dengan nilai prioritas tersebut. Nilai eigen
value merupakan total dari nilai eigen dibagi dengan ordo matriks atau n.

c. Uji konsistensi indeks random dan rasio konsistensi


Hal yang membedakan AHP dengan model-model pengambilan keputusan
yang lainnya adalah tidak adanya syarat konsistensi mutlak. Model AHP yang
memakai persepsi decision maker sebagai inputnya maka ketidakkonsistenan
mungkin terjadi karena manusia memiliki keterbatasan dalam menyatakan
persepsinya secara konsisten terutama kalau harus mambandingkan banyak kriteria.
Berdasarkan kondisi ini maka decision maker dapat menyatakan persepsinya
dengan bebas tanpa harus berfikir apakah persepsinya tersebut akan konsisten
nantinya atau tidak. Penentuan konsistensi dari matriks itu sendiri didasarkan atas
eigen value maksimum. Yang diperoleh dengan rumus (2.1) sebagai berikut:
CI = 𝜆 max − 𝑛 𝑛 −1 ........................................................................................(2.1)
Keterangan :
CI = Rasio penyimpangan (deviasi) konsistensi (consistency indeks)
λ max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n
n = Orde Matriks
Jika nilai CI sama dengan nol, maka matriks pairwise comparison tersebut
konsisten. Batas ketidakkonsistenan (inconsistency) yang telah ditetapkan oleh
Thomas L. Saaty ditentukan dengan menggunakan Rasio Konsistensi (CR), yaitu
perbandingan indeks konsistensi dengan nilai random indeks (RI). Rasio
Konsistensi dapat dirumuskan pada rumus (2.2) sebagai berikut :
CI = 𝐶𝐼 𝑅𝐼 ........................................................................................................(2.2)

35
Keterangan :
CR =Rasio Konsistensi
R I =Indeks Random
Nilai random indeks bisa di dapatkan dari Tabel 2.25 berikut ini:

Tabel 2.25. Nilai Random Indeks (RI)


N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.48
Sumber : Saaty, 1993

Jika matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan nilai


CR lebih kecil dari 0,10 (<0,1) maka ketidak konsistenan pendapat pengambil
keputusan masih dapat diterima dan jika tidak maka penilaian perlu diulang.

2.4.2 Metode Spasial (Pemetaan) SIG (Sistem Informasi Geografis)


Pendekatan spasial dalam tulisan ini mengikuti konsep geografi menurut Blaut
dalam Alfandi W (2001) yaitu tinjauan ruang yang mencakup aspek ekologis dan
administrative yang berorientasi pada lokasi, jarak, arah, luas, dan kerapatan yang
dapat diwujudkan dalam bentuk peta. Bintarto (1991) membedakan ruang menjadi
ruang fisik dan ruang sosial. Peta diharapkan dapat memberikan bantuannya dengan
menyajikan informasi dari unsur–unsur yang ada dimuka bumi. Sistem informasi
spasial yang lengkap dengan tetap berbasis pada informasi peta melalui upaya
tumpang susun adalah menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
SIG merupakan sebuah sistem yang mampu menjadi rujukan dalam pendekatan
spasial, karena dapat menggabungkan atau mengintegrasikan berbagai faktor
menjadi suatu tujuan yang dikehendaki (Sukendra Martha, 1988). Kumpulan peta
yang diolah melalui SIG ini merupakan pendekatan paling rasional yang dapat
menjadi alat dalam menentukan besaran potensi bencana termasuk di dalamnya
erosi dan longsor lahan.
Pendekatan spasial dalam menganalisis potensi kerentanan longsor lahan
merupakan penyajian formasi yang paling representatif dalam masalah ini.
Informasi tematis berupa kondisi fisik suatu wilayah seperti jenis tanah, kemiringan
lereng, ketinggian, erodibilitas, curah hujan, penggunaan lahan, kondisi geologis,
dan kedalaman tanah efektif dapat dijadikan sebagai suatu informasi yang dapat
dikonversikan ke dalam bentuk peta. Selain itu kondisi sosial dan perkembangan

36
teknologi juga dapat menjadi rujukan terhadap informasi spasial wilayah yang
bersangkutan.
SIG merupakan suatu metode analisis data yang dilakukan dengan prinsip-
prinsip geografis dengan jalan penampakan data yang diperoleh. Metode analisis
inilah yang digunakan untuk menentukan besaran potensi longsor lahan. Integrasi
teknologi penginderaan jauh yang menghasilkan peta lokasi suatu wilayah
dipadukan dengan Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu alternatif
informasi spasial yang up to date. Pengolahan pemetaan dengan basis komputer
lebih memudahkan dalam mengumpulkan data-data spasial. Ketepatan dan
kecepatan data yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih
baik. Rujukan informasi spasial ini dapat dimanfaatkan oleh daerah-daerah rawan
bencana dan juga terkait penataan ruang dan dampak dari pembangunan.
SIG memiliki alat yang terdapat dalam program/software (ArcGIS, ArcView,
QuantumGIS dll) untuk membantu dalam proses pengolahan data dan analisis
spasial. Terdapat setidaknya enam fungsi dasar analisis spasial (Spatial Analyst)
dalam SIG dan bentuk analisis yang paling sering digunakan dalam
pemodelan/pemetaan wilayah rawan longsor adalah analisis tumpang susun atau
analisis overlay. Menurut ESRI (1990), teknik tumpang susun (overlay) merupakan
hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial
(peta) baru beserta data atributnya.
Dalam pengolahan SIG dibutuhkan model data spasial yang merupakan bentuk
representasi kondisi di dunia nyata. Entitas representasi spasial yang mendasar
adalah konsep raster dan vektor. Dengan kata lain, setiap (layer) data spasial akan
direpresentasikan ke dalam format “basis data” baik dalam bentuk raster maupun
vektor. Terminologi yang sering digunakan dalam penyajian entitas spasial adalah
model data raster dan vektor.

1. Model Data Raster


Model data raster bertugas untuk menampilkan, menempatkan, dan
menyimpan konten data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau susunan
piksel-piksel yang membentuk suatu grid (segi empat). Setiap piksel atau sel ini
memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik. Akurasi spasial
model data ini sangat bergantung pada resolusi spasial atau ukuran pikselnya (sel

37
grid) di permukaan bumi. Entitas-entitas spasial model raster juga dapat disimpan
di dalam sejumlah layer yang secara fungsionalitas direlasikan dengan unsur-unsur
petanya. Sebagai ilustrasi, beberapa sumber entitas spasial raster adalah citra dijital
satelit (ex: NOAA, Spot, Landsat, Ikonos, QuickBird), citra dijital radar, dan model
ketinggian dijital (DTM atau DEM dalam model data raster).

Gambar 10. Tampilan permukaan bumi & layer model data raster
Sumber : Prahasta, 2009
Model data raster dapat memberikan informasi spasial mengenai apa yang
terjadi dalam bentuk gambaran yang digeneralisasi oleh sensor-sensornya. Dengan
model ini, dunia nyata dapat disajikan sebagai elemen matriks atau sel-sel grid yang
homogen. Dengan model data raster, unsur unsur geografis ditandai oleh nilai-nilai
elemen matriks persegi panjang (persegi).

2. Model Data Vektor


Model data vektor dapat menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data
spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis atau kurva, atau polygon beserta
atributatributnya. Bentuk-bentuk dasar representasi data spasial ini, di dalam sistem
model data vektor didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x, y).
Dalam model data spasial vektor, garis-garis atau kurva merupakan
sekumpulan titik-titik terurut yang saling terhubung. Sedangkan polygon juga
disimpan sebagai sekumpulan list titik-titik, tetapi dengan catatan bahwa titik awal
dan titik akhir geometri polygon memiliki nilai koordinat yang sama (polygon
tertutup sempurna).

38
Gambar 11. Tampilan permukaan bumi & layer model data vektor
Sumber : Prahasta, 2009
Representasi vektor suatu objek merupakan suatu usaha di dalam menyajikan
objek yang bersangkutan sesempurna mungkin. Oleh sebab itu, ruang atau dimensi
koordinat vektor diasumsikan bersifat kontinyu (tidak terkuantisasikan
sebagaimana terjadi pada model data raster) sehingga memungkinkan semua
parameternya dapat didefinisikan dengan presisi.

3. Perbandingan Model Data Vektor dan Raster


Baik model data raster maupun vektor masing-masing memiliki sifat atau
kecenderungan, kelemahan dan kelebihan sendiri. Meskipun demikian, dengan
mengingat bahwa sifat objektif dan kebutuhan manusia yang bisa berbeda satu sama
lainnya dan bahkan berubah dari waktu ke waktu, maka tidak ada satupun model
data yang benar-benar dapatmemenuhi semua kebutuhan representasi dan analisis
data spasial secara sempurna.
Dengan demikian, kedua model data ini akan saling melengkapi dan bahkan
dapat saling dikonversikan satu sama lainnya (raster ke vektor atau vektor ke
raster). Jika perangkat SIG-nya berbasiskan model data vektor, maka biasanya
analisis spasial yang dimilikinya semuanya berbasiskan vektor, sementara layer
raster atau citra dijital yang digunakan oleh perangkat sistem ini hanya dipakai
sebagai image pelengkap yang mempermanis tampilannya hingga nampak lebih
natural dimana batas-batas yang tegas dan unsur-unsur spasial permukaan bumi
terlihat sangat mirip dengan aslinya.
Demikian pula sebaliknya, jika perangkat SIG-nya berbasiskan raster, maka
hampir semua analisis yang dimilikinya akan bekerja dengan dasar model data
raster. Algoritma-algoritma yang digunakannya beserta semua fungsi dan prosedur
analisisnya akan berbasiskan algoritma raster atau matriks. Sedangkan data spasial

39
vektor yang digunakan hanya akan dipakai sebagai layer tambahan untuk
mempertegas representasi batas-batas area suatu kawasan.

Tabel 2.26. Kelebihan dan Kekurangan Model Data Raster dan Vektor
Jenis
No Kelebihan Kekurangan
Model Data
▪ Memiliki struktur data ▪ Secara umum, memerlukan
yang sederhana; ruang atau tempat
▪ Secara teoritis, mudah penyimpanan (memori) yang
dimanipulasi dengan lebih besar di sistem
menggunakan fungsi dan computer, banyak terjadi
operator sederhana; redundancy data baik untuk
▪ Teknologi yang digunakan setiap layernya maupun
cukup murah dan tidak secara keseluruhan;
begitu kompleks sehingga ▪ Penggunaan sel atau ukuran
pengguna dapat membuat grid yang lebih besar untuk
sendiri program aplikasi menghemat ruang
yang menggunakan layer penyimpanan akan
raster; menyebabkan kehilangan
▪ Compatible dengan citra- informasi dan ketelitian
citra satelit penginderaan spasial;
jauh dan semua image hasil ▪ Sebuah citra raster pada
scanning data spasial; umumnya hanya mengandung
▪ Overlay dan kombinasi satu tematik saja, sulit
data spasial raster dengan digabungkan dengan atribut-
data inderaja sangat mudah atribut lainnya dalam satu
dilakukan; layer. Dengan demikian,
▪ Memiliki kemampuan untuk merepresentasikan
Model Data
1 pemodelan dan analisis atribut-atribut tambahan, juga
Raster
spasial tingkat lanjut; diperlukan layer baru,
▪ Metode untuk sehingga timbul masalah
mendapatkan layer raster redundancy data secara
lebih mudah, baik melalui keseluruhan;
proses scanning dengan ▪ Tampilan atau representasi
scanner maupun dengan dan akurasi posisinya sangat
menggunakan citra satelit bergantung pada ukuran
atau konversi dari format pikselnya (resolusi spasial);
vektor; ▪ Sering mengalami kesalahan
▪ Gambaran permukaan dalam menggambarkan
bumi dalam bentuk citra bentuk atau garis batas area
raster yang didapat dari suatu objek spasial (karena itu
sensor radar atau satelit, jarang digunakan untuk
selalu lebih aktual dari menggambarkan batas-batas
pada bentuk vektornya; administrasi);
▪ Prosedur untuk ▪ Proses transformasi koordinat
memperoleh data dalam dan proyeksi petanya sedikit
bentuk raster lebih mudah, lebih sulit dilakukan;
sederhana dan murah; ▪ Sangat sulit untuk
▪ Harga sistem perangkat merepresentasikan hubungan
lunak aplikasinya topologi yang terdapat di
cenderung lebih murah. antara unsur-unsur spasialnya

40
Jenis
No Kelebihan Kekurangan
Model Data
▪ Memerlukan ruang atau
▪ Memiliki struktur data yang
tempat penyimpanan yang
bervariasi mulai dari yang
lebih sedikit di sistem
cukup sederhana hingga yang
computer;
sangat kompleks;
▪ Satu layer dapat dikaitkan
▪ Data unsur-unsur spasialnya
dengan banyak atribut
tidak mudah untuk
sehingga dapat menghemat
dimanipulasi;
ruang penyimpanan secara
▪ Pengguna tidak mudah
keseluruhan;
berkreasi dalam membuat
▪ Hubungan topologi dan
programnya sendiri untuk
network yang terdapat di
memenuhi kebutuhan
antara unsur-unsur
aplikasinya dalam pengolahan
spasialnya dapat
datanya. Hal ini disebabkan
dinyatakan dengan jelas;
oleh struktur data vektor yang
▪ Memiliki resolusi spasial
lebih kompleks dan prosedur
Model Data yang tinggi;
2 fungsi analisisnya
Vektor ▪ Representasi grafis data
memerlukan kemampuan
spasialnya sangat mirip
yang tinggi;
dengan peta garis buatan
▪ Format datanya tidak
tangan manusia;
compatible dengan data citra
▪ Memiliki batas-batas yang
satelit penginderaan jauh;
teliti, tegas dan jelas
▪ Dalam beberapa kasus,
sehingga sangat baik jika
memerlukan perangkat lunak
digunakan untuk
dan perangkat keras yang
menggambarkan unsur-
lebih mahal;
unsur spasial yang
▪ Proses overlay beberapa layer
berwujud area seperti peta-
vektor secara simultan
peta administrasi dan persil
berpotensi untuk memakan
tanah
waktu yang lama.
▪ Transformasi koordinat
▪ Tidak dapat melakukan proses
dan proyeksi petanya tidak
matematik/statistik
sulit dilakukan
Sumber : Prahasta, 2009
Berdasarkan perbandingan karakteristik model data raster dan vektor tersebut,
maka penulis mengambil kesimpulan untuk menggunakan model data raster dalam
penelitian ini. Alasan digunakannya model data raster dalam peneltian ini yaitu:
1) Overlay dan kombinasi data spasial raster dengan data penginderaan jauh
sangat mudah dilakukan; Berkaitan dengan teknik analisis overlay yang
digunakan nantinya untuk memetakan tingkat kerawanan longsor.
2) Memiliki kemampuan pemodelan data dan analisis spasial lanjutan; Berkaitan
dengan pengolahan ketujuh parameter kerawanan bencana longsor yang
membutuhkan analisis lanjutan berbasis spasial (keruangan) menggunakan
perangkat tambahan/software.

41
3) Gambaran permukaan bumi dalam bentuk citra raster yang didapat dari sensor
radar/satelit, selalu lebih aktual dari pada bentuk vektornya; Berkaitan dengan
pengambilan data citra atau data pendukung lainnya dalam format data raster
yang terus mengalami pembaharuan (upgrading) data.

2.5 Penataan Ruang


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (Setneg RI 2007b).
Dalam Pasal 3 dari Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana pada pasal 6 a dinyatakan bahwa tanggung jawab
Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi
pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan
program pembangunan. Pasal 7 dinyatakan bahwa wewenang Pemerintah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi,

1) penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan


pembangunan nasional;
2) pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana.

Pasal 35 f dinyatakan bahwa Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam


situasi tidak terjadi bencana meliputi penegakan rencana tataruang (Setneg RI
2007a). Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008
tentang Penyelenggaran Penanggulangan Bencana Pasal 20 ayat 2 a dinyatakan

42
bahwa kegiatan mitigasi bencana dilakukan melalui perencanaan dan pelaksanaan
penataan ruang yang berdasarkan pada analisis risiko bencana.
Dari muatan Undang-Undang Nomor 24 dan 26 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tersebut dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama pada tahap pra bencana seperti
halnya kegiatan mitigasi bencana harus terintegrasi dalam rencana tataruang.
Begitu juga dalam rencana tataruang, penyelenggaraan penataan ruang juga
mengatur dan mencegah pemanfaatan ruang agar tidak digunakan untuk halhal
yang berakibat negatif terhadap lingkungan yang pada akhirnya juga akan terjadi
bencana.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang
dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pola
ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya, sedangkan struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagaipendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang yang diwujudkan melalui
program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada rencana
tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan salah satu upaya untuk
mengawasi dan mencegah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai bahkan dapat
menimbulkan dampak terhadap kerusakan dan juga bencana. Untuk itu dalam
kawasan rawan bencana longsor perlu dilakukan upaya pengawasan dengan
mencermati konsistensi (kesesuaian dan keselarasan) antara rencana tata ruang
dengan pemanfaatan ruang (Setneg RI 2007).

43
2.6 Studi Penelitian Terdahulu
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Abdul Rachman Rasyid, dkk (2012) dengan penelitian yang berjudul “Mitigasi
Daerah Rentan Gerakan Tanah di Kabupaten Enrekang”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi daerah rentan bencana gerakan tanah dan
menentuka mitigasi pada daerah rentan bencana gerakan tanah. Hasil akhir dari
penelitian ini berupa pemetaan kerentanan gerakan tanah dan bentuk mitigasi
bencana gerakan tanah yang sesuai mengacu pada parameter utama sebagai
faktor penyebab bencana dari hasil analisis kerentanan bencana.
2. Abdul Hamid Rahmat (2010) dengan penelitian yang berjudul “Pemetaan
Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG)-Studi Kasus: Kawasan Kaki Gunung
Ciremai, Kabupaten Majalengka”. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan
kawasan rawan bencana tanah longsor serta menganilisis resiko bencana tanah
longsor di kawasan kaki gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka. Hasil akhir
dari penelitian ini berupa pemetaan dengan representasi luasan wilayah yang
rawan dan beresiko terhadap bencana tanah longsor.
3. Aizatul Hidayah, dkk (2017) dengan penelitian yang berjudul “Analisis Rawan
Bencana Longsor menggunakan Metode AHP (Analytical Hyrarchy Process)
di Kabupaten Toraja. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor utama
penyebab longsor di Kabupaten Toraja. Hasil akhir dari penelitian ini adalah
teridentifikasinya faktor utama penyebab bencana tanah longsor di Kabupaten
Toraja menggunakan pendekatan/metode AHP (Analytical Hierarchy Process).

44
Tabel 2.27. Studi Penelitian Terdahulu
No. Judul Penulis Variabel Metode Hasil
Abdul Rachman Dari hasil penelitian ditemukan bahwa faktor
Rasyid, 1. Topografi kemiringan lereng dan penggunaan lahan
Mitigasi Daerah Rentan Overlay
Isfa Sastrawati, 2. Geologi merupakan faktor utama tingginya tingkat
1. Gerakan Tanah di (tumpang susun
Syahriana Syam, 3. Curah Hujan kerentanan gerakan tanah.Untuk itu mitigasi yang
Kabupaten Enrekang peta)
Fajar Sukma 4. Tata Guna Lahan akan dikembangkan berasal dari parameter
Jaya (2012) tersebut.
Pemetaan Kawasan
Rawan Bencana dan 1. Geologi Berdasarkan hasil dari analisis kerawanan
Analisis Resiko Bencana 2. Curah Hujan menggambarkan bahwa ada areal pusat kegiatan
Tanah Longsor dengan 3. Jenis Tanah Overlay masyarakat berupa wilayah pemukiman serta
Abdul Hamid kawasan budidaya produktif pertanian berupa
2. Sistem Informasi 4. Kemiringan Lereng (tumpang susun
Rahmat (2010) sawah, kebun dan ladang yang berada pada
Geografis (SIG)-Studi 5. Tutupan Lahan peta)
Kasus: Kawasan Kaki 6. Infrastruktur wilayah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi
Gunung Ciremai, 7. Jaringan Jalan dan sangat tinggi.
Kabupaten Majalengka
Faktor utama penyebab terjadinya bencana
1. Elevasi (Ketinggian) longsor di Kabupaten Toraja Utara adalah curah
2. Kemiringan Lereng hujan berdasarkan hasil dari ketiga responden,
3. Aspek Lereng curah hujan memiliki bobot yang tertinggi yaitu
Analisis Rawan Bencana Azaliatul
4. Geologi AHP 0,317. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang
Longsor menggunakan Hidayah,
5. Tektur Tanah (Analytical tinggi lebih banyak menghasilkan debit air
3. Metode AHP (Analytical Paharuddin,
6. Kelurusan Hierarchy sehingga tanah kedap air, dan parameter yang
Hyrarchy Process) di Muh. Altin
7. Jarak dari Jalan Process) memperoleh skor terkecil adalah elevasi dengan
Kabupaten Toraja Massinai (2017)
8. Jarak dari Sungai bobot 0,027 hal ini disebabkan oleh ketinggian
9. Curah Hujan lereng bergantung pada kemiringan lereng atau
10.Penutupan Lahan besarnya sudut lereng..
Sumber: Penulis, 2017

45
2.7 Kerangka Konsep

Gambar 12. Kerangka Konsep


Sumber: Penulis, 2017

46

Anda mungkin juga menyukai