Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (Gustaviani R., 2009). Terdapat dua kategori utama diabetes
melitus yaitu DM tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 ditandai dengan kurangnya
produksi insulin. DM tipe 2 disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif
dalam tubuh. DM tipe 2 merupakan 90% dari seluruh diabetes (Pusdatin, 2014).

Secara global, pada tahun 2015 estimasi jumlah orang dewasa dengan diabetes
di seluruh dunia adalah 415 juta jiwa, kenaikan 4 kali lipat dari 180 juta di era 1980-
an. Pada tahun 20140 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Persentase
orang dewasa dengan diabetes adalah 8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang
diabetes). Hampir 80% orang dengan diabetes ada di negara berpenghasilan rendah
dan menengah (WHO, 2016).

Pada tahun 2014 terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes di 11 negara
anggota wilayah regional Asia Tenggara. Jumlah ini juga meningkat dari 4,1% pada
era 1980-an menjadi 8,6% di tahun 2014. Diabetes terjadi 10 tahun lebih cepat di
wilayah Asia Tenggara daripada orang-orang dari wilayah Eropa, pada usia dimana
merupakan masa palin g produktif (WHO, 2016).

Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2015 menempati peringkat ketujuh


di dunia dengan berdasarkan atlas IDF jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar
10 juta. Prevalensi diabetes di Indonesi menunjukkan kecenderungan meningkat
yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013) dimana 2/3 orang dengan diabetes tidak

1
2

mengetahui dirinya memiliki diabetes dan berpotensi mengakses layanan kesehatan


sudah dengan komplikasi diabetes (WHO, 2016).

Risiko kematian penderita diabetes secara umum adalah 2 kali lipat


dibandingkan bukan penderita diabetes (Pusdatin, 2014). Kadar gula darah tinggi di
tahun 2012 bertanggung jawab atas 3,7 juta kematian di dunia dimana 1,5 juta
kematian disebabkan oleh diabetes. Pada tahun 2012, sekitar 1 juta orang dewasa di
wilayah regional Asia Tenggara meninggal diakibatkan oleh kadar gula darah tinggi,
termasuk didalamnya kematian akibat langsung dari diabetes (koma diabetikum)
ataupun kematian karena komplikasi diabetes. Estimasi prevalensi kematian akibat
diabetes di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua setelah Sri Lanka. Komplikasi
diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia (WHO, 2016).

Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka


panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama ginjal, saraf,
jantung dan pembuluh darah (Gustaviani R., 2009). Diabetes menjadi risiko penting
pada penyakit kardiovaskuler (PKV). Diabetes dikaitkan dengan aterosklerosis dini
karena disfungsi vasomotor endotel, efek vaskular dari produk glikasi lanjut, efek
buruk dari sirkulasi asam lemak bebas dan peningkatan peradangan sistemik (Gupta
et al., 2017).

Keterlibatan sistem kardiovaskular dalam diabetes mellitus bervariasi. Ini dapat


terlibat oleh patologi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Keterlibatan sistem
kardiovaskular pada pasien dengan diabetes dapat berkisar dari penyakit jantung
iskemik, penyakit jantung hipertensi, dan kardiomiopati diabetes (Menezes et al.,
2015). Sebagian besar PKV diabetik tidak menunjukkan gejala (iskemia silent /
painless) akibat neuropati otonom (Gupta et al., 2017).

Ada begitu banyak teori dan hipotesis tentang hubungan antara DM tipe 2 dan
penyakit kardiovaskular (PKV). 5,1 juta kematian akibat DM (3/4 diantaranya terkait
dengan PKV sebagai komplikasi dari DM). Diagnosis dini untuk PKV pada DM tipe
3

2 sangat penting, seperti mengetahui gambaran EKG pasien tersebut (Maradjabessy


et al., 2015).
Pada studi lieratur EKG 12-lead telah mempertahankan signifikansi untuk
diagnosis dan hal yang dikerjakan di triase pada pasien dengan dugaan PKV. Ini
digunakan baik dalam pencarian diagnostik dan peneliti sebagai alat deteksi dan
skrining pasien dengan myocardial injury (Menezes et al., 2015). Dalam makalah
ini, saya bertujuan untuk mempelajari gambaran perubahan EKG pasien DM tipe 2
dalam hal relevansinya dengan dunia kedokteran untuk membantu dengan diagnosis,
skrining dan pengambilan keputusan tepat waktu dan juga dalam hal aplikasi riset
selanjutnya.

1.2 Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenasi
Gambaran EKG pada Pasien DM Tipe 2. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk
memenuhi persyaratan kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DIABETES MELITUS

2.1.1 Defenisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya (Perkeni, 2015).

2.1.2 Epidemiologi

DM tipe 2 merupakan 90% dari seluruh diabetes (Pusdatin, 2014). Secara


global, pada tahun 2015 estimasi jumlah orang dewasa dengan diabetes di seluruh
dunia adalah 415 juta jiwa, kenaikan 4 kali lipat dari 180 juta di era 1980-an. Pada
tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Persentase orang dewasa
dengan diabetes adalah 8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang diabetes).
Hampir 80% orang dengan diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan
menengah (WHO, 2016).

Pada tahun 2014 terdapat 96 juta orang dewasa dengan diabetes di 11 negara
anggota wilayah regional Asia Tenggara. Jumlah ini juga meningkat dari 4,1% pada
era 1980-an menjadi 8,6% di tahun 2014. Diabetes terjadi 10 tahun lebih cepat di
wilayah Asia Tenggara daripada orang-orang dari wilayah Eropa, pada usia dimana
merupakan masa paling produktif (WHO, 2016).

Prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2015 menempati peringkat ketujuh


di dunia dengan berdasarkan atlas IDF jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar
10 juta. Prevalensi diabetes di Indonesi menunjukkan kecenderungan meningkat

4
5

yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013) dimana 2/3 orang dengan diabetes tidak
mengetahui dirinya memiliki diabetes dan berpotensi mengakses layanan kesehatan
sudah dengan komplikasi diabetes (WHO, 2016).

Tahun 2013 di Sumatera Utara estimasi jumlah penduduk usia ≥ 15 tahun yang
terdiagnosis adalah sebanyak 160.913 penduduk dan merasakan gejala DM tapi
belum pernah di diagnosis DM oleh dokter adalah sebanyak 44.698 penduduk dari
jumlah penduduk diatas 14 tahun adalah 8.939.623 (Pusdatin, 2014).

Risiko kematian penderita diabetes secara umum adalah 2 kali lipat


dibandingkan bukan penderita diabetes (Pusdatin, 2014). Kadar gula darah tinggi di
tahun 2012 bertanggung jawab atas 3,7 juta kematian di dunia dimana 1,5 juta
kematian disebabkan oleh diabetes. Pada tahun 2012, sekitar 1 juta orang dewasa di
wilayah regional Asia Tenggara meninggal diakibatkan oleh kadar gula darah tinggi,
termasuk didalamnya kematian akibat langsung dari diabetes (koma diabetikum)
ataupun kematian karena komplikasi diabetes. Estimasi prevalensi kematian akibat
diabetes di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua setelah Sri Lanka. Komplikasi
diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia (WHO, 2016).

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko DM bisa dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi adalah ras, etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan DM,
riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram dan riwayat lahir
dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram). Sedangkan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang kurang sehat,
yaitu berat badan lebih, obesitas abdominan / sentral, hipertensi, dislipidemia, diet
tidak sehat/seimbang, riwayat TGT atau GDP terganggu dan merokok (Pusdatin,
2014).
6

2.1.4 Patogenesis DM Tipe 2

Pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2


Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat
daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain
seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin),
sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2015).

DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2
tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet
(gambar 2.1)

Gambar 2.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (PERKENI, 2015).
7

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor (PERKENI, 2015).

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis (PERKENI, 2015).

3. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di


intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion
(PERKENI, 2015).

4. Sel lemak:

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion (PERKENI, 2015).
8

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor (PERKENI, 2015).

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat


melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa (PERKENI, 2015).

6. Sel Alpha Pancreas:

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding
individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin (PERKENI,
2015).
9

7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.


Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu contoh obatnya (PERKENI, 2015).

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan
justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin (PERKENI,
2015).
10

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi etiologis DM (PERKENI, 2015)

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015):
11

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.2 Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2015)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2015).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;

• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 –jam


setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c


yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
12

Tabel 2.3 Kadar tes labolatorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes
(PERKENI, 2015)

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM yaitu (PERKENI, 2015):
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
13

2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan
glukosa darah kapiler seperti pada tabel-6 di bawah ini.

2.1.7 Komplikasi

Hiperglikemia dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai


sistem tubuh terutama syaraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi dari diabetes
yang sering terjadi (Pusdatin, 2014) :
 Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke
 Neuropati (kerusakan syaraf) di kaki yang meningkatkan kejadian ulkus kaki,
infeksi dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki.
 Retinopati diabetikum, yang merupakan salah satu penyebab utama kebutaan,
terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil di retina.
 Diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal.
Dengan pengendalian metabolisme yang baik agar kadar gula darah berada
dalam kategori normal, maka komplikasi dapat dicegah atau di tunda.

2.1.8 DM Tipe 2 dengan Komplikasi Penyakit Jantung

Menurut beberapa hipotesis, DM tipe 2 secara garis besar melalui beberapa


mekanisme dapat memicu inflamasi pada pembuluh darah, peningkatan pembentukan
14

trombus, dan vasokonstriksi. Yang secara keseluruhan dapat mendorong


aterosklerosis sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (PKV) diantaranya
penyakit jantung koroner, iskemik miokard dan berujung pada gagal jantung
(Maradjabessy et al., 2015).

Studi da Rocha Fernandes et al. (2016) mendapatkan salah satu penyebab


mortalitas tersering pada penderita DM adalah penyakit kardiovaskular (PKV).
Menurut WHO (2012) pada tahun 2008, kematian akibat PKV pada penderita DM di
Indonesia mencapai 400 per 100.000 orang pada laki-laki dan 300 per 100.000 orang
pada perempuan dan angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari
penelitian klinis oleh Alwi (2012) menunjukan lebih dari tigaperempat pasien DM
dengan PKV yang meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis, sebagian
besar kasus (75%) karena penyakit jantung koroner (PJK) (Salsabila, 2019).

Berdasarkan berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara DM tipe 2


dengan kejadian sekuele diabetes yaitu penyakit jantung. Hasil analisis antara
kejadian DM tipe 2 dengan PJI menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara
DM tipe 2 dengan kejadian PJI di RSUD Tugurejo Semarang. Penderita DM tipe 2
berisiko 6,429 kali untuk menderita PJI (Anggraheny, 2015).

Pada studi literatur ketika pasien mengidap kombinasi antara hipertensi dan
DM risiko mereka untuk menderita penyakit kardiovaskular akan menjadi dua kali
lipat. Untuk kategori dislipidemia dapat dilihat proporsi DM tipe 2 dengan PJK pada
yang tidak dislipidemia adalah lebih banyak (58,7%) dibandingkan dengan yang
dislipidemia (28%). Studi ini mendapatkan hubungan yang sangat bermakna antara
dislipidemia dengan kejadian PJK pada penderita DM tipe 2 (Yuliani et al., 2014).

Untuk kategori lama menderita DM dapat dilihat proporsi PJK pada penderita
DM tipe 2 ditemukan paling banyak terdapat pada lama menderita DM >10 tahun
(81,8%) dibandingkan dengan lama menderita DM <5 tahun (50,8%) dan 5- 10 tahun
15

(40%) dan terdapat hubungan antara lama menderita DM dengan kejadian PJK pada
penderita DM tipe 2 (Yuliani et al., 2014).

Sebagian besar PKV diabetik tidak menunjukkan gejala (iskemia silent /


painless) akibat neuropati otonom (Gupta et al., 2017). Pada studi literatur
menunjukkan bahwa setiap pertambahan umur 5 (lima) tahun seseorang yang
menderita DM tipe 2 akan memiliki risiko 3,1 kali untuk mengalami silent CAD
(Maulana, 2012). Sehingga diagnosis untuk PKV harus ditegakan sejak dini untuk
mengurangi mortalitas serta menentukan rencana tatalaksana (Maradjabessy et al.,
2015).

Diperlukan alat diagnosis dini PKV dengan tingkat akurasi yang baik, cepat,
nyaman untuk pasien, tersedia diberbagai pusat pelayanan kesehatan di Indonesia dan
mudah dijangkau oleh semua kalangan. Salah satunya adalah Elektrokardiogram
(EKG). EKG adalah alat penunjang diagnosis yang merekam sebagian kecil aktivitas
listrik yang dihasilkan oleh otot jantung selama depolarisasi dan repolarisasi.
Aktivitas listrik itu menyebar ke jaringan sekitar jantung dan dihantarkan melalui
cairan tubuh hingga mencapai permukaan tubuh dan direkam oleh elektroda perekam
dari EKG sehingga dapat memberikan data yang mendukung diagnosis serta pada
beberapa kasus penting untuk penatalaksanaan pasien (Maradjabessy et al., 2015).

Pada komplikasi makrovaskular DM, terjadi kekurang suplai O2 di sel otot


jantung akibat penurunan aliran darah ke otot jantung sehingga terjadi penurunan
pembentukan energi kemudian gangguan pertukaran ion untuk depolarisasi dan
repolarisasi yang semuanya berujung pada gangguan kontraksi otot jantung. karena
aktivitas mekanis dipicu oleh aktivitas listrik, disinilah EKG berperan untuk
mengevaluasi dan memberikan informasi mengenai status jantung (Maradjabessy et
al., 2015).

Kegunaan EKG pada bidang kardiologi dapat digunakan untuk mendiagnosis


hal-hal berikut ini seperti sudut kelistrikan jantung, monitoring denyut jantung,
16

aritmia, kelainan urutan aktivasi jantung, peningkatan ketebalan dan ukuran otot
jantung atrium dan ventrikel, iskemik dan infark miokard, efek obat, karditis,
monitoring pemacu jantung (Maradjabessy et al., 2015).

Menurut sebuah literatur dikatakan bahwa EKG juga bisa digunakan dalam
mengidentifikasi PKV pada diabetes, seperti silent ischemia miocardial, neuropati
autonomi jantung, kardiomiopati diabetik. Meskipun EKG memiliki tingkat akurasi
58,2-62% jika dibandingkan dengan angiografi koroner dalam mendiagnosis PKV
terutama PJK dan alat pemeriksaan penunjang utama dalam kardiomiopati diabetik
adalah ekokardiografi, namun berdasarkan ketersediaan alat dan jangkauan ekonomi
masyarakat menengah kebawah, EKG cukup bisa diandalkan dalam deteksi dan
skrining awal PKV (Maradjabessy et al., 2015).

Selain itu pada studi literatur EKG 12-lead telah mempertahankan signifikansi
untuk diagnosis PKV dan hal yang rutin dikerjakan di triase pada pasien dengan
dugaan PKV. Ini digunakan baik dalam penegakan diagnostik sebagai alat deteksi
dan skrining pasien dengan myocardial injury (Menezes et al., 2015).

2.1.9 Gambaran EKG pada DM Tipe 2

Secara patogenesis DM dapat melibatkan patologi pada mikrovaskuler dan


makrovaskuler. Sistem kardiovaskular yaitu PKV merupakan sekuele penyakit pada
pasien dengan diabetes yang dapat berkisar dari penyakit jantung iskemik, penyakit
jantung hipertensi, dan kardiomiopati diabetes. Oleh karena itu sangat penting untuk
mengetahui perubahan elektrokardiografi (EKG) yang dapat terjadi pada pasien
dengan diabetes (Menezes et al., 2015).

Berdasarkan dari berbagai studi literatur mendapatkan beberapa hasil


gambaran EKG pada pasien DM tipe 2 yang tertera pada tabel 2.4.
17

Tabel 2.4 Gambaran abnormalitas EKG pada pasien DM tipe 2

Studi Literatur Hasil Penelitian

Maradjabessy et al. Ditemukan sejumlah besar gambaran EKG untuk


(2015) LAH/LAE, pembuluh darah koroner, dan blokade
cabang berkas pada pasien DM tipe 2:

 Gambaran EKG berupa iskemik maupun infark


yang cukup tinggi yaitu iskemik sebanyak 18
gambaran (8,8%) dan infark miokard lama (OMI)
sebanyak 28 gambaran (13,7%) dari 204 gambaran
EKG yang ditemukan dengan berbagai lokasi
iskemik maupun infark.
 Gangguan konduksi jantung (RBBB, RBBB
Inkomplit, LBBB, LAHB/LAFB) ditemukan pada
23 gambaran (11,3%).
Menezes et al. (2015) Studi ini mencerminkan bahwa ada EKG saat
beristirahat harus menjadi bagian integral dari
pemeriksaan semua pasien dengan diabetes

 .Studi ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan


segmen ST-T, gelombang Q; Progresi gelombang R
yang buruk, ektopik, blok cabang berkas,
Perpanjangan segmen QT, pembesaran bilik, dan
deviasi aksis lebih sering terjadi pada pasien
diabetes.

 Perubahan EKG terlihat lebih umum pada pasien


dengan diabetes yang tidak terkontrol
18

Salsabila R (2019) Gambaran EKGyang didapatkan adalah LAD (19.2%),


sinus takikardi (16.3%), LVH (15.4%), dan Q
patologis (11.5%), serta ditemukan RAD (8.7%) yang
belum pernah ditemukan pada penelitian serupa
sebelumnya.

Syuhada A (2016) EKG menunjukkan bahwa pada pasien STEMI dengan


DM tipe 2 lokasi infark miokard terbanyak terdapat
pada lokasi inferior pada (53,8%).

2.1.10 Prognosis

Diabetes merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular.
Terlambatnya diagnosis dan tatalaksana semakin meningkatkan risiko terjadi sekuele
dari penyakit ini diantaranya serangan jantung, kebutaan, stroke, gagal ginjal dan
amputasi kaki. Diabetes tipe 2, penyakit jantung dan stroke adalah penyakit yang
80% dapat dicegah atau kejadiannya dapat ditunda. Dengan tatalaksana pengobatan
yang optimum, diabetes dapat dikontrol sehingga kadar gula darah dalam kategori
normal sehingga meminimalisir komplikasi sehingga orang dengan DM dapat
berumur panjang dan hidup sehat.
19

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. DM tipe 2 merupakan 90% dari seluruh diabetes. Secara global, pada tahun
2015 estimasi jumlah orang dewasa dengan diabetes di seluruh dunia adalah 415 juta
jiwa, kenaikan 4 kali lipat dari 180 juta di era 1980-an. Pada tahun 2040 diperkirakan
jumlahnya akan menjadi 642 juta. Persentase orang dewasa dengan diabetes adalah
8,5% (1 diantara 11 orang dewasa menyandang diabetes). Hampir 80% orang dengan
diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Diabetes menjadi risiko penting pada penyakit kardiovaskuler PKV. Diabetes


dikaitkan dengan aterosklerosis dini karena disfungsi vasomotor endotel, efek
vaskular dari produk glikasi lanjut, efek buruk dari sirkulasi asam lemak bebas dan
peningkatan peradangan sistemik.

Risiko kematian penderita diabetes secara umum adalah 2 kali lipat


dibandingkan bukan penderita diabetes (Pusdatin, 2014). Kadar gula darah tinggi di
tahun 2012 bertanggung jawab atas 3,7 juta kematian di dunia dimana 1,5 juta
kematian disebabkan oleh diabetes. Data dari penelitian klinis menunjukan lebih dari
tigaperempat pasien DM dengan PKV yang meninggal penyebabnya dikaitkan
dengan aterosklerosis, sebagian besar kasus (75%) karena penyakit jantung koroner
(PJK).

Menurut sebuah literatur dikatakan bahwa EKG juga bisa digunakan dalam
mengidentifikasi PKV pada diabetes, seperti silent ischemia miocardial, neuropati

19
20

autonomi jantung, kardiomiopati diabetik. EKG bisa digunakan Ini digunakan baik
dalam penegakan diagnostik sebagai alat deteksi dan skrining pasien dengan
myocardial injury.

Hal ini berguna untuk pencegahan ataupun menangani lebih dini karena DM
tipe 2 dan penyakit jantung adalah penyakit yang 80% dapat dicegah atau
kejadiannya dapat ditunda. Dengan tatalaksana pengobatan yang optimum, diabetes
dapat dikontrol sehingga kadar gula darah dalam kategori normal sehingga
meminimalisir komplikasi sehingga orang dengan DM dapat berumur panjang dan
hidup sehat.

3.2 SARAN

 Hendaknya seorang dokter mengutamakan edukasi yang komprehensif


kepada pasien DM tipe 2 tentang pentingnya kontrol rutin penyakit DM
untuk mencegah komplikasi terutama pada kejadian penyakit
kardiovaskuler.
 Hendaknya seorang dokter lebih memahami skrining PKV melalui gambaran
EKG terutama pada pasien DM tipe 2 agar dapat menangani lebih awal
komplikasi tersebut.
21

DAFTAR PUSTAKA

Anggraheny, HD, Setyoko & Septikusuma 2013, ‘Diabetes Mellitus Tipe II sebagai
Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Iskemik’, Jurnal Kedokteran
Muhammadiyah, vol.2.

Gupta, S, Gupta, RK, Kulshrestha, M & Chaudhary, RR 2017, ‘Evaluation of ECG


Abnormalities in Patients with Asymptomatic Type 2 Diabetes Mellitus’,
Journal of Clinical & Diagnostic Research, vol. 11, no. 4, hh. 39-41.
Gustaviani, R 2009, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Buku ajar
ilmu penyakit dalam edk 5, Buku penerbit FK UI, Jakarta.

Maradjabessy, FH, Rampengan, SH & Langi, YA 2015, ‘Gambaran


Elektrokardiogram pada Pasien Dm Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin Blu Rsup
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado’, Jurnal e-Clinic, vol. 3, no. 1, hh. 87-92

Maulana, I 2012, Analisis Komplikasi yang Berhubungan dengan Kejadian Silent


Coronary Artery Disease pada Pasien Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2, Tesis,
Library UI, dilihat 20 maret 2019,
<http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20304958-T30700%20
%20Analisis%20komplikasi.pdf>.

Menezes, SA, Delasalle, A & Arunachalam 2015, ‘A study of electrocardiographic


changes in type 2 diabetes patients’, International Journal of Research in
Medical Sciences, vol. 3, no. 12, hh. 3470-3473.

PERKENI, 2015, Konsensus Pengelolahan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia, PB. PERKENI, dilihat 20 maret 2019.
22

Pusdatin RI, 2014, Situasi dan Analisis Diabetes, Jakarta, dilihat pada 20 Maret 2019,
<http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
diabetes.pdf>

Salsabiilah R, 2019, Gambaran Elektrokardiogram Pada Penderita Diabetes Melitus


Tipe 2 di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, Library UMPalembang,
dilihat 20 maret 2019, <http://repository.um-palembang.ac.id/id/eprint/2777/>

Syuhada, A 2016, Gambaran Elektrokardiogram pada Pasien Infark Miokard Akut


Elevasi Segmen ST dengan dan Tanpa Diabetes Mellitus RSUP Dr. M. Djamil
Padang, dilihat 20 maret 2019,
<http://scholar.unand.ac.id/20331/1/Cover%20dan%20Abstrak.pdf>.

WHO, 2016, Diabetes : Fakta dan Angka, Geneva Wolrd Health Organization, dilihat
20 Maret 2019.

Yuliani, F, Oenzil, F & Iryani, D 2014, ‘Evaluation of ECG Abnormalities in Patients


with Asymptomatic Type 2 Diabetes Mellitus’, Jurnal Kesehatan Andalas, vol.
3, no. 1, hh. 38-41.

Anda mungkin juga menyukai