Dokumen - Tips - Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin Wilma - Docx
Dokumen - Tips - Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin Wilma - Docx
No RM : 909601
- Diagnostik
A. Retensio Urine
Retensi urine merupakan kedaruratan yang harus mendapatkan pertolongan/tindakan
segera, karena retensi urine total yang berlangsung beberapa hari dapat mengakibatkan
urosepsis yang dapat berakhir dengan kematian. Dalam hal seseorang tidak bisa kencing,
harus dibedakan antara retensi urine dan anuria. Retensi urine adalah tidak dapatnya/sukarnya
urine keluar dari vesika urinaria, sedangkan anuria adalah terhentinya produksi urine akibat
gangguan di bagian proksimal vesika urinaria.
B. BPH
Benign Prostat Hyperplasi (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah.
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan
luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan
pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan
umur. Sebenarnya perubahan-perubahan ke arah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai
sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi
menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan
gejala klinik.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan menghambat
aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertofi otot detrusor. Perubahan struktur buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract syptoms (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Obstruksi yang disebabkan oleh hiperplasia
prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya masa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis
yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi peningkatan rasio stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal
rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1
dan hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan otot polos prostat dibandingkan
dengan prostat normal. Dalam hal ini masa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen
statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab
obstruksi prostat.
Manifestasi Klinis
Pada BPH biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
terjadi karena destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup
lama sehingga kontraksi terputus. Gejala dan tanda obstruksi tersebut antara lain :
- Perubahan ukuran dan pancaran air kemih
- Interupsi pancaran/miksi terputus (intermitency)
- Menetes pada akhir miksi (terminal dribling)
- Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistency)
- Rasa belum puas sehabis miksi
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda tersebut antra lain :
- Nokturia
- Frekuensi miksi bertambah (frequency)
- Miksi sulit ditahan (urgency)
- Nyeri saat miksi (disuria)
Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap
dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat
penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara
yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis
itu meliputi:
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami
cedera, infeksi, atau pembedahan)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS).
WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis
gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan
total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi
sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang
diperoleh adalah sebagai berikut.
Skor 0-7: bergejala ringan
Skor 8-19: bergejala sedang
Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan
tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7
kemungkinan jawaban.
Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung
underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,
hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada
pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat
sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi
neuromuskuler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter
ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks
di daerah sakral.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
a) Foto Rontgen dan IVP
b) Ultrasonografi
Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.Terapi
yang dilakukan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif
kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa
terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi. Di Indonesia,
tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan
terpilih untuk pasien BPH.
a. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan
untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah, yaitu keluhan ringan yang tidak
menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan
terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi
kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman
yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan
obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,(4) jangan menahan kencing
terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran
urin, maupun volume residual urin. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Jenis obat yang digunakan adalah:
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
- preparat non selektif: fenoksibenzamin
- preparat selektif masa kerja pendek:prazosin, afluzosin, dan indoramin
- preparat selektif dengan masa kerja lama:doksazosin, dan terazosin,
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dandutasteride
c. Terapi intervensi
1. Pembedahan
2. Laser Prostatektomi
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa
pengobatan adalah 1) trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan
intravesika yang selalu tinggi akibat obstruksi, 2) sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos
di antara serat-serat detrusor, 3) divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain
adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil,
sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intravesika yang selalu tinggi tersebut
diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi karsinoma prostat. BPH yang telah
diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005.
2. Prostate Gland Anatomy and Physiology. Diunduh dari http://training.anatomy.com.
pada tanggal 20 Juni 2013
3. Umbas, R. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Jakarta: Yayasan
penerbit IDI; 1995. h 1-5.
4. Rahardjo, J. Prostat Hipertropi. Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Bina rupa aksara ;
1996. h 161-70.
5. Mansjoer, A, Suprahaita, Wardhani. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2000. h 329
6. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Pelaksanaan Praktis.
Retensi Urine. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013. H 157-62
BORANG STATUS PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya.
4. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini
5. Riwayat Pekerjaan : -
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Tinggal bersama istri dan 1 orang anak, rumah
permanen. Pasien sudah tidak bekerja lagi.
7. Lain-lain : -
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis BPH
2. Tatalaksana awal pasien Retensio Urine ec BPH
3. Edukasi mengenai faktor resiko terjadinya Retensio urin
3. Assessment:
Telah dilaporkan kasus seorang laki-laki berusia 74 tahun masuk IGD RSUD Padang
Panjang pada tanggal 14 Juni 2013 dengan diagnosis kerja Retensio Urine ec BPH. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis didapatkan nyeri pada perut bagian bawah sejak 4 jam sebelum
masuk rumah sakit, rasa ingin berkemih tapi tidak bisa mengeluarkan kencing, terakhir buang air
kecil tadi malam. Sejak 4 bulan yang lalu pasien merasakan bahwa BAK nya tidak tuntas, harus
mengedan, kadang menetes, dan pasien harus sering bolak balik kamar mandi bahkan pada
malam hari karena BAK sulit dikeluarkan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda – tanda vital dan pemeriksaan sistemik normal.
Ditemukan vesika urinaria teraba penuh dan pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan
adanya pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, permukaan rata, tidak ada nyeri tekan.
Dari pemeriksaan darah rutin, ditemukan leukositosis (12.760/mm3)
4. Plan:
Diagnosis: retensio urin ec BPH
Pengobatan:
- Mengeluarkan urin dengan memasang foley catheter
- Hytrin tablet 1 x 1 mg (malam)
- Ciprofloxacin tablet 2 x 500 mg
Pendidikan: Menjelaskan tentang faktor risiko penyakit dan tatalaksana kepada pasien.
Rujukan: Pada pasien ini dianjurkan untuk dirujuk ke dokter Spesialis Bedah untuk pemeriksaan
USG untuk mengetahui ukuran prostat dan apakah sudah terjadi kerusakan lanjut pada ginjal