Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Arti korupsi secara harfiah adalah “sesuatu yang busuk, jahat, dan

merusakkan” (Dikti, 2011). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi

penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, organisasi,

yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dikategorikan sebagai tindakan

setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian negara.

Korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain yang

bersifat busuk, jahat, dan merusak karena merugikan Negara dan masyarakat

luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal

keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab

dan wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum.

B. Penyebab Korupsi

1. Faktor-faktor Umum yang Menyebabkan Korupsi

Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan

beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai

4
2

dengan pengertian korupsi di atas yaitu bertujuan untuk mendapatkan

keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut

GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi

meliputi :

a. Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah

yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

b. Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi

atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka

kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.

c. Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg

dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang

wajar.

d. Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau

konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku

diketemukan melakukan kecurangan.

Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku

(actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun

di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban.

Adapun faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban

perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat yang

kepentingannya dirugikan.

Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang

melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri
3

(keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari

luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan

sebagainya).

Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan

meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :

a. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.

b. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri.

c. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.

2. Faktor-faktor Internal dan Eksternal Penyebab Korupsi

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri

seseorang. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-

beda. Menurut Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih

bertahannya sikap primitif terhadap korupsi karena belum jelas

mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas

dalam melihat korupsi.

1) Perilaku Individu:

a) Sifat Tamak/Rakus Manusia

Korupsi yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer,

yaitu kebutuhan pangan. Pelakunya adalah orang yang

berkecukupan, tetapi memiliki sifat tamak, rakus, mempunyai

hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur penyebab tindak korupsi

berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat tamak/rakus. Maka

tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.


4

Contoh kasus :

Seorang pegawai suatu institusi ditugaskan atasannya untuk

menjadi panitia pengadaan barang. Pegawai tersebut memiliki

prinsip bahwa kelayaan dapat diperoleh dengan segala cara dan ia

harus memafaatkan kesempatan. Karena itu, ia pun sudah

memiliki niat dan mau menerima suap dari rekanan (penyedia

uang). Kehidupan mapan keluarganya dan gaji yang lebih dari

cukup tidak mampu menghalangi untuk melakukan korupsi

b) Moral yang kurang kuat

Orang yang moralnya kurang kuat mudah tergoda untuk

melakukan tindak korupsi. Godaan bisa datang dari berbagai

pengaruh di sekelilingnya, seperti atasan, rekan kerja, bawahan,

atau pihak lain yang memberi kesempatan. Moral yang kurang

kuat salah satu penyebabnya adalah lemahnya pembelajaran

agama dan etika.

Contoh kasus :

Seorang mahasiswa yang moralnya kurang kuat, mudah

terbawa kebiasaan teman untuk menyontek, sehingga sikap ini

bisa menjadi benih-benih perilaku korupsi.

c) Pengahasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai selayaknya memenuhi

kebutuhan hidup yang wajar. Apabila hal ini tidak terjadi,

seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.


5

Akan tetapi, apabila segala upaya yang dilakukan ternyata sulit

didapatkan, keadaan semacam ini akan mendorong tindak

korupsi, baik korupsi waktu, tenaga, maupun pikiran.

Contoh kasus :

Seorang tenaga penyuluh kesehatan yang bekerja di suatu

puskesmas mempunyai seorang istri dan empat orang anak. Gaji

bulanan pegawai tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup

keluarganya. Pada saat memberi penyuluhan kesehatan di suatu

desa, dia menggunakan kesempatan untuk menambahkan

penghasilannya dengan menjual obat-obatan yang diambil dari

puskesmas. Ia berpromosi tentang obat-obatan tersebut sebagai

obat yang manjur. Penduduk desa dengan keluguannya

mempercayai petugas tersebut.

d) Kebutuhan hidup yang mendesak

Kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan seseorang

terdesak dalam segi mencari pekerjaan orang menyuap karena

tidak ada jalan lain untuk mendapatkan pekerjaan kalau tidak

menyuap, sementara tindakan menyuap justru mengembangkan

kultur korupsi (Wattimena, 2012)

Contoh kasus :

Seorang bidan membuka jasa aborsi wanita hamil dengan

bayaran yang tinggi karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Di sisi

lain, suaminya telah di PHK dari pekerjaannya. Tidak ada pilihan


6

lain baginya untuk melakukan mal praktik karena mendapatkan

bayaran yang tinggi

e) Gaya hidup yang konsumtif

Gaya hidup di kota besar mendorong seseorang untuk

berperilaku konsumptif. Perilaku konsumtif yang tidak diimbangi

dengan pendapatan yang sesuai, menciptakan peluang bagi

seseorang untuk melakukan tindak korupsi.

Contoh kasus :

Seorang perawat sebuah rumah sakit berbaur dengan

kelompok ibu-ibu modis yang senang berbelanja barang-barang

mahal. Perawat tersebut berusaha mengimbangi. Karena

penghasilan perawat tersebut kurang, ia mencoba memanipulasi

sisa obat pasien untuk di jual kembali, sedangkan ke rumah sakit

dilaporkan bahwa obat tersebut habis digunakan.

f) Malas atau tidak mau bekerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah

pekerjaan tanpa keluar keringat atau malas bekerja. Sifat

semacam ini berpotensi melakukan tindakan apapun dengan cara

mudah dan cepat atau jalan pintas, diantaranya melakukan

korupsi.

Contoh kasus :

Seorang mahasiswa yang malas berpikir, tidak mau

mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Untuk


7

mendapatkan nilai yang tinggi, mahasiswa tersebut menyuruh

temannya untuk mengerjakan tugas.

g) Ajaran agama yang kurang diamalkan

Agama apapun melarang tindakan korupsi seperti agama

islam yang juga mengecam paktik korupsi. Apa yang dikecam

agama bukannya saja perilaku korupnya, melainkan juga setiap

pihak yang terlibat tindak korupsi itu. Kenyataan di lapangan

membuktikan bahwa korupsi masih berjalan subur di tengan

masyarakat. Hal ini menandakan bahwa ajaran agama kurang di

amalkan dalam kehidupan.

Contoh kasus :

Seorang tenaga kesehatan mempersulit pasiennya yang

dalam keadaan kritis, padahal agama menyuruh penganutnya

memudahkan siapapun yang memerlukan pertolongan.

2) Aspek Sosial

Keluarga dapat menjadi pendorong seseorang untuk

berperilaku koruptif. Menurut kaum bahviouris, lingkungan

keluarga justru dapat menjadi pendorong seseorang bertindak

korupsi, mengalahkan sifat baik yang sebenarnya telah menjadi

karakter pribadinya. Lingkungan justru memberi dorongan bukan

hukuman atas tindakan koruptif seseorang.

Contoh kasus:
8

Seorang karyawan baru di institusi pelayanan kesehatan sangat

dihargai oleh atasan dan temannya karena perilakunya yang baik.

Secara cepat karirnyapun naik. Setelah menikah, karyawan tersebut

mengalami perubahan perilaku karena dorongan keluarga. Ia mulai

menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk memenuuasrga

yang behi kebutuhan keluarga yang bersifat konsumtif, seperti

rumah, mobil serta bisnis diluar tugas sebagai PNS.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri

seseorang

1) Aspek Organisasi

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang

luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat.

Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi

biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka

peluang atau kesempatan terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Aspek-

aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi:

a) Kurang adanya sikap keteladanan Pemimpin

Pemimpin adalah panutan bagi bawahannya. Apa yang

dilakukan oleh pemimpin merupakan contoh bagi bawahannya.

Apabila pemimpin memberikan contoh keteladanan melakukan

tindak korupsi, maka bawahannya juga akan mengambil

kesempatan yang sama dengan atasannya.

b) Tidak Adanya Kultur/Budaya Organisasi yang Benar


9

Organisasi harus memiliki Tujuan Organisasi yang fokus

dan jelas. Tujuan organisasi ini menjadi pedoman dan

memberikan arah bagi anggota organisasi dalam melaksanakan

kegiatan sesuati tugas dan fungsinya. Tujuan organisasi

menghubungkan anggotanya dengan berbagai tatacara dalam

kelompok; juga berfungsi untuk membantu anggotanya

menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan

melakukan suatu tindakan. Tatacara pencapaian tujuan dan

pedoman tindakan inilah kemudian menjadi kultur/budaya

organisasi. Kultur organisasi harus dikelola dengan benar,

mengikuti standar-standar yang jelas tentang perilaku yang boleh

dan yang tidak boleh. Kekuatan pemimpin menjadi penentu

karena memberikan teladan bagi anggota organisasi dalam

mebentuk budaya organisasi. Peluang terjadinya korupsi apabila

dalam budaya organisasi tidak ditetapkan nilai-nilai kebenaran,

atau bahkan nilai dan norma-norma justru berkebalikan dengan

norma-norma yang berlaku secara umum (norma bahwa tindak

korupsi adalah tindakan yang salah).

c) Kurang Memadainya Sistem Akuntabilitas

Dalam sebuah organisasi perlu ditetapkan visi dan misi

yang diembannya, yang dijabarkan dalam rencana kerja dan target

pencapaiannya. Dengan cara ini penilaian terhadap kinerja

organisasi dapat dengan mudah dilaksanakan. Apabila organisasi

tidak merumuskan tujuan, sasaran, dan target kerjanya dengan


10

jelas, maka akan sulit dilakukan penilaian dan pengukuran

kinerja. Hal ini membuka peluang tindak korupsi dalam

organisasi.

d) Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak

pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin

longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi

semakin terbuka peluang tindak korupsi anggota atau pegawai di

dalamnya.

2) Sikap Masyarakat terhadap Korupsi

Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi

menjaga nama baik organisasi. Demikian pula tindak korupsi dalam

sebuah organisasi sering kali ditutup-tutupi. Akibat sikap tertutup ini,

tindak korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang

dalam berbagai bentuk. Sikap masyarakat yang berpotensi memberi

peluang perilaku korupsi antara lain:

a) Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung

untuk terjadinya korupsi. Misalnya masyarakat menghargai

seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Akibatnya

masyarakat menjadi tidak kritis terhadap kondisi, seperti dari

mana kekayaan itu berasal.

b) Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami

kerugian akibat tindak korupsi adalah Negara. Padahal justru pada

akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri.


11

Contohnya akibat korupsi anggaran pembangunan menjadi

berkuran, pembangunan transportasi umum menjadi terbatas

misalnya.

c) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam

perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan

masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam

tindak korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak

disadari.

d) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah

dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda

pencegahan dan pemberantasan

3) Aspek Ekonomi

Aspek Ekonomi sering membuka peluang bagi seseorang untuk

korupsi. Pendapatan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan atau saat

sedang terdesak masalah ekonomi membuka ruang bagi seseorang

untuk melakukan jalan pintas, dan salah satunya adalah korupsi.

Umumnya masyarakat menganggap bahwa pencegahan dan

pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah.

4) Aspek Politis atau tekanan kelompok

Politik uang (money politics) pada Pemilihan Umum adalah

contoh tindak korupsi, yaitu seseorang atau golongan yang membeli

suatu atau menyuap para pemilih/anggota partai agar dapat

memenangkan pemilu. Perilaku korup seperti penyuapan, politik

uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait hal itu


12

Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang

sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political

influence (menggunakan uang dan keuntungan material untuk

memperoleh pengaruh politik). Penyimpangan pemberian kredit atau

penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara penguasa dan

pengusaha, kasus-kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri di

bidang ekonomi pada rezim lalu dan pemberian cek melancong yang

sering dibicarakan merupakan sederet kasus yang menggambarkan

aspek politik yang dapat menyebabkan kasus korupsi (Handoyo:

2009).

5) Aspek hukum

Jika dalam suatu Negara masih ditemukan aturan-aturan

hokum yang diskriminatif, berpihak dan tidak adil, rumusan yang

tidak jelas sehingga menjadi multitafsir, kontradiksi dan overlapping

dengan peraturan lain, dapat dipastikan kepercayaan masyarakat

akan luntur. Masyarakat akan bersikap apatis terhadap aparat

penegak hukum.

Kasus adanya mafia hukum sempat mengemuka beberapa

waktu yang lalu dan menaampar wajah lembaga peradilan serta

penegak hukum di negeri ini. Namun, masyarakat semakin kritis an

Negarapun mengakomodasi kenyataan ini dengan berbagai

perangkat hukum untuk menjerat aparat yang “bermain-main”

dengan hukum.

Anda mungkin juga menyukai