Anda di halaman 1dari 18

HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI)

1. PENDAHULUAN

Indera penghidu yang merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat


hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena
keduanya bekerja bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor
organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut
saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid
menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii posterior.1

Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik nafas dengan
kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa
daerah olfaktorius. Berdasarkan survei data di Amerika Serikat tahun 1994 sekitar 2,7
juta orang mempunyai masalah dengan penciuman, salah satu diantaranya adalah
hidung berbau (foetor ex nasi). Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung.
Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding,
a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom,
foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat,
keluar cairan dari hidung, kadang disertai dengan darah. Penelitian yang dilakukan di
RS dr. Kariadi Semarang tahun 1975-1976 tentang jenis penyakit yang paling banyak
menimbulkan gejala foetor ex nasi di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok adalah
korpus alienum dan sinusitis.1,2,3

Dalam kenyataannya, masih sering dijumpai penderita datang ke dokter


dengan keluhan hidung berbau, yang penting diperhatikan adalah bagaimana
menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi seorang dokter yang tidak
mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam hidung. Untuk
keperluan ini maka penulis tertarik untuk menulis referat tentang “Hidung Berbau”
(foetor ex nasi) bagaimana patogenesis, anamnesis, cara pemeriksaan secara klinis
yang sederhana dan pedoman diagnostik berdasarkan diagnosis banding dari kelainan
atau beberapa penyakit yang dapat memberikan gejala foetor ex nasi.

1
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri
dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang
kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago
septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago
septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta
prosesus frontal os maksila.4,5

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar (dikutip dari: kepustakaan 5)

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut


apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus
frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis
tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.4

2
2.2 Hidung Dalam
Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior
hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring.
Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi
organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan
rongga udara yaitu meatus superior, media dan inferior.5,6
Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan
lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur
demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran
udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu
penciuman.6

Gambar 2. Anatomi hidung dan cavum nasi (dikutip dari: kepustakaan 5)

2.3 Fisiologi Hidung


Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu
proses bicara dan reflek nasal.4,7,8
a. Sebagai jalan nafas
Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk
lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

3
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti saat inspirasi, di bagian depan
aliran udara memecah sebagian melalui nares anterior dan sebagian lagi ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran udara nasofaring.8
b. Pengatur kondisi udara
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur
suhu.
c. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir
dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.8
d. Indera penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum
nasi. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.4,7
Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri
dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel
olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar
olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang
menghasilkan mukus cair.4,7
Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di
bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan
diri ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel
olfaktorius. Menurut teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh
bau-bauan kimia atau dasar, indera penciuman mempunyai molekul yang
ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel
olfaktorius diduga mempunyai reseptor-reseptor yang bentuk dan dimensinya
tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan partikel
reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper,
“musky”, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan
4
termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh
pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.4
Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau
adalah interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar,
permulaan perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada
batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel bau-bauan dalam
lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial
listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk
merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang
menetap dan terus-menerus.4
Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen
setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul
membentuk gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui
lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini
tidak bermielin.4
Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan
dengan sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk
traktus olfaktorius yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk
kemudian masuk ke korteks piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus,
tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior kapsula interna dengan hubungan
sekunder.4

5
Gambar 3. Hubungan langsung dari mukosa olfaktorius ke bulbus olfaktorius
di Central Nervus System. (dikutip dari: kepustakaan 4)

e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).8

6
f. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8

3. HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI)


3.1 Definisi
Hidung berbau (foetor ex nasi) berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam
kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a
stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom,
foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat,
keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.3,9

3.2 Etiologi
Ada beberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi antara lain: 3
a. Korpus alienum
b. Rinolit
c. Difteri hidung
d. Sinusitis
e. Rinitis atrofi (Ozaena)
f. Nasofaringitis kronis
g. Rinitis kaseosa

7
3.3 Patogenesis
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari
mukosa dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus
maksilaris mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat
disebabkan oleh: (1) berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri,
dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati
akan mengalami pembusukan oleh organisme saprofit.3
Berdasar pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan
oleh:3
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh
kuman saprofit.
2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari :
a. Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan
karena tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi
sekunder sehingga timbul foetor.
b. Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi.
c. Toksin bakteri.
d. Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik.

3.4 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat membantu untuk
menentukan diagnosis etiologi dari foetor ex nasi, karena banyak penyakit yang
memberikan gejala foetor ex nasi. Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila
dalam rongga hidung terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh
penderita. Apabila penderita dapat membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak
membau kita beri tanda (-), maka kemungkinan yang dapat terjadi pada pasien
adalah: 3
1. Penderita sendiri (+), orang lain (+)
2. Penderita sendiri (+), orang lain (-)
3. Penderita sendiri (-), orang lain (+)
8
Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia.
Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subjektif. Keluhan bau busuk
dari hidung anak sering dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal
discharge dengan foetor dapat bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali
ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan
sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis.3
Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau
sanguinous, dan apakah discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya
macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah
disusun diagnosis banding sebagai berikut :
1. Korpus alienum
2. Rinolit
3. Difteri hidung
4. Sinusitis
5. Rinitis atrofi (Ozaena)
6. Nasofaringitis kronis
7. Rinitis kaseosa
8. Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis
9. Neoplasma maligna

1. Korpus alienum
Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik,
kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah.
Kebanyakan ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda
tersebut belum lama dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu,
kecuali bila benda yang dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang
muncul antara lain obstruksi yang bersifat unilateral dan sekret yang berbau.
Benda asing umumnya ditemukan pada bagian anterior vestibulum atau pada
meatus inferior sepanjang dasar hidung. Karena penderita kebanyakan adalah

9
anak-anak, apakah penderita sendiri dapat membau atau tidak hal ini tidak
jelas.3,6,10

Gambar 4. Korpus alienum pada hidung (dikutip dari: kepustakaan 10)

2. Rinolit
Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya
terdapat pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung
membentuk suatu masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau
bekuan darah. Warna sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan.
Konsistensi dapat lunak sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya
dengan korpus alienum, biasanya terdapat unilateral. Sekret sinus kronik
dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu di dalam hidung.3,6,10

10
Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10)
3. Difteri hidung
Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung,
bersifat benigna, ±2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri
faring, bersifat maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional.
Discharge biasanya bilateral, sanguinous, sering disertai ekskoriasi
vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri hidung benigna dan maligna,
maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih ragu, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan tenggorok.3

4. Sinusitis
Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau
bilateral. Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada
adenoid dan alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan
ialah: nasal obstruction, persistent mucopurulent discharge, frequent colds.
Berdasarkan adanya infeksi adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak
gejala discharge tentunya lebih sering bilateral. Pada anak-anak diragukan
apakah penderita sendiri membau atau tidak, jadi penderita sendiri (±), orang
lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya bau yang tidak enak
dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila ada obstruksi dan
bersifat temporer.3,9,10

11
Gambar 6. Sinusitis (dikutip dari: kepustakaan 10)
5. Ozaena
Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida.
Karakteristiknya adalah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat
submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya krusta yang berbau khas.
Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati,
yaitu ringan, sedang atau berat, karena derajat ozaena menentukan terapi dan
prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Adanya
discharge yang berbau, bersifat bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-
hijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria, terutama
pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang
orang lain tidak tahan baunya.3

6. Nasofaringitis kronis
Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid,
dimana banyak tinggal bakteri-bakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus
maka bakteri tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh
baik penyakit segera sembuh. Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan
discharge nasofaring menjadi purulen serta mulai timbul bau, hal ini mulai
dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering berusaha mengeluarkan
12
discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu. Discharge pada
nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3

7. Rinitis kaseosa
Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya
pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang
menyerupai kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini,
diantaranya bahwa penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis
sekunder yang menyumbat nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan
kimiawi dan deskuamasi mukosa secara terus-menerus, terjadilah
penumpukan massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Kebanyakan
bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi terbanyak antara 30-
40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita sendiri
membau (+), orang lain (+).3

8. Radang kronis spesifik


a. Sifilis tertier
Berupa gumma yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu
pada vomer dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis
yang mengenai tulang dan meluas ke kartilago septum terjadilah
perforasi septum. Foetor bersifat bilateral. Penyakit ini sekarang
jarang dijumpai.3
b. Tuberkulosis
Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum
bagian kartilago. Untuk membedakan sifilis tertier dari tuberkulosis
lebih baik dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsi. Pada
tuberkulosis perlu dilakukan foto rontgen toraks dan nasal swab. Pada
tuberkulosis, bila tuberkuloma pada septum bagian kartilago
mengalami nekrosis, dapat juga terjadi perforasi septum, foetor dapat
dirasakan bilateral. Penyakit itu sekarang juga jarang dijumpai.
13
9. Neoplasma maligna
Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral
dan nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat
lebih dulu sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang
anaplastik. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang
tidak nekrotis. Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan
kearah malignansi, biopsi perlu segera dilakukan.3

3.5 Pedoman Diagnostik


Pada anak-anak
1. Korpus alienum: discharge unilateral.
2. Difteria hidung: discharge sanguinous bilateral.
3. Sinusitis: discharge profuse bilateral. 3

Dewasa
1. Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+)
2. Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+)
3. Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-)
4. Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+)
5. Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain
(+)
6. Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang
lain (+)
7. Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+).
8. Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3
Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis
secara klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan
laboratorium. 3
14
3.6 Terapi
Terapi yang diberikan tergantung dari diagnosis :
a. Korpus alienum/ rinolit
Terapinya ialah mengangkat korpus alienum atau rinolit.
b. Nasal difteria
Diberikan antibiotika, Anti Difteri Serum (ADS), dan salep antibiotika untuk
mencegah dermatitis akibat nasal discharge.

c. Sinusitis dan rinitis kaseosa


Prinsip terapi ialah membersihkan discharge, memperbaiki ventilasi dan
drainase, pemberian antibiotika yang sesuai, dan bila tidak berhasil baru
dilakukan operasi.
d. Ozaena
Terapi konservatif atau kombinasi dengan operatif.
e. Nasofaringitis kronis
Terapi ialah dengan mengisap discharge yang lengket di nasofaring,
pemberian antibiotika dan obat tetes hidung.
f. Sifilis tertier dan tuberkulosis
Terapinya sesuai dengan terapi spesifik untuk sifiilis dan tuberkulosis pada
umumnya.
g. Neoplasma maligna
Terapi operasi, radiasi atau kombinasi operasi dan radiasi. 3

3.7 Prognosis
Prognosis untuk korpus alienum dan rinolit setelah pengangkatan korpus
alienum dan rinolit pada umumnya baik. Prognosis untuk radang pada umumnya
baik. Adanya bermacam-macam antibiotika dapat memperkecil insidens,
komplikasi dan mortalitas.3
15
Khusus untuk ozaena, prognosis tergantung dari derajat ozaena sebelum
diobati.3
 Ozaena ringan, dengan terapi konservatif atau kombinasi konservatif dan
operatif, prognosis baik, dapat sembuh 100%.
 Ozaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatif dan operatif sekitar 75%
- 83% berhasil baik, dapat residif.
 Ozaena berat, dengan terapi konservatif maupun operatif tidak berhasil, atau
hasilnya 0%. Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada
ozaena berat.

2.4.8 Pencegahan
Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya foetor ex nasi adalah dengan:
a. menjaga kebersihan
b. mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi
c. mencegah terjadinya infeksi kronis 3

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;130.

2. Leopold DA. Disorder of Taste and Smell. http://www.emedicine.com.


[diakses tanggal 14 Februari 2009].

3. Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24.

4. Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2.

5. Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The


Nose.html. [diakses tanggal 19 Februari 2009].

6. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar
Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;174-176.

7. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier.
2007;131.

8. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar
N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;88-94.

9. RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd
ed. London: Churchill Livingstone, 1999;32.
17
10. Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston. http://www.ghorayeb.com. [diakses
tanggal 19 Februari 2009].

18

Anda mungkin juga menyukai