PENDAHULUAN
Conjoined twin atau kembar siam adalah kondisi janin dimana salah satu bagian
tubuhnya saling melekat atau menyatu. Lokasi penyatuan dapat berbeda-beda seperti di
dada (thoracopagus), di kepala (cephalopagus), dan lain-lain. Berdasarkan lokasi, dibagi
menjadi ventral, dorsal, dan parapagus (lateral). Parapagus merupakan bahasa Yunani yang
artinya penyatuan di sisi tubuh. 1,2
Kasus kembar siam sangatlah jarang, hanya 1 dari 200.000 – 250.000 kelahiran.
Tempat penyatuan yang paling banyak adalah di dada (thoracopagus) yaitu 40% dari
seluruh kasus kembar siam. Di urutan kedua yaitu omphalogus (abdomen/umbilikus)
sebesar 34%, lalu parapagus 28%.1,3
Mekanisme terjadinya kembar siam belum pasti namun salah satu teori yang
terkenal adalah fission theory dimana satu sel telur yang telah di fertilisasi mengalami
pembelahan sel yang inkomplit pada hari 13-14. 1,2,3
Diagnosis dini kehamilan dengan kembar siam sangat penting untuk merencanakan
metode persalinan yang sesuai. Diagnosis dapat ditegakan dengan USG dimulai dari usia
gestasi 10 minggu. Persalinan pervaginan sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan
banyak komplikasi sehingga Sectio Cesaria merupakan pilihan utama dalam metode
persalinan. Dokter umum harus mengetahui bagaimana mendiagnosis kembar siam
sehingga memiliki prognosis yang lebih baik untuk ibu. 4,5
1
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. P K
b. Umur : 23 tahun
c. Alamat : Jl Bukit Baru
d. Suku : Sumatera Selatan
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Status : Menikah
h. Pendidikan : SLTP
i. Pekerjaan : IRT
j. MRS : 23 Januari 2019
k. No. RM : 1089683
l. Nama Suami : Tn. SL
m. Pekerjaan Suami : Buruh
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hamil dengan janin kelainan kongenital
2
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Diabetes Melitus (-)
- Hipertensi (-)
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- Alergi (-)
Riwayat Pengobatan:
Kontrol kehamilan ke dokter spesialis Obgyn di Sungai Lilin
3
PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala dan Leher
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Lihat pemeriksaan obstetrik
Ekstremitas
Akral dingin (-), edema pretibial (-)
PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar
Abdomen cembung, tinggi Fundus Uteri 2 jari dibawah procesus xyphoideus (36
cm), memanjang, punggung kiri, presentasi kepala, his (-), DJJ= 138x
4
Pemeriksaan Dalam
Inspekulo
Portio livid, OUE tertutup, fluor (-), fluksus (-), darah tak aktif, Erosi (-), Laserasi (-),
Polip (-)
Vaginal toucher
Portio kenyal, medial eff 0%, kepala, ketuban, dan petunjuk belu bisa dinilai.
Pemeriksaan Penunjang
USG : Kesan dicephalic parapagus
GINJAL
Ureum 26 mg/dL 16,6-48,5 mg/dL Normal
ELEKTROLIT
Kalsium (Ca) 8,0 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL Menurun
5
Kalium (K) 3,8 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L Normal
KIMIA KLINIK
Bilirubin Total 0,70 0,1 – 1,0 mg/dL Normal
6
Pukul 08.45
Lahir neonates hidup, laki-laki, dengan 2 kepala (dicephalic parapagus) Berat
Badan: 4000 gram, Panjang Badan: 42 cm, A/J: 8/9
Pukul 08.50
Plasenta lahir lengkap, BP: 550gram, PT: 47 cm, Diameter: 17 x 18 cm,
SBR dijahit jelujur festoon dengan PEA no 1.0
Kontraksi uterus kurang dilakukan kompresi bimanual 9 kontraksi masih
tidak adekuat diputuskan untuk dilakukan B-Lynch dengan PEA no 1.0 pada
2 bagian uterus
Peritoneum dijahit jelujur dengan plain catgut 2.0
Otot dijahit dengan jelujur dengan plain catgut 2.0
Fascia dijahit simple intrumped dengan catgut 2.0
Cutis dijahit jelujur subkutikuler dengan PGA 3.0
Pukul 09.40
Operasi selesai
2.9 Follow Up
1. Follow up pasien (25 Januari 2019)
S = Setelah operasi
O = KU : Tampak sakit sedang T : 36,4oC
TD : 114/73 mmHg RR : 20 x/m
N : 120 x/m
PL : FUT 1 Jari bawah pusat, kontraksi baik, perdarahan aktif (-), luka operasi
tertutup opsite.
A = P1A0 post classic sectio caesarean modification a.i Dicephalic parapagus + Post
B-Lynch a.i atonia uteri
P = Observasi tanda vital ibu, kontraksi, perdarahan
IVFD RL+Oksitosin 20IU gtt xx/m s/d 24 jam
Cek laboratorium post operasi
Cateter menetap sampai 24 jam post op
Mobilisasi bertahap
ASI on demand
Vulva hygiene
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Sulitnya mengetahui angka pasti insiden PJT karena pencatatan tentang usia
gestasi yang sahih sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang (Wirman dan
Wiknjosastro, 2008). Pada penelitian pendahuluan di 4 senter fetomaternal di Indonesia
tahun 2004-2005 didapatkan 571 KMK dalam 14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%.
Paling sedikit di RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta 6,44% (Karkata dan Kristanto, 2012; Sumawan et al.,2013). Janin dengan
PJT mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bahkan juga morbiditas jangka
panjang. Kematian perinatal sering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi
mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan hipoglikemia. Pada PJT terdapat
peningkatan kematian janin empat sampai delapan kali dalam masa kehamilan dan lima
kali dalam masa persalinan 6,7,8
3.1.3 Klasifikasi
Himpunan Kedokteran Fetomaternal mengklasifikasikan pertumbuhan janin
terhambat menjadi :6,7,9
a. Pertumbuhan janin terhambat simetris:
8
Jika ukuran badan janin secara proporsional kecil, gangguan pertumbuhan janin
terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu, sering disebabkan oleh kelainan
khromosom atau infeksi.
b. Pertumbuhan janin terhambat asimetris:
Jika ukuran badan janin tidak proporsional, gangguan pertumbuhan janin terjadi pada
kehamilan trimester III. Keadaan ini sering disebabkan oleh isufisiensi plasenta
Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada awal kehamilan, saat
hiperplapsi (biasanya karena kelainan kromosom dan infeksi), akan menyebabkan PJT
yang simetris. Jumlah sel berkurang dan secara permanen akan menghambat
pertumbuhan janin dan prognosisnya jelek. Penampilan klinisnya proporsinya tampak
normal karena berat dan panjangnya sama-sama terganggu, sehingga ponderal indeksnya
normal. 7,10
Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada saat kehamilan lanjut, saat
hipertrofi (biasanya gangguan fungsi plasenta, misalnya preeklampsia), akan
menyebabkan ukuran selnya berkurang menyebabkan PJT yang asimetris yang
prognosisnya lebih baik. Lingkaran perutnya kecil, skeletal dan kepala normal, ponderal
indeksnya abnormal. 7,10
9
a. Faktor maternal
1) Riwayat berat badan lahir rendah atau PJT pada persalinana sebelumnya
2) Ibu yang kecil atau berat badan ibu yang rendah sebelum hamil
3) Gizi maternal buruk (< 1500 kalori / hari)
4) Status sosioekonomi jelek
5) Merokok, alkohol dan narkoba
6) Usia maternal ekstrim, < 16 tahun atau > 35 tahun
7) Menggunakan teknologi reproduksi
8) Partner yang berbeda
9) Teratogen: anti kejang, methotrexate, warfarin
10) Penyakit vaskuler
11) Hipoksia – hidup di ketinggian (>10.000 kaki)
12) Anemia termasuk hemoglobinopati
b. Faktor fetus
1) Infeksi kongenital: CMV, sifilis, rubela, varisela, toksoplasma, tuberkulosis, HIV,
malaria kongenitak
2) Aneuploidi: trisomi 13, 18, 21, triploidi
3) Microdeletions: 4p-
4) Sindrom genetik atau kelainan fetal
5) Diskordansi pada kehamilan ganda
c. Faktor plasenta
1) Insufisiensi vaskuler plasenta
2) Separasi korionik (abrupsio, hematoma)
3) Infark villi
4) Regresi korion
5) Malformasi uterus mayor
6) Placental mosaicism
3.1.5 Patofisiologi
Pada sebagian besar kasus, PJT disebabkan oleh insufisensi plasenta, meskipun
beberapa kondisi seperti kelainan kongenital, infeksi, penyalahgunaan obat dan bahan
kimiawi juga dapat menyebabkan kondisi tersebut, Insufisiensi plasenta sering
dihubungkan dengan adanya suatu kondisi dimana terjadi gangguan toleransi sistem
imun maternal pada materno-feto interface yang berakibat pada gangguan invasi tofoblas
10
ke desidua pada saat proses plasentasi sehingga terjadi gangguan invasi plasenta yang
akan menyebabkan perfusi uteroplasenta yang buruk. Invasi trofoblas yang tidak adekuat
akan meyebabkan terjadinya komplikasi-komplikasi kehamilan seperti preeklampsia,
PJT, Abortus berulang, solutio plasenta sedangkan proses invasi yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta, perkreta, inkreta, penyakit trofoblas
gestasional, choriocarcinoma9,10
11
d. Diameter Biparietal (BPD). Metode ini menunjukkan 2 pola yang nyata pada
gangguan pertumbuhan janin. Slow growth profile dimana pertumbuhan BPD selalu
di bawah 10 persentil dari usia kehamilan. Sedangkan late flattening profile yaitu
pertumbuhan BPD yang normal selama dua trimester pertama diikuti berhentinya
pertumbuhan selama trimester terakhir. Sensitifitas dan spesifisitas pengukuran BPD
serial terlalu rendah sebagai metode primer untuk mengevaluasi janin kecil karena
kepala adalah organ terakhir yang terpengaruh oleh malnutrisi janin
e. Estimasi berat janin ( Estimated Fetal Weight /EFW) dan Abdominal
Circumference (AC). Tingkat pertumbuhan lingkar perut tidak terpengaruh usia
gestasi. Bila tingkat pertumbuhan < 1 cm dalam 2 minggu menunjukkan PJT. AC
mempunyai nilai prediksi negatif 99%. Pada KRT AC<10 persentil untuk
memprediksi luaran perinatal yang jelek
f. Rasio lingkar kepala dan perut (H/A ratio). Membandingkan organ yang paling
akhir dipengaruhi malnutrisi janin, yaitu otak, dengan yang paling mudah
terpengaruh, yaitu hati, dan memiliki nilai yang signifikan dalam mengidentifikasi
bayi PJT asimetris. AC diukur setinggi bifurkasio vena hepatika pada pusat hati janin.
Lingkar kepala diukur setinggi thalamus. Keuntungan menggunakan lingkar kepala
daripada BPD adalah efek molding diminimalkan.
g. Rasio Femur-abdomen (F/A ratio). Membandingkan panjang femur (FL) yang
minimal dipengaruhi gangguan pertumbuhan janin, dengan lingkar perut (AC) yang
sangat dipengaruhi oleh gangguan pertumbuhan janin. FL cukup mudah diukur dan
tidak terpengaruh molding atau presentasi atau letak janin yang tidak normal. Rasio
F/A tetap konstan setelah kehamilan 20 minggu. Nilai normalnya adalah 22 + 2. Bila
kelainan rasio F/A cukup tinggi, harus dicurigai kuat adanya malnutrisi janin. Jika
rasio F/A normal, janin mungkin kecil dan sehat atau menderita PJT simetri tetapi
tidak mengalami malnutrisi berat.
h. Indeks Timbangan bayi (Fetal Ponderal Index / PI). PI diukur dengan membagi
perkiraan berat janin dengan 3 kali panjang femur. Nilai normalnya adalah 8.325 +
2.5 (2 SD). PI tidak terpengaruh usia gestasi dan memiliki nilai konstan pada
pertengahan akhir kehamilan.
i. Volume air ketuban (AFV) dengan menentukan indeks cairan amnion (Amniotic
Fluid Index / AFI), yaitu dengan teknik 4 kuadran. Disebut oligohidramnion jika AFI
kurang dari 5. Oligohidramnion adalah tanda akhir terjadinya malnutrisi
12
janin.Pemeriksaan AFI dilakukan setiap minggu atau 2 kali seminggu tergantung
berat ringannya PJT.
j. Analisa Doppler (Doppler Velocimetry). Gelombang Doppler digunakan untuk
melihat hambatan aliran darah ke janin yaitu kelainan vaskuler plasenta, yang dapat
dinilai antara lain arteri serebri media (ASM/MCA), rasio serebroplasenta (RSP) /
Cerebroplacental ratio (CPR), vena umbilikalis (VU), dan duktus venosus (DV)
Arantii. (Figueras dan Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 )
3.1.7 Penatalaksanaan
Bila janin sudah didiagnosis mengalami PJT, maka harus disiapkan pengawasan
perinatal janin dan waktu terminasi yang optimal. Pengawasan ante partum yang
diperlukan antara lain:7,9,10
a. Non Stress Test (NST). Merupakan tes terpenting, karena menentukan apakah
keadaan janin berbahaya atau tidak. Penurunan variabilitas denyut jantung janin,
hilangnya reaktivitas, kurangnya akselerasi, dan timbulnya deselerasi variabel,
merupakan tanda-tanda lemahnya pertahanan janin dan terminasi perlu segera
dilakukan. NST dilakukan antara seminggu sekali sampai tiap hari tergantung keadaan
klinisnya. Indikasi NST tiap hari adalah PJT berat dengan rasio S/D > 6.
b. Contraction Stress Test (CST) dan Biophisic Score (BPS) / Biophysical profile
(BPP), dapat digunakan pada NST abnormal. Bila hasilnya fetal compromise maka
harus terminasi segera. Pada keadaan dimana tidak terdapat tes-tes pelengkap ini,
maka NST cukup untuk memutuskan terminasi kehamilan segera.
c. Volume cairan amnion, penting untuk mengetahui perkembangan janin PJT.
Sebaiknya dilakukan tiap minggu dan frekuensi NST ditingkatkan bila terjadi
penurunan jumlah cairan amnion. Kriteria USG terpenting yang menunjukkan fetal
compromise adalah oligohidramnion.
d. Amniosentesis, pada janin PJT sebaiknya dilakukan tiap minggu mulai usia
kehamilan 36 minggu dan kehamilan segera diakhiri jika paru-paru telah matur.
e. Cordosentesis. Sampel darah korda umbilikalis jarang diindikasikan untuk PJT.
Terutama adalah kecurigaan defek kromosom sehingga diperlukan penentuan
kariotipe janin. Ada pula yang menyarankan pemeriksaan ini untuk mengetahui
tingkat hipoksia dan asidosis janin. Nicolini dkk justru menemukan bahwa sampling
korda umbilikalis berbahaya bagi janin PJT, karena sering mengalami bradikardi
yang lama dan berat saat prosedur ini.
13
Manajemen persalinan merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan janin
PJT. Hal ini disebabkan karena selain defek kongenital, asfiksia intra partum merupakan
penyebab utama morbiditas perinatal janin PJT. Pada kasus PJT harus segera dilakukan
terminasi kehamilan bila ditemukan 9,10:
a. Rasio FL/AC biometri ≥ 26, janin termasuk PJT berat.
b. Doppler velocimetri arteri atau vena umbilikalis (PI ≥ 1,8) yang disertai AEDF/REDF
c. AFI ≤ 4
d. BPS memburuk
e. KTG : deselerasi lambat
f. Tambahan : Doppler a.uterina, MCA,DV
Dilakukan terminasi mutlak bila : a,b, dan c terpenuhi.
Penatalaksanaan kasus PJT juga berdasarkan usia kehamilan, yaitu 10:
a. ≥ 37 minggu : terminasi kehamilan dengan seksio sesaria atau pervaginam bila
Bishop score ≥ 5.
b. 32-36 minggu : konservatif selama 10 hari dapat berlangsung lebih dari 50% kasus
PJT terutama preeklampsia.
c. < 32 minggu : perawatan konservatif tidak menjanjikan, sebagian besar kasus
berakhir dengan terminasi.
Bila pertumbuhan janin masih berlangsung, terminasi pada kehamilan 38 minggu.
Namun, bila pertumbuhan janin tidak ada dan maturitas paru cukup (biasanya pada
kehamilan 35 minggu) dilakukan terminasi dengan cara :
a. Janin reaktif : Induksi persalinan didahului dengan pematangan serviks
b. Janin non reaktif atau terdapat gejala gawat janin : seksio sesarea
c. Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk perabdominan.
Bila surveillance janin abnormal pada usia kehamilan kurang dari 38 minggu
maka harus diperiksa rasio lecitin/spingomielin air ketuban. Bila paru janin telah matang
(L/S ≥ 2) maka dilakukan terminasi kehamilan apabila : 1) uji beban kontraksi positif, 2)
oligohidramnion, 3) BPD tidak bertambah lagi (risiko tinggi disfungsi otak janin). 7,10
14
beberapa organ yang umumnya menjadi tempat perlengketan seperti dada
(rhoracopagus) dan parapagus. Parapagus berasal dari basaha Yunani dimana ‘para’
berarti ‘sisi’ dan ‘pagus’ berarti ‘fiksasi’, bila digabungkan parapagus memiliki
makna perlengketan di bagian sisi Salah satu kasusnya yaitu dicephalic parapagus
dimana terdapat satu tubuh namun dengan dua kepala. 1,2
a. Cephalopagus : jika terdapat perlengketan dari kepala sampai umbilikus. Akan ada
dua wajah namun satu wajah akan memiliki bentuk yang tidak proposional. Bagian
bawah abdomen dan pelvis tidak menyatu, sehingga akan ada empat tangan dan
empat kaki
b. Thoracopagus : Penyatuan terjadi pada thoraks sampai umbilikus. Penyatuan ini
pasti melibatkan jantung. Pelvis tidak menyatu, akan ada empat tangan dan empat
kaki
c. Omphalopagus : Janin bersatu pada daerah umbilikus dengan posisi berhadapan .
Penyatuan mungkin akan melibatkan bagian bawah thoraks namun tidak akan
memengaruhi jantung
d. Ishiopagus : Penyatuan terjadi pada umbilikus sampai pelvis dengan dua sakrum
dan dua simfisis pubis.
15
e. Craniopagus : Penyatuan terjadi semua bagian pada tengkorak kecuali wajah dan
foramen magnum.
f. Pyopagus : Sacrocicygeal dan regio perineal menyatu, biasanya dengan satu anus
namun dua rectum, empat tangan , dan empat kaki
g. Rachipagus : Penyatuan di atas sacrum, hal ini akan memengaruhi kondisi vertebra
3.2.4 Diagnosis
Menegakkan diagnosis kembar siam merupakan tantangan tersendiri bagi para
tenaga kesehatan. Diagnosis dini janin kembar siam dapat meminimalisir cedera
yang ditimbulkan pada saat persaina nkelak dengan berbagai perencanaan yang
sesuai. Dari anamnesis tidak akan ada keluhan khas yang menandakan adanya janin
kembar siam. Keluhan yang mungkin disampaikan adalah hamil besar dimana
umumnya terjadi pada kehamilan janin kembar biasa. Diagnosis baru dapat
ditegakkan ketika pemeriksaan USG dilakukan. Deteksi janin kembar siam dapat
16
dimulai pada usia gestasi 10 minggu. Pada trimester awal dengan usia gestasi 9-12
minggu, kondisi janin dengan dicephalic dapat terdeteksi juga dengan USG
transvaginal1,3,11
Gambar 1. Gambaran dicephalic pada hasil USG dengan usia gestasi 18 minggu
3.2.6 Tatalaksana
Persalinan pervaginam sebaiknya dihindari karena memungkinkan terjadinya
banyak komplikasi seperti distosia uteina, ruptur uterin, atau cedera jaringan lunak.
Ketika janin kembar siam dapat dideteksi dini, sectio cesaria menjadi pilihan utama
untuk menghindari trauma maternal dan memfasilitasi penanganan bayi yang lebih
cepat. Persalinan pervaginam dapat dipertimbangkan pada kondisi janin yang kecil,
prematur, janin mati, dan terminasi kehamilan sebelum 24 minggu. Saat persalinan
pervaginam pun berbagai manuver seperti craniotomy, decapitasi, eviserasi, atau
amputasi harus dipersiapkan untuk mengatasi kemungkinan terhambatnya persalinan.
Terdapat berbagai dilema dalam tatalaksana kembar siam setelah proses
persalinan. Terapi operatif tidak perlu dilakukan sesegera mungkin, biasana akan
17
menunggu usia bayi menuju balita untuk memungkinkan proses evaluasi yang lebih
teliti. Dalam situasi tertentu, intervensi diperlukan selama 24 jam pertama. Beberapa
bayi tidak dapat bertahan dalam 24 jam pertama sehingga penjelasan kepada orang
tua merupakan tatalaksana yang penting.
Dalam terapi definitif terdapat tiga pilihan yaitu
a. Melepas life support sehingga secara perlahan membiarkan kedua bayi meninggal
b. Memisahkan si kembar dengan kemungkinan salah satu akan meninggal
c. Membiarkan kembar siam tersebut tetap hidup seperti itu sepanjang hidupnya
Semua proses tatalaksana harus melibakan orang tua.
3.3.2 Epidemiologi
Angka kejadian perdarahan postpartum memiliki tren yang kian meningkat.
Pada tahun 2013 di Amerika terdapat 17,3 kematian per 100.000 kelahiran. Dari
angka tersebut 11,4% kematian disebabkan perdarahan postpartum. Angka
perdarahan postpartum meningkat dari 1,5% pada taun 1999 menjadi 4,1% pada
tahun 2009. Seiring dengan meningkatnya angka tersebut, angka kejadian atonia
uteri pun menigkat dari angka 1% menuju 3,4% 7,12
3.3.3 Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan atonia uteri adalah 7,12:
a. Regangan rahim berlebihan yang diakibatkan kehamilan gemeli, polihidramnion,
atau bayi terlalu besar
b. Kehamilan grande multipara
c. Kelelahan persalinan lama
d. Ibu dengan anemis atau menderita penyakit menahun
e. Infeksi intra uterin
18
f. Mioma uteri : menimbulkan gangguan dalam kemapuan kontraksi uterus
g. Ada riwayat atonia uteri pada persalinan sebelumnya
3.3.4 Patofisiologi
Miometrium terdiri dari tiga lapisan
dan lapisan tengah merupakan bagian
yang terpenting dalam hal kontraksi untuk
menghentikan perdarahan postpartum,
lapisan tengah miometrium tersusun
sebagai anyaman dan ditembus oleh
pembuluh darah. $asing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan
sehingga setiap dua buah serabut kira-kira
membentuk angka delapan. %etelah partus, dengan adanya susunan otot seperti
diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan
miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus
tetap vasodilatasi sehingga terjadinya perdarahan postpartum7,9
3.3.5 Diagnosis
Setelah bayi dan plasenta lahir, cek perdarahan. Jika perdarahan aktif, banyak,
dan bergumpal, lakukan pemeriksaan fundus uteri. Pada atonia uteri, fundus uteri
akan teraba masih setinggi pusat dengan kontraksi yang tidak adekuat. Setelah
terdiagnosis atonia uteri, hitung estimasi perdarahan dan pertimbangkan untuk
pemberian transfusi. 7,9,1
3.3.6 Tatalaksana
a. Pemijatan uterus
b. Oksitosin dapat diberikan
c. Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan transfusi sesuai kebutuhan, jika
perdarahan terus berlangsung, memastikan plasenta lahir lengkap, jika terdapat
tanda-tanda sisa plasenta, sisa plasenta tersebut dikeluarkan, uji pembekuan darah
sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan darah setelah 7 menit atau adanya
bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukan adanya koagulopati.
19
d. Jika perdarahan terus berlangsung kompresi bimanual internal atau kompresi aorta
abdominalis.
e. Jika perdarahan masih berlangsung setelah dilakukan kompresi, ligasi arteri
uterina dan ovarika, histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
f. Pilihan terakhir setelah ligasi dan sebelum histerektomi adalah jahitan kompresi
uterus dengan teknik B-Lynch
B-Lynch
Beberapa modifikasi dari jahitan B-Lynch juga telah banyak digunakan. Salah
satunya adalah jahitan safety pin. Prinsipnya hampir sama dengan jahitan BLynch,
yang berbeda adalah safety pin menjahit satu per satu sisi uterus. Dimulai dari titik
20
yang sama dengan BLynch, dilakukan insisi langsung ke bagian posterior uterus,
dilanjutkan menyusuri uterus secara vertikal dari posterior ke anterior dan berhenti di
bagian 4-5 cm di bawah fundus anterior. Lakukan insisi dari area fundus anterior ke
fundus posterior. Setelah itu, lakukan insisi kembali dari area fundus posterior ke
fundus anterior, sehingga kedua ujung jahitan dapat bertemu di anterior. Kencangkan
kemudian ikat, lakukan jahitan yang sama pada bagian kiri uterus 7,12
21
BAB IV
ANALISIS KASUS
22
masih belum adekuat. Setelah kompresi bimanual dan sebelum memutuskan untuk
histerektomi, masih ada opsi untuk dilakukan jahitan B-Lynch. Maka dari itu diputuskan
lah untuk dilakukan jahitan B-Lynch pada pasien dengan PEA no 1.0. B-Lynch ini
bertujuan untuk mengkompresi uterus melalui jahitan sehingga menstimulus kontraksi
pada uterus. Kemudian setelah diobservasi, kontraksi uterus membaik. Pasien kemudian di
rawat inap denganobservasi ttv, kontraksi, dan perdarahan. Diberikan infus RL + Oksitosin
gtt xx untuk menjaga kontraksi uterus tetap adekuat. Cateter menetap sampai 24 jam,
mobilisasi bertahap, ASI on demand, dan vulva hygiene.
23
DAFTAR PUSTAKA
24