Anda di halaman 1dari 78

Referat

Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran

Oleh:

Dewangga panji M, S.Ked 04084821719221

Pratika Dea Waryuni, S.Ked 04084821719220

Odie Devananda, S.Ked 04084821719219

Kemala Andini, S.Ked 04054821820046

Erika Sandra, S.Ked 04054821820099

Maulia Sari K, S.Ked 04054821820001

Hestika Deliana, S.Ked 04054821820050

Deasy Nataliani, S.Ked 04054821820141

Pembimbing:

dr. Indra Syakti Nasution, Sp.F

DEPARTEMEN FORENSIK

RSUP DR MOH HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran

Oleh:

Dewangga panji M, S.Ked 04084821719221

Pratika Dea Waryuni, S.Ked 04084821719220

Odie Devananda, S.Ked 04084821719219

Kemala Andini, S.Ked 04054821820046

Erika Sandra, S.Ked 04054821820099

Maulia Sari K, S.Ked 04054821820001

Hestika Deliana, S.Ked 04054821820050

Deasy Nataliani, S.Ked 04054821820141

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 17 September 2018 s/d 22 Oktober 2018.

Palembang, Oktober 2018

dr. Indra Syakti Nasution, Sp.F

ii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
kesempatan dan waktu yang telah diberikan sehingga referat yang berjudul “Hukum
Kesehatan dan Hukum Kedokteran” ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada dr. Indra Syakti Nasution, Sp.F selaku pembimbing kami
yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing.

Sebagai penulis, kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam


penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk
memperbaikinya. Di samping itu, diperlukan juga berbagai referensi lain untuk
mengembangkan laporan kasus ini.

Akhir kata, kami sangat berharap bahwa laporan kasus ini akan memberikan manfaat
dan menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palembang, Oktoberr 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................iii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................2

2.1. Hukum Kesehatan .....................................................................................................................2

2.1.1 Pendahuluan hukum kesehatan.........................................................................................2

2.1.2 Pengertian hukum kesehatan ............................................................................................3

2.1.3 Landasan Hukum Kesehatan ............................................................................................4

2.1.4 Batasan Hukum Kesehatan...............................................................................................5

2.1.5 Sejarah hukum Kesehatan.................................................................................................6

2.1.6 Sumber Hukum Kesehatan ...............................................................................................7

2.1.7 Ruang Lingkup Hukum Kesehatan.................................................................................10

2.1.8 Pokok-Pokok Pengaturan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan


Problematianya........................................................................................................................12

2.2 Hukum Kedokteran.......................................................................................................................15

2.2.1. Hubungan Dokter dan Pasien.........................................................................................19

2.2.2 Hak dan Kewajiban dokter dan pasien ...........................................................................22

2.2.3 Imbalan Jasa Dokter........................................................................................................30

2.2.4 Rekam Medik..................................................................................................................32

2.2.5. Inform Consent..............................................................................................................36

2.2.6 rahasia jabatan dan pekerjaan dokter ..............................................................................44

2.2.7 surat-surat keterangan dokter..........................................................................................48

iv
2.2.8 Malpraktik Kedokteran................................................................................................52

2.2.9 reproduksi manusia .....................................................................................................56

2.2.10 Euthanasia..................................................................................................................60

2.2.11 Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh....................................................................64

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................73

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................7

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang berkaitan dengan
kesehatan yaitu hukum kesehatan. Hukum memegang peran penting dalam berbagai segi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi setiap orang, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai
kegiatan di bidang kesehatan. Mengingat banyaknya bagian yang berperan dalam
pelaksanaan layanan kesehatan, maka secara general hukum kesehatan mulai dibuat di
Indonesia pada tahun 1982. Hukum kesehatan ini secara garis besar mengatur tentang
hak dan kewajiban penerima dan penyelenggara layanan kesehatan.
Dalam pelayanan kesehatan sebelum ada Undang-Undang, semua kegiatan itu
diatur oleh dokter masing-masing yang melayani pasien dan keluarganya karena belum
ada aturan khusus mengenai hukum kesehatan. Jadi semuanya di tangan dokter baik itu
rawat jalan, rawat inap, tindakan kesehatan dan tindakan termasuk pengobatan karena
belum ada pedoman atau peraturan yang di buat pemerintah maupun rumah sakit. Dokter
hanya mengacu pada sumpah, dokter dan berbagai sarana yang ada di rumah sakit.
Secara manusiawi dokter juga berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya sesuai
dengan kemampuan dokter berkomunikasi dengan kebutuhan karena belum ada aturan
khusus. Jadi, hal-hal yang terjadi pada pengobatan saat itu atas tanggung jawab dokter
tapi tidak ada istilah malpraktek atau sengketa dengan pasien atau keluarganya dan pihak
pasien dan keluarganya tidak menuntut apa-apa. Pada saat ini setelah ada aturan hukum
kesehatan, dokter harus mengacu pada hukum kesehatan. Sehingga secara garis besar
didalam hukum kesehatan, hukum kedokteran merupakan suatu subbagian yang
mengatur hubungan antara dokter dan padien ataupun dokter gigi dan pasien.
Untuk mengetahui mengenai batasan-batasan mengenai hukum kesehatan dan
hukum kedokteran, maka makalah ini dibuat dan dtujukan untuk mengupas lebih dalam
mengenai hukum keehatan dan hukum kedokteran.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HUKUM KESEHATAN


2.1.1 Pendahuluan

Kesehatan merupakan salah satu modal utama dalam rangka pertumbuhan


dan pengembangan kehidupan bangsa serta mempunyai peranan penting dalam
usaha mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan kesehatan
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-
cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang
Dasar 1945.
Derajat kesehatan sangat berarti bagi pengembangan dan pembinaan sumber
daya manusia serta sebagai salah satu modal bagi pelaksanaan pembangunan
nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya.
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat harus dilaksanakan dengan
memperhatikan peranan kesehatan melalui upaya yang lebih memadai dan
pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak
dapat dielakkan. Paradigma pembangunan kesehatan pada awalnya bertumpu pada
upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selanjutnya bergeser pada
penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya
pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal pada
kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.
Melalui paradigma sehat tersebut maka segala kegiatan apapun harus
berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan
peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara
terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,
merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk selalu hidup
sehat.

2
Sebagai bagian integral dari kesejahteraan, upaya mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal bagi setiap orang memerlukan dukungan hukum bagi
terselenggaranya berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Dukungan hukum tersebut
merupakan suatu perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum
kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan
perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun
masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Upaya kesehatan merupakan setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan atau oleh
masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya kesehatan khususnya fasilitas
pelayanan dan tenaga kesehatan. Kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan
itulah yang memerlukan peraturan hukum sebagai dasar pembenaran hukum di
bidang kesehatan tersebut. Peraturan hokum tentang upaya kesehatan saja belum
cukup karena upaya kesehatan penyelenggaraannya disertai pendukung berupa
sumber daya kesehatan baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak.
Bidang sumber daya kesehatan inilah yang dapat memasuki kegiatan
pelayanan
kesehatan. Untuk mencapai peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan
masyarakat indonesia yang jumlah penduduknya amat besar bukan pekerjaan mudah,
oleh sebab itu diperlukan juga peraturan perlindungan hukum untuk melindungi
pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Perlindungan hukum tersebut
diperlukan perangkat hukum kesehatan yang berpandangan maju untuk menjangkau
perkembangan kesehatan yang semakin kompleks, sehingga pelaksanaan “hukum
kesehatan” diberlakukan secara proporsional dan bertahap sebagai bidang hukum
khusus.

2.1.2 Pengertian Hukum Kesehatan


Menurut PERHUKI (Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia)
dijelaskan, Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima

3
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan
kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Rumusan Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Depkes RI menyebutkan
Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun
dari individu atau masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala
aspeknya yaitu aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan diperhatikan pula
aspek organisasi dan sarana. Pedoman-pedoman medis internasional, hukum
kebiasaan dan hukum otonom di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan dan literatur
medis merupakan pula sumber hokum kesehatan.”
Adapun rumusan dari Prof.Dr. Van Der Mijn adalah Hukum kesehatan dapat
didefenisikan sebagai lembaga peraturan yang langsung berhubungan dengan
perawatan kesehatan, sekaligus juga dengan penerapan hukum sipil umum, hukum
pidana, hukum administrasi. Hukum kedokteran yaitu ilmu tentang hubungan hukum
dimana dokter adalah salah satu pihak, hukum kedokteran adalah bagian dari hukum
kesehatan.

2.1.3 Landasan Hukum Kesehatan


Hermien Hadiati Koeswadji (1998), menyatakan pada asasnya hukum
kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar sosial
(the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri
dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination).
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing (1998) mentautkan hukum
kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan
kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan
dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas
pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi,
dan hak untuk memperoleh informasi. Demikian juga Leenen secara khusus,

4
menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar
bagi hukum kesehatan.

2.1.4 Batasan Hukum Kesehatan


Van der Mijn 1984, di dalam makalahnya menyatakan bahwa batasan sebagai
hokum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan yang
meliputi penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara atau
definisi hukum kesehatan adalah sebagai keseluruhan aktifitas juridis dan peraturan
hukum dalam bidang kesehatan dan juga studi ilmiahnya.
Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan
Leenen (1981) bahwa hukum kesehatan adalah tentang apa yang dimaksudkan
dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku
secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu
pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan
internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi,
dan doktrin.
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung
pada pemberian layanan kesehatan dan penerapannya pada hubungan perdata, hokum
administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak hanya mencakup pedoman
internasional, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan &
kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan
meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka
hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa
hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30
(tiga puluh) jenis peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kesehatan
(D.C.Jayasuriya, 1997).
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang
dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada

5
individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar
tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang
mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu
pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan
kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan
kesehatan.

2.1.5 Sejarah Hukum Kesehatan Indonesia


Diilhami oleh peristiwa terjadinya kasus Dr. Setianingrum (seorang dokter
Puskesmas Wedarijaksa, Kabupaten Pati) dengan Ny. Rukmini Kartono sebagai
pasiennya sekitar tahun 1981, yakni meninggalnya Ny. Rukmini karena kejutan
anfilatik akibat reaksi alergi dari suntikan streptomisip yang diberikan kepada Ny.
Rukmini. Reaksi yang timbul dari peristiwa tersebut dengan segala ikutannya ternyata
membawa dampak positif bagi kalangan pemegang profesi kedokteran dan profesi
hukum. Karena dengan peristiwa tersebut, lahirlah kemudian suatu disiplin ilmu
hukum yang mempelajari hubungan hukum dengan segala aspek yang berkaitan
dengan kesehatan seperti hubungan dokter dan pasien, dokter dan rumah sakit, pasien
dengan tenaga kesehatan dan lain sebagainya. Disiplin ilmu hokum yang dimaksud
adalah Hukum Kesehatan (health law) atau Hukum Kedokteran (medical law).
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda.
Perkembangannya dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia
tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of the Association
for Medical Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini. Di Indonesia
perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya Kelompok studi untuk
Hukum Kedokteran FK-UI/RS Ciptomangunkusumo di Jakarta tahun 1982.
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk di Jakarta
pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI) pada kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau kelompok-kelompok
profesi kesehatan yang saling berhubungan dengan yang lainnya, yakni : Hukum
Kedokteran, Hukum Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi,

6
Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan
Lingkungan, dan sebagainya (Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999).
Dilihat dari sisi sejarah Hukum Kesehatan sebagai salah satu cabang dari Ilmu
Hukum yang masih relatif baru berkembang. Ruang lingkup atau cakupan Hukum
Kesehatan ini meliputi bidang hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum
pidana dan hokum disiplin yang tertuju pada sub sistem kesehatan masyarakat.
Yang pasti dengan terjadiya kasus Pati ini, masyarakat Indonesia terbangun
dari lelap tidurnya dan otomatis membawa pergeseran pola hubungan antara dokter
dan pasien yang tadinya bersifat paternalistik dan berdasarkan kepercayaan semata
(fiduciary relationship), kini mengalami erosi yakni menuju ke arah hubungan dokter-
pasien yang mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan kritis.
Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap hukum kesehatan berpuncak yang
bermuara pada diundangkannya sebuah peraturan yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat, yakni tanggal 17 September 1992 melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

2.1.6 Sumber Hukum Kesehatan


Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Hukum kesehatan termasuk hukum
“lex specialis”, melindungi secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam
program pelayanan kesehatan manusia menuju ke arah tujuan deklarasi “health for
all” dan perlindungan secara khusus terhadap pasien “receiver” untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan
kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan, baik
sebagai perorangan (pasien) atau kelompok masyarakat.
Kesehatan di Indonesia dibangun melalui 2 pilar, yaitu hukum dan etik.
Hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta
berbagai
peraturan perundang-undangan lainnya khususnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

7
Kesehatan, sedangkan pilar etik bersumber dari kebijaksanaan organisasi profesi,
standar profesi, dan kode etik profesi. Sumber utama dari pilar etik ini adalah Kode
EtikRumah Sakit Indonesia (KODERSI) dan Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI). Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), merupakan kewajiban-
kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap rumah sakit (sebagai suatu lembaga)
dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di
Indonesia. Kewajiban kewajiban moral lembaga harus diterjemahkan menjadi
rangkuman nilai-nilai moral untuk dijadikan pegangan dan pedoman bagi para insan
rumah sakit di Indonesia dalam hal penyelenggaraan dan pengoperasian rumah sakit
di Indonesia.
Sumber hukum kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis (undang-
undang), namun juga pada jurisprudensi, traktat, konsensus, dan pendapat ahli hukum
serta ahli kedokteran termasuk doktrin.
Hukum kesehatan terkait dengan peraturan perundang-undangan dibuat untuk
melindungi kesehatan masyarakat di Indonesia. Bentuk hukum tertulis atau peraturan
undang-undang mengenai hukum kesehatan diatur dalam:
a. Undang-Undang
a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004).
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya
disebut UU No. 36 Tahun 2009).
c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya
disebut UU No. 44 Tahun 2009).
b. Peraturan Pemerintah.
c. Keputusan Presiden.
d. Keputusan Menteri Kesehatan.
e. Keputusan Dirjen/Sekjen.
f. Keputusan Direktur/Kepala Pusat.
Kemudian dengan berkembangnya otonomi daerah, masing-masing daerah
baik provinsi maupun kabupaten juga semakin marak untuk mengeluarkan
peraturan-peraturan yang terkait dengan kesehatan, misalnya :
1. Peraturan Daerah (Perda)
2. Keputusan Gubernur, Wali Kota atau Bupati
3. Keputusan Kepala Dinas Kesehatan

8
Seperti telah disebutkan bahwa hukum kesehatan adalah semua ketentuan
hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan
kesehatan dan penerapannya. Oleh sebab itu, hukum kesehatan mengatur dua
kepentingan yang berbeda, yakni:
1. Penerima pelayanan, yang harus diatur hak dan kewajiban, baik perorangan,
kelompok atau masyarakat.
2. Penyelenggara pelayanan: organisasi dan sarana-prasarana pelayanan, yang
juga harus diatur hak dan kewajibannya.
Mengingat banyaknya penyelenggara pelayanan kesehatan, baik dari segi
perorangan maupun kolektivitas, di mana masing-masing mempunyai
kekhususan antara pihak yang dilayani kesehatannya maupun sifat pelayanan
dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan, maka hukum kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi berbagai bidang, antara lain:
1. Hukum Kedokteran dan Kedokteran Gigi.
2. Hukum Keperawatan.
3. Hukum Farmasi Klinik.
4. Hukum Rumah Sakit.
5. Hukum Kesehatan Masyarakat.
6. Hukum Kesehatan Lingkungan.
7. Hukum Rumah Sakit.
8. Hukum Laboratorium Kesehatan
9. Hukum Asuransi
10. Dan lain-lain
Disamping ketentuan mengenai aturan sebagaimana dikemukakan di atas,
terdapat pula etika kesehatan berupa:
a. Lafal sumpah dokter, dokter gigi, Apoteker
b. Lafal sumpah tenaga keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan
c. Kode Etik Kedokteran, kedokteran gigi dan Apoteker
d. Kode etik keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan
e. Kode etik Rumah Sakit
Sedangkan hukum dan etik terkait dengan hukum kesehatan adalah:
a. Hukum Pidana, Perdata
b. Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara)
c. Hukum Agama, Militer
d. Etika Umum dan bisnis
e. Etika tenaga profesi lain (Hukum, Wartawan)
f. UU No 39 th 1999 (HAM)

9
Adanya hukum dan Etika tsb diatas, maka terdapat pula berbagai badan yang
melaksanakan pengawasan, mengontrol dan memberi sanksi. Badan-badan
peradilan tersebut antara lain:
1. Peradilan Pidana – Perdata
2. Peradilan Agama, Militer
3. Peradilan Administrasi / Tata Usaha Negara
4. Peradilan Hak Asasi Manusia
5. Peradilan Profesi Kesehatan
6. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
7. Badan Perlindungan Kesehatan Nasional
8. Majelis Pembinaan Pengawasan Etika Kesehatan Medis
9. Majelis Etika Profesi dan Rumah Sakit

2.1.7 Ruang Lingkup Hukum Kesehatan


Hukum kesehatan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur hak
dan kewajiban tenaga kesehatan, individu dan masyarakat dalam pelaksanaan upaya
kesehatan, aspek organisasi kesehatan dan aspek sarana kesehatan. Selain itu, hukum
kesehatan dapat juga dapat didefinisikan sebagai segala ketentuan atau peraturan
hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun social yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan merupakan salah satu
unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan amanah konstitusi dasar Negara
dan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karenanya, untuk setiap kegiatan dan atau upaya
yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya harus dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan daya saing bangsa serta
pembangunan nasional Indonesia. Hukum kesehatan berperan untuk mengusahakan
adanya keseimbangan tatanan di dalam upaya pelaksanaan kesehatan yang dilakukan

10
oleh pemerintah dan masyarakat serta memberikan jaminan kepastian hukum sesuai
dengan hukum kesehatan yang berlaku.
Hukum kesehatan memiliki cakupan yang lebih luas daripada hukum medis
(medical law). Hukum kesehatan meliputi, hukum medis (medical law), hukum
keperawatan (nurse law), hukum rumah sakit (hospital law), hukum pencemaran
lingkungan (environmental law) dan berbagai macam peraturan lainnya yang
berkaitan dengan kesehatan manusia. Hukum kesehatan tidak dimuat dalam satu
kitab khusus seperti halnya kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Hukum
kesehatan dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundangundangan yang
mengatur tentang kesehatan manusia atau peraturan perundang-undangan lainnya
yang memuat pasal atau ketentuan mengenai kesehatan manusia. Ketentuan
mengenai hukum kesehatan tersebut penerapannya dan penafsirannya serta penilaian
terhadap faktanya merupakan bidang medis. Itulah sebabnya hukum kesehatan
merupakan salah bidang ilmu yang cukup sulit untuk ditekuni karena harus terkait
dengan 2 (dua) disiplin ilmu sekaligus.

2.1.8 Pokok-pokok Pengaturan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan dan Problematikanya
Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
hukum kesehatan public (public health law) dan Hukum Kedokteran (medical
law). Hukum kesehatan public lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan
masyarakat atau mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk
hukum kedokteran, lebih memilih atau mengatur tentang pelayanan kesehatan
pada individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut tentang
pelayanan kesehatan.
Regulasi bidang hukum kesehatan seperti yang saat ini menjadi rujukan
dalam
menyelenggarakan sesuatu berkaitan dengan masalah kesehatan adalah Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009).

11
Beberapa hal penting diatur dalam UU Kesehatan adalah mengenai upaya
kesehatan, tenaga kesehatan, sarana kesehatan, obat dan alat kesehatan.
1. Upaya Kesehatan
Pengertian secara umum mengenai upaya kesehatan yang diatur dalam UU
No. 36 Tahun 2009 adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk pemeliharaan
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
oleh pemerintah dan/atau masyarakat
Sedangkan mengenai Penyelenggaraan Upaya Kesehatan UU No. 36 Tahun
2009 mengaturnya sebagai berikut :
a. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat28.
b. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Dalam upaya kesehatan, terkait dengan implementasinya adalah mengenai
penyelenggaraannya. Kegiatan-kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan
dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut30 :
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.

12
2. Pengaturan berkaitan dengan tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peran
pentingdalam pelaksanaan penyelenggaraan kesehatan. Tanpa adanya tenaga
kesehatan, mustahil penyelenggaraan kesehatan akan terlaksana. Dalam UU
Kesehatan No.36 Tahun 2009 dimaksud sebagai tenaga kesehatan adalah: “setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan”

3. Pengaturan berkaitan dengan sarana kesehatan


Pengertian umum mengenai sarana kesehatan tidak disebut secara tegas dalam
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun disebutkan tentang
penempatan jumlah tenaga kesehatan dengan pemerataan sarana pelayanan
kesehatan.

4. Pengaturan berkaitan dengan Obat dan Alat Kesehatan


a. Pengaturan tentang Obat
Berkaitan dengan sediaan farmasi adalah bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
b. Pengaturan tentang Alat Kesehatan
Dalam Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang ketentuan
umum disebutkan bahwa alat kesehatan merupakan sumber daya di bidang
kesehatan.

13
2.2 HUKUM KEDOKTERAN
Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
hukum kesehatan public (public health law) dan Hukum Kedokteran (medical law).
Hukum kesehatan public lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan
masyarakat atau mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk
hukum kedokteran, lebih memilih atau mengatur tentang pelayanan kesehatan pada
individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut tentang pelayanan
kesehatan.
Di Indonesia, perkembangan hukum kesehatan dimulai dengan terbentuknya
kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI dan Rumah Sakit
Ciptomangunkusomo di Jakarta tahun 1982. Hal ini berarti, hampir 15 tahun setelah
diselenggarakan Kongres Hukum Kedokteran Dunia di Belgia. Kelompok studi
hukum kedokteran ini akhirnya pada tahun 1983 berkembang menjadi Perhimpunan
Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI). Pada kongres PERHUKI yang pertama di
Jakarta, 14 April 1987. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau
kelompok-kelompok profesi kesehatan yang saling berhubungan dengan yang
lainnya, yakni : Hukum Kedokteran, Hukum Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan,
Hukum Farmasi, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum
Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya.
Hukum Kedokteran, adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut
pelayanan kesehatan secara individu (kesehatan individu). Apabila mengacu pada
UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 1 angka 1, bahwa praktik
kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, oleh karena itu, konsentrasi

14
studi hukum kedokteran terkait erat dengan praktik profesi kedokteran, baik dokter
maupun dokter gigi, antara lain, meliputi hak dan kewajiban pasien serta dokter, ijin
tindakan medis, malpraktik medis, dsb.
Menurut Prof Dr. H.J.J Leenen, hukum kesehatan adalah suatu bidang hukum
yang mencakup seluruh aturan hukum yang berhubungan langsung dengan bidang
pemeliharaan kesehatan/ pelayanan kesehatan dan penetapan dari hukum perdata,
hukum administrasi dan hukum pidana dalam hubungan tersebut. Sedangkan Hukum
Kedokteran dalam arti luas yakni medical law yaitu ketentuan-ketentuan hukum
yang menyangkut bidang medis baik profesi medis dokter maupun tenaga medis dan
para medis lainnya. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu ketentuan-ketentuan
hukum yang hanya berkaitan dengan profesi dokter saja, dan biasa disebut dengan
Hukum Profesi Dokter.
Pada zaman sekarang ini hampir tidak ada satu pun bidang kehidupan
masyarakat yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun sebagai
perilaku yang tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai keadaan maupun sebagai
perilaku yang unik dan teratur. Hal ini disebabkan manusia mempunyai hasrat untuk
hidup teratur. Hukum juga kini telah menjamah bidang pelayanan kesehatan dalam
bentuk spesialisasinya yaitu hukum kesehatan maupun hukum kedokteran.
Masuknya disiplin hukum dalam bidang kesehatan terutama dalam menyelesaikan
pesoalan-persolan hukum yang timbul dari praktek profesi tenaga kesehatan,
khususnya profesi dokter, yang telah menimbulkan dua pandangan yang saling
bertentangan.
Pandangan pertama berpendapat bahwa profesi kedokteran harus dibiarkan
bebas untuk mengatur dirinya. Tidak ada kewenangan dari luar kalangan profesi
kedokteran untuk turut campur menangani profesi kedokteran ini. Profesi kedokteran
telah mempunyai kode etik kedokteran sendiri yang berisi aturan-aturan perilaku
yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang dokter dalam hubungan
dengan dirinya sendiri, hubungan dengan teman sejawat, hubungan dengan pasien,
sehingga tidak diperlukan lagi campur tangan dari luar kalangan profesi kedokteran.
Kelompok ini juga berpendapat bahwa apabila hukum mengharuskan dokter
bertindak berdasarkan kaedah-kaedah hukum maka dikhawatirkan bahwa dokter

15
menjalankan kewajiban-kewajibannya karena takut akan sanksi hukum belaka
bukan karena kesadaran dan tanggung jawab moralnya. Dan suatu sikap saling
percaya antara dokter dan pasien akan lebih besar kemungkinan berkembang
berdasarkan moralitas daripada hubungan yang hanya diatur oleh ketentuanketentuan
hukum saja.
Sebaliknya pandangan kedua berpendapat bahwa dokter tidak dapat dibiarkan
bebas mengatur dan menentukan yang terbaik dalam hubungannya dengan pasien.
Harus dibuat suatu ketentuan-ketentuan hukum yang dapat mengatur hak-hak dan
kewajiban pasien maupun dokter. Sehingga diharapkan adanya keserasian antara dua
kepentingan yang berbeda antara dokter dan pasien. Bahwa tidaklah adil dan tidak
tepat bila dokter diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan atau memutuskan
masalah yang berhubungan dengan hidup atau matinya orang lain yaitu pasien tanpa
adanya campur tangan dari yang berkepentingan yaitu pasien dan atau keluarga
pasien. Ada juga dokter junior yang menggunakan izin praktek dokter senior dalam
memberikan tindakan medis kepada pasien. Ini jelas melakukan praktek tanpa izin.
Dalam praktek kedokteran, mungkin saja terjadi adanya suatu pelanggaran
disiplin. Jadi ada penilaian khusus, yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia. Disiplin artinya ilmu, Majelis Kehormatan Disiplin
artinya, majelis yang melakukan suatu penelitian apakah suatu ilmu dilakukan
dengan betul oleh para dokter. Jika ada penyimpangan dari penggunaan ilmu tersebut
disengaja atau tidak, atau berada di luar garis-garis standar yang sudah di gariskan,
mungkin terjadi suatu penyimpangan yang kemudian bisa dinilai sebagai suatu
pelanggaran disiplin. Walaupun pelanggaran disiplin sendiri definisnya lebih dari
sekedar penyimpangan dari standar. Pelanggaran disiplin bisa saja terjadi pada
pekerjaan apapun, apakah dokter, akuntan, insinyur, bisa saja terjadi kesalahan yang
namanya human error (kesalahan karena kesalahan manusia). Tapi seberapa besar
kesalahan manusia, itu harus jelas pembuktian dan sanksinya. Pelanggaran disiplin
tersebut karena adanya suatu kesenjangan dalam pemberian informasi kepada pasien,
sehingga pasien tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang sakitnya,
serta upaya-upaya apa yang dilakukan terhadap dirinya dan kemungkinan berhasil
atau tidak upaya-upaya itu. Kesenjangan ini jika tidak dijembatani, akan terjadi

16
ketidakpuasan dan menuju ke suatu penuntutan pelanggaran kedisiplinan. Tidak ada
standar pelayanan kedokteran yang legal. Standar prosedur operasi yang adapun
tidak seragam. Banyak rumah sakit di Indonesia menerbitkan standar berbeda
dengan rumah sakit lainnya. Sehingga, pembuktian malpraktik tentu saja semakin
sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit. Padahal dugaan malpraktik bisa saja
timbul karena dokter tidak sepenuhnya menerapkan informed consent, yaitu suatu
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Artinya, dokter tidak
menceritakan secara panjang lebar mengenai penyakit, pemeriksaan, serta terapi
yang akan dijalani. Akibatnya, pasien tidak mendapatkan haknya. Jangankan tahu
prosedur bedah dan pengobatan banyak pasien keluar dari ruang dokter tidak tahu
diagnosisnya. Pasien pun terpaksa menandatangani surat persetujuan karena ingin
cepat sembuh. Seharusnya dokter menemui pasien dan menceritakan semua
informasi tersebut.
Dalam bidang Hukum Kedokteran yang sangat terkait dengan fungsi hukum,
yaitu perlindungan dan kepastian hukum. Hukum Kedokteran akan membahas
hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter sebagai pemberi pelayanan
kesehatan kepada pasien, sedangkan pasien sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh dokter.
Dalam upaya pelayanan medis, timbulnya suatu hubungan hukum antara
dokter dan pasien. Dengan timbulnya suatu perikatan medis tersebut dapat terjadi
melalui dua bentuk, yaitu:
1. Berdasarkan persetujuan
Hubungan hukum antara dokter-pasien berdasarkan perjanjian timbul pada saat si
pasien tersebut datang ketempat praktek dokter atau ke rumah sakit, lalu meminta
pelayanan medis, kemudian sang dokter langsung melakukan pemeriksaan . Pada saat
itulah sang dokter harus berupaya untuk dapat menyembuhkan pasiennya.Tetapi
seorang dokter
juga tidak akan menjamin 100% bahwa pasien tersebut akan sembuh total, sebab
banyak faktor yang akan mempengaruhi hasil usaha dokter tersebut.
2. Berdasarkan Undang-Undang

17
Berdasarkan Undang-Undang, apabila ada pasien gawat membutuhkan pertolongan
dokter sesegera mungkin yang jika tidak diberi pertolongan nyawanya akan
melayang. Dalam keadaan ini, Undang-Undang mewajibkan seorang dokter untuk
segera melakukan pertolongan baik dengan maupun tanpa persetujuan pasiennya.
Hukum Kedokteran, sebagai bagian dari hukum kesehatan yang terpenting,
meliputi ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan medis. Hukum
Kedokteran disebut juga hukum kesehatan dalam arti sempit. Apabila objek hukum
Kesehatan adalah pelayanan kesehatan maka objek hukum kedokteran adalah
pelayanan medis. Hukum Kedokteran dianggap bagian terpenting dari hukum
kesehatan karena hampir selalu terdapat persinggungan atau daerah-daerah kelabu
antara hukum kedokteran dengan bidang-bidang hukum lainnya. Hukum Kedokteran
sendiri, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Hukum Kedokteran dalam arti luas yaitu medical law yaitu ketentuanketentuan
hukum yang menyangkut bidang medis baik profesi medis dokter maupun tenaga
medis dan para medis lainnya.
2. Hukum Kedokteran dalam arti sempit yaitu artzrecht yaitu ketentuanketentuan hukum
yang hanya berkaitan dengan perofesi dokter saja, dan biasa disebut dengan Hukum
Profesi Dokter.
Hukum Kedokteran sebagai suatu bentuk spesialisasi dari ilmu hukum mempunyai
ruang lingkup yang sebenarnya belum mempunyai bentuk yang baku.

2.2.1 Hubungan antara Dokter dan Pasien (Transaksi Terapeutik)


Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya
Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi para dokter di Indonesia, mencantumkan
tentang pengertian perjanjian terapeutik sebagai berikut “Yang dimaksud dengan
perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan
dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan, dan kekhawatiran mahkluk insan.
Hubungan dokter dan pasien selain hubungan antara sesama manusia, lebih
dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia. Dalam

18
hubungan seseorang dengan dokter maka faktor kepercayaan menjadi salah satu
dasarnya artinya pasien berhubungan dengan dokter itu, yakin bahwa dokter tersebut
dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan dari pesien
inilah yang mengakibatkan kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan
pasien, di samping faktor keawaman pasien terhadap profesi dokter dan faktor
adanya sikap solider antar teman sejawat, serta adanya sikap isolatif terhadap profesi
lain. Hubungan antara dokter dan pasien yang terjadi karena adanya hubungan
hukum merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan
perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Dalam praktiknya, baik
hubungan antara pasien dengan dokter yang diikat dengan transaksi terapeutik,
maupun yang didasarkan pada zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya
kesalahan atau kelalaian, dalam hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan
melalui jalur hukum dengan melanjutkan perkaranya ke pengadilan.
Syarat sahnya perjanjian terapeutik dan pengaturannya:
Oleh karena perjanjian terapeutik merupakan perjanjian , maka menurut
Veronica Komalawati terhadap perjanjian terapeutik juga berlaku hukum perikatan
yang timbul dalam Buku III KUHPerdata, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal
1319 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu
nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan hukum umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. untuk
sahnya perjanjian terapeutik sebagaimana perjanjian pada umumnya, maka harus
dipenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai
berikut :
(1) Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya
(2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(3) Mengenai suatu hal tertentu untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut harus dipenuhi syarat-syarat
yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan akibat yang ditimbulkannya di atur
dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.
Dalam perjanjian terapeutik, pihak penerima pelayanan medik dapat meliputi
berbagai macam golongan umur dan berbagai jenis pasien yang terdiri dari yang

19
cakap bertindak maupun yang tidak cakap bertindak. Hal ini harus disadari oleh
dokter sebagai salah satu pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian
terapeutik, agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
Dalam perjanjian terapeutik, mengenai hal tertentu yang diperjanjikan adalah
upaya penyembuhan terhadap penyakit yang tidak di larang oleh undang-undang.
Dalam hukum perikatan di kenal adanya dua macam perjanjian yaitu :
1) Ispanningverbintenis yaitu perjanjian upaya artinya kedua belah pihak berjanji
atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan.
2) Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau
hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan
Perjanjian terapeutik termasuk dalam ispaningverbintenis, karena dokter
tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dilakukan dokter
adalah melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien.
Dalam melakukan upaya ini, dokter harus melakukan dengan penuh kesungguhan
dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya dengan berpedoman
kepada standar profesi.
Dalam perjanjian terapeutik, tujuan kesembuhan pasien merupakan sebab
yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk diperjanjikan. Tindakan
pengguguran kandungan tanpa indikasi medis dan euthanasia adalah salah satu
contoh sebab yang tidak diperbolehkan (dilarang) oleh undang-undang untuk
diperjanjikan, sehingga hal ini diperjanjikan maka perjanjian terapeutik yang dibuat
tidak sah karena tidak memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.
Berdasarkan perjanjian terapeutik itulah lahir hak dan kewajiban antara
pasien dan dokter secara timbal balik. Dokter di satu pihak dan pasien di pihak lain
dalam satu hubungan perjanjian terapeutik ialah berkedudukan sama sebagai subyek
hukum dan dalam menanggung hak dan kewajiban.
Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan
keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola
hubungan, yaitu :

20
a. Activity – passivity
Disini Dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa
campur tangan pasien dengan suatu motivasi altruistis. Biasanya hubungan ini
berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar,
atau menderita gangguan mental berat.

b. Guidance-Cooperation
Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit
infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan
memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan
pengobatan dan bersedia bekerja sama.
c. Mutual participation
Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya
seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan
aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.
Apabila hubungan dokter dan pasien dilihat dari sudut pandang hukum,
hubungan tersebut merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal yang
umumnya terjadi melalu suatu perjanjian atau kontrak. Dokter tidak menjanjikan
kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh. Apabila
Dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta
hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling pengertian, umumnya
tidak akan ada permasalahan yang menyangkut jalur hukum.

2.2.2 Dokter dan Pasien


a. Definisi Dokter dan Pasien
Di dalam masyarakat seorang yang menyandang profesi dokter seringkali
dianggap mempunyai status sosial dan status ekonomi yang cukup tinggi di tengah-
tengah masyarakat. Tapi saat ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan yang sangat
diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Walaupun pada kenyataannya
dokter tidaklah berdiri sendiri. Pada prakteknya dokter menggunakan tekhnologi
kedokteran guna menunjang tujuannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya memberikan

21
sebutan dokter kepada setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah
sakit atau di puskesmas, meskipun kenyataannya yang memberikan pelayanan
kesehatan itu hanya seorang mantri atau perawat saja. Di dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabadikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran, yang dimaksud dokter sesuai dengan Pasal 1 (satu), Dokter dan dokter
gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan dokter spesialis adalah seseorang yang telah memenuhi seluruh
tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan
spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang
spesialisasinya itu. Setiap dokter harus menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak
akan pernah mengetahui semua permasalahan di bidang kedokteran karena bidang ini
sangat luas. Sehingga konsultasi dengan sesama dokter maupun spesialis bagi dokter
umum sangatlah diperlukan, tidak saja bagi kebaikan pasien tapi juga kebaikan dokter
yang bersangkutan. Namun yang dimaksud dengan dokter oleh penulis disini, bahwa
dokter adalah seorang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan khusus yang
diperolehnya secara akademik dari lulusan pendidikan ilmu kedokteran yang
mempunyai izin praktek dari pihak-pihak yang berwenang. Oleh Soerjono Soekanto
dikatakan pula bahwa dokter disini tidak termasuk dokter yang tidak memiliki izin
praktek sesuai standard kode etik kedokteran, dan tenaga paramedis yang bekerja di
bidang pelayanan kesehatan individual, seperti bidan, dukun, dan lainnya.
Seperti halnya dengan pengertian dokter, seorang pasien juga memiliki
pengertian tersendiri. Pasien adalah seorang yang berdasarkan pemeriksaan dokter
dinyatakan mengidap penyakit baik di dalam tubuh maupun di dalam jiwanya. Di
dalam perkembangannya maka pasien juga diartikan secara luas yaitu termasuk orang
yang datang kepada dokter hanya untuk check-up, untuk konsultasi tentang suatu

22
masalah kesehatan, dan lain-lain. Jadi tidak terbatas pada orang yang sakit atau
dianggap sakit oleh dokter. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran, yang dimaksud dengan Pasien sesuai dengan Pasal 1 (satu)
adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperolah pelayanan kesehatan yang diperlukan secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi. Jika dilihat dari cara perawatan maka pasien
dapat dibedakan atas:
a. Pasien opname, adalah pasien yang memerlukan perawatan khusus dan terus
menerus secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan
dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan
dapat menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien yang diopname
adalah pasien yang telah mendapat diagnosa dokter bahwa pasien ini harus
dirawat secara khusus karena penyakitnya membutuhkan perawatan dan
pengobatan secara intensif dan khusus. Dengan demikian perawatan itu akan
mengikuti cara-cara pengobatan secara teratur dan terus menerus, sehingga
diharapkan dalam waktu yang singkat pasien akan sembuh.
b. Pasien berobat jalan, adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan secara
khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang
berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak
membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup
datang pada waktu-waktu tertentu saja.
b. Hak dan Kewajiban Dokter
Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan
hukum dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkrit, dan dilakukan sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang ilmu kedokteran.Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Pasal 50, hak dokter:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar
profesi dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional.
c. Memperolah informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

23
d. Menerima imbalan jasa.
Pada pasal tersebut yang dimaksud mengenai standard profesi ialah batasan
kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai
oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan yang dimaksud
dengan standard prosedur operasional ialah suatu perangkat instruksi atau langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
Hak – hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujurjujurnya
dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun
terapeutik.
b. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanannya yang
diberikan kepada pasien.
c. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya.
d. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan
kesehatan yang diberikannya.
e. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien ataupun
keluarganya.
Selain Hak-hak dokter diatas, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ia
laksanakan sesuai dengan tanggung jawab profesionalis. Jika diperhatikan Kode
Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya terkandung
beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-
kewajiban tersebut meliputi:
a. Kewajiban umum
b. Kewajiban terhadap penderita
c. Kewajiban terhadap teman sejawatnya
d. Kewajiban terhadap diri sendiri
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Harmien Hadiati
Koeswaji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan
sebagai berikut:

24
a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara
adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan menghasilkan satu
hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha
sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dokter
wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan menjalankan tugasnya.
b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan
dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali
apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya.
c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter ini
dalam hal perjanjian perawatan menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan
kewajiban pasien.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 51, kewajiban dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien tersebut meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi
Sepanjang diketahui di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, penulis hanya dapat menemui dua buah pasal yang berkaitan dengan
kewajiban dokter, yakni pasal 50 dan pasal 53 ayat (2). Pasal 50 menyatakan bahwa
tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan
sesuai dengan bidang keahlian atau kewenangan tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Dari perumusan pasal tersebut dapat diketahui adanya kewajiban

25
dokter sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan untuk bekerja atau melakukan
kegiatan kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan kewenangannya saja. Dan
selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) menyebutkan Tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
mematuhi hak pasien. Artinya bahwa standar profesi adalah pedoman yang harus
dipergunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik. Tenaga
Kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam
melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien.
Kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar Dokter menjalankan
profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Malahan tugas dokter
tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, karena dokter harus ikut aktif
dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan. Atas hal tersebut jika motivasi
seseorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan, dokter tersebut dapat
digolongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk bekerja sedikit
dengan hasil banyak, dokter tersebut akan tergelincir untuk melanggar kode etik dan
sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada keinginan untuk
memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri, akan mudah
baginya untuk menghayati dan mengamalkan kode etik dan sumpahnya. Disamping
itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi, serta
meningkatkan ketrampilannya sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya
tidak perlu disangsikan lagi.

c. Hak dan Kewajiban Pasien


Dalam pandangan hukum, pasien adalah subyek hukum mandiri yang
dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya sendiri. Setiap
hubungan hukum yang bersifat timbal balik akan selalu mempunyai dua segi yang
isinya di satu pihak adalah hak dan di pihak lain adalah kewajiban. Dengan lain
perkataan bahwa hak pihak pertama merupakan kewajiban pihak kedua dan
sebaliknya kewajiban pihak pertama itu merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian
juga dengan hubungan hukum antara dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan
kewajiban. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek

26
Kedokteran Pasal 52, pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. Menolak tindakan medis
e. Mendapatkan isi rekam medis
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 53 pasien dalam menerima pelayanan pada praktek kedokteran, mempunyai
kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di dalam sarana pelayanan kesehatan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara
umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Hak pasien atas perawatan
b. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat
pasien
d. Hak atas informasi
e. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin
f. Hak atas rasa aman
g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan
i. Hak atas twenty for a day visitor rights
j. Hak pasien mengenai bantuan hukum
k. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan
atau ahlinya.

27
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
dikatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Bersamaan dengan hak tersebut juga pasien juga mempunyai
kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien
berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan
sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang
harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban memberikan informasi
b. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
c. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya
dengan dokter atau tenaga kesehatan
d. Kewajiban memberikan imbalan jasa
e. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau
tenaga kesehatan
Selain kewajiban yang disebutkan diatas, Pasien juga memiliki kewajiban dalam
membantu kesembuhan dirinya. Pasien-pasien juga mempunyai kewajiban
kewajiban yang oleh Jusuf Hanafiah disebutkan sebagai berikut:
a. Pasien wajib memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter. Memang ada
tuntutan bahwa dokter harus siap melayani pasien setiap waktu, namun alangkah
baiknya bila pasien dapat berobat pada jam kerja karena dokter adalah manusia
biasa yang juga memerlukan istirahat yang cukup. Ini diperkecualikan untuk
kasus gawat darurat.
b. Memberikan informasi yang benar dengan lengkap tentang penyakitnya.
Informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarganya merupakan hal yang
penting bagi dokter dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit.
c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
d. Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter yang berkaitan dengan
penyakitnya baik tentang yang berkaitan dengan makan dan minum, maupun
istirahat cukup, dan sebagainya.
e. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.Dalam mengusahakan
kesembuhannya, pasien harus yakin kalau dokter akan berupaya semaksimal

28
mungkin di dalam mengobat dirinya.Karena itu, pasien harus bisa bekerja sama
dan kooperatif pada saat dokter akan melakukan pemeriksaan.
f. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan, dan pengobatan
serta honorarium dokter.

2.2.3 Imbalan Jasa Dokter


Dalam pasal 3 KODEKI dinyatakan bahwa “dalam melakukan pekerjaan
kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipebgaruhi oleh sesuatu yang
mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi”. Profesi kedokteran
lebih merupakan panggilan perikemanusiaan dengan mendahulukan keselamatan dan
kesehatan pasien serta tidak mengutamakan keuntungan pribadi. Walaupun salah satu
kewajiban pasien/keluarga dalam kontrak terapeutik adalah memberikan imbalakn
jasa untuk dokter dan itu merupakan hak dokter, namun tidak dapat disamakan
dengan imbalan jasa dalam usaha lainnya. Karena itu, dalam pelayanan kedokteran
tidak dikenal tarif dokter yang tetap, tetapi yang wajar sesuai kamampua
pasien.keluarganya. Karena itu pula, imbalan jasa dokter tidak disebut sebagai
upah/gaji, tetapi disebut sebagai honorarium (pemberian yang diterima dengan penuh
penghormatan.
Pedoman Imbalan Jasa Dokter
Imbalan jasa untuk dokter secara garis besar berpedoman pada:
1. Kemampuan pasien/keluarga: dinilai dari latar belakang sosioekonomi pasien,
kelas ruang rawat di rumah sakit, dan apakah ditanggung oleh asuransi atau
perusahaan tempat pasien bekerja.
2. Sifat pertolongan yang diberikan: pelayanan kedokteran yang memerlukan alat-
alat yang canggih tentu memerlukan biaya yang lebih besar. imbalan jasa
diperingan atau dibebaskan pada pertolongan pertama pada kecelakaan. Imbalan
jasa dapat pula ditambah jika dokter dipanggil ke rumah pasien.
3. Waktu pelayanan: pada hari libur atau pada malam hari imbalan dokter dapat
ditambahkan. Sebaliknya, pasien yang dirawat terlalu lama di rumah sakit,
imbalan jasa sewajarnya dikurangi.
Sebenarnya yang lebih baik dalam memelihara hubungan dokter dan pasien ialah
adanya pihak ketiga dalam menentukan imbalan jasa untuk berbagai tindakan
dokter, misal pimpinan rumah sakit. Imbalan jasa dokter tidak diminta dari teman

29
sejawat dan keluarga kandungnya, mahasiswa kedokteran dan kesehatan, dan
siapapun yang dikehendakinya (semua yang akrab dengan dokter.
Poin penting etika kedokteran terkait imbalan jasa dokter.
1. Pedoman dasar imbalan jasa dokter adalah sebagai berikut:
a. Imbalan jasa dokter disesuaikan dengan kemampuan pasien.
b. Dari segi medik, imbalan jasa dokter dapat ditetapkan dengan mengingat karya
dan tanggung jawab dokter .
c. Besarnya imbalan jasa dokter dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada pasien.
d. Imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan pada dasarnya tidak dapat
diseragamkan. Dalam pasal 53 UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
dinyatakan bahwa pasien dalam menerima pelayanan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
e. Bagi pasien yang mengalami musibah akibat kecelakaan, pertolongan pertama
lebih diutamakan daripada imbalan jasa.
f. Dalam hal ada ketidakserasian mengenai imbalan jasa dokter yang diajukan ke
IDI, IDI akan mendengarkan kedua belah pihak sebelum menetapkan
keputusannya.
g. Imbalan dokter spesialis lebih besar bukan saja didasarkan atas kelebihan
pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga atas kewajiban dan keharusan
spesialis menyediakan alat kedokteran khusus untuk menjalankan tugas
spesialisnya.
h. Imbalan jasa dapat ditambah dengan biaya perjalanan jika dokter dipanggil ke
rumah pasien.
i. Jasa yang diberikan pada malam hari atau hari libur dinilai lebih tinggi dari biaya
konsultasi biasa. Namun tetap ikutilah perasaan kemanusiaan terhadap pasien.
j. Tidak membenarkan memberikan sebagian dari imbalan jasa kepada teman
sejawatnya yang mengonsultasikan pasien.
k. Imbalan jasa doter yang bertugas memelihara kesehatan para karyawan atau
pekerja suatu perusahaan, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu banyaknya
karyawan dan keluarganya, frekuensi kunjungan kepada perusahaan tersebut, dan
sebagainya. Dokter tidak mengunjungi perusahaan secara berkala dan hanya
menerima karyawan yang sakit di temoat praktiknya tidak jarang terjadi. Ada
imbalan yang tetap besarnya tap bulan, ada yang menurut banyaknya konsultasi,
atau kombinasi kedua cara tersebut.
l. Perkiraan imbalan jasa dokter ditentukan bersama oleh Kepala Lantor Wilayah
Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia setempat.

30
2. Hal-hal yang dilarang adalah sebagai berikut:
i. Menjual contoh obat yang diterima cuma-cuma dari perusahaan farmasi.
ii. Menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter telah
menerima komisi dari perusahaan farmasi.
iii. Mengizinkan penggunaan nama dan profesi sebagai dokter untuk kegiatan
pelayanan kedokteran kepada orang yang tidak berhak.
iv. Melakukan tindakan kedokteran yang tidak perlu atau tanpa indikasi yang
jelas.
v. Melakukan usaha untuk menarik perhatian umum dengan maksud supaya
praktik lebih dikenal orang lain dan pendapatannya bertambah, misal dengan
mempergunakan iklan.
vi. Meminta dahulu sebagian atau seluruh imbalan jasa perawatan/pengobatan
sebelum pelayanan diberikan.
vii. Meminta tambahan honorarium untuk dokter spesialis bedah/kandungan
setelah mengetahui bahwa kasus yang ditanganinya lebih sulit.
viii. Mengeksploitasi dokter lain dengan pemberian persentasi imbalan jasa tidak
adil.
ix. Merujuk pasien ke tempat sejawat kelompoknya, walaupun di dekat tempat
praktiknya ada sejawat lain yang mempunyai keahlian yang diperlukan.

2.2.4. Rekam Medis


Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Rekam medis ditetapkan dalam Permenkes No.
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis / Medical Record (selanjutnya
disebut Permenkes Rekam Medis). Keberadaan rekam medis diperlukan dalam sarana
pelayanan kesehatan, baik ditinjau dari segi pelaksanaan praktek pelayanan kesehatan
maupun dari aspek hukum. Peraturan hukum yang berhubungan dengan pelaksanaan
pelayanan kesehatan mencakup aspek hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi. Dari aspek hukum, rekam medis dapat dipergunakan sebagai alat bukti
dalam perkara hukum. Rekam medis terkait dengan standar pelayanan rumah sakit
dan pelayanan kesehatan. Penyediaan fasilitas rekam medis merupakan alat bukti
dalam proses pelayanan kesehatan yang telah diberikan pada pasien. Ketentuan rekam

31
medis ditetapkan dalam rangka untuk membina organisasi dan management rumah
sakit.
Sejak diterbitkannya keputusan Men.Kes. RI No.031/Birhup/1972 yang
menyatakan bahwa semua rumah sakit diharuskan mengerjakan medical recording
dan reporting dan hospital statistic. Keputusan tersebut kemudian dilanjutkan dengan
adanya keputusan Men. Kes. RI No.034/Birhup/1972 tentang perencanaan dan
pemeliharaan Rumah Sakit.
Dasar pertimbangan perlunya penyediaan rekam medis menurut Permenkes
Rekam Medis adalah dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat perlu adanya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Di samping itu,
dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan harus disertai adanya sarana penunjang
yang memadai, antara lain melalui penyelenggaraan rekam medis pada setiap sarana
pelayanan kesehatan. Dengan demikian, rekam medis merupakan hak bagi pasien
yang perlu disediakan terutama untuk kepentingan pelayanan yang optimal.
Hal-hal yang harus dicantumkan dalam rekam medis adalah sebagai berikut :
- Identitas penderita;
- Riwayat penyakit;
- Laporan pemeriksaan fisik;
- Instruksi diagnostik dan terapeutik yang ditandatangani oleh dokter yang
berwenang;
- Catatan pengamatan atau observasi;
- Laporan tindakan dan penemuan;
- Ringkasan riwayat pada waktu pasien meninggalkan sarana pelayanan kesehatan;
- Kejadian-kejasian yang menyimpang
Pasal 13 Permenkes Rekam Medis menyatakan : Rekam medis dapat dipakai
sebagai :
a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum;
c. Keperluan penelitian dan pendidikan;
d. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan.
e. Data statistik kesehatan.

32
IDI juga menerbitkan fatwa IDI tentang RM, dalam SK No.315/PB/A.4/1988
yang menekankan bahwa praktek profesi kedokteran harus melaksanakan RM. Fatwa
ini tidak saja untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga untuk dokter
praktek pribadi.
Dari pernyataan IDI tersebut, penyediaan fasilitas rekam medis bersifat wajib.
Sanksi yang dapat dijatuhkan atas pelanggaraan penyediaan rekam medis adalah
sebagai berikut:
- Pasal 17 Permenkes Rekam Medis menyatakan : pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran
lisan sampai pencabutan surat ijin;
- Pasal 79 huruf b UU Praktek Kedokteran menyatakan : dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(Lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak
membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
Fungsi rekam medis di bidang hukum dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
dalam perkara hukum. Di bidang perdata, rekam medis dapat dipergunakan sebagai
dasar pembuktian apabila terjadi gugatan ganti kerugian terhadap tenaga kesehatan
atas dugaan malpraktik medis.
Tindak pidana tidak seluruhnya dilaporkan pada polisi untuk selanjutnya
dilakukan tindakan pengusutan. Di samping itu, tidak setiap korban tindak pidana
dapat melaporkan peristiwa pidana yang dialami. Apabila korban tindak pidana tidak
melaporkan terjadinya peristiwa pidana, maka akibatnya tidak ada permintaan dari
pihak penyidik kepada dokter untuk membuat Visum et Repertum. Rekam medis
yang diberikan pada korban tindak pidana (sebagai pasien) dapat berfungsi sebagai
alat bukti, baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata. Hal ini
ditentukan dalam Permenkes Rekam Medis Pasal 13 huruf b, yang menyatakan
bahwa Rekam Medis dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara
hukum.
Khusus dalam perkara pidana, pembuktian tentang terjadinya tindak pidana,
dapat diberikan pada proses pemeriksaan penyidikan sampai di tingkat persidangan.
Pemaparan isi rekam medis untuk pembuktian perkara hukum, dapat dilakukan oleh

33
dokter yang merawat pasien, baik dengan ijin tertulis, maupun tanpa ijin dari pasien.
Tindakan tersebut berdasarkan Permenkes Rekam Medis Pasal 11 ayat (2) yang
menyatakan “pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan” isi rekam
medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Penyidik dapat meminta kopi rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan
yang menyimpannya, untuk melengkapi alat bukti yang diperlukan dalam perkara
hukum (pidana). Kopi rekam medis tidak dapat menggantikan kedudukan Visum et
Repertum sebagai alat bukti sah dalam perkara pidana, karena prosedur dan syarat
pembuatan Visum et Repertum berbeda dengan rekam medis. Namun demikian,
dalam rangka pembutian perkara pidana, kopi rekam medis dapat berfungsi sebagai
alat bukti surat atau keterangan ahli. Kopi rekam medis yang digunakan sebagai alat
bukti (tanpa meminta keterangan dokter pembuat rekam medis di depan persidangan)
dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena rekam medis dibuat sesuai dengan
ketentuan kriteria Pasal 187 huruf a KUHAP, yaitu berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu.
Rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian selain
berdasarkan PP No.26/1969 tentang Lafal Sumpah Dokter, juga memenuhi unsur-
unsur yang disyaratkan oleh pasal 187 KUHAP, yaitu apa yang ditulis oleh dokter
sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar dan lihat.
Dokter pembuat rekam medis yang diminta untuk memberikan keterangan di
persidangan oleh hakim, berdasarkan Pasal 186 KUHAP dikategorikan sebagai alat
bukti keterangan ahli. Dengan demikian, KUHAP membedakan keterangan yang
diberikan secara langsung di persidangan oleh seorang ahli dikategorikan sebagai alat
bukti keterangan ahli, sedangkan keterangan ahli yang diberikan di luar persidangan
secara tidak langsung (dalam bentuk terulis) dikategorikan sebagai alat bukti surat.
Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana dapat
dikategorikan sebagai keterangan ahli, surat dan juga petunjuk. Rekam medis dapat

34
dikategorikan pula sebagai alat bukti petunjuk, sepanjang dalam pemeriksaan isi
rekam medis menunjukkan adanya persesuaian dengan alat bukti sah lain (keterangan
saksi, surat dan keterangan terdakwa).
Perbedaan antara Visum et Repertum dengan rekam medis, adalah pada
prosedur pembuatannya dan peruntukannya. Visum et Repertum pembuatannya
haruslah memenuhi syarat formil, yaitu berdasarkan atas permintaan tertulis dari
penyidik dan peruntukannya adalah sebagai pengganti barang bukti dalam perkara
hukum (pidana). Rekam medis merupakan hasil pemeriksaan kesehatan oleh dokter
atau sarana kesehatan yang dilakukan terhadap pasien untuk kepentingan pasien itu
sendiri. Namun demikian, sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana
kedudukan Visum et Repertum lebih kuat daripada rekam medis.

2.2.5 Informed Consent


Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai
pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas
rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi
yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan
yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.
Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989,
Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.

a. Dasar Hukum Informed Consent


Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang –
undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana

35
dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-
kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis
yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan
tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya
bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan. Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan
dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik
atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran

36
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga
mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan
tertulis.

Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan
diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam
pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun
2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang
melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran

37
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik. Informed Consent
di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang
Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan.
6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

b. Fungsi dan Tujuan Informed Consent


Fungsi dari Informed Consent adalah :
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi
terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga, yaitu:
1. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).
2. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
3. Yang bertujuan untuk terapi.

c. Bentuk Persetujuan Informed Consent


1. Implied Consent (dianggap diberikan)

38
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat
menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi.
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

d.Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab
dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat
mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun
tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa
persetujuan diperoleh secara
benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima
persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa
dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien

39
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.

e.Pemberi Persetujuan
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau
telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi
belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang
tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam
membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur
21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang
yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-
anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang
kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong
anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat
sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan
persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi.
Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam menerima
informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau
penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan
pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih
dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun
atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak kompeten
dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten, dapat
menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok, pengaruh

40
obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih
tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat
dan tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi
bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.

f.Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan


Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan
tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut
berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak
dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi
situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi
tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi
pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti
kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan
dengan keputusankeputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian
setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.

g.Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh
pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat
anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

41
h.Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan
membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran.
Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien
harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan
persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat
membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan
dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya
dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut
terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan
teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya
dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam
medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak
dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya
apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung
sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak
akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

i. Lama Persetujuan Berlaku


Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi
baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang
baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi.
Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga
dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan

42
membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-
ragu atau masih memiliki pertanyaan.

2.2.6 Rahasia Jabatan dan Pekerjaan Dokter


Rahasia adalah sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui
orang lain atau sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang agar tidak diceritakan
kepada orang lain yang tidak berwenang mengetahuinya ataupun secara diam
(sembunyi-sembunyi) dan tidak secara terang-terangan. Dalam bidang
medis/kedokteran, segala temuan pada diri pasien dapat diikatkan sebagai rahasia
medis dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien, sebagaimana disebutkan dalam Pasal
12 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 “Isi rekam medis
merupakan milik pasien”.
Dalam hal ini berarti isi rekam medis adalah rahasia. Mutlak dan telah diatur
secara jelas kerahasiaannya. Kewajiban dokter adalah menjaga dan menghormati
rahasia itu terhadap orang atau pihak yang tidak berkepentingan atas rahasia itu.
Karena rekam medis adalah bagian dari rahasia kedokteran yang merupakan
kewajiban dari seorang dokter untuk menjaganya.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012
tentang Rahasia Kedokteran dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan rahasia
kedokteran adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh
tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Dalam hal
kaitannya dengan profesi dokter, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Rahasia Kedokteran menyebutkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan Rahasia Kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Wajib menyimpan rahasia kedokteran juga termaktub didalam Pasal I Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter, yaitu: "Saya
bersumpah/berjanji bahwa:
................ Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter.

43
Kemudian kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran diatur di dalam
Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, yaitu:
“Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.”
Dalam dunia kedokteran dikenal 2 (dua) istilah rahasia yaitu, rahasia jabatan
dan rahasia pekerjaan. Rahasia jabatan ialah rahasia dokter sebagai pejabat struktural,
sedangkan rahasia pekerjaan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan
prakteknya (fungsional). Umumnya hampir tidak ada perbedaan antara kedua istilah
tersebut. Yang dimaksud dengan rahasia pekerjaan bagi tenaga kesehatan/dalam
bidang kesehatan ialah segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan
berdasarkan lafal sumpah atau janji yang diucapkan setelah menyelesaikan
pendidikannnya, lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan rahasia jabatan bagi
dokter/dalam bidang kesehatan ialah segala sesuatu yang diketahui dan harus
dirahasiakan berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan setelah diangkat dan
disumpah sesuai dengan keprofesiannya.
Contoh:

Rahasia Pekerjaan
Lafal sumpah dokter:
“Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang
saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter.”
Rahasia Jabatan:
Lafal sumpah pegawai negeri :
“Saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah
harus saya rahasiakan.”
Rahasia jabatan dokter dimaksudkan untuk melindungi rahasia pasiennya
serta menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dengan dokternya. Pada
umumnya kewajiban para pejabat untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui karena
jabatan atau pekerjaannya adalah berpokok pada norma-norma kesusilaan, dan pada
hakekatnya hal tersebut merupakan kewajiban moril.

44
Penyimpan rahasia jabatan dilarang untuk membuka rahasia jabatannya pada
orang yang tidak berhak, dikarenakan hal ini akan dapat menimbulkan kerugian yang
berkepentingan dan sama sekali bukan maksud dari pembuat undangundang. Sebagai
dasar dari kewajiban menyimpan rahasia jabatan ini karena adanya undang-undang
yang mengatur, sedangkan mengenai rahasia pekerjaan kewajiban tersebut
didasarkan pada norma-norma hidup yang berlaku atau kewajiban moril
menghendaki akan hal itu.
Rahasia kedokteran, dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran memberikan pengertian bahwa.
“Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui, oleh wajib menyimpan
rahasia kedokteran pada waktu atau selama (mereka) melakukan pekerjaan di dalam
lapangan kedokteran”.
Pasal 1 dari Peraturan Pemerintah tersebut memberikan penjelasan bahwa
yang dimaksud dengan segala sesuatu berarti segala fakta yang didapat dalam
pemeriksaan penderita, interpretasinya untuk menegakkan diagnosa dan melakukan
pengobatan, dari anamnese, pemeriksaan jasmaniah; pemeriksaan dengan alat-alat
kedokteran dan sebagainya. Juga termasuk fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-
pembantu dokter.

Batasan Rahasia Jabatan atau Pekerjaan


Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran, memberi rumusan tentang luasnya rahasia kedokteran yakni dalam Pasal
1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 mengatur :
“Rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut
dalam Pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam lapangan
kedokteran”.
Pada Pasal 1, dengan kata-kata “segala sesuatu yang diketahui” dimaksudkan
tidak hanya meliputi hal-hal yang diceritakan atau dipercayakan kepadanya secara
eksplisit (yaitu dengan permintaan khusus untuk merahasiakan), tetapi juga meliputi
hal-hal yang diceritakan secara implisit (tanpa permintaan khusus untuk
merahasiakan), juga segala fakta yang didapat dari pemeriksaan penderita,

45
interpretasi untuk menegakkan diagnosa dan melakukan pengobatan, dari anamnese,
pemeriksaan jasmaniah, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran dan sebagainya,
juga termasuk data-data yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantu dokter dalam
melaksanakan tugasnya.
Dalam keadaan-keadaan tertentu dokter harus juga membuka rahasia
kedokteran demi kepentingan pihak lain:
a. Karena penetapan undang-undang: Pembuatan visum et repertum, pelaporan
penyakit yang menimbulkan wabah, menjalankan perintah undang-undang,
menjalankan perintah jabatan
b. Untuk kepentingan umum, contoh: seorang sopir yang menderita penyakit ayan
bisa menimbulkan bahaya pada orang lain jika tidak dikemukakan.
c. Untuk kepentingan pasien sendiri, contoh: jika seseorang hendak menikah
dengan seorang pasien penderita AIDS.
Apabila pasien meninggal dunia, kewajiban tersebut beralih pada ahli
warisnya. Demikian pula halnya rahasia jabatan/pekerjaan dokter tidak berakhir
dengan meninggalnya pasien yang pernah ia rawat, kewajiban menyimpan rahasia
tetap berlangsung. Sedangkan terhadap ahli waris si meninggal hak rahasianya
tergantung dari sifat rahasia itu sendiri. Biasanya hak-hak dan kewajibankewajiban
seseorang yang telah meninggal dunia, berpindah pada ahli warisnya, hal ini tidak
berarti bahwa peralihan itu mengenai segala sesuatu, sebab ada hakhak serta
kewajiban-kewajiban yang tidak beralih karena meninggalnya yang berhak. Hal ini
misalnya saja hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang bersifat sangat pribadi. Ruang
lingkup informasi tidak hanya mengenai pasien dan penyakitnya, tetapi juga
mengenai keluarga pasien. Juga dapat dikatakan bahwa wajib simpan rahasia
kedokteran mempunyai dasar hukum sebagai berikut:
1. Kepentingan pasien adalah menjelaskan segala sesuatu mengenai dirinya kepada
dokter tanpa ada rasa khawatir bahwa hal itu akan diberitahukan kepada pihak-
pihak lain.
2. Kepentingan umum menghendaki agar setiap warga masyarakat yang
memerlukan bantuan kesehatan tidak terhalang karena khawatir bahwa data
mengenai dirinya tidak dirahasiakan.

46
3. Profesi kedokteran menuntut agar kepercayaan yang diberikan oleh pasien
terjamin

2.2.7. Surat-Surat Keterangan Dokter


Sebagai pedoman dalam memberikan surat-surat keterangan dokter,
digunakan:
1. BAB I Pasal 7 KODEKI: “Seorang dokter hanya memberi keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.
2. BAB II Pasal 12 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”.
3. Paragraf 4, Pasal 48 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran: kepentingan
kesehatan pasien, rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum, atas permintaan pasien atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang dokter pada waktu memberikan surat-
surat keterangan adalah sebagai berikut.
1. Surat Keterangan Lahir
SK kelahiran berisi tentang waktu (tanggal dan jam) lahirnya bayi, kelamin,
berat badan, dan nama orangtua. Kewajiban mengeluarkan surat keterangan mengenai
kelahiran hendakalh diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal yang menjadi
masalah ialah surat keterangan kelahiran dari:
a. Anak yang lahir hasil inseminasi buatan dari semen donor yang biasanya hanya
dokterlah yang mengetahui siapa donornya.
b. Anak yang lahir hasil bayi tabung yang telur dan/atau sel maninya berasal dari
donor.
c. Anak yang lehir hasil konsepsi dari saudara kandung suami karena suami adalah
steril dan hubungan seksual ini atas persetujuan dan permintaan suami istri yang
bersangkutan.
Ketiga hal tersebut diatas bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
2. Surat Keterangan Meninggal
a. Surat keterangan untuk keperluan penguburan. Perlu dicantumkan identitas
jenazah, tempat, dan waktu meninggalnya.

47
b. Surat keterangan (laporan) kematian. Harus pula diisi sebab kematiannya sesuai
dengan pengetahuan dokter.
3. Surat Keterangan Sehat
a. Untuk asuransi jiwa
Yang perlu diperhatikan:
1. Laporan dokter harus objektif, jagan dipengaruhi oleh keinginan calon nasabah
atau agen perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
2. Sebaliknya jangan menguji kesehatan seorang calon yang masih atau pernah
menjadi pasien sendiri untuk menghindari timbulnya kesukaran dalam
mempertahankan wajib menyimpan rahasia jabatan.
3. Jangan diberitahukan kepada calon tentang kesimpulan dari pemeriksaan
medik. Serahkan hal itu pada perusahaan asuransi itu sendiri.
b. Untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) darat, laut, udara.
Ppengendara atau faktor manusia merupakan faktor utama penyebab kecelakaan
lalu lintas. Oleh karena itu, pengujian kesehatan untuk memperoleh SIM adalah
penting terutama untuk mengetahui apakah ada yang menderita penyakit yang
membahayakan seperti epilepsi.
c. Untuk nikah
Di negara maju lazim dilakukan pemeriksaan dan konsultasi sebelum nikah untuk
calon suami istri. Pada kesempatan itu selain pemeriksaan medik juga dibicarakan
masalah-masalah yang akan dihadapi kedua calon suami istri. Dokter juga
memberikan edukasi reproduksi dan pendidikan seks pada waktu itu. Dokter
memberikan hasil pemeriksaannya kepada mereka masing-masing dan terserah
kepada calon suami istri itu apakah akan memberitahukan hal itu kepada calon
pasangannya.
4. Surat Keterangan Sakit untuk Istirahat
Surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan seorang dokter dituntut
menurut pasal 263 dan 267 KUHP.
5. Surat Keterangan Cacat
berapa besar tunjangan atau pensiun yang akan diberikan kepada seorang pekerja
bergantung pada keterangan dokter tentang sifat cacat yang dimilikinya.
6. Surat Keterangan Penggantian Biaya dari Asuransi Kesehatan
Berisi identitas pasien dan pernyataan pemberian kuasa pasien/wali pasien
kepada dokter, untuk memberikan data medisnya kepada perusahaan asuransi
bersangkutan.
Dalam formulir klaim asuransi perlu dicantumkan pernyataan pasien/wali,
sebagai berikut.

48
Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini, sebagai pasien/wali pasien yang
sah, memberi izin pada pihak penyedia pelayanan kesehatan untuk menjelaskan
semua tindakan yang diperlukan, demi kesehatan saya kepada PT Asura si X dan
untuk mendapatkan semua informasi lain yang diperlukan dari penyedia pelayanan
kesehatan atau pihak lein sehubungan dengan verifikasi dan penggantian biaya dari
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada saya atau pasien yang saya walikan.
7. Surat Keterangan Cuti Melahirkan
Hak cuti melahirkan seorang ibu adalah 3 bulan, yaitu 1 bulan sebelum dan 2
bulan setelah persalinan. Tujuannya agar ibu cukup istirahat dan mempersiapkan
dirinya dalam menghadapi proses persalinan, dan mulai bekerja kembali setelah habis
masa nifasnya.
8. Surat Keterangan Ibu Hamil dengan Pesawat Udara
Sesuai dengan peraturan Internasional Aviation, ibu hamil tidak dibenarkan
bepergian dengan pesawat udara, jika menggalami:
a. Emesis gravidarum
b. Hamil dengan komplikasi
c. Hamil 36 minggu atau lebih
d. Hamil dengan penyakit-penyakit lain yang berisiko.
9. Visum et Repertum
VeR merupakan surat keterangan yang dikeluarkan dokter utuk polisi dan
pengadilan. VeR mempunyai daya bukti dan alat bukti yang sah dalam perkara
pidana.
10. Laporan Penyakit Menular
Kewajiban melaporkan penyakiyt menular di Indonesia diatur dalam undang-
undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Bila penganut aliran mutlak untuk tidak
membuka rahasia jabatan taat pada pendiriannya, ia tidak hanya melanggar undang-
undang, tetapi juga membahayakan mesyarakat karena membiarkan penyakit menular
berlangsung tanpa tindakan yang diperlukan.
11. Kuitansi
Pembuatan tanda bukti pembayaran (kuitansi) atas imbalan jasa oleh seorang
dokter tidak akan menimbulkan masalah asal saja sesuai dengan keadaan sebenarnya
dan tidak mengarah ke tujuan malpraktik etik ataupun malpraktik kriminal.

Sanksi Hukum
Penyimpangan dalam pembuatan surat keterangan, selain tidak etis
merupakan pelanggaran terhadap pasal 267 KUHP sebagai berikut.

49
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang
ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan hukuman
penjara paling lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang dalam
rumah sakit gila atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan hukuman penjara
paling lama delapan tahun enam bulan.
3. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memberikan
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Selanjutnya dalam pasal 179 KUHAP tercantum sebagai berikut.
1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
seorang dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.
2. Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka merupakan
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dan sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

2.2.8. Malpraktik Kedokteran (Medical Malpractice)


a. Definisi Malpraktik
Malapraktik berasal dari kata “mal” yang artinya salah dan “praktik” yang
artinya tindakan. Jadi secara harfiah malpraktik berarti tindakan yang salah.
Malpraktik medis adalah isu medico-legal, tentang kerugian atau cidera yang dialami
pasien dan disebabkan oleh atau terkait dengan sistem pelayanan kesehatan ditempat
ia mendapat asuhan klinis. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukan pada ukuran tingkat ketrampilan dan kepandaian yang wajar didalam
masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan
luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung
menaruh kepercayaan kepada mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak
profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang
kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk, atau ilegal atau sikap imoral.

50
b. Aspek Hukum Malpraktik
Pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP sudah lazim digunakan untuk
mendakwa dokter atas dugaan malprakek kedokteran, selanjutnya pasal 359 jika ada
kematian dan pasal 360 jika ada luka.
Unsur-unsur dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
i. Adanya kelalaian
ii. Adanya wujud perbuatan
iii. Adanya akibat luka berat
iv. Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud perbuatan
Unsur-unsur dalam pasal 360 ayat 1 yakni :
i. Adanya kelalaian
ii. Adanya wujud perbuatan
iii. Adanya akibat : 1) yang menimbulkan penyakit, 2) luka yang menjadikan
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.
iv. Adanya hubungan causal antara luka berat dengan wujud perbuatan

c. Jenis-jenis Malpraktik Medik


Malpraktik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malpraktik etika dan
malpraktik yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum:
1. Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang
dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktik ini merupakan dampak negatif dari
kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan
cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat,
ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh konkritnya adalah
di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap
pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih
teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah”
kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa
tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui
berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-

51
kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi
kepada pasien. Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus
selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi
medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati,
mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan
pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait
dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan
sebagainya.

2. Malpraktik Yuridik
Dalam malpraktik yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga
bentuk, yaitu:
1) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan
kerugian kepada pasien. Untuk perbuatan atau tindakan yang melawan hukum
haruslah memenuhi beberapa syarat, seperti harus adanya suatu perbuatan (baik
berbuat maupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis
atau tidak tertulis), adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab akibat antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Sedangkan untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat
membuktikan adanya 4 (empat) unsur, yaitu:
a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
b) Dokter telah melanggar standard pelayanan medik yang lazim dipergunakan
c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standard.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “Res ipsa
loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter,

52
terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya kain
kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus
dilakukan operasi kembali.
Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada kelalaian pada
dirinya.
2) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hatihati. Atau kurang cermat
dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau
cacat tersebut.
a) Malpraktik pidana karena kesengajaan, misalnya, pada kasuskasus melakukan
aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak
melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui tidak ada orang lain
yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
b) Malpraktik pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan standard profesi serta mlakukan tindakan tanpa disertai
persetujuan tindakan medis.
c) Malpraktik pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau kematian
terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa
dengan tertinggalnya alat operasi didalam rongga tubuh pasien.
Ada perbedaan akibat kerugian oleh maplraktek perdata dengan malpraktek
pidana. Kerugian karena malpraktek perdata lebih luas dari malpraktek pidana.
Akibat-akibat malpraktek perdata khususnya termasuk perbuatan melawan
hukum terdiri atas kerugian materiil dan idiil. Bentuk-bentuk kerugian tidak
dimuat secara khusus dalam UU. Akibat malpraktek kedokteran yang menjadi
tindak pidana harus berupa akibat yang sesuai yang ditentukan dalam UU.

3) Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)


Malpraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai

53
dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Dari sudut hukum, pelanggaran hukum administrasi kedokteran merupakan
sifat melawan hukum perbuatan malpraktek. Hukum Administrasi Kedokteran UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, menentukan beberapa syarat bagi
dokter untuk menjadi wewenang menjalankan praktek. Syarat prakter tersebut adalah:
i. Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Dokter atau Dokter gigi (pasal 29)
ii. Khusus dokter lulusan luar negeri yang praktek di Indonesia atau dokter asing
dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (pasal 30)
iii. Memiliki Surat Izin Praktek (SIP) (pasal 36)
Untuk ahli spesialis, ada peraturan menteri kesehatan no.
561/Menkes/Per/X/1981 tentang pemberian ijin menjalankan pekerjaan dan ijin
praktek bagi dokter spesialis. Tindak pidana malpraktek medis bermula dari
pelanggaran hukum administrasi. Pelanggaran hukum administrasi yang menjadi
tindak pidana praktek medis, potensial menjadi malpraktek pidana sekaligus
malpraktek perdata. Setiap malpraktek pidana sekaligus mengandung unsur
malpraktek perdata. Tetapi malpraktek perdata tidak selalu menjadi malpraktek
pidana.

2.2.9 Reproduksi Manusia


1. Abortus
Berlandaskan Lafal Sumpah Hipokrates, Lafal Sumpah Dokter Indonesia, dan
KODEKI, setiap dokter wajib menghormati dan melindungi makhluk insani. Karena
itu, aborsi berdasarkan indikasi nonmedik adalah tidak etis.
Dalam Deklarasi Oslo (1970) dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan,
mengenai abortus buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
- Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang
keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat
kompetensi profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh seorang
dokter yang kompeten diinstalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat
tindakan tersebut disetujui oleh ibu hamil bersangkutan, suami, dan keluarga.
- Jika dokter yang melaksanakan tindakan tersebut merasa bhwa hati nuraninya
tidak membenarkan ia melakukan pengguguran itu, ia berhak mengundurkan diri dan

54
menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu kepada teman sejawat lain yang
kompeten.
- Yang dimaksud dengan indikasi medis dalam abortus buatan legal ini adalah
suatu kondisi yang benar-benar mengaharuskan diambil tidnakan tersebut sebab tanpa
tindakan tersebut dapat membahayakan jiw aibu atau adanya ancaman gangguan
fisik, mental, dan psikososial jika kehamilan dilanjutkan, atau risiko yang sangat jelas
bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat.
- Hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada ibu
hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar atau tidak dapat
memberikan persetujuannya dapat diminta pada suaminya/wali yang sah.
Secara rinci KUHP mengancam pelaku-pelaku abortus buatan ilegal sebagai
berikut.
1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya, hukuma maksimal 4 tahun (KUHP pasal 336)
2. Seseorang yang menggugurkan kandungan tanpa seizinnya, hukuman maksimal
12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman maksimum 15 tahun
(KUHP pasal 347)
3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wnaita dengan seizin waita tersebut,
hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita meninggal, maksimal 7
tahun (KUHP pasal 348)
4. Dokter, bidan, atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas, hukuman
ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya (KUHP pasal
349)
5. Barang siapa mempertunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan kepada anak
dibawah usia 17 tahun, hukuman maksimum 9 bulan (KUHP pasal 383)
6. Barang siapa menganjurkan/merawat/memberi obat kepada seorang wanita
dengan memberi harapan agar gugur kandungannya, hukuman maksimum 4 tahun
(KUHP pasal 299)

2. Kontrasepsi
Dalam UU RI No. 10 Tahun 1992 tentang perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera terdapat butir-butir tentang penyelenggaraan KB
dari segi hak PASUTRI dan etik, yang antara lain berbunyi:
Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan
berhasil guna serta dapat diterima oleh PASUTRI sesuai dengan pilihannya,

55
dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik,
dan agama yang dianutpenduduk yang bersangkutan. Untuk menghindarkan hal yang
berakibat begatif, setiap alat, obat, dan cara yang dipakai harus aman dari segi medik
dan dibenarkan oleh agama, moral, dan etika.
Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB memperoleh perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang telah
ditentukan. Mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat, dan cara KB hanya
dapat dilakukan oleh tenaga yang berwenang di bidang penyelenggaraan KB serta
dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak.

3. Teknologi Reproduksi Buatan


Sejak lahirnya “bayi tabung” pada tahun 1978, telah dikembangkan berbagai
cara TRB, antara lain adalah:
1. Fertilisasi in vitro dan tandur alih embrio
2. Tandur alih embrio intra-tuba
3. Gamete intra-tuba fallopi
4. Kriopreservasi embrio
5. Donasi oosit dan atau sperma
6. Suntikan sperma intra-sitoplasmik
7. Pembelahan embrio
Semua cara tersebut diatas mempunyai implikasi hukum, agama, dan etik yang
memerlukan pertimbangan berbagai pakar terkait.
Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, terdapat butir-butir tentang
kehamilan di luar cara alami yang menyatakan bahwa teknologi reproduksi buatan
dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu PASUTRI mendapat
keturunan, namun hanya dapat dilakukan pada PASUTRI yang sah, oelh tenaga
kesehatan yang kompeten, dan pada sarana kesehatan tertentu. Keikutsertaan donor
dalam upaya tersebut adalah tidak legal.

4. Seleksi Kelamin Anak


Seleksi gender atas indikasi medik dengan tujuan menghindari terjadinya sex
link genetic disorder, misalnya penyakit hemofilia dapat dibenarkan. Namun, untuk
indikasi nonmedik masih terdapat perbedaan pendapat.
Indikasi nonmedik seleksi gender bertujuan:
a. Ingin anak pertama anak laki-laki
b. Jumlah anak laki-laki dan perempuan berimbang
c. Dari segi ekonomi, anak laki-laki menguntungkan
d. Alasan budaya dan alasan pribadi lainnya.

56
Seleksi gender ini tentunya menimbulkan perdebatan dari segi hukum, etika, dan
sosial. Untuk indikasi nonmedik ini, di Indonesia belum ada peraturan
perundangan yang berkaitan dengan seleksi gender.

5. Rekayasa Genetik
Dari segi etik dan dampak sosial saat ini, terdapat beberapa pedoman tentang
rekayasa genetik, yaitu:
a. Pengubahan gen pada individu yang sudah sehat, dengan tujuan eugenetik seperti
peningkatan kualitas fisik dan sangat intelegen pada saat ini dianggap tidak etis.
b. Terapi genetik dengan mengubah gen yang bertujuan untuk meringankan penderitaan
atas penyakit seseorang adalah etis sepanjang berdasarkan altruistik dan tanpa
eksploitasi komersial.
c. Penelitian pengubahan gen sperma, oosit, atau zigot yang kemudian diimplantasikan
pada uterus saat ini dianggap tidak etis karena perubahan genetika itu akan diteruskan
pada keturunan dan pada saat ini belum ditentukan teknik yang tepat, aman, dan dapat
dipertanggungjawabkan.

6. Klonasi pada Manusia


Pada Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia di Jogjakarta (2003) telah
diambil kesimpulan tentang klopnasi ini sebagai berikut:
1. Klonasi pada manusia menimbulkan berbagai kesulitan antara lain masalah surplus
zigot, mengurangi keunikan genetis, menghasilkan individu dengan orang tua
biologis tunggal, dan mengaburkan nama keluarga serta garis silsilah, perwalian, dan
pewarisan.
2. Pada tahap sekarang ini klonasi reproduksi tidak dibenarkan, namun penelitian
klonasi terapeutis perlu dilanjutkan dan dilindungi.
3. Diperlukan pemantauan dan penilaian secara berkala dalam perkembangan klonasi
serta dampaknya terhadap aspek-aspek etik, hukum, dan sosial termasuk aspek
ekonomi, agama, dan psikologis.
Hingga saat ini sikap para ilmuan, organisasi profesi dokter, dan masyarakat pada
umumnya adalah bahwa klonasi individu untuk tujuan reproduksi yang berasal dari
sel induk dengan cara implantasi inti sel tidak dibenarkan, tetapi untuk tujuan terapi
dianggap etis.

7. HIV dalam Kehamilan

57
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif.
Dalam hal ini diserahkan kepada ibu yang bersangkutan untuk menyampaikan
hasilnya kepada pasangannya atau pihak ketiga lainnya karena ia memiliki hak dan
tanggung jawab untuk itu. Jika keadaan ibu hamil tersebut
membahayakanpasangannya, perlu dipertimbangkan untung ruginya membuka
rahasia pekerjaan dokter. Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi
reproduksi yang dibantu dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika
kepada mereka diberikan pelayanan tersebut.

2.2.10 Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Istilah euthanasia berasal
dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan
thanatos berarti mati, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya
bukan untuk menyebabkan kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan
penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian
itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu
yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit
dan dapat ditentukan tanggal kejadiannya. Tindakan membunuh bisa dilakukan secara
legal dan dapat diprediksi waktu dan tempatnya itulah yang selama ini disebut dengan
euthanasia, pembunuhan yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan belum
bisa diatasi dengan baik atau dicapainya kesepakatan yang diterima oleh berbagai
pihak. Di satu pihak, tindakan euthanasia pada berbagai kasus dan keadaan memang
diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak diterima karena bertentangan
dengan hukum, moral, dan agama.
Tenaga medis merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik tersendiri
sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara professional. Tenaga medis merasa
mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien,
sedangkan di pihak lain, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak

58
individu juga sudah sangat berubah. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia
kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum, dan
kemampuan serta teknologi kesehatan yang sedemikian maju.
Jenis Euthanasia
Secara garis besar, euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu
euthanasia aktif dan euthanasia pasif dan berdasarkan kondisi pasien, euthanasia
dibagi menjadi euthanasia volunteer dan euthanasia involunteer. Di bawah ini
dikemukakan beberapa jenis euthanasia, yaitu euthanasia aktif, euthanasia pasif,
euthanasia volunteer, dan eathanasia involunteer.
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup pasien yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan
dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan dan Euthanasia
aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat pembantu dalam perawatan,
sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau
memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan
menghentikan fungsi jantung. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya
dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yaitu cara yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi
diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,
mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia,Euthanasiapasif di lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat
sama sekali, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan
pertolongan dihentikan.
Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri. Adakalanya hal itu

59
tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan
bertentangan dengan pasien.
Euthanasia involunter (Euthanasia secara tidak sukarela) adalah jenis
euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak
mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap keluarga pasien
yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit
dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal
yang berkaitan atau dapat menjelaskandasar hukum dilakukannya euthanasia bagi
orang atau keluarga yang mengajukan untuk dilakukan euthanasia:
1. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan
hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.
2. Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara
selamalamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.
3. Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana
positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang
dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri dan euthanasia yang
dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP
secara tegas menyatakan:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”

60
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang
itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks
hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan
orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu
sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut.
Pada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama,hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dianaut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak
atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang belum lahir, dengan adanya
larangan abortus.
Jika kita menilai euthanasia dari aspek hak asasi manusia. Tindakan
euthanase adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia. Ada beberapa alasan
sehingga tindakan euthanasia melanggar hak dasar kehidupan manusia, melanggar
deklarasi yang dikeluarkan PBB, pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan yang paling
penting adalah melangkahi wewenang dari kewanangan TuhanYang Maha Kuasa.
Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia ikut meratifikasi Piagam
Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, selanjutnya Majelis

61
Permusyawaratan Rakyat menetapkan sebuah keputusan tentang hak asasi manusia
yang diputuskan dalam TAP MPRN0. XVII/MPR/1998 tentang Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional, dan Undang-Undang
No. 39 tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia, dengan dua sumber ini maka
kedudukan HAMdalam konstitusi Indonesia semakin kuat, sehingga kehendak untuk
menegakkanHAM di Indonesia mendapat legalitas formal. Setelah pemberlakuan
HAM ini, hak hidup memiliki jaminan penuh dan dilindungi oleh konstitusi.

2.2.11 Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh


Di dalam PP No. 18 Tahun 1981 yang dimuat dalam LN 1981 No. 23 tentang
‘Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau
Jaringan Organ Tubuh Manusia’, dirumuskan pengertian sebagai berikut:
“Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau
jaringan organ tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain
dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan organ tubuh yang
tidak berfungsi dengan baik” (Pasal 1 butir (f) PP No. 18 Tahun 1981).
Transplantasi menurut UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Bab I Pasal
I Ayat 5 adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ atau jaringan
tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik.
Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan ke
tubuh yang lain, transplantasi dibedakan atas:
a. Autograft, yaitu:
Pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain
dalam tubuh pasien sendiri. Misalnya, operasi bibir sumbing, misalnya dari
pantatnya atau dari pipinya.
b. Allograft, yaitu:
Pemindahan jaringan atau organ dari tubuh ke tubuh yang lain yang
sama spesiesnya, yakni antara manusia dengan manusia.

62
Transplantasi ‘allograft’ yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya
tinggi antara lain: transplantasi ginjal, dan kornea mata. Di samping itu juga
sudah terjadi transplantasi hati, meskipun keberhasilannya belum tinggi.
c. Xenograft, yaitu:
Pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama
spesiesnya, misalnya anatar spesies manusia dengan binatang. Yang sudah terjadi
contohnya pencangkokan hati manusia dengan hati baboon, meskipun tingkat
keberhasilannya masih kecil.
Dari sudut penerima transplantasi dapat dibedakan menjadi:
a. Auto-transplantasi, yaitu: Pemindahan suatu jaringan atau organ untuk ke tempat
lain dari tubuh orang itu sendiri.
b. Homo-transpalantasi, yaitu: Pemindahan suatu organ atau jaringan dari tubuh
seseorang ke tubuh orang lain.
c. Hetero transplantasi, yaitu: Pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu
spesies ke tubuh spesies lainnya.

1. Tujuan Transplantasi
Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian
tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak
dapat berfungsi lagi. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan
kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU
23/ 1992).
2. Tenaga Kesehatan Yang Berwenang
Di Indonesia transplantasi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kewenangan, yang melakukannya atas dasar adanya persetujuan dari donor
maupun ahli warisnya (pasal 65 ayat 1 UU No. 36/2009). Dokter yang melakukan
transplantasi adalah dokter yang bekerja di RS yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 11
ayat 1 PP 18/1981).
3. Syarat Pelaksanaan Transplantasi
Pengambilan organ baru dapat dilakukan jika donor telah diberitahu tentang
risiko operasi, dan atas dasar pemahaman yang benar tadi donor dan ahli waris atau
keluarganya secara sukarela menyatakan persetujuan (pasal 65 ayat 2 UU No.
36/2009).

63
4. Transplantasi dari Donor Jenazah
Dari segi etika, transplantasi dari donor jenazah tidak mempunyai masalah
dari segi etika dan moral. Pasal 14 PP No 18/1981 menyatakan bahwa pengambilan
organ dari korban yang meninggal dunia dilakukan atas dasar persetujuan dari
keluarga terdekat. Jika setelah lewat 2 x 24 jam keluarga tidak ditemukan, maka
dapat dilakukan pengambilan organ tanpa izin keluarga.
5. Transplantasi Dari Donor Hidup
Transplantasi organ dari donor hidup mendatangkan lebih banyak
permasalahan dari segi etika dan moral dan Transplantasi organ dari donor hidup dan
wajib memenuhi beberapa syarat.
6. Pengaturan Hukum Transplantasi
Di Indonesia pengaturan hukum transplantasi organ adalah dalam UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis, serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia. PP ini
merupakan pelaksanaan dari UU No. 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, yang
telah dicabut. Pasal-pasal UU tersebut yang tercantum tentang transplantasi adalah
sebagai berikut :
Pasal 1
1) Alat tubuh manusia adalh kumpulan jarinan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh
beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk
tubuh tersebut.
2) Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi)
yang sama dan tertentu.
3) Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik.
4) Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.
5) Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang
telah berhenti.
Pasal 10

64
Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (a) dan (b),
yaitu dengan persertujuan tertulis penderita dan/atau keluarganya yang terdekat
setelah penderita meninggal dunia.
Pasal 11
1) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
2) Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh
dokter yang merawat atau yang mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter
yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (a), Pasal 14 dan Pasal 15
dibuat di atas kertas bermeterai dengan 2(dua) orang saksi.
Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau
Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan
persetujuan tertulis keluarga yang terdekat.
Pasal 15
1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu
diberi tahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai
operasi, akibat-akibatnya, da kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon
donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan
tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas kompensasi
material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal 17

65
Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua
bentuk ke dan dari luar negeri. Sebagai penjelasan Pasal 17 dan 18, disebutkan bahwa
alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada
setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan.
Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah
dibatasi dalam rangka penelitian ilmiah, kerjasama dan saling menolong dalam
keadaan tertentu.
Pasal 20
Pelanggaran terhadap ketentuan tentang transplantasi akan diancam pidana kurungan
selama-lamanya 3 bulan atau setinggi-tingginya Rp. 7500, dan dapat juga dikenai
tindakan administratif. Ancaman pidana tersebut ditetatapkan berdasarkan ketentuan
staatsblad Tahun 1927 Nomor 1927 Nomor 346 yang menetapkan bahwa kecuali
apabila dengan Ordonnanthie ditetapkan lain, maka dalam “peraturan pelaksanaan”
dapat ditetapkan sebagai hukuman kurungan terhadap pelanggar peraturan dan
disertai barang perampasan tertentu atau tidak, bagi pelanggaran ketentuan dalam
transplantasi.

Undang-Undang Lainnya
Undang-undang yang mengatur tentang transplantasi beserta sanksi atas
pelanggarannya juga terdapat pada UU RI No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan
peraturan periklanan yang turut mendukung dilaksanakannya tranplantasi organ
secara baik adalah sebagai berikut :
a. UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 33 :
1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan
atau alat kesehatan serta bedah plastik dan rekonstruksi.
2. Tranplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagamana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan
dilarang untuk tujuan komersil

66
b. UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 34 :
1) Transplantasi organ dan atau jaaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh nakes
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dilakukan disarana
tertentu.
2) Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor
dan ahli waris atau keluarganya.
3) Diatur syarat dan tata cara pengambilan organ.
c. UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 72 ayat 3 :
Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial
dalam pelaksanaan transplantasi organ, tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi
darah sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat 2, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun dan dipidana denda paling banyak 300 juta.
d. Peraturan Pemerintah/PP No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan
bedah mayat antomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia oleh
Presiden RI, menegaskan bahwa donor maupun keluarganya dilarang untuk
memperoleh imbalan finansial.
e. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia tentang ketentuan tata krama
periklanan organ tubuh, transplantasi dan darah menyatakan bahwa organ tubuh
transplantasi seperti ginjal, jantung, kornea dan lain-lain maupun darah manusia
tidak boleh diiklankan baik untuk tujuan pembeli maupun penjual.
f. UU No. 36 Tahun 2009
1. Pasal 64 ayat (3) menyatakan bahwa: “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang
diperjualbelikan dengan dalih apapun”.
2. Pasal 65 ayat (2) menyatakan bahwa: “Pengambilan organ atau jaringan tubuh
dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan dari pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya”.
3. Pasal 192 ditegaskan bahwa: setiap orang yang dengan sengaja
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama

67
sepuluh (10) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).

Aspek Etik Transplatasi Organ


Dari segi etik kedokteran, tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi,
berlandaskan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu :
 Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya
menurut ukuran tertinggi.
 Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya
melindungi hidup insani.
 Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.
Selain di atas menurut beberapa sumber cara berpikir tentang masalah-masalah etis
yang menyangkut transplantasi adalah :
a. Membenarkan bahwa orang yang masih hidup memberikan sebuah organ kepada
orang lain. Dalam konteks ini ada tiga alasan untuk membenarkan pemberian organ :
1) Kewajiban berbuat baik yang menuntut bahwa kita membantu orang lain, jika
risiko bagi kita sendiri tidak seberapa;
2) Manfaat yang diperoleh si resipien dari segi usia dan kualitas kehidupan;
3) Risiko-risiko terbatas yang dialami oleh sang donor.
b. James Nelson menyebutkan lima prinsip yang masih tetap berlaku sebagai cara untuk
mengevaluasi suatu transplantasi tertentu:
1) Transplantasi merupakan upaya terakhir.
2) Maksud pernyataan pertama adalah kesehatan pasien (bersifar klinis dan bukan
eksperimental)
3) Persetujuan dengan prosedur haruslah bebas dan berdasarkan informasi.
4) Perlindungan terhadap yang tidak bersalah.

Dalam kaitannya dengan donor mati (cadaver) ada suatu hal yang
sangat penting, yakni hal persetujuan. Dalam berbagai kebudayaan di negara
manapun di dunia terdapat rasa hormat yang sangat besar sekali terhadap

68
jenazah/mayat. Dalam tiap kebudayaan ada kewajiban untuk menghormati
mayat, terlebih pada masyarakat yang masih percaya adanya kekuatan magis-
mistik. Dalam hal transplantasi organ dari donor mati (cadaver) maka harus
didasari oleh persetujuan dari ahli waris/keluarganya jika donor telah
meninggal. Masalah-masalah tersebut harus ditegaskan dalam PP dari UU No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang transplantasi untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Dari aspek etik dan kesehatan, transplantasi organ tubuh, jaringan dan sel
merupakan suatu upaya yang sangat mulia untuk kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian guna pelaksanaan transplantasi agar tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka perlu ada pengaturan hukum
lainnya selain apa yang sudah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.

69
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Rumusan Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Depkes RI menyebutkan
Hukum Kesehatan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban, baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun
dari individu atau masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala
aspeknya yaitu aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif serta aspek organisasi
dan sarana. Hukum ini dalam penerapannya langsung berhubungan dengan hukum
perdata, hokum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak hanya
mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, namun
ilmu pengetahuan & kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.

Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan


meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka
hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa
hukum kesehatan cukup luas dan kompleks.
Hukum Kedokteran dalam arti luas yaitu medical law yaitu ketentuan-
ketentuan hukum yang menyangkut bidang medis baik profesi medis dokter maupun
terhadap pasien yang hanya melibatkan dua buah pihak. Pola dasar hubungan dokter
dan pasien, terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat
dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu : Activity – passivity , Guidance-

70
Cooperation, Mutual participation. Yang dalam pelaksanaanya dibagi menjadi
beberapa sub bagian yaitu: transaksi dan terapeutik, hak dan kewajiban dokter dan
pasien, imbalan jasa dokter, rekam medis, informed consent, rahasia jabatan dan
pekerjaan dokter, etika klinis, surat keterangan dokter, malpraktik medic, euthanasia,
reprosuksi manusia (Abortus, Kontrasepsi, Kelamin Anak,Rekayasa Genetik, klonasi
pada Manusia, HIV dalam Kehamilan) dan transplantsasi organ dan jaringan dari
tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Yanuar. 2017. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Etika Profesi dan Hukum
Kesehatan.
Dewi, Antarielya. 2017. Tanggung Jawab Hukum Dokter dalam Menjaga Rahasia
Kedokteran. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung

Hanafiah, M. dan Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Ed. 4. Jakarta:
EGC

Kharisma, Dona B.. 2008. Aspek Hubungan Antara Dokter dengan Rumah Sakit dalam
Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta. Skripsi. Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret: Surakarta

Pradjonggo, Tjandra S.. 2016. Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. 1(1): 56-63

Sampurno, Budi. 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI. Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium
Hukum Kesehatan.
Sila, Sakir. 2017. Aspek Hukum Terhadap Persetujuan Tindakan Medik/Kedokteran
(Informed Consent) dalam Keitannya dengan Tindakan Tenaga Medis di Rumah sakit
Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Jurisprudentie. 4(1):147-170

Simbolon, Melinda V. 2013. Transplantasi Organ Tubuh Terpidana Mati. Lex et Societatis.
1(1):138-147.

71
Wahjuningati, Edi. 2014. Rekam Medis dan Aspek Hukumnya. Tersedia di URL:
http://www.sap.ubhara.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/rekam-medis.pdf. Diakses
29 September 2018

72

Anda mungkin juga menyukai