Anda di halaman 1dari 8

Huga Laverda Habib 110110170090

Salma Nurazizah 110110170102

Hafidz Laksamana Botua 110110170122

Hendry Gian Dynantheo Sitepu 110110170124

Rumondang Marintan Vira 110110170125

Nur Izzah Fadia 110110170126

1. Apa yang dimaksud dengan teori monisme dan dualisme serta bagaimana perbandingan di antara
kedua teori tersebut ?

Aliran monisme dengan primat hukum nasional, ialah hukum internasional itu tidak lain dari
merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar
negeri, atau auszeres Staatsrecht. Aliran ini lahir di Jerman dengan mahzab Bonn (Max Wenzel), yaitu
pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat
hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada
hukum nasional. Alasan utama tanggapan ini ialah :1

 Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-engara
di dunia ini;
 Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional. Paham
monisme dengan primat hukum nasional ini memliki beberapa kelemahan yang cukup gawat.
Kelemahan dasar ialah bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang
tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang
bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar.
Selain dari primat hukum nasional, juga ada paham monisme dengan primat hukum
internasional, hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya
merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini hukum
nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya berkekuatan mengikatnya
berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Melihat dari kesamaan
keduanya yang dimana hukum internasional dan hukum nasional menjadi suatu kesatuan logis yang
hubungan hukum mereka satu sama lain dengan aturan hukum internasional, seperti peletakan
kesetaraan, karena negara tidak bisa sama di depan hukum tanpa aturan itu, yang kemudian bahwa
hukum internasional lebih unggul atau lebih mendasar daripada hukum nasional.2

1
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung : P.T. Alumni. Hlm.
60-61.
2
Malcolm N. Shaw. 2008. International Law, Sixth Edition. Cambridge. Hlm.132.

1
Paham dualisme, menekankan bahwa aturan sistem hukum internasional dan hukum nasional ada
secara terpisah dan tidak bisa mengaku memiliki efek atau mengesampingkan yang lain3. Aliran
dualisme ialah paham yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber
pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan utama tanggapan ini ialah :4

 Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai
sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum
internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
 Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional ialah
orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik,
sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara;
 Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan
dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya
seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan
hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas
kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh
kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum intenraisonal. Dengan
perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun
bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.
Mengenai perbandingan kedua aliran ini, aliran dualisme mengemukakan bahwa antara hukum
nasional dengan hukum internasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda satu dengan yang
lain. Perbandingan yang dimaksud adalah :5
1. Subjek, subjek hukum internasional negara negara sedangkan hukum nasional subjeknya adalah
individu;
2. Sumber hukum, hukum internasional bersumberkan pada kehendak bersama negara adapun
hukum nasional bersumberkan pada kehendak negara;
3. Hukum nasional memiliki intergritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum
internasional.

Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional menurut Anzilotti dapat ditarik
dari dual prinsip yang fundamental. Hukum nasional mendasarkan diri pada prinsip bahwa aturan
negara (state legislation) harus dipatuhi, sedangkan hukum internasional mendasarkan pada prinsip
bahwa perjanjian antar negara harus dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda, karena
antara hukum internasional dengan hukum nasional terpisah sama sekali, merupakan dua sistem
hukum yang berbeda maka permasalahan yang muncul bukan masalah hierarki, mana yang harus
diutamakan terlebih dahulu bila terjadi konflik antar keduanya, melainkan masalah transformasi.
Hukum nasional hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan dalam hukum nasional, demikian
juga sebaliknya.6

3
Ibid. Hlm. 131.
4
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes. Op.Cit. Hlm.57-58.
5
Sefriani. 2014. Hukum Internasional. Depok : Rajawali. Cet.ke-4. Hlm.87.
6
Ibid. Hlm.87-88.

2
2. Bagaimana penerapan hukum internasional dalam hukum nasional berdasarkan praktik
beberapa negara, khususnya praktik yang berlaku di Inggris dan Amerika Serikat

Dewasa ini, hukum internasional dalam sistem hukum nasional dapat berdampingan tanpa
mengenyampingkan satu sama lain. Bahkan justru dalam praktiknya negara-negara cenderung lebih
menaati kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian dengan negara-negara lain. Ketentuan-
ketentuan hukum internasional lain yang juga mempunyai kewibawaan dalam hukum nasional adalah
ketentuan mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik serta perlakuan terhadap orang
asing dan hal milik orang asing.

Inggris menganut doktrin bahwa hukum internasional adalah hukum negara (international law is the
law of the land). Ajaran ini dikenal dengan nama doktrin inkoporasi (incorporation doctrine). Di Inggris
ada dua kaidah hukum internasional yaitu, hukum kebiasaan internasional dan hukum perjanjian
internasional.

Praktik di Inggris menganggap hukum kebiasaan internasional sebagai bagian dari hukum nasional
sehingga dapat diberlakukan di Pengadilan Inggris, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut7:

a. Ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Inggris, baik yang telah
lebih dulu ada maupun yang sesudahnya

b. Ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan yang telah diterima dalam keputusan pengadilan


Inggris akan mengikat pengadilan-pengadilan sesudahnya. Meskipun kemudian ketentuan-ketentuan
hukum kebiasaaan internasional itu berubah

Selain itu, Kebijakan publik yang berlaku di Inggris bahwa pengadilan wajib menyatakan secara jelas
aturan-aturan hukum internasional yang berlaku. Mereka yang berpandangan dualist-positivist
menganggap apabila hukum internasional hendak diterapkan ke dalam hukum nasional maka harus
melewati proses yang dinamakan proses transformasi8. Yang mana menjelaskan bahwa setiap hukum
internasional yang hendak diberlakukan bagi masyarakat Inggris, haruslah diubah atau diratifikasi
menjadi hukum nasional terlebih dahulu sebelum diterapkan. Dan proses ratifikasi ini harus melewati
berbagai macam persetujuan salah satunya melalui konsesus atau kesepakatan antara parlemen.

Menurut praktik di Inggris perjanjian internasional berikut yang memerlukan adanya persetujuan
Parlemen dan memerlukan pengundangan nasional secara intern:

a. Yang memerlukan diadakannya perubahan dalam undang-undang nasional.

b. Yang mengakibatkannya perubahan dalam status atau garis batas wilayah negara.

c. Yang mempengaruhi hak sipil kaula negara Inggris atau perlu adanya penambahan wewenang atau
kekuasaan pada Raja atau Ratu Inggris.

d. Menambah beban keuangan secara langsung atau tidak pada pemerintahan Inggris9.

Hubungan antara hukum nasional dan hukum perjanjian internasinoal yang menentukan adalah
ketentuan Konstitusi Amerika Serikat bukan perimbangan antara hak dan wewenang eksekutif dan
parlemen seperti di Inggris yang berdasarkan praktik dan kebiasaan. Yang menentukan ialah
pembedaan yang dibuat berdasarkan keputusan pengadilan di Amerika Serikat antara self executing
dan non-self executing treaties. Di dalam praktik Amerika Serikat, apabila suatu perjanjian
internasional itu tidak bertentangan dengan Konstitusi dan termasuk golongan perjanjian yang self
executing, maka isi perjanjian demikian dianggap menjadi bagian dari pada hukum yang berlaku di
Amerika Serikat tanpa memerlukan pengundangan melalui perundang-undangan nasional.

7
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Vol. 5 No. 3, April
2008, hal. 513
8
Malcolm Shaw, International Law, Sixth Edition. Cambridge. Hal. 139
9
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. PT. Alumni. 2003.Hlm. 81-84

3
Sebaliknya perjanjian yang tidak termasuk golongan yang berlaku dengan sendirinya baru dianggap
mengikat pengadilan-pengadilan yang menjadikannya berlaku sebagai hukum.

Pendirian kaku tersebut dapat menimbulkan situasi yang aneh dan penuh kontradiksi. Hal ini dapat
dikenal dengan Bricker Amendment. Dalam mengkaji praktik di Amerika Serikat harus diperhatikan
pembedaan antara treaties dan executive agreements.

Jika dibandingan praktik di Inggris dan di Amerika Serikat dapat disimpulkan bahwa praktik di Inggris
menunjukan suatu cara untuk memecahkan persoalan hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional dengan cara yang lebih fleksibel dan pragmatis walaupun keduanya menganut sama-
sama menganut doktrin inkorporasi10.

Pendekatan inkorporasi kemudian oleh Amerika dimodifikasi sehingga menempatkan hukum


internasional menjadi bagian dari hukum nasional Amerika, namun harus melalui proses administrasi
di pengadilan agar hukum internasional tersebut dinasionalisasikan menjadi hukum nasional. Hukum
kebiasaan internasional yang diterapkan di Amerika Serikat didasarkan pada hukum negara bagian
yang dibawahi oleh hukum nasional Amerika. Namun, di Amerika tidak semua hukum internasional
diratifikasi menjadi hukum nasional dikarenakan banyak norma-norma internasional yang tidak sejalan
dengan norma-norma yang terjadi di dalam masyarakat Amerika. Belum lagi sistem peradilan di
Amerika yang mengedepankan asas preseden, atau melihat putusan hakim-hakim sebelumnya sebagai
pertimbangan dalam menciptakan aturan hukum baru. Sehingga hal ini menyebabkan tidak terlalu
banyak aturan hukum internasional yang benar-benar diadopsi seutuhnya oleh Amerika, karena dalam
proses ratifikasi dan pembentukan di tahap peradilan, hanya sebagian aturan yang berhasil
diundangkan karena dianggap sesuai dengan norma-norma masyarakat Amerika.

10
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hal 85-87.

4
3. Bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional berdasarkan praktik
Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945? Serta, Lakukan analisa pada
Putusan MK No. 33.PUU-IX.2011!

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat ketentuan ketentuan tentang praktik hukum
internasional yang dianut oleh Indonesia sebagaimana telah dijelaskan mengenai praktik hukum
internasional yang tertulis dalam konstitusi Jerman dan Perancis. Namun begitu, hal ini tidak
dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional atas
hukum nasional.11 Karena tidak diaturnya praktik hukum internasional dalam UUD 1945 ini dan
satu-satunya petunjuk didasarkan atas praktik yang bertalian dengan pelaksanaan kewajiban
sebagai peserta beberapa perjanjian internasional.

Indonesia tidak menganut teori transformasi apalagi sistem amerika serikta, Indonesia lebih
condong pada sistem Negara eropa continental, dimana langsung menganggap terikat dalam
kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah
disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksana. Dalam beberapa hal
pengundangan tersebut tidak begitu diperlukan karena masalahnya tidak menyangkut banyak
orang atau persoalannya teknis dan ruang lingkupnya terbatas. Tapi dalam beberapa hal
pengundangan tersebut mutlak diperlukan apabila diperlukan perubahan undang-undang
nasional yang langsung menyangkut hak warga Negara sebagai perorangan.12

Dalam hal ini, UUD 1945 hanya mengatur mengenai tata cara membuat perjanjian
Internasional, sebagaimana tertulis dalam Pasal 11 UUD 1945:

“Pasal 11

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.”

11
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT alumni, 2015),
hlm 87-88
12
Ibid., hlm. 92-94

5
Dalam Putusan MK No. 33.PUU-IX.2011, Dituangkannya pesetujuan “DPR” dalam format undang-
undang/Perpres menimbulkan pertanyaan apakah undang-undang/perpres yang mengesahkan
tersebut berarti formal atau dalam arti material serta bersifat pengaturan (regelling) atau penetapan
(beschicking). Apakah undang-undang/perpres ini bersifat “formal” atau “material” serta
“pengaturan” dan “penetapan” akan memiliki arti konsekuensi yang berbeda dan dapat berimplikasi
pada pemberian warna apakah Indonesia akan menganut monisme atau dualisme.13 Apabila undang-
undang/perpres ini bersifat material yang berarti bahwa berupa pengaturan maka peraturan
perundang-undangan ini adalah mentransformasikan materi muatan yang terdapat dalam perjanjian
internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasional sehingga telah memiliki sifat
normative effect dan perjanjian internasional yang telah ditransformasikan akan diberlakukan sesuai
hukum nasional dalam formatnya undang-undang atau perpres. Maka konstruksi seperti ini
menandakan terdapat pendekatan dualisme.

Pandangan Ahli hukum tata negara pada awal kemerdekaan yang diwakili oleh prof. Utrecht
menegaskan bahwa undang-undang yang mengesahkan perjanjian internasional semata-mata hanya
memuat “persetujuan DPR” dan dengan demikian diartikan sebagai undang-undang dalam arti
formal.14

Dengan adanya Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan yang tidak melakukan pembedaan antara undang-undang biasa dengan undang-undang
pengesahan perjanjian internasional, maka undang-undang pengesahan ini adalah identik atau sama
dengan undang-undang biasa dengan demikian bersifat mengatur.

Dari pemaparan diatas telah terjadi kontradiksi keilmuan yang telah dipaparkan oleh Prof Bagir
Manan yaitu :

“jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, perjanjian internasional ditempatkan
sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain perjajian internasional diberi bentuk perturan
perundang-undangan (undang-undang/peraturan Presiden/ keputusan Presiden).15

Dalam tataran praktikya Piagam ASEAN telah dipengaruhi pandangan yang mengartikan bahwa
undang-undang/perpres yang mengesahkan suatu perjanjian internasional adalah bersifat prosedural,
yaitu beschiking atau penetapan, yang merupakan persetujuan DPR/Presiden dalam bentuk undang-
undang/perpres. Undang-undang/perpres ini tidak memiliki efek normatif karena hanya merupakan
penetapan dan bukan merupakan pengaturan (undang-undang dalam arti material). Selain itu
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa,

“Bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku secara serta merta dengan disahkannya UU 38/2008
pada tanggal 6 November 2008. Hal tersebut terbukti dengan adanya Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter
yang menyatakan, "Member States shall take all necessary measures, including the enactment of

13
Damos Dumoli Agusman, HUKUM PERJANJIANINTERNASIOAL, Kajian Teori dan Praktik Indonesia, refika
ADITAMA, Bandung, 2010, hal 121
14
Ibid, hal 121
15
ibid, hal 123

6
appropriate domestic legislation, to effectively implement the provisions of this Charter and to comply
with all obligations of membership" (Negara-Negara Anggota wajib mengambil langkah-langkah yang
diperlukan, termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai, guna melaksanakan ketentuan
ketentuan dalam Piagam ini secara efektif, dan mematuhi kewajiban-kewajiban keanggotaan)”

Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi diatas terdapat pernyataan yang mengisyaratkan


agar piagam ASEAN dapat berlaku efektik maka diperlukan adanya pengkonversian pasal-pasal yang
ada di dalam piagam ASEAN terhadap hukum nasional Indonesia. Artinya diperlukan proses
pentransformasian perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui proses legilasi nasional.
Pandangan ini yang menganggap undang-undang atau perpres yang mengesahkan perjanjian
internasional hanya sekedar wadah persetujuan DPR/Presiden kepada pemerintah Indonesia untuk
mengikatkan diri pada tataran internasional (ratifikasi eksternal) dan belum mengikat terhadap tataran
nasional atau tataran internal. Tanpa adanya legislasi nasional maka Indonesia hanya terikat dengan
perjanjian internasional dalam kedudukannnya sebagai subyek hukum internasional yaitu negara,
sedangkan warga negara Indonesia tidak terikat dengan perjanjian internasional.

7
DAFTAR PUSTAKA

Agusman Dumos Dumoli, HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONALKajian Teori dan Praktik


Indonesia, refika ADITAMA, Bandung, 2010.

Kusumaatmadja, Mochtar & R. Agoes Etty, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni,
Bandung, 2003.

N. Shaw, Malcolm, International Law, Sixth Edition, Cambridge, 2008.

Sefriani, Hukum Internasional, Rajawali, Depok Cet.ke-4, 2014.

Kamil Ariadno, Melda, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Vol. 5 No. 3,
April 2008.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-empat

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Anda mungkin juga menyukai