Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ASPEK MEDIKOLEGAL DO NOT RESUSCITATE

Penguji:

dr. Wian Pisia Anggreliana, MH., Sp.KF

Pembimbing:

dr. Liya Suwarni

dr. Marlion Anthonius Elim

Disusun oleh:

Maulana Alfansury 22010118210005


Edwin Reza Nugroho 22010118210012
Fadhlan Rahman E 22010118210001
Sitiayu Anisa Gultom 22010117220171
Humairo Arum M 22010117220163
Sabrina Aulia Zahra 22010117220085

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI
PERIODE 17 DESEMBER 2018 - 19 JANUARI 2019
i

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, Referat dari:

NAMA/NRP:

1. Maulana Alfansury 22010118210005


2. Edwin Reza Nugroho 22010118210012
3. Fadhlan Rahman E 22010118210001
4. Sitiayu Anisa Gultom 22010117220171
5. Humairo Arum M 22010117220163
6. Sabrina Aulia Zahra 22010117220085
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik

Judul : ASPEK MEDIKOLEGAL DO NOT RESUSCITATE

Dosen Penguji : dr. Wian Pisia Anggreliana, MH, Sp.KF

Pembimbing : dr. Liya Suwarni & dr. Marlion Anthonius Elim

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

Semarang, 21 Desember 2018

Dosen Penguji

dr. Wian Pisia Anggreliana, MH, Sp.KF

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan referat yang berjudul
“ASPEK MEDIKOLEGAL Do Not Resuscitate” ini dapat selesai tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas
referat kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di RSUP
Dokter Kariadi Semarang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua


pihak, maka penulisa referat ini tidak akan sempurna. Oleh karena itu pada
kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Wian Pisia Anggrelian, MH, Sp.KF selaku dosen penguji referat

2. dr. Liya dan dr. Anthon selaku pembimbin referat yang telah
memberikan waktu, kritik, dan saran yang membangun bagi
penulis terutama dalam penulisan referat ini.
Pada akhirnya penulis berharap penulisa referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan berbagai pihak pada umumnya.

Semarang, 21 Desember 2018

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Do not resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan
dilakukannya Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun
masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau
berhentinya pernapasan. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan
menerima RJP pada saat cardiac arrest.10 Tujuan pelayanan kegawat-daruratan
kardiovaskuler atau RJP adalah untuk mempertahankan hidup serta
mengembalikan penderita dari kematian klinis.
Belakangan ini tim kesehatan ataupun tim medis terutama dokter masih
sering mengalami dilema dalam kode etik kedokteran. Dimana dokter
dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit apakah harus melakukan atau tidak
melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien.
Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah DNR. Misalnya jika tiba-tiba
pasien mengalami henti jantung dan sebagai dokter, membiarkan pasien mati
karena permintaan DNR dari pasien maupun keluarga. Tetapi apabila
dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati keputusan
pasien/keluarga dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk
mengakhiri kehidupan, tugas utama ialah untuk menyembuhkan dan
memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter memiliki kewajiban untuk
menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh mengabaikan
permintaan pasien atau keluarga. Hal ini akan berhadapan dengan masalah
etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah, “jangan dilakukan resusitasi
ataupun tidak?”.
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya
juga harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang
beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh
budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antara
kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian besar penekanan pada
otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia layanan

1
2

kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan


bila timbul masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat juga
ikut mendominasi keputusan yang diambil.
Untuk itu pada referat berikut akan dibahas mengenai aspek etika serta
medikolegal mengenai permintaan Do not resuscitate (DNR) dari pasien
maupun keluarga yang terjadi di Indonesia dan negara lain sebagai
pembanding.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah
yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan Do Not Resuscitate (DNR)?
2. Bagaimana syarat-syarat DNR?
3. Bagaimana dasar hukum DNR di Indonesia?
4. Bagaimana persetujuan tindakan medis/informed consent pada kasus
DNR?
5. Bagaimana pandangan prinsip dasar moral terhadap kasus DNR?
1.3 Tujuan
Dari rumusan penelitian di atas, maka dapat ditentukan tujuan yang hendak
dicapai dari referat ini adalah :
1. Untuk mengetahui definisi dari Do Not Resuscitate (DNR)
2. Untuk mengetahui syarat-syarat DNR
3. Untuk mengetahui aspek medikolegal DNR
4. Untuk mengetahui persetujuan tindakan medis/informed consent pada
kasus DNR
5. Untuk mengetahui pandangan prinsip dasar moral terhadap kasus DNR
1.4 Manfaat
Dari uraian di atas, maka dapat ditentukan mamfaat yang hendak dicapai dari
referat ini adalah :
1. Bagi Masyarakat
3

Referat ini diharapkan dapat menjadi salah satu pengetahuan agar


masyarakat dapat mengetahui hak pasien atas DNR ditinjau dari etika dan
hukum.
2. Bagi IDI, PPNI, IBI, dan organisasi profesi lainnya
Referat ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk mengulas aspek
medikolegal DNR dalam praktik kedokteran, keperawatan, dan kebidanan
agar anggotanya terhindar dari perilaku yang melanggar hak pasien dalam
aspek DNR
3. Bagi Institusi Pendidikan
Referat ini diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan referensi
utamanya dalam peningkatan pengetahuan tentang aspek hukum DNR,
sehingga pengetahuan mengenai DNR menjadi salah satu pembekalan bagi
mahasiswa kedokteran sebelum terjun ke klinik.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Do Not Resuscitate (DNR)


Menurut Professional Code and Conduct of the Medical Council of
Hong Kong, Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah untuk
tidak melakukan resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau
Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat
umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau
berhentinya pernapasan.
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah usaha untuk mengembalikan sirkulasi dan/atau fungsi
pernapasan akibat terhentinya fungsi dan/atau denyut jantung. Resusitasi
sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha
untuk mencegah berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian
biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan atau sirkulasi yang bertujuan untuk mempertahankan
fungsi otak secara manual.1
Menurut Brizzi et al, DNR merupakan suatu tindakan spesifik
untuk tidak memberikan resusitasi jantung paru pada pasien, namun tetap
melakukan perawatan rutin. Keputusan DNR diambil ketika tindakan CPR
selama 30 menit tidak menunjukan ada nadi, pernafasan dan respon
pasien.2
Permintaan DNR digunakan untuk melindungi dan mendorong hak
otonomi pasien sehingga keluarga pasien dapat memperjelas bahwa
mereka tidak menginginkan dilakukan CPR jika jantung atau pernapasan
mereka berhenti selama perawatan di rumah sakit.3
Penjelasan mengenai resusitasi bersifat sensitif dan kompleks dan
harus dilakukan oleh staf perawatan kesehatan yang berpengalaman.
Disarankan bahwa staf memiliki pelatihan keterampilan komunikasi
formal dalam persiapan untuk tanggung jawab klinis ini. Setiap proses

4
5

pengambilan keputusan dan / atau diskusi tentang resusitasi harus


didokumentasikan dalam catatan medis, keperawatan atau multidisiplin.4

2.2 Syarat Do Not Resusitate (DNR)


Pada pelaksanaannya harus dipahami bahwa permintaan DNR pada
dasarnya adalah permintaan pasien atas kepentingan dirinya. Persetujuan
DNR harus dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek, terutama
untung ruginya sebuah upaya penyelamatan. DNR hanya dilakukan untuk
melindungi otonomi pasien dan mencegah bahaya lebih lanjut pada
pasien.5

Komunikasi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan


DNR. Pasien baru akan dapat memberikan keputusan setelah dilakukan
komunikasi yang baik oleh dokter. Bentuk komunikasi tersebut dan
hasilnya harus didokumentasikan secara baik. Perlu dipahami bahwa
pemahaman dokter atau tenaga medis lain mengenai DNR tidak sama
dengan apa yang pasien dan keluarganya pahami. Beberapa pasien
mungkin memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obat
tertentu, yang lain mungkin memikirkan DNR berarti tidak bersedia
dilakukan RJP namun masih menginginkan usaha maksimal dan obat-
obatan bahkan bersedia dirawat di ruang rawat intensif. Dokter harus
menyebutkan dengan jelas bahwa DNR berarti RJP tidak akan dilakukan
bila terjadi kasus henti nafas dan henti jantung.6

Komunikasi dilakukan pada pasien bila dirasa pasien mampu


menerima informasi tersebut. Bila pasien tidak mampu atau tidak ingin
atau bila diskusi terkait DNR akan menyebabkan gangguan fisik dan
mental pada pasien, maka diskusi dengan pasien tidak dilakukan. Kondisi
tersebut harus tertulis dengan baik di catatan pasien. Bila pasien tidak
dapat terlibat pada pengambilan keputusan, keputusan DNR harus
dilakukan pada kerabat yang memiliki wewenang atas pasien.7

Adapun kriteria DNR adalah sebagai berikut :


6

1. Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang


kompeten mengambil keputusan, telah mendapatkan penjelasan
dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak
kompeten keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau
wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan atau oleh
surrogate-decision-maker.
2. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat
menjadi bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya :
a. Kondisi pasien dimana angka keberhasilan pengobatan
rendah atau CPR hanya menunda proses kematian yang
alami.
b. Pasien tidak sadar
c. Pasien berada dalam kondisi terminal
d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak
kerugian dibandingkan keuntungan jika resusutasi
dilakukan.

DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien.


Dokumentasi yang dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan
kesimpulan yang diambil. Penjelasan yang diberikan dokter, termasuk
pertanyaan yang dikeluarkan pasien serta jawabannya harus dituliskan
dalam catatan. Pendokumentasian tersebut harus diikuti dengan pemberian
tanda khusus yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan.
Keputusan DNR bukan merupakan keputusan yang kaku. Bila dalam
perjalanan penyakitnya pasien berkeinginan mengubah keputusan
DNRnya, harus dilakukan pendokumentasian yang baik. Keputusan DNR
harus dapat direvisi dan revisi tersebut harus diketahui oleh semua petugas
kesehatan yang mungkin bersinggungan dengan pasien, misalnya dengan
menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya.7,8

Dokumen DNR harus memuat kondisi yang ditolak oleh pasien,


tindakan dan obat yang ditolaknya dan hal-hal pengecualian. Misalnya,
pasien menolak untuk dilakukan RJP dan pemberian bantuan obat pada
pasien yang mengalami henti jantung, kecuali henti jantung akibat
7

komplikasi prosedur, misalnya syok anafilaktik akibat penggunaan obat,


bahan kontras dan komplikasi pada tindakan kateterisasi jantung.9

Gambar 1. Form DNR RSUP DR.Kariadi

2.3 Aspek Medikolegal Do Not Resusitate (DNR)


Tindakan penghentian bantuan hidup di Indonesia belum banyak
dilakukan, hanya beberapa dokter yang berani melakukan end-of-life
8

decision, meskipun sudah ada fatwa IDI yang membolehkan. Ada dua
pilihan yang dapat dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup,
yaitu with-holding atau with drawing life supports, yaitu penundaan atau
penghentian alat bantuan hidup. Sehingga apabila dilakukan dokter tidak
menyalahi prosedur meski dalam hukum pidana tidak diperbolehkan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan
bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi.
Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia.
Kriteria yang dianut oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut
berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat penggerak
napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung
dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang. 11
Dengan demikian inform consent sangat berperan aktif . Dalam hal ini,
dokter dapat menjelaskan diagnosa keadaan pasien secara spesifik serta
resiko dan komplikasi potensial yang dihubungkan dengan alat ventilator
tersebut.10 Pihak keluarga akan mengambil keputusan tindakan yang akan
dilakukan dokter selanjutnya. Setelah itulah dokter akan melakukan sesuai
prosedur yang telah diijinkan pihak keluarga. Pihak dokter juga akan
berkonsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan
kebijakan Ikatan Dokter serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana
dokter biasanya berhadapan dengan masalah tersebut.15 Sehingga tindakan
do not resusitate dapat dilakukan dalam kondisi seperti ini.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Bab IV Pasal 14:14
1. bahwa penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/ with
holding life support) pada seorang pasien harus mendapatkan
persetujuan dari keluarga terdekat pasien
2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga
terdekat pasien. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara
tertulis.
9

Berdasarkan beberapa ayat yang tercantum dalam ayat 14 tersebut, bahwa


sebenarnya tindakan DNR dilindungi secara hukum dan dapat dilakukan
dengan beberapa pertimbangan kondisi pasien.
Berikut adalah pasal-pasal dalam KUHP yang menjelaskan tentang
kondisi yang memperbolehkan dilakukannya DNR adalah :12
KUHP pasal 344 yaitu, (1) bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan
lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh
dokter yang merawatnya, (2) usaha penyembuhan yang dilakukan selama
ini sudah tidak berpotensi lagi, (3) pasien dalam keadaan in a persistent
vegetative slate, (4) harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga, (5)
mendapat persetujuan dari pengadilan.12
Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada
dasarnya tindakan DNR legal secara hukum, dapat dilakukan berdasarkan
kondisi pasien secara medis tidak dapat dipertahankan dan telah
mendapatkan persetujuan secara tertulis dari keluarga terdekat.

2.4 Persetujuan tindakan medis/informed consent pada kasus DNR

KASI PENJELASAN TTG IC DNR


 Pasal 1 Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989
a. persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;
a. b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan
terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik;
b. c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung
dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh
c. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter ggi/dokter gigi
spesialis
d. yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek
perorangan/bersama.
 Pasal 2 Permenkes No.585/MenKes/Per/IX/1989
(a.1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
10

(a.2) Persetujuan dapat diberikan secara tulisan maupun lisan

(a.3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien

mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang


bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya

(a.4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan


dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.

 Pasal 13. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya
persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.

2.5 Pandangan Prinsip Dasar Moral terhadap Kaus DNR


2.6 Kasus-kasus
Contoh Kasus 1
11

Seorang pasien berusia 70 tahun dengan riwayat PPOK, DM, dan


atrial fibrilasi dibawa paramedis ke IGD dan didapatkan temuan nilai
alkohol serum meningkat. Pada bagian dada pasien didapatkan tato
bertuliskan “do not resuscitate”. Dikarenakan tidak didapatkan adanya
identitas dan kontak keluarga maka petugas sosial dipanggil untuk mencari
keluarga dari pasien. Pada awalnya petugas tidak mengindahkan tato
tersebut dan tetap memberikan pertolongan medis pada pasien. Namun
karena pertolongan medis yang diberikan tidak memberikan perbaikan
12

yang adekuat, konsultan etik memberi saran untuk menghormati tato dari
pasien, karena menurut mereka sangat masuk akal untuk mengambil
kesimpulan bahwa tato tersebut mengungkapkan keinginan pasien sendiri.
Selanjutnya petugas sosial mendapatkan surat perintah DNR yang
didapatkan dari dinas kesehatan kota florida, sesuai dengan tato dari
korban. Pada akhirnya kondisi klinis pasien memburuk sepanjang malam
dan akhirnya pasien meninggal tanpa mendapatkan resusitasi jantung
paru.17

Contoh Kasus 2

Seorang anak berusia 14 tahun dengan riwayat PNET di regio


thoraks datang untuk penatalaksanaan sindroma vena kava (SVK).
13

Walaupun sudah melewati penatalaksanaan invasif, tumor dari pasien terus


bertumbuh dan menyerang paru kiri pasien dan menekan beberapa organ
di bagian mediastinum anterior. Pasien datang dengan orthopneu akut,
edema di wajah dan batuk. Dari pemeriksaan CT-Scan didapatkan hasil
oklusi arteri braciocehpal dan SVK. Pasien disarankan untuk menjalani
intervensi radiologi SVK venogram dan memasang stent arteri untuk
meringankan gejala. Sebelum dilakukannya tindakan, keluarga pasien
sudah diberitahu terkait prognosis yang buruk untuk pasien sehingga status
pasien diubah menjadi DNR. Setelah itu keluarga pasien menemui tim
medis untuk mendiskusikan tentang resusitasi yang mungkin dilakukan,
prognosis pasien, risiko dari tindakan, batasan resusitasi dan tujuan dari
tindakan. Setelah diskusi pasien memilih untuk mempertahankan status
DNR selama prosedur dilakukan. Tindakan berhasil dilakukan dengan
memasang 3 stent pada arteri brachiocephalic dan memakan waktu 3 jam.
Pasien merasa gejalanya berkurang dan pulang pada hari yang sama.18

Contoh kasus 3
14

Seorang pasien laki – laki berusia 80 tahun dengan diabetes,


penyakit vena perifer, amputasi bawah lutut bilateral dan kualitas hidup
yang buruk sebelumnya telah mengalami resusitasi dari kematian
mendadak (sudden death) menyelesaikan permintaan DNR untuk
menghindari resusitasi di masa mendatang. Pasien datang ke IGD dengan
nyeri hebat dan setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan ruptur
aneurisma arteri abdominal (AAA). Walaupun pasien sudah memegang
status DNR petugas medis dan dokter bedah tetap membawa pasien ke
ruang operasi dan memperbaiki ruptur AAA yang dialami pasien. Setelah
tindakan operasi dokter penyakit dalam datang untuk mendiskusikan
kembali keinginan pasien terkait status DNR. Pasien mengonfirmasi
kembali keinginannya dan marah ketika mengetahui dirinya mendapatkan
penatalaksanaan untuk ruptur AAA yang dialami. Keluarga setuju dengan
keputusan pasien, kemudian status DNR kembali diberikan pada pasien
dan pasien meninggal dikarenakan henti jantung selama perawatan di
rumah sakit.19

Contoh kasus 4
15
16

Ibu M. adalah seorang wanita berusia 56 tahun yang dirawat oleh seorang
dokter di rumah sakit untuk 145 hari yang berurutan. Dokternya menyatakan
bahwa dia punya beberapa perselisihan dengan keluarganya dan, oleh karena itu,
ingin menyampaikan kasus ini kepada orang lain. Di Selain itu, pasien ini adalah
Muslim, dan dia berpikir seorang dokter Muslim akan berada dalam posisi yang
lebih baik untuk memahami dan mengelola masalah sosial itu telah menjadi
tantangan dalam perawatan pasien ini. Dia dirawat di rumah sakit begitu lama
karena beberapa komplikasi setelah dirawat awalnya untuk sakit perut dan
anemia. Dia mengalami perdarahan gastrointestinal akibat erosi gastritis, gagal
napas, dan kemudian nosokomial pneumonia. Dia kemudian memiliki beberapa
lainnya infeksi dengan sepsis penuh yang menyebabkan akut gagal ginjal yang
membutuhkan dialisis. Dia akhirnya berakhir memiliki tracheostomy, memberi
makan tabung peg, dan lanjut hemodialisis. Dia terus memilikinya beberapa
organisme dan pneumonia berulang dan, karenanya, tidak ada panti jompo yang
akan menerimanya. Keluarga menolak DNR untuk pasien. Dia terus bertahan
selama beberapa bulan lagi di rumah sakit pada dialisis dan trakeostomi lanjutan
peduli. Dia akhirnya meninggal karena sepsis yang memburuk. Dia dibuat DNR
ketika para dokter memiliki konsensus bahwa dia sakit parah. Keluarga
menyetujui pesanan DNR pada waktu itu.20

Contoh kasus 5
17

Seorang pasien wanita 50 kilogram berusia 16 tahun adalah mengaku


kepada DEMS didiagnosis dengan tidak sengaja, keracunan yang diinduksi
18

sendiri. Menurut ke pedoman DEM, keracunan pediatrik adalah selalu


diklasifikasikan sebagai muncul. Sebuah pernyataan yang diambil dari kerabat
pasien oleh perawat bertugas pada pengakuan triase DEMS meja menunjukkan
bahwa pasien mengambil cairan racun saat sendirian di rumah secara jelas
percobaan bunuh diri. Data demografi dasar seperti status keuangan atau
ketidaktertarikan dikumpulkan oleh pekerja sosial dan didokumentasikan pada
catatan pasien. Sejak pasien itu fakir miskin, diklasifikasikan sebagai milik
'rendah' keluarga berpenghasilan ', rumah sakit mengizinkannya hak istimewa
untuk memanfaatkan layanan medis gratis (DOH 2005a). Data demografi
didokumentasikan dan persetujuan dari kerabat untuk pasien perawatan segera
dijamin. WHO (2008) mengulangi kembali pentingnya menjelaskan prosedur
kepada kerabat kasus darurat terutama pada pediatrik pasien usia 17 tahun ke
bawah. Karena itu, racun resusitasi dijelaskan sebelum memindahkannya ke unit
perawatan akut.21
19

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah untuk tidak
melakukan resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi
Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika
terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya
pernapasan.
2. Syarat DNR adalah komunikasi, persetujuan pasien, persetujuan keluarga
dan dokumentasi
3. Aspek medikolegal DNR:
a. Syarat DNR : KUHP pasal 344 yaitu, (1) bagi pasien yang sudah
tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran
medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya, (2) usaha
penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi
lagi, (3) pasien dalam keadaan in a persistent vegetative slate, (4)
harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga, (5) mendapat
persetujuan dari pengadilan.12
b. Pada dasarnya tindakan DNR tidak dilegalkan secara hukum,
namun dapat dilakukan berdasarkan kondisi pasien secara medis
tidak dapat dipertahankan dan telah mendapatkan persetujuan
secara tertulis dari keluarga terdekat.
4. Penerapan aspek medikolegal pada kasus-kasus DNR sudah cukup baik
1.2 Saran
1. Perlunya perlindungan hukum yang lebih tegas terhadap tindakan DNR
2. Pengambilan keputusan DNR lebih baik melalui proses persidangan dan
melibatkan banyak pihak ahli terkait dengan penyakit yang diderita pasien,
seperti keluarga pasien yang mengajukan permohonan DNR, dokter
spesialis yang menangani pasien, sampai psikiater dan juga aktivis
kemanusiaan yang saling mengajukan pendapat dalam forum sidang.

19
20

Sehingga keputusan yang diambil oleh hakim, merupakan keputusan


terbaik yang telah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang matang.
Dan keputusan ini memiliki kekuatan hukum yang kuat. Jika suatu saat
dokter yang memutuskan memberi label DNR pada pasien di mintai
keterangan oleh pihak pengadilan atau pihak terkait lainnya dia bisa
memberikan keterangan yang valid dan memiliki kekuatan hukum.
3. Kami menyarankan pengetahuan mengenai DNR dipelajari secara
komprehensif bagi mahasiswa kedokteran sebelum terjun ke klinik.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. The Professional Code and Conduct of the Medical Council of Hong


Kong. (2016). HA Guidelines on Do-Not- Attempt Cardiopulmonary
Resuscitation (DNACPR), Retrieved 19 12, 2018, from www.ha.org.hk
2. Brizzi, M., Abul-Kasim, K., Jalakas, M., Selariu, E., Pessah-Rasmussen,
H., & Zia, E. (2012). Early do-not-resuscitate orders in intracerebral
haemorrhage; frequency and predictive value for death and functional
outcome. A retrospective cohort study. Scandinavian journal of trauma,
resuscitation and emergency medicine, 20 (1), 1–6.
3. Breault, Joseph L. (2011). DNR, DNAR, or AND? Is Language
Important?, Retrieved 19 12, 2018, from www.researchgate.net
4. NHS Scotland. (2010). Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation
(DNACPR), Retrieved 19 12, 2018, from www2.gov.scot
5. Biegler P. Should patient consent be required to write a do not resuscitate
order? J Med Ethics 2003;29:359–363

6. Ahmed N, Lobchuk M, Hunter WM, Johnston P, Nugent Z, Sharma A, et


al. How, When and Where to Discuss Do Not Resuscitate: A Prospective
Study to Compare the Perceptions and Preferences of Patients, Caregivers,
and Health Care Providers in a Multidisciplinary Lung Cancer Clinic.
Cureus. 2015;7(3): e257. DOI: 10.7759/cureus.257

7. Etheridge Z, Gatland E. When and how to discuss “do not resuscitate”


decisions with patients. BMJ. 2015;350:h2640 DOI: 10.1136/bmj.h2640

8. Bossaert LL, Perkins GD, Askitopoulou H, Raffay VI, Greif R, Haywood


KL, et al. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation
2015Section 11. The ethics of resuscitation and end-of-life decisions.
Resuscitation. 2015;95:302–311. DOI:

9. Micallef S, Skrifvars MB, Parr MJ. Level of agreement on resuscitation


decisions among hospital specialists and barriers to documenting do not
22

attempt resuscitation (DNAR) orders in ward patients. Resuscitation.


2011;82:815–818.

10. Erlian. (2012). Erlian-ff07.web.unair.ac.id/artikel. Retrieved 11 5, 2012,


from web.unair.ac.id
11. Haryadi (2011). Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan Hak
Asasi Manusia. Retrieved 2 10, 2012 from Portal Garuda
12. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX Pasal 344 Tentang
Kejahatan Terhadap Nyawa
13. Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/19983 Tentang Kode Etik
Kedokteran
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tahun
2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
15. Williams, P. J. (2005). Medical Ethics Manual Ethics Unit of the World
Medical Association
16. Kementerian Kesehatan RI. Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran
17. Holt, G.E., Sarmento, B., Kett, D. and Goodman, K.W., 2017. An
unconscious patient with a DNR tattoo. New England Journal of
Medicine, 377(22), pp.2192-2193.
18. Ballard HA, Suresh S. Taking Assent to New Heights: A Case Report on
Do-Not-Resuscitate Status in Pediatric Palliative Care Procedures. A&A
Practice. 2018 Mar 1;10(5):110-2.
19. Teno, Joan M. (2008). The-Wrongful-Resuscitation, Retrieved 19 12,
2018, from www.psnet.ahrq.gov
20. Chamsi-Pasha H, Albar MA. Do-Not-Resuscitate Orders: Islamic
viewpoint. International Journal of Human and Health Sciences.
2018;2(1):8-12.
21. Dioso, Regidor III. Decision-making Processes for a Do-not-resuscitate
Poisoned Pediatric Patient Admitted to the Department of Emergency and
Medical Services — A Case Study. ASEAN Journal on Science and
Technology for Development. 2015;32(1):31-51.

Anda mungkin juga menyukai