Biofarmasetika: Farmakodinamika) Efek
Biofarmasetika: Farmakodinamika) Efek
I. PENGERTIAN
Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara
sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi
sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien”. Perbedaan sifat fisiko kimia dari
sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan
perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku
(ester , garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai
suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari
sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang
sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat
dari tubuh.
Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam tubuh,
yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam
garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase Biofarmasi,
Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika.
Dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet
yaitu :
• Tablet dengan Zat Aktif (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah,
zat aktif lepas dan larut Obat tersedia untuk resorpsi Absorpsi,
Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE FARMAKOKINETIKA) Obat
tersedia untuk bekerja Interaksi dengan reseptor di tempat kerja (FASE
FARMAKODINAMIKA) EFEK.
Pada makalah ini hanya akan dijelaskan fase biofarmasi saja yaitu fase
pelepasan senyawa aktif obat dari sediaannya hingga senyawa aktif tersebut di absorbsi
oleh tubuh.
II. BENTUK SEDIAAN OBAT
I. Sediaan Peroral
- Larutan - Kapsul
- Suspensi - Tablet
- Emulsi
II. Sediaan Rektal dan Vaginal
III. Sediaan Parenteral
- Intravena
- Intramuskular
- Subkutan
IV. Sediaan Topikal dan Transdermal
V. Sediaan Respiratori
VI. Sediaan Mata
6. Formulasi
Bahan tambahan (eksipien) ditambahkan dalam suatu produk dapat
mempengaruhi absorpsi obat.
• Menaikkan kelarutan obat, menaikkan laju absorpsi obat
• Menaikkan waktu penahan obat dalam saluran cerna, hingga dapat
menaikkan jumlah obat yang terabsorpsi
• Menaikkan difusi obat melintasi dinding usus
• Memperlambat pelarutan (disolusi), menurunkan absorpsi obat.
VII. KELARUTAN
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu konsentrasi zat
terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan
dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.
Misalnya 1 gr asam salisilat akan larut dalam 550 ml air. Suatu kelarutan juga dapat
dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen.
Pelepasan zat aktif dari suatu bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya.
Pelepasan zat aktif dari suatu bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain :
• pH
• Temperatur
• Jenis pelarut
• Bentuk dan ukuran partikel zat
• Konstanta dielektrik pelarut
• Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks, ion sejenis dll.
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya adalah
zat organik yang bersifat asam lemah, dimana kelarutannya sangat dipengaruhi oleh pH
pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah seperti barbiturat dan sulfonamide
dalam air akan bertambah dengan naiknya pH karena terbentuk garam yang mudah
larut dalam air. Sedangkan basa-basa organik lemah seperti alkoholida dan anastetika
lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila pH larutan diturunkan dengan
penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam yang mudah larut dalam air.
2. Pengaruh temperatur (suhu)
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada temperatur, titik
leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan suatu zat padat dalam
air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan
semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak
antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi
lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan
zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan menyebabkan kelarutan gas dalam air
berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang terlarut di dalam air akan terlepas
meninggalkan air bila suhu meningkat.
3. Pengaruh jenis pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan
melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan juga
bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari suatu
molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut larut
dalam air.
Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan
hydrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat. Senyawa polar (mempunyai
kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol,
dan semua asam merupakan senyawa polar sehingga mudah larut dalam air yang juga
merupakan senyawa polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam
senyawa nonpolar, misalnya lemak mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar
umumnya tidak larut dalam senyawa polar, misalnya NaCl tidak larut dalam minyak
tanah.
Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut :
• Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam Kristal.
• Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat
amfiprotik.
• Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik antara ion-ion karena
konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan
tidak dapat membentuk jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat melarutkan zat-zat non
polar dengan tekanan internal yang sama melalui induksi antara aksi dipol. Pelarut semi
polar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-molekul pelarut non polar. Ia
bertindak sebagai perantara (Intermediete Solvent) untuk mencampurkan pelarut non
polar dengan non polar.
4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu zat.
Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan
zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila dibandingkan dengan
partikel yang bentuknya simetris.
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar
larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik ini menurut
moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu campuran
pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang
sudahdikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut.
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan
suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar.
Apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah, akan berkumpul pada
permukaan dengan mengorientasikan bagian polar ke arah air dan bagian non polar
kearah udara, surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk agregat
yang dikenal sebagai misel.
VIII. ABSORPSI
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat
kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik.
Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas
obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau
organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran
sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel (Shargel dan Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat
itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan
banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama
adalah cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke
peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk
sediaannya. Secara ringkas
proses biofarmasetik digambarkan dalam gambar 4 (Joenoes, 2002).
Laju penetrasi :
Konstanta Permeabilitas x Luas Permukaan x Perbedaan Konsentrasi
Konstanta permeabilitas :
Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses
penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang
diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat aktif-protein yang
terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini
hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein merupakan faktor yang secara
tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran (Syukri, 2002).
Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan
terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk
tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka
polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi
transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang
dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya faktor-faktor yang
berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul,
pH kompartemen) digarisbawahi dalam “Teori Difusi Non Ionik atau Hipotesa pH
Partisi” (Syukri, 2002).
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa
kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk
elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang
sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung kelarutan bentuk tak
terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi
molekul (Syukri, 2002).
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach)
yaitu:
a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa
c. Tranpor aktif
Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran sangat
berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa
ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran.
Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada
permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri,
2002).
Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu
kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat
terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat
kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi
membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan
konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin
trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002).
Gambar 3. Transpor trans membran transpor aktif (Joenoes, 2002)
Permeabilitas
Suatu senyawa obat untuk dapat memberikan aktivitas harus mampu menembus
membran biologis dan mencapai jaringan target dalam jumlah yang cukup untuk
menimbulkan aktivitas. Parameter sifat fisika kimia yang paling berperan dalam proses
distribusi tersebut adalah parameter lipofilik (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Membran-membran biologis dengan sifat lipoid, biasanya lebih permeabel
terhadap zat-zat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu pengangkutan melewati
membran-membran ini sebagian tergantung pada kelarutan lemak dari jenis zat yang
mendifusi. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat ditentukan oleh adanya gugus-gugus
nonpolar dalam struktur molekul obat tersebut, sebagaimana gugus-gugus yang dapat
terion dipengaruhi oleh pH setempat (Lachman, dkk, 1989).
Sering dikatakan bahwa molekul yang terionisasi tidak menembus membran,
kecuali untuk ion dengan diameter kecil. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
terdapatnya membran karier untuk beberapa ion, yang mana efektif akan melindungi
atau menetralisasi muatan (bentuk pasangan ion). Ketika obat merupakan suatu asam
atau basa lemah, dalam bentuk tak terionisasi, dengan memiliki koefisien partisi
melewati membran biologis lebih cepat daripada bentuk terionisasi, bahwa hanya
bentuk tidak terionisasi yang dikaitkan dengan penembusan membran (Gennaro, 2001).
Koefisien partisi dari obat tergantung pada polaritas dan ukuran dari molekul.
Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak terionisasi, mempunyai
kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan
saja mengurangi kelarutan dalam lemak sangat besar tetapi juga menghalangi
perlintasan melewati membran yang bermuatan (Gennaro, 2001). Umumnya koefisien
partisi lemak/air dari suatu molekul merupakan indeks yang berguna dalam
kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi pasif (Lachman, dkk, 1989).
Koefisien partisi minyak/air merupakan ukuran sifat lipofilik suatu molekul, ini
merupakan rujukan untuk sifat fase hidrofilik atau lipofilik. Koefisien partisi harus
dipertimbangkan dalam pengembangan bahan obat menjadi bentuk obat. Koefisien
partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua fase,
yaitu pelarut organik dan air (Ansel, 1989). Bila molekul semakin larut lemak, maka
koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Tidak
boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila
koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan
hambatan pada proses difusi zat aktif.
Suatu senyawa yang dapat larut dalam dua pelarut yang tidak saling campur
maka senyawa akan terdistribusi ke dalam fase polar (misal: air) dan fase non polar
(misal: oktanol, kloroform, karbontetraklorida). Setelah tercapai kesetimbangan
ternyata kadar senyawa dalam kedua pelarut tersebut selalu tetap (pada suhu yang
tetap) sehingga dapat ditentukan nilai koefisien partisinya (Siswandono dan Soekardjo,
2000). Menurut Nernst,
koefisien partisi dapat disederhanakan sesuai dengan persamaan:
P= Co/Cw atau Log P= log Co – log Cw
Keterangan :
Co : Kadar molal dalam fase non-air
Cw : Kadar molal dalam air, setelah mengalami kesetimbangan partisi (Sardjoko,
1993).
Nilai P : Seringkali dinyatakan dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P 1 setara
dengan nilai P 10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang
mengalami partisi ke dalam pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10
berarti bahwa 10 bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian
berada dalam lapisan air (Rohman, 2007).
Membran Sel
Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang berfungsi untuk memelihara
keutuhan sel, mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang, mengatur
keluar masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma. Membran sel bersifat
semipermeabel dan mempunyai ketebalan total ± 8 nm. Membran sel merupakan
bagian sel yang mengandung komponen-komponen terorganisasi dan dapat berinteraksi
dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis sangat kompleks dan
dapat mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat. Sesudah pemberian secara oral,
obat harus melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem peredaran tertentu,
melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
Membran sel terdiri komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu :
a. Lapisan Lemak Bimolekul
Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan fosfo
lipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin, fosfatidilserin dan
spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak bimolekul dibagi menjadi
dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai hidrokarbon, dan bagian polar
yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus gliserilfosfat fosfolipid
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
b. Protein
Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada
pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampifil karena mengandung gugus hidrofil dan
hidrofob (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
c. Mukopolisakarida
Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak
dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti glikolipid,
atau dengan protein, seperti glikoprotein (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Usus Halus
Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam usus
halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi dan
enzim yang disekresi ke dalam lumennya oleh hati dan pankreas (Fawcett, 1994). Usus
halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum yang
terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam
tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9 m. Panjang
tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot, yang melingkari peritoneum
(Aiache, dkk, 1993).
Gambar 7. Usus Halus (Deferme, et al, 2008)
Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal
abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C, mengitari
kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang terikat pada
dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat digerakkan bebas pada
mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan
ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Kelokan-kelokan jejunum menempati bagian
pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga. Terdapat
perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga segmen usus halus itu, namun batas di
antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis konsentris:
mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Fawcett, 1994). Mukosa terdiri dari
empat lapisan: permukaan lapisan tunggal, membran basal, lamina propia dan lamina
muskularis mukosa (Deferme, et al, 2008). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak
pada bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula
conniventes. Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan
penuh dengan villi yang tingginya 0,75-1 mm dan selalu bergerak. Adanya vili ini lebih
memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40-50 m2 (Aiache,dkk,1993).
Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum dan
bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari
jejunum dan ileum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-6,
jejunum 6-7, ileum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi obat,
sebagai akibat disolusi dari berbagai bentuk sediaannya. Pada pH yang berbeda-beda
absorpsi optimal suatu obat tergantung juga pada pKa obat (Joenoes, 2002).
Kelas solubility didasarkan kepada volume media air yang diperlukan untuk
melarutkan dosis tertinggi obat pada rentang pH 1 – 7.5
Suatu obat dimasukkan dalam “high” soluble, jika dosis tertinggi obat (missal 6
mg) (obat, dosis 2.4 mg dan 6 mg) dalam volume 250 ml air. Sediaan oral padat
pelepasan segera (immediate release, IR) dikelompokkan dalam yagn menunjukkan
kecepatan disolusi cepat dan kecepatan dissolusi lambat. Sediaan IR adalah sediaan
farmasi dimana dissolusi ≥ 85% dari dosis (jumlah pernyataan) pada label obat dalam
waktu 30 menit (Q 30).
Pengujian disolusi harus dilakukan menurut cara UPS Apparatus I pada 100
rpm (atau Apparatus II pada 50 rpm) dalam volume ≤ 900 ml dari medium berikut:
(i) 0.1 N asam hidroklorida atau cairan simulasi lambung USP tanpa enzim
(iii) Pada dapar pH 6.8 atau cairan simulasi intestinal USP tanpa enzim