Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS KORUPSI DANA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA (DIKPORA)

KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH

BAGIAN : NADA
Pembahasan Kasus Korupsi Dikpora Kebumen
Pada Sabtu, 15 Oktober 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap
tangan terhadap lima orang pejabat di Kabupaten Kebumen dan pengusaha swasta terkait dugaan
suap dalam ijin proyek di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga mengenai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah 2016. KPK menangkap Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kebumen, Yudi Tri Hartanto dan pengusaha bernama Salim yang mengepalai anak
perusahaan Otoda Sukes Mandiri Abadi (OSMA) di bawah pimpinan Hartoyo. Kemudian, penyidik KPK
menangkap Sigit Widodo, seorang pegawai negeri sipil, Pak Adi Pandoyo, Sekretaris Daerah
Kabupaten Kebumen, Dian Lestari serta Hartono, anggota DPRD Kabupaten Kebumen.
Adi Pandoyo bersama Sigit, Dian, Hartono, dan Yudi diduga ikut menerima suap atas proyek
senilai Rp4,8 miliar untuk penggandaan buku, alat peraga, dan peralatan teknologi informasi dan
komunkasi. Sementara Basikun dan Hartoyo disangkakan dengan Pasal pemberi suap.

Analisis Kasus Korupsi Dikpora Kebumen

Berdasarkan hasil sidang pemeriksaan sementara para saksi, Hartoyo, Direktur Utama PT Otoda
Sukses Mandiri Abadi selaku terdakwa dalam kasus suap proyek dikpora diduga melanggar:
1. Pasal 5 KUHP :
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau ; b. memberi sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
SELESAI BAGIAN : NADA
BAGIAN : IRFAN
Analisis : ​Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri​, yaitu Hartoyo
Komisaris PT OSMA mengakui dia menyuap Kepala Bidang Pemasaran Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan Yudi Trihartanto serta Sekretaris
Daerah Adi Pandoyo dan Petruk Basikun Mualim.​ ​;
Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, yaitu uang yang diberikan kepada Kepala Bidang Pemasaran
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan Yudi Trihartanto serta Adi
Pandoyo agar bisa mendapatkan proyek alat peraga pada APBD Perubahan 2016.​ ​;
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, yaitu Hartoyo telah didakwa menyuap Sigit, Yudi,
Adi Pandoyo serta Basikun Mualim agar mendapatkan proyek di Dikpora. Pada
sidang yang digelar di Pengadilan Tinggi Korupsi (Tipikor) Semarang Selasa
(7/2/2017) Hartoyo mengakui sudah menyerahkan uang sejumlah 150 juta kepada
empat orang tersebut.

2. Pasal 12 B :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang
nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b.
yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Analisis: Gratifikasi diberikan oleh Hartoyo kepada Sigit, Yudi, Adi Pandoyo serta Petruk
Basikun Mualim sejumlah 150 juta agar mendapatkan proyek di Dikpora. Hal
tersebut dibenarkan oleh Adi Pandoyo selaku penerima suap pada sidang yang
digelar di Pengadilan Tinggi Korupsi Semarang, Selasa (7/2/2017).
SELESAI BAGIAN : IRFAN

BAGIAN : KAFIN
3. Pasal 55 KUHP :
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Analisis:​ Ada 4 unsur tindak pidana yang dilakukan Hartoyo dalam Pasal 55 ayat 1:
​ elakukan tindak pidana :​ Hartoyo mengakui tindakan suap kepada
a. Yang m
Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Sigit Widodo dan
Yudi Trihartanto serta Sekretaris Daerah Adi Pandoyo, ia mengakui
perbuatannya saat sidang tanggal 17/1/2017.
​ enyuruh melakukan ​tindak pidana ​: Hartoyo menyuap Sigit, Yudi, Adi
b. Yang m
Pandoyo serta Petruk Basikun Mualim agar dapat mendapatkan proyek di
Dikpora. Dalam kata lain, Hartoyo menyuruh keempat orang tersebut untuk
menerima uang suap yang mana hal tersebut merupakan salah satu tindak
pidana.
c. Yang ​turut serta melakukan tindak pidana :​ Sekda Adi Pandoyo Kabupaten
Kebumen mencari keuntungan dengan melakukan "transaksi" dengan dengan
pihak-pihak rekanan yang mendapatkan proyek terkait besaran komisi bagi
mereka.

Pendapat

Kasus korupsi dana Dikpora yang terjadi di Kebumen menambah deret angka kasus
korupsi di Indonesia. Proyek pengadaan buku ajar, alat peraga, dan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) merupakan proyek yang bertujuan untuk memajukan Kebumen dari segi
Pendidikan. Dalam penentuan siapa yang berhak memegang proyek, seharusnya diadakan lelang
dari pemerintah. Namun, dalam kasus ini, proyek ditawarkan kepada oknum yang dapat memberi
BAGIAN : NAUFAL

Dalam mengamati hubungan Presiden dan DPR di masa Reformasi, tentunya tidak terlepas dari
sistem kepartaian yang mendukungnya. Menurut Prof Dr Burhan Magenda, sejak Pemilu 1999
dengan peserta 48 parpol ternyata tidak ada yang berhasil mencapai mayoritas sederhana (melebihi
50 persen). Hal ini menyebabkan perlunya dibentuk koalisi antar partai. Presiden-presiden setelah
Habibie, yakni Abdurrahmad Wahid, Megawati dan SBY juga menghadapi masalah yang sama.

Dengan kata lain, adanya sistem kepartaian (multi-partai) selalu menyulitkan efektifitas
pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial. Kondisi sistem sepertilah inilah yang menyebabkan
munculnya kemungkinan peluang bagi anggota DPR untuk menyalahgunakan kekuasaannya (​power
tends to corrupt)​. Demikian juga implikasinya terhadap sistem politik dan pemerintahan yang
diterapkan di seluruh daerah.

Dalam kasus ini, tentunya penyalahgunaan kekuasaan dapat menjadi ancaman bagi
berlangsungnya sistem politik di Indonesia. Korupsi yang merajalela di tangan DPR memiliki
kemungkinan besar akan menyebabkan menguatnya plutokrasi, yaitu sistem politik yang dikuasai
oleh pemilik modal atau kapitalis, karena pihak OSMA Group, Hartoyo yang melakukan ‘transaksi’
dengan pemerintah. Maksudnya, apabila kebijakan DPR dapat dengan mudah dipengaruhi oleh uang,
otomatis perusahaan-perusahaan kapitalis juga bisa mempengaruhi sistem politik yang berlaku di
suatu daerah. DPR akan menjadi tak ubahnya boneka di tangan orang-orang yang memiliki banyak
modal sehingga kebijakan politik dapat dibuat untuk kepentingan oran-orang itu sendiri.

Dan bila hal itu benar terjadi, tidak dapat dipungkiri bahwa ini bisa menjadi akhir dari sebuah
negara. Meski itu dibuat oleh orang yang membuat negara baru di dalam negara itu sendiri,
dampaknya akan mengikat masyarakat. Esensi politik yang seharusnya adalah sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus sarana untuk membarantas korupsi, nyatanya hanya
dianggap tak lebih dari sekedar permainan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tanpa
tanggung jawab atas masyarakat kecil.

Peningkatan biaya politik menjadi hal yang tak bisa dianggap remeh, diperlukan pendidikan
politik yang baik dari pemerintah kepada masayarakat agar tidak terjadi ​money politics. Yaitu saat
suara-suara dapat diperjual belikan dan harganya semakin lama semakin mahal.
Tidak sampai di situ saja, kasus ini juga dapat menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan kapitalis seperti OSMA Group menguasai hajat hidup banyak
orang. Bayangkan jika perusahaan tersebut tersandung kasus yang mengakibatkan kebangkrutan.
Berapa banyak orang yang akan kehilangan sumber penghidupannya​? ​Hal tersebut tentu akan sangat
berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi daerah Jawa Tengah.

Ada pula kemungkinan seorang koruptor menyuap hakim atau aparatur hukum lainnya demi
menutupi kesalahan yang dia perbuat. Kondisi akan lebih baik apabila hakim atau aparatur teguh pada
kebenaran. Tapi kenyataannya, tidak semua penegak hukum bisa seperti itu. Hal seperti ini tentunya
akan menjadi penghambat dalam pelaksanaan sistem hukum di Indonesia, sekaligus bertentangan
dengan Pancasila sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka dapat kita ketahui bahwa korupsi dapat menjadi ancaman yang sangat besar bagi eksistensi
dan keberlangsungan Negara Indonesia. Tidak ada salahnya apabila kita mulai menyadarinya dan
melakukan usaha untuk mencegah budaya korupsi merajalela. Misalnya dengan hal sederhana seperti
memahami bahwa korupsi bukanlah hal baik yang dapat kita biarkan begitu saja.

Dalam kasus ini, pemerintah sudah memberikan upaya penyelesaian berupa pengerahan
penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian penggelaran pengadilan bagi pelaku
penyuapan dan orang yang menerima suap demi kepentingan pribadinya. Para pelaku tersebut
diberikan sanksi sesuai dengan keputusan hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada. Diantaranya
Hartoyo yang divonis penjara selama 2 tahun 3 bulan, Yudi Tri Hartanto yang divonis 4 tahun penjara,
dan Adi Pandoyo yang divonis 4 tahun penjara.

SELESAI BAGIAN : NAUFAL

Anda mungkin juga menyukai