Anda di halaman 1dari 7

A Kembali ke komitmen 100% katolik 100% indonesia bukanlah hal sederhana tentang prioritas

waktu karena 100% itu menyatakan keseluruhan populasi dan bila dijumlahkan keduanya adalah
200% akan menjadi tidak berarti karena 100% adalah perbandingan yang menyatakan keseluruhan.
Lalu seperti apakah komitmen itu? Komitmen bisa diartilkan sebagai pemusatan perhatian dan
kontribusi taynpa terhalang oleh kondisi waktu. Artinya dalm kesempatan waktu yang dimiliki,
walaupun terbatas, tetap bisa memberikan kontribusi secara maksimal.

Menjadi nasionalis katolik atau seorang katolik yang tetap berpegang pada identitas nasional
memang bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Seringkali terbatasnya sudut pandang atau sudut
pandang yang sempit menjadi belenggu akan terciptanya katolik indonesia. Tidak dipungkiri dengan
masuk ke dalam zona nyaman, kita sulit untuk keluar dan menjalin hubungan dengan komunitas
seiman maupun lintas iman. Hal ini disayangkan karena kita tidak menjadi garam dan terang bagi
lingkungan kita.

Kata-kata “100% Katolik 100% Indonesia” merupakan salah satu slogan yang sering digunakan oleh
Gereja Katolik Indonesia, merenungkan bagaimana menyikapi iman sebagai umat Katolik tanpa
mengabaikan identitas diri sebagai Bangsa Indonesia, juga sebaliknya.

Kitapun sebagai mahluk yang hidup berdampingan, perlu memelihara tatanan kehidupan
bermasyarakat dalam berbagai aturan hukum. Tapi perlu kepekaan dan hati nurani, yang
menyadarkan kita untuk tidak menawar-nawar, memilih aturan yang berlaku yang menguntungkan
kita sendiri. Kalau masih bisa diatur gak usah bayar pajak. Kalau kepepet, gak perlu lakukan aturan
agama. Hukum agama dan hukum manusia harusnya berjalan berdampingan; seperti koin mata uang
yang dipegang Yesus. Koin saat itu memang ada tulisan lambang kaisar, tapi disisi sebaliknya ada
tulisan tentang sang Pencipta dalam tradisi Rum. Bersatu tapi tidak menempel, terpisah tapi tidak
terlepas satu sama lain.

Semua umat katolik Indonesia hendaknya mencapai kematangan dalam kehidupan iman, harapan
dan cinta kasih. Dan bagaimana kita mampu mengolah keutamaan ilahi itu menjadi pelaku
kemanusiaan dalam hidup berbangsa dan bernegara secara benar. Demikian maksud ungkapan
tersebut, bahwa umat Katolik di Indonesia ini menyandang kewarga-negaraan Indonesia 100% dan
kekatolikan 100%.

Alm Uskup Oscar Romero dengan berani menegur para tentara yang menyerang rakyat sipil El
Salvador dan memperlakukan mereka dengan semena-mena: “Saudaraku, Kalian adalah satu
keluarga, dan engkau membunuh saudaramu sendiri. Tak satupun tentara harus tunduk pada
perintah atasan yang bertentangan dengan kehendak Allah.” Maka kitapun tidak bisa juga
memisahkan dan mengacaukan antara keduanya, melakukan apa yang menjadi kewajiban kita
sebagai warga bangsa sama pentingnya dengan melakukan kewajiban kita kepada Tuhan. Hukum
yang dibuat manusia hendaknya tidak bertentangan dengan hukum Allah. God knows best and never
make any mistake. Kalau hal ini dilanggar, sudah dipastikan chaos yang akan terjadi.

Maka kita mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk membawa bangsa Indonesia
menghayati nilai“bonum commune”, “non violent“, pro rakyat miskin, damai, makmur dan
sejahtera. Kita sebagai umat Katolik tidak boleh duduk santai dan acuh tak acuh, bahkan melarikan
diri dari permasalahan jalannya ketatanegaraan yang tidak karuwan dan yang mengakibatkan
masyarakat kebanyakan mendertia baik secara fisik, psikis maupun rohani. Semoga..(ard)
Agama memiliki perspektif konstruktif tentang cinta tanah air, dengan demikian tidak perlu
diragukan lagi bahwa semua warga negara, apapun agamanya, memiliki kewajiban yang
sama yaitu harus menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI. Dalam tulisan ini disampaikan
sejumlah dalil-dalil agama tentang Bela Negara yang telah tertuang dalam masing-masing
kitab suci.

Katolik dan Kristen pun mengajarkan dalam kitab suci mereka, Injil, untuk mencintai tanah
air dan Bela Negara. Beberapa dalil dalam injil pun disebutkan tentang kewajiban umat
Kristiani untuk tunduk pada Pemerintah. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

"Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada
pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan
oleh Allah."(Roma, 13:1)

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah
apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (Mat 22:21)

"Engkau tidak memiliki kuasa apa pun atas diri-Ku, kecuali kuasa itu diberikan kepadamu
dari atas. Itulah sebabnya, orang yang menyerahkan Aku kepadamu lebih besar
dosanya." (Yohannes, 19:11)

"Sebab dari Tuhanlah kamu diberi kekuasaan dan pemerintahan datang dari Yang
Mahatinggi, yang akan memeriksa segala pekerjaanmu serta menyelami rencanamu." (Keb
6:3)

Sejumlah tokoh Katolik memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat di atas sebagai Tuhan,
sang Pencipta keteraturan sosial, menciptakan manusia sebagai mahluk yang perlu untuk
hidup dan berkembang di dalam komunitas, dan karenanya memampukannya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dengan baik.

Bahkan, Konsili Vatikan II menyatakan, "Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah
mempunyai dasarnya pada kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan
oleh Allah. Sedangkan penentuan sistim pemerintahan dan penunjukan para pejabat
pemerintah hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para
warganegara." (Vatikan II tentang Gereja dan dunia modern, Gaudium et Spes, 74)

Justru karena tatanan tersebut (otoritas sipil) berasal dari Allah, maka ketika otoritas tersebut
ingin mencapai kebaikan bersama, dan dilakukan di dalam batas-batas keteraturan moral,
maka otoritas tersebut harus ditaati di dalam nurani. Kegagalan untuk menaatinya adalah
pelanggaran terhadap perintah ke-4 dalam ke 10 Perintah Allah (Hormatilah orang tuamu),
seperti yang dijelaskan oleh St. Thomas Aquinnas.

ebagai bangsa merdeka, umat Katolik KAS perlu menjadi umat Katolik ‘bajik’
sebagai perwujudan cinta akan tanah air, untuk menjadikan bangsa Indonesia
dihargai, dan berarti,” kata Uskup Agung Pujasurmata dalam Surat Gembala
menyambut Hari Kermedekaan RI ke-66, yang dikeluarkan 10 Agustus.

“Umat Katolik ‘bajik’ akan selalu menghadirkan Kerajaan Allah dalam segala
situasi, dan menjadi pelaku perubahan untuk menuju kebajikan. Perubahan
menuju kebajikan adalah suatu bentuk kesadaran dan kepedulian akan tanda-
tanda perubahan zaman dalam terang Injil, seperti yang diamanatkan dalam
Ajaran Sosial Gereja,” kata Uskup Agung itu.

Sebagai orang beriman, kata prelatus itu, umat menyadari betul bahwa
peristiwa proklamasi kemerdekaan, bukanlah sekedar peristiwa sejarah
bangsa, tetapi peristiwa sejarah keselamatan, karena dalam peristiwa
tersebut Allah menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang Mahaesa,
pemersatu, dan pembebas yang mengantar bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan.

Sekjen Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu mengatakan sepanjang


kurun waktu 66 tahun, hanya cinta akan tanah airlah yang membuat bangsa
ini mampu tegak berdiri menyongsong kehidupan yang lebih baik.

“Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang adalah bagian tak terpisahkan


dari bangsa Indonesia yang majemuk, dalam budaya dan suku bangsa,
dengan beragam agama dan kepercayaan yang dianut,” tambahnya.

Menurutnya, tidak selamanya hidup bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara dipahami sebagai proses dinamis yang membutuhkan sikap saling
mengasihi dan menghormati. Sebaliknya, berbagai gejolak dinamika dalam
masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini membuat kita merenungkan
lebih dalam, peran dan kontribusi umat Katolik.

Solidaritas juga perlu dilakukan dan hal itu telah dinyatakan dalam Arah Dasar
KAS 2011-2015. “Kita umat Allah KAS adalah persekutuan paguyuban-
paguyuban murid-murid Yesus Kristus, yang dalam bimbingan Roh Kudus,
berupaya menghadirkan Kerajaan Allah sehingga semakin signifikan dan
relevan bagi warganya dan masyarakat,” tambahnya.
Di Indonesia ini, ada yang menyebut kecintaan terhadap tanah air sebagai Patriotisme, ada juga yang
menyebutnya Nasionalisme. Ada juga yang menyebutkan perasaan cinta yang timbul dari perasaan
satu keturunan, senasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah airnya sebagai Nasionalisme. Sementara
itu, jiwa dan semangat cinta tanah air berupa sikap rela berkorban bagi bangsa dan tanah air disebut
Patriotisme.

Kemudian muncul juga pembedaan dalam istilah Nasionalisme itu, yaitu Nasionalisme dalam arti
sempit dan Nasionalisme dalam arti luas. Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang
meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya.
Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sedangkan
dalam arti luas, Nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa
dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Menurut Gereja Katolik, terdapat perbedaan yang tegas antara Patriotisme dengan Nasionalisme.
Tahun lalu, sehari sesudah 17 Agustus 2012, saya membuat artikel tentang Patriotisme dan
Nasionalisme Menurut Gereja Katolik. Saya kutipkan 5 pernyataan mengenai Patriotisme dan
Nasionalisme.

“Cintai negaramu sendiri: adalah kebajikan Kristiani untuk menjadi patriotik. Tetapi bila patriotisme
menjadi nasionalisme yang membawamu melihat kepada orang lain, kepada negara lain dengan
acuh tak acuh, cemoohan tanpa kemurahan hati dan keadilan Kristiani, maka itu adalah dosa.” – St.
Josemaria Escriva
“Negara kita, salah atau benar! Ketika [negara kita] benar, jagalah agar tetap benar; ketika[negara
kita] salah, jadikanlah supayabenar! Itu adalah suara patriotisme yang merupakan sebuah kebajikan
Kristiani. Nasionalisme, yang adalah kesombongan dalam skala publik, adalah tidak sesuai dengan
iman Katolik.” – Romo John Jay Hughes

“Sebagai seorang Katolik, kita dipanggil untuk menjadi patriot sejati, bukan nasionalis. Gereja Katolik
adalah universal, dan dengan demikian meliputi semua negara. Demikian, orang Katolik mencintai
negaranya tetapi tahu bahwa warga negara lain juga adalah anak-anak terkasih dari satu Allah kita.”
– Our Sunday Visitor, Majalah Katolik

“Patriotisme, sebagai salah satu jenis cinta, adalah sesuatu yang baik. Patriotisme harus
dikontraskan dengan nasionalisme yang timbul bukan dari cinta melainkan dari kesombongan.
Seorang patriotik mencintai negara apa adanya negara itu, sementara nasionalis berpikir bahwa
negaranya adalah "yang terbaik" dari pada yang lain. Sebagai seorang Katolik, kita hendaknya
mengembangkan patriotisme dan menghindari nasionalisme sama seperti kita mengembangkan
cinta kasih dan menghindari kesombongan.” – Karl Keating, apologet Katolik dan penulis buku
“Katolik dan Fundamentalisme”.

“Nasionalisme melibatkan pengakuan dan pengejaran kebaikan bangsa sendiri saja tanpa
menghormati hak-hak orang lain; patriotisme di sisi lain adalah cinta terhadap tanah airnya yang
memberikan hak-hak yang sama dengan hak-hak yang diklaim bagi dirinya sendiri kepada bangsa
lain.” – Paus Beato Yohanes Paulus II

Terlihat bahwa Gereja Katolik memandang patriotisme sebagai kecintaan terhadap tanah air yang
sehat sementara memandang nasionalisme sebagai sikap cinta tanah air yang salah.

Terlepas adanya perbedaan pemaknaan kata dan penggunaan istilah “Patriotisme” dan
“Nasionalisme” antara menurut Gereja Katolik dengan pandangan umum di Indonesia, ada satu poin
penting yang harus dilihat yaitu: Sebagai seorang Katolik dan sebagai seorang Indonesia, kita harus
mencintai bangsa dan tanah air Indonesia kita ini dengan tetap menghormati dan menghargai
bangsa lain.

Alm. Uskup Agung Soegijapranata berkata demikian:

Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang
baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik.
Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam
Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara,
dengan segenap hati. - Soegijapranata, dikutip dalam Subanar (2005, p. 82)
Perhatikan, ada satu hal penting lagi yang harus ditekankan. Cinta kepada tanah air merupakan
kebajikan Kristiani, suatu kewajiban bagi seorang Katolik.

“Kewajiban warga negara ialah bersama para pejabat mengembangkan kesejahteraan umum
masyarakat dalam semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Cinta kepada tanah air
dan pengabdian untuk tanah air adalah kewajiban terima kasih (duty of gratitude) dan sesuai dengan
tata cinta kasih. Ketaatan kepada wewenang yang sah dan kesiagaan untuk kesejahteraan umum
menghendaki agar para warga negara memenuhi tugasnya dalam kehidupan persekutuan negara.” –
Katekismus Gereja Katolik 2239

Dengan kata lain, mencintai tanah air bukanlah sebuah pilihan, bukan sesuatu yang opsional.
Mencintai tanah air adalah kewajiban, sebuah kewajiban yang mengalir berasal dari syukur dan
terima kasih. Gereja Katolik mengajarkan bahwa mencintai tanah air merupakan salah satu wujud
dari perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah. Umat Katolik memiliki kewajiban untuk melayani dan
mencintai orang tuanya, yang telah memberikannya kehidupan dan membesarkannya. Demikian
juga, sebagai “rahim” peradaban dan masyarakat tempat di mana kita dibesarkan, tanah air kita
layak untuk mendapatkan pelayanan dan cinta kita. Sebagai seorang Katolik, kita terikat oleh cinta
kasih untuk melayani dan berkarya bagi kebaikan tanah air Indonesia kita.

Merenungkan Para Pahlawan

Bagaimana cara untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air? Tentu umat sekalian bisa
memikirkan cara masing-masing untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air selama cara-
cara tersebut tidak bertentangan dengan iman dan moral Gereja Katolik. Saya coba mengajukan satu
cara, merenungkan para pahlawan, secara khusus para pahlawan Katolik. Sebagaimana cinta
terhadap Kristus dan Gereja dapat ditumbuhkan melalui membaca, mengenang, merenungkan para
martir Katolik serta dengan menjadikannya teladan dalam mencintai Kristus dan Gereja; maka cinta
terhadap tanah air dapat ditumbuhkan dengan cara yang sama tetapi objek yang berbeda yaitu para
pahlawan.

Kita memiliki Brigadir Jendral (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dari Angkatan Darat, Laksamana
Madya (Anumerta) Yosaphat Soedarso dari Angkatan Laut, dan Marsekal Muda (Anumerta)
Agustinus Adisutjipto dari Angkatan Udara. Kita juga memiliki Mgr. Soegijapranata dan Ignatius
Joseph Kasimo yang perjuangan tanpa senjata mereka telah berdampak besar bagi NKRI. Kita juga
memiliki Wage Rudolf Supratman yang menciptakan Lagu Indonesia Raya dan Cornel Simanjuntak
yang menciptakan lagu “Maju Tak Gentar” yang membakar semangat para Tentara Pelajar
Yogyakarta. Semuanya ini menggambarkan bahwa setiap umat Katolik dapat mencintai tanah airnya
dengan cara khas mereka masing-masing, seturut talenta dan profesi mereka masing-masing.
Seorang dokter mencintai tanah air dengan melayani orang-orang miskin di Indonesia, seorang
Katolik mencintai tanah air dengan mencerdaskan para muridnya, seorang pemain bola timnas
mencintai tanah air dengan bermain sebaik mungkin untuk mengharumkan nama Indonesia.
Seorang seniman mencintai tanah air dengan melestarikan seni khas Indonesia. Secara khusus,
jangan remehkan para pencipta lagu-lagu perjuangan. Kontribusi mereka sangat besar, moral para
pejuang teguh karena pesan, semangat, keyakinan dan sebagainya yang disampaikan dalam lagu-
lagu perjuangan tersebut. Pertanyaan menariknya: Apakah kita sudah menempatkan porsi waktu
khusus untuk mendengarkan lagu-lagu perjuangan? Jangan-jangan saking seringnya kita
mendengarkan musik-musik modern, kita sudah lupa lagu-lagu perjuangan yang dulu pernah kita
nyanyikan atau bahkan kita sudah tidak tahu lagi apa saja lagu-lagu perjuangan itu. Silahkan
berkontemplasi masing-masing.

Ada langkah konkrit yang bisa diambil Gereja untuk menumbuhkan cinta tanah air kepada Orang-
orang muda Katolik. Mengapa paroki setempat atau keuskupan setempat tidak menjamu para
veteran perang yang masih hidup dalam acara kumpul bersama dengan Orang-orang muda Katolik?
Sederhananya, mengapa tidak membuat sebuah acara yang mempertemukan Orang muda Katolik
dengan para veteran perang yang tersisa? Sungguh disayangkan di mana para veteran perang
semakin menghilang; semangat mereka, kisah perjuangan mereka, pesan-pesan mereka tidak
diteruskan kepada Orang-orang muda Katolik. Orang-orang muda Katolik bisa menarik inspirasi,
pesan, saran dan koreksi yang begitu banyak dari para veteran perang ini. Tentu saja pertemuan-
pertemuan tidak harus terbatas pada para veteran perang. Pertemuan dengan para veteran, para
pahlawan di bidang-bidang lain pun akan menjadi sangat bermanfaat, sangat berbuah dan inspiratif.
Mengulang pernyataan Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961: “Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”Menjaga cinta, semangat, dan segala
yang baik dari para pahlawan kepada tanah air supaya tetap hidup di dalam umat Katolik masa
sekarang (secara khusus kepada orang muda Katolik) adalah salah satu bentuk penghormatan
terhadap para pahlawan.

Penutup

Pesan inti yang saya sampaikan adalah bahwa seorang Katolik harus mencintai tanah airnya tanpa
memandang rendah bangsa lain. Gereja Katolik pun mengajarkan demikian. Ada banyak cara yang
dapat ditempuh untuk menumbuhkan cinta kepada tanah air di dalam diri umat Katolik.
Merenungkan Para Pahlawan adalah salah satunya. Semoga artikel sederhana ini bermanfaat bagi
umat Katolik sekalian. Selamat Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia. MERDEKA!

pax et bonum

Anda mungkin juga menyukai