Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih

dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut

menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan

sumberdaya perairan yang tinggi dengan sumber daya hayati perairan yang sangat

beranekaragam. Keanekaragaman sumber daya perairan Indonesia meliputi

sumberdaya ikan maupun sumberdaya terumbukarang.

Secara geografis Kota Kupang terletak pada 123° 32’ 14” - 123° 37’ 01”

Bujur Timur dan 10° 36’ 14” - 10° 39’ 58” Lintang selatan. Luas wilayah daratan

47.349,90 km2 atau 2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± 200.000 km2

diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Sebelah Utara : berbatasan

dengan Teluk Kupang. Sebelah Selatan :berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat

dan Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang Sebelah Timur :berbatasan dengan

Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang. Sebelah

Barat :berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan Selat

Semau.

Sebagaimana ciri negara berkembang dengan populasi penduduk yang besar

ditambah dengan struktur geografis yang dikelilingi oleh laut, maka laut menjadi

tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup

1
terutama masyarakat di daerah pesisir, selain itu bagi negara kepulauan seperti

indonesia, laut memiliki posisi yang strategis dan potensi yang luar biasa baik dalam

bidang ekonomi, pertahanan, maupun keamanan. Meskipun demikian, wilayah

perairan indonesia juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang timbul baik

dari dalam negeri maupun dari luar seperti illegal fishing, pencurian kapal,

pembajakan, maupun illegal migration. Mengingat pentingnya wilayah perairan laut,

maka penjagaan dan pengamanan menjadi syarat mutlak guna menegakan kedaulatan

dan yurisdiksi negara diwilayah perairan laut serta mewujudkan ketahanan nasional.

Dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam

alinea keempat pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

melaksanakan ketertiban Dunia, maka negara berkewajiban melaksanakan

pembangunan nasional dengan aman, damai, adil, dan demokratis. Guna mewujudkan

kondisi yang aman dan damai, upaya pengamanan dan penegakan hukum di wilayah

perairan laut menjadi sangat penting dan strategis untuk dilaksanakan. Misalnya

penegakan hukum di bidang perikanan merupakan hal yang sangat penting dan

strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan

sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat

berjalan secara berkelanjutan.

2
Kepolisian Perairan merupakan Direktorat yang berada dibawah Badan

Pemeliharaan Keamanan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia

(Baharkam Polri), yang saat ini disebut sebagai Dit PolAir Polda NTT. Sebagai

sebuah Direktorat, Kepolisian Perairan dipimpin oleh seorang Direktur dengan

pangkat Brigadir Jendral Polisi. Fungsi kepolisian perairan secara umum dalam

sistem kepolisian yang dikenal di dunia merupakan fungsi yang tidak wajib.Artinya

belum tentu setiap satuan dalam sistem kepolisian yang ada di dunia ini pasti

memiliki polisi perairan. Dalam konteks Kepolisian Perairan di Indonesia,

kedudukan dan tugas Kepolisian Perairan berada dalam skala luas.Segala gangguan

keamanan dan tindak pidana yang terjadi pada lingkungan perairan merupakan tugas

dan kewenangan dari Kepolisian Perairan. Tugas dari Kepolisian Perairan memang

terbatas pada wilayah tugas lain yang bukan merupakan tugas kepolisian umum,

misalnya kewenangan kepabeanan yang merupakan wewenang bea cukai sehingga

Kepolisian Perairan tidak bertugas melakukan penyidikan perkara kepabeanan.

Namun Kepolisian Perairan tetap bertugas dan berkewajiban untuk melakukan

antisipasi dan penindakan pertama bilamanamenemukan terjadinya tindakan yang di

luar hukum dan peraturan di wilayah perairan.Pada kedudukan ini tampak bahwa

Kepolisian Perairan merupakan pelaksana tugas polisi umum namun dalam wilayah

operasi pada wilayah perairan dan bukan daratan seperti layaknya polisi

umum.Konteks inilah yang kemudian menjadi sedikit diskursif ketika melihat pada

penanganan kasus tindak pidana.

3
Berbicara tentang proses penyidikan guna pengawasan dan pencegahan

satuan kapal patroli Kepolisian Perairan dalam penegakkan hukum terhadap kasus

yang terjadi di wilayah perairan Kota Kupang.Proses penyidikan yang dilakukan oleh

satuan kapal patroli hanya berupa tindakan awal saja, yaitu sita kapal, pemeriksaan

kapal, pemeriksaan barang bukti. Guna proses penyidikan lebih lanjut.

Tugas untuk mengawasi dan memelihara agar norma-norma hukum (undang-

undang) tersebut terpelihara dengan baik dalam masyarakat merupakan tugas utama

yang diemban oleh lembaga kepolisian. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa

terjadi suatu pengkhususan dari fungsi yang semula meliputi semua bidang

kenegaraan menjadi fungsi yang khusus memelihara keamanan dan ketertiban di

dalam masyarakat. Sifat dari tugas polisi adalah:

Preventif (Pencegahan), yaitu menjaga jangan sampai terjadi perbuatan atau

kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan.

Represif (Penindakan) yaitu mencari dan menyelidiki peristiwa-peristiwa

yang telah mengganggu ketertiban dan keamanan. Disebut juga justitionele atau

rechterlijke taak der politie karena berhubungan dengan pengadilan.

Tindakan represif yang dilakukan oleh satuan kapal patroli terhadap pelaku

yang melakukan tindak pidana yaitu melakukan penangkapan dan pemerikasaan

barang bukti dan melakukan penangkapann terhadap tersangka. Direktorat polisi

perairan yang bertugas memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

masyarakat, memelihara kamtibmas serta penegakkan hukum di perairan Kota

Kupang, sangat berperan dalam penegakan hukum dalam bidang pengawasan

4
terhadap pelaku tindak pidana sampai pada tingkatan penyerahan tersangka ke

penyidik polri, kejaksaan sampai ke pengadilan.

Bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, hal ini sebagaimana

di tegaskan dalam pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Kepolisian Negara RI adalah: 1)

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) Menegakkan hukum, 3)

memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain

itu, dalam pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara RI, dikatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Wewenang kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik tersebut sesuai

peraturan yang terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), dimana di dalam pasal 4 KUHAP dikatakan, bahwa Penyelidik

adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 6

ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia dan Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh Undang-Undang. Selain berdasarkan Undang-undang Kepolisian dan KUHAP

wewenang Kepolisian diwilayah perairan laut juga dinyatakan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur tentang tindak pidana tertentu

5
diwilayah perairan laut.

Wewenang Polisi Perairan (Polair) dalam tindak pidana tertentu seperti

dimaksud pasal 282 ayat (1) Undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran

juga memberikan kewenangan kepada pejabat Kepolisian Negara RI untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pelayaran. Berikut adalah

prosedur penanganan tindak pidana di perairan:

1. Pendeteksian Kapal

a. Melaksanakan kegiatan pengawasan di wilayah perairan yang rawan terjadi

tindak pidana berdasarkan informasi yang diperoleh.

b. Pengenalan sasaran dengan menggunakan sarana yang ada (Radar, sonar,

teropong, komunikasi radio, atau isyarat).

c. Penilaian sasaran dimaksudkan untuk menilai dan menentukan target/sasaran

benda yang dicurigai.

2. Penyelidikan Kapal

a. Penghentian Kapal

Apabila kapal dicurigai melakukan pelanggaran/tindak pidana berdasarkan

bukti permulaan yang cukup, diadakan penghentian dengan alasan kapal

tersebut melakukan pelanggaran/tindak pidana yang diatur dalam UU.

b. Pemeriksaan kapal

Setelah kapal dihentikan maka selanjutnya dilaksanakan tindakan :

pemeriksaan atas perintah Komandan, kapal merapat ke kapal patroli atau

sebaliknya.

6
Tabel 1

DATA TERAKHIR KASUS TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI

PERAIRAN KOTA KUPANG TAHUN 2016 DAN 2017

No Tahun Jenis kasus Keterangan

1 2016 - Pengeboman -27 kasus, dan dari kasus tersebut telah

ikan diamankan 270 botol kratingdaeng

berisikan belerang, sumbu dan korek

api dan ikan sebanyak 7 ton.

- Pencurian ikan -Terjadi sebanyak 22 kasus , dan dari

22 kasus tersebut diamankan 14 kapal,

7 sampan dan 2 perahu sebagai barang

bukti.

2. 2017 - Pencurian kapal 1 Januari 2017 sekitar pukul 03.00 Wita

dengan sebuah kapal sebagai barang

bukti.

- pengeboman ikan 14 Februari 2017) sekira pukul 07.30

WitaBarang bukti yang kita amankan

adalah satu unit sampan warna putih,

bagian dalam warna biru dengan 60 ekor

ikan jenis campuran.

7
Berkasnya sudah dilimpahkan ke

kejaksaan tinggi NTT.

- kasus migas

Direktorat polisi perairan bertugas memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan masyarakat, memelihara kamtibmas serta penegakkan hukum. Namun dalam

kenyataannya belum semua penegak hukum sudah menjalankan tugas dan fungsinya

secara baik.

Hal ini yang membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang,

“PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI PERAIRAN

KOTA KUPANG OLEH DIREKTORAT POLISI PERAIRAN POLDA NTT”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana perairan?

2. Bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana yang terjadi di perairan Kota Kupang

oleh Direktorat polisi perairan polda NTT

8
C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang “ Penegakan Hukum Tindak Pidana Yang Terjadi di Perairan Kota

Kupang oleh Direktorat Polisi Perairan Polda NTT” ini murni hasil pemikiran

penulis. Tetapi ada juga judul skripsi yang mirip dengan judul penelitian penulis

tetapi berbeda tentang hal yang dikaji dalam rumusan masalah. Penulis mengambil

salah satu judul skripsi yang mirip dengan judul penelitian penulis yaitu “Peranan Dit

Pol Air Polda NTT dalam Pengawasan Penangkapan Ikan Dengan Menggunakan

Bahan Peledak”. Nama penulis Ronald Elliot Sembiring.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1) Tujuan Penelitian

a. Untuk mempelajari apa itu tindak pidana perairan.

b. Untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh polisi perairan

dalam menegakan kasus tindak pidana yang terjadi di perairan Kota

Kupang

2) Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui kegiatan penelitian ini

adalah:

1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Hukum Pidana,

hukum acara pidana dan Hukum kelautan..

9
2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian dapat memberikan manfaat bagi

peneliti, lembaga kepolisian dan masyarakat.

a. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini untuk lebih membentuk pola pikir yang dinamis, lebih

mengembangkan penalaran sekaligus untuk mengetahui kemampuan

peneliti dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama pada kegiatan

perkuliahan.

b. Manfaat bagi lembaga kepolisian perairan Polda NTT Penelitian ini

diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran

atau bahan pertimbangan polisi dalam mengambil kebijakan dalam

menegakan hukum.

E. TINJAUAN PUSTAKA

F. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan

berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan proposal ini, maka

penulis melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Direktorat

Polisi Perairan Polda NTT.

10
2. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian empiris yaitu penelitian yang dilakukan

dilapangan untuk mencari data dan informasi yang berkaitan dengan

penelitian.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penulisan dan penelitian ini

dapat dikelompokan dalam dua jenis, yaitu :

a. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari

lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan para responden

penelitian untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pembahasan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan

dengan cara mengutip, menelaah, dan mencatat bahan-bahan peraturan dan

hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.

4. Populasi, Sampel, dan Responden

a. Populasi

Populasi adalah generalisasi yang terdiri atas obyek, subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti

untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Berdasarkan penelitian

11
diatas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparat

penegak hukum dalam satuan kepolisian perairan.

b. Sampel

Teknik penentuan sampel dengan cara purposif (penunjukan). Yaitu

memilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa responden yang dipilih

diangap banyak mengetahui dan berkompeten terhadap masalah yang

dihadapi dan diharapkan responden yang dipilih mewakili populasi.

c. Responden

Responden yang ditentukan sebagai berikut.

1. Dir Pol Air : 1 orang

2. Staf ahli : 2 orang

3. Nelayan : 10 orang

Jumlah : 13 orang

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan tahapan-

tahapan sebagai berikut :

a. Pengolahan data

1. Editing , yaitu memeriksa kelengkapan informasi dari responden agar

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

12
2. Coding, yaitu menyusun secara teratur dan sistematis semua data yang

diperoleh sesuai dengan kebutuhan analisis.

3. Tabulasi , yaitu memindahkan data dari daftar pertanyaan dan

menyusun dalam bentuk tabel sederhana guna memudahkan kegiatan

analisis.

b. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder secara

sistematis kemudian dianalisis menggunakan medote deskriptif kualitatif

adalah mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah serta pembahasan

dengan menafsirkan data yang diperoleh kemudian menuangkannya dalam

bentuk kalimat yang tersusun secara terperinci dan sistematis.

13
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. PENEGAKAN HUKUM

1. Definisi Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.Penegakan

hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma

hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Penegakan hukum

merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsepkonsep hukum yang

diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses

yang melibatkan banyak hal. (Dellyana,Shant.1988, hal 32).

Menurut (Soerjono Soekanto,1983,.hal 5) penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan hukum secara konkret

adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut

dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti

memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya

14
hukum materiil dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum

formal.

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau

konsep-konsep tentang keadilan , kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya.

Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep

tadi menjadi kenyataan.

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang

memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari

para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional , tetapi menjadi tugas

dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik

pemerintahlah yang bertanggung jawab.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Ditinjau dari sudut subyeknya:

Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam

setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada

norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan

hukum.

Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan

hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya:

15
Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di

dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada

dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut

penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya

norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep

hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan

suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:

(Dellyana,Shant.1988 hal 39)

1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana

sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of

crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab

para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara

16
lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana

substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan

terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten).

Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.

2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang

bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum

ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.

3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap

not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasanketerbatasan dalam bentuk

waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya

mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang

disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana

menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application)

yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja

lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang

dari 3 dimensi:

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu

penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang

didukung oleh sanksi pidana.

17
2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system)

yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan

sub sistem peradilan diatas.

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa

dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif

pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut (Soerjono

Soekanto,1983,hal 8) adalah :

1. Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara

kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan

suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu

prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum

merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu

tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum

bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena

penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai

kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

18
2. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan

peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada

masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum

adalah mentalitas atau kepribadian penegak hokum

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat

keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang

diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional,

sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,

diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana

khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena

secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun

disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di

dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya

mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,

yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan

hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya

hukum yang bersangkutan.

5. Faktor Kebudayaan

19
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang

sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat

mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau

mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu

garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang

harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

normatif) yang berhubungan dengan perbuatan yang melanggar hukum pidana.

Banyak pengertian tindak pidana seperti yang dijelaskan oleh beberapa ahli sebagai

berikut:

Menurut Vos, tindak pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh peraturan

perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan

ancaman pidana (Tri Andrisman,2007,hal 81). Tindak pidana adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang

berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab.Menurut Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

pelakunya dikenakan hukuman pidana. Menurut Pompe mendefinisikan tindak pidana

menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena

20
kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum sedangkan menurut hukum positif

adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai

perbuatan yang dapat dihukum.

Menurut (Moeljatno,1993,hal 69) tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang dapat dibagi menjadi

dua macam

yaitu :

a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung dihatinya.

b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui tindak pidana adalah

perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan

sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan

pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Menurut (Moeljatno,1993,hal 47) jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar

tertentu, antara lain sebagai berikut:

21
a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan

yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian

tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan

dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku III melainkan juga

merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam PerUndang-Undangan

secara keseluruhan.

b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (Formeel Delicten) dan

tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana

yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan

tertentu. Misalnya Pasal 351 KUHP yaitu tentang penganiayaan. Tindak pidana

materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu

siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan

dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja

(dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak

pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut:

Pasal 310 KUHP (penghinaan) yaitu sengaja menyerang kehormatan atau nama baik

seorang, Pasal 322 KUHP (membuka rahasia) yaitu dengan sengaja membuka rahasia

yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya.Pada delik kelalaian

d. (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 360 Ayat 2

KUHP yang menyebabkan orang lain luka-luka.

22
e. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga

disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan

dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362

KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP).Tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu

1. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak

pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya

diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.

2. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak

pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang

mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur

dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga bayi tersebut

meninggal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana

terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana

formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak

sengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

Klasifikasi tindak pidana menurut system KUHP dibagi menjadi dua bagian,

kejahatan (minsdrijven) yang diatur Dalam Buku II KUHP dan pelanggaran

23
overtredigen yang diatur dalam Buku III KUHP. Pembagian perbedaan kejahatan dan

pelanggaran didasarkan atas perbedaan prinsipil, yaitu :

a. kejahatan adalah rechtsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan

keadilan. Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu

Perundang-undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat

sebagai bertentangan dengan keadilan.

b. Pelanggaran adalah wetsdelict, artinya perbuatan-perbuatan yang didasari oleh

masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutkan sebagai

delik.

Dua macam cara menentukan perbedaan antara golongan tindak pidana kejahatan dan

pelanggaran, yaitu :

1. Meneliti dari sifat pembentuk undang-undang.

2. Meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tindak pidana yang termuat

dalam Buku II KUHP di satu pihak dan tindak-tindak pidana yang termuat

dalam Buku III KUHP di pihak lain.

24
3. Tinjauan tentang Polisi Air

3.1 Struktur Organisasi Polisi Perairan (Polair)

Polisi adalah anggota badan pemerintahan yang bertugas memelihara

keamanan dan ketertiban umum. Namun, kata polis dapat merujuk kepada salah

satu dari tiga hal yaitu orang, institusi (lembaga), atau fungsi. Polisi yang

bermakna institusi biasa kita sebut dengan kepolisian. Contohnya Kepolisian

Negara Republik Indonsia atau Polri, dan Kepolisian Daerah atau Polda

(Yulihastin, 2008: 3).

Berdasarkan Peraturan Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 22 Tahun

2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah

Pasal 1 angka 1 ditentukan bahwa:

Kepolisan Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakan hukum, serta memberikan perlindungan pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri.

Dalam melaksanakan tugasnya, Organisasi Polri disusun secara

berjenjang dari tingkat pusat sampai ke Wilayahan. Organisasi Polri yang

berada di tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Mabes Polri) yang di pimpin oleh Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Kapolri) sedang organisasi Polri yang berada di tingkat

ke Wilayahan disebut Kepolisian Daerah (Polda) yang dipimpin oleh Kepala

25
Polisi Daerah (Kapolda). Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 22

Tahun 2010 Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa Polda adalah pelaksana tugas

dan wewenang Polri di Wilayah Provinsi yang berada di bawah Kapolri. Polda

dalam melaksanakan tugas pokoknya khususnya dalam hal pelaksanaan

kepolisian perairan dibantu oleh subbagian pelaksana tugas pokok yaitu

Direktorat Polisi Air (DitPolair).

Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair) adalah bagian integral Polri yang

mengemban tugas diwilayah perairan dalam rangka memelihara Kamtibmas,

menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

masyarakat, sebagai upaya terciptanya keamanan dalam negeri

(http://wikimapia.org/16971843/id/MAKO-DIT-POLAIR-POLDADIY,

diakses tanggal 13 Oktober 2012).

Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 22 Tahun 2010

tentang Sususnan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian

Daerah Pasal 1 angka 26 yang dimaksud dengan Direktorat Kepolisian

Perairan yang selanjutnya disingkat Ditpolair adalah unsur pelaksana tugas

pokok pada tingkat Kepolisian Daerah yang berada di bawah Kepala

Kepolisian Daerah. Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara No.

22 Tahun 2010 Pasal 6 huruf f ditentukan bahwa Kepolisian Daerah (Polda)

menyelenggarakan fungsi :

Pelaksanaan kepolisian perairan, yang meliputi kegiatan patroli termasuk

penanganan pertama tindak pidana, pencarian dan penyelamatan

26
kecelakaan/ Search and Rescue (SAR) di wilayah perairan, pembinaan

masyarakat pantai atau perairan dalam rangka pencegahan kejahatan dan

pemeliharaan keamanan di wilayah perairan;

Ditpolair yang merupakan unsur pelaksana tugas pokok dari Kepala

Polisi Daerah (Kapolda), memiliki tugas untuk menjalankan tugas di bidang

perairan yang diselenggarakan oleh Polda, seperti yang diatur dalam Peraturan

Kepala Kepolisian Negara No. 22 Tahun 2010 Pasal 6 huruf (f). Direktur

Polisi Air (Ditpolair) yang dipimpin oleh Direktorat Polisi Air (Dirpolair) yang

bertanggungjawab kepada Kapolda, dan dalam pelaksanaan sehari-hari,

Ditpolair berada di bawah kendali Wakil Kepala Polisi Daerah (Wakapolda).

Dalam melaksanakan tugasnya, Dirpolair dibantu oleh Wakil Direktur Polisi

Air (Wadirpolair) yang

bertanggungjawab kepada Dirpolair.

Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 22 Tahun

2010 Pasal 204 ditentukan bahwa:

Ditpolair terdiri dari:

a. Subbagian Perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin).

b. Bagian Pembinaan Operasional (Bagbinopsnal).

c. Subdirektorat Penegakan Hukum (Subditgakkum).

d. Satuan Patroli Daerah (Satrolda).

e. Subdirektorat Fasilitas, Pemeliharaan dan Perbaikan

(Subdistfasharkan) dan

27
f. Kapal

3.2 Tugas dan Wewenang Polisi Perairan

Tugas Pokok Kepolisian Perairanbertugas menyelenggarakan fungsi

Kepolisian Perairan yang mencakup patroli termasuk penanganan pertama terhadap

tindak pidana, pencarian, penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan dan pembina

msyarakat pantai/ perairan serta pembinaan fungsi Kepolisian perairan dalam lingkup

Polda

Fungsi Kepolisian perairan antara lain:

a. Pembinaan fungsi Kepolisian perairan dalam lingkungan polda

b. Menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan fasilitas / sarana Kapal dalam

lingkungan Polda

Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara No. 22 Tahun 2010

Pasal 202 ayat (2) ditentukan bahwa tugas Ditpolair yaitu menyelenggarakan

fungsi kepolisian perairan yang mencakup patroli, Tindakan Pertama di

Tempat Kejadian Perkara (TPTKP) di perairan,

Search and Rescue (SAR) di wilayah perairan, dan Bimbingan Masyarakat

(Binmas) pantai atau perairan serta pembinaan fungsi kepolisian perairan

dalam lingkungan Polda.

Ditpolair juga menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :

a. Pemeliharaan dan perbaikan fasilitas serta sarana kapal di lingkungan

Polda.

28
b. Pelaksanaan patroli, pengawalan penegakan hukum di wilayah

perairan, dan Binmas pantai di daerah hukum Polda.

c. Pemberian bantuan SAR di laut/ perairan.

d. Pelaksanaan transportasi kepolisian di perairan.

e. Pengumpulan dan pengolahan data serta penyajian informasi dan

dokumentasi progam kegiatan Ditpolair. (Peraturan Kepala Kepolisian

Negara No. 22 Tahun 2010 Pasal 202 ayat (3)).

Menurut Bayu Sena fungsi Polair antara lain :

a. Menyelenggarakan Fungsi Polair bagi seluruh jajaran Polri.

b. Menyelenggarakan pembinaan teknis tugas umum patroli perairan

termasuk pengamanan obyek vital dan periwisata serta event– event

penting di wilayah perairan.

c. Menyelenggarakan pembinaan teknis penyidikan di perairan termasuk

pembinaan dan pengembangan Satuan Cadangan Pusat, negosiator

dan tindak pidana di wilayah perairan.

29
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tindak Pidana Perairan

Suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya

merupakan perbuatan yang dicela dan dilarang untuk dilakukan sebab dapat

merugikan kepentingan orang lain maupun kepentingan umum. Menurut

simons, tindak pidana (Strafbaar Feit) ialah tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan oleh Undang-Undang

telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa tindak pidana ialah suatu kelakuan

manusia (yang meliputi perbuatan dan pengabaian) yang memenuhi rumusan

yang dilarang oleh Undang-Undang dan diancam dengan pidana. Dengan

demikian suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah

apabila perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang dan diancam dengan

pidana. Oleh karena itu segala perbuatan ataupun aktivitas yang dilakukan

diwilayah perairan laut Indonesia yang dengan tegas dinyatakan sebagai

keharusan atau larangan oleh undang-undang dan diancam dengan pidana bagi

barang siapa yang melanggarnya adalah merupakan suatu tindak pidana.

Hukum pidana dalam ilmu hukum dibagi menjadi hukum pidana umum dan

hukum pidana khusus, pembagian ini sebagaimna ditegaskan dalam pasal 103

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa

30
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi

perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam

dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”

Pasal 103 KUHP ini secara tersirat menyatakan bahwa segala ketentuan

didalam KUHP merupakan ketentuan umum, sedangkan undang-undang diluar

KUHP merupakan ketentuan khusus. oleh karena itu tindak pidana juga dibagi

menjadi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang tercantum didalam

KUHP beserta perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP

itu, seperti Undang-undang No. Tahun 1946 dan Undang-undang No. 73 Tahun

1948. Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP, beserta semua peraturan

perundang-undangan pelengkapnya baik peraturan perundang-undangan pidana

maupun bukan pidana tetapi bersanksi pidana.

Dari hasil yang saya teliti, tindak pidana yang sering terjadi di perairan Kota

Kupang adalah :

a. Tindak Pidana Perompakan/Pembajakan Di Laut

Perompakan/pembajakan adalah setiap tindakan kekerasan/ perampasan atau

penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang

atau barang, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau

penumpang dari suatu kapal.

31
NO JENIS TAHUN JUMLAH

KEJAHATAN
2015 2016 2017

b. Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana perikanan adalah tindak atau perbuatan penangkapan ikan yang

melawan hukum sebagaimana diatur dan diancam dengan sanksi pidana oleh

undang-undang atau peraturan perikanan lainnya. Penangkapan ikan merupakan

kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam

keadaan dibudidayakan dengan atau cara apapun, termasuk kegiatan yang

menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,

mengolah, atau mengawetkannya.

c. Tindak Pidana Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang

Tenggelam Di Dasar Laut (Benda Cagar Budaya/BCB) BCB adalah benda yang

mempunyai nilai sejarah budaya, ekonomi dan lainnya. BCB berasal dari

muatan kapal yang tenggelam di perairan Indonesia dan telah berusia lebih dari

50 tahun. Pengangkatan adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survei dan

32
pengangkatan BCB. Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan

kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk kepentingan pemerintah.

d. Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Tindak pidana lingkungan hidup adalah perusakan lingkungan dan pencemaran

lingkungan baik yang disengaja maupun karena kealpaannya melakukan

perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup.

e. Tindak Pidana Pelayaran

Secara garis besar tindak pidana pelayaran adalah perbuatan pelanggaran

terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, ke

pelabuhan, serta keamanan dan keselamatannya, berdasarkan kualifikasi

undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang mencakup

antara lain:

Pelanggaran terhadap sarana bantuan navigasi pelayaran dan fasilitas alur

pelayaran (Pasal 100);

Pelanggaran oleh nakhoda, terhadap tata cara pelayaran (pasal 101);

Pelanggaran berupa tidak menggunakan pandu di perairan wajib pandu dan

melaksanakan pemanduan tidak memenuhi persyaratan (pasal 102;

33
Pelanggaran oleh nakhoda dan atau pemilik kapal tentang pelaporan dan

penyingkiran kerangka kapal (pasal 103);

Pelanggaran terhadap ketentuan pengoperasian pelabuhan umum dan khusus

(pasal 104, 105, 106, 107);

Pelanggaran tentang perubahan kapal yang tidak dilaporkan kepada pejawab

berwenang (pasal 108);

Pelanggaran terhadap daerah pelayaran dan kelaiklautan (pasal

109);

Tidak mematuhi tata tertib lalu lintas kapal dan tanpa surat izin (pasal 110);

Pelanggaran terhadap persyaratan peti kemas (pasal 111);

Pelanggaran terhadap tanda pendaftaran kapal (pasal 112);

Pelanggaran berkenaan dengan pengalihan hak milik atas kapal tanpa nama

(pasal 113);

Pelanggaran terhadap ketentuan pengibaran bendera kebangsaan (pasal 114);

Meninggalkan kapal tanpa alasan, secara paksa melayarkan kapal yang

tidak laik laut dan menghalangi nakhoda kapakl melaksanakan kewajibannya

(pasal 115);

Pelanggaran terhadap tidak melaporkan buku harian kapal dedngan ukuran

tertentu kepada pejabat berwenang (pasal

34
116);

Pelanggaran berkaitan dengan ABK, seperti tanpa disijil, tanpa kemampuan

dan tanpa dokumen pelaut, atau ABK tidak mentaati perintah nakhoda (pasal

117, 118);

Pelanggaran berupa pembuangan limbah/bahan lain dari kapal yang

mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, dan tidak melakukan

penanggulangan pencemaran dari kapalnya (pasal

119, 120);

Pelanggaran perizinan usaha dan kegiatan penunjang angkutan di perairan

(pasal 121);

Pelanggaran terhadap kewajiban asuransi atas tanggung jawabya terhadap

pencemaran kapalnya, atau kewajiban asuransi atas usaha dan kegiatan

penunjang angkutan di perairan (pasal 122);

Pelanggaran terhadap kewajiban pelaporan kecelakaan, pemberian

pertolongan semampunya, dan tidak mencegah penyebarluasan berita kepada

pihak lain (pasal 123);

Pelanggaran terhadap kewajiban pemberian pertolongan semampunya

terhadap orang di perairan dan di menara suar atau tubrkuan dengan kapal

lain (pasal 124 jo pasal 98

35
UNCLOS 1982);

Pelanggaran terhadap kewajiban melaporkan kecelakaan kapalnya atau

kapal lain yang mengakibatkan kerusakan pada alur laut/bangunan di

perairan yang membahayakan keselamatan (125);

Pelanggaran pengoperasian kapal/pesawat udara yang tidak membantu

SAR, walaupun telah diberitahu secara patut oleh pejabat berwenang (126);

Pembuatan surat keterangan palsu oleh nakhoda dan ABK atau orang selain

nakhkoda/ABK kapal Indonesia;

Pemakaian bendera Indonesia tanpa hak dan menyamar sebagai sekoci atau

perahu kecil guna membantu orang sakit;

Melakukan pengintaian tanpa izin;

Menggambar/memotret laut term,asuk pantai tanpa izin;

Pengumpulan keterangan untuk kepentingan hankam tanpa izin;

Mengambang tanpa alasan yang sah.

f. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistimnya

1) Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan

kawasan suaka alam, yaitu :

36
a) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,

memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang

dilindngi atau bagian-bagiannyadalam keadaan hidup atau mati;

b) Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya

dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke

tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

2) Kegiatan yang terkait dengan pelanggaran terhadap satwa yang

dilindungi atau terhadap bagian dari satwa tersebut seperti kulit, tubuh

atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi, atupun barang-barang

yang dibuat dari bagian satwa tersebut.

3) Kegiatan pelanggaran terhadap zona inti taman nasional, atau zona

pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan

taman wisata alam.

B. Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana yang Terjadi di Perairan Kota

Kupang Oleh Direktorat Polisi perairan Polda NTT

A. Proses Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Perairan(Pelayaran)

Terdapat persamaan dan perbedaan proses pelaksanaan penyidikan tindak pidana

perairan dengan proses penyidikan tindak pidana pada umumnya. Persamaannya

yaitu tindak pidana perairan juga diatur didalam KUHP seperti tindak pidana

umum lainnya. Sedangkan perbedaannya yaitu dengan terdapatnya kekhususan

dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana pelayaran sebagaimana diatur dalam

37
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012

tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2008 tentang Pelayaran.34 Proses penyidikan Tindak Pidana Pelayaran

dilaksanakan setelah proses penyelidikan selesai dilakukan. Dasar hukum untuk

dapat dimulainya penyidikan tindak pidana pelayaran oleh Kepolisian Perairan di

Indonesia pada umumnya terdapat pada Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana yaitu :

a) Laporan polisi/pengaduan

b) Surat perintah tugas

c) Laporan hasil penyelidikan (LHP);

d) Surat perintah penyidikan, dan

e) SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan)

Dengan adanya 5 point yang tersebut di atas, maka proses penyidikan tindak

pidana pelayaran dapat dimulai. Tahapan - tahapan pelaksanaan penyidikan

tindak pidana pelayaran diatur dalam Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

(1). penyelidikan;

(2). pengiriman SPDP;

(3). upaya paksa;

(4). pemeriksaan;

38
(5). gelar perkara;

(6). penyelesaian berkas perkara;

(7). penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;

(8). penyerahan tersangka dan barang bukti; dan

(9). penghentian Penyidikan.

Tahapan penyelidikan seperti yang terdapat pada point (1), diatur secara lebih

rinci di dalam Pasal 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilaksanakan melalui

kegiatan:

a) pengolahan TKP:

1. mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas

tersangka, dan

Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya;

2. mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti; dan

3. memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi;

b) pengamatan (observasi):

1. melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu untuk

mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan; dan

2. mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada berdasarkan

pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya;

c) wawancara (interview):

39
1. mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik wawancara

secara tertutup maupun terbuka; dan

2. mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari

jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana,

dan bilamana;

d) pembuntutan (surveillance):

1. mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain

yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana;

2. mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak

pidana; dan

3. mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil Kejahatan;

e) pelacakan (tracking):

1. mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan

teknologi informasi;

2. melakukan pelacakan melalui kerja sama dengan Interpol, kementerian/

lembaga/badan/komisi/instansi terkait; dan

3. melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan;

f) penyamaran (undercover):

1. menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk

memperoleh bahan keterangan atau informasi;

2. menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok

tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana; dan

40
3. khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran sebagai

calon pembeli (undercover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam

distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran

disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution);

g) penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu

dengan cara:

1. mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana; dan

2. meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi

perkara tindak pidana serta modus operandinya.

Tahapan pengiriman SPDP seperti yang terdapat pada point (2), diatur secara

lebih rinci di dalam Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,

yaitu :

(1) SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, dibuat dan dikirimkan

setelah terbit surat perintah penyidikan.

(2) SPDP sekurang-kurangnya memuat:

a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan;

b. waktu dimulainya penyidikan;

c. jenis perkara, Pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang

disidik;

d. identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan

e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.

41
Tahapan Upaya Paksa seperti yang terdapat pada point (3), diatur secara lebih

rinci di dalam Pasal 26 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

Upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi:

a. pemanggilan;

b. penangkapan;

c. penahanan;

d. penggeledahan;

e. penyitaan; dan

f. pemeriksaan surat.

Tahapan Pemeriksaan seperti yang terdapat pada point (4), diatur secara lebih

rinci di dalam Pasal 63 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, dilakukan oleh

penyidik/penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan

dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik

pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.

(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk

mendapatkan keterangan saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita

acara pemeriksaan, guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang

maupun barang bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas.

42
(3) Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), wajib memiliki kompetensi sebagai pemeriksa.

Tahapan Gelar Perkara seperti yang terdapat pada point (5), diatur secara lebih

rinci di dalam Pasal 69 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

Gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e, dilaksanakan

dengan cara:

a. gelar perkara biasa; dan

b. gelar perkara khusus.

Tahapan Penyelesaian Berkas Perkara seperti yang terdapat pada point (6),

diatur secara lebih rinci di dalam Pasal 73 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan

Tindak Pidana, yaitu :

(1) Penyelesaian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf f

meliputi tahapan:

a. pembuatan resume berkas perkara; dan

b. pemberkasan.

(2) Pembuatan resume berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a, sekurang-kurangnya memuat:

a. dasar Penyidikan;

b. uraian singkat perkara;

c. uraian tentang fakta-fakta;

43
d. analisis yuridis; dan

e. kesimpulan.

(3) Pemberkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurang

kurangnya memuat:

a. sampul berkas perkara;

b. daftar isi;

c. berita acara pendapat/resume;

d. laporan polisi;

e. berita acara setiap tindakan Penyidik/Penyidik pembantu;

f. administrasi Penyidikan;

g. daftar Saksi;

h. daftar Tersangka; dan

i. daftar barang bukti.

(4) Setelah dilakukan pemberkasan, diserahkan kepada atasan Penyidik selaku

Penyidik untuk dilakukan penelitian.

(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi persyaratan formal

dan material untuk setiap dokumen yang dibuat oleh Penyidik.

(6) Setelah berkas lengkap dan memenuhi syarat segera dilakukan penjilidan dan

penyegelan.

Tahapan Penyerahan Berkas Perkara ke Penuntut Umum seperti yang terdapat

pada point

44
(7), diatur secara lebih rinci di dalam Pasal 74 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana,

yaitu :

(1) Penyerahan berkas perkara kepada JPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15 huruf g dilakukan sebagai berikut:

a. tahap pertama, menyerahkan berkas perkara; dan

b. tahap kedua, penyerahan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti setelah

berkas perkara dinyatakan lengkap.

(2) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan

oleh JPU, berkas perkara dianggap lengkap dan Penyidik/Penyidik Pembantu

dapat menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti (tahap II).

Tahapan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti seperti yang terdapat pada

point (8), diatur secara lebih rinci di dalam Pasal 75 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

(1) Penyerahan tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15 huruf h, dibuatkan berita acara serah terima tersangka dan barang bukti yang

ditandatangani oleh Penyidik/Penyidik Pembantu yang menyerahkan dan JPU

yang menerima.

(2) Penyerahan tanggung jawab tersangka wajib dilaksanakan di kantor JPU.

45
(3) Penyerahan tanggung jawab atas barang bukti dapat dilaksanakan di tempat

lain, dimana barang bukti disimpan. Tahapan Penghentian Penyidikan seperti

yang terdapat pada point (9), diatur secara lebih rinci di dalam Pasal76 Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu :

(1) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i,

dilakukan apabila:

a. tidak terdapat cukup bukti;

b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan

c. demi hukum, karena:

1. tersangka meninggal dunia;

2. perkara telah kadaluarsa;

3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan

4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai

kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

(2) Sebelum dilakukan penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara.

(3) Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan

surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka

atau penasihat hukumnya.

(4) Dalam hal penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra

peradilan dan/atau ditemukan bukti baru, penyidik harus melanjutkan penyidikan

46
kembali dengan menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan

dan surat perintah penyidikan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abidin, Andi Zainal dan Hamzah, Andi. 2010, Hukum Pidana

Indonesia, PT. Yasrif Watampone: Jakarta.

Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta

Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Rineka Cipta. 1993. Jakarta

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penegakan Hukum, Rajawali Pers.

Tri Andrisman, 2007, Hukum Pidana, Bandar Lampung.

47
B. Undang-undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Undang- undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah

"ordonnantietijdelijke bijzondere strafbepalingen" (stbl. 1948

nomor 17) dan undang-undang republik indonesia

dahulu nomor8 tahun 1948.

C. Dokumen Lain (internet)

(http://wikimapia.org/16971843/id/MAKO-DIT-POLAIR-

POLDADIY, diakses tanggal 13 Oktober 2012).

(http://www.polair.or.id/index.php/home/57-ur-

binfung/934pedoman-pelaksanaan-tugas-fungsi-polair-dalam-

rangkamendukung-program-polmas, diakses tanggal 25 Februari

2013).

48
49

Anda mungkin juga menyukai