Anda di halaman 1dari 4

Putri Ayunda Dipta Arviollisa

Universitas Brawijaya
arviollisa17@gmail.com
081258089643
TEKNOLOGI ATAP HIJAU MENGGUNAKAN TANAMAN
PANGAN LOKAL SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DALAM UPAYA MENGHADAPI
DEGRADASI LINGKUNGAN

Pada saat ini, pembangunan dan perkembangan berbagai sektor di Indonesia


semakin pesat. Perkembangan tersebut membutuhkan sarana prasarana yang memadai
guna mengakomodasi dan mendukung pembangunan serta perkembangan tersebut.
Pada tahap awal perkembangan, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau.
Akan tetapi, upaya pembangunan dan perkembangan menyebabkan konversi ruang
terbuka hijau menjadi lahan terbangun.
Berkurangnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik yang terdapat di
perkotaan, terutama ruang terbuka hijau (RTH), telah mengakibatkan degradasi
kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya
polusi udara, meningkatnya kriminalitas, dan menurunnya produktivitas masyarakat
akibat stres karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk melakukan interaksi
sosial. Selain itu, kondisi lingkungan yang diperburuk penggunaan teknologi seperti
air conditioner (AC), kendaraan bermotor, dan kegiatan industri yang mempengaruhi
pola tingkah laku dan kondisi kehidupan makhluk hidup khususnya manusia,
sehingga ruang terbuka hijau yang ada harus diperhatikan dan diperluas serta
diintensifkan fungsinya. Harmonisasi ruang terbuka hijau dengan laju pembangungan
kota akan menunjang kelestarian dan kesejahteraan makhluk hidup, khususnya
manusia.
Akibat lain dari degradasi kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik adalah
terjadinya pemanasan global. Berkurangnya ruang terbuka publik mengurangi
vegetasi yang ada di perkotaan, sehingga terjadi peningkatan CO2 yang menyebabkan
pemanasan global.
Pemanasan global diperburuk oleh energi listrik berkonsumsi bahan bakar tak
terbarukan. Hal tersebut memicu peningkatan emisi CO2. International Energy
Agence melaporkan di tahun 2006, bahwa penyebab emisi CO2 19% disebabkan
karena konsumsi listrik dan sisanya yang terparah sekitar 70% karena emisi
kendaraan bermotor[2]. Namun, sebagaimana telah dijelaskan, ruang terbuka hijau
yang berfungsi sebagai penyerap CO2 terus menurun baik kuantitas maupun
kualitasnya.
Meningkatnya suhu secara global tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi
juga membahayakan ketahanan pangan. Iklim yang tidak stabil memicu menurunnya
hasil produksi pertanian dan perkebunan baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini
mendorong pola hidup masyarakat untuk mengonsumsi bahan pangan sintetis sebagai
alternatif. Akan tetapi, pada umumnya nilai gizi bahan pangan sintetis berada jauh di
bawah bahan pangan alami sehingga menimbulkan berbagai macam penyakit kronis.
Kondisi tersebut membuat bumi semakin panas dan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem di masa mendatang. Apabila kita membiarkan kondisi
lingkungan seperti itu, berarti kita siap menelantarkan masa depan anak cucu dengan
memberikan warisan lingkungan yang tidak layak.
Maka, diperlukan pemikiran jauh ke depan, yang berorientasi pada
pemenuhan tujuan berjangka panjang, yang memerlukan reorientasi visi
pembangunan kota lebih mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan
keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan
budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi
lahan dari kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif dapat
dikendalikan. Salah satu strategi pemanfaatan ruang yang dapat dilakukan adalah
teknologi atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal.
Atap hijau adalah istilah yang merujuk pada atap dari suatu bangunan dimana
sebagian atau seluruh permukaan atapnya ditutupi dengan vegetasi atau media
tanaman yang dilapisi oleh membran penghalang air[3]. Dalam pengaplikasiannya,
atap hijau belum banyak dibudidayakan di Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki
potensi tinggi untuk menggunakan atap hijau dalam rancang bangunannya sebab
Indonesia memiliki iklim dan cuaca yang mendukung pertumbuhan berbagai jenis
flora.

[2]
Prianto, E., 2007. Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming. Jurnal
Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, 1(1), pp.1-10.
[3]
Limas, A.V., Perdana, A., Nandhika, W. and Tannady, H., 2014. PEMBAHASAN MENGENAI
EFEK URBAN HEAT ISLAND DAN SOLUSI ALTERNATIF BAGI KOTA JAKARTA. J@ TI
UNDIP: JURNAL TEKNIK INDUSTRI, 9(1), pp.29-34.
Putri Ayunda Dipta Arviollisa
Universitas Brawijaya
arviollisa17@gmail.com
081258089643
Tumbuhan yang digunakan untuk membuat atap hijau tidak memiliki kriteria
khusus, namun disarankan untuk menggunakan tumbuhan merambat agar tidak
membebani media atap hijau dan mencegah kerusakan media yang dikarenakan oleh
pertumbuhan akar tanaman. Untuk memaksimalkan fungsi dari atap hijau, dapat
digunakan tanaman pangan lokal seperti krokot, poh-pohan, garut, kemangi, dan ubi
jalar. Penggunaan tanaman pangan lokal pada atap hijau akan menambah fungsi
menjadi atap hijau produktif. Selain itu, penggunaan tanaman pangan lokal ini sesuai
untuk diterapkan di Indonesia karena di samping keragaman tanaman pangan lokal
yang berlimpah, hal ini mendorong masyarakat untuk membudidayakan dan
mengonsumsi bahan pangan lokal yang tentunya berkhasiat bagi kesehatan.
Bangunan dengan atap hijau dapat membuat ruangan menjadi lebih sejuk. Hal
ini dapat mengurangi penggunaan AC yang memiliki dampak negatif bagi lingkungan
yakni menyebabkan pemanasan global. Atap hijau dapat menyaring air hujan menjadi
air tanah secara alami sehingga menghemat energi dan ruang untuk instalasi
penyaringan air. Pengurangan penggunaan AC akan menghemat jauh lebih banyak
energi listrik yang digunakan.
Dalam sektor lingkungan, atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal
dapat menjadi sebuah solusi terbaik untuk degradasi lingkungan. Sebab, atap hijau
dapat menyaring air hujan menjadi air tanah yang terbebas dari zat asam maupun
polusi, mengurangi volume air yang memenuhi saluran drainase sehingga mampu
mengurangi banjir, mengurangi konversi lahan hijau menjadi lahan pertanian,
mengurangi karbon dioksida, dan mengurangi berbagai dampak negatif perubahan
iklim. Atap hijau dengan menggunakan tanaman pangan lokal juga dapat
menyediakan habitat baru bagi serangga dan burung.
Dalam sektor ekonomi, atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal
memberikan banyak keuntungan. Atap hijau dengan tanaman pangan lokal dapat
menjadi peluang bisnis baru bagi penyedia bibit-bibit tanaman lokal maupun
penghasil bahan pangan lokal. Atap hijau multifungsional tersebut dapat menaikkan
nilai produksi dari hasil tanaman pangan lokal.
Bangunan dengan atap hijau menggunakan tanaman pangan lokal akan
merangsang masyarakat untuk mengolah lahannya secara mandiri. Penggunaan
tanaman pangan lokal pada atap hijau akan mendorong perlahan perubahan pola
makan masyarakat menjadi lebih baik dengan tingkat gizi lebih berkualitas. Budidaya
tanaman pangan lokal

[2]
Prianto, E., 2007. Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming. Jurnal
Pembangunan Kota Semarang RIPTEK, 1(1), pp.1-10.
[3]
Limas, A.V., Perdana, A., Nandhika, W. and Tannady, H., 2014. PEMBAHASAN MENGENAI
EFEK URBAN HEAT ISLAND DAN SOLUSI ALTERNATIF BAGI KOTA JAKARTA. J@ TI
UNDIP: JURNAL TEKNIK INDUSTRI, 9(1), pp.29-34.

Anda mungkin juga menyukai