KPSW
KPSW
Disusun oleh :
Ananda Dwi Putri
0610200
Pembimbing
dr. Tatang Surachman, SpOG (K)
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
distensi berlebih dari uterus, penyakit jaringan ikat (Leisch-Nyhan), merokok,
trauma, kelainan janin, amniosentesis, keadaan sosial ekonomi rendah, body mass
index ibu rendah, infeksi menular seksual dan infeksi saluran kemih.2,4,9,10,11,12,13,14,15
Mekanisme dalam KPSW adalah gabungan antara peregangan dari selaput
dengan pertumbuhan uterus dan tegangan bertahap yang diakibatkan kontraksi
uterus normal, serta gerakan dari janin mungkin menyebabkan selaput ketuban
melemah. Perubahan biokimia yang signifikan juga mempengaruhi selaput
ketuban menjelang usia kehamilan aterm, termasuk turunnya substansi kolagen 5
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan apabila usia kehamilan lebih dari
20 minggu dan keluarnya cairan amnion dari vagina, pemeriksaan mikroskopis
terlihat adanya gambaran daun pakis (ferning appearance), lanugo dan verniks
kaseosa. Cairan amnion bersifat alkalis yang ditentukan dengan pemeriksaan
menggunakan kertas nitrazin dan kertas lakmus 2,6,20
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi, partus preterm, prolaps tali
pusat, abrubsio plasenta, fetal distress, deformitas janin, hipoplasia paru janin dan
kematian janin/neonatus.dan distosia 4.
Penanganan umumnya tergantung usia kehamilan saat KPSW terjadi dan
adanya indikasi lain, dapat berupa penanganan secara konservatif maupun aktif.
Pemilihan penanganan ini berbeda-beda di masing-masing institusi dan
penanganan apapun yang dipilih perlu dipikirkan risiko prematuritas dan infeksi
yang akan terjadi 1,6,20
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Amnion dan korion akan berkembang setelah terjadi fertilisasi dan terus
berkembang sampai 28 minggu kehamilan. Setelah usia kehamilan ini,
pembesaran dari ruang amnion terjadi secara pasif karena adanya peregangan dari
selaput. Lapisan selaput janin aterm (rata-rata ketebalan 200-300 μm) adalah
lapisan epitel amnion yang berperan dalam pertukaran cairan amnion dan regulasi
pH; lamina propria; jaringan penghubung korion; lapisan cytotrophoblast yang
bersatu dengan jaringan penghubung korion menjadi chorionic basal plate pada
bagian pinggir plasenta dan lapisan desidua. 1
Lapisan amnion tebal (0,08-0,12 mm), avaskular dan tidak memiliki syaraf.
Terdiri dari sel-sel berbentuk kuboid dan kolumnar. Permukaannya diperkuat
dengan desmosom dan microvillar interdigitation yang terbentang diatas
membrana basalis dengan matriks kolagen ekstraseluler. 1 Amnion terdiri dari lima
lapisan, tidak mengandung pembuluh darah ataupun saraf sehingga nutrisi untuk
sel didapat dari cairan amnion. Urutan lapisan dari dalam ke luar adalah epitel,
membrana basalis, lapisan kompakta (compact layer), lapisan fibroblast
(fibroblast layer) dan lapisan spongiosa (spongy layer). Epitel amnion
mensekresikan kolagen tipe III, IV dan glikoprotein nonkolagen (laminin, nidogen
dan fibronektin) yang membentuk membrana basalis. Lapisan kompakta (compact
layer) menempel pada membrana basalis dan membentuk kerangka jaringan ikat
amnion. Kolagen pada lapisan ini disekresikan oleh sel mesenkhim pada jaringan
ikat fibroblas. Kolagen interstisial mendominasi lapisan ini dan membentuk
kelompokan jaringan ikat yang menjaga keutuhan amnion. Kolagen tipe V dan VI
membentuk hubungan antara kolagen interstitial dan membrana basalis. Pada usia
kehamilan aterm tidak ada saling tumpang tindih antar serat kolagen pada amnion,
sehingga amnion dapat menjaga kuat regangan pada kehamilan trimester akhir.
3
Lapisan fibroblas adalah lapisan yang paling tebal dan terdiri dari sel mesenkhim
dan makrofag. Lapisan spongiosa (intermediate/spongy layer) berada antara
amnion dan korion. Adanya proteoglikan dan glikoprotein mengakibatkan lapisan
ini tampak longgar. Pada lapisan ini tidak ada kolagen tipe III. Lapisan ini
menahan beban tekanan dengan cara menggeser amnion ke korion, yang melekat
erat pada desidua maternalis. Meskipun korion lebih tebal dari amnion, amnion
memiliki daya regang yang lebih besar. Membrana basalis pada korion kaya
serabut kolagen. Sampai saat ini belum ditemukan titik terlemah pada selaput
ketuban yang dapat ruptur sewaktu-waktu. 5
Lapisan korion atau selaput luar mengandung pembuluh darah yang menjadi
atrofi seiring dengan perkembangan kehamilan, namun tidak terdapat syaraf.
Pembuluh darah membawa nutrisi untuk korion yang kemudian menyebrang ke
amnion melalui proses difusi. 1
Lapisan korion terdiri dari 2-10 lapisan sel poligonal dengan ketebalan 0,4
mm. 1
4
Lapisan amnion dan korion tidak sepenuhnya bersatu dan memungkinkan
200 ml cairan amnion mengisi ruang intermembran. Lapisan korion relatif intak,
namun lapisan amnion secara pasif dapat terdorong dan bergerak – gerak karena
adanya mukus dari lapisan spongiosa. Lapisan amnion dapat ruptur dan sisa
jaringan yang ruptur dapat membungkus, mengikat maupun mengamputasi
bagian-bagian dari janin. Rupturnya selaput amnion sering disebabkan oleh
trauma. 1
Lapisan amnion adalah sumber dari penyimpanan asam arakidonat, sebuah
prekursor yang penting dari prostaglandin sedangkan lapisan korion adalah
sumber dari penyimpanan progesteron. Selaput janin dan desidua kaya akan
enzim-enzim (mis. phospholipase A2) yang dibutuhkan untuk pembentukan
prostaglandin. Sel-sel amnion berperan penting dalam sintesis protein, sekresi
protein dan lipid, dan pertukaran air, elektrolit dan cairan lainnya. Lapisan korion
mensintesis substansi – substansi seperti renin dan prostaglandin. 1
5
Cairan amnion menyediakan ruang yang memungkinkan untuk
pertumbuhan janin, seandainya janin tertekan oleh alat disekitarnya, maka
pertumbuhannya dapat terganggu; menjaga temperatur dan tekanan; sebagai
proteksi dan bantalan bagi janin, maka apabila volume cairan amnion berkurang
ibu akan merasakan nyeri apabila janin bergerak; memungkinkan pergerakan yang
bebas dari janin karena cairan amnion memberikan tekanan yang sama ke semua
bagiannya; mendistribusi tekanan dari uterus ke janin dan membantu membuka
1,3
serviks saat persalinan dengan cara mendorong selaput janin ke ostium uteri.
Cairan amnion mengandung faktor-faktor antibakterial yang menjaga janin dari
infeksi, seperti transferin yang akan mengikat zat besi yang dibutuhkan oleh
beberapa bakteri dan jamur untuk tumbuh, asam lemak yang memiliki efek
detergen pada dinding bakteri, immunoglobulin (mis. IgG, IgA) dan lisozim yang
bersifat bakterisidal untuk bakteri gram-positif. 1
Darimana cairan amnion berasal dan mekanisme regulasinya masih belum
dapat dipastikan dengan jelas, diperkirakan berasal dari cairan yang ditelan oleh
janin, cairan paru maupun urin janin. Mekanisme regulasi lain adalah melalui
pertukaran intramembranosa dan dimediasi oleh endothelial growth factor. Status
cairan dan hidrasi ibu dapat mengubah volume cairan amnion. 1,3.
Cairan amnion pertama terlihat sebagai droplet dibagian dorsal dari kutub
embrionik saat usia kehamilan 3 minggu. 1 Ruang amnion berisi kurang lebih satu
liter cairan amnion, banyaknya kadang-kadang bervariasi tergantung dari usia
3
kehamilan. Diperkirakan terdapat 7 ml cairan amnion pada usia kehamilan 8
minggu, 30 ml pada usia kehamilan 10 minggu, 190 ml pada usia kehamilan 16
minggu dan rata-rata 780 ml pada usia kehamilan 32-35 minggu kemudian
menurun sampai 400 ml pada usia kehamilan 42 minggu. Pada usia kehamilan 36
minggu, volumenya mencapai 1030 ml dan pada 40 minggu volumenya berkurang
sampai 790 ml. Bila cairan amnion volumenya lebih dari 2 liter maka dinamakan
polihidramnion atau hidramnion dan apabila volumenya sedikit, kurang dari 500
1,3
ml dinamakan oligohidramnion. Volume pertukaran cairan amnion kira-kira
1000 ml/hari. 1
6
Sel-sel di lapisan amnion dipisahkan oleh channel intrasel menuju langsung
ke ruang amnion yang memungkinkan adanya aliran cairan dan air. Transfer air
dan cairan dari amnion dan korion diatur oleh mekanisme hidrolik, osmotik dan
elektrokimiawi. Pergerakan air terjadi sebagai ketidak seimbangan antara tekanan
hidrostatik intramembran dan tekanan efektif osmotik. Pada paruh kedua dari
masa kehamilan, pengeluaran urin janin merupakan sumber produksi utama dari
cairan amnion, diikuti dengan produksi cairan paru 1,3 ; sedangkan cairan amnion
diekskresikan dari mekanisme penelanan oleh janin dan pertukaran intramembran.
Sumber utama dari produksi dan pertukaran cairan amnion antara lain melalui
plasenta dan selaput janin (jalur intramembran) dimana selaput janin merupakan
mekanisme terpenting kedua untuk clearance cairan amnion (setelah mekanisme
penelanan oleh janin) pada paruh kedua masa kehamilan dan berperan dalam
pengurangan jumlah cairan amnion sebanyak 200-500 ml/hari. Air menyebrangi
selaput melalui mekanisme difusi dan non difusi. Mekanisme lain pada dinding
uterus melalui pembuluh-pembuluh sinusoid dari desidua (jalur transmembran)
yang merupakan jalur minor walaupun hanya sedikit cairan ~10 ml/hari yang
dikeluarkan dari mekanisme ini, pengurangan jumlah cairan amnion dapat juga
terjadi melalui kulit janin pada 22-25 minggu kehamilan dimana keratinisasi
belum terjadi sempurna, melalui saluran gastrointestinal janin dimana janin akan
menelan sejumlah cairan amnion, mekanisme ini terjadi mulai dari minggu ke 8-
11, janin menelan kira-kira 500-1000 ml cairan per hari pada kehamilan akhir,
atau sekitar 20-25% dari berat badan janin sendiri, mekanisme ini merupakan
mekanisme utama. Saluran pernafasan janin, dimana menghasilkan 300-400 ml
cairan per hari atau setara dengan 5-10% berat badan janin dan terakhir melalui
saluran kemih janin, dimana urin hipotonis dideteksi pada cairan amnion pada
usia kehamilan 9-10 minggu. Janin memproduksi 800-1200 ml cairan per hari
atau setara dengan 30% dari berat badan janin di trimester ketiga kehamilan.
Setelah usia kehamilan 40 minggu, produksi urin janin berkurang. 1
Cairan amnion reaksinya alkalis, berat jenisnya antara 1,007-1,025, baunya
anyir. 3 Cairan amnion 98-99% terdiri dari air, sisanya adalah elektrolit, kreatinin,
urea, pigmen empedu, renin, glukosa, hormol, sel-sel janin, lanugo dan vernix
7
1,3
caseosa. Komposisi ini berubah – ubah sesuai dengan usia kehamilan. Pada
masa kehamilan awal, cairan amnion sama dengan serum ibu dan janin. Pada
setengah akhir masa kehamilan, osmolalitas cairan amnion menurun sampai 92%
dari serum ibu dan serupa dengan urin janin dengan tambahan phospholipid dan
substansi lain dari paru janin. Konsentrasi urea, kreatinin dan asam urat
meningkat sesuai usia kehamilan dan sodium serta klorida menurun seiring
dengan matangnya ginjal janin. 1
Jernih maupun keruh, banyaknya dan susunan dari cairan amnion dapat
digunakan untuk pemeriksaan amnioskopi maupun amniosentesis. Menggunakan
amnioskopi, dapat dikterahui warna cairan amnion, warna hijau menunjukkan
bayi dalam keadaan fetal distress. Amniosentesis dapat digunakan untuk
mengetahui usia janin dan jenis kelamin janin. 3
2.2.1 Definisi
8
atau lebih organisme yang berkaitan dengan penyakit menular seksual memiliki
8,9
peningkatan angka kejadian KPSW. Ketuban pecah dini secara spontan juga
dapat disebabkan karena selaputnya lemah atau kurang terlindung karena serviks
terbuka, hal ini sering ditemui pada keadaan incompetent cervix. Trauma akibat
jatuh dan coitus juga dapat merupakan penyebab 17,20
Ruptur dari selaput selama persalinan disebabkan oleh peregangan yang
berlebih dengan adanya tekanan. Hal ini berhubungan dengan hilangnya fosfolipid
yang secara normal melubrikasi pertemuan korioamnion, dan meningkatkan daya
regangan sehingga menyebabkan ruptur. 1
Premature rupture of membrane (PROM) atau KPSW dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti stress mekanik (polihidramnion dan gemeli),
perubahan dari membran kolagen atau adanya infeksi seperti korioamnionitis.
Pada korioamnionitis, berbagai mikroorganisme vaginal dan servikal
memproduksi protease yang dapat mengubah integritas dari selaput dan
memudahkan terjadinya ruptur. PROM juga dapat disebabkan oleh adanya enzim
kolagenetik yang dihasilkan oleh plasenta dan cairan amnion yang meningkat
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. 1
Faktor resiko yang meningkatkan kejadian KPSW antara lain wanita yang
pernah mengalami PPROM pada kehamilan sebelumnya, wanita yang melahirkan
bayi prematur dengan atau tanpa KPSW, wanita dengan perdarahan pada trimester
pertama atau kedua kehamilan (perdarahan yang berkaitan dengan plasenta previa
dan solusio plasenta), operasi pada serviks sebelumnya (konisasi, sevikal
inkompeten, dua atau lebih terminasi kehamilan yang bersifat elektif), pendeknya
serviks (kurang dari 2.5 cm yang diukur dari USG transvaginal) distensi berlebih
dari uterus (akibat multigravida, gemelli, atau polihidramnion), penyakit jaringan
ikat (Leisch-Nyhan), merokok selama kehamilan (resiko meningkat bila jumlah
rokok semakin banyak-dose dependent), trauma, kelainan janin, amniosentesis,
keadaan sosial ekonomi rendah (prenatal care kurang baik), juga body mass index
ibu rendah, menderita infeksi menular seksual (Neisseria gonorrhea, Chlamydia
trachomatis dan bacterial vaginosis) dan infeksi saluran kemih. Masih
kontroversial mengenai faktor nutrisi (defisiensi besi dan asam folat) dan
9
pengaruh vaginal toucher yang dilakukan secara rutin terhadap peningkatan
kejadian KPSW.2,4,9,10,11,12,13,14,15
Manifestasi klinis dari ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan bisa
berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau atau kecoklatan dengan volume yang
sedikit-sedikit maupun langsung banyak dari jalan lahir. Cairan yang keluar ini
disebut hydrorrhoea amniotica.2,4,17 Pasien PROM datang dengan keluarnya cairan
dan darah dari jalan lahir dan adanya tekanan pada pelvis, namun tidak ada
2,4
kontraksi dari uterus. Bisa disertai dengan demam apabila sudah ada infeksi.
Pada pemeriksaan palpasi, janin mudah diraba. Pada pemeriksaan inspekulo dapat
ditemukan tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah mengering. Pada pemeriksaan dalam, selaput ketuban sudah tidak
ada dan air ketuban sudah kering. 4,20
2.2.4 Patogenesis
Selaput ketuban yang normal sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
suatu tingkat tertentu, selaput ketuban robek karena tidak dapat lagi menahan
kekuatan nonpenetrating yang terjadi tiba-tiba. Robeknya selaput lebih
diakibatkan kekuatan yang menyebabkannya melemah. Gabungan antara
peregangan dari selaput dengan pertumbuhan uterus dan tegangan bertahap yang
diakibatkan kontraksi uterus normal, serta gerakan dari janin mungkin
menyebabkan selaput ketuban melemah. Perubahan biokimia yang signifikan juga
mempengaruhi selaput ketuban menjelang usia kehamilan aterm, termasuk
turunnya substansi kolagen. Karena semua hal tersebut KPSW pada aterm
mungkin merupakan proses yang fisiologis daripada sebuah proses patologis.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan preterm, maka terdapat proses
patologis yang melemahkan selaput baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang
bertanggung jawab pada proses KPSW dalam kehamilan preterm. Suatu penelitian
menunjukkan pada ibu dengan PPROM tidak memperlihatkan perbedaan
10
kekuatan pada selaput kecuali pada tempat robeknya. Fokus lokal ini
menunjukkan sumber kelemahan eksogen (dari luar). 5
Diperlukan keseimbangan faktor intrinsik, yang mengatur pembentukan
kolagen, dan penghancuran dari jaringan ikat pada amnion dan korion untuk
menjaga selaput ketuban tetap utuh. Keadaan yang dapat mengakibatkan
perubahan pada selaput ketuban antara lain penurunan komposisi kolagen,
perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas kolagenolitik.5
Gangguan pada jaringan ikat berhubungan dengan lemahnya selaput
ketuban dan peningkatan insidensi KPSW. Berdasarkan penelitian, 72% pasien
penderita sindrom Ehler-Danlos melahirkan bayi prematur setelah PPROM.
Sindrom Ehler-Danlos yaitu gangguan berupa hiperelastisitas kulit dan sendi
dikarenakan defek pada sintesis atau struktur kolagen. 5
Pada waktunya, kematian sel terprogram dan aktivasi dari enzim-enzim
katabolik seperti kolagenase dan adanya daya mekanik menyebabkan pecahnya
selaput ketuban. PROM terjadi karena mekanisme dan aktivasi yang sama, namun
muncul secara prematur. Sedangkan PROM yang terjadi dini dihubungkan dengan
adanya proses patologis seperti inflamasi dan/atau infeksi dari selaput ketuban. 2
Defisiensi nutrisi pada perempuan hamil meningkatkan risiko PPROM.
Lysil oksidase adalah enzim yang diproduksi oleh sel mesenkhim pada amnion
yang dapat meningkatkan kuat regangan amnion dengan cara meletakkan kolagen
pada amnion. Mekanisme kerja enzim ini tergantung dengan ketersediaan
tembaga (copper dependent enzyme). Wanita hamil yang mengalami PROM
memiliki kadar tembaga yang lebih rendah pada darah ibu maupun serum darah
plasenta dibandingkan pada wanita hamil yang selaput ketubannya pecah saat
persalinan. Wanita hamil yang memiliki kadar vitamin C (asam askorbat) rendah
juga lebih berisiko terjadi KPSW. Asam askorbat diperlukan pada sintesis
kolagen.5
Ibu yang perokok memiliki konsentrasi asam askorbat serum yang rendah
bila dibandingkan ibu yang tidak merokok. Cadmium yang terdapat pada rokok
meningkatkan metal-binding protein metallothienin pada trofoblas. Rendahnya
kadar tembaga dan asam askorbat dapat mengakibatkan perubahan struktur
11
kolagen pada selaput ketuban pada ibu yang merokok. Hal ini berhubungan
dengan terjadinya KPSW. 5
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase. Matrix-
metalloproteinase-1 (MMP-1) dan MMP-8 memecah ikatan serabut kolagen tipe I
dan III, yang kemudian didegradasi oleh gelatinase MMP-2 dan MMP-9.
Gelatinase ini juga memecah serabut kolagen tipe IV, fibronektin, dan
proteoglikan. Serabut kolagen pada selaput ketuban terletak di antara dua lapisan
sel yang memproduksi matriks metaloproteinase. Tissue inhibitor of
metalloproteinase-1 (TIMP-1) berikatan deengan MMP-1, MMP-8, dan MMP-9
yang teraktivasi. TIMP-2 berikatan pada bentuk aktif dan laten MMP-2. TIMP-3
dan TIMP-4 menghambat matriks metaloproteinase sama efisiennya dengan
TIMP-1. Pada saat menjelang persalinan keseimbangan antara matriks
metalloproteinase yang teraktivasi dengan inhibitornya berubah dan degradasi
kolagen lebih dominan dari inhibitornya. Saat persalinan, aktivitas MMP-9
meningkat dan konsentrasi TIMP-1 menurun. Pada pemeriksaan selaput ketuban,
ditemukan aktivitas MMP-1 meningkat sebelum persalinan, MMP-9 dan MMP-3
teraktivasi selama persalinan, dan konsentrasi TIMP-1 meningkat setelah
persalinan.5
KPSW dapat diakibatkan juga oleh ketidakseimbangan antara aktivitas
matriks metalloproteinase dan inhibitornya mengakibatkan degradasi matriks
ekstraseluler pada selaput ketuban. Aktivitas kolakenase meningkat pada PROM
pada kehamilan aterm. Aktivitas protease meningkat pada PPROM, dengan lebih
didominasi aktivitas MMP-9. Aktivitas kolagenase meningkat pada jaringan
serviks selama dilatasi serviks pada saat persalinan. Pada penyakit periodontal,
aktivitas matriks metalloproteinase meningkat di jaringan ginggiva. Hal ini diduga
meningkatkan risiko kelahiran prematur melalui peningkatan insidensi PPROM.
Penemuan ini menimbulkan dugaan adanya predisposisi genetik yang berkaitan
dengan degradasi matriks ekstraseluler dan peningkatan aktivitas matriks
metalloproteinase, yang menimbulkan gejala klinis periodontitis, dilatasi serviks
prematur, atau KPSW.5
12
Respons inflamasi dimediasi oleh neutrofil dan makrofag, dan dihasilkan
sitokin, matriks metalloproteinase dan prostaglandin. Sitokin yang dihasilkan pada
proses inflamasi adalah interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α)
diproduksi oleh monosit yang teraktivasi. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion. 5
Infeksi bakteri menginduksi produksi prostaglandin pada selaput ketuban,
sehingga risiko KPSW meningkat melalui perangsangan uterus dan degradasi
kolagen pada selaput ketuban. Beberapa bakteri dapat menghasilkan fosfolipase
A2, yang dapat melepaskan prostaglandin yang merpakan prekursos asam
arakidonat. Respon imun terhadap infeksi bakteri adalah produksi sitokin oleh sel
monosit yang teraktivasi, sehingga produksi prostaglandin E2 meningkat pada sel
korion. Stimulasi sitokin pada produksi prostaglandin E2 mempengaruhi induksi
siklooksigenase II, yang merupakan enzim yang mengubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator pada persalinan, dan
prostaglandin E2 mengurangi sintesis kolagen pada selaput ketuban dan
meningkatkan MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblas. Glukokortikoid dihasilkan
sebagai respon imun tubuh terhadap infeksi. Pada sebagian besar jaringan, efek
antiinflamasi glukokortikoid timbul melalui penekanan produksi prostaglandin.
Pada amnion, glukokortikoid menstimulasi produksi prostaglandin. Pada kultur
sel epitel amnion, deksamethason mengurangi sintesis fibronektin dan kolagen
tipe III. Diduga produksi glukokortikoid yang merupakan respons terhadap infeksi
mikroba, mendukung terjadinya KPSW.5
Progesteron dan estradiol menekan remodelling matriks ekstraseluler pada
organ reproduksi. Kedua hormon tersebut menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi penghambat metalloproteinase. Kadar
progesteron yang tinggi menurunkan produksi kolagenase pada serviks marmut,
sedangkan kadar progesteron dan estradiol yang rendah meningkatkan produksi
kolagenase pada marmut. Relaksin, suatu hormon yang berfungsi mengatur
remodelling jaringan ikat, dihasilkan desidua dan plasenta, serta menghambat efek
inhibisi estradiol dan progesteron, dengan cara meningkatkan aktivitas MMP-3
13
dan MMP-9 pada selaput ketuban. Kadar relaksin meningkat sebelum persalinan
pada selaput ketuban kehamilan aterm.5
Program kematian sel atau apoptosis berkaitan dengan remodelling yang
terjadi pada jaringan organ reproduksi atau cerviks. Apoptosis ditandai dengan
pemecahan DNA dan katabolisme RNA ribosom subunit 28S, di mana kedua zat
ini diperlukan untuk sintesis protein. Pada tikus percobaan, apoptosis dimulai saat
persalinan. Apoptosis ini terjadi saat degradasi matriks ekstraseluler dimulai. Pada
selaput ketuban yang pecah sebelum mulainya persalinan, ditemukan banyak sel-
sel yang mengalami apoptosis di tempat pecahnya selaput, sedangkan di tempat
lain lebih sedikit. Pada korioamnionitis, diduga respons imun terhadap inflamasi
semakin memacu terjadinya apoptosis. Mekanisme lebih detail mengenai
hubungan apoptosis dengan pecahnya selaput ketuban, belum ditemukan.5
Distensi uterus yang berlebihan karena polihidramnion dan kehamilan
dengan janin lebih dari satu merangsang peregangan selaput ketuban dan
meningkatkan risiko terjadinya KPSW. Peregangan selaput ketuban secara
mekanik mengakibatkan terangsangnya produksi prostaglandin E2 dan interleukin-
8. Peregangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 di selaput ketuban. Seperti
dijelaskan di atas, Prostaglandin E2 meningkatkan ambang rangsang uterus,
menurunkan sintesis kolagen pada selaput ketuban, dan meningkatkan produksi
MMP-1 dan MMP-3. Interleukin-8, yang diproduksi oleh sel amnion dan korion,
merupakan suatu zat kemotaktik neutrofil dan meningkatkan aktivitas kolagenase.
Interleukin-8 ditemukan dalam jumlah rendah pada trimester kedua, sedangkan
pada trimester ketiga jumlahnya cukup banyak. Fungsi interleukin-8 dihambat
oleh progesteron.5
14
Gambar 2.3 Mekanisme yang berhubungan dengan KPSW 5
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan apabila usia kehamilan lebih dari
20 minggu dan keluarnya cairan amnion dari vagina. Berdasarkan pemeriksaan
inspekulo pada serviks dan vagina, akan terlihat cairan dari luar dari ostium uteri
eksternum, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya gambaran daun pakis
(ferning appearance), lanugo dan verniks kaseosa. Cairan amnion bersifat alkalis
yang ditentukan dengan pemeriksaan menggunakan kertas nitrazin dan kertas
lakmus dimana warna merah akan berubah menjadi biru dan yang biru tetap
berwarna biru. 2,6,20
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan pada pasien dengan KPSW adalah
penentuan usia kehamilan. Hal ini dilakukan untuk menentukan penanganannya.
15
Pemeriksaan usia kehamilan ini didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
maupun USG. Pengukuran diameter biparietal melalui USG pada pasien KPSW
mungkin kurang akurat karena terjadi kompresi pada kepala janin. Pemeriksaan
fisik lain dilakukan penilaian terhadap ukuran janin, presentasi janin, persangkaan
adanya his, infeksi (amnionitis), demam yang dialami ibu, sekret vagina yang
purulen, denyut jantung janin menjadi takikardi, dan nyeri pada uterus. Tanda
adanya infeksi saluran kemih juga perlu diperhatikan. 10,22
Untuk menentukan kesejahteraan janin, maka pengukuran denyut jantung
janin merupakan indikator yang baik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan Doppler
ultrasound. Denyut jantung janin yang baik adalah 120-160 kali per menit.
Apabila denyut jantung janin menurun sampai kurang dari 100 kali per menit
selama satu menit atau lebih maka tali pusat mungkin terjepit dan merupakan
indikasi untuk terminasi kehamilan. 15
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah
pemeriksaan darah rutin, menunjukkan leukosit darah dapat meningkat sampai
lebih dari 15.000/mm3 apabila telah terjadi infeksi.4
Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah pemeriksaan pH. Pemeriksaan
dengan lakmus dari bahan pemeriksaan cairan amnion yang berada di vagina
untuk mengetahui apakah cairan tersebut alkalis atau asidik. pH normal pada
cairan vagina antara 4,5 dan 5,5, dan pH normal dari cairan amnion antara 7,0 dan
7,5. pH yang alkalis akan memberikan hasil warna merah berubah menjadi warna
biru, apabila hasilnya alkalis, maka dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya
ketuban dan adanya cairan amnion pada vagina 4,15
Tes nitrazin dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan
vagina ke atas strip nitrazin. Reaksi kimia akan menunjukkan perubahan warna
dan mengindikasikan pH pada cairan vagina. Apabila warna menunjukkan bahwa
pH lebih tinggi dari 6,5 maka dapat ditentukan bahwa telah terjadi pecahnya
ketuban. 15
16
Gambar 2.4 Pemeriksaan dengan kertas nitrazine 18
17
Gambar 2.5 Gambaran pakis (ferning appearance) pada cairan amnion 16
18
Gambar 2.6 Amniosentesis 21
19
kuadran. Pada keempat kuadran tersebut dilakukan pengukuran ukuran kantung.
Ukuran normalnya 5-24. Biasanya pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu
dilakukan pengukuran hanya di dua kuadran, yaitu kuadran kanan dan kiri bawah.
11,22,23,24,25
20
2.2.7 Komplikasi
2.2.7.2 Infeksi
21
janin dapat berupa sepsis, pneumonia, infeksi saluran kencing, atau konjungtivitis.
Umumnya, infeksi pada ibu mengawali terjadinya infeksi pada janin. Akan tetapi,
terkadang sepsis yang berat pada janin dapat terjadi sebelum terjadinya
korioamnionitis. Ini diakibatkan, saat selaput ketuban pecah, terdapat bakteri
virulen yang membentuk kolonisasi pada ketuban sebelum munculnya tanda-tanda
klinis infeksi pada ibu. Hal ini disebut juga infeksi preklinis. Bila ditemukan
tanda-tanda infeksi, misalnya demam (suhu lebih dari 38oC), takikardi ibu dan
janin, leukositosis (leukosit lebih dari 15.000/mm3), peningkatan CRP, dan cairan
amnion keruh dan berbau busuk, maka perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya
korioamnionitis. Akan tetapi, terkadang tanda-tanda ini dapat tidak ditemukan
pada kasus korioamnionitis. CRP dapat meningkat pada kehamilan trimester
pertama. Bila tidak ditemukan tanda-tanda klinis infeksi tetapi dicurigai terjadi
korioamnionitis, dapat dilakukan amniosentesis dan dilakukan pewarnaan gram
serta pemeriksaan ada tidaknya leukosit 12,13,14
Berdasarkan penelitian Yoder tahun 1983, insidensi sepsis neonatorum
pada usia kehamilan aterm adalah 1 dari 500 janin. Bila KPSW terjadi lebih dari
24 jam, insidensi sepsis meningkat 3-5%. Pada PPROM, infeksi pada janin lebih
sering terjadi daripada pada PROM. Semakin lama KPSW berlangsung, semakin
tinggi kemunkinan terjadinya infeksi dari bakteri di vagina. Sebagian besar janin
pada PPROM mengalami infeksi saat selaput janin pecah. Pada sebagian besar
kasus, mortalitas bayi prematur dengan KPSW meningkat karena komplikasi
prematuritas seperti sindrom distress saluran pernafasan, perdarahan
intraventrikuler, dan necrotizing enterocolitis. Sebagai contoh, janin dengan usia
kehamilan 26 minggu dengan PPROM, morbiditas dan mortalitasnya meningkat
karena prematuritas daripada infeksi. Pada usia kehamilan 34 minggu, keadaan
janin tidak jauh berbeda dengan janin aterm, sehingga infeksi lebih mempengaruhi
morbiditas dan mortalitasnya. Adanya infeksi dapat meningkatkan komplikasi
prematuritas sehingga morbiditas dan mortalitas bayi premature meningkat. Yoon,
Comero dan kawan-kawan menjelaskan hubungan infeksi pada janin dengan
korioamnionitis dan kerusakan SSP pada janin melalui sindrom respon inflamasi
janin. Mereka menyatakan sitokin yang dihasilkan preaksi inflamasi
22
mengakibatkan lesi pada substansia alba otak janin (leukomalacia). Lesi ini
mengakibatkan terjadinya cerebral palsy saat anak berusia 3 tahun. Hal ini diduga
berhubungan dengan kadar leukosit dan interleukin-6 yang meningkat pada
amnion. 13
Berdasarkan penelitian Garite dkk tahun 1979, Miller dkk tahun 1980,
Cotton dkk tahun 1984, Zlatnick dkk tahun 1984, Broekhuizen dkk tahun 1985,
Gonik dan Cotton tahun 1985 dan Romero tahun 1988, bakteri penyebab infeksi
mulai dari yang tersering adalah Streptokokus grup B (20%), Gardnerella
vaginalis (17%), Peptococcus (11%), Fusobacteria (10%), Bacteroides fragilis
(9%), dan streptoccus sp.(9%), bacteroides sp (5%). Berdasarkan penelitian NIH,
morbiditas neonatus (sepsis, pneumonia, RDS, dan necrotizing enterocollitis
menurun pada kelompok yang diberi eritromisin dibanding plasebo. Berdasarkan
penelitian Kenyon dkk, pemberian eritromisin sama efektifnya dengan pemberian
ampisilin ditambah asam klavulanat. 11
Bila terjadi korioamnionitis diberi antibiotic spectrum luas sesegera
mungkin, yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hari,
dan metronidazol 3 x 500 mg. beri uterotonika supaya kontraksi uterus baik
pascapersalinan. Hal ini akan menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-
sinus pembuluh darah pada dinding uterus. 12
Prolaps plasenta atau kompresi pada plasenta sering terjadi pada KPSW
yang diikuti oligohidramnion. Prolaps plasenta dapat terjadikarena plasenta ikut
keluar bersamaan dengan cairan amnion yang keluar. Selain itu, prolaps plasenta
dapat terjadi setelah dilakukan amniotomy. Hal ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya gawat janin karena aliran O2 yang berkurang ke janin. Pemantauan
terjadinya gawat janin dapat dilakukan dengan observasi denyut jantung janin
secara ketat. Bila terdapat takikardi perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya
sepsis pada janin. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan NST bila memenuhi
23
syarat NST. Adanya deselerasi ataupun hasil yang non reaktif (tidak adanya
akselerasi) perlu dipikirkan terjadinya sepsis atau gawat janin. 11,12,13
24
kondisi lain. Hipoplasia pumonal yang terjadi diatasi dengan pemberian ventilasi
mekanik dan dirawat di NICU, sedangkan deformitas yang terjadi diatasi dengan
jalan pembedahan. Hipoplasiapulmonal dapat mengakibatkan pneumothoraks
26
spontan atau sindrom distress saluran nafas.
2.2.8 Pengelolaan
Setelah selaput ketuban pecah pada kehamilan yang aterm, 70% wanita
hamil akan melahirkan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam.5
Sebagian besar pasien (90%) mengalami persalinan spontan dalam waktu
24 jam setelah pecahnya selaput ketuban, diketahui bahwa risiko terjadinya
infeksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya durasi dari pecahnya
ketuban dini. Penelitian membuktikan bahwa induksi persalinan pada pecah
ketuban sebelum waktu akan menurunkan risiko terkena korioamnionitis. 2
Hannah, dkk dalam studinya pada 5041 wanita dengan PROM yang
dilakukan pengelolaan dengan induksi persalinan dengan oksitosis intravena atau
gel prostaglandin E2 vaginal dibandingkan dengan pengelolaan konservatif
selama 4 hari dengan induksi persalinan untuk komplikasi yang terjadi,
menyimpulkan bahwa induksi persalinan dan penalataksanaan konservatif
25
memiliki angka kejadian yang sama untuk SC dan infeksi neonatal. Induksi
dengan oksitosin menunjukkan risiko untuk terjadinya infeksi maternal
(endometritis) lebih rendah bila dibandingkan dengan penatalaksaan konservatif.
Sebagai tambahan, subjek dalam penelitian tersebut lebih memilih untuk
dilakukan induksi persalinan daripada pengelolaan konservatif. 2
Pasien KPSW pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit. 4
Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan posisi
panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi bersujud. Kalau
perlu kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan
kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik 4
Setelah monitoring 24-48 jam dari denyut jantung janin dan kontraksi uterus
dan tidak ditemukan keadaan yang mengkhawatirkan, maka pasien masuk
menjadi kandidat untuk pengelolaan konservatif. Pasien harus ditempatkan di
bagian obstetri ginekologi untuk tirah baring. Pemantauan bunyi jantung janin
harus dilakukan paling tidak sekali sehari dan tanda-tanda vital ibu harus
dimonitor secara ketat. Adanya takikardia dan demam menunjukkan kemungkinan
ke arah korioamnionitis dan membutuhkan evaluasi yang seksama untuk
menentukan adanya infeksi intra amnion yang membutuhkan terapi antibiotik dan
persalinan segera. 2
Pemeriksaan dalam harus dihindari. Pada presentasi selain kepala, terutama
pada serviks yang berdilatasi, pemantauan terus-menerus harus dilakukan untuk
menghindari adanya diagnosis tali pusat menumbung. 2
Pemeriksaan USG untuk menentukan index cairan amnion dan pertumbuhan serta
perkembangan janin harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa pengelolaan
konservatif masih dapat dilakukan. Pada oligohidramnion, index cairan amnion
kurang dari 2 sentimeter berhubungan dengan masa latensi yang pendek dan
korioamnionitis, namun oligohidramnion sendiri bukan merupakan indikasi untuk
persalinan apabila tanda-tanda lain baik. 2
Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban
pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik seperti penisilin prokain 1,2 juta IU
26
intramuskuler dan ampisilin 1 g per oral. Bila pasien tidak tahan ampisilin,
diberikan eritromisin 1 g per oral 4
Bila keluarga pasien menolak dirujuk, pasien disuruh istirahat dalam posisi
berbaring miring, berikan antibiotik penisilin prokain 1,2 juta IU intramuskuler
tiap 12 jam dan ampisilin 1 g per oral diikuti 500 mg tiap 6 jam atau eritromisin
dengan dosis yang sama. 4
Dilakukan dua pengelolaan yaitu konservatif dan aktif. 6
Pengelolaan konservatif dilakukan bila tidak ada penyulit bagi ibu maupun
janin pada usia kehamilan 28-36 minggu dan ibu harus dirawat di rumah sakit
selama 2 hari. 6
Pada pasien yang tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dilakukan pengelolaan
konservatif dengan syarat pasien belum inpartu dan usia kehamilan antara 28-37
minggu. Pada pasien ini tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam, karena akan
menambah bahaya infeksi. 20
Dalam pengelolaan konservatif selama perawatan di rumah sakit, akan
dilakukan observasi mengenai kemungkinan terjadinya amnionitis atau tanda-
tanda infeksi lainnya. Tanda infeksi ditemukan apabila ibu menunjukkan gejala
demam lebih dari 38°C, adanya takikardia, pada pemeriksaan lab darah rutin
ditemukan leukositosis, adanya tanda-tanda infeksi intrauterin, rasa nyeri pada
rahim dan sekret vagina yang purulen. Kemudian dilakukan observasi apabila
timbul adanya tanda-tanda persalinan. Pada perawatan diberikan antibiotik
profilaksis, paling lambat diberikan 6 jam sesudah ketuban pecah, jenis antibiotik
yang bisa diberikan adalah golongan penisilin (penisilin prokain atau ampisilin
atau amoksisilin) atau sefalosporin tergantung dari berat ringannya infeksi serta
memperkirakan keadaan ekonomi pasien. Cara pemberian bisa dengan intravena,
intra muskular maupun oral.20 Ampisilin dapat diberikan dengan dosis 4 x 500
gram atau eritromisin 4 x 500 mg dan metronidazol 2 x 500 mg selama 3 sampai 5
hari. 6
27
Pasien dapat diberikan tokolitik berupa injeksi seperti bricasma, salbutamol,
alupent, magnesium sulfat 40% (2 gram) 20
Untuk menilai kesejahteraan janin, maka dilakukan pemeriksaan USG dan
apabila ada indikasi untuk melahirkan janin, maka sebelumnya dilakukan
pematangan paru janin.6
Diberikan pada semua wanita hamil antara 24-34 minggu yaitu betametason
12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali selama sehari.6, 12
Pada pasien rawat jalan di berikan edukasi untuk tidak melakukan coitus,
irigasi vagina, kontrol lebih sering dan apabila ada tanda-tanda infeksi harus
segera memeriksakan diri ke rumah sakit. 20
28
intravaginal, diulang 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemasangan
batang laminaria selama 12 jam, atau pemberian oksitosin 5 IU dalam dextrose
5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes per menit dinaikkan setiap 15 menit, atau
kombinasi, dilakukan histerotomi apabila upaya melahirkan per vaginam
dainggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu 6
Terminasi kehamilan pada lebih dari 28 minggu, diberikan misoprostol 50
ug intravaginal diulangi 1 kali 6 jam setelah pemberian pertama, atau pemberian
tetes oksitosin 5 IU dalam dextrose 5% mulai 20 tetes sampai 60 tetes permenit
pada primi dan multi, pada grandemulti sampai 40 tetes, sebanyak 2 labu dengan
istirahat 2 jam antara labu ke satu dan kedua dan dilakukan SC apabila usaha per
vaginam tidak berhasil 6
KPSW
Umur Kehamilan
29
metalloproteinase seperti batimastat. Akan tetapi, penggunaan zat-zat tersebut
untuk mencegah KPSW masih belum diteliti.5
2.2.10 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
30
sertai dengan pemeriksaan penunjang. Komplikasi yang sering terjadi adalah
infeksi ibu dan janin dan partus preterm yang menyebabkan kematian
4,5
janin/neonatus . Penanganan umumnya tergantung usia kehamilan saat KPSW
terjadi, dapat berupa penanganan secara konservatif maupun aktif. Pemilihan
penanganan ini berbeda-beda di masing-masing institusi dan penanganan apapun
yang dipilih perlu dipikirkan risiko prematuritas dan infeksi yang akan terjadi 1,6,20
DAFTAR PUSTAKA
1. Blackburn ST. Prenatal period and placental physiology. In : Maternal, fetal &
neonatal physiology a clinical perspectives. Elsevier saunders : Missouri. p.
106-111. 2007.
2. Jazayeri A. Premature Rupture of Membranes. Diakses tanggal 8 Mei 2010
dari http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview. 2010.
3. Bagian obstetri & ginekologi fakultas kedokteran universitas padjajaran
bandung. Kehamilan. Dalam : Obstetri fisiologi. Eleman : Bandung. h. 120-
123. 1983.
31
4. Anonim. Ketuban pecah dini. Dalam : Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi
3. Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
2001.
5. Parry S., Strauss J. F. Premature Rupture of the fetal membranes. Diakses
tanggal 8 Mei 2010 dari http://content.nejm.org/cgi/reprint/338/10/663.pdf.
1998.
6. Bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran universitas padjajaran
bandung. KPSW. Dalam : Hidayat W., Achmad S., Wiryawan P., Tina D.J
(Editor) Pedoman diagnosis dan terapi obstetri dan ginekologi rsup dr hasan
sadikin. Bagian I Obstetri. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran :
Bandung. 1997.
7. Admin. Ketuban pecah dini. Diakses tanggal 7 Mei 2010 dari
http://www.klikdokter.com/illness/detail/134. 2010.
8. Cunningham FG, Eveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrim KD,
Anatomy and physiology. In: Williams Obstetrics, Edisi ke-22. New York:
McGraw-Hill.p. 62-7. 2005.
9. Parsons MT, Spellacy WN, Premature Rupture of Membranes. In: James R,
Scott (Editor) Danforth’s Obstetrics and Gynecology. 8th Ed. Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins. p. 269-76. 1999.
10. Admin. Ketuban Pecah Dini. Diakses tanggan 9 Mei 2010 dari
http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ketuban-pecah-dini.html. 2007.
11. Cootauco A.C., Althaus J.E. Preterm labor and premature rupture of
membranes In: The john hopkins manual of gynecology and obstetrics. 3rd ed.
USA: Lippincott William and Wilkins. 126-27. 2007.
12. Soetomo Soewarto. Ketuban pecah dini. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi
keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 677-81.
2008.
13. Bruce E. Premature rupture of membranes. Diakses tangal 9 Mei 2010 dari
http://www.compleatmother.com/prom.htm
14. University of Virginia. High risk pregnancy. Diakses tanggal 7 Mei 2010 dari
http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/peds_hrpregnant/prm.cfm
15. Stuebe A. Premature rupture of membranes. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.healthline.com/yodocontent/pregnancy/premature-rupture-risk-
factors.html. 2006
16. http://farm3.static.flickr.com/2146/2304953763_c6b05d33ab.jpg
17. Djamhoer M, Firman F.W. Robeknya selaput dalam kehamilan. Dalam :
Sulaiman S, Djamhoer M, Firman W (Editor) Obstetri patologi ilmu kesehatan
reproduksi. Edisi kedua. EGC : Jakarta. 2003. h. 36-7.
18. http://catalog.nucleusinc.com/imagescooked/9946W.jpg
19. Duff, P. Management of premature rupture of the membranes in term patients.
Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari http://www.glowm.com/index.html?
p=glowm.cml/section_view&articleid=119. 2008
20. Anonim. KPSW (Ketuban pecah sebelum waktunya). Dalam : Standar
diagnosis dan terapi kasus-kasus ilmu kebidanan dan penyakit kandungan.
Rumah Sakit Immanuel : Bandung. 2006.
32
21. http://jane-chen.net/wpcontent/uploads/2010/02/amniocentesis20image006.jpg
22. Andersen HF, Hopkins MK, Hayashi RH. Premature Rupture of the
Membranes, Dalam: Gynecology and Obstetrics, Volume 2, Sciarra JJ,
penyunting. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, (47)1-6. 1995.
23. Parsons MT, Spellacy WN, Premature Rupture of Membranes, Dalam:
Danforth’s Obstetrics and Gynecology, Edisi ke-8, James R, Scott,
penyunting. Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins. p.269-76. 1999.
24. Baxter JK, Sehdev HM, Olygohidramnios. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com. 2003.
25. Rajiah P. Polyhidramnion. Diakses tanggal 8 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com
26. Sairam VK, Travis L, Potter Syndrome. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.emedicine.com. 2006
27. http://www.brown.edu/Courses/Digital_Path/systemic_path/renal/potter2.html
28. Admin. Premature rupture of membrane. Diakses tanggal 9 Mei 2010 dari
http://www.mdguidelines.com/premature-rupture-of-membranes. 2010
33