Anda di halaman 1dari 11

KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL DAN EPIDURAL

dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med, Sp.An


Bagian / SMF Anestesiologi FK UNRAM / RSU Prov NTB

Pendahuluan

Anestesi spinal adalah suatu cara untuk menimbulkan atau menghasilkan hilangnya sensasi dan blok
motorik dengan jalan memasukkan obat anestesi lokal kedalam ruang subarakhnoid. Blok yang dihasilkan tidak
permanen dari cabang-cabang saraf anterior, posterior, serabut saraf posterior dan bagian dari medula spinalis
akibat hilangnya aktivitas otonom, sensoris dan motoris.1,2 Fungsi saraf yang hilang meliputi sensoris temperatur,
nyeri, fungsi otonom adalah rasa raba, tekan dan fungsi motorik serta propioseptik. Masing-masing dihantarkan
oleh serabut saraf yang berbeda dengan perbedaan resistensi terhadap pengaruh obat anestesi lokal. Blok saraf
dimulai dari kaudal kearah kranial dan blok akan hilang dari arah sebaliknya yaitu dari kranial ke kaudal.1
Anestesi spinal mempunyai beberapa kelebihan dibanding anestesi inhalasi, antara lain kedalaman
anestesi cepat tercapai, cara sederhana, peralatan yang diperlukan minimal, tidak ada polusi dalam ruang
operasi. Meskipun begitu risiko dan komplikasi anestesi spinal tidak kalah berbahayanya dibanding anestesi
umum, bahkan kadang-kadang lebih berat.2 Komplikasi anestesi spinal dapat digolongkan menjadi komplikasi
yang terjadi segera dan lanjut. Kita harus mengetahui komplikasi anestesi spinal sebelum melakukan anestesi
spinal, sehingga bisa mengantisipasi dan mempersiapkan obat atau melakukan tindakan serta mempersiapkan
alat-alat untuk mengantisipasi komplikasi yang terjadi.3
Anestesi epidural atau anestesi ekstradural, peridural adalah salah satu tehnik anestesi regional dengan
menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang epidural. Tujuannya untuk memblok serabut saraf spinalis
dalam ruang epidural yang keluar dari dura menuju foramen intervertebralis. Obat anestesi lokal akan
menggenangi ruang epidural daerah torakal, lumbal atau kaudal tergantung ketinggian blok yang ingin dicapai. 2
Anestesi epidural cepat berkembang pada praktek anestesi, karena banyak memberi manfaat pada pasien. Dapat
untuk pembedahan daerah perut bagian bawah, ekstremitas bawah, analgesi persalinan serta untuk mengatasi
nyeri pasca bedah.4

Komplikasi Anestesi Spinal


Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi dua bagian yaitu komplikasi yang terjadi segera dan
komplikasi lanjut.3,5
1. Komplikasi Segera
1. 1. Kardiovaskuler
Hipotensi
Anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, penurunan tekanan darah sistolik
dan penurunan tekanan darah arteri rata-rata, penurunan laju jantung dan penurunan isi sekuncup. 3,6 Hipotensi
merupakan penyulit yang sering timbul akibat blok simpatis. 7 Penurunan tekanan darah ini sebanding dengan
tingginya level saraf simpatis yang terblok. Saraf simpatis yang terblok pada anestesi adalah dua atau lebih
dermatom diatasnya dari tempat injeksi. Penurunan tekanan darah lebih besar terjadi pada ibu hamil
dibandingkan orang normal karena penekanan pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar. 3,8 Secara klinis
diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah
sistolik semula atau tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.9,10

1
Angka kejadian pada anestesi spinal 1/3 dari seluruh kasus. 10 Carpenter dkk menyatakan bahwa
pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya mengalami komplikasi lain terjadi lebih
awal dengan insiden 33%. Peneliti lain melaporkan dari 26% pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi
spinal, 16% disertai hipotensi.11 Penurunan tekanan darah sering ditemui didalam kamar operasi pada penderita
yang mendapat anestesi spinal. Hal-hal yang menjelaskan terjadinya tersebut antara lain :12
1. Berkurangnya isi sekuncup, sehingga berakibat menurunnya jumlah aliran darah vena yang
menuju ke jantung.
2. Terjadinya dilatasi pembuluh darah kapiler arteiol dan pembuluh darah vena kecil oleh karena blok
simpatis, sehingga terjadi vasodilatasi sedang daerah yang tidak teranestesi terjadi vasokonstriksi
karena reflek baroreseptor.
3. Terjadi kelumpuhan saraf simpatis yang menuju ke jantung.
4. Terserapnya obat anestesi local kedalam sirkulasi.
5. Hipoksia dan iskemia dari pusat kardiorespirasi di otak, terlihat jelas pada pasien dengan
hipovolemia sebelumnya.
6. Tekanan pada pembuluh darah besar oleh uterus yang membesar atau tumor abdomen yang besar
akibatnya aliran darah vena yang menuju ke jantung berkurang.

Smith dkk menyatakan terjadinya hipotensi oleh karena turunnya venous return akibat penumpukan
darah pada pembuluh darah vena. Volume darah tetap dalam keadaan normal, sehingga jaringan dirasakan
hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi anoksia/hipoksia seluler serta gangguan
metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi akibat hipovolemi. 10 Tahanan pembuluh darah tepi
ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blok vasokonstriktor arteri menyebabkan
dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri, tidak hilang semua masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi
arteri tidak merata, vasodilatasi daerah yang terblok membuat kompensasi daerah vasokonstriksi daerah yang
tidak diblok.10
Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari perubahan tahanan pembuluh darah
tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis, paling sering diakibatkan perubahan curah jantung. Batas
kritis hipotensi untuk penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada
pendapat lain yang menyatakan sistolik 80 mmHg. 13 Penurunan tekanan darah umumnya terjadi dalam waktu 20
menit dari saat obat disuntikan dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu
20 – 25 menit. Setelah mencapai tingkat terendah, secara spontan akan naik kembali sekitar 5 – 10 mmHg
setelah 10 – 15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak
terblok bukan karena naiknya curah jantung dan kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat
anestesi local habis. Penurunan tekanan darah lebih sensitif terjadi pada orang tua dan pada penderita dengan
riwayat hipertensi sebelumnya.5,10,12
Perubahan tekanan darah tidak berhubungan dengan gerakan atau rangsangan operasi. Bila
dibandingkan dengan anestesi umum, begitu rangsangan operasi diberikan biasa terjadi peningkatan tekanan
darah dan laju jantung.12 Faktor yang mempengaruhi derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal : 5,9,10
1. Umur

2
Setelah umur 50 tahun insiden hipotensi meningkat secara progresif dari 10 % menjadi 30 % .
Pada dewasa muda biasanya terjadi hipotensi kurang berat dibanding usia lanjut dengan tinggi
anestesi spinal yang sama.10,14
2. Jenis kelamin
Lebih sering terjadi pada wanita , hal ini berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada
wanita meskipun jumlah anestesi local yang diberikan sama. Perbandingan komplikasi anestesi
spinal antara wanita dan pria adalah 32 % dan 20 %.10
3. Berat badan
Hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih besar pada pasien yang memiliki Body
Mass Index ( BMI ) ≥ 30 %.10
4. Kondisi fisik
Pada pasien dewasa muda dan normovolemi, blok simpatis sampai pertengahan toraks mungkin
tidak menimbulkan hipotensi atau hanya hipotensi ringan. Pada usia lanjut dan atau hipovolemi
atau pasien dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen ( hamil, tumor abdomen ), blok
dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat.14
5. Jenis obat anestesi
Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada buvipakain, rata – rata timbul pada 18
menit pertama tetapi buvipakain lebih sering. Buvipakain hiperbarik menimbulkan hipotensi pada
23 menit pertama, sedangkan buvipakain isobarik pada 38 menit pertama.10
Kelambatan kejadian hipotensi setelah pemberian buvipakain spinal menggambarkan bahaya
dimana seorang ahli anestesi harus waspada. Dianggap bahwa 20 menit pertama setelah pemberian
blok subarakhnoid merupakan periode paling kritis, tetapi dengan obat long acting tertentu
penyebaran mungkin berlangsung lebih lama dan menimbulkan hipotensi lambat yang tidak
terduga.11
6. Tingkat hambatan sensorik
Pada tingkat T1 - T5 25 % pasien mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat
cervical 50 % pasien atau lebih mengalami hipotensi.14
7. Posisi pasien
Posisi head up atau kepala lebih tinggi dari kaki pasien misal pada operasi artroskopik sendi lutut,
akan mengalami pooling darah vena sehingga lebih mudah terjadi hipotensi.14
8. Manipulasi operasi
Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi sehingga sukar untuk
mengkompensasi.10

Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia jaringan, yaitu
gelisah, ketakutan, tinnitus, pusing dan sakit kepala biasanya juga disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut
berupa mengantuk , disorientasi dan koma yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian.10

Bradikardi

3
Terjadi pada anestesi spinal disebabkan oleh karena blok saraf simpatis dan menurunnya rangsangan
terhadap stretch receptors yang ada pada dinding atrium. Stretch reseptors ini berfungsi mengatur tekanan darah
dan laju jantung.1

I. 2. Respirasi
Gangguan respirasi yang timbul akibat anestesi spinal adalah hipoventilasi, apneu, batuk, gangguan
ponasi. Batuk terjadi karena ekspirasi reserve menurun, sedangkan gangguan ponasi oleh karena residual
capacity menurun.3 Hipoventilasi dan apneu terjadi karena menurunnya aliran darah ke medullary (pusat nafas),
lumpuhnya otot intercostals dan diafragma karena terjadi spinal tinggi. Tingginya level anestesi spinal
tergantung dari besarnya dosis, posisi penderita dan kecepatan penyuntikan.3,13

I. 3. Sistem Saluran Pencernaan


Anestesi spinal menekan saraf simpatis, sehingga pada anestesi spinal akan terlihat efek parasimpatis
lebih menonjol. Pada usus akan terlihat peningkatan kontraksi, tekanan intralumen meningkat, sphingter akan
terjadi relaksasi.12,15 Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal, kejadiannya
kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal ini antara lain : 3,12
1. Penurunan tekanan darah, merupakan penyebab terbesar. Bila segera diatasi maka mual
muntah akan segera berhenti.
2. Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi. Hal ini dapat diatasi
secara efektif dengan terapi oksigen.
3. Kecemasan atau faktor psikologis. Hal ini dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang
baik atau dengan sedatif.
4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi.
5. Peninggian aktivitas parasimpatis. Blok spinal akan mempengaruhi control simpatetik
gastrointestinal.
6. Refleks traksi pada usus, manipulasi usus.

I. 4. Temperatur Tubuh
Anestesi spinal menyebabkan penurunan suhu tubuh akibat vasodilatasi sehingga memudahkan
terjadinya penguapan panas. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan dopler laser yang diletakkan pada kaki
untuk menilai fungsi simpatis. Selain itu anestesi spinal juga menghambat pelepasan hormon katekolamin
sehingga akan menekan produksi panas akibat metabolisme. 12,15 Menggigil sering mengikuti perubahan
temperatur. Menggigil ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, laju jantung dan peningkatan
kebutuhan oksigen. Pengobatan menggigil dengan pemberian petidin 25 mg intra vena.

I. 5. Anestesi Spinal Total


Komplikasi ini terjadi bila blok simpatis sampai thorakal atau bahkan cervical, dapat terjadi hipotensi
berat, bradikardi dan gangguan respirasi. Terjadinya spinal tinggi ini dapat disebabkan misalnya : penderita
mengangkat kaki pada waktu obat dimasukkan, penderita mengejan, batuk atau tekanan intra abdomen yang
meningkat. Gejala yang sering timbul pada spinal tinggi biasanya berupa : penurunan kesadaran, hipoventilasi
sampai apneu, hipotensi dan bradikardi. Penangananan kepala lebih tinggi dari badan, pemberian oksigen lewat
pipa endotrakhea, pemberian cairan. 13

4
I. 6. Reaksi Alergi
Reaksi ini manifestasinya bermacam – macam, bisa hanya berupa kemerahan pada kulit, urtikaria
namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi anafilaktik syok. Reaksi ini dapat terjadi segera ataupun lambat. 8

2. Komplikasi Lanjut
2. 1. Sakit Kepala
Kejadian nyeri kepala setelah anestesi spinal adalah 5 – 10%, banyak terjadi pada wanita, umur muda.
Keluhan nyeri kepala meningkat sesuai dengan besarnya jarum spinal yang digunakan. Lokasi nyeri kepala yang
tersering adalah dibagian frontal 50% occipital 25%, dan sisanya adalah di bagian lain. Kejadian nyeri kepala
umumnya 6 – 12 jam pasca anestesi spinal, meskipun dapat pula terjadi lebih lambat. 2,16 Nyeri kepala dapat
berlangsung dalam hitungan hari, minggu bahkan bulan meskipun umumnya berlangsung selama 1 – 2 minggu.
Keluhan ini terlihat dalam 3 hari pada 90% kasus dan dikeluhkan sampai 12 hari sesudah tusukan jarum
spinal.3,8,12
Teori yang dapat menjelaskan terjadinya nyeri kepala setelah anestesi spinal antara lain :
1. Menurunnya tekanan cairan cerebrospinal akibat kebocoran durameter. Hal ini dapat
mengakibatkan penarikan terhadap pembuluh darah dan saraf yang sensitive nyeri. Pernah
dilaporkan adanya penyebab kematian akibat herniasi tentorium serebri dan hematom subdural
pada otopsi bedah mayat setelah anestesi spinal.3,8,13,16
2. Iritasi selaput otak oleh zat kimia atau bakteri. Pada jenis ini tekanan serebrospinal normal atau
meningkat.12,15
Nyeri kepala semakin diperberat pada posisi berdiri atau duduk. Pada ibu hamil atau penderita dengan tumor
intraabdomen, nyeri kepala yang terjadi lebih berat karena banyaknya cairan serebrospinal yang keluar,
disamping itu penggunaan obat vasopresor akan berinteraksi dengan oksitosin dalam meningkatkan kejadian
nyeri kepala paska bedah.3,12,13
Gangguan pendengaran atau penglihatan sering menyertai nyeri kepala. Insiden gangguan pendengaran
kira- kira 0,4% dengan gejala nyeri telinga berdenging, tersumbat. Gangguan pendengaran ini karena
berkurangnya tekanan pada koklea. Kejadian gangguan penglihatan kira-kira 0,1% dengan gejala : penglihatan
ganda, mata kabur, kesulitan memfokuskan pandangan. Gangguan ini terjadi karena lumpuhnya nervus VI
dalam perjalanannya melewati dasar tenggkorak, sehingga kalau ada perubahan pada cairan serebrospinal cepat
mengenai nervus VI.3

2. 2. Nyeri Punggung
Nyeri punggung terjadi karena kerusakan atau teregangnya kapsula, otot, ligament. Faktor – faktor
yang berpengaruh terhadap nyeri punggung setelah anestesi antara lain : persediaan tempat tidur rumah sakit
dengan kasur yang terlalu lembek sehingga tidak menyokong punggung, trauma yang terjadi pada saat penderita
dipindahkan dari meja operasi, penderita dengan riwayat nyeri punggung sebelumnya.3

2. 3. Retensi Urin
Kejadian retensi urin yang terjadi karena terbloknya S2 – S4, sehingga mengakibatkan tonus kandung
kencing menurun dan hilangnya reflek pengosongan kandung kencing. Produksi urin terus berlangsung namun
karena otot detrusor tidak dapat berkontraksi akibatnya terjadi retensi urin. Penderita dapat dapat dikatakan
retensi urin bila tidak dapat kencing lebih dari 6 jam. 6,16 Retensi urin terjadi pada operasi daerah perineum,

5
urogenital dan abdomen bagian bawah. Distensi kandung kencing akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
seperti peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju jantung.3,13

2. 4. Infeksi
Infeksi yang sering terjadi pada anestesi spinal adalah meningitis dan abses epidural. Kejadiannya
berlangsung lambat. Meningitis yang terjadi dibagi dua yaitu : meningitis yang disebabkan oleh mikroorganisme
seperti virus, bakteri dan meningitis yang disebabkan oleh zat kimia seperti powder dari sarung tangan,
detergen, maupun dari zat aseptic yang digunakan misalnya povidon yodida.3,12
Kejadian meningitis sudah jauh berkurang karena sterilitas alat-alat sudah modern. Pencegahan yang
paling efektif adalah memperhatikan septik aseptik, serta sterilitas alat serta bahan yang akan digunakan. 16

2. 5. Komplikasi Neurologi17
Hal – hal yang menyebabkan terjadinya gangguan neurologik pada anestesi spinal antara lain:
1. Kompresi medulla spinalis
- Hematom : trauma jarum, kelainan pembuluh darah, gangguan perdarahan, tumor.
- Abses : infeksi lewat jarum, hematogen.
2. Trauma medulla spinalis
- Kerusakan oleh jarum.
- Toksik.

Macam gangguan neurologik pada anestesi spinal: 17-19


a. Sindroma kauda equina
Terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia toksik, maka serabut otonom kauda
equine sering menjadi bagian pertama yang terserang akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf
S2-4 akan menimbulkan lesi neuron motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi volunter
miksi. Sindrom ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik atau paralisa otot-otot di bawah lutut,
otot-otot hamstring, gluteal disertai menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika L 5 dan S1 terserang
menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan menghasilkan pola anestesi sadle yang khas pada
perineum, pantat dan paha yang menyebar hingga kaki dan betis.

b. Kompresi saraf spinal akibat hematom spinal


Kompresi akut pada saraf spinal akibat yang timbul pada spatium subarachnoid, subdural, atau
ekstradural dapat menimbulkan paraplegi irreversible mendadak. Meskipun perdarahan ini disebabkan oleh
trauma jarum spinal atau epidural tanpa diskrasia darah, tetapi ada kemungkinan disebabkan oleh kelainan
hemostatika.

c. Kompresi saraf spinal akibat pembentukan abses


Kompresi saraf spinal akibat proses infeksi dapat dikaitkan dengan tehnik anstesi spinal. Penyebabnya
adalah masuknya bahan yang terinfeksi melalui jarum spinal menuju kanalis spinalis (kontaminasi dari kulit
atau jarum) atau kontaminasi dari bakteri yang ada di darah. Organisme yang sering ditemukan adalah
stapilokokus aureus. Gambaran klinisnya adalah nyeri punggung, kelemahan, paralisa setelah tusukan jarum
beberapa jam, hari atau bulan. Hal ini bila tidak diterapi akan berkembang menjadi paraplegi.

6
d. Bahan asing yang menyebabkan arakhnoiditis
Kejadian arakhnoiditis pada anestesi spinal dapat menyebabkan skuele neurologist serius. Penyebabnya
adalah masuknya benda asing korosif ke dalam spatium subarakhnoid. Gambaran klinis yang muncul berupa
kelemahan progresif yang berjalan perlahan dan hilangnya sensoris pada ekstremitas inferior yang dimulai
beberapa hari, minggu atau bulan setelah anestesi spinal dan berkembang menjadi paraplegi serta dapat
berkembang kearah kematian. Perubahan histologis yang ditemukan yaitu respon peradangan meningeal disertai
proliferasi arakhnoid yang menjepit saraf spinalis serta menyebabkan infark saraf spinalis.

2. 6. Komplikasi Akibat Obat Anestesi Lokal 20


Reaksi sistemik bisa terjadi bila obat anestesi local masuk pembuluh darah. Gejala yang timbul dapat
berupa penurunan kesadaran, kejang serta bradikardi. Pencegahan reaksi sistemik dengan melakukan aspirasi
sebelum penyuntikan obat atau dipastikan jarum spinal tidak masuk pembuluh darah. Disamping itu dapat
ditambahkan obat vasokonstriktor untuk menghambat penyerapan obat. Reaksi alergi bisa terjadi akibat
pemberian obat anestesi local. Golongan ester lebih sering daripada golongan amida. Reaksi alergi ini terutama
terjadi pada penderita dengan riwayat atopi. Gejala yang timbul dapat berupa urtikaria, bronkospasme atau henti
jantung.

Komplikasi Anestesi Epidural

1. Duramater Robek Atau Tertusuk


Kejadian tertusuknya duramater pada waktu dilakukan anestesi epidural yang dilakukan ahli anestesi
1% - 2,5%.12,21 Bila duramater robek akan terlihat keluar cairan likuor serebro spinalis ( LCS ) pada pangkal
jarum epidural, terutama waktu dilakukan aspirasi. Cairan LCS dapat dibedakan dengan obat anestesi lokal
dengan cara : 12
- dibedakan suhunya
- memakai test glukosa dan protein dengan kertas strip yang untuk pemeriksaan urin.
- Dicampur dengan thiopenton bila terjadi pengkabutan berarti obat anestesi lokal.
Akibat robeknya duramater dapat menyebabkan komplikasi :
1. 1. Blok Total Spinal
Jika tidak diketahui robek, obat anestesi lokal untuk epidural dimasukkan kedalam ruang sub arakhnoid
maka akan terjadi blok total spinal. Angka kejadian total total blok spinal 1 : 1000 kasus. 9 Penderita cepat
terjadi penurunan kesadaran, henti nafas dan hipotensi berat dan bila tidak segera ditolong akan terjadi henti
jantung. Penderita langsung di intubasi, diberi nafas buatan oksigenasi 100% dan diberikan vasopresor. Bila
terapi yang diberikan adekuat jarang terjadi sequele.22 Untuk mengurangi resiko terjadinya blok total spinal yang
perlu diperhatikan :
- Hati-hati dalam melakukan tehnik anestesi epidural.
- Aspirasi untuk mengetahui tehnik anestesi epidural.
- Harus dilakukan tes dose.
1. 2. Post Dural Puncture Headache ( PDPH )

7
Komplikasi ini akibat adanya kebocoran cairan LCS melalui duramater yang robek, dengan demikian
volume dan tekanan LCS menurun sehingga terjadi regangan pembuluh darah otak dan meniningen. Jumlah
cairan LCS yang keluar melalui robekan duramater tergantung luasnya duramater yang robek dan juga status
hidrasi penderita. Kejadian PDPH pada wanita hamil dalam persalinan sekitar 25-35% dengan jarum 18 G dan
sekitar 15-20% dengan jarum 20 G.23
Kejadian lebih banyak terjadi pada wanita dalam persalinan dibandingkan dengan wanita yang tidak
hamil, oleh karena pada wanita dengan persalinan :
- Kehilangan darah sewaktu melahirkan atau operasi.
- Pada waktu mengejan akan memperbanyak cairan LCS yang keluar.
- Periode diurisis setelah persalinan menyebabkan dehidrasi.
- Tekanan intra abdominal menurun pada periode setelah persalinan.
Kebocoran sekitar 12 ml cairan LCS belum mengakibatkan PDPH, namun bila jumlah sudah lebih dari 20 ml
akan terjadi PDPH. PDPH mempunyai ciri – ciri :
- Bertambah berat nyeri kepala sewaktu duduk atau berdiri dan berkurang bila
penderita berbaring.
- Lokasi nyeri terutama didaerah frontal 50%, Occipital 25% dan belakang mata.
- Kadang disertai kaku kuduk, mual dan muntah karena rangsangan meningen.
- Nyeri timbul beberapa jam setelah blok epidural dan sembuh setelah 2-3 hari, dapat
beberapa minggu sampai beberapa bulan.

2. Kateter Epidural Masuk Kedalam Pembuluh Darah


Sewaktu diaspirasi akan terlihat darah dalam kateter. Bila masuk pembuluh darah kateter harus dicabut,
kemudian dipilih interspace diatas atau dibawahnya untuk insersi jarum epidural ulang. Tidak boleh
menyuntikan obat local anestesi jika ada darah dalam kateter.24

3. Intoksikasi Obat Anestesi Lokal


Toksisitas obat anestesi local dapat diklasifikasikan dalam dua katagori yaitu :
a. Reaksi alergi
b. Toksisitas sistemik
- Susunan saraf pusat (SSP)
- Kardiovaskuler
a. Reaksi alergi
Reaksi alergi terhadap obat anestesi local sangat jarang. Manifestasinya berupa dermatitis, urtikaria,
pruritus, spasme bronchus dan anafilaksis. Pengobatan dengan epinefrin dan steroid seperti Dopomedrol
biasanya memberikan hasil yang memuaskan.25 Pada penderita dengan riwayat alergi terhadap obat anestesi
local dapat dilakukan test sensitivitas pada kulit, tetapi jarang dilakukan. 25,26
b. Intoksikasi sistemik
Kerja obat lokal anestesi adalah menghambat konduksi pada saraf perifer. Bila konsentrasi obat lokal
anestesi cukup tinggi dalam plasma dapat mempengaruhi eksitabilitas membran sel lain seperti jantung dan otak.
Anestesi epidural biasanya tidak mengakibatkan konsentrasi obat anestesi lokal meningkat diatas nilai ambang

8
toksisitas, tetapi bila bila tanpa disengaja obat lokal anestesi masuk kedalam pembuluh darah menyebabkan efek
sistemik dan intoksikasi terhadap otak serta jantung.25 Gejala toksisitas anestesi lokal yaitu : 23
1. Ringan :Palpitasi, mulut dan tenggorokan kering, tinnitus, vertigo, sakit kepala, mual dan kebingungan.
2. Sedang : Tingkat kebingungan lebih berat, kesadaran menurun, muscular twitching, kejang.
3. Berat : Koma, hipotensi berat, bradikardi, apneu, dan dapat menyebabkan kematian.
Kenaikan kadar progesteron pada wanita hamil berperan didalam meningkatnya kardiotoksisitas dan
potensial aritmogenik terhadap bupivakain, tetapi tidak terhadap lidokain dan ropivakain. 27 Bila kadar
bupivakain dalam darah lebih tinggi sedikit diatas kadar yang menyebabkan toksisitas terhadap SSP, maka sudah
bisa menyebabkan disritmia. Bretilium merupakan obat anti aritmia yang lebih tepat dibandingkan dengan
lidokain bila muncul ektopik ventricular.(Mulroy 1992).26

4. Hipotensi
Terjadinya hipotensi tergantung dari ketinggian blok sensorik. Bila tingkat analgetik dibawah T 10
biasanya hipotensi yang terjadi minimal. Pengaruh hipotensi terhadap janin pada ibu dengan persalinan dibawah
analgesi epidural tergantuing pada berat ringannya penurunan tekanan darah serta lamanya kejadian tersebut.
Bila hipotensi yang terjadi ringan dan sebentar tidak terjadi efek samping yang serius terhadap janin, hal ini
kemungkinan telah terjadi mekanisme kompensasi aliran darah uteroplasenta. 23 Persistent moderate hypotension
dan hipotensi yang berat meskipun waktunya sebentar akan menurunkan aliran darah uteroplasenta dan dapat
menyebabkan depresi pada janin. Hal-hal yang harus diperhatikan pada wanita hamil sebagai berikut :
1. Pada keadaan hipotensi, hipovolemi supine hypotension syndrome jangan dilakukan
dengan tehnik anestesi epidural.
2. Analgesi jangan lebih tinggi dari dermatom T10.
3. Loading cairan dengan RL 500 – 1000 ml sebelum melakukan tindakan.
4. Tekanan darah harus dipantau secara ketat.
Pada ibu hamil waktu terlentang terjadi hipotensi, posisi dirubah miring kekiri bila tidak mungkin misal
posisi litotomi, tindakan mendorong uterus akan mengurangi kompresi uterus terhadap vena cava. Dapat
diberikan cairan atau efedrin 10-15 mg IV atau metaraminol melalui infus drip. Fenilefrin tidak diberikan pada
ibu hamil karena menyebabkan vasokontriksi uterus, sehingga menurunkan perfusi interfilus dan menyebabkan
bradikardi pada janin.23

5. Hematom Epidural
Sangat jarang terjadi, kecuali epidural dilakukan pada penderita yang mendapat terapi anti koagulan.
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan diantara ahli mengenai keamanan tindakan anestesi epidural pada
penderita yang sedang mendapat terapi anti agragrasi trombosit missal aspirin atau persantin, meskipun belum
pernah dijumpai terjadinya hematom epidural pada penderita yang sedang mendapat terapi antikoagulan yang
dilakukan anestesi epidural.28 Pemasangan kateter epidural pada Pain Control Analgesia sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian heparin dan pencabutan kateter dilakukan setelah efek heparin terkontrol.28

6. Komplikasi Neurologis
Komplikasi neurologis pada anestesi epidural sangat jarang terjadi, kemungkinannya adalah kompresi
pada korda spinalis akibat sekunder hematom epidural, ischemia korda spinalis, meningitis, araknoiditis,
syndrom kauda ekuina. Selain trauma langsung berupa tertusuknya akar serabut saraf, korda spinalis atau

9
medulla spinalis oleh jarum epidural atau kateter epidural, penyuntikan obat anestesi sendiri dapat menyebabkan
trauma. Insersi jarum epidural dibawah L1-L2 dapat mengurangi resiko atau mencegah terjadinya trauma.29

7. Menggigil
Kejadian pada penderita dengan anestesi epidural 20 – 50%. Dengan menggigil akan meningkatkan
konsumsi O2, peningkatan kerja jantung dan penurunuan PO 2.25 Pemberian meperidin 25 – 50 mg IV atau
melalui kateter epidural biasanya menghasilkan efek yang memuaskan. Diduga narkotik bekerja pada pusat
termoregulator atau efeknya terhadap vasoaktif perifer yang menghasilkan redistribusi suhu tubuh.30

8. Nyeri Punggung ( Low Back Pain )


Nyeri punggung disebabkan oleh karena teregangnya otot atau ligamentum. 24 Faktor yang berpengaruh
pada terjadinya nyeri punggung adalah : tempat tidur penderita, meja operasi yang kurang baik, trauma waktu
penderita dipindah dari meja operasi dan adanya riwayat nyeri punggung sebelum operasi.22

9. Retensi Urin
Retensi urin oleh karena terjadi blok pada S 2 –S4 terjadi penurunan tonus kandung kencing serta
hilangnya reflek pengosongan kandung kencing. Menyebabkan peregangan kandung kencing akan
menimbulkan perubahan hemodinamik.21

Ringkasan

Anestesi spinal adalah suatu anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestesi
lokal kedalam ruang subarakhnoid yang akan memblok radiks spinalis didalam ruang subarakhnoid. Komplikasi
anestesi spinal tidak hanya terjadi didalam ruang operasi tetapi dapat terjadi setelah post operasi. Komplikasi
segera yang sering ditemukan adalah penurunan tekanan darah, depresi respirasi, mual muntah. Umumnya
komplikasi ini saling berhubungan. Komplikasi ini terjadi terutama sampai dengan 20 menit dari obat
disuntikan.
Komplikasi lanjut yang sering adalah nyeri kepala, nyeri pungggung, retensi urin, infeksi serta
gangguan neurologis. Pencegahan nyeri kepala dapat dilakukan dengan cara tirah baring, pemberian cairan
intravena atau peroral, pengikatan perut, serta blood patch epidural. Defisit neurologis merupakan komplikasi
anestesi spinal yang paling ditakuti. Anestesi epidural adalah merupakan suatu anestesi regional dengan cara
menyuntikan obat local anestesi kedalam ruang epidural dengan tujuan memblok serabut saraf spinalis didalam
ruang epidural. Komplikasi anestesi epidural juga dapat terjadi di ruang operasi atau diruang perawatan.
Komplikasi yang segera timbul dikamar operasi adalah penurunan tekanan darah, depresi respirasi, dan mual
muntah. Untuk mencegah hipotensi perlu diberikan cairan infuse 500 - 1000 ml diguyur. Jika setelah tekanan
darah tidak mau naik perlu diberikan vasopresor, oksigen dengan sungkup muka.
Komplikasi yang terjadi lebih lanjut adalah sakit kepala, nyeri punggung, retensi urin, infeksi, chronic
adhesive arachnoiditis, dan obat anestesi lokal masuk kedalam pembuluh darah. Untuk penanganan nyeri post
anestesi epidural penderita tirah baring selama 24 jam, pemberian cairan intra vena, minum banyak, pengikatan
perut, diberikan analgetik atau cairan fisiologis kedalam ruang epidural atau blood patch epidural. Setiap akan
melakukan anestesi spinal dan epidural harus selalu memperhatikan faktor – faktor yang dapat mencegah atau
mengurangi komplikasi serta harus mengantisipasi dan mempersiapkan obat serta alat untuk mengatasi
komplikasi yang terjadi.

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Snow JC. Manual of Anesthesia. Boston : Little Brown and Co, 1979 : 234.
2. Vandam LD. Complication Of Spinal and Epidural Anetesia. In : Gravenstein N. Kirby RR (eds). Complication in Anestesiology. 2 nd
ed. New York : Lippincott Raven, 1996 : 563-582.
3. Snow JC. Spinal Anestesia. Manual of Anestesia. Tokyo : Igaku Shoin Ltd, 1980 : 167-91.
4. Davidson HCC. A Practice of Anaesthesia. 5th ed. Singapore : PG Asian Economy ed, 1985 : 857-713.
5. Rushman GB, Danvies NJH, Cashman Lee. Synopsis of Anaesthesia. 12th ed. Oxford : Butterworth Heineman, 1999 : 152-73.
6. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia. In : Longnecker DE, Murpy FL. Introduction to Anesthesia. 9 th ed. Philadelphia :
W.B Saunders Company, 1997 : 216-217.
7. Critchley L, Conway F. Hypotension during subarachnoid anaesthesia : Haemodynamic effects of colloid and metamirol. British
Journal of Anaesthesia 1996 ; 76 : 734-736.
8. Moir DD, Thoburn J. Regional Analgesia in Obstetrics. Obstetrics anaesthesia and Analgesia. 3th ed. London : Baillirere Tindall,
1986 : 215-27.
9. Collins VJ. Principles of Anaesthesiology, 3th ed. Philadelphia : Lea and Febiger, 1993 : 1540-53, 698-713.
10. Green NM, Brull SJ. Physiology Of Spinal Anaesthesia. 4th ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1993 : 85-176.
11. Stevens RA. Neuraxial Blocks. In : Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. 1 st ed. Philadelphia : W.B. Saunders
Company, 1996 : 319.
12. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA. Spinal Analgesia. A Synopsis Of Anesthesia. 10 th ed. Singapore : P.G. Publishing Pte Ltd, 1987 :
662-713, 694-706.
13. Tetzlaff JE. Spinal, Epidural & Caudal Blocks. In Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 2 nd ed. USA : Prentice – Hall
International Inc, 1996 : 211-229.
14. Concepcion M. Acute Complications and Side Effects Of Regional Anesthesia. In : Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and
Analgesia. 1st ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 : 451-2.
15. Wylie WD, Churchill HC. Spinal and Epidural Block. A Practice of Anaesthesia. 5 th ed Singapore : P.G. Publishing Pte Ltd, 1986 :
856-88.
16. Murphy TM. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia. In : Miller R.D, eds. Anesthesia. 2 nd edition. New York : Churchill Livingstone,
1986 : 1061-107.
17. Sage DJ. Major Neurologic Injury Following Regional Anesthesia. In : Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. New York
: Churchill Livingstone, 1999 : 257-269.
18. Tekkok Ismail H MD, Carter, David A MD, Ray MD. Spinal subdural haematoma as a complication of immediate epidural blood
patch. Canadian journal of anaesthesia 1996 : 43-3.
19. Tetzlaff JE MD, Dilger, John MD, Peter K MD. Cauda equine syndrome after spinal anesthesia in patient with severe vascular disease.
Canadian Journal of Anesthesia 1998 : 45-7.
20. Hall PA, Bennet A, Wilkees MP. Spinal Anaesthesia for Caesarian Section : Comparison of infusion of Phenileprine and Ephedrine.
BJA 1994 ; 73 : 471-4.
21. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Printed in the United States of America, 2006 : 209-211.
22. Nunn JE, Utting JE, Brown BR. General Anaesthesia. 5th ed. Butterworth International ed. 1989 : 1106-1111.
23. Bonica JJ. Obstetric Analgesia and Anesthesia. 2th ed. Amsterdam, 1980 : 91-97.
24. Davidson HCC. A Practice of Anaesthesia. 5th ed. Singapore : PG Asian Economy ed, 1985 : 857-713.
25. Raj PR Clinical Practice of Regional Anesthesia. New York : Churchil Livingstone, 1991 : 95-101.
26. Mulroy MF. Complication of Regional Anesthesia. California : Review Course Lectures, IARS, 1992 : 45-48.
27. Santos AC, Pederson H. Curret Controversies in Obstetric Anesthesia. Anesth Analg, 1994 : 753-760.
28. Umanoff MD. The Patient after Local and Regional Anesthesia in Frost EA and Goldiner PL, Post Anesthestic Care. California :
Appletton & Lange, 1990 : 130-131.
29. Katz N, Hurley R. Epidural Anesthesia Complicated by Fluid Collection within The Spinal Cord. Anesth Analg, 1993 : 77.
30. Johnson MD. Sevario FB, Lema MJ. Cessation of Shivering and Hypothermia Associated with Epidural Fentannyl. Anesth Analg,
1989 : 68 :70-71.

11

Anda mungkin juga menyukai