Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Emulsi adalah suatu disperse di mana fase terdispers terdiri dari bulatan-

bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang bercampur (Ansel,

1989). Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua zat yang tidak tercampur,

yaitu air dan minyak, di mana cairan yang terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam

cairan yang lain (Anief, 1999).

Emulsi untuk pemberian secara oral memungkinkan pemberian obat yang

harus dimakan mempunyai rasa yang lebih enak dengan penambahan pemanis dan

perasa. Juga berfungsi untuk menaikkan absorpsi lemak melalui dinding usus

(Ansel, 1989).

Salah satu zat yang dapat digunakan sebagai emulsi adalah minyak. Minyak

yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak wijen (Oleum sesami). Minyak

wijen baru dikembangkan untuk penelitian-penelitian, seperti dalam pembuatan

emulsi.

Minyak wijen bersifat larut dalam alkohol dan dapat bercampur dengan eter,

kloroform, petroleum benzene dan CS2. Minyak wijen bersifat sinergist terhadap

phrethrum yang merupakan sifat khas dari minyak wijen ( Ketaren, 1986).

1
2

Minyak wijen digunakan untuk obat-obatan yaitu dalam pembuatan obat

gosok ammonia, karena sifat minyak wijen yang tidak dapat memisah sehingga baik

digunakan untuk campuran obat gosok dengan kekentalan yang baik (Keteren, 1986).

Minyak wijen juga mempunyai khasiat sebagai obat penyakit kolesterol.Kolesterol

sebenarnya merupakan salah satu komponen lemak. Seperti kita ketahui, lemak

merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh kita di samping zat

gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.Ketika kolesterol

bertambah di dalam lapisan pembuluh darah, maka pembuluh darah itu dapat

menyempit atau tertutup. Apabila pembuluh nadi (arteri) yang menyediakan darah

menuju ke jantung, otak, atau organ-organ penting lainnya tertutup, dapat

mengakibatkan serangan jantung, stroke, atau kegagalan fungsi organ yang vital

lainnya (Netzer, 1994).

Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa minyak wijen dapat menurunkan

kadar kolesterol. Menurut Fatmawati (2006) salah satu cara mencegah steatosis

akibat stress oksidatif adalah mengubah ke diet yang dapat menurunkan kadar

kolesterol dan meningkatkan asupan antioksidan, misalnya dengan menggunakan

bahan makanan yang dapat menurunkan kadar kolesterol yaitu minyak wijen karena

hampir 85 % asam lemak minyak wijen berupa asam lemak tak jenuh ganda.

Penelitian ini menggunakan metode gom basah (metode Inggris). Metode

ini cocok untuk pembuatan emulsi dengan mucilago atau gom yang dilarutkan

sebagai emulgator. Metode ini perlu dipakai meskipun lambat dan tidak berdasarkan

kenyataan seperti pada cara fase M/A di mana tetes minyak terdispersi dalam fase air.
3

Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam pembuatan emulsi

adalah zat pengental. Penelitian ini menggunakan agar-agar sebagai zat pengental.

Fungsi pengental dalam emulsi untuk mencegah terpisahnya emulsi menjadi dua

lapisan, yaitu lapisan minyak dan lapisan air (Creaming), sehingga emulsi lebih

stabil. Jika dibentuk emulsi akan terbentuk partikel minyak yang kecil dibanding

dengan minyak yang langsung dikonsumsi.

Sifat yang paling menonjol dari agar-agar adalah memiliki daya gelasi

(kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), setting point (suhu

pembentukan gel), dan melting point (suhu mencairnya gel) yang sangat

menguntungkan untuk dipakai pada dunia industri pangan maupun nonpangan

(Anonim, 2011). Agar-agar dengan kemurnian tinggi tidak akan larut pada air

bersuhu 25oC, tetapi larut di dalam air panas. Pada suhu 32-39oC, agar-agar akan

berbentuk padatan yang tidak akan mencair lagi pada suhu di bawah 80oC. Fungsi

utama agar-agar adalah sebagai bahan pemantap, penstabil, pengemulsi, pengental,

pengisi, penjernih, pembuat gel, dan lain-lain. Agar-agar digunakan pada industri

makanan, yaitu untuk meningkatkan viskositas sup dan saus, serta dalam pembuatan

fruit jelly (Anonim, 2011).


4

B. Perumusan Masalah

Permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah apakah minyak wijen

(Oleum sesami) dapat dibuat emulsi? Permasalahan kedua dalam penelitian ini adalah

pada konsentrasi berapakah agar-agar yang memenuhi syarat uji stabilitas emulsi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh formulasi emulsi

minyak wijen (Oleum sesami) dengan baik, sehingga perlu mengetahui kadar agar-

agar sebagai variasi pengental.

D. KegunaanPenelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan: Salah satu alternatif obat

secara oral dalam bentuk emulsi minyak wijen (Oleum sesami) dan diharapkan dapat

dijadikan bahan pertimbangan dalam formulasi di industri farmasi, sehingga akan

didapatkan emulsi dengan sifat emulsi yang baik.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Wijen

1. Nama daerah

Sumatera : Lengong (Aceh) Lenga (Gayo) Longa (Batak) Longa (Nias)

Langa (Minangkabau) Lengu (Lampung) Bijan (Melayu)

Jawa : Wijen (Jawa Tengah), Wijen(Sunda), Bijhan (Madura)

Bali : Wijen

Kalimantan : Merasih (Dayak)

Nusa Tenggara : Ringa (Bima) Nene (Timor)

Sulawesi : Lenga (Gorontalo) Langa (Makasar) Lenga (Bugis)

Maluku : Kalene (Tanimbar) Lena (Seram) Wije (Halmahera) Wije

(Ternate, Tidore) (Depkes, 2001).

2. Morfologi tanaman Wijen

Habitus, herba, semusim, tinggi ± 1,5 mm. Batang segi empat, beralur,

berambut, percabangan mono-podial, hijau. Daun tunggal, bentuk lanset, berambut,

ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi, panjang 5-20 cm, lebar 1,5 - 4 cm,

pertulangan menyirip, hijau. Bunga majemuk, bertangkai pendek, kelopak 5-7 mm,

mahkota berambut, berlendir, bentuk tabung, putih keunguan. Buah kotak, segi

empat, berambut lebat, coklat. Biji pipih, kecil, licin, kuning. Akar tunggang, coklat

muda (Depkes, 2001).


5
6

3. Khasiat tanaman Wijen

Biji Sesamum indicum L berkhasiat sebagai obat luka, obat batuk dan obat

perut nyeri. Untuk obat luka dipakai ± 15 gram biji segar Sesamum indicum L,

ditumbuk sampai lumat, kemudian ditempelkan pada luka dan dibalut dengan kain

bersih (Depkes, 2001). Biji Sesamum indicum bermanfaat sebagai pelembut kulit,

peluruh air seni, peluruh dahak/obat batuk, peluruh haid, penawar racun, pencahar

dan penyegar badan. Daun Sesamum indicum L bermanfaat sebagai pelembut kulit

dan perawatan rambut (Depkes, 1985). Minyak wijen (Oleum sesami) dapat

dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol (Dewi dan Nurdiana, 2006).

4. Kandungan kimia tanaman

Kandungan kimia yang terdapat dalam tanaman wijen adalah minyak lemak,

zat putih telur, sesame, miristin, asam amino arginin dan letisin (Anonim 1985). Biji

Sesamum indicum mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Depkes, 2001).


7

B. Minyak Wijen

Tanaman wijen (Sesamum indicum L) termasuk family Pedaliaceae,

varietas Sesamum indicum mempunyai sub spesies ialah S. orientale. Wijen dikenal

juga dengan nama: til, gingelly, simsin dan ajonjoli (di Amerika latin) (Ketaren,

1986). Minyak wijen mengandung zat tidak tersabunkan dalam jumlah relatif tinggi.

Tetapi kandungan tertinggi adalah sterol dan zat-zat yang tidak dapat dipisahkan

dengan pemurnian, sedangkan kadar bahan non minyak lainnya relatif rendah

(Ketaren, 1986). Minyak wijen bersifat larut dalam alkohol dan dapat bercampur

dengan eter, khloroform, petroleum benzene dan CS2 , tetapi tidak larut dalam eter.

Setelah dimurnikan, minyak berwarna kuning pucat dan tidak menimbulkan gejala

kabut pada suhu 0oC (Ketaren, 1986).

Minyak wijen bersifat synergis terhadap phrethrum yang merupakan sifat

khas dari minyak wijen. Minyak wijen mempunyai nilai putaran optik positif, jadi

unsur non gliserida dalam minyak lebih positif putaran optiknya, dibandingkan

dengan asam-asam lemak maupun gliserida (Ketaren, 1986).

1. Standar mutu

Minyak wijen berwarna kuning, tidak berbau dan mempunyai rasa gurih.

Minyak kasarnya bermutu tinggi dan dapat digunakan sebagai minyak salad dengan

atau tanpa proses winterisasi (Keteren, 1986). Wijen mempunyai nilai gizi yang baik

karena kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 19,3%, juga mengandung

asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh tubuh seperti oleat dan linoleat, sehingga
8

wijen merupakan salah satu sumber lemak nabati yang baik. Minyak wijen

menghasilkan kalori yang tinggi yaitu sekitar 902 kalori/100 gram (Ketaren, 1986).

2. Daya guna

Minyak wijen digunakan untuk obat-obatan yaitu dalam pembuatan obat

gosok ammonia, karena sifat minyak wijen yang tidak dapat memisah sehingga baik

digunakan untuk campuran obat gosok dengan kekentalan yang baik (Keteren, 1986).

Minyak wijen juga dapat digunakan sebagai obat penyakit kolesterol. Minyak wijen

(Oleum sesami) dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol (Dewi dan

Nurdiana, 2006).

3. Dosis

Dosis minyak wijen (Oleum sesami) untuk menurunkan kadar kolesterol

pada tikus putih (Ratus novergicus) adalah 1,2 ml (Dewi dan Nurdiana, 2006). Jadi

dosis untuk menurunkan kadar kolesterol pada manusia adalah 1,2 ml/0,086 = 13,95

dibulatkan menjadi 14 ml per hari. Setelah menjadi emulsi 150 ml maka dosis sekali

minum adalah 31,49 atau ± 30 ml.


9

C. Emulsi

1. Pengertian emulsi

Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,

terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan

yang cocok (Anonim, 1979). Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu

cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil

(Anonim, 1995).

Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak

tercampur, biasanya air dan minyak, cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir

kecil dalam cairan yang lain. Dispers ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung

dan membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah (Anief, 1999).

Emulsi adalah sistem dispers kasar yang secara termodinamik tidak stabil,

terdiri dari minimal dua atau lebih cairan yang tidak bercampur satu sama lain dimana

cairan yang satu terdispersi di dalam cairan yang lain dan untuk memantapkannya

diperlukan penambahan emulgator (Voigt, 1995). Emulsi dibuat untuk mendapatkan

preparat atau sediaan yang stabil dan merata atau homogen dari campuran dua cairan

yag saling tidak bisa bercampur.

2. Tipe emulsi

Menurut Syamsuni (2006), berdasarkan macam zat cair yang berfungsi

sebagai fase internal ataupun eksternal, emulsi digolongkan menjadi dua macam,

yaitu:
10

2.1. Emulsi tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (minyak dalam air), adalah

emulsi yang terdiri atas butiran minyak yang tersebar atau terdispersi ke dalam air.

Minyak sebagai fase internal dan air sebagai fase eksternal.

2.2. Emulsi tipe W/O (Water in Oil) atau A/M (air dalam minyak), adalah

emulsi yang terdiri atas butiran air yang tersebar atau terdispersi ke dalam minyak.

Air sebagai fase internal dan minyak sebagai fase eksternal.

3. Fase emulsi.

Emulsi terdiri dari dua fase yang tidak dapat bercampur satu sama lainnya,

dimana yang satu menunjukkan karakter hidrofil, yang lain lipofil.

3.1.Fase Hidrofil (lipofob). Adalah air atau suatu cairan yang dapat

bercampur dengan air.

3.2.Fase Lipofil (hidrofob). Adalah minyak mineral atau minyak tumbuhan

atau lemak (minyak lemak, paraffin, vaselin, lemak coklat, malam bulu domba) atau

juga bahan pelarut lipofil seperti kloroform, benzene dan sebagainya.

4. Zat pengemulsi.

Zat pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu. Salah satunya harus

dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnya dan tidak boleh mengganggu

stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik. Harus stabil dan tidak terurai dalam preparat.

Zat pengemulsi harus tidak toksis pada penggunaan dan jumlahnya yang dimakan

oleh pasien. Harus berbau, rasa, dan warna lemah. Kemampuan zat pengemulsi untuk

membentuk emulsi dan menjaga stabilitas dari emulsi tersebut. Diantara zat

pengemulsi dan zat penstabil untuk sistem farmasi:


11

4.1. Bahan-bahan karbohidrat. Seperti zat-zat yang terjadi secara alami:

akasia (gom), tragakan, agar, kondrus, dan pectin. Bahan-bahan ini membentuk

koloida hidrofilik bila ditambahkan ke dalam air dan umumnya menghasilkan emulsi

m/a. Gom mungkin merupakan zat pengemulsi yang paling sering digunakan dalam

preparat emulsi yang dibuat baru (r.p) oleh ahli farmasi di apotek. Agar umumnya

digunakan sebagai zat pengental dalam produk-produk yang diemulsikan dengan gom

(Ansel, 1989).

4.2. Zat-zat protein seperti: gelatin, kuning telur dan kasein. Zat-zat ini

menghasilkan emulsi m/a. Kerugian gelatin sebagai zat pengemulsi adalah bahwa

emulsi yang disiapkan dari gelatin seringkali terlalu cair dan menjadi lebih cair pada

pendiaman (Ansel, 1989).

4.3. Alkohol dengan bobot molekul tinggi seperti: stearil alkohol, setil

alkohol, dan gliseril monostearat. Bahan-bahan ini digunakan terutama sebagai zat

pengental dan penstabil untuk emulsi m/a dari lotio dan salep tertentu yang digunakan

sebagai emulsi untuk obat luar dan menghasilkan emulsi a/m (Ansel, 1989).

4.4. Zat-zat pembasah, yang bisa bersifat kationik, anionik dan nonionik.

Zat-zat ini mengandung gugus-gugus hidrofilik dan lipofilik, dengan bagian lipofilik

dari molekul menyebabkan aktivitas permukaan dari molekul tersebut. Dalam zat

anionik, bagian lipofilik ini bermuatan negatif, tapi dalam zat kationik bagian

lipofilik ini bermuatan positif, karena muatan ionnya yang berlawanan, zat anionik

dan zat kationik cenderung untuk saling menetralkan jika ada sistem yang sama, jadi
12

kedua bahan ini tidak tercampur satu sama lainnya. Zat pengemulsi nonionik

menunjukkan tidak adanya kecenderungan untuk mengion (Ansel, 1989).

4.5. Zat padat yang terbagi halus. Seperti: tanah liat koloid termasuk

bentonit, magnesium hidroksida, dan alumunium hidroksida. Umumnya membentuk

emulsi m/a bila bahan yang tidak larut ditambahkan ke fase air jika ada sejumlah

volume fase air lebih besar dari fase minyaknya (Ansel, 1989).

5. Teori terbentuknya emulsi

Menurut Syamsuni (2007) untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi

terdapat empat macam teori untuk melihat proses terbentuknya emulsi.

5.1. Teori Tegangan Permukaan (Surface Tension). Molekul memiliki

daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang disebut daya kohesi. Molekul

juga memiliki daya tarik menarik antarmolekul yang tidak sejenis disebut daya

adhesi. Daya kohesi suatu zat selalu sama sehingga pada permukaan suatu zat cair

akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi

(Syamsuni, 2007).

5.2.Teori Orientasi Bentuk Baji (Oriented Wedge). Teori ini menjelaskan

fenomena terbentuknya emulsi berdasarkan adanya kelarutan selektif dari bagian

molekul emulgator, ada bagian yag bersifat suka air atau mudah larut dalam air, dan

ada bagian yang suka minyak atau mudah larut dalam minyak (Syamsuni, 2007).

5.3. Teori Film Plastik (Interfacial Film). Teori ini mengatakan bahwa

emulgator akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan

film yang akan membungkus partikel fase dispers atau fase internal. Sehingga usaha
13

partikel yang sejenis untuk bergabung menjadi terhalang atau fase dispers menjadi

stabil (Syamsuni, 2007).

5.4. Teori Lapisan Listrik Rangkap (Electric Double Layer). Minyak

terdispersi ke dalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan permukaan

minyak akan bermuatan sejenis, lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang

berlawanan dengan lapisan di depannya. Seolah-olah tiap partikel minyak terlindungi

oleh 2 benteng lapisan listrik yang saling berlawanan (Syamsuni, 2007).

6. Permasalahan dalam emulsi

Proses pembuatan emulsi biasanya terjadi bermacam-macam permasalahan,

emulsi dikatakan tidak stabil jika mengalami hal-hal yang sering timbul dalam proses

pembuatan emulsi diantaranya:

6.1. Creaming adalah terjadinya flokulasi dan konsentrasi dari butir-butir

tetesan fase intern. Definisi lain, creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua

lapisan, dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase dispers) lebih

banyak dari lapisan yang lain dibanding dengan emulsi mula-mula (Anief, 1999).

6.2. Inversi adalah berubahnya tipe emulsi dari M/A ke A/M atau

sebaliknya. Inversi dapat menyebabkan koalesen, maka dapat dianggap sebagai

sumber ketidakstabilan emulsi (Anief, 1999).

6.3. Koalesen dan cracking (breaking) adalah proses yang bersifat

reversible, berbeda dengan proses pecahnya emulsi yang bersifat irreversible. Pada

cracking, penggojokan sederhana akan gagal untuk mensuspensi kembali butir-butir


14

tetesan dalam bentuk emulsi yang stabil, karena film yag meliputi partikel sudah

rusak dan butir minyak akan koalesen (Anief, 1999).

7. Bahan pembantu emulsi

7.1. Komponen dasar yaitu bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat

dalam emulsi, terdiri atas:

7.1.1. Fase dispers yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran

kecil di dalam zat cair lain.

7.1.2. Fase eksternal yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi

sebagai bahan dasar (bahan pendukung) emulsi.

7.1.3. Emulgator, merupakan komponen yang paling penting untuk

memperoleh emulsi yang stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film di

sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi. Film ini bekerja mencegah koalesan

dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah. Berfungsi untuk menstabilkan

emulsi.

7.2. Komponen tambahan, adalah bahan tambahan yang sering

ditambahkan ke dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

8. Pemerian bahan tambahan

8.1. Gula (Glukosa). Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih

dari 101,5% C6H12O6, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan, merupakan

hablur tidak berwarna, serbuk hablur atau butiran putih, tidak berbau dan rasanya

manis. Mudah lart dalam air, sangat mudah larut dalam air mendidih, agak sukar larut
15

dalam etanol (95%) P mendidih dan sukar larut dalam atanol (95%) P

(Anonim, 1979).

8.2. Nipasol. Berupa serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa. Sangat

sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dalam 3 bagian aseton P,

dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam

larutan alkali hidroksida (Anonim, 1979). Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan

tidak lebih dari 100,5% C10H12O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan

(Anonim, 1995).

8.3. Nipagin (metil paraben). Berupa serbuk hablur putih, hampir tidak

berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Nipagin

berguna untuk pengawet dalam fase air (Anonim, 1995). Larut dalam 500 bagian air,

dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian

aseton P, mudah larut dalam eter P dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam

60 bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika

didinginkan larutan tetap jernih (Anonim, 1979).

8.4. P.G.A (pulvis gummi arabicum) berupa serbuk putih atau putih

kekuningan, tidak berbau. Larut hampir sempurna dalam air, tetapi sangat lambat

meninggalkan sisa bagian tanaman dalam jumlah sangat sedikit, dan memberikan

cairan seperti mucilage, tidak berwarna atau kekuningan, kental, lengket, transparan,

bersifat asam lemah terhadap kertas lakmus biru, praktis tidak larut dalam etanol dan

dalam eter (Anonim, 1979).


16

8.5. Minyak wijen (Oleum Sesami) adalah minyak lemak yang diperoleh

dengan pemerasan biji Sesamun indicum L. Pemerian cairan: kuning pucat,bau

lemah,rasa tawar,tidak membeku pada suhu 0o.

8.6. Agar-agar, emulgator ini kurang efektif apabila dipakai sendirian. Pada

umumnya zat ini ditambahkan untuk menambah viskositas dari emulsi dengan gom

arab. Sebelum dipakai agar-agar tersebut dilarutkan dengan air mendidih kemudian

didinginkan pelan-pelan sampai suhu tidak kurang dari 45oC (bila suhunya kurang

dari 45o C larutan agar-agar akan berbentuk gel.

9. Metode pembuatan emulsi.

Emulsi bisa dibuat dengan beberapa cara, tergantung pada sifat komponen

emulsi dan perlengkapan yang tersedia untuk digunakan. Dalam ukuran kecil preparat

emulsi yang dibuat baru dapat dibuat dengan beberapa cara yaitu:

9.1. Metode Gom Basah (metode Inggris). Metode ini cocok untuk

pembuatan emulsi dengan mucilago atau gom yang dilarutkan sebagai emulgator.

Metode ini perlu dipakai meskipun lambat dan tidak berdasarkan kenyataan seperti

pada cara kontinental kecuali kalau emulgator yang mau dipakai berupa cairan atau

harus dilarutkan dulu, seperti kuning telur, Chondrus, dan Metilselulosa

(Anief, 1999).

9.2. Metode Gom Kering (metode continental 4:2:1). Metode ini khusus

untuk emulsi dengan emulgator gom kering. Emulsi pertama-tama (korpus emuls)

dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu sisa air dan

bahan lain ditambahkan (Anief, 1999). Dalam metode ini gom atau zat pengemulsi
17

m/a lainnya dihaluskan dengan minyak dalam mortir porselen dengan sempurna

sampai seluruhnya bercampur. Sesudah minyak dan gom dicampur, dua bagian air

kemudian ditambahkan sekaligus, dan campuran tersebut digerus dengan segera dan

dengan cepat serta terus menerus sampai emulsi utama terbentuk berwarna putih krim

dan menghasilkan suara “krek” pada penggerakan stampher. Kemudian ditambahkan

bahan formulatif cair lainnya dengan pengadukan. Zat padat seperti pengawet, zat

penstabil, zat warna dan bahan pemberi rasa dilarutkan dalam air dengan volume

yang sesuai dan ditambahkan sebagai larutan ke emulsi utama tersebut (Ansel, 1989).

9.3. Metode HLB (Hydrophyl-lipophyl balance).Nilai HLB diberikan bagi

tiap-tiap surface active agent (s.a.a) dan dihubungkan dengan perbandingan ukuran

pemakaian yang dikehendaki. Sistem HLB pada tiap molekul surfaktan terdapat

bagian yang bersifat hidrofil atau suka air dan sebagian bersifat lipofil atau suka

minyak, perlu suatu kesetimbangan tertentu antara kedua bagian bagi bermacam-

macam tipe fungsi surfaktan. Makin rendah nilai HLB surfaktan makin lipofil

surfaktan tersebut, sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan, maka makin hidrofil zat

tersebut (Anief, 1999).

Menurut Anief (1999) untuk menunjukkan nilai HLB yang dibutuhkan bagi

bermacam-macam tipe sistem digunakan daftar berikut:


18

Tabel 1. Nilai HLB

Nilai HLB Tipe sistem

3-6 A/M emulgator

7-9 Wetting agent (zat pembasah)

8-18 M/A emulgator

13-15 Detergent (zat pembersih)

15-18 Solubilizer (penolong kelarutan)

9.4. Metode Botol atau Metode Botol Forbes. Untuk pembuatan emulsi

yang dibuat baru dari minyak-minyak menguap atau zat-zat yang bersifat minyak dan

mempunyai viskositas rendah digunakan metode botol. Dalam metode ini serbuk gom

arab ditaruh dalam suatu botol kering, kemudian ditambahkan dua bagian air dan

campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam wadah yang tertutup. Suatu volume air

yang sama dengan minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus

mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika semua air sudah

ditambahkan, emulsi utama yang terbentuk bisa diencerkan sampai mencapai volume

yang tepat dengan air atau larutan zat formulatif lain dalam air (Ansel, 1989).

10. Tolak ukur yang mempengaruhi proses pembentukan emulsi

Proses pembentukan emulsi mempunyai tolak ukur yang menjadi acuan

dalam pembentukan emulsi tersebut antara lain:


19

10.1. Tolak ukur Fisika, pemakaian energi dalam bentuk panas,

pengocokan mekanis, getaran ultrasonik, atau listrik diperlukan untuk mengubah fase

internal menjadi tetesan-tetesan kecil. Jumlah input kerja tergatung pada panjangnya

waktu selama energi disuplai, dengan demikian penjadwalan input kerja menjadi

tolak ukur fisika.

10.1.1. Panas. Penguapan merupakan suatu cara efektif dalam

pemecahan sebagian besar ikatan antara molekul-molekul suatu cairan. Ini

memungkinkan emulsi dibuat dengan melewatkan uap suatu cairan ke dalam fase luar

yang mengandung zat pengemulsi yang sesuai. Proses emulsifikasi ini disebut metode

kondensasi, relatif lambat dan terbatas pada pembuatan emulsi encer dari bahan-

bahan yang mempunyai tekanan uap relatif rendah, sehingga secara teoritis amat

penting. Emulsifikasi dengan dispersi yang lebih praktis dipengaruhi oleh panas atau

lebih baik, perubahan dalam temperatur dengan sejumlah cara. Kenaikan dalam

temperaturakan mengurangi tegangan antarmuka dan viskositas

(Lachman dkk, 1994).

10.1.2. Temperatur Inverse Fase. Dimana terjadi inverse tergantung

pada konsentrasi pengemulsi. Bahwa temperatur pada suatu emulsi memungkinkan

inverse. Tipe inverse ini dapat terjadi selama pembentukan emulsi, karena emulsi

umumnya dibuat pada temperatur yang relatif tinggi dan kemudian diturunkan sampai

temperatur kamar untuk mendinginkannya. Emulsi yang dibentuk dengan teknik

inverse fase umumnya dianggap sangat stabil, dan dijamin mengandung fase dalam

yang terdispersi halus (Lachman dkk, 1994).


20

10.1.3. Waktu. Mempunyai pengaruh kompleks dan mendalam pada

proses emulsifikasi. Selama proses pengocokan awal yang dibutuhkan untuk

emulsifikasi, tetesan-tetesan dibentuk, tetapi pada pengocokan selanjutnya

kemungkinan untuk kolisi antara tetesan-tetesan menjadi lebih sering, sehingga dapat

terjadi penggabungan. Hindari waktu pengocokan yang terlalu lama, pada waktu dan

sesudah pembentukan emulsi. Waktu yang dibutuhkan untuk pengocokan dan waktu

optimum yang diperlukan untuk emulsifikasi ini biasanya ditentukan secara empiris.

Nyata dalam pembuatan suatu emulsi, dua cairan yang tidak saling bercampur

dicampur dalam suatu wadah yang sesuai dengan adanya suatu pengemulsi, kemudian

dikocok sampai emulsi terbentuk (Lachman dkk, 1994).

10.2. Tolak ukur kimia.

10.2.1. Stabilitas Kimia. Ke inert-an adalah suatu persyaratan

absolute dan hampir nyata untuk bahan-bahan emulsi.

10.2.2. Keamanan. Keamanan merupakan persyaratan mutlak. Karena

itu perlu untuk sangat tergantung pada informasi toksikologis dari penyalur atau

dalam literatur ilmiah, dan pada aktivitas pengaturan oleh badan-badan pemerintah.

Meskipun ada pembatasan-pembatasan yang hampir jelas, pembuat formulasi

mempunyai banyak pilihan bahan emulsi yang berbeda dalam biaya dan

kemampuannya untuk menghasilkan produk yang dikehendaki (Lachman dkk, 1994).

10.2.3. Pilihan dari Fase Lemak. Bahan-bahan yang membentuk

bagian minyak dari suatu emulsi dan jumlah relatifnya ditentukan terutama dengan

penggunaan akhir dari produksi tersebut. Untuk produk-produk farmasi dan


21

kosmetik, fase minyak, kecuali yang merupakan zat aktif, bisa meliputi beraneka

ragam minyak yang berasal dari alam atau lemak sintetis. Konsistensi lemak-lemak

ini bisa berkisar dari cairan yang dapat mengalir sampai padatan yang cukup keras

(Lachman dkk, 1994).

10.2.4. Perbandingan Fase. Perbandingan fase dalam fase luar

seringkali ditentukan oleh kelarutan zat aktif, yang harus terdapat pada suatu tingkat

efektif secara farmakologis. Hal ini bukan merupakan pertimbangan utama,

perbandingan fase secara normal ditentukan oleh konsistensi yang dikehendaki

(Lachman dkk, 1994).

10.2.5. Pemilihan Zat Pengemulsi. Dibedakan menjadi tiga golongan

besar zat pengemulsi: surfaktan, koloid hidrofilik dan zat padat yang terbagi halus.

Walaupun koloid hidrofilik dan zat padat yang terbagi halus dapat digunakan sebagai

pengemulsi satu-satunya, penggunaannya yang terbesar adalah dalam bentuk

pengemulsi pembantu (Lachman dkk, 1994).

10.2.6. Pemilihan Surfaktan. Jumlah surfaktan yang disediakan

untuk membentuk emulsi sangat besar, sehingga tidak mungkin untuk

menguraikannya (Lachman dkk, 1994).

11. Pengujian stabilitas emulsi

Untuk mengetahui mutu dan kualitas emulsi, maka perlu diuji stabilitasnya.

Uji stabilitas emulsi meliputi:

11.1. Uji viskositas. Viskositas suatu emulsi merupakan kriteria penampilan

pokok, penggunaannya untuk pengkajian shelf-life tidak berkenaan dengan harga


22

viskositas absolute, tetapi dengan perubahan dalam viskositas selama penyimpanan.

Biasanya bulatan-bulatan emulsi A/M yang baru dibuat memflokulasi amat cepat.

Akibatnya viskositas menurun dengan cepat dan terus-menerus untuk beberapa lama

(5 sampai 15 hari pada temperatur kamar) dan kemudian relative lebih konstan.

Emulsi M/A berperilaku berbeda sekali, dalam hal ini bulatan gumpalan

menyebabkan peningkatan viskositas secara tiba-tiba (Lachman dkk, 1994).

11.2. Uji pemisahan sentrifugasi. Hukum stokes menunjukkan bahwa

pembentukan krim merupakan suatu fungsi gravitasi, dan karenanya kenaikan dalam

gravitasi mempercepat pemisahan. Becher menyatakan bahwa sentrifugasi pada 3750

rpm dalam suatu radius sentrifugasi 10 cm untuk waktu 5 jam setara dengan efek

gravitasi untuk kira-kira satu tahun. Kecepatan sedang yang disarankan Becher

kemungkinan besar lumayan. Ultrasentrifugasi pada kecepatan yang tinggi sekali

(kira-kira 25.000 rpm atau lebih) dapat diharapkan menyebabkan efek yang tidak

diamati selama umur normal suatu emulsi. Ultrasentrifugasi emulsi menciptakan tiga

lapisan: lapisan atas dari minyak yang terkoagulasi, lapisan pertengahan dari emulsi

yang tidak terkoagulasi, dan suatu lapisan air yang pada dasarnya murni. Dapat

disimpulkan bahwa sentrifugasi, jika digunakan dengan bijaksana, merupakan alat

yang sangat berguna untuk mengevaluasi dan meramalkan shelf-life emulsi (Lachman

dkk, 1994).

11.3. Pengujian Warna, bau dan homogenitas. Pengujian warna, bau

pada emulsi dapat dilihat secara visual untuk melihat sediaan emulsi tetap stabil

selama penyimpanan.
23

11.4. Pengujian homogenitas. Emulsi diuji homogenitasnya dengan cara

dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan yang cocok, harus menunjukkan

susunan yang homogen (Anonim, 1979).

12. Penentuan jenis emulsi.

Untuk menentukan jenis emulsi terdapat sejumlah cara pengujian yang

dapat digunakan. Disarankan agar tidak hanya melakukan satu cara saja, oleh karena

perhitungan dengan hanya sebuah metode, data yang dihasilkan sering menyebabkan

terjadinya kesalahan. Kesulitan penentuan jenis emulsi umumnya diberikan oleh

emulsi dengan jumlah fase minyak yang sangat tinggi (Voigt, 1995).

12.1. Metode warna. Beberapa tetes larutan bahan pewarna dalam air

(metilen biru) dicampurkan kedalam contoh emulsi. Jika seluruh emulsi berwarna

seragam maka emulsi yang diuji berjenis M/A, karena air adalah fase luar. Sampel

sebaiknya dapat diuji dengan bahan pewarna larut lipoid, misalnya dengan beberapa

tetes larutan sudan III dalam minyak. Pewarnaan homogen hanya akan terjadi pada

emulsi A/M, karena bahan pewarna larut lipoid hanya mampu mewarnai fase minyak.

Metode warna juga menguntungkan jika dilakukan pada mikroskop (Voigt, 1995).

12.2. Metode pengenceran. Metode ini berdasarkan atas adanya kenyataan

bahwa fase luar emulsi dapat diencerkan. Jika ke dalam sedikit sampel emulsi

ditambahkan sedikit air dan setelah pengocokan atau pengadukannya diperoleh

kembali emulsi homogen, maka emulsi yang diuji berjenis M/A. Jika sampel

dicampur dengan minyak, maka hal ini akan menyebabkan pecahnya emulsi. Pada

jenis A/M akan diperoleh hasil yang sebaliknya. Metode pengenceran juga dapat
24

dilakukan sebagai berikut: jika 1 tetes emulsi dicampurkan kedalam air dan segera

terdistribusi (kadang-kadang wadahnya dikocok perlahan), maka sampel adalah

emulsi M/A. 1 tetes emulsi A/M akan tetap berada pada permukaan air

(Voigt, 1995).

12.3. Percobaan pencucian. Hanya emulsi M/A yang mudah dicuci dengan

air. Menghilangkan emulsi A/M menurut pengalaman sering menyulitkan

(Voigt, 1995).

12.4. Percobaan cincin. Jika 1 tetes emulsi yang diuji diteteskan pada

kertas saring, maka emulsi M/A dalam waktu singkat membentuk cincin air

disekeliling tetesan (Voigt, 1995).

12.5. Pengukuran daya hantar. Identitas jenis emulsi yang paling

meyakinkan dapat dihasilkan oleh pengujian daya hantar. Jika dua kawat yang

dihubungkan dengan batere lampu senter dicelupkan kedalam sampel emulsi, maka

hanya pada emulsi M/A akan terjadi simpangan pada miliampermeter. Hanya air

sebagai fase luar dapat memberikan aliran listrik. Elektrolit yang diperlukan untuk

menghantarkan listrik terkandung dalam setiap air. Pada emulsi A/M fase luarnya

akan berfungsi sebagai isolator, sehingga pada ampermeter tidak terbentuk

simpangan (Voigt, 1995).

12.6. Dengan kertas saring atau kertas tisu. Jika emulsi diteteskan pada

kertas saring tersebut terjadi noda minyak, berarti emulsi tersebut tipe A/M, tetapi

jika terjadi basah merata berarti emulsi tersebut tipe M/A (Syamsuni, 2006).
25

D. Landasan Teori

Emulsi minyak wijen (Oleum sesami) dibuat dengan metode gom basah

karena metode ini cocok untuk pembuatan emulsi dengan mucilagines atau gom yang

dilarutkan sebagai emulgator. Emulsi minyak wijen ini dibuat dengan menggunakan

emulgator P.G.A supaya menghasilkan emulsi yag baik dan dapat diterima

konsumen dan dengan bahan pengental agar-agar untuk mencegah terpisahnya fase

minyak dan fase air (Creaming) dengan konsentrasi 0,5 %, 0,6 % dan 0,7 %.

Minyak wijen (Oleum sesami) bermanfaat untuk menurunkan kadar

kolesterol dalam tubuh. Karena minyak wijen (Oleum sesami) rasanya kurang enak

maka dibuat emulsi agar penggunaan emulsi dapat ditingkatkan.

E. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori, hipotesis dari penelitian ini adalah minyak

wijen (Oleum sesami) dapat dibuat emulsi dengan menggunakan emulgator P.G.A.

Emulsi dengan P.G.A bisa diberi pengental agar-agar sebagai zat pengental dengan

konsentrasi 0,5%, 0,6% dan 0,7% (b/v). Bahan pengental agar-agar yang

ditambahkan dalam formulasi emulsi minyak wijen (Oleum sesami) akan

berpengaruh terhadap uji stabilitas emulsi yang meliputi uji viskositas, uji pemisahan

sentrifugasi dan juga berpengaruh terhadap jenis emulsi.


26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah emulsi minyak wijen

(Oleum sesami) dengan pengental agar-agar. Sampel yang digunakan pada penelitian

ini adalah emulsi minyak wijen (Oleum sesami) dengan bahan pengental agar-agar

dengan konsentrasi 0,5%, 0,6% dan 0,7% (b/v).

B. Variabel Penelitian

1. Identifikasi variabel utama

Variabel utama adalah variabel yang terdiri dari variabel bebas, variabel

kendali dan variabel tergantung. Dalam penelitian ini variabel utama adalah pengaruh

variasi konsentrasi agar-agar terhadap stabilitas emulsi minyak wijen

(Oleum sesami).

2. Klasifikasi variabel utama

Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah variabel yang

sengaja direncanakan untuk diteliti pengaruhnya terhadap variabel tergantung.

Variabel bebas dari penelitian ini adalah konsentrasi agar-agar yang digunakan

sebagai variasi pengental.

Variabel kendali yang dimaksud dalam penelitian ini adalah variabel yang

dianggap berpengaruh terhadap variabel tergantung selain variabel bebas, sehingga

26
27

perlu ditetapkan kualifikasinya agar hasil yang didapatkan tidak tersebar dan dapat

diulang dalam penelitian ini secara tepat. Variabel terkendali dari penelitian ini

adalah metode gom basah.

Variabel tergantung adalah titik pusat persoalan yang merupakan kriteria

penelitian ini. Variabel tergatung dari penelitian ini adalah uji stabilitasemulsi yang

meliputi viskositas emulsi, uji sedimentasi, pemisahan fase dan penentuan jenis

emulsi.

C. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan listrik, gelas

ukur, viskometer, pengaduk, botol, mortir, stamper.

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak wijen

(Oleum sesami) , P.G.A, nipagin, nipasol, gula, agar-agar dan akuadest.

D. Jalannya Penelitian

1. Pengambilan sampel

Bahan dari minyak wijen (Oleum sesami), PGA, nipagin, nipasol dan agar-

agar diambil dari PT BRATACO.


28

2. Waktu dan tempat

Penelitian karya tulis ilmiah ini dilaksanakan mulai bulan April 2013 sampai

dengan bulan Mei 2013 di Laboratorium Teknologi Formulasi Sediaan Cair,

Universitas Setia Budi.

3. Rancangan formulasi emulsi Minyak Wijen

Formulasi dibuat dengan volume 150 ml tiap botol, menggunakan bahan

pengental agar-agar dengan konsentrasi 0,5 %, 0,6 % dan 0,7 % (b/v).

Tabel 2. Formulasi Emulsi Minyak Wijen

Komposisi Formula 1 Formula 2 Formula 3

Minyak wijen 66,67 ml 66,67 ml 66,67ml

P.G.A 16,67 g 16,67g 16,67g

Agar-agar (pengental) 0,75g 0,9g 1,05g

Nipagin 0,08g 0,08g 0,08g

Nipasol 0,08g 0,08g 0,08g

Gula 33,33g 33,33g 33,33 g

Aquades ad 150 ml ad 150 ml ad 150ml

4. Pembuatan emulsi Minyak Wijen.

Menimbang P.G.A sejumlah 16,67 gram dengan timbangan analitik.

Mengembangkan P.G.A dengan 33,34 ml air di dalam mortir. Mengambil minyak

wijen 66,67 ml dengan gelas ukur dan menimbang nipasol sebanyak 0,08 gram
29

dengan timbangan analitik. Menambahkan nipasol dalam minyak wijen aduk sampai

homogen. Menambahkan minyak wijen yg sudah ditambahkan nipasol sedikit demi

sedikit ke dalam P.G.A yang sudah mengembang, diaduk sampai homogen, sampai

terdengar suara yang spesifik (Emulsi utama). Menimbang agar-agar sebanyak yang

dibutuhkan sesuai formula dengan timbangan analitik. Mengembangkan agar-agar

dalam 20 ml air dingin aduk ad homogen, kemudian dipanaskan sampai mengental

dalam beaker glass, tambahkan mucilago agar-agar dalam emulsi utama aduk sampai

homogen (campuran homogen). Menimbang gula sebanyak 33,33 gram dan nipagin

sebanyak 0,08 gram dengan timbangan analitik. Melarutkan gula dengan 20 ml air,

kemudian tambahkan nipagin, kemudian tambahkan ke dalam campuran homogen

aduk sampai homogen. Menambahkan sisa air sambil diaduk sampai 150 ml. Hal ini

dilakukan pada pembuatan emulsi dengan pengental agar-agar.

5. Pengujian stabilitas emulsi

5.1. Uji viskositas emulsi. Menuang sediaan yang homogen ke dalam cup

viscometer, memilih dayung yang paling sesuai dan dipasang pada tempat dayung,

kemudian viscometer dipasang pada statip dan memeriksa water pass hingga

menunjukkan letak gelembung udara yang paling tengah, menghidupkan viscometer

dengan menekan tombol on, mencatat viskositas sediaan setelah dayung berputar 3-4

kali hingga menunjukkan angka yang stabil, melakukan uji tersebut dalam setiap

formula.
30

5.2. Uji pemisahan sentrifugasi. Emulsi dimasukkan ke dalam tabung

reaksi berskala kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 jam

pertama, kedua dan ketiga, kemudian diamati persen pemisahannya.

6. Pengujian jenis emulsi

Untuk menentukan jenis emulsi terdapat sejumlah cara pengujian yang

dapat digunakan. Disarankan agar tidak hanya melakukan satu cara saja, oleh karena

perhitungan dengan hanya sebuah metode, data yang dihasilkan sering menyebabkan

terjadinya kesalahan. Kesulitan penentuan jenis emulsi umumnya diberikan oleh

emulsi dengan jumlah fase minyak yang sangat tinggi (Voigt, 1995).

6.1. Metode Warna. Beberapa tetes larutan bahan pewarna dalam air

(metilen biru) dicampurkan kedalam contoh emulsi. Jika seluruh emulsi berwarna

seragam maka emulsi yang diuji berjenis M/A, oleh Karena air adalah fase luar.

Sampel sebaiknya dapat diuji dengan bahan pewarna larut lipoid, misalnya dengan

beberapa tetes larutan sudan III dalam minyak. Pewarnaan homogeny hanya aka

terjadi pada emulsi A/M, oleh Karen bahan pewarna larut lipoid hanya mampu

mewarnai fase minyak. Metode warna juga menguntungkan jika dilakukan pada

mikroskop (Voigt, 1995).

6.2. Percobaan Pencucian. Hanya emulsi M/A yang mudah dicuci dengan

air. Menghilangkan emulsi A/M menurut pengalaman sering menyulitkan

(Voigt, 1995).
31

6.3. Pengukuran Daya Hantar. Ambil beberapa sampel emulsi.Ambil dua

kawat yang dihubungkan dengan alat amperemeter dicelupkan ke dalam emulsi,

apabila terjadi simpangan maka emulsi berjenis M/A.

6.4.Dengan kertas saring atau kertas tisu. Sediakan kertas saring atau

kertas tisu.Teteskan emulsi pada kertas saring atau kertas tisu. Amati noda, apabila

ada minyak berarti emulsi tersebut tipe M/A, tetapi apabila basah merata berarti

emulsi tersebut bertipe A/M.

E. Metode Analisis

Emulsi di uji stabilitasnya meliputi uji viskositas, uji pemisahan sentrifugasi

dan penentuan jenis emulsi. Emulsi yang dibuat dengan emulgator P.G.A dan bahan

pengental agar-agar dengan konsentrasi 0,5 %, 0,6 % dan 0,7 %, kemudian

dibandingkan dengan persyaratan yang telah ditentukan dalam Farmakope Indonesia

dan pustakan lain. Perbedaan ketiga formula dianalisis menggunakan SPSS 16 uji

Anova dengan taraf kepercayaan 95%.


32

Penelitian ini dilakukan dengan cara kerja yang dapat dilihat pada skema dibawah ini:
Menimbang P.G.A 16,67 g dikembagkan Mengambil 66,67 ml minyak wijen
dengan 33,34 ml air dalam mortis dan menimbang nipasol 0,08 g
campur dan aduk ad larut.

Menimbang agar-agar kemudian


Emulsi Utama dikembangkan dengan 30 ml air
dalam beaker glass.Lalu dipanaskan
dan tunggu dingin sampai menjadi
mucilago.

Menimbang 33,33 g gula dan


Campuran homogen I
0,08 g nipagin, larutkan dengan
20 ml air aduk ad larut.

Campuran homogen II

Tambahkan air sambil diaduk ad 150 ml

Hasil emulsi minyak wijen

Diuji stabilitas emulsi ( uji warna, uji bau, uji homogenitas,


viskositas, uji pemisahan sentrifugasi dan penentuan jenis emulsi).

Analisa Hasil

Kesimpulan

Gambar 1. Skema Pembuatan Emulsi

Anda mungkin juga menyukai