Anda di halaman 1dari 48

KAJIAN MANDIRI

ANALISIS INTERAKSI SIMBOLIK PENGGUNAAN SIRIH


DALAM TRADISI PERKAWINAN

OLEH:
SEBASTIAN HORAS SARAGIH (177045034)

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3. Tujuan Kajian Mandiri...................................................................................4
1.4. Manfaat Kajian Mandiri.................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA......................................................................................5
2.1. Paradigma Penelitian......................................................................................5
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu..........................................................................6
2.3. Komunikasi Antar Budaya...........................................................................15
2.4. Komunikasi Non Verbal...............................................................................20
2.5. Interaksi Simbolik........................................................................................22
2.5.1. Sosiologi Sebagai Akar Sejarah Teori Interaksi Simbolik....................23
2.5.2. Interaksi Simbolik dalam Pemikiran Herbert Blumer..........................27
2.5.3. Fokus dan Perspektif Interaksi Simbolik..............................................29
2.6. Konsep Perkawinan......................................................................................32
2.7. Kerangka Pikir.............................................................................................34
BAB III IMPLIKASI METODOLOGI..................................................................35
3.1. Metode Penelitian........................................................................................35
3.2. Aspek Kajian................................................................................................36
3.3. Subjek Penelitian..........................................................................................36
3.4. Teknik Pengumpulan Data...........................................................................36
3.5. Teknik Analisis Data....................................................................................39
3.6. Teknik Keabsahan Data................................................................................40
BAB IV SIMPULAN KAJIAN MANDIRI.............................................................41
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................42

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses Interaksi dalam Masyarakat......................................................................


25
Gambar 2. Kerangka Pikir.....................................................................................................
34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki 1331 kategori suku dan setelah dilakukan


pengelompokan, terdapat 633 kelompok suku besar yang tersebar di seluruh
nusantara. Seluruh kategori suku tersebut memiliki cara masing-masing dalam
melaksanakan dan melestarikan tradisi mereka. Pada beberapa suku terdapat
kemiripan dalam hal penggunaan simbol-simbol budaya namun memiliki pemaknaan
yang berbeda. (Ananta et al. 2015)

Setiap suku memiliki tradisi dan budaya masing-masing dalam melaksanakan


kegiatan-kegiatan formal maupun informal dalam suasana suka atau duka.
Perkawinan, kematian, kelahiran, menempati rumah baru dan kegiatan sosial lainnya
merupakan contoh kegiatan yang dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda
sesuai dengan tradisi dan budaya masing-masing. Tradisi tersebut dilaksanakan
secara turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya sehingga tidak
menutup kemungkinan terjadi perubahan atau penyesuaian pada cara
pelaksanaannya. Pelaksanaan sebuah tradisi biasanya dilakukan dengan panduan dari
pemuka adat dan menggunakan benda-benda tertentu yang digunakan sebagai
instrumen dalam melakukan interaksi. Benda tersebut dapat berupa cincin, seserahan,
ternak, makanan, dauh sirih dan lain-lain.

Riki Dhamparan Putra (dalam Kompas.com tanggal 17 Desember 2014)


menguraikan penggunaan daun sirih pada beberapa tempat seperti: (1) masyarakat
suku di Nusa Tenggara Timur (Tilong Kupang atau Nagakeo) tradisi mengunyah sirih
masih dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, (2) masyarakat Minangkabau yang
memiliki tradisi maucok yaitu menggunakan sirih untuk mengundang masyarakat
untuk bergotong-royong, membangun rumah, memperbaiki surau bahkan untuk
menghadiri acara pernikahan, (3) hikayat Batak yang menyebutkan adanya Taman
Sirih (Taman Obat) sebagai tanda ketinggian ilmu medis Batak Kuno, (4)
masyarakat Bugis dalam sebuah versi Sawerigading yang menyebutkan bahwa I
Lagaligo menenangkan diri dengan cara mengunyah sirih, (5) masyarakat Melayu
Sumatera yang menggunakan sirih sebagai sarana pokok dalam berbagai alek adat,

1
2

seperti perkawinan, menjamba tamu atau menjambang guru. Penggunaan sirih pada
berbagai kebudayaan tersebut akan menimbulkan pemaknaan masing-masing pada
objek yang digunakan dalam interaksi yaitu sirih.

Perbedaan pemaknaan tersebut akan menjadi masalah dalam melakukan


komunikasi dalam interaksi yang melibatkan individu dari kebudayaan yang berbeda
terutama pada dua keluarga besar yang akan dipersatukan dalam suatu ikatan
perkawinan. Perbedaan pemakanaan pada simbol-simbol budaya dapat melampaui
batas kesamaan tersebut dan menimbulkan konflik antar budaya sehingga dibutuhkan
pemahaman dari masing-masing pihak akan perbedaan-perbedaan budaya tersebut.
Penelitian akan hal ini diperlukan untuk menguraikan makna pesan yang terkandung
dalam simbol-simbol menurut masing-masing kebudayaan.

Konflik antar budaya juga dapat menimbulkan pembaharuan pada suatu


tradisi untuk dapat mempersatukan kebudayaan yang berbeda. Hal ini dimungkinkan
terjadi pada konteks perkawinan antar budaya karena tujuan utamanya adalah
mempersatukan dua atau lebih budaya yang berbeda dari masing-masing keluarga.
Pembaharuan suatu tradisi dimungkinkan sebagai solusi atas konflik antar budaya
yang terjadi dalam rangkaian upacara perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1)
Dalam pelaksanaannya peresmian suatu perkawinan dilakukan secara hukum, agama
dan adat.

Peresmian perkawinan secara hukum negara dilaksanakan dengan pencatatan


data kependudukan melalui Kantor Urusan Agama atau Dinas Pencatatan Sipil dan
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peresmian
perkawinan secara hukum agama dilakukan dihadapan pemuka agama yang dianut
oleh kedua mempelai atau berdasarkan kesepakatan bersama dan mengacu kepada
hukum dan peraturan agama tersebut. Peresmian perkawinan secara hukum adat
dilakukan di hadapan masyarakat adat dan mengacu kepada peraturan adat dan
budaya yang disepakati.

Pada penelitian ini, peneliti tertarik meneliti interaksi simbolik yang


dilakukan dalam komunikasi budaya yang menggunakan daun sirih ketika
3

berinteraksi. Interaksi yaitu hal saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi


antar hubungan individu yang satu dengan yang lain. Interaksi simbolik adalah suatu
aktivitas berupa komunikasi dan tindakan memberikan atau menerima simbol yang
diberi makna (Mulyana, 2003; 59). Simbol adalah objek atau kejadian yang merujuk
pada sesuatu (Spradley, 1997). Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu (1) simbol
itu sendiri, (2) satu rujukan atau lebih, (3) hubungan antara simbol dengan rujukan.
Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik (Tinarbuko, 2010:19)

Komunikasi merupakan kebutuhan pokok manusia dimana pada proses


komunikasi, manusia membutuhkan dan menggunakan simbol atau lambang (Susane
K. Langer dalam Mulyana, 2008:92). Lambang atau simbol adalah sesuatu yang
digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok
individu. Lambang dapat berupa kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan
objek yang maknanya telah disepakati bersama. Seperti penggunaan daun sirih dalam
melakukan komunikasi dalam tradisi perkawinan yang membawa makna tersendiri
bagi masing-masing kebudayaan.

Uraian di atas menjadi dasar peneliti untuk meneliti tentang interaksi


simbolik pada proses komunikasi budaya dalam tradisi perkawinan. Perkawinan
dipilih karena kemungkinan perpaduan lebih dari satu kebudayaan dapat terjadi pada
kegiatan ini, yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi akan pemaknaan terhadap
sebuah simbol dalam komunikasi antar budaya yaitu sirih.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi fokus penelitian ini antara lain:

1) Bagaimanakah proses interaksi simbolik sirih dalam komunikasi pada


rangkaian upacara perkawinan adat ?

2) Bagaimanakah konstruksi makna yang terkandung dalam proses interaksi


simbolik sirih dalam komunikasi pada rangkaian upacara perkawinan
adat?
4

1.3. Tujuan Kajian Mandiri

Tujuan kajian mandiri ini antara lain:

1) Membantu peneliti dalam mendapatkan referensi tentang teori yang


berkaitan dengan proses interaksi simbolik sirih yang terjadi dalam
komunikasi pada rangkaian upacara perkawinan adat.

2) Membantu peneliti dalam menentukan referensi Pradigma Penelitian dan


metode pengumpulan data yang berkaitan dengan proses interaksi
simbolik sirih yang terjadi dalam komunikasi pada rangkaian upacara
perkawinan adat.

1.4. Manfaat Kajian Mandiri

Adapun manfaat kajian mandiri ini dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:

1) Manfaat teoritis

Kajian mandiri ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi bagi


peneliti dalam hal ini tentang penerapan teori-teori komunikasi antar
budaya dan interaksi simbolik.

2) Manfaat Akademis

Diharapkan kajian mandiri ini bermanfaat bagi peneliti lainnya dalam


melakukan penelitian tentang makna simbol pada objek-objek yang
digunakan pada budaya tertentu.

3) Manfaat Praktis

Kajian mandiri diharapkan dapat menimbulkan pemahaman akan makna


yang terkandung dalam sirih pada upacara perkawinan adat. Kajian ini
juga diharapkan dapat memperkuat pandangan akan tradisi dan budaya
yang menggunakan daun sirih sehingga kearifan lokal dapat dilestarikan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Paradigma Penelitian

Langkah pertama sebuah penelitian adalah memilih dan menetapkan


paradigma penelitian yang dijadikan panduan selama proses penelitian berlangsung.
Paradigma sendiri merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Thomas
Khun dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution. Dalam karyanya
tersebut, Khun menawarkan suatu cara yang bermanfaat bagi para sosiolog dalam
mempelajari disiplin ilmu mereka (Moleong, 2013: 49). Pengertian paradigma secara
lebih jelas dikemukakan oleh Ritzer (dalam Ardial, 2014) adalah pandangan yang
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi dasar pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

Paradigma dalam kajian mandiri ini menggunakan paradigma dengan


pendekatan interpretif (setiap gejala bisa jadi memiliki makna yang berbeda).
Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan
pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan makna dari sebuah
peristiwa atau praktik dengan menempatkannya dalam konteks sosial tertentu.
Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang
peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan
pengalaman orang yanng diteliti. Pendekatan interpretif diadopsi dari orientasi
praktis. Secara umum pendekatan interpretif merupakan sebuah sistem sosial yang
memaknai perilaku secara detail langsug mengobservasi (Newman, 1997: 68). Dalam
hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada
pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan-penekanan pada objektivitas karena
sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh
partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009).

5
6

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Telaah pustaka telah dilakukan oleh peneliti pada kajian mandiri ini. Telaah
pustaka sangat penting dalam suatu penelitian karya ilmiah karena melalui kajian
pustaka penulis mendapatkan literatur yang digunakan dalam melakukan penelitian
komunikasi. Berdasarkan hasil penelurusan yang penulis lakukan, maka penelitian
ini menggunakan telaah pustaka sebagai berikut ini:

1.1.1. Posumah (2014) meneliti tentang makna pesan simbolik dalam proses
pertunangan adat Pamona Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan bahwa sirih
selain sebagai simbol sosial juga memiliki makna dalam upacara pernikahan
seperti:

1) Wua mamongo atau buah pinang melambangkan jantung manusia. Buah


pinang memiliki bentuk yang agak lonjong dan juga warna merah yang
dihasilkan saat sudah tua kelihatannya seperti jantung manusia.

2) Laumbe atau buah sirih melambangkan daging manusia, karena buah


memiliki sanga atau isi. Begitu pula dengan bentuk fisik manusia yang
memiliki daging. Sehingga, buah sirih ini dianggap sebagai pelambang
daging manusia.

3) Ira laumbe atau daun sirih melambangkan kulit manusia (pembungkus).


Kebiasaan masyarakat Pamona dari zaman dahulu bahkan sampai saat ini
ialah menggunakan daun-daunan sebagai pembungkus makanan, dimana
makanan sebagai kebutuhan primer manusia untuk melanjutkan
kehidupannya. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa daun sirih dianggap
sebagai lambang kulit untuk melindungi daging dan tulang manusia.

4) Teula atau kapur sirih melambangkan tulang manusia. Warna dari kapur
sirih yang putih bersihlah yang menjadi dasar kapur sirih sebagai
pelambang tulang manusia.

5) Tabako atau tembakau melambangkan rambut manusia. Tembakau yang


sudah siap untuk digunakan berbentuk helai-helaian seperti rambut serta
berwarna hitam. Oleh karena itu, tembakau dilambangkan sebagai
rambut manusia.
7

Buah pinang dan daun sirih beserta buahnya harus dalam kondisi utuh atau
lengkap. Buah pinang muda yang lengkap dengan penutupnya, serta buah
atau daun sirih yang lengkap dengan tangkai buah atau daunnya. Hal ini
melambangkan sebuah kesempurnaan. Sehingga dapat meyakinkan pihak
perempuan bahwa si laki-laki benar-benar tulus dan memiliki kesungguhan
untuk menikahi perempuan tersebut. Ketika buah pinang, buah atau daun
sirih, dan kapur sirih digabung dan kemudian dikunyah, maka akan
menghasilkan warna merah.

Warna merah yang muncul dari hasil campuran bahan-bahan tersebut


melambangkan darah manusia. Jadi, pelaksanaan peoa atau pertunangan
dalam adat Pamona memiliki makna atau tujuan untuk menyatukan dua insan
manusia yang memiliki kesungguhan untuk membentuk sebuah rumah
tangga, membentuk suatu kesatuan menjadi sedarah-sedaging yang dapat
menjaga kesetiaan satu sama lain sepanjang sisa hidup mereka, dan yang pada
akhirnya hanya akan dipisahkan oleh kematian.

1.1.2. Maidilla et al. (2014) pada penelitian di kepulauan Riau yang menyatakan
kelengkapan daun sirih yang diletakkan di dalam Tepak Sirih memiliki makna
sebagai berikut:

a) Sirih melambangkan sifat yang merendah diri dan senantiasa


memuliakan orang lain, sedangkan dirinya sendiri adalah bersifat
pemberi.

b) Tembakau melambangkan seseorang yang berhati tabah dan sedia


berkorban dalam segala hal.

c) Kapur melambangkan hati seseorang yang putih bersih serta tulus, tetapi
jika keadaan tertentu yang memaksanya ia akan berubah lebih agresif dan
marah.

d) Pinang digambarkan sebagai lambang keturunan orang yang baik budi


pekerti, tinggi derajatnya serta jujur, bersedia melakukan sesuatu perkara
dengan hati terbuka dan bersungguh-sungguh.

e) Gambir dengan sifatnya yang kelat kepahit-pahitan memberikan arti


ketabahan dan keuletan hati.
8

Tari makan sirih di daerah ini digunakan untuk menyambut kedatangan tamu-
tamu istimewa, baik pejabat maupun orang-orang yang terpandang di suatu
daerah. Setiap daerah di Indonesia, memiliki bentuk-bentuk tari penyambutan
yang berbeda-beda. Di Tanjung Batu Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun
Kepulauan Riau, tari makan sirih ini bisa juga disebut Tari Persembahan,
karena dalam tari ini selalu membawa tepak sirih yang berisi daun sirih dan
rempah-rempah lainnya, sebagai penghormatan kepada tamu.

1.1.3. Hanis et al. (2013) di desa Teratai Kecamatan Tabongo dalam upacara
pernikahan di Gorontalo juga mengungkapkan makna yang berbeda. Terdapat
beberapa benda yang sangat penting namun juga memiliki makna tersendiri.
Adapun benda tersebut seperti:

1) Pinang (Luhuto) melambangkan daging yang berada pada tubuh kita


sendiri yang maknanya kesempurnaan atau perlengkapan dari luar.

2) Gambir (Gambele) melambangkan darah mengalir yang berada dalam


tubuh kita yang maknanya semangat atau tekat.

3) Sirih (Tembe) melambangkan urat yang berada pada diri kita atau tubuh
yang bermakna ukuran hubungan silaturahmi.

4) Tembakau (Taba’a) melambangkan bulu roma pada diri atau tubuh kita
sendiri, dengan makna perasaan keiklasan.

1.1.4. Putri dan Amri (2017) pada penelitiannya tentang komunikasi intrabudaya
pada makna ranub (sirih) dalam kebudayaan masyarakat Aceh menyatakan
bahwa:

1. Makna ranub dalam acara adat Gampong Lubuk seperti acara meminang
membawa ranub maknanya kita siap mengungkapkan tujuan kedatangan
kita. Acara pernikahan, setiap prosesi pernikahan ranub menjadi
pemersatu antar kedua belah pihak. Acara perkawinan, maknanya adanya
pertemuan linto dan dara baroe, mereka menerima satu sama lain, yang
mendapat ranub harus temethuk kepada dara baroe. Acara perdamaian,
maknanya setelah memakan ranub kemudian mereka memulai sebuah
pembicaraan.
9

2. Ranub terdiri dari beberapa elemen yang memiliki makna seperti pinang
bermakna jika dua pihak bermusuhan digabungkan dengan cara baik
menghasilkan persaudaraan yang harmonis. Kapur maknanya bahwa
dalam menyelesaikan masalah diselesaikan dengan cara yang baik.
Gambir bermakna bahwa walaupun manusia beraneka ragam tetapi
masih bisa di satukan dengan cara baik-baik. Sedangkan tembakau
bermakna setiap manusia yang bermarahan bisa disatukan kembali.

3. Budaya ranub yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat Gampong


Lubuk seperti ranub sebagai media undangan, digunakan untuk
mengundang seseorang datang ke acara. Ranub dalam adat bertamu,
maknanya adalah tamu tersebut harus pamit pulang. Acara kelahiran anak
maknanya adalah hidup atau mati anaknya diserahkan kepada bidan
selama proses kelahiran. Acara pertama antar anak pergi mengaji,
maknanya adalah bahwa orang tua sudah mempercayakan teungku untuk
mengajari anaknya mengaji.

4. Komunikasi intrabudaya yang terjalin antar masyarakat Lubuk melalui


ranub berjalan baik, masyarakat Lubuk tetap mempertahankan dan
melestarikan ranub, karena ranub merupakan tradisi masyarakat Lubuk.

1.1.5. Norhuda Saleh (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Tepak Sirih:
Komunikasi Bukan Lisan Dalam Adat Perkahwinan Melayu menyatakan
bahwa Tepak sirih merupakan simbol komunikasi non verbal dalam adat
perkawinan Melayu dalam tahapan pinangan. Tahap ini merupakan tahapan
untuk mendapatkan kepastian apakah 'permintaan' dari pihak mempelai pria
diterima oleh pihak mempelai wanita. Komunikasi verbal dan non-verbal
dipadukan menggunakan Tepak sirih ini sebagai lambang keharmonisan dan
keteraturan. Penelitian ini menunjukkan bahwa setiap budaya yang diciptakan
oleh suatu komunitas, menunjukkan bagaimana akal dan budi masyarakat
penciptanya dengan cara yang paling harmonis dan simbolis.

1.1.6. Safruddin Aziz (2017) dalam penelitiannya tentang tradisi ritual upacara
pernikahan adat Jawa Keraton menyatakan bahwa sirih digunakan pada acara
srah-srahan memiliki makna berupa harapan agar sedya rahayu (selamat).
Sirih juga digunakan dalam interaksi panggih yaitu saling melempar sirih
10

yang memiliki makna untuk lemparan pengantin pria berarti mengandung


bimbingan untuk mencapai cita-cita luhur serta rasa tanggung jawab dan
sebagai pengayom keluarga, lemparan pengantin putri diartikan godhang
kasih artinya istri juga menanggapi, membalas dengan lemparan bakti yang
penuh dengan rasa cinta kasih suci. Dalam tradisi tersebut juga terdapat
tradisi balangan gantal berupa interaksi melempar daun sirih oleh mempelai
pria kepada menpelai wanita membawa makna bahwa dalam menjalani
kehidupan rumah tangga seorang istri harus menggunakan penalaran.
Sementara itu, mempelai wanita melempar ke arah dada pengantin pria
memiliki makna bahwa agar suami dalam menjalankan kehidupan berumah
tangga harus berlandaskan perasaan.

1.1.7. Diana Anugrah (2016) dalam penelitiannya tentang adat jawa “Temu Manten”
di Samarinda menyatakan beberapa makna yang terkandung dalam sirih
ketika terjadi interaksi dalam tradisi tersebut antara lain:

1) Penggunaan daun sirih dalam proses temu manten memiliki makna


bahwa daun sirih yang ruasnya saling menyatu mempunyai makna
bersatunya dua insan yang telah di satukan seperti daun sirih yang
berbeda permukaan dan alasnya tetapi tetap satu rasa dan dua pemikiran
yang berbeda yang akan menjadi satu, dan dipilih daun yang masih utuh
dan segar mempunyai makna pengantin yang terlihat segar dan menarik
yang mempunyai arti kebahagiaan.

2) Penggunaan daun sirih dalam interaksi lempar sirih dimana mempelai


wanita melempar ke arah kaki mempelai pria memiliki makna bahwa di
dalam berumah tangga istri harus tunduk, taat dan menghormati suami,
sementara ketika mempelai pria melempar sirih ke arah bagian jantung
mempelai wanita memiliki makna sebagai lambang kasih sayang suami
kepada istri.

1.1.8. Pien Supinah (2006) dalam penelitiannya tentang Komunikasi Simbolik pada
Adat Tradisi Suku Sunda dalam Upacara Setelah Perkawinan menyatakan
bahwa penggunaan simbol-simbol budaya berupa benda-benda dan peralatan
membawa pesan non verbal seperti pada beas (beras), koneng (kunir),
seuereuh (sirih), kembang (bunga) melati, dan recehan (uang). Keseluruhan
11

benda tersebut memiliki makna sesuai dengan nilai yang terkandung dalam
masyarakat sunda yaitu beras yang membawa nilai bahwa seorang suami
harus dapat memberikan makanan, kunir membawa nilai bahwa seorang
suami harus mampu memberikan perhiasan emas, sirih membawa nilai agar
hidup rukun dan damai menjadi satu ikatan untuk kedua mempelai dan uang
membawa nilai bahwa suami harus dapat menafkahi sang isteri.

1.1.9. Saida Pasande’ (2018) dalam skripsinya yang berjudul Pangngan: Perubahan
Fungsi dan Makna Sirih dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Nanggala di
Kabupaten Toraja Utara menyatakan bahwa simbol-simbol budaya pada
masyarakat Nanggala membawa makna seperti yang diuraikan berikut ini:
a. Kalosi (Pinang) membawa makna battuananna sitammu issinna,
sitammu penawa. Yang artinya seperti buah pinang yang penuh daging
begitu juga manusia yang akan menyatukan hati mereka harus sehati
sepikir.
b. Bolu (buah Sirih) membawa makna battuananna malolo ura’na tu bolu
na lamalolo duka penanta. Yang artinya seperti sirih yang lurus urat dan
tulangnya demikian juga manusia harus penuh dengan ketulusan dan
keiklasan.
c. Kapu’ (Kapur) membawa makna malite ara’ta marudindin penanta. Yang
artinya kapur yang putih bersih yang apabila dimakan bersama sirih akan
menghasilkan getah yang akan membuat manusia bersatu seumur hidup
sampai maut yang akan memisahkan.
d. Sambako pa’ronting Tougi’ nagirik gallang (Tembakau).yang artinya
tembakau yang berwarna kekuning-kuningan seperti emas yang
membawa makna berupa kemurniaan dan kesucian hati manusia.

1.1.10. Mohammad Muwafiqilah Al Hasani dan Oksiana Jatiningsih (2014) dalam


penelitiannya yang berjudul Makna Simbolik dalam Ritual Kawit dan Wiwit
pada Masyarakat Pertanian di Desa Ngasemlemahbang Kecamatan Ngimbang
Kabupaten Lamongan menemukan makna yang berbeda dari penggunaan
Sirih dalam tradisi mereka. Sesaji yang disusun harus dimulai dari pojok
timur dan di akhiri di pojok barat memiliki komposisi dan makna antara lain:

1. Takir atau dalam artian jawa orang menyebut (tataging pikir) artinya
sebagai simbol untuk siap menghadapi cobaan.
12

2. Telur ayam bulat artinya membulatkan tekad dimaknai sebagai


perjuangan untuk mengolah asal muasal menjadi hasil yang bagus.

3. Daun sirih atau suroh artinya meruhi yaitu mengerti terhadap Yang Kuasa
(Allah SWT).

4. Menyan disimbolkan untuk persembahan dalam mengusir roh halus yang


jahat yang dikhawatirkan akan mengganggu tanaman padi.

5. Menyan/umpet dalam artian jawa sebagai padang howo sukmo nyowo.


Yaitu bagi masyarakat agar raga dalam tubuh sekuat terangnya cuaca,
masyarakat siap untuk banting tulang dalam mengerjakan sawah.

6. Merang makna bagi masyarakat yaitu menungso (manusia) perang


melawan setan yang mengganggu. Maksudnya yaitu mengganggu
jalannya masa tanam padi.

7. Gedhang klutuk dalam pengertian jawa artinya sing digadang (dikarepne)


cepet pethuk makna dalam masyarakat yaitu apa yang diharapkan cepat
tercapai. Harapan agar masyarakat ingin mendapatkan hasil panen yang
melimpah bisa tercapai.

8. Bunga setaman/tujuh rupa dalam arti Tujuh menurut pengertian jawa


yaitu tujuh pangawasa nu aya na diri atau tujuh kuasa yang ada pada diri
yang berasal dari Tuhan. Sedangkan tujuh bunga atau kembang tujuh
rupa atau kembang seungit. Maknanya geura
kembangkeun/mekarkeun/daya upayakeun eta pangawasa nu tujuh ku
jalan silih seungitan ke sesame hirup. Mengembangkan tujuh kuasa tadi
dengan jalan belas kasih ke sesama makhluk.

9. Keleman adalah simbol keselamatan dalam bercocok tanam. Penggunaan


keleman bertujuan agar tanaman tidak diganggu hama dan untuk
memberitahu among tani. Perlengkapan keleman terdiri dari dua macam,
yaitu polo gemandul dan polo pendem yang dikukus. Polo gemandul
yaitu kacan panjang, pisang rebus, dan waluh. Polo pendem yaitu kacang
tanah, garut, ketela rambat, ganyong, gothe, uwi, ketela pohon,

10. Cok bakal adalah simbol bibit dhanyang bumi, yaitu makhluk halus yang
menguasai bumi
13

1.1.11. Ditha Prasanti dan Puji Prihandini (2018) dalam penelitiannya yang berjudul
Pengalaman Komunikasi Terapeutik Perempuan Indonesia Dalam
Menggunakan Daun Sirih mengungkapkan tentang Pengalaman Komunikasi
Terapeutik Perempuan Indonesia dalam menggunakan Daun Sirih sebagai
Obat Tradisional. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa alasan perempuan Indonesia yang masih percaya menggunakan daun
sirih sebagai obat tradisional tergolong menjadi because motives dan in order
to motives. Because motives meliputi warisan nenek moyang, turun temurun
dalam keluarga; word of mouth memperoleh informasi dari dokter; evidence
based (hasil uji klinis/ ilmiah) dari daun sirih. Sementara itu, in order to
motives dari para informan, mayoritas mengungkapkan untuk menyembuhkan
penyakit yang dialaminya. Poin selanjutnya, pengalaman komunikasi dalam
konteks pesan verbal “word of mouth” dan pengalaman dalam fase
komunikasi terapeutik.

1.1.12. Eka Satriana (2015) pada penelitiannya tentang tahapan perkawinan di


kabupaten Bulukumba menyatakan bahwa sirih yang digunakan dalam
tahapan pra perkawinan memiliki makna sebagai. Kesimpulan yang didapat
dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada pelaksanaan dalam adat perkawinan masyarakat Bulukumba


terdapat tiga tahapan, yaitu:
(1) Tahap Pra Perkawinan
(2) Tahap Perkawinan
(3) Tahap Pasca Perkawinan

2. Dari tahapan kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan dan


tidak boleh saling tukar menukar. Kegiatan tersebut dilakukan pada
masyarakat Bulukumba, yang diantaranya:
(1) A’bicara rua-rua/ a’bici-bici, kegiatan ini dilakukan sebagai tahapan
awal sebelum pelaksanaan perkawinan yang bertujuan untuk
mengetahui posisi perempuan yang akan dilamar.
14

(2) ppAssuro atau a’duta, kegiatan ini dilakukan setelah tahap


penjajakan selesai. Penentuan waktu perkawinan ditentukan oleh
pihak perempuan setelah dirundingkan oleh keluarga perempuan.
(3) Appanai’ balanja, atau penyerahan uang belanja.
(4) Pesta perkawinan yang dilakukan menggunakan biaya yang tidak
sedikit.
(5) Terakhir yang dilakukan adalah a’banggi bisang yang lebih dikenal
dengan pertemuan besan.

3. Untuk mengetahui setiap uangkapan yang ada dalam adat pernikahan


masyarakat Bulukumba, maka dapat dilakukan dengan menulis proses
penyusunan tahapan-tahapan perkawinan, yaitu: tahap pra perkawinan,
tahap perkawinan, dan tahap pasca perkawinan.

1.1.13. Isni Herawati (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Makna Simbolik
Sajen Tingkeban menyatakan bahwa berdasarkan simbol dan makna beberapa
sajen slametan tingkeban, maka tujuan utama adalah untuk memohon atau
mengharapkan keselamatan kepada wanita yang mengandung, dan calon bayi
yang dikandungnya akan lahir dengan selamat. Dengan adanya sajen-sajen
untuk menginterpretasikan melalui makna dan simbol tersebut, kita dapat
melihat bagaimana masyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam
kehidupan mereka. Dari pengintepretasian simbol-simbol itu, maka terlihat
adanya dua arah hubungan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, yaitu
hubungan secara vertikal dan horisontal. Hubungan vertikal menunjuk pada
hubungan manusia dengan Tuhan dan makhluk supra natural dimana sebagai
tempat untuk memohon keselamatan. Hubungan manusia secara horizontal
adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia di dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman.

1.1.14. Golda S Simarmata dan Sitti Rahma (2013) melakukan penelitian yang
berjudul Husip-Husip Dalam Tortor Hata Sopisik Pada Masyrakat Batak Toba
: Kajian Interaksi Simbolik menemukan bahwa Tortor Hata Sopisik
merupakan Tortor dalam konteks muda-mudi yang awalnya muncul pada
Gondang Naposo. Pada Tortor Hata Sopisik terdapat empat bagian penting
yang disebut Husip-husip yang artinya berbisik. Husip-husip yang terdapat
pada Tortor Hata Sopisik merupakan keunikan yang menjadi ciri khas dari
15

Tortor ini, dikatakan unik karena Husi-husip hanya terdapat pada Tortor Hata
Sopisik. Husip-husip yang artinya berbisik adalah suatu interaksi simbolik
yang mempunyai makna pengungkapan rasa cinta kepada lawan jenis
dikalangan generasi muda-mudi (naposo). Pada Tortor Hata Sopisik ini
terdapat empat bagian penting yang menjadi urutan pengungkapan perasaan
yang disimbolkan melalui gerak tari. Pertama diawali dengan perkenalan.
Perkenalan disini dimulai dengan menayakan Marga yang disimbolkan
dengan gerak mengangguk-angguk kepala pada laki-laki dan menggeleng-
gelengkan kepala pada perempuan. Ketika marga sudah diketahui maka akan
berlanjut pada pengungkapan rasa cinta. Bagian ketiga pemuda akan kembali
berbisik menanyakan jawaban dari ungkapan perasaan yang sudah dibisikkan
tersebut, kemudian pihak wanita menjawab “iya “ dengan gerakan
mengangguk-anggukkan kepala . Hal ini juga ditandai dengan daun pohon
beringin (bane-bane) yang disematkan pihak laki-laki di kepala pihak
perempuan, dimana daun beringin bagi masyarakat Batak Toba adalah
lambang kesuburan yang menjadi perlindungan. Laki –laki akan melindungi
wanita tersebut. Bagian keempat yang menjadi puncak daritarian ini adalah
kedua belah pihak sudah saling setuju dan sepakat menjalin hubungan yang
disimbolkan dengan mengangguk-anggukkan kepala pada kedua belah pihak.

Dari beberapa contoh di atas dapat digambarkan perbedaan dan persamaan


penelitian. Persamaan penelitian dapat diketahui dari penerapan objek penelitian
yaitu konstruksi makna dari simbol-simbol budaya terutama yang berkaitan denga
sirih dan komponen pendukungnya. Persamaan juga terdapat pada analisis interaksi
simbolik yang digunakan untuk menemukan makna simbol-simbol budaya bagi para
pelakunya. Sementara perbedaannya dapat dilihat dari cara pendekatan penelitian
yang digunakan dalam menganalisis seperti metodologi penelitian, dan demografi
wilayah yang menampilkan perbedaan makna dari simbol-simbol budaya.

2.3. Komunikasi Antar Budaya

Semua tindakan komunikasi berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi


bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melakukan tindakan itu.
Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku
komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang di persepsi terhadap
16

tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri,


2001).

Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi antar budaya, yaitu konsep
kebudayaan dan konsep komunikasi. Hubungan antara keduanya sangat kompleks
dimana budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut
menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas
atau kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain,
komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan
siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya turut
menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan
dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada
budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan
landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula
praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).

Menurut Liliweri (2003: 8-10), komunikasi antar budaya dapat diartikan


melalui beberapa pernyataan berikut:

a. Komunikasi antar budaya adalah pernyataan diri antar pribadi yang paling
efektif atar dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

b. Komunikasi antar budaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang


disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang
yang berbeda later belakang budaya.

c. Komunikasi antar budaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk


komunikasi yang disampaikan secara lisan atau tertulis yang dilakukan oleh
dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

d. Komunikasi antar budaya adalah pengalihan informasi dari seseorang yang


berkebudayaan tertentu kepada seseorang yang berkebudayaan lain.

e. Komunikasi antar budaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol


yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaanya.
17

f. Komunikasi antar budaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan


seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal
dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

g. Komunikasi antar budaya adlaah setiap proses pembagian informasi,


gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan aau
tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan
hal lain disekitarnya untuk memperjelas pesan.

Pemahaman mengenai komunikasi antar budaya yang paling penting adalah


terkait dengan pemahaman cara berbicara dan menulis dapat diartikan secara berbeda
terngantung konteksnya. Pada penelitian ini pemahaman komunikasi antar budaya
terdapat pada simbol yang merupakan konteks budaya yang diartikan oleh berbagai
orang dalam konteks yang sama.

Sarbaugh (dalam Lubis, 2012: 62) mengemukakan tiga prinsip penting dalam
komunikasi antar budaya. Pertama, suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi
tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan, namun semakin sedikit
persamaan sandi tersebut, semakin sedikit komunikasi yang mungkin terjadi. Kedua,
kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi
merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons.
Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mepengaruhi
persepsi kita tentang apa yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda
budaya dapat dengan mudah meberi makna yang berbeda kepada perilaku yang
sama. Bila ini terjadi, kedua orang tersebut berperilaku secara berbeda tanpa dapat
meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan meramalkan ini merupakan
bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif. Ketiga, tingkat
mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara kita menilai
budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan
norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan
terjadi (Tubbs dan Moss, 2005: 240).

Sarbaugh dalam Lubis (2016: 61-81) menjelaskan bahwa ada tiga elemen
pokok persepsi budaya yang memiliki pengaruh besar dan langsung terhadap
individu-individu peserta komunikasi, yaitu:
18

a. Pandangan dunia

Unsur budaya ini, meskipun konsep dan uraiannya abstrak, merupakan salah
satu unsur terpenting dalam aspek-aspek perceptual komunikasi antar budaya.
Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti
Tuhan, kemanusiaan, alam, alam semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya
yang berkenaan dengan konsep mahluk. Pandangan dunia mempengaruhi
kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya.

Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-


kemungkinan subyektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa
memiliki karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang
dipercayai dan karakteristik yang membedakannya.

Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan


sikap. Dimensi-dimensi evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan,
kebaikan, estetika, kemapuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Meskipun
setiap orang mempunyai suatu tatanan nilai yang unik, terdapat pula nilai-nilai yang
cenderung menyerap budaya.

Nilai-nilai budaya adalah seperangkat aturan terorganisasikan untuk membuat


pilihan-pilihan dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai dalam
suatu budaya menampakkan diri dalam perilaku-perilaku para anggota budaya yang
dituntut ileh budaya tersebut. Nilai-nilai ini disebut nilai-nilai normatif.

Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi


sikap. Sikap merupakan kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk
merespon suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks
budaya. Bagaimanapun lingkungan itu akan turut membentuk sikap, kesiapan untuk
merespon, dan akhirnya merubah perilaku.

b. Sistem lambang

Onong Uchjana Effendy (1994) menyatakan bahwa proses komunikasi primer


adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain
dalam bentuk lambang sebagai media. Labang dalam komunikasi primer adalah
bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung
mampu menterjemahkan pikirian atau perasaan komunikator kepada komunikan.
19

Menurut kamus besar bagasa Indonesia, lambang merupakan tanda (lukisan,


perkataan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung
maksud tertentu. Menurut Ensiklopedia, lambang adalah suatu tanda atas dasar
kesepakatan atau persetujuan bersama (meliputi juga semboyan dan kata-kata sandi)
serta berbagai tanda umumnya.

Jenis-jenis lambang yang diperlukan dan dipergunakan dalam proses


komunikasi:

1) Lambang Gerak

Lambang gerak adalah lambang yang menggunakan gerakan anggota badan,


misalnya muka merah itu tandanya malu atau marah, menggelengkan kepala
tandanya tidak setuju dan sebagainya.

2) Lambang Suara

Lambang suara adalah lambang yang menggunakan pendengara (telinga)


misalnya mendengarkan radio, mendengarkan musik, berteriak, menangis dan
sebagainya.

3) Lambang Warna

Lambang warna adalah lambang yang menggunakan warna-warna, misalnya


lampu merah pada lalu lintas merupakan tanda berhenti, dan warna hijau
sebagai tanda boleh berjalan.

4) Lambang Gambar

Lambang gambar adalah lambang yang menggunakan gambar-gambar


misalnya iklan di surat kabar atau televisi yang menggunakan gambar
menarik, gambar lalu lintas yang menggunakan gambar-gambar yang
memiliki arti tertentu.

5) Lambang Bahasa

Lambang bahasa adalah lambang yang menggunakan bahasa, baik lisan


maupun tulisan. Bahasa lisan adalah bahasa yang dilisankan, diucapkan atau
dibunyikan, contohnya terdengar nada lagu, irama. Sedangkan lambang
tertulis adalah lambang yang ditulis pada suatu objek tertentu.

6) Lambang Angka
20

Lambang angka adalah lambang yang menggunakan angka-angka, misalnya


alat-alat menghitung, mistar, kode telepon dan sebagainya (Bhavati, 2014).

Lambang dalam komunikasi selalu memegang peranan yang sangat penting,


sehingga manusia berkat kemampuan akalnya, pengetahuannya mampu menciptakan
lambang-lambang yang dipergunakan dalam berkomunikasi.

Franklin Fearing (dalam Yani, 2017) memberi ciri lambang komunikasi


menjadi tiga karakteristik, yaitu:

a) Lambang dibuat oleh manusia

b) Lambang mempunyai nilai komunikasi, hanya apabila sebelum kegiatan


komunikasi diadakan, komunikator dan komunikan telah mengerti arti
lambang yang dipakai.

c) Lambang dipergunakan dengan maksud untuk mengadakan suatu situasi baru,


dianggap bahwa komunikator maupun komunikan akan mempunyai
kepentingan bersama.

c. Organisasi Soaial

Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan diri dalam lembaga-


lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya tersebut
mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi.

2.4. Komunikasi Non Verbal

Manusia dalam berkomunikasi selain menggunakan komunikasi verbal juga


memakai komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal biasa disebut bahasa
isyarat atau bahasa diam. Komunikasi non verbal yang digunakan dalam
berkomunikasi sudah lama menarik perhatian para ahli terutama dari kalangan
antropologi, bahasa dan bidang kedokteran. Komunikasi non verbal mencakup semua
rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang
dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai
nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima. Selain itu menurut Mark L Knapp
bahwa istilah non verbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa
komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus
menyadari bahwa peristiwa dan perilaku non verbal ini ditafsirkan melalui simbol-
simbol verbal (Cangara, 2004).
21

Simbol non verbal disebut juga isyarat atau simbol yang bukan kata-kata. Simbol
non verbal sangat berpengaruh dalam suatu proses komunikasi. Menurut Mark
Knapp (1978), penggunaan simbol-simbol non verbal dalam berkomunikasi memiliki
beberapa fungsi antara lain:

a. Meyakinkan apa yang diucapkan

b. Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak dapat diutarakan dengan


kata-kata.

c. Menunjukkan jati diri sehingga orang lain dapat mengenalinya.

d. Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum


sempurna (Cangara, 2011:106)

Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam


bentuk non verbal, tanpa kata-kata (Hardjana, 2003:26). Komunikasi non verbal
merupakan tindakan dan atribusi yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk
bertukar makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh masing-
masing pihak dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu (Liliweri,
2002:275).

Jalaludin Rakhmat mengelompokkan pesan-pesan non verbal sebagai berikut ini:

1. Pesan kinesik yaitu pesan non verbal yang menggunakan gerakan tubuh yang
berarti, terdiri dari, pesan fasial, pesan gestural, pesan postural dan
artifaktural (Rakhmat, 1992:289).

a. Pesan fasial yaitu pesan yang menggunakan mimik muka untuk


menyampaikan makna tertentu. Wajah dapat menyampaikan paling
sedikit sepuluh kelompok makna: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan,
kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minta, ketakjuban, malu,
sakit dan tekad (Rakhmat, 1992:289).

b. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti


mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna pesan
(Rakhmat, 1992:290).

c. Pesan postural berkaitan dengan seluruh anggota badan


(Rakhmat, 1992:290)
22

2. Pesan paralinguistik adalah pesan non verbal yang berhubungan dengan cara
mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat
menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda
(Rakhmat, 1992:292).

3. Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit yang
mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang melalui
sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat mengkomunikasikan: kasih
sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa perhatian.

2.5. Interaksi Simbolik


Awal perkembangan interaksi simbolik berasal dari dua aliran, Pertama,
mahzab Chicago, yang dipelopori Herbert Blumer (1962), melanjutkan penelitian
yang pernah dilakukan George Herbert Mead (1863-1931). Blumer meyakini bahwa
studi manusia tidak bisa dilakukan dengan cara sama seperti penelitian pada benda
mati. Seorang peneliti harus empati pada pokok materi, terjun langsung pada
pengalamannya, dan berusaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer
menghindari kuantitatif dan statistik dengan melakukan pendekatan ilmiah melalui
riwayat hidup, otobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective
interviews. Penekankan pentingnya ada pada pengamatan peneliti. Lebih lanjutnya,
tradisi Chicago melihat manusia sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak
dapat diramalkan. Masyarakat dan diri, dipandang sebagai proses, bukan sebagai
struktur untuk membekukan proses atau menghilangkan intisari hubungan sosial.
Kedua, mahzab Iowa yang mengambil lebih dari satu pendekatan ilmiah.
Tokohnya adalah Manford Kuhn, salah satu karyanya adalah teknik pengukuran yang
terkenal dengan sebutan Twenty Statement Self-Attitude Test (konsep pengujian sikap
diri melalui dua puluh pertanyaan). Dua di antaranya adalah ordering variable, yaitu
menyatakan kepentingan yang relatif menonjol yang dimiliki individu dan locus
variable, yaitu menyatakan perluasan tendensi yang secara umum dilakukan individu
dalam mengindentifikasi kelompok konsensual. Penilaian dari tes tersebut adalah
dengan meletakkan pernyataan tersebut dalam dua kategori, konsensual dan
subkonsensual. Pernyataan dianggap konsensual jika ia mengandung indentifikasi
kelas atau golongan; sedangkan jika mengandung indentifikasi yang mengarah ke
kualitas tertentu, maka ia merupakan pernyataan subkonsensual. Kuhn berusaha
mengembangkan konsep tentang diri (self) menjadi lebih konkret. Konsep yang
23

lainnya tentang perencanaan tindakan (plan of action) yaitu pola tingkah laku
seseorang terhadap objek, karena perencanaan diarahkan oleh sikap, yaitu pernyataan
verbal yang menunjukkan nilai tujuan tindakan maka sikap dapat diukur. Konsep diri
menyangkut perencanaan tindakan individu terhadap diri meliputi: identitas,
kepentingan dan hal yang tidak disukai, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri.
Interaksi simbolik telah menyatukan studi bagaimana kelompok
mengkoordinasi tindakan mereka; bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan;
bagaimana kenyataan dibangun; bagaimana diri diciptakan; bagaimana struktur
sosial besar dibentuk; dan bagaimana kebijakan publik dapat dipengaruhi yang
merupakan sebuah gagasan dasar dari perkembangannya dan perluasan teorites Ilmu
komunikasi.

2.5.1. Sosiologi Sebagai Akar Sejarah Teori Interaksi Simbolik


Komunikasi yang berlangsung dalam tatanan interpersonal tatap muka dialogis
timbal balik dinamakan interaksi simbolik (Symbolic Interaction/SI). Kini, Interaksi
simbolik telah menjadi istilah komunikasi dan sosiologi yang bersifat interdisipliner.
Objek material (objectum material)-nya pun sama, yaitu manusia, dan perilaku
manusia (human behavior). Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi; sedangkan
simbolik adalah garapan komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama
sosiologi pada perkembangan ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif
interaksi simbolik. Perkembangan ini bisa dikaitkan dengan aliran Chicago.
Perkembangan sosiologi di Amerika sejauh ini didahului oleh penyerapan akar
sosiologi yang berkembang luas di Eropa.
Untuk memahami fenomena masyarakat, menurut Blumer, seorang peneliti
harus melakukan observasi secara langsung atau partisipatif dengan dua cara, yaitu:
(1) Eksplorasi ke tingkat pemahaman yang menghasilkan sensitivizing
concepts.
Peneliti diharapkan bisa dekat dengan objek/ subjeknya agar mampu
mengenali dan memahami konteks empiris yang sebenarnya;
(2) Melakukan inspeksi, di mana peneliti harus memeriksa data dengan cara
menampilkan pembuktian empirisnya.
Joel M Charron (1979) berpendapat pentingnya pemahaman terhadap simbol
ketika peneliti menggunakan teori interaksi simbolik. Simbol adalah objek sosial
dalam interaksi yang digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan
24

oleh orangorang yang menggunakannya. Orangorang tersebut memberi arti,


menciptakan dan mengubah objek di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat
mewujud dalam bentuk objek fisik (benda kasat mata), katakata (untuk mewakili
objek fisik, perasaan, ide dan nilai), serta tindakan (yang dilakukan orang untuk
memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain).
Dalam Sosiologi, banyak sekali teori dan perspektif. Ada yang menggunakan
perspektif evolusionisme, interaksionisme, fungsionalisme, teori konflik, pertukaran,
dan ada juga yang menggunakan pembagian dalam pandangan George Ritzer, yakni
fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Semua pendekatan memiliki
karakteristik dan tujuan yang berbedabeda dalam rangka menganalisis masyarakat.
Salah satu teori sosiologi yang cukup berpengaruh adalah Interaksi yang fokus
pada perilaku peran, interaksi antarindividu, serta tindakan-tindakan dan komunikasi
yang dapat diamati. Melalui pendekatan ini, secara lebih spesifik, peneliti dapat
menguraikan perkembangan sejarahnya dan manfaatnya bagi individu maupun
masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan apa yang menjadi dasar dari kehidupan kelompok manusia atau
masyarakat, beberapa ahli dari paham Interaksi Simbolik menunjuk pada
“komunikasi” atau secara lebih khusus “simbol-simbol” sebagai kunci untuk
memahami kehidupan manusia itu. Interaksi Simbolik menunjuk pada sifat khas dari
interaksi antarmanusia. Artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefinisikan
tindakannya, baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.
Proses interaksi yang terbentuk melibatkan pemakaian simbol-simbol bahasa,
ketentuan adat istiadat, agama dan pandangan-pandangan. Menurut Joel Charon
proses Interaksi Simbolik yang terbentuk dalam suatu masyarakat bisa dilihat pada
gambar berikut ini.
25

Interaction

Give rise to

Social Object Symbols Language Perspective


(a special type of (a special type of (a set of symbol)
social object) symbol)

Social Objects, Symbols, Language,


and Perspectives
are central to human life,
Their importance can be found in:

Human Social Reality Individual Life


Human Social Life

Gambar 1. Proses Interaksi dalam Masyarakat (Sumber: Charon, 1979:61)

Pada gambar di atas, memerlihatkan bahwa pola interaksi terbentuk secara


simbolik meliputi bahasa, objek sosial, lambang-lambang, dan berbagai pandangan.
Blumer (dalam Veeger, 1993:224-227) mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead
dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu:
1. Konsep Diri (self)
Memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di
bawah pengaruh stimulus, baik dari luar maupun dari dalam, melainkan
“organisme yang sadar akan dirinya” (an organism having a self). Ia
mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau
berinteraksi dengan diri sendiri.
2. Konsep Perbuatan (action)
Karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi
dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak
makhluk selain manusia. Manusia menghadapi berbagai persoalan
26

kehidupannya dengan beranggapan bahwa ia tidak dikendalikan oleh


situasi, melainkan merasa diri di atasnya. Manusia kemudian merancang
perbuatannya. Perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai reaksi
biologis, melainkan hasil konstruksinya.
3. Konsep Objek (object)
Memandang manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek itu dapat
bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan atau abstrak seperti
konsep kebebasan, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti dari objek itu
tidak ditentukan oleh ciri-ciri instrinsiknya, melainkan oleh minat orang
dan arti yang dikenakan kepada objek-objek itu.

4. Konsep Interaksi Sosial (social interaction)

Interaksi berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri


mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat
demikian, manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan oleh
orang lain, sehingga interaksi dan komunikasi dimungkinkan terjadi.
Interaksi itu tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerik saja, melainkan
terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti
maknanya. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan
gerak-gerik orang lain dan bertindak sesuai dengan makna itu.

5. Konsep Tindakan Bersama (joint action)

Artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta


kemudian dicocokan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini
adalah penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran dan sikap.

Oleh karena itu, interaksi sosial memerlukan banyak waktu untuk mencapai
keserasian dan peleburan. Eratnya kaitan antara aktivitas kehidupan manusia dengan
simbol-simbol karena memang kehidupan manusia salah satunya berada dalam
lingkungan simbolik. Kaitan antara simbol dengan komunikasi terdapat dalam salah
satu dari prinsip-prinsip komunikasi yang dikemukakan Mulyana (2000:83-120)
mengenai komunikasi adalah suatu proses simbolik. Lambang atau simbol adalah
sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan
sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal,
dan objek yang maknanya disepakati bersama. Lambang adalah salah satu kategori
27

tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon
dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah
suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang
direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Berbeda dengan
ikon, indeks atau dikenal dengan istilah sinyal, adalah suatu tanda yang secara
alamiah merepresentasikan objek lainnya. Pemahaman tentang simbol-simbol dalam
suatu proses komunikasi merupakan suatu hal yang sangat penting, karena
menyebabkan komunikasi itu berlangsung efektif.

2.5.2. Interaksi Simbolik dalam Pemikiran Herbert Blumer

Dalam penjelasan konsepnya tentang interaksi simbolik, Blumer menunjuk


kepada sifat khas dari tindakan atau interaksi antarmanusia. Kekhasannya bahwa
manusia saling menterjemahkan,mendefenisikan tindakannya, bukan hanya reaksi
dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang, tidak dibuat
secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan.
Olehnya, interaksi dijembatani oleh penggunaan simbol, penafsiran, dan penemuan
makna tindakan orang lain. Dalam konteks ini, menurut Blumer, actor akan memilih,
memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna sesuai
situasi dan kecenderungan tindakannya, (Basrowi dan Sukidin, 2002).

Pada bagian lain, Blumer (Soeprapto, 2002) mengatakan bahwa individu bukan
dikelilingi oleh lingkungan objek-objek potensial yang mempermainkan dan
membentuk perilakunya, sebaliknya ia membentuk objek-objek itu. Dengan begitu,
manusia merupakan actor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan objek yang
diketahuinya melalui apa yang disebutnya sebagai self-indication. Maksudnya,
proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu,
menilainya, memberi makna dan memberi tindakan dalam konteks sosial.
Menurutnya dalam teori interaksi simbolik mempelajari suatu masyarakat disebut
“tindakan bersama”.

Teori interaksi simbolik dalam perspektif Blumer, mengandung beberapa ide


dasar, yaitu:

(1) Masyarakat terdiri atas manusia yang bertinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk struktur sosial.
28

(2) Interaksi terdiri atas berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain. Interaksi nonsimbolis mencakup stimulus respons,
sedangkan interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan-tindakan.

(3) Objek-objek tidak memiliki makna yang intrinsik. Makna lebih merupakan
produk interaksi simbolis. Objek-objek tersebut dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu: objek fisik, objek sosial, dan objek abstrak.

(4) Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal. Mereka juga melihat
dirinya sebagai objek.

(5) Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat manusia itu
sendiri

(6) Tindakan tersebut saling berkaitan dan disesuaikan oleh anggota-anggota


kelompok. Ini merupakan “tindakan bersama”. Sebagian besar “tindakan
bersama” tersebut dilakukan berulang-ulang, namun dalam kondisi yang
stabil. Kemudian di saat lain ia melahirkan kebudayaan. (Bachtiar,
2006:249-250).

Kesimpulan Blumer (Soeprapto, 2002:123-124) bertumpu pada tiga premis


utama, yaitu:

(1) Manusia bertindak berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi
mereka.

(2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang
lain.

(3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial


sedang berlangsung.

Sebagai salah satu pemikir dan pengembang teori interaksi simbolik, membuat
gagasanya cenderung kritis terhadap alam. Kritikannya yang cukup popular
dikalangan penganut teori interaksionis yakni “analisis variabel” ala ilmu alam.
Metodologi yang dibangun Blumer menolak anggapan analisis variabel bisa
diterapkan dalam perilaku manusia. Penelitian yang bertumpu pada tindakan dan
perilaku manusia menekankan kebutuhan untuk secara jelas (insightful), dan utuh.
Keberatan Blumer atas analisis variabel berakar pada kenyataan bahwa argumentasi
ilmiah ilmu alam pada umumnya palsu. Hal-hal yang diindentifikasi, tidak jelas dan
29

bukan objek terpisah dengan susunan utuh sebagaimana yang dimiliki variabel sejati,
melainkan istilah-istilah rujukan yang disingkat bagi pola-pola rumit. Selanjutnya,
Blumer menguraikan bahwa apa yang disebut variabel sosial itu tidak dapat kita
uraikan dengan cara ini. Sementara, apa yang disebut veriabel generik yang tampak
seperti: usia, jenis, tingkat kelahiran, dan periode waktu, masih harus dipertanyakan.

Dalam pandangan Blumer, untuk menelaah kehidupan sosial, sepantasnya


menggunakan pendekatan naturalistik, bukan veriabel ala ilmu alam. Menurut
Blumer lagi, dalam penerapan variabel-variabel tersebut juga tidak universal dan
lazimnya kekurangan indikator yang tetap atau seragam.

2.5.3. Fokus dan Perspektif Interaksi Simbolik

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang berinteraksi. Bahkan, interaksi


itu tidak hanya ekslusif antarmanusia, melainkan inklusif dengan seluruh
mikrokosmos, termasuk interaksi manusia dengan seluruh alam ciptaan. Singkatnya,
manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana
tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam
sebuah interaksi.

Teori interaksi simbolik dipengaruhi oleh struktur sosial yang membentuk atau
menyebabkan perilaku tertentu, yang kemudian membentuk simbolisasi dalam
interaksi sosial masyarakat. Teori interaksi simbolik menuntut setiap individu mesti
proaktif, refleksif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik, rumit,
dan sulit diinterpretasikan. Teori interaksi simbolik menekankan dua hal. Pertama,
manusia dalam masyarakat tidak pernah lepas dari interaksi sosial. Kedua, interaksi
dalam masyarakat mewujud dalam simbol-simbol tertentu yang sifatnya cenderung
dinamis.

Menurut Fisher, interaksi simbolik adalah teori yang melihat realitas sosial
yang diciptakan manusia. Sedangkan manusia sendiri mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi secara simbolik, memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan,
bermasyarakat, dan memiliki buah pikiran. Setiap bentuk interaksi sosial dimulai dan
berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia (Fisher, 1986: 231).

Pada dasarnya, teori interaksi simbolik ini berakar dan berfokus pada hakikat
manusia sebagai makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan
30

sesamanya. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik


lebih banyak digunakan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya. Salah
satu alasannya adalah bahwa diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi
dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol
tertentu. Simbol itu biasanya disepakati bersama dalam skala kecil maupun skala
besar. Simbol misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai-bersifat
dinamis dan unik.

Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia
harus lebih kritis, peka, aktif, dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol
yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut
menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Faktor-faktor penting
keterbukaan individu dalam mengungkapkan dirinya merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam interaksi simbolik. Hal-hal lainnya yang juga perlu diperhatikan
adalah pemakaian simbol yang baik dan benar, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan interpretasi. Setiap subjek mesti memperlakukan individu lainnya sebagai
subjek, bukan objek. Segala bentuk apriori mesti dihindari dalam
menginterpretasikan simbol yang ada agar unsur subjektif dapat diminimalisir sejauh
mungkin. Pada akhirnya, interaksi melalui simbol yang baik, benar, dan dipahami
secara utuh, akan membidani lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia.

Joel M. Charon (1979) mendefinisikan interaksi sebagai aksi sosial bersama,


individu individu berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang mereka lakukan
dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing masing” (mutual
social action, individuals, communicating to each other in what they do, orienting
their acts to each others). Jarome Manis dan Bernard Meltzer dalam Littlejhon
(2004) mengemukakan tujuh proposisi dasar dalam interaksi simbolik, yakni:

(1) Manusia memahami sesuatu melalui makna yang diperoleh dari


pengalaman, persepsi manusia selalu mencul menggunakan simbol-simbol.

(2) Makna dipelajari melalui interaksi antar manusia dan makna muncul dari
pertukaran simbol dalam kelompok sosial.

(3) Semua struktur dan institusi sosial dibuat berdasarkan interaksi antar
manusia.
31

(4) Perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh kejadian, melainkan oleh
kehendak dirinya sendiri.

(5) Benak manusia berisi percakapan bersifat internal, yang merefleksikan


bahwa dia telah berinteraksi.

(6) Perilaku tercipta dalam interaksi dengan kelompok sosial.

(7) Seseorang tidak dapat dipahami hanya dari perilaku yang terbuka.

Jika Mazhab Iowa yang dikembangkan oleh Marford H. Kuhn dalam kajiannya
menggunakan metode sainstifik (positivistik) untuk menemukan hukum-hukum
universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, maka Mazhab
Chicago yang dikembangkan oleh Mead, Blumer, Gofmann, dan interpretis lainnya,
menggunakan pendekatan humanistik. Walaupun Kuhn tidak menolak sama sekali
studi tentang aspek-aspek tersembunyi mengenai perilaku manusia ia menyarankan
penggunaan instrumen objektif untuk mengukur perilaku terbuka, guna mengukur
gagasan-gagasan Mead.

Perspektif Interaksi Simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut


pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku
mereka dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Demikian menurut Howard S. Becker (dalam Mulyana, 2006:70). Manusia
bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di
sekeliling mereka. Demikian pula masyarakat, dalam pandangan penganut interaksi
simbolik, adalah proses interaksi simbolik. Dan pandangan ini memungkinkan
mereka untuk menghindari problem-problem strukturalisme dan idealisme dan
mengemudikan jalan tengah di antara kedua pandangan tersebut. Kehidupan sosial
pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.
Penganut Interaksi Simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah
produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka. Artinya, mereka
tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, tetapi dipilih sebagai
hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.
(Hall, dalam Mulyana, 2006).

Hal ini dipertegas George Simmel bahwa teori ini berawal dari asumsi-asumsi
sosiopsikologis, “semua fenomena dan atau perilaku sosial itu bermula dari apa yang
32

ada dalam alam pikiran individu” (Soeprapto, 2002). Dengan demikian, mengutip
pendapat Blumer secara ringkas premis-premis yang mendasari interaksi simbolik, di
antaranya: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Seperti lingkungan,
objek fisik (benda), dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna
adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan
individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang
ditemukan dalam interaksi sosial. Di dalam interaksi simbolik, maka akan selalu
berhubungan dengan teori diri dari Mead, karena teori ini merupakan inti dari
interaksi simbolik.

Esensi dari teori interaksi simbolik menurut Mulyana (2006) adalah suatu
aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran
simbol-simbol yang diberi makna. Bahwa individu dapat ditelaah dan dianalisis
melalui interaksinya dengan individu yang lain. Dengan demikian, teori ini
menggunakan paradigma individu sebagai subjek utama dalam realitas sosial. Dalam
melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan interaksi simbolik, perlu
dibedakan antara (1) terjemahan/translate; (2) interpretasi/ tafsir; (3) ekstrapolasi; (4)
pemaknaan/ meaning. Membuat terjemahan berarti mengutarakan suatu materi
menggunakan media atau bahasa yang berbeda. Interpretasi merupakan pendapat,
pandangan, atau kesan yang diberikan terhadap sesuatu. Ekstrapolasi berbicara
tentang kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap sesuatu dibalik yang
terlihat. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia; indrawi, daya
pikir dan akal budi (I.B. Wirawan, 2011; 115).
2.6. Konsep Perkawinan

Pada hakikatnya perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi pria dan
wanita dalam menjalani kehidupannya. Melalui perkawinan seseorang akan
mengalami perubahan status dari masa lajang ke status berkeluarga dan diperlakukan
sebagai anggota masyarakat yang telah memenuhi persyaratan oleh masyarakatnya.
Upacara perkawinan ini diselenggarakan untuk menandai perubahan status social
seseorang dalam lintasan daur hidupnya.

Perkawinan merupakan suatu hal yang agung sakral dan mulia bagi kehidupan
setiap manusia agar hidupnya bahagia lahir dan batin, serta damai dan mewujudkan
33

rasa kasih sayang diantara keduanya. Didalam undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.

Pada kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya, maka
merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan
silsilah dan kedudukan sosial yang telah jauh atau retak, ia merupakan sarana
pendekatan dan perdamaian kekerabatan dan begitu pula perkawinan bersangkut paut
dengan warisan, kedudukan, dan harta kekayaan.

Perkawinan adat-istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut adat


setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama. Penyelenggaraan
perkaeinan senantiasa disertai dengan berbagai upacara yang kesemuanya itu
bertujuan untuk mnjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan.

Perkawinan menurut hukum adat, sebagaimana yang dikemukan oleh Teer


Haar (1980:187) bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, ursan keluarga, urusan
derajat, dan urusan pribadi satu sama lain dan hubungannya yang sangat berbeda-
beda. Masyarakat hukum adat memandang perkawinan sebagai untuk meneruskan
keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di
samping itu., adakalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki
hubungan kekerabatan yang telah retak dan begitu pula perkawinan itu bersangkut
paut dengan warisan, kedudukan, dan harta perkawinan.

Selanjutnya, Soerjono Soekanto (1983:242) menjelaskan bahwa perkawinan


dilihat dari segi pelakanaan operasionalnya sebagai aktivitas budaya dan gejala
kebudayan yang universal memiliki cirri-ciri umum pada semua bangsa.

1) Mempunyai pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang mendidik dan


mengarahkan orang ke perwujudan aktivitas-aktivitas sosial dengan segala
hasil-hasilnya.

2) Mempunyai tingkat kekekalan tertentu dan syistem kepercayaan maupun


tindakan tertentu terhadapnya. Pemikiran terhadap norma-norma apa yang
harus dipertahankan untuk memeliharanya.
34

3) Mempunyai tujuan tertentu.

4) Mempunyai alat-alat kelengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan


kelembagaan yang bersangkutan.

5) Mempunyai simbol-simbol (lembaga tertentu yang menggambarkan tentang


tujuan dan fungsi lembaga masyarakat pendukungnya).

6) Mempunyai tradisi/system aturan-aturan khusus kelembagaan yang bersifat


tertulis maupun tidak tertulis yang merumuskan klasifikasi-klasifikasi dan
tipe-tipe kelembagaan sosial dari masyarakat pendukungnya.

Akhirnya disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang


mempersatukan antara laki-laki dan perempuan menjadi sepasang suami-istri untuk
memenuhi kebutuhan lahir dan batin menjadi sebuah keluarga yang bahagia baik itu
secara adat maupun kebudayaan suatu masyarakat dengan berdasarkan agama.

2.7. Kerangka Pikir

Interaksi
Masyarakat Simbolik Sirih dalam Pemuka Adat
Perkawinan Adat

Terjemahan/ Translate
Tafsir/Interpretasi
Ekstrapolasi
Pemaknaan/ Meaning

Nilai

Gambar 2. Kerangka Pikir (Sumber: Peneliti, 2019)


BAB III
IMPLIKASI METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian


Penentuan metode dalam penelitian adalah langkah yang sangat penting karena
dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu penelitian. Metode penelitian adalah
prinsip yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Metodologi
dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana peneliti akan
mengumpulkan serta menganalisa data yang ada.
Ditinjau dari jenis datanya, pendekatan penelitian digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Nazir (1986) dalam Husain (2013: 159)
pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang
berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian,
maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa
dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk: (1) Mengumpulkan
informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. (2) Mengidentifikasi
masalah atau pemeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. (3) Membuat
perbandingan dan evaulasi. (4) Menentukan apa yang dialami orang lain dalam
menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk
menetapkan rencana dan keputusan untuk masa yang akan datang
(Rakhmat, 2007: 24).
Metode pendekatan deskriptif yang akan dipakai dalam penelitian ini,
sebagaimana yang diungkapkan Sugiyono (2012: 3) adalah metode kualitatif untuk
mendapatkan data yang mengandung makna. Metode kualitatif secara signifikan
dapat mempengaruhi penelitian. Artinya bahwa metode kualitatif menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, objek, dan subjek
penelitian.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang akan digunakan pada penelitian ini
dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai interaksi komunikasi simbolik
yang terjadi pada proses komunikasi dalam rangkaian tahapan perkawinan adat.
Guna menemukan hasil penelitian ini, maka peneliti menempuh beberapa langkah
yaitu pengumpulan data, pengolahan data atau analisis data, penyusunan laporan

35
36

serta penarikan kesimpulan. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian
secara objektif. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
cara observasi, wawancara dan studi dokumentasi.

3.2. Aspek Kajian


Peneliti akan mengkaji bagaimana interaksi simbolik dalam tahapan
perkawinan adat. Adapun aspek kajian yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
a. Aspek kajian mengenai komunikasi antar budaya dalam tahapan
perkawinan adat antara lain:
1) Semua proses komunikasi yang berasal dari sumber berupa
perorangan.
2) Kepercayaan, nilai budaya dalam penggunaan sirih dalam tradisi
perkawinan adat.
b. Aspek kajian konstruksi makna interaksi simbolik dalam tahapan
perkawinan adat meliputi:
Bentuk simbol yang digunakan dalam tahapan perkawinan adat yaitu mulai
dari objek fisik (benda-benda) seperti penggunaan daun sirih, kapur sirih, biji pinang,
daun tembakau, gambir dan bahan lain, serta tindakan (yang dilakukan untuk
memberi arti dalam berkomunikasi) seperti interaksi dalam memberi dan menerima
suatu objek.

3.3. Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini yaitu pemuka adat dan budaya yang memiliki
pengetahuan akan tradisi perkawinan adat.

3.4. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan dan untuk keperluan
penelitian. Perlu kecermatan dalam pengumpulan data agar memperoleh hasil
penulisan yang tepat dan benar.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Wawancara
Wawancara atau interview merupakan dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 2006: 198).
Dalam penelitian kualitatif, wawancara menjadi pengumpulan sumber data yang
37

utama. Sebagai besar data diperoleh melalui wawancara. Untuk itu, penguasaan
teknik wawancara sangat mutlak di perlukan.
Dalam metode wawancara ada tiga bentuk yaitu:
a. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur lebih sering digunakan dalam penelitian kualitatif
dan kuantitatif. Beberapa ciri dari wawancara terstruktur meliputi daftar
pertanyaan dan kategori jawaban telah disiapkan, kecepatan wawancara
terkendali, tidak ada fleksibilitas, mengikuti pedoman, dan tujuan
wawancara biasanya untuk mendapatkan penjelasan tentang suatu
fenomena.
b. Wawancara semi terstruktur
Wawancara semi-terstruktur lebih tepat dilakukan penelitian kualitatif
daripada penelitian lainnya. Ciri-ciri dari wawancara semi-terstruktur
adalah pertanyaan terbuka namun ada batasan tema dan alur pembicaraan,
kecepatan wawancara dapat diprediksi, fleksibel tetapi terkontrol, ada
pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan dan
penggunaan kata, dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu
fenomena.
c. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tidak terstruktur memiliki ciri-ciri, yaitu pertanyaan sangat
terbuka, kecepatan wawancara sangat sulit diprediksi, sangat fleksibel,
pedoman wawancara sangat longgar urutan pertanyaan, penggunaan kata,
alur pembicaraan, dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu
fenomena (Herdiansyah, 2011: 121).
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan wawancara semi terstruktur.
Metode wawancara semi-terstruktur ini digunakan untuk mendapatkan data tentang
pelaksanaan tahapan perkawinan adat. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan
wawancara terhadap pemuka adat setempat dimana arah wawancara yang peneliti
pertanyakan yaitu: (1) mengenai proses komunikasi interaksi simbolik dalam tahapan
perkawinan adat, benda-benda yang digunakan, sejarah perkawinan adat, hambatan
komunikasi dan tanggapan mengenai tradisi-tradisi yang tetap dilaksanakan dalam
perkawinan adat maupun yang tidak dilaksanakan lagi. (2) konstruksi makna dalam
interaksi simbolik pada proses komunikasi dalam tahapan perkawinan adat.
38

Wawancara antara lain tentang simbol, makna dan nilai yang terdapat pada setiap
interaksi.

2) Observasi
Kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh seorang peneliti yang
melakukan penelitian kualitatif saat berada di lapangan adalah observasi. Sanafiah
Faisal (dalam Bungin, 2003: 65) menjelaskan bahwa metode observasi menjadi amat
penting dalam tradisi penelitian kualitatif karena melalui observasilah dikenali
berbagai rupa kejadian, peristiwa, tindakan yang berlangsung secara berulang pada
masyarakat.
Penelitian ini menggunakan teknik participant observation, peneliti akan
terlibat secara langsung dalam kegiatan sehari-hari orang atau situasi yang akan
diamati sebagai sumber data. Peneliti akan mengobservasi cara pelaku adat dalam
memimpin dan melaksanakan tahapan demi tahapan dalam perkawinan adat disertai
dengan obeservasi pada objek berupa simbol makna dan nilai yang digunakan.
3) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan instrumen pengumpulan data yang sering digunakan
dalam metode pengumpulan data. Metode observasi dan wawancara sering
dilengkapi dengan kegiatan penelusuran dokumentasi dimana tujuannya untuk
mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data.
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan
melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek diri atau
orang lain tentang subjek. Moelong (dalam Herdiansyah, 2010: 143) mengemukakan
dua bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan dalam studi dokumentasi, yaitu:
a. Dokumen pribadi
Merupakan catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang
tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya. Tujuan dari dokumentasi ini
adalah untuk memperoleh sudut pandang orisinal dari kejadian situasi
nyata.
b. Dokumen resmi
Dokumen resmi dipandang mampu memberikan gambar mengenai
aktivitas, keterlibatan individu pada suatu komunitas tertentu dalam
setting sosial.
39

3.5. Teknik Analisis Data


Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis
untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan
menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Miles dan Huberman (dalam
Sugiyono, 2008) mengemukakan bahwa ada beberapa langkah yang digunakan
dalam penelitian untuk melakukan analisis data yaitu:
a) Melakukan reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan. Proses ini
berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai akhir penelitian. Reduksi
merupakan bagian dari analisis bukan terpisah yang berfungsi untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan
sehingga interpretasi dapat ditarik. Ketika peneliti meragukan kebenaran data yang
diperoleh akan dicek ulang dengan informan lain yang menurut peneliti lebih
mengetahui.
b) Penyajian data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Tujuannya
adalah untuk memudahkan membaca dan menarik kesimpulan. Penyajian data juga
merupakan bagian dari analisis, bahkan mencakup juga reduksi data. Dalam tahap ini
peneliti juga melakukan display (penyajian) data secara sistematik, agar lebih mudah
untuk dipahami interaksi antar bagian-bagiannya dalam konteks yang utuh.
c) Penarikan kesimpulan
Kesimpulan-kesimpulan selama penelitian berlangsung terlebih dahulu
diverifikasi. Makna-makna yang muncul dari data harus selalu diuji kebenaran dan
keseuaiannya sehingga validitasnya terjamin. Dalam tahap ini, peneliti membuat
rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika, mengangkatnya sebagai
temuan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji secara berulang-ulang
terhadap data yang ada, pengelompokan data yang telah terbentuk dan proposisi yang
telah dirumuskan. Langkah selanjutnya adalah melaporkan hasil penelitian lengkap
dengan temuan baru yang berbeda dari temuan yang telah ada.
40

3.6. Teknik Keabsahan Data


Penulis menggunakan triangulasi data dalam rangka melakukan pengecekan
hasil data penelitian. Triangulasi yang dimaksud lebih condong ke arah metode alam
level mikro seperti bagaimana melakukan kombinasi atas beberapa metode
pengumpulan data dan analisis data secara bersama-sama dalam suatu penelitian.
Informan akan dijadikan sebagai alat untuk menguji keabsahan dan menganalisis
hasil penelitian. Pengujian bahan dokumentasi juga digunakan untuk melakukan
koreksi atas keabsahan informasi yag diperoleh. Uji keabsahan melalui uji silang
dengan informan lain akan menjadikan data penelitian lebih akurat dimana
perbandingan hasil wawancara dapat menemukan validitas dari data yang diberikan.
BAB IV
SIMPULAN KAJIAN MANDIRI

Tradisi perkawinan merupakan sesuatu yang umum di masyarakat dan


dilaksanakan sesuai dengan aturan dan nilai yang berlaku pada masyarakat setempat.
Perkawinan antar budaya menuntut kompetensi komunikasi antar budaya dari para
individu yang berperan agar terdapat kesepakatan tentang pelaksanaan tahapan-
tahapan tradisi perkawinan tersebut. Kesepakatan tersebut dapat menimbulkan
kerancuan pada nilai-nilai setempat atau bahkan menggesernya.
Interaksi simbolik berasumsi bahwa pada awalnya ada nilai-nilai yang
tertanam pada suatu kelompok masyarakat tentang suatu simbol. Kemudian nilai
tersebut digunakan oleh individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam
prosesnya, individu melakukan modifikasi terhadap makna dan nilai yang
terkandung dalam sebuah simbol dan menggunakannya dalam berinteraksi di
masyarakat. Masyarakat selaku produsen dari nilai tersebut dapat memperbaharui
nilai dan tradisi tersebut jika hal tersebut dianggap relevan dan tidak bertentangan.
Pembaharuan tersebut dapat menuai konflik kepada pihak yang tidak
mengalami/ mengetahui bagaimana proses pembaharuan tersebut terjadi. Hal ini
dapat berlangsung bahkan untuk satu jenis etnis atau suku yang sama dimana
percampuran budaya dengan budaya asing dapat menimbulkan kebingungan atau
perbedaan pemaknaan. Percampuran budaya yang dialami satu etnis pada suatu
lokasi tertentu memungkinkan pembaharuan yang berbeda untuk etnis yang sama di
lokasi lain.
Sirih merupakan salah satu simbol yang banyak digunakan dalam
pelaksanaan tradisi-tradisi. Sirih membawa makna dan nilai yang berbeda untuk
masing-masing kebudayaan. Hal ini dapat menimbulkan konflik jika terjadi interaksi
antar budaya yang menggunakan sirih sebagai suatu simbol tetapi memiliki
pemaknaan yang berbeda oleh masing-masing kebudayaan. Penelitian ini akan
melakukan konstruksi makna dari penggunaan sirih dalam tahapan-tahapan tradisi
perkawinan. Konstruksi makna dilakukan untuk mengetahui arti dari suatu simbol
dan interaksi dalam konteks budaya pada tahapan-tahapan tradisi perkawinan dengan
harapan dapat meningkatkan kompetensi komunikasi antar budaya pelakunya.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menemukan alasan dibalik pembaharuan nilai
dan makna yang terjadi pada simbol sirih.

41
DAFTAR PUSTAKA

A. Griffin, Emory. 2003. A First Look at Communication Theory. Fifth Edition.


Boston: McGraw-Hill
Ananta, Aris, Arifin, E.N, Hasbullah, M. Sahri, Handayani, N. Budi, Pramono, Agus.
2015. Demography of Indonesia’s Ethnicity, Institute of Southeast Asian Studies
Anugrah, Diana. 2016. Analisis Semiotika Terhadap Prosesi Pernikahan Adat Jawa
“Temu Manten”di Samarinda. eJournal Ilmu Komunikasi Universitas
Mulawarman, Volume 4, Nomor 1. Diakses dari http://ejournal.ilkom.fisip-
unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2016/04/JURNAL%20GANJIL%20diana
%20(04-23-16-04-46-50).pdf
Ardial. 2014. Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Arikunto, S. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara
Aziz, Safrudin. 2017. Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton Membentuk Keluarga
Sakinah. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Purwokerto Vol. 15, No. 1, Mei 2017. Diakses dari
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/ibda/article/view/724
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro.
Surabaya: Insan Cendekia
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Cangara, Hafied. 2011. Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Persada. Elvinaro, 2007
_____________. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Charon, Joel M. 1979. Symbolic Interactionism, United States of America: Prentice
Hall Inc
Ditha Prasanti, Puji Prihandini. 2018. “Pengalaman Komunikasi Terapeutik
Perempuan Indonesia Dalam Menggunakan Daun Sirih”, e-Jurnal BSI Volume 9
Nomor 1 Bulan Maret 2018 diakses dari
http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
Effendi, Uchjana, Onong. 1994. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, PT. Remaja
Rosda Karya, Bandung
Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-teori Komunikasi: Perspektif Mekanistis, Psikologis,
Interaksional, dan Pragmatis. Penterjemah Soejono Trimo, Penyunting Jalaluddin
Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gudykunst, B. William, & Kim, Y. Y. 2003. Communicating With Strangers Fourth
Edition. New York: Mac Graw Hill.
Haar, Ter. 1981. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.
Hanis, Karmila; Ibrahim, Ridwan;Tamu,Yowan. 2013. “Dutu Pada Tata Cara Adat
Perkawinan Gorontalo (Suatu Penelitian Didesa Teratai Kecamatan Tabongo)”,
Vol. 1, No. 1. Diakses dari
http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIS/article/view/3165
Hardjana, Agus M. 2003. Komunikasi Intrapersonal & Komunikasi Interpersonal,
Yogyakarta: Kanisius.

42
43

Hasani, M. Muwafiqillah Al, Oksiana Jatiningsih. 2014. “Makna Simbolik Dalam


Ritual Kawit Dan Wiwit Pada Masyarakat Pertanian Di Desa Ngasemlemahbang
Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan”, Jurnal Kajian Moral dan
Kewarganegaraan, Volume 03 Nomor 02 Tahun 2014, hal. 1220-1236 diakses dari
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-
kewarganegaraa/article/view/9408
Herawati, Isni. 2007. “Makna Simbolik Sajen Tingkeban”, Jantra Vol. II No. 3
Yogyakarta Juni 2007 ISSN. 1907-9605 diakses dari
http://repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/5140/1/Jantra_Vol._II_No._3_Juni
_2007.pdf#page=25
Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
_______________. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Salemba
Humanika.
Knapp, Mark. 1978. Nonverbal Communication in Human Interaction. Austin : Holt,
Rinehart and Winston
Liliweri Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
__________. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
PT. LKis Pelangi Aksara
__________. 2001. Gatra gatra komunikasi antar budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Littlejohn, Stephen, W. 2004. Theories of Human Communication. New York, USA:
Artists Right Society (ARS).
Lubis, Andriani Lusiana. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antar Budaya.
Medan. USU Press
Martin, Judith dan Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural Communication in
Contexts. New York: Mc Graw Hill International.
Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi efektif “Suatu pendekatan lintas budaya”.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
_____________. 2003. Metode Penilitian Kualitatif Paradigma Ilmu Komunikasi
Dan Ilmu Sosial Lainnya, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
_____________. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remadja
Rosdakarya.
_____________. 2001. Komunikasi Organisasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_____________, Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nazir, Muhammad. 1986. Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya
Neuman. 1997. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approachs.
3rd Edition. Boston: Pearson Education Inc.
Ola’, Simon Sabon, 2009, “Makna Dan Nilai Tuturan Ritual Lewak Tapo Pada
Kelompok Etnis Lamaholot Di Pulau Adonara, Kepulauan Flores Timur”, Vol 21,
No 3.
Pasande’, Saida. 2018. Pangngan : Perubahan Fungsi dan Makna Sirih dalam
Upacara Perkawinan Masyarakat Nanggala di Kabupaten Toraja Utara. Skripsi
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
44

Hasanuddin Makassar. Diakses dari


http://103.195.142.17/handle/123456789/27122
Posumah, Henni Evangelis, 2014. “Makna Pesan Simbolik Dalam Proses
Pertunangan Adat Pamona Di Kab. Poso” . diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9436
Putri, Latifah Dina; Amsal Amri. 2017. Komunikasi Intrabudaya Pada Makna Ranub
dalam Kebudayaan Masyarakat Aceh. Studi pada Masyarakat Gampong Lubuk
Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah
Volume 2, Nomor 4 diakses dari http://www.jim.unsyiah.ac.id/FISIP
Putri, Maidilla Siska; Afifah Asriati’; Indrayuda Indrayuda, 2014, “Makna Sirih
Dalam Tari Makan Sirih Di Tanjung Batu Kecamatan Kundur Kabupaten
Karimun Kepulauan Riau”, Vol. 2, No. 2. Diakses dari
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/sendratasik/article/view/3333
Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural Mindfulness dalam
Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rakhmat, Jalaludin. 2007. Persepsi Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Rajawali Pers.
_______________. 1992. Psikologi komunikasi. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.
Salleh, Norhuda. 2014. “Tepak Sirih: Komunikasi Bukan Lisan Dalam Adat
Perkahwinan Melayu”, Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication
Jilid 30(Special Issue) 2014: 177-190 Universiti Malaysia Sabah diakses dari
http://ejournals.ukm.my/mjc/article/view/14993Satriana, Eka. 2015. Makna
Ungkapan Pada Upacara Perkawinan Adat Bulukumba Di Desa Buhung
Bundang Kec. Bontotiro Kab. Bulukumba. Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3,
Desember 2015 / ISSN 1979-8296 diakses dari
http://ojs.uho.ac.id/index.php/HUMANIKA/article/view/586
Samovar A. Larry, Porter E. Richard, McDaniel R. Edwin. 2010. Komunikasi Lintas
Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.
Simarmata, Golda S, Sitti Rahma. 2013. “Husip-Husip Dalam Tortor Hata Sopisik
Pada Masyrakat Batak Toba : Kajian Interaksi Simbolik”, Gesture : Jurnal Seni
Tari Vol 2, No 1 diakses dari
http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gesture/article/view/886/696
Slocum, Hellriegel, M. 2009. The Communication Competence of Leaders in a
Knowledge- Based Organization. University of Jyvaskyla. Soedarmayanti.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern,
Yogyakarta, Averrous Press dan Pustaka Pelajar
Soerjono, Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Supinah, Pien. 2006. Sawer: Komunikasi Simbolik pada Adat Tradisi Suku Sunda
dalam Upacara Setelah Perkawinan. MeidaTor Vol 7 No. 1 Juni 2006. Diakses
dari https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/1225
Tinarbuko, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Tubbs, Stewart L & Sylvia Moss. 2005 Human Communication: Konteks-Konteks
Komunikasi, Editor Deddy Mulyana, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Veeger. KJ . 1993. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu –
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.
45

West, Richard., Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi Analisis dan
Aplikasi. 3rd. Edition. Jakarta: Salemba Humanika.
__________________________. 2008. Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Wirawan, Ida Bagus. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial,
Defenisi Sosial, dan Perilaku Sosial), Edisi Pertama, Jakarta, Kencana
Prenadamedia Group.

SUMBER ONLINE
Kompas.com dengan judul "Sirih dan Sejarah Budaya
Kita", https://sains.kompas.com/read/2014/12/17/17282881/Sirih.dan.Sejarah.Bud
aya.Kita. (diakses 12 Nopember 2018)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Kamus Besar Bahasa Indonesia (dari https://kbbi.web.id)

Anda mungkin juga menyukai