Anda di halaman 1dari 28

KARYA TULIS ILMIAH

“PENTINGNYA TES PSIKOLOGI DALAM PEMBUATAN


SIM”

Oleh:

DEVI INDAH LESTARI

SMA NEGERI 3 SIMPANG HILIR


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta inayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Shalawat serta salam terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. beserta sahabat, keluarga, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dari
berbagai pihak, baik dalam bentuk pikiran, tenaga, maupun waktu dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihakyang telah meluangkan waktu untuk
membantu dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini.

penyusun sangat menyadari bahwa dalam penyajian karya tulis ilmiah


ini masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, besar
harapan penulis agar karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat yang
besar, khususnya bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Rantau Panjang, Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 3
D. Metode Penelitian 3

BAB 2 LANDASAN TEORI 4

A. Definisi dan Fungsi Tes Psikologi dalam


Pembuatan SIM 4
B. Perilaku Berkendara yang Tidak Aman 7
C. Sikap 9
D. Norma Subjektif 10
E. Sensation Seeking 11
F. Kerangka Berfikir 12

BAB 3 ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH 14

A. Analisis Faktor Penyebab Kecelakaan


Lalu Lintas 14
B. Pemecahan Masalah 18

BAB 4 PENUTUP 21

A. Kesimpulan 21
B. Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam


kehidupan masyarakat, baik di kota besar maupun di kota yang lebih
kecil. Kendaraan atau alat transportasi memiliki peran yang penting di
kehidupan masyarakat modern pada saat ini. Semakin tingginya
kebutuhan untuk mobilitas dan transportasi khususnya di darat, maka
semakin banyak aktivitas yang terjadi di jalanan. Di Indonesia, sepeda
motor merupakan salah satu kendaraan andalan yang digunakan
masyarakat sekarang ini sebagai sarana transportasi.

pertumbuhan kendaraan bermotor terutama sepeda motor di


Indonesia sangat pesat. Dengan bertambah pesatnya pengendara sepeda
motor maka kemungkinan untuk terjadi kecelakaan juga semakin besar.
Berdasarkan keterangan dari badan intelijen negara (2013), Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan bahwa kecelakaan lalu lintas di
Indonesia menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian terbesar
setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis (TBC). Selain itu, WHO
juga menyatakan bahwa Indonesia merupakan urutan kelima sebagai
negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas.

Kecelakaan lalu lintas berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 adalah


suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan
korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut UU No. 22
Tahun 2009, kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi tiga yaitu
kecelakaan lalu lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang, kecelakaan lalu lintas sedang,
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan
kendaraan dan atau barang, kecelakaan lalu lintas berat, merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Adapun keselamatan lalu lintas merupakan suatu bentuk usaha
atau cara mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat berupa
petunjuk pencegahan (accident preventive) dan petunjuk mengurangi
kecelakaan (accident reduction). Dalam Ketentuan Umum Peraturan
Menteri Perhubungan No. 14/2006, keselamatan lalu lintas adalah
keadaan terhindarnya pengguna jalan dan masyarakat dari kecelakaan
lalu lintas.
Di Indonesia, penyebab kecelakaan lalu lintas yaitu:manusia
(91%), jalan & lingkungan (4%), dan kendaraan (5%), (DKTD,2006). Hal
ini membuktikan bahwa manusia adalah faktor utama penyebab
kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Manusia yang dimaksudkan disini
adalah perilaku manusia dalam berkendara sebagai pengguna jalan.
Perilaku manusia dalam berkendara sangat dipengaruhi oleh kepribadian
manusia itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu tes agar dapat
mengetahui kepribadian pengendara sehingga dapat mengurangi jumlah
kecelakaan lalu lintas.
Untuk mengetahui kepribadian pengendara dapat dilakukan
melalui tes psikologi dalam pembuatan SIM. Namun, dalam prosesnya
ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan
sebelum mengimplementasikan tes psikologi tersebut, yaitu:
1. Masalah Reabilitas dan validitas tes.Kepala Seksi Surat Izin
Mengemudi Polda Metro Jaya Fahri Siregar merinci aspek yang
ingin diukur melalui tes psikologi, yaitu: aspek kecerdasannya, stabilitas
emosi, kemampuan konsentrasi, kemampuan penyesuaian diri
terhadap lingkungan, ketahanan kerja, serta pengendalian diri.
Dalam informasi sebelumnya tujuan tersebut dimanifestasikan
dalam tes psikologi yang berdurasi 15 menit, dilaksanakan berbasis
komputer dengan komposisi 24 pertanyaan untuk pemohon baru
dan 18 pertanyaan untuk pemohon perpanjangan SIM.
2. Tes psikologi akan memberikan beban tambahan biaya kepada
pemohoin sim. Psikolog Adi Sasongko dari Biro Psikologi Andi Arta
mengatakan bahwa tambahan biaya untuk tes psikologi adalah
Rp.35.000,00.

B. Rumusan Masalah
1. Apa fungsi diadakannya tes psikologi dalam pembuatan SIM?
2. Bagaimana kondisi psikologi pengemudi dapat mempengaruhi
keadaan lalu lintas?
3. Apa hubungan antara psikologi dan usia pengemudi dalam
mempengaruhi keselamatan berkendara?
4. Berdasarkan variabel yang diprediksikan menjadi faktor – faktor
penyebab perilaku berkendara tidak aman, variabel manakah yang
paling berpengaruh terhadap perilaku berkendara yang tidak aman?
C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Penulisan karya tulis ilmiah “PENTINGNYA TES PSIKOLOGI DALAM
PEMBUATAN SIM” ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tes
psikologi dalam pembuatan SIM terhadap keselamatan dalam
berkendara sehingga dapat dijadikan informasi untuk meminimalisir
kecelakaan lalu lintas dimasa depan.
2. Tujuan khusus
Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
terhadap pihak kepolisian RI mengenai pentingnya tes psikologi dalam
pembuatan SIM, sehingga dapat dilakukan upaya peningkatan dan
pengembangan dalam pengawasan serta pencegahan terjadinya
kecelakaan lalu lintas. Penulisan ini juga diharapkan dapat menjadi
bacaan bagi para pembaca yang ingin mengetahui maupun tertarik
pada permasalahan transportasi.

D. Metode Penelitian

Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode analisis


pustaka. Jadi, penulis mencari berbagai informasi yang valid dari
berbagai sumber dan menyusunnya menjadi sebuah karya tulis ilmiah.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Definisi dan Fungsi Tes Psikologi dalam Pembuatan Surat Izin


Mengemudi (SIM)

Tes adalah suatu tugas atau serangkaian tugas, dalam bentuk


pertanyaan – pertanyaan atau perintah – perintah untuk di jawab dan
dilaksanakan. Sedangkan psikologi secara umum adalah kondisi kejiwaan
atau kepribadian seorang individu. SIM adalah bukti registrasi dan
identifikasi yang diberikan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi
kesehatan jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas, dan
terampil dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
Tes psikologi dalam pembuatan SIM merupakan implementasi
dari persyaratan kesehatan rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun
2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 81 ayat (4). Adapun
persyaratan rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun 2009 antara
lain juga dijelaskan oleh Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2012 pada Pasal 36, yaitu:

1) Kesehatan rohani, sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b,


meliputi:
a. Kemampuan konsentrasi;
b. Kecermatan;
c. Pengendalian diri;
d. Kemampuan penyesuaian diri;
e. Stabilitas emosi; dan
f. Ketahanan kerja.
2) Kemampuan konsentrasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diukur dari pemusatan perhatian atau memfokuskan diri pada saat
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan.
3) Kecermatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diukur
dari kemampuan untuk melihat situasi dan keadaan secara cermat
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memersepsikan kondisi yang
ada.
4) Pengendalian diri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
diukur dari kemampuan mengendalikan sikapnya dalam
mengemudikan motor.
5) Kemampuan penyesuaian diri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, diukur dari kemampuan individu mengendalikan dorongan
dari dalam diri sendiri sehingga dapat berhubungan secara harmonis
dengan lingkungan, dan beradaptasi dengan baik dengan situasi dan
kondisi apapun yang terjadi di jalan saat mengemudi.
6) Stabilitas emosi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diukur
dari keadaan perasaan seseorang dalam menghadapi rangsangan dari
luar dirinya dan kemampuan mengontrol emosinya pada saat
menghadapi situasi yang tidak nyaman selama mengemudi.
7) Ketahanan kerja, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diukur
dari kemampuan individu untuk bekerja secara teratur dalam situasi
yang menekan.

Pelaksanaan tes psikologi ditujukan untuk melakukan seleksi


calon untuk menentukan pengemudi yang layak, cakap secara jasmani
maupun rohani, sehingga nantinya hanya mereka yang memiliki
keterampilan teknis dan mental yang berhak mengemudi. Dengan begitu,
diharapkan angka kecelakaan dapat diminimalisir.

World Health Organization (WHO) mencatat sedikitnya 25 juta


orang meninggal karena kecelakaan (WHO,2017:2). Negara
berpenghasilan rendah dan menengah memiliki rasio kematian lebih
tinggi jika dibandingkan dengan negara kaya. Lebih dari 90% kematian di
jalan terjadi di negara miskin, yang jumlah kendaraannya hanya 48% dari
keseluruhan jumlah kendaraan di dunia (WHO,2009:vii). Di indonesia
sendiri diperkirakan 15,3 kematian dari 100 orang disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas (WHO,2015:266), dan ¼ dari kecelakaan lalu lintas
tersebut berakibat kematian.

Departemen Perhubungan Republik Indonesia (dikutip oleh Muhaz)


Statistiik status korban kecelakaan lalu lintas
Fatalitas
Periode
Meninggal Total
8 Oktober 2016-5 Januari 2017 6.355 24.828
6 Januari 2017-5 April 2017 6.172 24.784
6 April 2017-4 Juli 2017 6.435 24.415
5 Juli 2017-2 Oktober 2017 6.721 27.056
3 Oktober 2017-31 Desember
6.111 24.790
2017
1 Januari 2018-31 Maret 2018 6.061 24.872
Sumber: korlantas.polri.go.id/statistik-2/
*total=MD+LB+LR
Data statistik Korps Lalu Lintas Republik Indonesia (Korlantas
Polri) sampai dengan tanggal 29 Juni 2018 menunjukkan kecelakaan lalu
lintas didominasi oleh sepeda motor, yaitu sebanyak 32.345 kendaraan.
Jumlah ini meningkat dari periode sebelumnya,yaitu 31.835. padahal,
sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan di
Indonesia. Kondisi tersebut dapat dilihat dari grafik dibawah ini.

Sumber: korlantas.polri.go.id/statistik-2/

Tes psikologi merupakan implementasi dari persyaratan


kesehatan rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan. Pelaksanaan tes psikologi ditujukan untuk
melakukan seleksi pengemudi yang layak, cakap secara jasmani maupun
rohani, sehingga hanya mereka yang memiliki keterampilan teknis dan
mental yang berhak mengemudi. Jangan sampai mereka yang terganggu
mentalnya berada dibelakang kemudi. Dengan demikian, diharapkan
angka kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir. Tes psikologi bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana kecenderungan pola perilaku calon
pengguna jalan. Santoso (2014) dalam studi deskriptifnya mengenai
psikologi lalu lintas mengemukakan bahwa kecelakaan lalu lintas yang
sering terjadi merupakan salah – satu akibat dari perilaku manusia yang
tidak aman.
B. Perilaku Berkendara Yang Tidak Aman

1. Definisi Perilaku yang Tidak Aman

Parker (2012) menjelaskan definisi dari perilaku berkendara yang


tidak aman adalah suatu perilaku berbahaya dalam mengemudi yang
dilakukan oleh pengemudi kendaraan dan memungkinkan untuk
terlibat dalam kecelakaan, dapat menyebabkan cidera fatal bagi
dirinya, penumpang, ataupun pengguna jalan lain, seperti pejalan kaki,
pengemudi lain, maupun penumpang di dalam kendaraan lain.

Perilaku berkendara yang tidak aman menurut Huang (2014),


cara seseorang mengemudi dengan mengabaikan hal – hal seperti
menggunakan seat belt/helm, mengemudi dalam keadaan mengantuk,
sering menggunakan telpon seluler dalam berkendara, mengemudi
dibawah pengaruh alkohol, dan mengemudi dengan agresif. Jafarpour
dan Movaghar (2014) menyatakan bahwa perilaku berkendara yang
tidak aman adalah suatu bentuk ketidaksopanan dalam berkendara
dan kenyataannya dapat membahayakan atau setidaknya memiliki
potensi untuk menempatkan pengemudi atau orang lain dalam
keadaan bahaya.
Perilaku berkendara yang tidak aman itu merupakan masalah
pada mengemudi yang meliputi perilaku mengemudi, aspek – aspek
seperti hal kecepatan (Chen & Chen, 2011), minum minuman
beralkohol, melanggar aturan lalu lintas dan kemampuan dalam
mengemudi (Nabi et al., 2004). Beberapa perilaku tidak aman juga
meliputi membuntuti (tail gating), menyalip kendaraan lain dengan
tidak memperhatikan jarak aman, serta penggunaan lajur jalan yang
tidak tepat.
Penulis memutuskan untuk menggunakan definisi yang
dikemukakan oleh Parker (2012), perilaku berkendara yang tidak aman
adalah suatu perilaku berbahaya dalam mengemudi yang dilakukan
oleh pengemudi kendaraan dan memungkinkan untuk terlibat dalam
kecelakaan, dapat menyebabkan cidera fatal bagi dirinya, penumpang,
ataupun pengguna jalan lain, seperti pejalan kaki, pengemudi lain,
maupun penumpang di dalam kendaraan lain.
2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berkendara Yang Tidak
Aman

Fermandez, Job dan Hatfield (2007), berdasarkan penelitian


terdahulu menyatakan bahwa perilaku berkendara yang tidak aman
dapat dipengaruhi olehbeberapa faktor. Faktor – faktor yang
mempengaruhi perilaku berkendara yang tidak aman adalah sebagi
berikut.
a. Sikap
Ajzen (1991) mengemukakan bahwa sikap individu akan
mempengaruhi pola perilakunya.
b. Sensation Seeking atau Pencarian Sensasi
Pencarian individu terhadap pengalaman baru dan cenderung
untuk bersedia mengambil resiko yang mungkin akan terjadi.
c. Agresi

Tingkat agresivitas pada remaja atau idividu dengan usia 18 tahun


keatas diketahui menjadi faktor yang memungkinkan untuk
berperilaku berkendaraan tidak aman.

d. Usia

Pengemudi atau pengendara kendaraan bermotor rentan


mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh cara mengemudi
yang tidak aman biasa dialami oleh pengendara usia remaja yang
menuju jenjang dewasa dikarenakan mereka sering kali
berkendara dengan cepat (mengebut), membuntuti kendaraan
lain, lebih sering mengambi resiko dengan menyalip atau menyalip
kendraan lain.

e. Jenis Kelamin

Adanya perbedaan jenis kelamin individu juga menentukan adanya


kecenderungan perilaku mengemudi yang berbeda.

f. Daya Saing

Daya saing dihipotesiskan untuk mengevaluasi perilaku individu


atau hal – hal yang terlibat denga perilaku dengan melihat
perlombaan diantara individu.

g. Penghematan Waktu

Individu sering melanggar ataupun mengemudi secara tidak aman


karena mempertimbangkan efisiensi waku.
3. Pengukuran Perilaku Tidak Aman

Pengukuran terhadap perilaku tidak aman ini mengukur seberapa


besar kecenderungan pengemudi berkendara secara tidak aman.
Dulla dan Balart (dalam Gen et al., 2014, Dulla & Balart 2003)
mengembangkan alat untuk mengukur perilaku mengemudi yang
berbahaya yang di beri nama Dulla Dangerous Driving Index (DDDI).
DDDI terdiri dari gambaran perilaku sehari – hari dan dengan
menggunakan rentangan skala Likert 1 (tidak pernah), sampai
dengan skala 5 (selalu).

C. Sikap

1. Definisi sikap
Ajzen (2005), Francis et al., (2004), Abraham dan Sheeran
(2003), dan Rhodes dan Courneya (2003) menyatakan bahwa sikap
merupakan evaluasi positif dan negatif terhadap suatu perilaku
tertentu, dalam hal ini adalah perilaku berkendara.

2. Komponen sikap
Rhodes dan Counerya (2003) membagi sikap terhadap perilaku
menjadi dua komponen, yaitu:
a. Afektif. Misalnya evaluasi terhadap perilaku yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan.
b. Instrumental. Misalnya evaluasi terhadap perilaku yang
menguntungkan atau membahayakan.

Francis et al.(2004) juga menyatakan bahwa sikap memiliki dua


komponen yaitu:

a. Behavioural beliefs. Kepercayaan mengenai konsekuensi dari suatu


perilaku.
b. Outcome evaluations. Suatu penilaian positif atau negatif
mengenai suatu perilaku yang muncul.

3. Pengukuran Sikap
Menurut Francis et al. (2004), pengukuran sikap dapat
dilakukan dengan prosedur menggunakan kata sifat bipolar (berupa
pasangan atau lawan kata) yang dapat dievaluasi (misal: baik -
buruk). Chorlton et al. (2012) mengukur sikap dengan menggunakan
delapan skala semantik diferensial dan tujuh pasang pernyataan yang
diukur dengan tujuh poin skala Likert.
Untuk penulisan kali ini, penulis menggunakan konstruksi skala
baru sikap terhadap perilaku berkendara yang tidak aman. Respon
jawaban yang diberikan oleh subjek diukur dengan menggunakan
skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 4 (sangat setuju),
(oleh Aminurul Aisha R, 2016) di karenakan objek yang akan
dievaluasi harus jelas targetnya, dalam hal ini yaitu sikap terhadap
perilaku dalam berkendara khususnya sepeda motor yang tidak
aman.

D. Norma Subjektif

1.Definisi Norma Subjektif


Asumsi mengenai norma subjektif diungkapkan oleh Elliot
(2010) bahwa perasaan dari tekanan sosial untuk berperilaku,
membendung suatu belief atau kepercayaan yang apabila suatu
perilaku ditampilkan akan mendapatkan pengakuan atau bahkan tidak
diakuui secara sosial. Menurut McLallen dan Fishbein (2008), norma
subjektif itu kembali pada persepsi seseorang mengenai tingkatan
seberapa penting menampilkan atau tidak menampilkan suatu
perilakudalam sudut pandang orang lain. Hal ini merupakan perkiraan
individu mengenai tekanan sosial untuk melakukan atau tidak
melakukan perilaku target (Francis et al., 2004).

2.Komponen Norma Subjektif


Francis et al., (2004) mengungkapkan bahwa norma subjektif
terdiri dari dua komponen, yaitu;
a) Kepercayaan normatif yaitu bagaimana orang lain menginginkan
seorang individu dalam berperilaku. Hal ini merupakan persepsi
orang lain mengenai keterlibatan individu dalam suatu perilaku.
b) Keinginan untuk memenuhi tuntutan yaitu keinginan untuk
memenuhi keinginan orang lain. Misal keinginan individu untuk
memenuhi keinginan orang tuanya bagaimana ia harus
berperilaku.

3.Pengukuran Norma Subjektif


Pengukuran norma subjektif yang telah banyak dilakukan oleh
banyak peneliti, salah satunya oleh Francis et al. (2004) menyusun
pengukuran untuk variabel norma subjektif dengan mencantumkan
pernyataan yang sifatnya umum dan terbuka terhadap opini
responden dan menggunakan rentangan skala Likert tujuh poin.
Namun, penulis hanya menggunakan skala Likert empat poin dengan
item yang menjelaskan mengenai bagaimana pihak lain memengaruhi
individu dalam berperilaku.

E. Sensation Seeking

1. Definisi Sensation Seeking


Menurut Chaplin (2008), sensation adalah proses atau
pengalaman yang timbul apabila ada rangsangan yang membangkitkan
satu reseptor. Sensation juga diartikan sebagai proses merasaka atau
menghayati. Seeking dalam bahasa Inggris dari kata seek yang berarti
mencari. Bila diartikan secara harafiah, sensation seeking berarti proses
mencari, merasakan atau menghayati suatu sensasi yang timbul akibat
terdapat rangsangan yang membangkitkan satu reseptor. APA Dictionary
of Psychology (2015) menjelaskan pengertian dari sensation seeking
sebagai kecenderungan untuk mencari aktivitas yang menegangkan
guna untuk meningkatkan stimulasi yang melibatkan hal – hal yang
berbahaya seperti sky diving ataupun balapan kendaraan.

Zuckerman, dikutip oleh Mischel, Shoda dan Smith (2004),


mendefinisikan sensation seeking sebagai suatu trait yang
merepresentasikan tingkatan keinginan dalam diri individu untuk
mencoba pengalaman baru dan bersedia untuk mengambil resiko.
Zuckerman juga menyatakan bahwa sensation seeking adalah sebuah
trail individu yang sifatnya stabil (dalam Grinbalt & Koleharju, 2009),
mencari pengalaman yang beragam, baru, secara intens adanya
kemauan untuk mengambil resiko baik fisik, sosial, hukum, dan resiko
dalam hal finansial demi pengalaman tersebut (Dahlen & White, 2006;
Hole, 2007; Jonah, 1997).

Arnett (1994) mengungkapkan bahwa sensation seeking bukan


hanya potensi untuk mengambil resiko, secara umum trait ini juga
melihat kualitas dalam mencari intensitas terhadap hal baru dalam
pengalaman sensorik yang dapat diekspresikan pada berbagai area
kehidupan individu. sensation seeking dapat diekspresikan melalui
banyak hal, beberapa perilaku anti sosial, beberapa situasi penerimaan
sosial, bergantung pada lingkungan sosial individu akan mendukung
atau menghambat keinginan individu tersebut.

Berdasarkan eberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan


bahwa sensation seeking adalah suatu trait atau sifat yang menetap
dalam diri individu dan memiliki keinginan untuk mencari pengalaman
baru atau bertindak sesuai dengan keinginannya serta bersedia untuk
mengambil resiko dari tindakannya.

2. Dimensi Sensation Seeking


Zuckerman, Eysenk & Eysenk (1978) telah mengelompokkan
sensation seeking menjadi empat aspek yaitu:
a) Thrill and adventure seeking (TAS) atau pencarian sensasi dan
petualangan, item – item yang merefleksikan keinginan untuk terlibat
pada aktivitas fisik seperti dalam kegiatan olah raga yang beresiko,
memacu adrenalin dan mengemudi dengan cepat.
b) Experience seeking (ES) atau pencarian terhadap pengalaman, item –
item yang merefleksikan tentang pencarian pengalaman baru seperti
melakukan perjalanan (traveling), musik, dan hal – hal yang tidak
sesuai dengan gaya hidup yang biasa terjadi pada individu.
c) Disinhibition, keinginan individu yang melibatkan stimulasi yang
berbeda dan aktivitas sosial yang tidak terbatas.
d) Boredom susceptibility (BS) atau kerentanan terhadap kebosanan,
merupakan keengganan untuk melakukan hal yang monoton, hal-hal
yang rutin, kehadiran orang – orang yang terprediksi dan reaksi
terhadap hal – hal yang membosankan.

3. Pengukuran Sensation Seeking


Alat ukur yang dikembangkan oleh Zuckerman, (2007) edisi revisi
yaitu sensation seeking scale V (SSS-V) yang berjumlah 40 item yang
mengukur empat aspek : thrill and adventure seeking, experience
seeking, disinhibition, dan boredom susceptibility. Alat ukur ini
merupakan alat dengan tipe jawaban forcechoice technique yaitu
dengan memilih satu jawaban dari dua pernyataan yang tersedia.

F. Kerangka Berfikir

Keselamatan merupakan bagian penting dari masalah kesehatan


manusia. Namun, masalah kecelakaan lalu lintas yang banyak terjadi
menjadi hal yang sangat menghawatirkan. Jumlah kendaraan bermotor di
jalan raya yang semakin meningkat pesat akan memiliki peluang yang
lebih besar untuk terlibat kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan sebelumnya,


pengendara kendaraan bermotor di Indonesia di dominasi oleh
pengendara sepeda motor. Masyarakat Indonesia cenderung memilih
sepeda motor karena sepeda motor dianggap lebih efisien digunakan
ketika berkendara karena bentuknya yang kecil sehingga dapat dengan
mudah melaju diantara kemacetan lalu lintas di jalan raya.
Banyaknya pengguna sepeda motor maka kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang melibatkan sepeda motor juga lebih besar. Jika
penyebab utama kecelakaan lalu lintas adalah karena kelalaian dalam
berkendara, maka sumber daya manusia akan menjadi masalah baru
yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, diharapkan masalah inii dapat
dicegah dengan memperkirakan hal – hal apa saja yang mungkin
berpengaruh terhadap perilaku berkendara yang tidak aman, sehingga
mampu mengurangi angka kecelakaan lalu lintas kendaraan bermotor di
jalan raya.

Bertambahnya kecelakaan yang terjadi tidak terlepas dari kondisi


dan jumlah kendaraan yang bertambah banyak, faktor manusia, dan
faktor lingkungan. Berdasarkan penelitian terdahulu faktor manusia
memiliki kontribusi yang cukup besar pada setiap kecelakaan lalu lintas
yang terjadi(Constantinou et al., 2011; Fernandez et al., 2007). Perilaku
berkendara yang tidak tertib menjadi akar dari kekacauan yang terjadi di
jalanan. Perilaku yang tidak tertib inilah yang menyebabkan bahaya bagi
pengendara, orang lain, objek fisik seperti fasilitas umum di jalanan
maupun kendaraan bermotor yang lain.

Perilaku yang tidak aman terutama dalam hal mengemudi


kendaraan dapat disebabkan oleh faktor internal individu seperti
keinginan untuk mencari pengalaman baru yang menantang dan
cenderung berani untuk mengambil resiko (Zuckerman, dikutip oleh
Mischel, Shoda dan Smith,2004). Alasan untuk menghemat waktu, agar
cepat sampai ketujuan mendorong pengendara untuk berkendara secara
tidak aman (Fernandez, 2007). Beberapa penelitian dan studi juga
menyebutkan bahwa adanya keinginan individu akan hal-hal yang baru
juga berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas. Sehingga diasumsikan
bahwa sensation seeking merupakan salah satu faktor yang mendorong
terjadinya perilaku berkendara yang tidak aman.

Berdasarkan paparan yan telah disjikan dapat diketahui bahwa


kondisi kepribadian/psikologis seorang individu dapat mempengaruhi
tingkat kecelakaan lau lintas, maka penulis berasumsi bahwa tes psikologi
dalam pembuatan SIM sangat diperlukan untuk meminimalisir terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
BAB III
ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

A. Analisis faktor penyebab kecelakaan

Kecelakaan lalu lintas berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 adalah


suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan
korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut UU No. 22 Tahun
2009, kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi tiga yaitu kecelakaan lalu
lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang, kecelakaan lalu lintas sedang, merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan
atau barang, kecelakaan lalu lintas berat, merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Adapun keselamatan lalu lintas merupakan suatu bentuk usaha atau
cara mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat berupa petunjuk
pencegahan (accident preventive) dan petunjuk mengurangi kecelakaan
(accident reduction). Dalam Ketentuan Umum Peraturan Menteri
Perhubungan No. 14/2006, keselamatan lalu lintas adalah keadaan
terhindarnya pengguna jalan dan masyarakat dari kecelakaan lalu lintas.
Di Indonesia, penyebab kecelakaan lalu lintas yaitu: manusia (91%),
jalan & lingkungan (4%), dan kendaraan (5%). Hal ini membuktikan bahwa
manusia adalah faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
Manusia yang dimaksudkan disini adalah perilaku manusia dalam berkendara
sebagai pengguna jalan.Santoso (2014) dalam studi deskriptifnya mengenai
psikologi lalu lintas mengemukakan bahwa kecelakaan lalu lintas yang sering
terjadi merupakan salah – satu akibat dari perilaku manusia yang tidak
aman.
Parker (2012) menjelaskan definisi dari perilaku berkendara yang
tidak aman adalah suatu perilaku berbahaya dalam mengemudi yang
dilakukan oleh pengemudi kendaraan dan memungkinkan untuk terlibat
dalam kecelakaan, dapat menyebabkan cidera fatal bagi dirinya,
penumpang, ataupun pengguna jalan lain, seperti pejalan kaki, pengemudi
lain, maupun penumpang di dalam kendaraan lain.

Perilaku berkendara yang tidak aman menurut Huang (2014), cara


seseorang mengemudi dengan mengabaikan hal – hal seperti menggunakan
seat belt/helm, mengemudi dalam keadaan mengantuk, sering
menggunakan telpon seluler dalam berkendara, mengemudi dibawah
pengaruh alkohol, dan mengemudi dengan agresif.

Pada tahun 2013, terdapat 103.784 kejadian laka lantas di Indonesia


dengan rincian penyebab sebagai berikut.

Data penyebab laka lantas berdasarkan faktor jalan

No. Penyebab Laka Lantas Jumlah kejadian


1. Rusak 857
2. Lubang 1.288
3. Panndangan terhalang 870
4. Licin 482
5. Tidak berlampu 1.185
6. Tidak ada marka jalan 715
7. Tidak ada rambu 974
8. Marka rusak 210
9. Rambu rusak 97
10. Tikungan tajam 1.366
Jumlah 8.044
*sumber: PolantasDalamAngka2013

Data penyebab laka lantas berdasarkan faktor lingkungan

No. Penyebab Laka Lantas Jumlah kejadian


1. Banjir 34
2. Longsor 13
3. Kabut 94
4. Hujan 874
5. Gempa 6
6. Tsunami 2
7. Angin ribut 28
8. Pohon tumbang 19

Jumlah 1.070
*sumber: PolantasDalamAngka2013
Data penyebab laka lantas berdasarkan faktor kendaraan

No. Penyebab Laka Lantas Jumlah kejadian


1. Rem kurang/tidak berfungsi 879
2. Kemudi kurang baik 886
3. Ban kurang baik 461
4. AS depan pecah 55
5. AS belakang pecah 36
6. Lampu depan tidak berfungsi 354
7. Lampu belakang tidak berfungsi 58
8. Penerangan kurang 497
9. Lampu menyilaukan kendaraan lain 63
Jumlah 3.299
*sumber: PolantasDalamAngka2013

Data penyebab kecelakaan lalu lintas berdasarkan faktor pengemudi

No. Penyebab Laka Lantas Jumlah kejadian


1. Lengah 29.421
2. Ngantuk 2.140
3. Tidak tertib 41.717
4. Lelah 3.096
5. Sakit 185
6. Tekanan psikologis 314
7. Pengaruh obat 27
8. Pengaruh alkohol 1.198
9. Kecepatan tinggi 13.273
Jumlah 91.371
*sumber: PolantasDalamAngka2013

Data Pelanggaran Lalu Lintas Kabupaten Kayong Utara

No. Tahun Tilang Teguran Jumlah


1. 2017 264 523 787
2. 2018 1017 936 1953

Dari data penyebab kecelakaan dapat disimpulkan bahwa manusia


sebagai pengemudi menjadi faktor utama penyebab kecelakaan di Indonesia
yaitu 91.371 kejadian dari 103.784 kejadian laka lantas di Indonesia.
Data pelanggaran lalu lintas Kabupaten Kayong Utara menyatakan
bahwa pelanggaran lalu lintas dari tahun 2017 s.d 2018 mengalami
peningkatan. Dari data tersebut dapat disimpulkan kesadara pengemudi
kendaraa bermotor masih sangat rendah.

Hal ini sesuai dengan definisi Perilaku berkendara yang tidak aman
menurut Huang (2014), “cara seseorang mengemudi dengan mengabaikan
hal – hal seperti menggunakan seat belt/helm, mengemudi dalam keadaan
mengantuk, sering menggunakan telpon seluler dalam berkendara,
mengemudi dibawah pengaruh alkohol, dan mengemudi dengan agresif”.

Pendapat Huang, (2004) mengenai perilaku mengemudi yang tidak


aman juga sejalan dengan teori tentang dimensi sensation seeking
khususnya thrill adventure seeking & boredom susceptibility. Hal ini tentu
memicu individu untuk berkendara yang tidak aman. Misal, untuk
menghilangka bosan, memicu adrenalin, dan mendapat pengakuan
(berhubungan dengan norma subjektif), pengemudi berkendara dengan
kecepatan tinggi, hingga melanggar aturan lalu lintas dengan tidak
memperhatikan resiko yang yang mungkin akan terjadi. Tentu hal ini dapat
membahayakan pengguna lain maupun pengemudi itu sendiri.

Data laka lantas berdasarkan usia korban

No. Usia Jumlah


1. 0-9 th 8.272
2. 10-15 th 17.821
3. 16-30 th 67.789
4. 31-40 th 27.360
5. 41-50 th 21.495
6. >50 th 23.104
Jumlah 165.302
*sumber: PolantasDalamAngka2013

Data laka lantas berdasarkan usia pelaku

No. Usia Jumlah


1. 5-15 7.132
2. 16-25 26.550
3. 26-30 20.955
4. 31-40 20.188
5. 41-50 14.448
6. >50 th 10.492
Jumlah 99.765
*sumber: PolantasDalamAngka2013
Dari data dapat diketahui bahwa usia juga berpengaruh dengan
banyaknya jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia, terutama usia
muda, disusul usia produktif dan tua. Pengendara usia muda dalam
beberapa kajian dikategorikan dalam usia 16-18 tahun (Sun, Benehokal &
Estrada,2008);16-19 tahun (Masten,2004); 16-20 tahun (Aultman-Hall
&Padlo,2004).
Untuk usia muda, Sun, et al., (2008); masten (2004); Heck dan
Carlos (2006) menjelaskan bahwa ancaman resiko akan keselamatan
dalam berkendara pada peran pengendara muda tidak lepas dari
minimnya pengalaman berkendara yang dimiliki. Hal ini menunjukkan
tingkat kemampuan pengendara didalam menguasai kendaraannya baik
ketika dalam kondisi yang biasa maupun dalam kondisi tiba – tiba yang
membutuhkan respon secara cepat.
Pembahasan mengenai pengendara usia tua, para peneliti
menjelaskannya dalam beberapa ranah usia. Dalam hal ini penulis
memilih ranah usia 50 tahun keatas sesuai dengan Morris & Hopkin,2010.
Usia tersebut dianggap sebagai batasan usia yang memiliki rasio
kecelakaan yang tinggi bagi para pengendara yang masuk kedalam
kategori usia tua. Terkait dengan resiko kecelakaan yang dihadapi,
keberadaan pengendara yang sudah memasuki usia tua pada dasarnya
telah mengalami proses penurunan dalam kemampuan maupun
keterampilan dalam berkendara (Morris & Hopkin, 2010;Fildes, 1997).
Beberapa penurunan kemampuan maupun ketrampilan tersebut
yaitu:
1. Penurunan dalam mengolah informasi ketika berkendara seiring
dengan bertambahnya usia. Hal ini berpengaruh pada upaya untuk
memberikan respon yang cepat dan efektif ketika berkendara,
misalnya saat macet. Dengan berkurangnya kemampuan dalam
mengolah informasi menyebabkan seorang pengendara tidak mampu
memberikan respon dengan cepat saat dibutuhkan ketika berkendara.
Kondisi ini cukup beresiko muculnya kecelakaan.
2. Penurunan fungsi gerak secara fisik.
3. Penurunan kemampuan penglihatan dan pendengaran ketika
berkendara.

B. Pemecahan Masalah
Kecelakaan lalu lintas berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 adalah
suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak di sengaja melibatkan
kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan
korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut UU No. 22
Tahun 2009, kecelakaan lalu lintas digolongkan menjadi tiga yaitu
kecelakaan lalu lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang, kecelakaan lalu lintas sedang,
merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan
kendaraan dan atau barang, kecelakaan lalu lintas berat, merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Adapun keselamatan lalu lintas merupakan suatu bentuk usaha
atau cara mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat berupa
petunjuk pencegahan (accident preventive) dan petunjuk mengurangi
kecelakaan (accident reduction). Dalam Ketentuan Umum Peraturan
Menteri Perhubungan No. 14/2006, keselamatan lalu lintas adalah
keadaan terhindarnya pengguna jalan dan masyarakat dari kecelakaan
lalu lintas.

Di Indonesia, penyebab kecelakaan lalu lintas yaitu: manusia


(91%), jalan & lingkungan (4%), dan kendaraan (5%). Hal ini
membuktikan bahwa manusia adalah faktor utama penyebab kecelakaan
lalu lintas di Indonesia. Manusia yang dimaksudkan disini adalah perilaku
manusia dalam berkendara sebagai pengguna jalan. Santoso (2014)
dalam studi deskriptifnya mengenai psikologi lalu lintas mengemukakan
bahwa kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi merupakan salah – satu
akibat dari perilaku manusia yang tidak aman.

Tes psikologi dalam pembuatan SIM merupakan implementasi


dari persyaratan kesehatan rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun
2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan Pasal 81 ayat (4). Adapun
persyaratan rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun 2009 antara
lain juga dijelaskan oleh Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2012 pada Pasal 36, yaitu:

Pasal 34
Persyaratan kesehatan,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
hurufc,meliputi:
a. Kesehatan jasmani; dan
b. Kesehatan rohani.

Pasal 36
1) Kesehatan rohani, sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, meliputi:
a. Kemampuan konsentrasi;
b. Kecermatan;
c. Pengendalian diri;
d. Kemampuan penyesuaian diri;
e. Stabilitas emosi; dan
f. Ketahanan kerja.
2) Kemampuan konsentrasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diukur dari pemusatan perhatian atau memfokuskan diri pada saat
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan.
3) Kecermatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diukur
dari kemampuan untuk melihat situasi an keadaan secara cermat
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memersepsikan kondisi yang
ada.
4) Pengendalian diri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
diukur dari kemampuan mengendalikan sikapnya dalam
mengemudikan motor.
5) Kemampuan penyesuaian diri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, diukur dari kemampuan individu mengendalikan dorongan
dari dalam diri sendiri sehingga dapat berhubungan secara harmonis
dengan lingkungan, dan beradaptasi dengan baik dengan situasi dan
kondisi apapun yang terjadi di jalan saat mengemudi.
6) Stabilitas emosi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diukur
dari keadaan perasaan seseorang dalam menghadapi rangsangan dari
luar dirinya dan kemampuan mengontrol emosinya pada saat
menghadapi situasi yang tidak nyaman selama mengemudi.
7) Ketahanan kerja, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diukur
dari kemampuan individu untuk bekerja secara teratur dalam situasi
yang menekan.

Alavi, dkk (2017) yang meneliti dampak faktor kognitif dan psikis
terhadap pelanggaran lalu lintas menemukan bahwa permasalahan
kejiwaan berpengaruh terhadap pelanggaran lalu lintas, sehingga faktor
psikologis pengemudi perlu dievaluasi sebelum mendapatkan SIM.

Pelaksanaan tes psikologi ditujukan untuk melakukan seleksi


calon untuk menentukan pengemudi yang layak, cakap secara jasmani
maupun rohani, sehingga nantinya hanya mereka yang memiliki
keterampilan teknis dan mental yang berhak mengemudi. Dengan begitu,
diharapkan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia dapat diminimalisir.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan, maka dapat disimpulkan


bahwa:
1. Tes psikologi merupakan implementasi dari persyaratan kesehatan
rohani yang dituntut dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan. Pelaksanaan tes psikologi ditujukan untuk
melakukan seleksi calon pengemudi yang layak, cakap secara jasmani
maupun rohani, sehingga nantinya hanya mereka yang memiliki
keterampilan teknis dan mental yang berhak mengemudi. Jangan
sampai mereka yang terganggu mentalnya berada dibelakang kemudi.
Dengan begitu, diharapkan angka kecelakaan dapat diminimalisir.

2. Manusia adalah faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas di


Indonesia. Baik dikarenakan faktor jasmani maupun rohani.
kepribadian seorang pengemudi berpengaruh terhadap perilaku
berkendara pengemudi tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu tes
agar dapat mengetahui kepribadian pengendara sehingga dapat
mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas.

3. Usia juga berpengaruh dengan banyaknya jumlah kecelakaan lalu


lintas di Indonesia, terutama usia muda. Untuk usia muda, Sun, et al.,
(2008); masten (2004); Heck dan Carlos (2006) menjelaskan bahwa
ancaman resiko akan keselamatan dalam berkendara pada
pengendara muda tidak lepas dari minimnya pengalaman berkendara
yang dimiliki. Sedangkan untuk usia tua lebih disebabkan karena
menurunnya fungsi kognitif dan fungsi motoriknya.
4. Variabel yang paling berpengaruh terhadap perilaku berkendara yang
tidak aman adalah sensation seeking khususnya TAS & BS, dan
norma subjektif.

B. Saran
Dari pembahasan sebelumnya, penulis memberikan saran praktis
yang diharapkan dapat bermanfaat, antara lain:

1. Pihak-pihak yang berwenang seperti pihak kepolisian


menyelenggarakan kampanye mengenai berkendara secara aman di
sekolah. Adanya edukasi terhadap siswa dan masyarakat yang
dilakukan secara berkala perihal mengendarai kendaraan bermotor
yang mencakup kiat-kiat aman dalam berkendara, dan pentingnya
tertib lalu lintas diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam berperilaku di jalan.
2. Dalam melakukan tes psikologi pada prosedur permohonan SIM,
diperlukan komitmen pemerintah dan juga masyarakat untuk
menjadikan kebijakan ini bukan sekedar formalitas, akan tetapi sebagai
fondasi untuk meningkatkan keamanan di jalan raya. Artinya, proses
permohonan SIM tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga teknis.
Dengan begitu setiap tes diharapkan dapat mencerminkan kompetensi
pemohon yang sebenarnya. Selain itu, tes psikologi diharapkan tidak
hanya dikhususkan untuk pembuatan SIM umum (plat kuning) tetapi
juga untuk semua golongan.
3. Usia juga berpengaruh dengan banyaknya jumlah kecelakaan lalu
lintas di Indonesia, baik usia muda maupun usia tua.
 Untuk usia muda, sangat diperlukan peran orang tua dalam
memberikan edukasi yang benar maupun dalam hal mengawasi dan
memberikan fasilitas, jangan sampai orang tua memberikan fasilitas
bagi anak dibawah umur yang telah ditetapkan. Selain peran orang
tua, peran teman dalam memberikan pengertian juga penting.
 Untuk usia tua diperlukan uji kesehatan jasmani dan rohani secara
berkala terkait dengan menurunnya fungsi kognitif, visual, maupun
auditorial. Didalam usia ini juga diperlukan pendamping selama
berkendara karena dalam usia tua individu sangat mudah kelelahan.

C. Temuan
Banyaknya pengendara sepeda motor dibawah umur (usia pelajar)
khususnya di Kabupaten Kayong Utara disebabkan oleh tidak tersedianya
angkutan umum. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar disediakan
angkutan umum khususnya bus sekolah untuk mengurangi pengendara
sepeda motor dikalangan pelajar.
DAFTAR PUSTAKA

10 Penyebab Utama Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Koelatas Polri,


https://otomotif.tempo.co/read/1022850/penyebab-utama-kecelakaan-
lalu-lintas-menurut-korlantas-polri, 13 Agustus 2018

4 Catatan Psikolog Soal Psikotes di Ujian SIM


https//:otomotif.kompas.com/read/2018/06/25/074000115/4-
catatan-psikolog-soal-psikotes/di-ujian-sim , 13 Agustus 2018

Aultman – Hall,L.,&Pedlo, P.(2004, Desember). Factors affecting young


driver safety, http://WWW.cti.uconn.edu/pdfs/Jhr04-298-03-5.pdf,
13 Agustus 2018

Badan Intelijen Negara(2013),


https://WWW.bin.go.id/awas/detil//197/4/21/03/2013/kecelakaan-
lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga.

Imanurul Aisha R., 2016. Faktor – Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Perilaku
Berkendara Sepeda Motor Tidak Aman, skripsi.Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 13 Agustus 2018

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Izin Mengemudi (SIM),


WWW.polri.go.id, 13 Agustus 2018

Keselamatan Dalam Berkendara: Kajian Terkait Dengan Usia dan Jenis Kelamin
pada Pengendara http://WWW.researchgate.net/publication/320616376,
13 Agustus 2018

Parker, D. And Manstead, A. S. R.(1996). The social psychology of driver


behaviour. In:Semin, G. and Friedler, K. eds. Applied social psychology,
London:sage

Perbedaan Perilaku Safety Riding(Keselamatan


Berkendara)BerdasarkanKepribadianSiswaSMANegeri1Semarang, 20
Agustus 2018

Permanawati, T., Sulistio, H., Wicaksono, A. 2010. Model Peluang


Kecelakaan Sepeda Motor Berdasarkan Karakteristik Pengendara.
Jurnal Rekayasa Sipil, vol.4 No.3 Hal:185-194

Polantas Dalam Angka 2013, 13 Agustus 2018

Statistik Laka, korlantas.polri.go.id/statistik-2/ , 13 Agustus 2018


Suggiardi, R., Putranto, L.S., Ariwibowo,R.2007. Tingkat Ketaatan Pengemudi
Sepeda Motor dalam Penggunaan Lajur Jalan pada Berbagai Kondisi Arus
Lalu Lintas. Jurnal Transportasi FSTPT.Vol.7 No.2 Hal:105-114.

Surat Izin Mengemudi (SIM), Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22


Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
WWW.hukumonline.com.

Tasca, L. (2000). A Review Of the Literature on Aggressive Driving Research,


WWW.stopandgo.org/research/aggresive/tasca.pdf

Theresia, A. (2013). 2004, Jakarta macet total.


https://metro.tempo.co/read/news/2013/07/30/083501064/2014Jaka
rta-macet-total. , 12 Agustus 2018

Tjahjono, T., dan Subagio, I. (2011). Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan.
Bandung: Lubuk Agung

Utami, N.2010. Hubungan Persepsi Risiko Kecelakaan dengan Aggressive


Driving Pengemudi Motor Remaja, Skripsi. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai