Anda di halaman 1dari 22

Kedokteran Gigi Forensik

A. Disaster Victim Identification (DVI)

Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang


disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan
sumber daya masyarakat untuk menanggulanginya. Umumnya korban
yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim
pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang
perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. PP 21
tahun 2008, Pasal 51 (5) : Terhadap masyarakat terkena bencana yang
meninggal dunia dilakukan upaya identifikasi dan pemakaman. Dalam
penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama,
Natural Disaster, seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan
sejenisnya. Sedangkan yang kedua, dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’
yang dapat berupa kelalaian manusia itu sendiri seperti: kecelakaan udara,
laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat ulah manusia yang
telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme
DVI atau Disaster Victim Identification adalah suatu defenisi yang
diberikan sebagaiprosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan
mangacu pada standar baku Interpol. Dalam melakukan proses identifikasi
terdapat bermacam-macam metode dan teknik identifkasi yang dapat
digunakan. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya

1
mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The
Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’,
‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’ Namun demikian Interpol menentukan
Primary Identifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan
DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan
Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak
yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai
yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers. Dalam
mengidentifikasi korban, ada beberapa metode :
1. Metode Sederhana
a. Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara
ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik
berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila
mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus
mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang
berduka, stress, sedih, dll)
b. Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya
terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati
diri) masih melekat pada tubuh korban.
c. Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM
dan lain sebagainya.
2. Metode Ilmiah
a. Sidik jari
b. Serologi
c. Odontologi
d. Antropologi
e. Biologi
Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat berbagai disiplin
ilmu ternyata dapat dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak
dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan akurasi yang sangat
tinggi dan juga dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Metode

2
ilmiah yang paling mutakhir saat ini adalah DNA Profiling (Sidik
DNA). Cara ini mempunyai banyak keunggulan tetapi memerlukan
pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam melakukan
identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit.
Apabila dengan cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat ke cara
yang lebih rumit. Selanjutnya dalam identifikasi tidak hanya
menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus
dilakukan, hal ini penting oleh karena semakin banyak kesamaan yang
ditemukan akan semakin akurat. Identifikasi tersebut minimal harus
menggunakan 2 cara yang digunakan memberikan hasil yang positif
(tidak meragukan). Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu
dengan membandingkan datadata tersangka korban dengan data dari
korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi
nilainya. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat
digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis,
property dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis
untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini
menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk
atau rusak, seperti halnya kebakaran. Adapun dalam melaksanakan
identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 kemungkinan:
1) Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk
membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat
diperoleh antara lain mengenai:
a) Umur
b) jenis kelamin
c) ras
d) golongan darah
e) bentuk wajah
f) DNA

3
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas
umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-
data orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan
demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2) Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban
tersebut. Di sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan
identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari informasi
tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian antara lain
adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah,
lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah dikenali
oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.
3) Identifikasi dengan Teknik Superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa
hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam
menggunakan tehnik ini adalah:
a) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
b) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
c) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk
lagi.
d) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri. Khusus
pada korban bencana massal, telah ditentukan metode
identifikasinya.
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah yang meliputi antara lain:
1. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
2. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
3. Perawatan sesuai agama korban
4. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas
khusus dari Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan
pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain:

4
1. Tanggal dan jamnya
2. Nomor registrasi jenazah
3. Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan
keluarga dengan korban.
4. Dibawa kemana atau dimakamkan dimana Perawatan jenazah setelah
teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal
ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga
korban.
Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan
segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan
dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar
pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga
menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan
penuh perhatian. Identifikasi pada korban bencana masal adalah suatu hal
yang sangat sulit mengingat berapa hal di bawah ini:
1. Jumlah korban banyak dan kondisi buruk
2. Lokasi kejadian sulit dicapai
3. Memerlukan sumber daya pelaksanaan dan dana yang cukup besar
4. Bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan koordinasi yang baik.
Sehingga penting pada pelaksanaan tugas identifikasi massal ini adalah
koordinasi yang baik antara instansi dan dukungan peralatan komunikasi
dan transportasi. Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim
investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan
penyidikan sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil
identifikasi korban banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab
dan akibat, selain tentunya pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui
tim investigasi. Bencana dapat terjadi karena alam, atau ulah manusia
berupa kecelakaan, kelalaian ataupun kesengajaan (teroris bom). Masih
diperdebatkan mengenai jumlah korban untuk dimasukkan dalam kriteria
korban massal.

5
B. Kedokteran Gigi Forensik (Odontology Forensik), Ruang Lingkup,
dan Peran Dokter gigi dalam Forensik.
1. Definisi
Forensik odontology adalah salah satu metode penentuan identitas
individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan
teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang
tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi
karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang
paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi
merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman
data dibuat secara baik dan benar. Beberapa alasan dapat dikemukakan
mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah sebagai
berikut, pertama karena gigi bagian terkeras dari tubuh manusia yang
komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar
terdiri atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam
rongga mulut yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki 32 gigi
dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai lima
permukaan.

Ilmu kedokteran gigi forensic memiliki beberapa nama-nama


sesuai dengan sumber yang didapat yaitu : Forensic Dentistry, Odontology
Forensik, dan Forensik Odontology.
Pengertian ilmu kedokteran gigi forensic yaitu :
a. Menurut Arthur D. Goldman mengatakan bahwa ilmu kedokteran gigi
forensic adalah suatu ilmu yang berkaitan erat dengan hukum dalam
penyidikan melalu gigi-geligi.

6
b. Menurut Dr. Robert Bj. Dorion mengatakan bahwa ilmu kedokteran
gigi forensic adalah suatu aplikasi semua ilmu pengantar tentang gigi
yang terkait dalam memecahkan hukum perdata dan pidana.
c. Menurut Djohansyah Lukman mengatakan bahwa ilmu kedokteran
gigi forensic adalah terapan dari semua disiplin ilmu kedokteran gigi
yang berkaitan erat dalam penyidikan demi terapan hukum dan proses
peradilan.
2. Ruang Lingkup Odontology Forensic Menurut Evidence Based Forensic
Dentistry (B Rai Dan J.Kaur, 2013)
a. Dental identification (identifikasi dengan menggunakan gigi geligi)
b. Age estimation
c. Sex determination
d. Cheiloscopy (teknik identifikasi dengan menggunakan teraan bibir)
e. Palatoscopy (teknik identifikasi dengan menggunakan anatomi dari
rugae palatal)
f. Molecular biomarkers (teknik penanda untuk mengetahui adanya
penyakit, perubahan fisiologi, respon terhadap perawatan dan kondisi
psikologi)
g. Bite mark analysis
h. Human abuse and neglect
i. Dental malpractice and negligence
j. Dental anthropology:
k. Ilmu yang mempelajari tentang deskripsi variasi-variasi morfologis
gigi dan keterkaitannya dengan kebiasaan seseorang (ras,factor sosial
budaya,evolusi,genetika,perilaku)
l. Dental archaeology: lmu yang mempelajari sejarah melalui material
gigi dan jaringan sekitarnya didapat dari hasil penggalian tulang
belulang manusia khususnya disekitar rongga mulut)

7
Kegunaan dan aplikasi pada ruang lingkup kedokteran gigi
forensic dalam pelayanan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Sipil ialah berbagai kecelakaan massal baik didarat, laut, udara,
maupun gempa bumi membutuhkan identifikasi korban yang
mengalami destruksi fisik tahap lanjut, malpraktek dan berbagai jenis
penggelapan.
b. Criminal ialah identifikasi individu dari berbagai barang bukti yang
berasal dari gigi dan rongga mulut, seperti barang bukti gigi sendiri
pada kasus-kasus perkosaan, bunuh diri, atau pembunuhan, melalui
analisis tanda gigitan (bite mark), rugoscopy, cheiloscopy.
c. Penelitian dan pelatihan odontologi foresik bagi dokter gigi yang
bekerja di universitas, bagian kriminologi dan kepolisian.
3. Identifikasi
Kedokteran gigi forensic banyak terlibat dalam berbagai macam
pelayanan identifikasi individu, baik pelaku kriminalitas maupun
bencana missal. Pada umumnya identifikasi individu dilakukan dengan

8
membandingkan data gigi geligi antemortem dan postmortem pada
korban mati dengan keadaan degradasi lanjut, maupun terbakar. Juga
dilakukan perbandingan cetakan gigi tersangka, dengan data pada bekas
gigitan (bite mark) yang tertinggal pada korban.
Kedokteran gigi forensic memiliki ruang lingkup yang tidak lepas
dari kelengkapan visum et repertum, yaitu identifikasi melalui gigi geligi
dan rongga mulut dari semua disiplin ilmu kedokteran gigi antara lain
identifikasi korban dan pelaku kejahatan melalui :
a. Sarana gigi dan rongga mulut.
b. Pola gigitan.
c. Analisis air liur yang terdapat di sekitar pola gigitan, maupun sisa
makanan yang dimakan oleh pelaku.
d. Identifikasi semua jenis penganiayaan yang berkaitan dengan semua
disiplin ilmu kedokteran gigi dengan aspek hukum serta perundang-
undangan.
Data gigi pra kematian (Ante Mortem) adalah keterangan tertulis
dan catatan atau gabungan dalam kartu perawatan gigi (Dental Record)
dilengkapi dengan keterangan dari keluarga atau orang terdekat dengan
korban mengenai keadaan gigi geligi korban. Sedangkan Data gigi Post
Mortem adalah hal-hal mengenai gigi-geligi yang ditemukan pada
jenazah korban.
Adapun kegunaan dari identifikasi ialah kebutuhan etis dan
kemanusiaan terhadap keluarganya, pemastian kematian seseorang
secara resmi dan yuridis, pencatatan identitas untuk keperluan
administrative (akte kematian) dan pemakaman, untuk pengurusan klaim
asuransi, pension, deposito, dan sebagi upaya awal dari suatu
penyelidikan criminal.
Identifikasi forensic pada dasarnya terdiri dari 2 metode utama yaitu :
a. Identifikasi komparatif, yaitu apabila tersedia data post-mortem
(pemeriksaan jenazah) dan ante-mortem (data sebelum meninggal,
seperti cirri fisik,pakain, identitas khusus dan lain-lain), dalam
suatu komunikasi yang terbatas.

9
b. Identifikasi rekonstruksi, yaitu apabila tidak tersedia data ante-
mortem dan dalam komunikasi yang tidak terbatas.

Odontogram adalah pemeriksaan terhadap seluruh keadaan gigi


dan mulut pasien dilakukan dan dicacatkan pada kunjungan pertama atau
kesempatan pertama sehingga memeberikan gambaran keadaan secara
keseluruhan. Data ini di simpan penting untuk membuat rencana
perawatan kedokteran gigi secara menyeluruh, juga sangat berharga
sebagai data untuk keperluan identifikasi jika diperlukan sewaktu-waktu.

Odontogram selalu di tempatkan pada bagian awal dari lembar


rekam medik gigi. Setelah data identitas pasian dan data keadaan umum
pasien. Selanjutnya baru diikuti oleh lembar data perawatan kedokteran
gigi yang dilakukan. Setelah pengisian pertama maka pembuatan
odontogram diulangi atau dilengkapi :

a. Setiap satu tahun


b. Setiap kedatangan untuk control
c. Jika pasien akan pindah kota / dokter gigi, atau
d. Jika sebelum satu tahun sudah sangat banyak restorasi permanen
yang dilakukan.4

Pada odontogram berisi data :


a. Tanggal pemeriksaan untuk odontogram
b. Gambar denah gigi ( odontogram)
c. Hubungan oklusi
d. Ada atau tidaknya torus palatines, Torus mandibularis
e. Type langit langit-langit mulut ( palatum ) : Dalam/Sedang/Rendah
f. Ada atau tidaknya gigi berlebih (super numerary)
g. Ada atau tidaknya Diastem Sentral
h. Adakah anomali atau ciri-cirinya.4

Untuk mendukung Departemen Kesehatan RI dalam hal ini


Direktorat Jendral Pelayanan Medik bersama-sama dengan Fakultas
Kedokteran Gigi baik Swasta maupun pemerintah di seluruh Indonesia

10
serta profesi-profesi terkait dan kepolisian Negara RI menyusun
Standar Nasional Rekam Medik Kedokteran gigi dimana di dalamnya
terdapat Odontogram.

C. Peran Bitemark Dan Lipmark Dalam Forensic Odontologi


1. Bitemark
a. Definisi
1) Menurut William Eckert pada tahun 1992, bahwa yang
dimaksud dengan bite mark ialah tanda gigitan dari pelaku
yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringn kulit
maupun jaringan ikat dibawah kulit sebagai akibat dari pola
permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
2) Menurut Bowes dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa
bite mark merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh
yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas
dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh
gigi manusia maupun hewan.
3) Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa bite mark, baik bite
mark yang ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan manusia
oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi serta
bentuk rahangnya.
4) Menurut Curran dan kawan-kawan pada tahun 1680 bahwa bite
mark pada hewan buas yang dominan membuat luka adalah
gigi caninus atau taring yang berbentuk kerucut.
5) Menurut Levine pada tahun 1976 bahwa bite mark baik pola
permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang
mengakibatkan putusnya jaringan kulit, dan dibawahnya baik
pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan
tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup
maupun yang sudah meninggal.
6) Sedangkan menurut Soderman dan O’connel pada tahun 1952
mengatakan bahwa yang paling sering terdapat bite mark pada

11
buah-buahan yaitu buah apel, pear, dan bengkuang yang sangat
terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.
7) Sedangkan menurut Lukman pada tahun 2003 bite mark
mempunyai suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat
karakteristik yang meninggalkan bite mark pada jaringan ikat
manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang
masing-masing individu sangat berbeda

Kedokteran gigi forensik berperan penting dalam


membantu proses identifikasi pada bencana alam, kasus kriminal,
dan kekerasan seksual. Kasus tindak kekerasan seksual dapat
ditemukan adanya kontak fisik berupa tanda atau luka, apabila
membentuk pola gigitan maka tanda atau luka tersebut dinamakan
bite mark. Bite mark merupakan pola luka yang dapat
menunjukkan identitas penggigit dengan membandingkan bentuk
dan ukuran gigi-gigi sebuah gigitan dengan orang yang dicurigai.
Bite mark juga berguna untuk keperluan penyidikan, karena dapat
membantu merekonstruksi peristiwa yang terjadi dalam proses
penggigitan. Dokter gigi forensik dapat menyisihkan atau
menyertakan orang yang diduga menyebabkan bite mark. Bite
mark sebagai tanda yang telah terjadi akibat dari perubahan fisik
yang disebabkan oleh kontak gigi adalah bukti yang sangat penting
selain sidik jari dan identifikasi DNA pada pemeriksaan forensik.
Tanda gigitan manusia mampu bertahan terhadap kondisi ekstrim
dari lingkungan dan merupakan sumber informasi yang dapat
diidentifikasi bahkan pada individu yang telah meninggal dunia.
Identifikasi korban yang telah meninggal merupakan tugas
yang paling sering dilakukan dokter gigi forensik, namun bidang

12
ilmu kedokteran gigi forensik yang paling menantang adalah
analisis bite mark manusia atau hewan yang ditemukan pada kulit
atau objek-objek pada tempat kejadian perkara Seorang hakim
dapat meminta seorang ahli dari profesi dokter gigi untuk
memantapkan keputusan sebuah perkara dalam suatu sidang
peradilan apabila pada tubuh korban terdapat pola bekas gigitan,
menggunakan gigi palsu, dan terdapat data-data gigi lainnya.
Bantuan dokter gigi dalam identifikasi bite mark merupakan alat
bukti yang sah, dapat membantu terangnya suatu kasus kejahatan
b. Klasifikasi bite mark

Bite mark mepunyai derajat perlukaan sesuai dengan


kerasnya gigitan, pada bite mark manusia terdapat 6 kelas yaitu
1) Kelas I : Bite mark terdapat jarak dari gigi insisivus dan
kaninus.
2) Kelas II : Bite mark kelas II seperti bite mark kelas I, tetapi
terlihat cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan
cusp lingualis tetapi derajat bite marknya masih sedikit.
3) Kelas III : Bite mark kelas III derajat luka lebih parah dari
kelas II yaitu permukaan gigi insisivus telah menyatu akan

13
tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih parah
dari bite mark kelas II.
4) Kelas IV : Bite mark kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot
di bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga
terlihat bite mark irregular.
5) Kelas V : Bite mark kelas V terlihat luka yang menyatu bite
mark insisivus, kaninus dan premolar baik pada rahang atas
maupun bawah.
6) Kelas VI : Bite mark kelas VI memperlihatkan luka dari
seluruh gigitan dari rahang atas dan rahang bawah dan jaringan
kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi
dan pembukaan mulut.
c. Analisa Bite mark pada manusia
Analisa bite mark dilakukan hanyalah korban terdapat bite mark
manusia. Karena Bite mark oleh hewan dapat segera diketahui.
Maka tim identifikasi maupun tim penyidik haruslah dengan lincah
dapat membedakan segera bite mark hewan maupun bite mark
manusia di tempat kejadian perkara atau pada tubuh korban.

1) Bahan-bahan analisa

14
Apabila dilakukan pencetakan pada bite mark manusia
haruslah digunakan bahan cetak yang flow sistem antara lain
alginat dan sejenisnya. Kemudian untuk organ tubuh yang bulat
adalah yang paling sulit untuk dilakukan pencetakan ini dicetak
menggunakan masker dari kain keras yang digunting dan
dibentuk sesuai dengan daerah sekitar bite mark sehingga
bahan cetak yang flow sistem tidak berhambur keluar dari
daerah sekitar bite mark karena dijaga oleh masker yang
digunakan tersebut.
2) Cara Mencetak Bite mark
Mencetak bite mark terdapat berbagai cara antara lain
dengan menggunakan mangkok cetak dari masker kain keras
atau dengan menggunakan kain sepanjang diameter cetakan
dan berlapis-lapis. Selanjutnya diaduk bahan cetak yang flow
sistem ditempatkan dan ditekan dengan getaran pada sekitar
bite mark kemudian mangkok cetak diisi setengah dari
mangkok oleh bahan yang flow sistem kemudian disajikan satu
dengan bahan flow sistem bite mark.
3) Hasil Cetakan
Hasil cetakan dari Bite mark menghasilkan suatu model
dari gips yang telah di cor dari model negatif kemudian
dicekatkan giginya pada okludator atau artikulator apabila
gigitannya tidak stabil. Hal ini dapat diketahui jika terdapat bite
mark rahang atas maupun rahang bawah.
4) Kontrol Bite mark
Kontrol bite mark dilakukan melalui artikulator dengan
model cetakan pada selembar malam merah atau keju sehingga
menampakkan Bite mark
2. Lipmark
a. Definisi
Salah satu aplikasi kedokteran forensik adalah
mengidentifikasi individu dan jenis kelamin. Pengidentifikasian

15
seseorang dapat dilakukan melalui cara biologis dan non biologis.
Sidik bibir adalah salah satu sarana identifikasi biologis pada
kasus forensik seperti pada pemecahan kasus pembunuhan,
sedangkan pada kasus nonforensik digunakan untuk
mengidentifikasi usia, jenis kelamin dan ras. Setiap manusia
memiliki alur atau pola khas pada gambaran sulci pada mukosa
bibir atas dan bawah yang berbeda-beda sama halnya seperti sidik
jari. Hal inilah yang mendasari penggunaan sidik bibir sebagai
salah satu cara untuk mengidentifikasi individu.
b. Sidik Bibir
Setiap manusia dilahirkan dengan ciri fisik yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya. Salah satu perbedaan yang khas yaitu alur atau
pola yang terdapat pada bibir masih banyak yang belum
mengetahuinya. Salah satu peneliti dari Jepang yang bernama Suzuki
telah meneliti sidik bibir untuk identifikasi forensik dan studi
pewarisan sifat. Sidik bibir didefinisikan sebagai gambaran alur pada
mukosa bibir atas dan bawah, dan oleh Suzuki dinamakan “figura
linearum labiorum rubrorum”. Garis-garis normal atau alur pada bibir
memiliki karakteristik yang individual sama halnya seperti yang
terdapat pada sidik jari.
c. Pola Sidik Bibir
Sidik bibir merupakan kumpulan lekukan yang terdapat pada
tepian vermilion atau bagian merah bibir. Lekukan-lekukan tersebut
diantaranya dapat berupa garis vertikal, pola bercabang, pola retikuler,
dan pola perpotongan. Sidik bibir sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti sejak kapan pembentukannya, namun ada yang
berpendapat bahwa sidik bibir telah dapat diamati saat bayi berusia
empat bulan. Ilmu yang mempelajari sidik bibir dinamakan
Cheiloscopy. Penelitian mengenai sidik bibir pertama kali dilakukan
oleh seorang antropologis bernama Fischer pada tahun 1902.
Penggunaan sidik bibir dalam identifikasi individu direkomendasikan
oleh Edmond Locard yang merupakan salah satu kriminolog terbaik di

16
Prancis tahun 1932. Pada tahun 1970. Suzuki dan Tsuchihashi
melakukan penelitian pada 1364 orang di Jepang dan menyatakn
bahwa sidik bibir memiliki pola yang unik pada setiap individu.
d. Klasifikasi Pola Sidik Bibir
Klasifikasi Pola Sidik Bibir Beberapa peneliti melakukan
identifikasi dan mengklasifikasikan pola sidik bibir, namun belum
ada kesepakatan mengenai pola sidik bibir yang digunakan
sebagai acuan internasional. Santos (1967) mengklasifikasikan
lekukan pada bibir dan membaginya menjadi 4 tipe yaitu :
1) Garis lurus
2) Garis bergelombang
3) Garis bersudut
4) Garis berbentuk sinus

e. Metode Pengambilan Pola Sidik Bibir


Metode Pengambilan Pola Sidik Bibir Penelitian tentang
sidik bibir sampai sekarang belum banyak dilakukan. Salah satu
faktor penyebabnya kemungkinan adalah sidik bibir merupakan
lapangan studi yang baru dikembangkan. Hal lainnya adalah
belum adanya kesepakatan mengenai metode pencetakan antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya. Teknik pembuatan
gambaran atau cetakan sidik bibir masih memerlukan perbaikan
melalui percobaan lebih lanjut, demikian pula dengan
penyimpanannya sehingga diperoleh cetakan yang akurat.
Beberapa metode pengambilan sidik bibir diantaranya yaitu

17
menggunakan kertas karton tipis dan pewarna bibir, lateks, scotch
tape, fotografi, bahan cetak gigi, kaca preparat, dan fingerprint
hinge lifter. Berdasarkan hasil pengambilan sidik bibir,
pengambilan sidik bibir yang paling mudah dilakukan yaitu
dengan menggunakan kertas karton tipis dan hasil yang
didapatkan cukup jelas.
f. Pola Sidik Bibir dalam Identifikasi Individu
Pola Sidik Bibir dalam Identifikasi Individu Sidik bibir
dapat digunakan dalam identifikasi individu. Identitas yang
mendukung pengidentifikasi dari suatu korban dapat berupa
identitas biologis atau non biologis. Identitas non biologis dapat
berupa kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, pakaian, dan
lain-lain. Identitas biologis dapat berupa tulang belulang, gigi
geligi, darah, sidik jari, rambut, profil DNA, dan identitas pada
bibir.Pola sidik bibir bersifat stabil dan tidak mengalami
perubahan oleh perbedaan iklim atau adanya penyakit di sekitar
mulut. Kondisi bibir dalam keadaan terbuka, tersenyum, dan
mengecup tetap menghasilkan pola yang unik pada setiap
individu. Hal ini tidak mengalami perubahan walaupun individu
mengalami trauma, penyakit, serta perawatan bedah yang bias
mengubah bentukm dan warna bibir. Meskipun masih
kontroversi, pola sidik bibir masih dapat digunakan sebagai
metode alternative identifikasi individu karena polanya sangat
unik.
g. Pola Sidik Bibir dalam Identifikasi Jenis Kelamin
Pola Sidik Bibir dalam Identifikasi Jenis Kelamin Sejumlah
penelitian membuktikan bahwa pola sidik bibir dapat digunakan
untuk mengidentifikasi jenis kelamin individu. Pola garis vertikal
lebih umum ditemukan pada perempuan dan pola berpotongan
lebih banyak ditemukan pada laki-laki.18 Identifikasi sidik bibir
lebih mudah dilakukan pada kelompok usia 21-40 tahun karena
perubahan usia dapat memengaruhi ukuran dan bentuk bibir

18
sehingga dapat mengubah bentuk pola sidik bibir yang dihasilkan.
Tidak ada satupun pola sidik bibir yang memiliki kesamaan,
sehingga pengelompokan dapat dilakukan lebih mudah. Variasi
juga ditemukan untuk membedakan jenis kelamin. Pola sidik bibir
tipe I merupakan pola sidik bibir yang paling banyak muncul
pada kelompok jenis kelamin pria dan tipe IV banyak ditemukan
pada jenis kelamin wanita. Pola tipe III paling sedikit muncul
pada jenis kelamin wanita, sedangkan pola tipe V paling sedikit
dijumpai pada jenis kelamin pria dengan menggunakan klasifikasi
Suzuki
h. Pola Sidik Bibir Terhadap Hubungan Darah
Suatu kepercayaan luas yang dianut adalah “teori darah
keturunan” yang menyatakan bahwa faktor genetik yang berada
pada kedua orang tua berpindah dengan cara tertentu ke dalam sel
tertentu pada suatu reproduksi seksual. Beberapa keluarga dapat
dikenali karena adanya sifat yang nampak jelas, seperti halnya
bibir. Akan tetapi kebanyakan sifat-sifat lainnya sekalipun pada
beberapa orang tidak secara konsisten tampak dari generasi ke
generasi. Salah satu hipotesis Mendel mengatakan bahwa sifat-
sifat ditentukan oleh sepasang unit, dan hanya sebuah unit yang
diteruskan kepada keturunannya oleh induknya. Gen setiap anak
berhubungan dengan sifat yang diwariskan oleh kedua
orangtuanya. Beberapa sifat telah diturunkan dari seorang induk
pada anaknya, termasuk sidik bibir baik bersifat dominan,
maupun resesif. Sidik bibir bersifat tetap sejak lahir, seperti
halnya sidik jari. Setelah melakukan penelitian yang cukup lama,
beberapa peneliti menyimpulkan bahaw sidik bibir bersifat tetap.
Sidik bibir dapat diamati mulai anak berusia empat bulan.
Pertambahan usia tidak menyebabkan perubahan yang berarti
pada sidik bibir, namun terjadi pengurangan volume dan unsur
penunjang seperti kehilangan gigi atau terjad resesi gusi. Sidik
bibir bersifat genetik dan individual. Anak-anak memiliki pola

19
sidik bibir yang sama dengan orang tua mereka walaupun
lokasinya berbeda (berada pada kuadran bibir yang berbeda)
sehingga sidik bibir dari setiap orang bersifat unik, berbeda antara
satu orang dengan orang lainnya

20
Daftar Pustaka

Garishah, F, M. 2010. Penentuan Jenis Kelamin dengan Kedokteran Gigi


Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Wibisono, G. 2012. Kapita Selekta Kedokteran Gigi Forensik. Kuliah Ilmu


Penyakit Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Pretty A, S. 2012. A loot at forensic dentistry – Part 1: the role of teeth in the
determination of human identity. British Dent. 190(7):359-366

Septadina, I, S. 2015. Identifikasi Individu dan Jenis Kelamin Berdasarkan Pola


Sidik Bibir. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya,
Palembang. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, (2)231-236

Lukman D. 2006. Buku ajar: Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: CV
Sagung Seto.

Juniastuti M, I. 2005 Perbandingan antara pola siidk bibir posisi normal dengan
posisi bibir terbuka, tersenyum dan mengecup. Indonesian Journal of
Dentistry (2): 100-2

Singh, S. 2008. Disaster Victim Identification. nstalasi/SMF Kedokteran Forensik


dan Medicolegal Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan/FK-USU
Medan. (41):4

Mamile, H. 2015. Analisis “Bite Mark” Dalam Identifikasi Pelaku Kejahatan.


Universitas Hasanuddin. Fakultas Kedokteran Gigi. Makassar.

Lutviandari, W, dkk. 2010. Identifikasi Bite Mark Sebagai Alat Bukti Yang Sah
Di Sidang Pengadilan. Media Jurnal Pro Justisia (12) : 4.

Wahjuningsih, E, dkk. 2006. Peran Dokter Gigi Dalam Identifikasi Forensik.


Jurnal kedokteran Gigi. (1);1-5.

21
22

Anda mungkin juga menyukai