Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KETERPAUTAN GEN

PENDAHULUAN

Bateson dan Punnet untuk pertama kali melaporkan adanya penyimpangan data F2
terhadap Hukum Perpaduan Bebas Mendel. Penyimpangan ini terjadi karena lokus-lokus
terletak pada kromosom yang sama atau disebut berada pada grup pautan (linkage group)
yang sama. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai fenomena pautan dan pindah silang antar
lokus pada suatu kromosom dan pemanfaatan pengetahuan ini untuk menentukan posisi
lokus-lokus tersebut pada kromosom. Usaha menentukan posisi gen atau lokus dalam
kromosom disebut pemetaan gen atau pemetaan kromosom.
Terdapat dua cara pemetaan kromosom yaitu pertama secara fisik melalui observasi
mikroskopik atau peta sitologi, dan yang kedua melalui studi rekombinasi gen atau pindah
silang yang disebut peta genetik. Peta sitologi merupakan peta fisik yang nyata. Jarak yang
terdapat pada peta fisik merupakan jarak yang nyata, gen-gen akan ditampilkan melalui pita-
pita kromatin. Peta genetik merupakan peta relatif yang didasarkan pada frekuensi
rekombinasi yang tercatat. Nilai yang dihasilkan dari suatu perhitungan dapat dikoreksi oleh
perhitungan lain seandainya diperoleh data tambahan. Selain kedua cara di atas, bersamaan
dengan berkembangnya teknik molekular muncul peta-peta molekular tingkat DNA
berdasarkan marka molekuler.
PAUTAN

Pautan terjadi apabila lokus atau alel tertentu dari dua atau lebih gen diwariskan
secara bersama-sama. Hal ini terjadi karena gen-gen tersebut terletak pada kromosom yang
sama. Gen atau lokus yang terletak pada kromosom yang sama secara fisik saling
berhubungan dan cenderung untuk bersegregasi bersama-sama pada saat meiosis. Sementara
gen-gen yang terletak pada kromosom yang berbeda akan berpisah secara bebas mengikuti
hukum Perpaduan Bebas Mendel. Hukum Perpaduan Bebas Mendel terjadi karena semua
pasangan kromosom homolog saat meiosis akan berpisah secara bebas ke dua kutub yang
berbeda. Jadi bila gen-gen terletak pada kromosom yang berbeda maka gen-gen tersebut akan
mengikuti kebebasan hukuM tersebut. Lalu bagaimana dengan gen-gen yang terletak pada
satu kromosom yang sama ?

Pada periode 1905-1908 William Bateson dan Reginald Punnett untuk pertama
kalinya melaporkan tentang adanya penyimpangan terhadap Hukum Perpaduan Bebas
Mendel. Mereka telah menyilangkan kapri berbunga ungu dan berpolen panjang (PPLL)
dengan tanaman berbunga merah berpolen bundar (ppll). Pada F1 dihasilkan tanaman
berbunga ungu berpolen panjang (PpLl). Berdasarkan genetika Mendel pada F2 diharapkan
diperoleh PL, Pl, pL dan pl dengan perbandingan 9:3:3:1. Namun sangat mengejutkan hasil
yang diperoleh ternyata tidak seperti yang diharapkan. Hasil pengujian terhadap F2
menunjukkan bahwa segregasi kedua lokus tersebut tidak mengikuti perbandingan 9:3:3:1
atau tidak mengikuti Hukum Perpaduan Bebas Mendel. Berdasarkan penampilan F1 dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan dominan resesif untuk alel-alel pada kedua lokus
tersebut. Alel-alel pada kedua lokus tersebut ialah : warna bunga (P = ungu; p = merah) dan
bentuk polen (L = panjang; l = bundar). Jadi genotipe tetua persilangan ialah PPLL x ppll,
dan F1 ialah PpLl. Pengujian statistika chi-kuadrat menunjukan hasil P(X2(3)>222.988) <
1% atau X2 hitung > X2(3)1%, yang berarti segregasi F2 tidak mengikuti Hukum Perpaduan
Bebas, atau lokus warna bunga dengan lokus bentuk polen berpautan satu sama lain.
Hasil percobaan mereka menunjukkan adanya pautan dalam posisi coupling antara
alel P dan L dan alel pdengan l. Karena adanya pautan, alel-alel dari tetua yang sama akan
cenderung bermigrasi ke kutub yang sama. Namun walaupun lokus-lokus tersebut terletak
pada kromosom yang sama ternyata tidak selalu alel-alel dari tetua yang sama akan masuk ke
gamet yang sama. Pada tanaman F2 percobaan Bateson dan Punnet, terdapat tanaman dengan
sifat yang merupakan rekombinasi sifat tetuanya, yaitu : bunga ungu berpolen bundar, dan
bunga merah berpolen panjang. Namun demikian frekwensi kejadian P diwariskan
bersama L dan p bersama l lebih besar dari pada rekombinan Pl dan pL. Untuk terjadinya
rekombinasi sifat maka pada tingkat kromosom harus ada pertukaran segmen pembawa alel
antar pasangan kromosom homolog, yang disebut pindah silang.

PINDAH SILANG
Pindah silang adalah pertukaran segmen antara dua kromosom homolog. Peristiwa ini
berlangsung pada saat kromosom homolog berpasangan dalam profase I meiosis, yaitu pada
saat pakiten. Pakiten merupakan saat seluruh bagian kromosom berpasangan pada jarak yang
paling dekat. Pada saat itu serat DNA homolog dari kromatid-kromatid yang berbeda dapat
bersentuhan dan bertukar ruas. Titik kontak kromatid-kromatid tersebut dinamakan kiasma.
Pada titik kontak antara dua kromatid dapat terjadi reaksi enzimatik yang menyebabkan
terjadinya pemotongan kromatid-kromatid tersebut dan kemudian potongan-potongan itu
disambungkan kembali. Pada saat penyambungan tersebut terjadi pertukaran potongan
kromatid secara resiprokal di antara pasangan kromosom homolog sehingga dihasilkan
kromosom rekombinan yang berbeda dengan tetuanya. Melalui proses pindah silang ini
suatu organisma akan menghasilkan keturunan dengan sifat baru yang merupakan kombinasi
sifat kedua tetuanya.
Percobaan Bateson dan Punnet, lebih lanjut dijelaskan setelah Thomas Hunt Morgan
menemukan penyimpangan hokum mendel kedua ketika sedang mempelajari dua pasang gen
autosomal pada droshophilla. Salah satu pasang gen mempengaruhi warna mata
(ungu, pr dan merah, pr+) sedang pasang gen lainnya mempengaruhi panjang sayap
(pendek, vg dan normal vg+ )

Hubungan Pindah Silang dan Rekombinasi Sifat

Bukti adanya hubungan antara pindah silang dengan rekombinasi sifat-sifat genetik
dilaporkan pada tahun 1931 oleh Herriette B. Creighton dan Barbara McClintock yang
meneliti kromosom jagung. Melalui pengamatan sitologi yang dikombinasikan dengan
pengamatan morfologi dapat dilihat hubungan antara perubahan bentuk kromosom dengan
perubahan morfologi tanaman. Dalam percobaan ini digunakan jagung yang pada kromosom-
9-nya mempunyai knob heterokromatin pada satu ujung, dan mempunyai segmen hasil
translokasi dari kromosom-8 pada ujung lainnya. Translokasi ialah pertukatan ruas antara
kromosom yang bukan pasangan homolog. Pada percobaan sebelumnya McClintock (1930)
berhasil menemukan adanya translokasi antara kromosom ke 9 dengan kromosom ke 8.
Sebagai penanda morfologi digunakan warna aleoron dan kandungan pati endosperma.
Penanda genetik yang digunakan ialah alel C (memberi warna pada aleoron), c (tidak
mewarnai aleoron); Wx (endosperma tanpa pati); dan wx (aleoron berpati).
Dalam percobaan dilakukan persilangan. Tetua pertama membawa dua jenis
kromosom, yaitu yang pertama bermorfologi kromosom 8 normal, sedangkan yang kedua
membawa bagian kromosom 9 tertranslokasi dan berknob. Tetua yang kedua mengandung
kromosom 8 normal. Alel C hanya terdapat pada kromosom dengan knob, sedangkan pada
bagian dekat potongan translokasi terdapat alel wx. Pengamatan polen dilakukan untuk
melihat genotipe lokus (Wx;wx). Dari 243 tanaman turunan hasil persilangan yang diamati,
terlihat berbagai bentuk kromosom dan di antaranya terlihat adanya kromosom hasil pindah
silang. Ditemukan bahwa semua tanaman yang aleoronnya berwarna (mengandung C)
kromosomnya selalu mempunyai knob, dan hampir seluruh tanaman yang membawa bagian
translokasi selalu mengandung alel wx. Dari sini terlihat bahwa rekombinasi sifat
merupakan hasil pertukaran segmen kromosom atau pindah silang.
Pindah Silang dan Jenis Tetrad

Telah dijelaskan bahwa pindah silang akan menghasilkan kromosom tipe


rekombinan. Berikut ini akan dibahas analisis tetrad untuk melihat peranan pindah silang
terhadap pembentukan genotipe. Tetrad artinya empat kromatid atau empat sel hasil satu
meiosis. Kromatid-kromatid tersebut merupakan hasil persilangan dua tetua seperti contoh di
bawah ini :
AABB X aabb
Tetua pertama akan menyumbangkan gamet AB dan tetua kedua akan memberikan
gamet ab, sehingga pada F1 diperoleh genotipe AaBb. Dalam rangka studi pautan dan pindah
silang genotipe tersebut ditulis sesuai dengan gamet atau kromosom tetua yang
membentuknya yaitu : AB/ab
Pindah silang antara dua kromatid bertetangga akan menghasilkan kromosom
rekombinan yang merupakan hasil perpindahan fragmen-fragmen kromatid ke kromosom
homolog tetangganya. Akibatnya pada kromosom rekombinan tersebut akan terdapat alel-alel
hasil penyebrangan, prosisi trans, arau pertukaran dari kromatid tetangga, yaitu :

Ab dan aB (tipe rekombinan, trans)

Disebut tipe trans karena alel-alel dari tetua yang sama sekarang terdapat pada kromosom
yang bersebrangan. Bila antara kromatid bertetangga tidak terjadi pindah silang maka alel-
alel dari tetua yang sama akan tetap berada berdampingan dalam satu kromosom, atau posisi
cis, yaitu

AB dan ab (tipe tetua, cis)


Oleh karena itu kromosom tipe tetua sering disebut sebagai kromosom tipe cis, dan
untuk membedakannya tipe rekombinan yang disebut tipe trans.
Pada kenyataannya pindah silang antar kromosom homolog tidak sesederhana ini.
Titik kiasma akan terdapat pada berbagai tempat dan melibatkan seluruh kromatid yang
ada. Telah dijelaskan bahwa selepas proses pindah silang dapat ditemukan adanya
kromosom tipe tetua (cis) yang dihasilkan dari tidak terjadinya pindah silang antara kromatid
bertetangga. Hal tersebut mungkin terjadi bila yang dipandang hanya dua lokus pada ruas
kromosom yang pendek, tetapi bila dilihat keseluruhan panjang kromosom kemungkinan
besar tidak akan ditemukan kromatid yang tidak mengalami pindah silang.

Frekwensi Pindah Silang dan Jarak Antar Lokus

Telah dijelaskan terdahulu bahwa Hukum Perpaduan Bebas berlaku apabila semua
pasangan kromosom homolog saat meiosis berpisah secara bebas ke dua kutub yang berbeda.
Sehingga akibatnya pada setiap kutub akan berkumpul kromosom haploid yang komposisinya
merupakan kombinasi dari kedua set kromosom tetuanya. Jadi bila lokus-lokus gen terletak
pada kromosom yang berbeda maka segregasi mereka akan mengikuti Hukum Perpaduan
Bebas. Bila segregasi dua lokus tersebut tidak bebas maka kita dapat menyimpulkan bahwa
lokus-lokus tersebut terletak pada kromosom yang sama.
Dalam kasus lokus yang tidak terpaut seperti yang dikemukakan Hukum Perpaduan
Bebas, frekwensi gamet rekombinan akan sama dengan frekuensi tetua (tetua-1 :
rekombinan-1 : rekombinan-2 : tetua-2 = 0,25 : 0,25 : 0,25 : 0,25). Data Bateson dan Punett
seperti terlihat pada Tabel 1 menunjukan bahwa frekwensi genotipe rekombinan cenderung
lebih rendah dari frekuensi genotipe harapan, bila F2 mengikuti Hukum Perpaduan Bebas.
Dari keterangan ini kita dapat mengajukan pertanyaan berapakah besar frekuensi
rekombinan, dan faktor apa yang menentukan besaran frekuensi rekombinan tersebut.
Telah dijelaskan bahwa rekombinasi sifat merupakan hasil pertukaran segmen
kromosom atau pindah silang. Oleh karena itu banyaknya rekombinasi ditentukan oleh
banyaknya pindah silang yang terjadi pada saat pembentukkan gamet. Karena kromosom
rekombinan merupakan hasil penyebrangan alel dari kromosom tipe tetua maka antara tipe
rekombinan dengan tipe tetua akan terdapat hubungan berikut : bila frekwensi rekombinan =
r , maka frekwensi tetua = 1-r. Jadi bila dilakukan persilangan AABB X aabb, maka F1nya
akan memiliki genotipe AB/ab dengan frekwensi gamet (1-r)(AB+ab) dan r(Ab+aB). Karena
alel pada masing-masing lokus bersegregasi bebas (A:a=0.5:0.5 dan B:b=0.5:0.5), maka akan
diperoleh frekwensi gamet sebagai berikut :
0.5 (1-r) AB (tipe tetua 1)
0.5 (1-r) ab (tipe tetua 2)
0.5 r Ab (tipe rekombinan 1)
0,5 r aB (tipe rekombinan 2)

Berapa besarnya nilai r atau frekwensi rekombinan ?. Bila tidak terdapat pindah silang
maka tidak akan muncul tipe rekombinan, berarti r=0. Pada kondisi seperti ini kedua lokus
terpaut dengan sempurna, alel dari tetua yang sama akan bermigrasi ke kutub yang
sama. Lawan ekstrim dari terpaut sempurna adalah lokus bebas seperti pada Hukum
Perpaduan Bebas Mendel, pada keadaan seperti ini semua gamet akan mempunyai frekwensi
yang sama yaitu 0.25 seperti telah dijelaskan di awal sub pembahasan ini, sehingga nilai
r=0.5. Atau dengan kata lain jumlah individu tipe tetua akan sama dengan jumlah tipe
rekombinan. Dengan demikian nilai r berkisar antara 0 – 0.5. Peluang terjadinya
rekombinasi akan semakin meningkat dengan semakin besarnya jarak antar lokus. Jarak
yang sangat dekat menyebabkan terjadinya pautan sempurna dan tidak ada
rekombinasi. Jarak yang sangat jauh menyebabkan terjadinya perpaduan bebas dimana
jumlah rekombinan sama dengan jumlah tipe tetua. Perpaduan bebas dapat terjadi karena dua
lokus terletak berjauhan pada satu kromosom, atau kedua lokus terletak pada kromosom yang
berbeda. Jadi apabila individu F1 memiliki genotipe AB/ab maka frekwensi gametnya untuk
tiga kasus jarak lokus sebagai berikut :
Pautan sempurna pautan tidak sempurna perpaduan
bebas
AB (tipe tetua 1) 0.5 0.5 (1-r) 0.25
Ab (tipe rekombinan 1) 0 0.5r 0.25
aB (tipe rekombinan 2) 0 0.5r 0.25
ab (tipe tetua 2) 0.5 0.5(1-r) 0.25

Di dalam praktek eksperimen, nilai koefisien rekombinasi dapat dihitung dengan


membandingkan banyak individu tipe rekombinan terhadap keseluruhan tipe individu sebagai
berikut :
Jumlah tipe rekombinan 1 + jumlah tipe rekombinan 2
r = ----------------------------------------------------------------------
Jumlah total individu
Karena koefisien rekombinasi berhubungan dengan jarak antara lokus, maka besaran
nilai koefisien rekombinasi dapat digunakan sebagai penduga jarak antar lokus. Besaran
jarak dinyatakan dalam satuan persen rekombinasi atau unit Morgan. Jadi jarak lokus A
dengan B dapat dinyatakan sebagai rAB = r x 100 centiMorgan (cM), dimana satu
centiMorgan adalah satu unit yang menjelaskan frekwensi rekombinasi sebesar 1%. Jarak
antar lokus ini dapat dijadikan dasar bagi penyusunan peta genetik.

PEMETAAN GEN

Tahap awal dalam penyusunan peta genetik ialah menentukan apakah lokus-lokus
yang dipelajari terletak pada kromosom yang sama ataua terpisah pada kromosom yang
berbeda. Pengelompokan dilakukan dengan melihat apakah lokus-lokus tersebut berpautan
atau bebas dengan melakukan uji chi kuadrat. Lokus-lokus yang berpautan dimasukkan ke
dalam satu kelompok pautan (linkage group) dan terletak dalam satu kromosom. Sedangkan
lokus-lokus yang saling bebas dimasukkan ke dalam kelompok pautan yang berbeda dan
dianggap terletak pada kromosom yang berbeda atau pada kromosom yang sama tapi
letaknya berjauhan. Pengujian keterpautan dapat dilakukan dengan menggunakan populasi
F2 atau populasi hasil tes cros (silang uji).
Sebagai contoh akan dilakukan pemetaan genetik terhadap lima buah gen atau lokus
yaitu lokus A, B, C, D dan E. langkah pertama adalah membuat persilangan antara tetua
ABCDE/ABCDE dengan tetua abcde/abcde menghasilkan F1 ABCDE/abcde. Kemudian
dilakukan silang uji dengan menyilangkan F1 dengan tetua resesif aabbccddee sehingga
diperoleh populasi turunan hasil uji silang. Kemudian dilakukan uji chi kuadrat untuk
masing-masing pasangan lokus (misalnya A dengan B, A dengan C dan seterusnya) untuk
menguji apakah kedua lokus terpaut atau saling bebas dengan melihat proporsi jumlah
individu masing-masing fenotipe pada keturunan hasil silang uji. Apabila nilai chi kuadrat
hasil perhitungan lebih besar dari chi kuadrat teori (tabel) maka hasil pengamatan tidak
sesuai dengan hipotesis segregasi bebas antar lokus sehingga kedua lokus diangap
terpaut. Sebagai contoh akan dilakukan pengujian keterpautan antar lokus A dan B. Dari
hasil pengamatan terhadap fenotipe populasi hasil uji silang diperoleh data seperti pada Tabel
2.
Tabel 2. Hasil Uji Kebebasan lokus A dan B
Fenotipe Hipotesis Pengamatan Harapan Chi kuadrat
AB 0.25 300 200 50.00
Ab 0.25 95 200 55.13
aB 0.25 108 200 42.32
ab 0.25 297 200 47.05
Total 800 800 194.50

Nilai chi kuadrat teori pada pada selang kepercayaan 5 % adalah 7.185. Nilai chi
kuadrat hitung lebih besar dari nilai chi kuadrat teori sehingga lokus A dan B terpaut dan
terletak pada kromosom yang sama. Pengujian keterpautan untuk pasangan lokus yang lain
dilakukan dengan prosedur yang sama sehingga diperoleh data seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengujian Keterpautan Lima Lokus
Lokus A Lokus B Lokus C Lokus D Lokus E
Lokus A 194.50 512.25 0.99 0.63
Lokus B Terpaut 146.65 2.97 1.14
Lokus C Terpaut Terpaut 1.29 0.75
Lokus D Bebas Bebas Bebas
Lokus E Bebas Bebas Bebas Terpaut
Keterangan : angka pada bagian atas diagonal merupakan nilai chi kuadrat hitung.
Dari Tabel 3 diketahui bahwa lokus A terpaut dengan lokus B dan C namun tidak
terpaut dengan lokus D dan E, lokus B terpaut dengan lokus C tapi tidak terpaut dengan lokus
D dan E, lokus C tidak terpaut dengan lokus D dan E, sedangkan lokus D terpaut dengan
lokus E. Dengan demikian terdapat dua kelompok pautan yaitu kelompok 1 yang terdiri dari
lokus A, B dan C dan dianggap berada pada kromosom yang sama dan kelompok 2 yang
terdiri dari lokus C dan D yang dianggap berada pada kromosom yang berbeda atau pada
kromosom yang sama tapi letaknya berjauhan dengan kelompok pertama.
Setelah mengetahui kelompok pautan dari lokus-lokus yang akan dipelajari, langkah
berikutnya dalam pemetaan kromosom adalah menghitung jarak di antara lokus-lokus
tersebut. Berdasarkan hasil pengujian terhadap data simulasi diatas diketahui lokus A, B dan
C terdapat pada kromosom yang sama, sedangkan D dan E terdapat pada kromosom yang
lain.
Tabel 4. Untuk silang balik pasangan lokus D dan E diperoleh data
Genotipe individu Keterangan
DE/de 325 Tipe Tetua I
De/de 88 Tipe recombinant 1
dE/de 65 Tipe rekombinan 2
De/de 322 Tipe Tetua 2

Frekwensi rekombinasi atau jarak genetic dapat dihitung sebagai berikut :


n(tipe rekombinan.1)+n(ripe rekombinan 2)
r = x 100 %
Total
88 + 65
r = x 100 %
800
= 19,125 % atau 19,125 centiMorgan

Maka peta kromosom untuk kelompok pautan DE yaitu sebagai berikut :

Hasil pembuatan peta dengan dua lokus, kita baru mendapatkan jarak antar dua lokus
belum mendapatkan urutan lokus pada satu kromosom. Olehnya itu untuk mendapatkan
urutan pada satu kromosom, minimal kita bekerja pada tiga lokus yang berpautan seperti
kelompok pautan A, B dan C. Urutan lokus dapat diduga dengan membandingkan genotype
tetua dengan genotype pindah silang ganda. Perhatikan tabel berikut :
Tabel 5. Data silang uji untuk tiga lokus ABC.
Genotipe # Individu Keterangan
ABC 269 Tipe tetua
ABc 31 Hasil pndah silang tunggal
AbC 86 Hasil pndah silang tunggal
Abc 9 Hasil pndah silang ganda
aBC 18 Hasil pndah silang ganda
aBc 90 Hasil pndah silang tunggal
abC 22 Hasil pndah silang tunggal
abC 275 Tipe tetua

Kemudian dengan meminjam teori hitung peluang maka dapat diterima bahwa
frekwensi pindah silang ganda akan lebih rendah dari frekwensi pindah silang tunggal.
Urutan letak lokus dapat diketahui dengan membandingkan genotype tetua dengan genotype
hasil pindah silang ganda.

Perhitungan jarak antar lokus dilakukan dengan melibatkan pasangan dua-dua dari
ketiga lokus tersebut yaitu AB, AC dan BC. Perhatikan table berikut.
Tabel 6. Segregasi hasil silang uji untuk tiga pasang lokus
Tipe Pasangan AB Pasangan AC Pasangan BC
Tetua 1 AB 300 AC 355 BC 287
Rekom.1 Ab 95 Ac 40 Bc 121
Rekom.2 aB 108 aC 40 bC 108
Tetua 2 ab 297 ac 365 bc 284

Dari data masing-masing pasangan lokus dapat dihitung jarak antar lokus. Frekwensi
pindah silang didapat dari perbandingan jumlah individu tipe rekombinan terhadap individu
total. Jarak lokus A dengan B adalah :
n(Ab)+n(aB)
rAB = x 100%
Total
95+108
= x100%
800
= 25,375% atau 25,375 cM

Dengan teknik perhitungan yang sama maka diperoleh jarak antar lokus A dan C ,
serta antar lokus B dan C sebagai berikut :
rAC = 10 cM
rBC = 28,625 cM
Berdasarkan jarak antara ketiga lokus tersebut maka kita dapat membuat peta
kromosom untuk kelompok pautan ABC.
Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi rekombinan :
1. Jarak antar lokus
Semakin jauh jarak antar lokus, semakin naik frekwensi rekombinan
2. Posisi sentromer terhadap lokus
Semakin dekat antar lokus ke sentromer, maka semakin kurang frekwensi rekombinan
3. Kontrol gen
Beberapa lokus gen telah diidentifikasi meningkatkan atau menurunkan frekwensi
rekombinan. Beberapa lokus ini mempengaruhi pada waktu kromosom berpasangan ketika
meiosis, yang lainnya sesudah kromosom berpasangan.
4. Suhu yang ekstrim
Suhu tinggi atau rendah mempengaruhi meiosis dan juga mempengaruhi rekombinasi
5. Penggunaan bahan kimia atau radiasi dapat meningkatkan pindah silang
Interference dan Coincidence
Pindah silang ganda muncul karena terjadinya dua pindah silang pada dua ruas yang
berdampingan secara bersamaan. Kejadian pindah silang pada ruas-ruas yang berdampingan
tersebut saling mempengaruhi satu sama lain; pindah silang pada satu ruas dapat
merangsang atau menekan pindah silang pada ruas sebelahnya.
Besarnya peluang pindah silang ditunjukkan oleh frekwensi pindah silag atau
koefisien rekombinasi. Kembali pada ruas BAC diatas, maka bila pindah silang ruas BA
bebas dari pindah silang AC akan kita dapatkan
Frekwensi (psg BC)=rBA.rAC
Bila pindah silang pada satu ruas merangsang terjadinya pindah silang pada ruas
sebelahnya, maka
Frekwensi (psg BC)>rBA.rAC
Sebaliknya jika pindah silang di satu ruas menekan terjadinya pindah silang pada ruas
lainnya maka akan diperoleh
Frekwensi (psg BC)<rBA.rAC
Dalam genetika besarnya saling pengaruh pindah silang pada satu ruas pada satu ruas
disebelahnya dinyatakan dengan dua jenis koefisien yaitu koefisien Coinsidence (C) dan
koefisien interference (I), nilai C diperoleh sebagai berikut :
Frekwensi (psg BC)
C =
rBA.rAC
Maka dengan penjelasan peluang di atas , kita dapat nilai C untuk ketiga kondisi di atas
yaitu sebagai beikut :
C = 1, kedua pindah silang tunggal bebas satu sama lain.
C> 1, pindah silang yang satu mendorong terjadi pindah silang yang lain sehingga pindah silang
ganda menjadi meningkat.
C< 1, pindah silang yang satu menekan pindah silang yang lain, sehingga kejadian pindah silang
ganda menjadi menurun.
Bila kita kita kembali pada data di atas, genotype hasil pindah silang ganda adalah
BaC dan bAc. Frekwensi pindah silang gandanya dihitung sebagai berikut :
nBaC + nbAc
Frekwensi pindah silang ganda =
Total
9 + 18
Frekwensi pindah silang
ganda = = 0,0338
800

Koefisien rekombinasi ruas BA dan AC adalah rBA = 0,25 dan rAC =


0,10. Maka nilai kebersamaan atau C adalah

0,0338
Frekwensi pindah silang
ganda = = 1,325
(0,25)(0,10)

Dan nilai I adalah I = 1-C


I =1-1,325 = - 0,352

Jadi dari nilai C dan I yaitu C > 1 dan I < 0, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
dorongan atau hambatan negative oleh satu pindah silang terhadap pindah silang yang lain,
sehingga meningkatkan pindah silang ganda
DAFTAR PUSTAKA
Chapter 5 sections on “Chi-Square Test for Linkage” and “Linkage mapping by Recombination in
Humans”

Hartl DL. 1994. Genetics. Boston : Jones and Bartlett Publishers. 584 hlm.

Hartana, A., 1992. Genetika Tumbuhan (ed. Edi Guhardja). Departemen Pendidikn dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian
Bogor.

Griffiths et al. Introduction to Genetic AnalysisW. H. Freeman 2000

Introduction to Genetic Analysis (Griffiths) (On reserve in library and also available online at
Pubmed
Jusuf, M. 2001. Genetika I, struktur dan ekspresi gen. Jakarta : Sagung Seto. 300 hlm.

Wikipedia free ensiklopedia

Posted 17th June by Darmawan Asta Kusumah

Anda mungkin juga menyukai