Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

KETUBAN PECAH SEBELUM WAKTUNYA

Disusun oleh :
Ananda Dwi Putri
0610200

Pembimbing
dr. Tatang Surachman, SpOG (K)

BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2010

0
BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) banyak menarik perhatian


dalam ilmu obstetrik dan sejauh ini merupakan penyebab dari satu pertiga
kelahiran prematur. Sedikitnya 60% kasus terjadi pada usia kehamilan yang aterm,
walaupun terjadi dalam usia kehamilan yang aterm, namun masih juga
menyebabkan berbagai komplikasi yang tidak terduga 19
Terdapat suatu klasifikasi yang membedakan KPSW menjadi dua menurut
usia kehamilan yaitu premature rupture of membranes (PROM) yaitu pecahnya
ketuban sebelum minggu ke 37 kehamilan dan Preterm premature rupture of
membrane (PPROM) yaitu pecahnya ketuban pada minggu 37 kehamilan atau
lebih. 2,6
Kejadian KPSW berkisar antara 5-10% dari semua kehamilan. 70% kasus
KPSW terjadi pada kehamilan aterm. 7
Pada masa aterm, 8-10% wanita hamil mengalami PROM, 2,5 mereka
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi intrauterin apabila waktu
antara pecahnya selaput sampai dengan persalinan membutuhkan waktu yang
lama. PPROM terjadi pada 1% wanita hamil dan berhubungan dengan angka
5
persalinan prematur yang tinggi, yaitu 30-40% dari semua kelahiran prematur
2,5
dan menjadi penyebab utama kelahiran prematur dilaporkan bahwa 85% dari
morbiditas dan mortalitas neonatal disebabkan karena kelahiran prematur.
PPROM menyebabkan komplikasi pada 3% kehamilan dan terjadi pada 150.000
kehamilan di Amerika Serikat. Apabila PPROM terjadi sangat dini dan jauh dari
masa kelahiran, risiko morbiditas dan mortalitas tinggi pada janin dan ibunya. 2
Infeksi, incompetent cervix, trauma, peregangan yang berlebih
(polihidramnion dan gemeli) dengan adanya tekanan dan coitus dapat dianggap
sebagai penyebab dari terjadinya KPSW 1,8,9 17,20
Faktor resiko antara lain riwayat PPROM sebelumnya, perdarahan pada
trimester pertama atau kedua kehamilan, operasi pada serviks, pendeknya serviks,

1
distensi berlebih dari uterus, penyakit jaringan ikat (Leisch-Nyhan), merokok,
trauma, kelainan janin, amniosentesis, keadaan sosial ekonomi rendah, body mass
index ibu rendah, infeksi menular seksual dan infeksi saluran kemih.2,4,9,10,11,12,13,14,15
Mekanisme dalam KPSW adalah gabungan antara peregangan dari selaput
dengan pertumbuhan uterus dan tegangan bertahap yang diakibatkan kontraksi
uterus normal, serta gerakan dari janin mungkin menyebabkan selaput ketuban
melemah. Perubahan biokimia yang signifikan juga mempengaruhi selaput
ketuban menjelang usia kehamilan aterm, termasuk turunnya substansi kolagen 5
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan apabila usia kehamilan lebih dari
20 minggu dan keluarnya cairan amnion dari vagina, pemeriksaan mikroskopis
terlihat adanya gambaran daun pakis (ferning appearance), lanugo dan verniks
kaseosa. Cairan amnion bersifat alkalis yang ditentukan dengan pemeriksaan
menggunakan kertas nitrazin dan kertas lakmus 2,6,20
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi, partus preterm, prolaps tali
pusat, abrubsio plasenta, fetal distress, deformitas janin, hipoplasia paru janin dan
kematian janin/neonatus.dan distosia 4.
Penanganan umumnya tergantung usia kehamilan saat KPSW terjadi dan
adanya indikasi lain, dapat berupa penanganan secara konservatif maupun aktif.
Pemilihan penanganan ini berbeda-beda di masing-masing institusi dan
penanganan apapun yang dipilih perlu dipikirkan risiko prematuritas dan infeksi
yang akan terjadi 1,6,20

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Histologi Dan Fisiologi Selaput Janin Dan Cairan Amnion

Amnion dan korion akan berkembang setelah terjadi fertilisasi dan terus
berkembang sampai 28 minggu kehamilan. Setelah usia kehamilan ini,
pembesaran dari ruang amnion terjadi secara pasif karena adanya peregangan dari
selaput. Lapisan selaput janin aterm (rata-rata ketebalan 200-300 μm) adalah
lapisan epitel amnion yang berperan dalam pertukaran cairan amnion dan regulasi
pH; lamina propria; jaringan penghubung korion; lapisan cytotrophoblast yang
bersatu dengan jaringan penghubung korion menjadi chorionic basal plate pada
bagian pinggir plasenta dan lapisan desidua. 1
Lapisan amnion tebal (0,08-0,12 mm), avaskular dan tidak memiliki syaraf.
Terdiri dari sel-sel berbentuk kuboid dan kolumnar. Permukaannya diperkuat
dengan desmosom dan microvillar interdigitation yang terbentang diatas
membrana basalis dengan matriks kolagen ekstraseluler. 1 Amnion terdiri dari lima
lapisan, tidak mengandung pembuluh darah ataupun saraf sehingga nutrisi untuk
sel didapat dari cairan amnion. Urutan lapisan dari dalam ke luar adalah epitel,
membrana basalis, lapisan kompakta (compact layer), lapisan fibroblast
(fibroblast layer) dan lapisan spongiosa (spongy layer). Epitel amnion
mensekresikan kolagen tipe III, IV dan glikoprotein nonkolagen (laminin, nidogen
dan fibronektin) yang membentuk membrana basalis. Lapisan kompakta (compact
layer) menempel pada membrana basalis dan membentuk kerangka jaringan ikat
amnion. Kolagen pada lapisan ini disekresikan oleh sel mesenkhim pada jaringan
ikat fibroblas. Kolagen interstisial mendominasi lapisan ini dan membentuk
kelompokan jaringan ikat yang menjaga keutuhan amnion. Kolagen tipe V dan VI
membentuk hubungan antara kolagen interstitial dan membrana basalis. Pada usia
kehamilan aterm tidak ada saling tumpang tindih antar serat kolagen pada amnion,
sehingga amnion dapat menjaga kuat regangan pada kehamilan trimester akhir.

3
Lapisan fibroblas adalah lapisan yang paling tebal dan terdiri dari sel mesenkhim
dan makrofag. Lapisan spongiosa (intermediate/spongy layer) berada antara
amnion dan korion. Adanya proteoglikan dan glikoprotein mengakibatkan lapisan
ini tampak longgar. Pada lapisan ini tidak ada kolagen tipe III. Lapisan ini
menahan beban tekanan dengan cara menggeser amnion ke korion, yang melekat
erat pada desidua maternalis. Meskipun korion lebih tebal dari amnion, amnion
memiliki daya regang yang lebih besar. Membrana basalis pada korion kaya
serabut kolagen. Sampai saat ini belum ditemukan titik terlemah pada selaput
ketuban yang dapat ruptur sewaktu-waktu. 5

Gambar 2.1 Struktur dari Selaput Janin Aterm 5

Lapisan korion atau selaput luar mengandung pembuluh darah yang menjadi
atrofi seiring dengan perkembangan kehamilan, namun tidak terdapat syaraf.
Pembuluh darah membawa nutrisi untuk korion yang kemudian menyebrang ke
amnion melalui proses difusi. 1
Lapisan korion terdiri dari 2-10 lapisan sel poligonal dengan ketebalan 0,4
mm. 1

4
Lapisan amnion dan korion tidak sepenuhnya bersatu dan memungkinkan
200 ml cairan amnion mengisi ruang intermembran. Lapisan korion relatif intak,
namun lapisan amnion secara pasif dapat terdorong dan bergerak – gerak karena
adanya mukus dari lapisan spongiosa. Lapisan amnion dapat ruptur dan sisa
jaringan yang ruptur dapat membungkus, mengikat maupun mengamputasi
bagian-bagian dari janin. Rupturnya selaput amnion sering disebabkan oleh
trauma. 1
Lapisan amnion adalah sumber dari penyimpanan asam arakidonat, sebuah
prekursor yang penting dari prostaglandin sedangkan lapisan korion adalah
sumber dari penyimpanan progesteron. Selaput janin dan desidua kaya akan
enzim-enzim (mis. phospholipase A2) yang dibutuhkan untuk pembentukan
prostaglandin. Sel-sel amnion berperan penting dalam sintesis protein, sekresi
protein dan lipid, dan pertukaran air, elektrolit dan cairan lainnya. Lapisan korion
mensintesis substansi – substansi seperti renin dan prostaglandin. 1

Gambar 2.2 Selaput janin pada uterus 3

5
Cairan amnion menyediakan ruang yang memungkinkan untuk
pertumbuhan janin, seandainya janin tertekan oleh alat disekitarnya, maka
pertumbuhannya dapat terganggu; menjaga temperatur dan tekanan; sebagai
proteksi dan bantalan bagi janin, maka apabila volume cairan amnion berkurang
ibu akan merasakan nyeri apabila janin bergerak; memungkinkan pergerakan yang
bebas dari janin karena cairan amnion memberikan tekanan yang sama ke semua
bagiannya; mendistribusi tekanan dari uterus ke janin dan membantu membuka
1,3
serviks saat persalinan dengan cara mendorong selaput janin ke ostium uteri.
Cairan amnion mengandung faktor-faktor antibakterial yang menjaga janin dari
infeksi, seperti transferin yang akan mengikat zat besi yang dibutuhkan oleh
beberapa bakteri dan jamur untuk tumbuh, asam lemak yang memiliki efek
detergen pada dinding bakteri, immunoglobulin (mis. IgG, IgA) dan lisozim yang
bersifat bakterisidal untuk bakteri gram-positif. 1
Darimana cairan amnion berasal dan mekanisme regulasinya masih belum
dapat dipastikan dengan jelas, diperkirakan berasal dari cairan yang ditelan oleh
janin, cairan paru maupun urin janin. Mekanisme regulasi lain adalah melalui
pertukaran intramembranosa dan dimediasi oleh endothelial growth factor. Status
cairan dan hidrasi ibu dapat mengubah volume cairan amnion. 1,3.
Cairan amnion pertama terlihat sebagai droplet dibagian dorsal dari kutub
embrionik saat usia kehamilan 3 minggu. 1 Ruang amnion berisi kurang lebih satu
liter cairan amnion, banyaknya kadang-kadang bervariasi tergantung dari usia
3
kehamilan. Diperkirakan terdapat 7 ml cairan amnion pada usia kehamilan 8
minggu, 30 ml pada usia kehamilan 10 minggu, 190 ml pada usia kehamilan 16
minggu dan rata-rata 780 ml pada usia kehamilan 32-35 minggu kemudian
menurun sampai 400 ml pada usia kehamilan 42 minggu. Pada usia kehamilan 36
minggu, volumenya mencapai 1030 ml dan pada 40 minggu volumenya berkurang
sampai 790 ml. Bila cairan amnion volumenya lebih dari 2 liter maka dinamakan
polihidramnion atau hidramnion dan apabila volumenya sedikit, kurang dari 500
1,3
ml dinamakan oligohidramnion. Volume pertukaran cairan amnion kira-kira
1000 ml/hari. 1

6
Sel-sel di lapisan amnion dipisahkan oleh channel intrasel menuju langsung
ke ruang amnion yang memungkinkan adanya aliran cairan dan air. Transfer air
dan cairan dari amnion dan korion diatur oleh mekanisme hidrolik, osmotik dan
elektrokimiawi. Pergerakan air terjadi sebagai ketidak seimbangan antara tekanan
hidrostatik intramembran dan tekanan efektif osmotik. Pada paruh kedua dari
masa kehamilan, pengeluaran urin janin merupakan sumber produksi utama dari
cairan amnion, diikuti dengan produksi cairan paru 1,3 ; sedangkan cairan amnion
diekskresikan dari mekanisme penelanan oleh janin dan pertukaran intramembran.
Sumber utama dari produksi dan pertukaran cairan amnion antara lain melalui
plasenta dan selaput janin (jalur intramembran) dimana selaput janin merupakan
mekanisme terpenting kedua untuk clearance cairan amnion (setelah mekanisme
penelanan oleh janin) pada paruh kedua masa kehamilan dan berperan dalam
pengurangan jumlah cairan amnion sebanyak 200-500 ml/hari. Air menyebrangi
selaput melalui mekanisme difusi dan non difusi. Mekanisme lain pada dinding
uterus melalui pembuluh-pembuluh sinusoid dari desidua (jalur transmembran)
yang merupakan jalur minor walaupun hanya sedikit cairan ~10 ml/hari yang
dikeluarkan dari mekanisme ini, pengurangan jumlah cairan amnion dapat juga
terjadi melalui kulit janin pada 22-25 minggu kehamilan dimana keratinisasi
belum terjadi sempurna, melalui saluran gastrointestinal janin dimana janin akan
menelan sejumlah cairan amnion, mekanisme ini terjadi mulai dari minggu ke 8-
11, janin menelan kira-kira 500-1000 ml cairan per hari pada kehamilan akhir,
atau sekitar 20-25% dari berat badan janin sendiri, mekanisme ini merupakan
mekanisme utama. Saluran pernafasan janin, dimana menghasilkan 300-400 ml
cairan per hari atau setara dengan 5-10% berat badan janin dan terakhir melalui
saluran kemih janin, dimana urin hipotonis dideteksi pada cairan amnion pada
usia kehamilan 9-10 minggu. Janin memproduksi 800-1200 ml cairan per hari
atau setara dengan 30% dari berat badan janin di trimester ketiga kehamilan.
Setelah usia kehamilan 40 minggu, produksi urin janin berkurang. 1
Cairan amnion reaksinya alkalis, berat jenisnya antara 1,007-1,025, baunya
anyir. 3 Cairan amnion 98-99% terdiri dari air, sisanya adalah elektrolit, kreatinin,
urea, pigmen empedu, renin, glukosa, hormol, sel-sel janin, lanugo dan vernix

7
1,3
caseosa. Komposisi ini berubah – ubah sesuai dengan usia kehamilan. Pada
masa kehamilan awal, cairan amnion sama dengan serum ibu dan janin. Pada
setengah akhir masa kehamilan, osmolalitas cairan amnion menurun sampai 92%
dari serum ibu dan serupa dengan urin janin dengan tambahan phospholipid dan
substansi lain dari paru janin. Konsentrasi urea, kreatinin dan asam urat
meningkat sesuai usia kehamilan dan sodium serta klorida menurun seiring
dengan matangnya ginjal janin. 1
Jernih maupun keruh, banyaknya dan susunan dari cairan amnion dapat
digunakan untuk pemeriksaan amnioskopi maupun amniosentesis. Menggunakan
amnioskopi, dapat dikterahui warna cairan amnion, warna hijau menunjukkan
bayi dalam keadaan fetal distress. Amniosentesis dapat digunakan untuk
mengetahui usia janin dan jenis kelamin janin. 3

2.2 Ketuban Pecah Sebelum Waktunya

2.2.1 Definisi

Definisi dari ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW) berbeda-beda


menurut berbagai sumber, namun dapat disimpulkan bahwa KPSW adalah
robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan sebelum onset persalinan
4,6 20
berlangsung atau sebelum pembukaan 4 cm (fase laten) . KPSW ini dapat
dibedakan menjadi dua menurut usia kehamilan yaitu premature rupture of
membranes (PROM) yaitu pecahnya ketuban sebelum minggu ke 37 kehamilan
dan Preterm premature rupture of membrane (PPROM) yaitu pecahnya ketuban
pada minggu 37 atau lebih. 2,6

2.2.2 Etiologi Dan Faktor Risiko

Etiologi ketuban pecah dini belum diketahui. 4 Dalam penelitian sebagai


faktor etiologi dari KPSW adalah bakteri yang menghasilkan phospolipase A2,
kolagenase, protease, dan perubahan pH. Pada sejumlah kasus, infeksi ascending
lokal dari vagina bertanggung jawab terhadap melemah dan robeknya selaput
ketuban. Pasien dengan kehamilan muda yang membawa (sebagai karier) satu

8
atau lebih organisme yang berkaitan dengan penyakit menular seksual memiliki
8,9
peningkatan angka kejadian KPSW. Ketuban pecah dini secara spontan juga
dapat disebabkan karena selaputnya lemah atau kurang terlindung karena serviks
terbuka, hal ini sering ditemui pada keadaan incompetent cervix. Trauma akibat
jatuh dan coitus juga dapat merupakan penyebab 17,20
Ruptur dari selaput selama persalinan disebabkan oleh peregangan yang
berlebih dengan adanya tekanan. Hal ini berhubungan dengan hilangnya fosfolipid
yang secara normal melubrikasi pertemuan korioamnion, dan meningkatkan daya
regangan sehingga menyebabkan ruptur. 1
Premature rupture of membrane (PROM) atau KPSW dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti stress mekanik (polihidramnion dan gemeli),
perubahan dari membran kolagen atau adanya infeksi seperti korioamnionitis.
Pada korioamnionitis, berbagai mikroorganisme vaginal dan servikal
memproduksi protease yang dapat mengubah integritas dari selaput dan
memudahkan terjadinya ruptur. PROM juga dapat disebabkan oleh adanya enzim
kolagenetik yang dihasilkan oleh plasenta dan cairan amnion yang meningkat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. 1
Faktor resiko yang meningkatkan kejadian KPSW antara lain wanita yang
pernah mengalami PPROM pada kehamilan sebelumnya, wanita yang melahirkan
bayi prematur dengan atau tanpa KPSW, wanita dengan perdarahan pada trimester
pertama atau kedua kehamilan (perdarahan yang berkaitan dengan plasenta previa
dan solusio plasenta), operasi pada serviks sebelumnya (konisasi, sevikal
inkompeten, dua atau lebih terminasi kehamilan yang bersifat elektif), pendeknya
serviks (kurang dari 2.5 cm yang diukur dari USG transvaginal) distensi berlebih
dari uterus (akibat multigravida, gemelli, atau polihidramnion), penyakit jaringan
ikat (Leisch-Nyhan), merokok selama kehamilan (resiko meningkat bila jumlah
rokok semakin banyak-dose dependent), trauma, kelainan janin, amniosentesis,
keadaan sosial ekonomi rendah (prenatal care kurang baik), juga body mass index
ibu rendah, menderita infeksi menular seksual (Neisseria gonorrhea, Chlamydia
trachomatis dan bacterial vaginosis) dan infeksi saluran kemih. Masih
kontroversial mengenai faktor nutrisi (defisiensi besi dan asam folat) dan

9
pengaruh vaginal toucher yang dilakukan secara rutin terhadap peningkatan
kejadian KPSW.2,4,9,10,11,12,13,14,15

2.2.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan bisa
berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan dengan volume yang
sedikit-sedikit maupun langsung banyak dari jalan lahir. Cairan yang keluar ini
disebut hydrorrhoea amniotica.2,4,17 Pasien PROM datang dengan keluarnya cairan
dan darah dari jalan lahir dan adanya tekanan pada pelvis, namun tidak ada
2,4
kontraksi dari uterus. Bisa disertai dengan demam apabila sudah ada infeksi.
Pada pemeriksaan palpasi, janin mudah diraba. Pada pemeriksaan inspekulo dapat
ditemukan tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah mengering. Pada pemeriksaan dalam, selaput ketuban sudah tidak
ada dan air ketuban sudah kering. 4,20

2.2.4 Patogenesis

Selaput ketuban yang normal sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
suatu tingkat tertentu, selaput ketuban robek karena tidak dapat lagi menahan
kekuatan nonpenetrating yang terjadi tiba-tiba. Robeknya selaput lebih
diakibatkan kekuatan yang menyebabkannya melemah. Gabungan antara
peregangan dari selaput dengan pertumbuhan uterus dan tegangan bertahap yang
diakibatkan kontraksi uterus normal, serta gerakan dari janin mungkin
menyebabkan selaput ketuban melemah. Perubahan biokimia yang signifikan juga
mempengaruhi selaput ketuban menjelang usia kehamilan aterm, termasuk
turunnya substansi kolagen. Karena semua hal tersebut KPSW pada aterm
mungkin merupakan proses yang fisiologis daripada sebuah proses patologis.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan preterm, maka terdapat proses
patologis yang melemahkan selaput baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang
bertanggung jawab pada proses KPSW dalam kehamilan preterm. Suatu penelitian
menunjukkan pada ibu dengan PPROM tidak memperlihatkan perbedaan

10
kekuatan pada selaput kecuali pada tempat robeknya. Fokus lokal ini
menunjukkan sumber kelemahan eksogen (dari luar). 5
Diperlukan keseimbangan faktor intrinsik, yang mengatur pembentukan
kolagen, dan penghancuran dari jaringan ikat pada amnion dan korion untuk
menjaga selaput ketuban tetap utuh. Keadaan yang dapat mengakibatkan
perubahan pada selaput ketuban antara lain penurunan komposisi kolagen,
perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas kolagenolitik.5
Gangguan pada jaringan ikat berhubungan dengan lemahnya selaput
ketuban dan peningkatan insidensi KPSW. Berdasarkan penelitian, 72% pasien
penderita sindrom Ehler-Danlos melahirkan bayi prematur setelah PPROM.
Sindrom Ehler-Danlos yaitu gangguan berupa hiperelastisitas kulit dan sendi
dikarenakan defek pada sintesis atau struktur kolagen. 5
Pada waktunya, kematian sel terprogram dan aktivasi dari enzim-enzim
katabolik seperti kolagenase dan adanya daya mekanik menyebabkan pecahnya
selaput ketuban. PROM terjadi karena mekanisme dan aktivasi yang sama, namun
muncul secara prematur. Sedangkan PROM yang terjadi dini dihubungkan dengan
adanya proses patologis seperti inflamasi dan/atau infeksi dari selaput ketuban. 2
Defisiensi nutrisi pada perempuan hamil meningkatkan risiko PPROM.
Lysil oksidase adalah enzim yang diproduksi oleh sel mesenkhim pada amnion
yang dapat meningkatkan kuat regangan amnion dengan cara meletakkan kolagen
pada amnion. Mekanisme kerja enzim ini tergantung dengan ketersediaan
tembaga (copper dependent enzyme). Wanita hamil yang mengalami PROM
memiliki kadar tembaga yang lebih rendah pada darah ibu maupun serum darah
plasenta dibandingkan pada wanita hamil yang selaput ketubannya pecah saat
persalinan. Wanita hamil yang memiliki kadar vitamin C (asam askorbat) rendah
juga lebih berisiko terjadi KPSW. Asam askorbat diperlukan pada sintesis
kolagen.5
Ibu yang perokok memiliki konsentrasi asam askorbat serum yang rendah
bila dibandingkan ibu yang tidak merokok. Cadmium yang terdapat pada rokok
meningkatkan metal-binding protein metallothienin pada trofoblas. Rendahnya
kadar tembaga dan asam askorbat dapat mengakibatkan perubahan struktur

11
kolagen pada selaput ketuban pada ibu yang merokok. Hal ini berhubungan
dengan terjadinya KPSW. 5
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase. Matrix-
metalloproteinase-1 (MMP-1) dan MMP-8 memecah ikatan serabut kolagen tipe I
dan III, yang kemudian didegradasi oleh gelatinase MMP-2 dan MMP-9.
Gelatinase ini juga memecah serabut kolagen tipe IV, fibronektin, dan
proteoglikan. Serabut kolagen pada selaput ketuban terletak di antara dua lapisan
sel yang memproduksi matriks metaloproteinase. Tissue inhibitor of
metalloproteinase-1 (TIMP-1) berikatan deengan MMP-1, MMP-8, dan MMP-9
yang teraktivasi. TIMP-2 berikatan pada bentuk aktif dan laten MMP-2. TIMP-3
dan TIMP-4 menghambat matriks metaloproteinase sama efisiennya dengan
TIMP-1. Pada saat menjelang persalinan keseimbangan antara matriks
metalloproteinase yang teraktivasi dengan inhibitornya berubah dan degradasi
kolagen lebih dominan dari inhibitornya. Saat persalinan, aktivitas MMP-9
meningkat dan konsentrasi TIMP-1 menurun. Pada pemeriksaan selaput ketuban,
ditemukan aktivitas MMP-1 meningkat sebelum persalinan, MMP-9 dan MMP-3
teraktivasi selama persalinan, dan konsentrasi TIMP-1 meningkat setelah
persalinan.5
KPSW dapat diakibatkan juga oleh ketidakseimbangan antara aktivitas
matriks metalloproteinase dan inhibitornya mengakibatkan degradasi matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban. Aktivitas kolakenase meningkat pada PROM
pada kehamilan aterm. Aktivitas protease meningkat pada PPROM, dengan lebih
didominasi aktivitas MMP-9. Aktivitas kolagenase meningkat pada jaringan
serviks selama dilatasi serviks pada saat persalinan. Pada penyakit periodontal,
aktivitas matriks metalloproteinase meningkat di jaringan ginggiva. Hal ini diduga
meningkatkan risiko kelahiran prematur melalui peningkatan insidensi PPROM.
Penemuan ini menimbulkan dugaan adanya predisposisi genetik yang berkaitan
dengan degradasi matriks ekstraseluler dan peningkatan aktivitas matriks
metalloproteinase, yang menimbulkan gejala klinis periodontitis, dilatasi serviks
prematur, atau KPSW.5

12
Respons inflamasi dimediasi oleh neutrofil dan makrofag, dan dihasilkan
sitokin, matriks metalloproteinase dan prostaglandin. Sitokin yang dihasilkan pada
proses inflamasi adalah interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α)
diproduksi oleh monosit yang teraktivasi. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. 5
Infeksi bakteri menginduksi produksi prostaglandin pada selaput ketuban,
sehingga risiko KPSW meningkat melalui perangsangan uterus dan degradasi
kolagen pada selaput ketuban. Beberapa bakteri dapat menghasilkan fosfolipase
A2, yang dapat melepaskan prostaglandin yang merpakan prekursos asam
arakidonat. Respon imun terhadap infeksi bakteri adalah produksi sitokin oleh sel
monosit yang teraktivasi, sehingga produksi prostaglandin E2 meningkat pada sel
korion. Stimulasi sitokin pada produksi prostaglandin E2 mempengaruhi induksi
siklooksigenase II, yang merupakan enzim yang mengubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator pada persalinan, dan
prostaglandin E2 mengurangi sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblas. Glukokortikoid dihasilkan
sebagai respon imun tubuh terhadap infeksi. Pada sebagian besar jaringan, efek
antiinflamasi glukokortikoid timbul melalui penekanan produksi prostaglandin.
Pada amnion, glukokortikoid menstimulasi produksi prostaglandin. Pada kultur
sel epitel amnion, deksamethason mengurangi sintesis fibronektin dan kolagen
tipe III. Diduga produksi glukokortikoid yang merupakan respons terhadap infeksi
mikroba, mendukung terjadinya KPSW.5
Progesteron dan estradiol menekan remodelling matriks ekstraseluler pada
organ reproduksi. Kedua hormon tersebut menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi penghambat metalloproteinase. Kadar
progesteron yang tinggi menurunkan produksi kolagenase pada serviks marmut,
sedangkan kadar progesteron dan estradiol yang rendah meningkatkan produksi
kolagenase pada marmut. Relaksin, suatu hormon yang berfungsi mengatur
remodelling jaringan ikat, dihasilkan desidua dan plasenta, serta menghambat efek
inhibisi estradiol dan progesteron, dengan cara meningkatkan aktivitas MMP-3

13
dan MMP-9 pada selaput ketuban. Kadar relaksin meningkat sebelum persalinan
pada selaput ketuban kehamilan aterm.5
Program kematian sel atau apoptosis berkaitan dengan remodelling yang
terjadi pada jaringan organ reproduksi atau cerviks. Apoptosis ditandai dengan
pemecahan DNA dan katabolisme RNA ribosom subunit 28S, di mana kedua zat
ini diperlukan untuk sintesis protein. Pada tikus percobaan, apoptosis dimulai saat
persalinan. Apoptosis ini terjadi saat degradasi matriks ekstraseluler dimulai. Pada
selaput ketuban yang pecah sebelum mulainya persalinan, ditemukan banyak sel-
sel yang mengalami apoptosis di tempat pecahnya selaput, sedangkan di tempat
lain lebih sedikit. Pada korioamnionitis, diduga respons imun terhadap inflamasi
semakin memacu terjadinya apoptosis. Mekanisme lebih detail mengenai
hubungan apoptosis dengan pecahnya selaput ketuban, belum ditemukan.5
Distensi uterus yang berlebihan karena polihidramnion dan kehamilan
dengan janin lebih dari satu merangsang peregangan selaput ketuban dan
meningkatkan risiko terjadinya KPSW. Peregangan selaput ketuban secara
mekanik mengakibatkan terangsangnya produksi prostaglandin E2 dan interleukin-
8. Peregangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 di selaput ketuban. Seperti
dijelaskan di atas, Prostaglandin E2 meningkatkan ambang rangsang uterus,
menurunkan sintesis kolagen pada selaput ketuban, dan meningkatkan produksi
MMP-1 dan MMP-3. Interleukin-8, yang diproduksi oleh sel amnion dan korion,
merupakan suatu zat kemotaktik neutrofil dan meningkatkan aktivitas kolagenase.
Interleukin-8 ditemukan dalam jumlah rendah pada trimester kedua, sedangkan
pada trimester ketiga jumlahnya cukup banyak. Fungsi interleukin-8 dihambat
oleh progesteron.5

14
Gambar 2.3 Mekanisme yang berhubungan dengan KPSW 5

2.2.5 Kriteria Diagnosis

Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan apabila usia kehamilan lebih dari
20 minggu dan keluarnya cairan amnion dari vagina. Berdasarkan pemeriksaan
inspekulo pada serviks dan vagina, akan terlihat cairan dari luar dari ostium uteri
eksternum, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya gambaran daun pakis
(ferning appearance), lanugo dan verniks kaseosa. Cairan amnion bersifat alkalis
yang ditentukan dengan pemeriksaan menggunakan kertas nitrazin dan kertas
lakmus dimana warna merah akan berubah menjadi biru dan yang biru tetap
berwarna biru. 2,6,20

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan pada pasien dengan KPSW adalah
penentuan usia kehamilan. Hal ini dilakukan untuk menentukan penanganannya.

15
Pemeriksaan usia kehamilan ini didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
maupun USG. Pengukuran diameter biparietal melalui USG pada pasien KPSW
mungkin kurang akurat karena terjadi kompresi pada kepala janin. Pemeriksaan
fisik lain dilakukan penilaian terhadap ukuran janin, presentasi janin, persangkaan
adanya his, infeksi (amnionitis), demam yang dialami ibu, sekret vagina yang
purulen, denyut jantung janin menjadi takikardi, dan nyeri pada uterus. Tanda
adanya infeksi saluran kemih juga perlu diperhatikan. 10,22
Untuk menentukan kesejahteraan janin, maka pengukuran denyut jantung
janin merupakan indikator yang baik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan Doppler
ultrasound. Denyut jantung janin yang baik adalah 120-160 kali per menit.
Apabila denyut jantung janin menurun sampai kurang dari 100 kali per menit
selama satu menit atau lebih maka tali pusat mungkin terjepit dan merupakan
indikasi untuk terminasi kehamilan. 15
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah
pemeriksaan darah rutin, menunjukkan leukosit darah dapat meningkat sampai
lebih dari 15.000/mm3 apabila telah terjadi infeksi.4
Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah pemeriksaan pH. Pemeriksaan
dengan lakmus dari bahan pemeriksaan cairan amnion yang berada di vagina
untuk mengetahui apakah cairan tersebut alkalis atau asidik. pH normal pada
cairan vagina antara 4,5 dan 5,5, dan pH normal dari cairan amnion antara 7,0 dan
7,5. pH yang alkalis akan memberikan hasil warna merah berubah menjadi warna
biru, apabila hasilnya alkalis, maka dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya
ketuban dan adanya cairan amnion pada vagina 4,15
Tes nitrazin dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan
vagina ke atas strip nitrazin. Reaksi kimia akan menunjukkan perubahan warna
dan mengindikasikan pH pada cairan vagina. Apabila warna menunjukkan bahwa
pH lebih tinggi dari 6,5 maka dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya
ketuban. 15

16
Gambar 2.4 Pemeriksaan dengan kertas nitrazine 18

Pemeriksaan mikroskopis dari cairan vagina dapat dilakukan, dapat


ditemukan gambaran pakis (ferning appearance) yang terjadi karena estrogen dan
cairan amnion bersatu membentuk kristalisasi garam, juga dapat ditemukan
adanya lanugo serta vernix caseosa dari janin 2,6,15
Namun, adanya kumpulan cairan di vagina merupakan hal yang paling
tepat untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah dini karena ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan pemeriksaan menjadi positif palsu. Kontaminasi darah,
infeksi bakteri dan post coitus dapat meningkatkan pH vagina. Gambaran pakis
juga terdapat pada mukus serviks dan dapat menyebabkan hasil pemeriksaan
mikroskopis yang positif palsu 2, 15

17
Gambar 2.5 Gambaran pakis (ferning appearance) pada cairan amnion 16

Tes lain yang dapat dilakukan meliputi pengukuran kadar glukosa,


fruktosa, prolaktin, alfa fetoprotein atau diamin oksidase pada cairan yang
dicurigai sebgaia cairan amnion. Kadar yang tinggi dari substansi-substansi ini
dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi pecahnya ketuban. 15
Untuk mengetahui apakah terjadi infeksi intra amnion, dapat dilakukan
pemeriksaan dengan amniosentesis, cairan amnion ada di vagina tidak dapat
digunakan karena ada kemungkinan bahwa cairan tersebut telah terkontaminasi
oleh bakteri yang ada di vagina. Sebelum dilakukan prosedur amniosentesis,
sebaiknya dilakukan USG untuk mengetahui seberapa banyak sisa cairan amnion
yang ada 15
Apabila seluruh cairan amnion telah keluar, maka pemeriksaan penunjang
dengan ultrasonografi dapat dilakukan, pada pemeriksaan USG dapat diketahui
bahwa volume cairan amnion sangat sedikit pada cavum uterus. 2 Selain itu, USG
dapat menentukan usia kehamilan, berat janin, letak janin dan letak plasenta.
Dapat juga dilakukan amniosentesis. 4

18
Gambar 2.6 Amniosentesis 21

Terdapat beberapa metode pemeriksaan kematangan paru janin yang


dilakukan untuk menentukan apakah janin telah matur dan sanggup hidup di
lingkungan luar kandungan, pertama dilakukan pemeriksaan cairan amnion untuk
mengetahui adanya surfaktan. Cairan amnion dapat diambil melalui dua cara yaitu
dengan amniosentesis dan transvaginal yaitu mengumpulkan cairan yang ada di
vagina. Tes untuk mengetahui ratio lecithin/sphingomyelin juga dapat dilakukan,
lecithin dan sphingomyelin adalah substansi – substansi yang ada di cairan
amnion dalam konsentrasi yang sama pada janin berusia kurang dari 34 minggu.
Pada usia kehamilan 34 minggi, konsentrasi lecithin akan lebih tinggi daripada
sphingomyelin. Apabila ratio lecithin dua kali lipat dari sphingomyelin, maka
risiko terjadi respiratory distress rendah. Tes lain adalah mengetahui kadar
phosphatidylglycerol pada cairan amnion. Apabila ditemukan adanya substansi
ini, maka merupakan pertanda yang baik bahwa paru janin telah matur 15
USG dapat juga mengkonfirmasi adanya oligohidramnion akibat KPSW,
tetapi keadaan ini dapat disebabkan oleh hal lain diluar KPSW. Disebut
oligohidramnion bila volume cairan amnion < 500 ml pada usia kehamilan 32-36
minggu, dan dari USG didapatkan Maximum Vertikal Pocket (MVP) < 2 cm,
serta Amniotic Fluid Index (AFI) yang didapatkan dengan menjumlahkan poros
vertikal dari kantung yang besar yang terdapat pada 4 kuadran didapat < 5 cm (< 5
persentil). Amniotic Fluid Index dilakukan dengan cara membagi uterus menjadi 4

19
kuadran. Pada keempat kuadran tersebut dilakukan pengukuran ukuran kantung.
Ukuran normalnya 5-24. Biasanya pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu
dilakukan pengukuran hanya di dua kuadran, yaitu kuadran kanan dan kiri bawah.
11,22,23,24,25

Dilakukan pemeriksaan profil biofisik dengan ultrasound untuk melihat


pergerakan dan tonus otot janin dan volume cairan amnion. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan Non-Stress Test. 15
Tes yang sangat jarang dilakukan karena invasif adalah dengan
amniosentesis dimasukkan zat warna indigo carmine atau fluorescein, kemudian
sebuah tampon diletakkan di vagina lalu dilakukan pemeriksaan setelah 2 jam,
dimana pada tampon akan menampakkan zat warna tersebut. Pada saat
pemeriksaan inspekulo, tergantung pada usia kehamilannya dapat dilakukan tes
tambahan, termasuk kultur untuk Streptokokus grup B, Chlamydia, dan
Gonorrhea dan cairan amnion dapat diambil untuk tes maturitas paru janin.
Pemeriksaan dalam tidak dianjurkan bila tidak akan segera dilahirkan, karena
akan meningkatkan resiko infeksi sehingga untuk menilai adanya pembukaan
serviks dapat dilakukan selama pemeriksaan inspekulo. 22,23
Beberapa penelitian terakhir menyarankan pemeriksaan fetal fibronectin
untuk memprediksi kemungkinan terjadinya KPSW. Marker ini terdapat pada
matriks ekstraseluler selaput ketuban, dan strukturnya berbeda dari fibronectin
jaringan ikat manusia dewasa. Produksi fetal fibonectin distimulasi oleh mediator
inflamasi (IL-1 dan TNF-α). Pada kehamilan trimester kedua dan ketiga,
keberadaan fetal fibronectin pada sekresi cervikovagina diduga mencerminkan
degradasi matriks ekstraseluler pada korion atau desidua. Fetal fibronectin paling
sensitif memprediksi kelahiran prematur pada usia kehamilan kurang dari 28
minggu (sensitifitasnya 63%), sedangkan pada usia kehamilan yang lain
sensitifitasnya sekitar 33%. Akan tetapi, pemeriksaan ini todak dapat memastikan
terjadinya PPROM ataupun kelahiran prematur. Pemeriksaan terhadap matriks
metalloproteinase belum ditemukan sampai saat ini.5

20
2.2.7 Komplikasi

Pasien yang mengalami KPSW dapat menderita infeksi, partus preterm,


prolaps tali pusat dan distosia 4. Risiko neonatal pada pengelolaan konservatif
PROM adalah infeksi, abrubsio plasenta, fetal distress, deformitas janin,
hipoplasia paru janin dan kematian janin/neonatus. Kematian janin terjadi kira-
kira 1% pada pasien dengan PROM yang dilakukan pengelolaan konservatif. Hal
utama yang menjadi determinan untuk morbiditas dan mortalitas neonatal adalah
usia kehamilan pada saat persalinan. Pada umumnya, prognosis pada usia
kehamilan lebih dari 32 minggu baik selama tidak ada komplikasi seperti
malformasi kongenital maupun hipoplasia paru janin. 2

2.2.7.1 Kelahiran Prematur

Saat selaput ketuban pecah, biasanya diikuti proses persalinan dalam


waktu dekat. Berdasarkan penelitian Taylor dan Garite pada tahun 1984, pada usia
kehamilan aterm persalinan terjadi dalam 24 jam pada 90% kasus, setelah selaput
ketuban pecah. Bila KPSW terjadi pada usia kehamilan 28 sampai 34 minggu,
50% pasien bersalin dalam 24 jam dan 80-90% pasien bersalin dalam rentang
waktu 1 minggu. Bila KPSW terjadi sebelum usia kehamilan 26 minggu, rata-rata
50% pasien mulai bersalin dalam 1 minggu.12

2.2.7.2 Infeksi

Pada kehamilan aterm, infeksi merupakan komplikasi PROM yang paling


serius untuk ibu maupun bayinya. Risiko terjadinya korioamnionitis pada PROM
dilaporkan kurang dari 10% dan meningkat sampai 40% setelah 24 jam. Hal ini
menunjukkan pentingnya strategi pengelolaan pada PROM yang aterm. Melihat
risiko infeksi pada KPSW aterm rendah pada 24 jam pertama, pengelolaan
konservatif dan menunggu persalinan spontan mungkin dipilih oleh pasien pada
12-24 jam pertama. 2
Infeksi yang terjadi pada ibu disebut korioamnionitis. Korioamnionitis
adalah infeksi pada korion, amnion dan cairan amnion oleh bakteri. Infeksi pada

21
janin dapat berupa sepsis, pneumonia, infeksi saluran kencing, atau konjungtivitis.
Umumnya, infeksi pada ibu mengawali terjadinya infeksi pada janin. Akan tetapi,
terkadang sepsis yang berat pada janin dapat terjadi sebelum terjadinya
korioamnionitis. Ini diakibatkan, saat selaput ketuban pecah, terdapat bakteri
virulen yang membentuk kolonisasi pada ketuban sebelum munculnya tanda-tanda
klinis infeksi pada ibu. Hal ini disebut juga infeksi preklinis. Bila ditemukan
tanda-tanda infeksi, misalnya demam (suhu lebih dari 38oC), takikardi ibu dan
janin, leukositosis (leukosit lebih dari 15.000/mm3), peningkatan CRP, dan cairan
amnion keruh dan berbau busuk, maka perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya
korioamnionitis. Akan tetapi, terkadang tanda-tanda ini dapat tidak ditemukan
pada kasus korioamnionitis. CRP dapat meningkat pada kehamilan trimester
pertama. Bila tidak ditemukan tanda-tanda klinis infeksi tetapi dicurigai terjadi
korioamnionitis, dapat dilakukan amniosentesis dan dilakukan pewarnaan gram
serta pemeriksaan ada tidaknya leukosit 12,13,14
Berdasarkan penelitian Yoder tahun 1983, insidensi sepsis neonatorum
pada usia kehamilan aterm adalah 1 dari 500 janin. Bila KPSW terjadi lebih dari
24 jam, insidensi sepsis meningkat 3-5%. Pada PPROM, infeksi pada janin lebih
sering terjadi daripada pada PROM. Semakin lama KPSW berlangsung, semakin
tinggi kemunkinan terjadinya infeksi dari bakteri di vagina. Sebagian besar janin
pada PPROM mengalami infeksi saat selaput janin pecah. Pada sebagian besar
kasus, mortalitas bayi prematur dengan KPSW meningkat karena komplikasi
prematuritas seperti sindrom distress saluran pernafasan, perdarahan
intraventrikuler, dan necrotizing enterocolitis. Sebagai contoh, janin dengan usia
kehamilan 26 minggu dengan PPROM, morbiditas dan mortalitasnya meningkat
karena prematuritas daripada infeksi. Pada usia kehamilan 34 minggu, keadaan
janin tidak jauh berbeda dengan janin aterm, sehingga infeksi lebih mempengaruhi
morbiditas dan mortalitasnya. Adanya infeksi dapat meningkatkan komplikasi
prematuritas sehingga morbiditas dan mortalitas bayi premature meningkat. Yoon,
Comero dan kawan-kawan menjelaskan hubungan infeksi pada janin dengan
korioamnionitis dan kerusakan SSP pada janin melalui sindrom respon inflamasi
janin. Mereka menyatakan sitokin yang dihasilkan preaksi inflamasi

22
mengakibatkan lesi pada substansia alba otak janin (leukomalacia). Lesi ini
mengakibatkan terjadinya cerebral palsy saat anak berusia 3 tahun. Hal ini diduga
berhubungan dengan kadar leukosit dan interleukin-6 yang meningkat pada
amnion. 13
Berdasarkan penelitian Garite dkk tahun 1979, Miller dkk tahun 1980,
Cotton dkk tahun 1984, Zlatnick dkk tahun 1984, Broekhuizen dkk tahun 1985,
Gonik dan Cotton tahun 1985 dan Romero tahun 1988, bakteri penyebab infeksi
mulai dari yang tersering adalah Streptokokus grup B (20%), Gardnerella
vaginalis (17%), Peptococcus (11%), Fusobacteria (10%), Bacteroides fragilis
(9%), dan streptoccus sp.(9%), bacteroides sp (5%). Berdasarkan penelitian NIH,
morbiditas neonatus (sepsis, pneumonia, RDS, dan necrotizing enterocollitis
menurun pada kelompok yang diberi eritromisin dibanding plasebo. Berdasarkan
penelitian Kenyon dkk, pemberian eritromisin sama efektifnya dengan pemberian
ampisilin ditambah asam klavulanat. 11
Bila terjadi korioamnionitis diberi antibiotic spectrum luas sesegera
mungkin, yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hari,
dan metronidazol 3 x 500 mg. beri uterotonika supaya kontraksi uterus baik
pascapersalinan. Hal ini akan menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-
sinus pembuluh darah pada dinding uterus. 12

2.2.7.3 Hipoksia dan asfiksia

Prolaps plasenta atau kompresi pada plasenta sering terjadi pada KPSW
yang diikuti oligohidramnion. Prolaps plasenta dapat terjadikarena plasenta ikut
keluar bersamaan dengan cairan amnion yang keluar. Selain itu, prolaps plasenta
dapat terjadi setelah dilakukan amniotomy. Hal ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya gawat janin karena aliran O2 yang berkurang ke janin. Pemantauan
terjadinya gawat janin dapat dilakukan dengan observasi denyut jantung janin
secara ketat. Bila terdapat takikardi perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya
sepsis pada janin. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan NST bila memenuhi

23
syarat NST. Adanya deselerasi ataupun hasil yang non reaktif (tidak adanya
akselerasi) perlu dipikirkan terjadinya sepsis atau gawat janin. 11,12,13

2.2.7.4 Deformitas janin

Sindoma deformitas janin atau yang disebut juga sindroma Potter


berhubungan dengan oligohidramnion pada KPSW preterm, yang meliputi
restriksi pertumbuhan intrauteri, deformitas akibat kompresi pada muka (Potter
facies) dan ekstremitas, dan hipoplasia paru. Potter facies berupa hidung yang
rata, dagu pendek, lipatan epicanthus yang menonjol, dan telinga yang letaknya
lebih rendah dari normal. Selain itu dapat ditemukan Eagle-Barret (prune belly)
syndrome berupa dinding abdomen yang rata, undesensus testis, ureter yang
melebar, dan ginjal di rongga pelvis. Kelainan pada tulang dapat berupa
hemivertebra, agenesis sacral, dan kelainan batang tubuh. Kelainan pada mata
yang dapat ditemukan antara lain katarak, kelainan pembuluh darah di diskus
optikus, prolaps lensa, dan perdarahan. Kelainan pada kardiovaskuler antara lain
defek septum ventrikel, defek pada endokardium, tetralogi Fallot, dan duktus
arteriosus persisten. Hal ini diduga diakibatkan oligohidramnion yang dini dan
lama (3-19 minggu). Selain itu, diduga diakibatkan agenesis renal bilateral dan
penyakit ginjalpolikistik. Kedua hal ini berhubungan dengan berkurangnya
produksi urine janin, yang merupakan salah satu penyumbang cairan amnion saat
kehamilan. 12,26
Sindroma Potter ini lebih sering ditemukan pada laki-laki. Suatu
pemeriksaan USG pada ibu hamil hanya dapat menunjukkan suatu
oligohidramnion. USG Doppler juga dapat digunakan untuk mengetahui
hipoplasia pulmonal yang dialami oleh janin, dimana didapatkan buruknya
pembentukan pembuluh darah paru. Adanya oligohidramnion berat yang terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu serta kecurigaan adanya hipoplasia
pulmonal dapat menunjukkan kecurigaan pada suatu sindroma Potter. Anak
dengan sindroma Potter yang disebabkan ketuban pecah dini ini memiliki
ketahanan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang disebabkan oleh

24
kondisi lain. Hipoplasia pumonal yang terjadi diatasi dengan pemberian ventilasi
mekanik dan dirawat di NICU, sedangkan deformitas yang terjadi diatasi dengan
jalan pembedahan. Hipoplasiapulmonal dapat mengakibatkan pneumothoraks
26
spontan atau sindrom distress saluran nafas.

Gambar 2.7 Potter facies 27

2.2.8 Pengelolaan

Setelah selaput ketuban pecah pada kehamilan yang aterm, 70% wanita
hamil akan melahirkan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam.5
Sebagian besar pasien (90%) mengalami persalinan spontan dalam waktu
24 jam setelah pecahnya selaput ketuban, diketahui bahwa risiko terjadinya
infeksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya durasi dari pecahnya
ketuban dini. Penelitian membuktikan bahwa induksi persalinan pada pecah
ketuban sebelum waktu akan menurunkan risiko terkena korioamnionitis. 2
Hannah, dkk dalam studinya pada 5041 wanita dengan PROM yang
dilakukan pengelolaan dengan induksi persalinan dengan oksitosis intravena atau
gel prostaglandin E2 vaginal dibandingkan dengan pengelolaan konservatif
selama 4 hari dengan induksi persalinan untuk komplikasi yang terjadi,
menyimpulkan bahwa induksi persalinan dan penalataksanaan konservatif

25
memiliki angka kejadian yang sama untuk SC dan infeksi neonatal. Induksi
dengan oksitosin menunjukkan risiko untuk terjadinya infeksi maternal
(endometritis) lebih rendah bila dibandingkan dengan penatalaksaan konservatif.
Sebagai tambahan, subjek dalam penelitian tersebut lebih memilih untuk
dilakukan induksi persalinan daripada pengelolaan konservatif. 2
Pasien KPSW pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. 4
Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi
panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi bersujud. Kalau
perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan
kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik 4
Setelah monitoring 24-48 jam dari denyut jantung janin dan kontraksi uterus
dan tidak ditemukan keadaan yang mengkhawatirkan, maka pasien masuk
menjadi kandidat untuk pengelolaan konservatif. Pasien harus ditempatkan di
bagian obstetri ginekologi untuk tirah baring. Pemantauan bunyi jantung janin
harus dilakukan paling tidak sekali sehari dan tanda-tanda vital ibu harus
dimonitor secara ketat. Adanya takikardia dan demam menunjukkan kemungkinan
ke arah korioamnionitis dan membutuhkan evaluasi yang seksama untuk
menentukan adanya infeksi intra amnion yang membutuhkan terapi antibiotik dan
persalinan segera. 2
Pemeriksaan dalam harus dihindari. Pada presentasi selain kepala, terutama
pada serviks yang berdilatasi, pemantauan terus-menerus harus dilakukan untuk
menghindari adanya diagnosis tali pusat menumbung. 2
Pemeriksaan USG untuk menentukan index cairan amnion dan pertumbuhan serta
perkembangan janin harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa pengelolaan
konservatif masih dapat dilakukan. Pada oligohidramnion, index cairan amnion
kurang dari 2 sentimeter berhubungan dengan masa latensi yang pendek dan
korioamnionitis, namun oligohidramnion sendiri bukan merupakan indikasi untuk
persalinan apabila tanda-tanda lain baik. 2
Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban
pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik seperti penisilin prokain 1,2 juta IU

26
intramuskuler dan ampisilin 1 g per oral. Bila pasien tidak tahan ampisilin,
diberikan eritromisin 1 g per oral 4
Bila keluarga pasien menolak dirujuk, pasien disuruh istirahat dalam posisi
berbaring miring, berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta IU intramuskuler
tiap 12 jam dan ampisilin 1 g per oral diikuti 500 mg tiap 6 jam atau eritromisin
dengan dosis yang sama. 4
Dilakukan dua pengelolaan yaitu konservatif dan aktif. 6

2.2.8.1 Pengelolaan Konservatif

Pengelolaan konservatif dilakukan bila tidak ada penyulit bagi ibu maupun
janin pada usia kehamilan 28-36 minggu dan ibu harus dirawat di rumah sakit
selama 2 hari. 6
Pada pasien yang tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dilakukan pengelolaan
konservatif dengan syarat pasien belum inpartu dan usia kehamilan antara 28-37
minggu. Pada pasien ini tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam, karena akan
menambah bahaya infeksi. 20
Dalam pengelolaan konservatif selama perawatan di rumah sakit, akan
dilakukan observasi mengenai kemungkinan terjadinya amnionitis atau tanda-
tanda infeksi lainnya. Tanda infeksi ditemukan apabila ibu menunjukkan gejala
demam lebih dari 38°C, adanya takikardia, pada pemeriksaan lab darah rutin
ditemukan leukositosis, adanya tanda-tanda infeksi intrauterin, rasa nyeri pada
rahim dan sekret vagina yang purulen. Kemudian dilakukan observasi apabila
timbul adanya tanda-tanda persalinan. Pada perawatan diberikan antibiotik
profilaksis, paling lambat diberikan 6 jam sesudah ketuban pecah, jenis antibiotik
yang bisa diberikan adalah golongan penisilin (penisilin prokain atau ampisilin
atau amoksisilin) atau sefalosporin tergantung dari berat ringannya infeksi serta
memperkirakan keadaan ekonomi pasien. Cara pemberian bisa dengan intravena,
intra muskular maupun oral.20 Ampisilin dapat diberikan dengan dosis 4 x 500
gram atau eritromisin 4 x 500 mg dan metronidazol 2 x 500 mg selama 3 sampai 5
hari. 6

27
Pasien dapat diberikan tokolitik berupa injeksi seperti bricasma, salbutamol,
alupent, magnesium sulfat 40% (2 gram) 20
Untuk menilai kesejahteraan janin, maka dilakukan pemeriksaan USG dan
apabila ada indikasi untuk melahirkan janin, maka sebelumnya dilakukan
pematangan paru janin.6
Diberikan pada semua wanita hamil antara 24-34 minggu yaitu betametason
12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali selama sehari.6, 12
Pada pasien rawat jalan di berikan edukasi untuk tidak melakukan coitus,
irigasi vagina, kontrol lebih sering dan apabila ada tanda-tanda infeksi harus
segera memeriksakan diri ke rumah sakit. 20

2.2.8.10 Pengelolaan Aktif

Sedangkan pengelolaan aktif dilakukan pada KPSW dengan usia


kehamilan 20-28 minggu atau lebih dari 37 minggu 6, bila ditemukan adanya
tanda-tanda infeksi intra amnion (fluksus yang berbau, demam dan leukositosis)
2,6
, timbulnya tanda-tanda persalinan dan adanya gawat janin maka merupakan
indikasi harus dilakukan terminasi kehamilan tanpa melihat umur kehamilan 6,20
Pengelolaan aktif dilakukan dengan syarat sudah inpartu, usia kehamilan
lebih dari 37 minggu atau perkiraan berat badan janin 2500 gram atau lebih atau
usia kehamilan kurang dari 28 minggu.20
Bila terdapat tanda-tanda infeksi, beri antibiotik dosis tinggi dan terminasi
kehamilan. Bila skor pelvik kurang dari 5, lakukan pematangan serviks lalu
induksi. Bila tidak berhasil, lakukan seksio sesarea. Bila skor pelvik lebih dari 5
laukan induksi persalinan. 12
Apabila belum terdapat his, maka diberikan induksi oxytocin. Bila ada his,
nilai kemajuan pasien selama 6 jam sejak pasien masuk rumah sakit, bila
kemajuan kurang, maka lakukan induksi dengan oxytocin dan bila pasien masuk
20
dalam fase aktif, lakukan sesuai dengan persalinan normal Selain itu, dapat
diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap 6 jam, maksimal 4 kali
6
Terminasi kehamilan pada 20-28 minggu dengan misoprostol 100 ug

28
intravaginal, diulang 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemasangan
batang laminaria selama 12 jam, atau pemberian oksitosin 5 IU dalam dextrose
5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes per menit dinaikkan setiap 15 menit, atau
kombinasi, dilakukan histerotomi apabila upaya melahirkan per vaginam
dainggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu 6
Terminasi kehamilan pada lebih dari 28 minggu, diberikan misoprostol 50
ug intravaginal diulangi 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemberian
tetes oksitosin 5 IU dalam dextrose 5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes permenit
pada primi dan multi, pada grandemulti sampai 40 tetes, sebanyak 2 labu dengan
istirahat 2 jam antara labu ke satu dan kedua dan dilakukan SC apabila usaha per
vaginam tidak berhasil 6
KPSW

Umur Kehamilan

20 - <28 minggu 28-36 minggu ≥ 37 minggu

Konservatif (Rawat inap 2 hari)

Tanpa komplikasi lain His (+), Infeksi

Pulang dengan saran: Pengelolaan Aktif


 Tidak coitus
 Tidak irigasi vagina
PNC tiap minggu sampai minggu 37  Kontrol bila ada tanda
infeksi
 Gerak janin ↓
 Kick count test

Gambar 2.8 Algoritma pengelolaan KPSW 6,20


2.2.9 Pencegahan

Pada periodontitis dan arthritis, di mana atriks metalloproteinase juga


berperan seperti pada KPSW, digunakan tetrasiklin dan inhibitor sintetik matriks

29
metalloproteinase seperti batimastat. Akan tetapi, penggunaan zat-zat tersebut
untuk mencegah KPSW masih belum diteliti.5

2.2.10 Prognosis

Sekitar 70-80% pasien yang mengalami PROM pada minggu ke 28-36


kehamilan akan mengalami persalinan dalam waktu 4 hari. Semakin aterm,
semakin cepat menuju ke persalinan. 28
Pada umumnya, prognosis pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu baik
selama tidak ada komplikasi seperti malformasi kongenital maupun hipoplasia
paru janin. 2
PPROM yang terjadi pada trimester kedua memiliki prognosis yang kurang
baik terutama apabila PPROM terjadi pada usia kehamilan 20 minggu atau
kurang, maka viabilitas janin kurang dari 5% dan risiko hipoplasia paru karena
2
oligohidramnion dan terjadi hipoplasia struktur alveolar dan bronkial. PPROM
berhubungan dengan angka persalinan prematur yang tinggi, yaitu 30-40% dari
5
semua kelahiran prematur dan meningkatkan angka morbiditas serta mortalitas
sampai 10% 28
Tingkat kejadian berulang PPROM adalah 21-32% pada kehamilan
berikutnya. 15

BAB III
KESIMPULAN

KPSW adalah robeknya selaput korioamnion dalam kehamilan sebelum


4,6 20
onset persalinan berlangsung atau sebelum pembukaan 4 cm (fase laten)
dibedakan menjadi dua yaitu premature rupture of membranes (PROM) dan
Preterm premature rupture of membrane (PPROM) 2,6. Berbagai etiologi di anggap
sebagai penyebab, banyak faktor mendasari terjadinya KPSW. Diagnosis ketuban
pecah dini ditegakkan berdasarkan usia kehamilan dan adanya gejala klinis di

30
sertai dengan pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang sering terjadi adalah
infeksi ibu dan janin dan partus preterm yang menyebabkan kematian
4,5
janin/neonatus . Penanganan umumnya tergantung usia kehamilan saat KPSW
terjadi, dapat berupa penanganan secara konservatif maupun aktif. Pemilihan
penanganan ini berbeda-beda di masing-masing institusi dan penanganan apapun
yang dipilih perlu dipikirkan risiko prematuritas dan infeksi yang akan terjadi 1,6,20

DAFTAR PUSTAKA

1. Blackburn ST. Prenatal period and placental physiology. In : Maternal, fetal &
neonatal physiology a clinical perspectives. Elsevier saunders : Missouri. p.
106-111. 2007.
2. Jazayeri A. Premature Rupture of Membranes. Diakses tanggal 8 Mei 2010
dari http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview. 2010.
3. Bagian obstetri & ginekologi fakultas kedokteran universitas padjajaran
bandung. Kehamilan. Dalam : Obstetri fisiologi. Eleman : Bandung. h. 120-
123. 1983.

31
4. Anonim. Ketuban pecah dini. Dalam : Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi
3. Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
2001.
5. Parry S., Strauss J. F. Premature Rupture of the fetal membranes. Diakses
tanggal 8 Mei 2010 dari http://content.nejm.org/cgi/reprint/338/10/663.pdf.
1998.
6. Bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran universitas padjajaran
bandung. KPSW. Dalam : Hidayat W., Achmad S., Wiryawan P., Tina D.J
(Editor) Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi rsup dr hasan
sadikin. Bagian I Obstetri. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran :
Bandung. 1997.
7. Admin. Ketuban pecah dini. Diakses tanggal 7 Mei 2010 dari
http://www.klikdokter.com/illness/detail/134. 2010.
8. Cunningham FG, Eveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrim KD,
Anatomy and physiology. In: Williams Obstetrics, Edisi ke-22. New York:
McGraw-Hill.p. 62-7. 2005.
9. Parsons MT, Spellacy WN, Premature Rupture of Membranes. In: James R,
Scott (Editor) Danforth’s Obstetrics and Gynecology. 8th Ed. Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins. p. 269-76. 1999.
10. Admin. Ketuban Pecah Dini. Diakses tanggan 9 Mei 2010 dari
http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ketuban-pecah-dini.html. 2007.
11. Cootauco A.C., Althaus J.E. Preterm labor and premature rupture of
membranes In: The john hopkins manual of gynecology and obstetrics. 3rd ed.
USA: Lippincott William and Wilkins. 126-27. 2007.
12. Soetomo Soewarto. Ketuban pecah dini. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi
keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 677-81.
2008.
13. Bruce E. Premature rupture of membranes. Diakses tangal 9 Mei 2010 dari
http://www.compleatmother.com/prom.htm
14. University of Virginia. High risk pregnancy. Diakses tanggal 7 Mei 2010 dari
http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/peds_hrpregnant/prm.cfm
15. Stuebe A. Premature rupture of membranes. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.healthline.com/yodocontent/pregnancy/premature-rupture-risk-
factors.html. 2006
16. http://farm3.static.flickr.com/2146/2304953763_c6b05d33ab.jpg
17. Djamhoer M, Firman F.W. Robeknya selaput dalam kehamilan. Dalam :
Sulaiman S, Djamhoer M, Firman W (Editor) Obstetri patologi ilmu kesehatan
reproduksi. Edisi kedua. EGC : Jakarta. 2003. h. 36-7.
18. http://catalog.nucleusinc.com/imagescooked/9946W.jpg
19. Duff, P. Management of premature rupture of the membranes in term patients.
Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari http://www.glowm.com/index.html?
p=glowm.cml/section_view&articleid=119. 2008
20. Anonim. KPSW (Ketuban pecah sebelum waktunya). Dalam : Standar
diagnosis dan terapi kasus-kasus ilmu kebidanan dan penyakit kandungan.
Rumah Sakit Immanuel : Bandung. 2006.

32
21. http://jane-chen.net/wpcontent/uploads/2010/02/amniocentesis20image006.jpg
22. Andersen HF, Hopkins MK, Hayashi RH. Premature Rupture of the
Membranes, Dalam: Gynecology and Obstetrics, Volume 2, Sciarra JJ,
penyunting. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, (47)1-6. 1995.
23. Parsons MT, Spellacy WN, Premature Rupture of Membranes, Dalam:
Danforth’s Obstetrics and Gynecology, Edisi ke-8, James R, Scott,
penyunting. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins. p.269-76. 1999.
24. Baxter JK, Sehdev HM, Olygohidramnios. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com. 2003.
25. Rajiah P. Polyhidramnion. Diakses tanggal 8 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com
26. Sairam VK, Travis L, Potter Syndrome. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com. 2006
27. http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/renal/potter2.html
28. Admin. Premature rupture of membrane. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.mdguidelines.com/premature-rupture-of-membranes. 2010

33

Anda mungkin juga menyukai