MANAJEMEN PENGUNGSI
MANAJEMEN BENCANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai bencana yang disebabkan gempa bumi, banjir, tsunami, gunung berapi,
kekeringan, perang saudara, konflik regional atau perjanjian damai yang gagal, keadaan
darurat ini bisa menyerang kapan saja dan dimana saja. Dengan waktu singkat kondisi ini
membuat orang orang menjadi tunawisma dan membutuhkan perlindungan dan bantuan.
Bagi mereka yang telah kehilangan harta, hidup dengan peristiwa yang traumatis, dan tiba
tiba terdampar atau terlantar, jauh dari rumah dan komunitas mereka, kamp pengungsian
dapat dijadikan tempat yang aman untuk menerima pengobatan medis, makanan, tempat
tinggal, dan layanan dasar lainnya. Walaupun kamp pengungsian tidak dapat memberikan
solusi yang berkelanjutan atau permanen. Jika kamp pengungsian dikelola dengan baik,
kamp pengungsian dapat memenuhi hak pengungsi dan menyediakan perlindungan
sementara bagi mereka.
Kamp pengungsian merupakan pilihan terakhir, dan terkadang satu satunya pilihan
untuk penyediaan bantuan sementara dan perlindungan kepada penduduk yang terkena
dampak yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena bencana alam ataupun konflik.
Semua dukungan lain harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pembuatan camp.
Tujuan dari manajemen kamp pengungsian adalah untuk memastikan bahwa bantuan
dan perlindungan yang diberikan di kamp kamp sejalan dengan hukum nasional dan
internasional, pedoman dan standar yang disepakati. Untuk mancapai hal ini, kamp yang
efektif adalah dengan berkordinasi antara semua stakeholder. Yang merupakan tugas utama
dari setiap Agen Manajemen Camp. Sebuah Badan Manajemen Camp harus bekerja
dengan berbagai stakeholder untuk memastikan bahwa penduduk kamp memiliki akses
yang adil terhadap bantuan dan layanan yang mereka butuhkan.
Saat berkordinasi dalam pemberian perlindungan dan bantuan, Badan Manajemen
Camp mengacu pada berbagai jenis standar internasional, seperti standar Sphere, Badan
Pengungsi PBB (UNHCR), International Network for Education in Emergency (INEE),
Livestock Emergency Guidelines and Standards (LEGS), Minimum Standards for Child
Protection in Humanitarian Action and The Inter-Agency Standing Commite (ISAC)
gender guidelines.
Manajemen Camp juga didasarkan pada instrumen kunci dari hukum humaniter,
hokum internasional dan hokum kemanusiaan yang komperhensif dalam mengkodifikasi
hak pengungsi ditingkat internasional. Pengungsi dilindungi oleh hukum hak asasi manusia
dan instrument terkait, karena mereka memiliki status sebagai warga sipil dinegara mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah manajamen pengungsi yang diterapkan sudah mengacu pada standar nasional
dan internasional dengan pendekatan sphere project ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Air Sanitasi
Air Bersih
Seperti di ketahui air merupkan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian juga dengan
masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang memadai untuk
memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan sarana sanitasi telah tersedia, perlu di
lakukan upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi pengungsi
perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap
kebersihan dan meningkatkan resiko terjadinya penularan penyakit seperti
diare,typhus,scabies,dan penyakit menular lainnya.
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah unuk mencegah
timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.
Pada hari kedua dan seterusnya harus segera di upayakan untuk meningkatkan
volume air sampai sekurang-kurangnya 15-20 liter/orang/hari. Volume sebesar ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum,masak,mandi, dan mencuci. Bila mana
hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko terjadinya penularan penyakit,
terutama penyakit berbasis lingkungan.
Bila sumber air bersih yang di gunakan untuk pengungsi berasal dari air permukaan
(sungai, danau, laut,dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata air dan sebagainya,
perlu segera di lakukan pengamanan terhadap sumber-sumber air tersebut dari
kemungkinan terjadi pencemaran, misalnya dengan melakukan pemagaran ataupun
pemasangan papan pengumuman dan di lakukan perbaikan kualitasnya.
Bila sumber air di peroleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh dengan
tempat pengungsian, harus di lakukan pengangkutan dengan mobil tangki air.
Pendistribusian dengan sumur mata air perlu di buat bak penampung air untuk
kemudian di salurkan dengan menggunakan pompa ke tangki air.
4. Tangki penampunag air bersih di tempat pengungsian
Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang di lengkapi
dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang dari pengungsi yang
akan mengambil air, perlu di perhatikan jaraj tangki air dari tenda pengungsi minimum 30
meter dan maksimum 500 meter.
2. Desinfeksi Air
Proses desinfeksi air dapat menggunakan:
a. Kaporit (Ca(OCl)2 )
Air yang telah di jernihkan dengan tawas atau PAC perlu di lakukan desinfeksi agar tidak
mengandung kuman patogen. Bahan desinfektan untuk air yang umum di gunakan adalah
kaporit (70% klor aktif).
Kaporit adalah bahan kimia yang paling banyak di gunakan untuk desinfeksi air karena
murah, mudah di dapat, dan mudah dalam penggunaanya:
Banyak nya kaporit yang di butuhkan untuk desinfeksi 100 liter air untuk 1 KK ( 5 orang)
dengan sisa klor 0,2 mg/liter adalah sebesar 71,43 mg/hari (72 mg/hari).
Pembuangan Kotoran
Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada tergenang air sehingga tidak dapat
di gunakan, maka harus di sediakan jamban mobile atau jamban kolektif darurat dengan
memanfaatkan drum atau bahan lain. Pada saat terjadi pengungsian maka langkah
langkah yang di perlukan adalah sebagai berikut :
1. Pada Awal terjadinya pengungsian perlu di buat jamban umum yang dapat
menampung kebutuhan sejumblah pengungsi. Contoh jamban yang sederhana dan
dapat di ssediakan dengan cepat adalah jamban dengan galian parit, jamban kolektif
(jamban jamak), jamban kolektif dengan menggunakan drum bekas dan jamban
mobile (dapat di kuras).
2. Pada hari-hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, ppembangunan
jamban darurat harus segera di lakukan dan 1 (satu) jamban di sarankan di pakai
tidak lebih dari 20 orang.
Jamban yang di bangun di lokasi pengungsi di sarankan:
a) Ada pemisahan peruntukannya khusus laki-laki dan wanita.
b) Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari
sumber air.
c) Jarak minimal antara jamban terhadap lokasi sarana air bersih 10 meter.
d) Konstruksi jamban harus kuat dan di lengkapi dengan tutup pada lubang
jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat, kecoa dan
binatang pengganggu lainnya. Selain ittu juga harus mempertimbangkan
tinggi permukaan air tanah, musim, komposisi tanah.
e) Pembuatan jamban harus di sesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,
kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsi dengan memperhatikan
jumblah pengungsi dan penyebarannya juga ketersediaan material lokal.
B. Hunian
Tempat penampungan atau hunian sementara
Bantuan penampungan atau hunian sementara diberikan dalam bentuk tenda-tenda,
barak, atau gedung fasilitas umum/ sosial, seperti tempat ibadah, gedung olahraga, balai
desa, dan sebagainya, yang memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat tinggal
sementara.
Standar Minimal Penampungan Keluarga (shelter) Pada saat keadaan darurat berawal,
warga memperoleh ruang tertutup yang cukup untuk melindungi mereka dari dampak–
dampak iklim yang dapat membahayakan mereka. Mereka memperoleh papan yang cukup
memenuhi syarat kesehatan (hangat, berudara segar, aman dan memberi keleluasaan
pribadi) demi menjamin martabat dan kesejahteraan mereka. Tolok ukur kunci :
1. Ruang tertutup yang tersedia per orang rata–rata berukuran 3,5 hingga 4,5 meter persegi.
2. Dalam iklim yang hangat dan lembap, ruang–ruang itu memungkinkan aliran udara
optimal dan melindungi penghuninya dari terik matahari secara langsung.
3. Bila iklim panas dan kering, bahan–bahan bangunannya cukup berat untuk memastikan
kapasitas pelepasan panas yang maksimal. Kalau yang tersedia hanya tenda–tenda atau
lembaran–lembaran plastik saja, pertimbangkan penyediaan atap berganda atau lapisan
pelepas panas.
4. Dalam udara dingin, bahan dan kontruksi ruang memastikan pengaturan udara yang
optimal. Suhu yang nyaman bagi para pengguni diperoleh dengan cara penyekatan
dipadukan dengan pakain hangat, selimut, tempat tidur, dan konsumsi kalori yang cukup.
C. Bantuan Non Pangan
Bantuan non pangan diberikan kepada korban bencana dalam status pengungsi ditempat
hunian sementara pada pasca tanggap darurat, dalam bentuk :
F. Gizi
Pelayanan Kesehatan Gizi
Pemberian makanan pada anak 6-12 bulan, berikan makanan lunak yang bergizi.
3. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan
pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai
dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.
Pada keadaan biasa, MP-ASI dibuat dari makanan pokok yang disiapkan secara khusus
untuk bayi, dan diberikan 2-3 kali sehari sebelum anak berusia 12 bulan. Kemudian pemberian
ditingkatkan 3-5 kalisehari sebelum anak berusian 24 bulan. MP-ASI harus bergizi tinggi dan
mempunyai bentuk yang sesuai dengan umur bayi dan anak baduta. Sementara itu ASI harus
tetap diberikan secara teratur dan sering.
Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-ASI untuk mencegah
kekurangan gizi. Untuk memperoleh MP-ASI yang baik yang dibuat secara lokal, perlu diberi
tambahan vitamin dan mineral pada makanan waktu akan dihidangkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan bayi dan anak baduta yang
dihadapi di lapangan, sebagai berikut:
a. Memahami perasaan ibu terhadap kondisi yang sedang dialami.
b. Memberikan prioritas kepada ibu menyusui untuk mendapatkan distribusi makanan tepat
waktu.
c. Anjuran ibu agar tenang dan bangkitkan motivasi ibu untuk menyusui bayinya.
d. Anjuran ibu agar mengonsumsi makanan bergizi seimbang yang cukup jumlahnya.
e. Memastikan ibu mendapat tambahan makanan dan cairan yang mencukupi
f. Beri pelayanan dan perawatan kesehatan yang memadai.
g. Memberikan perhatian khusus dan dukungan terus menerus pada ibu untuk mengatasi mitos
atau kepercayaan yang salah tentang menyusui.
h. Memberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga yang dapat
mendukung ibu untuk menyusui.
i. Menyediakan tempat-tempat untuk menyusui yang memadai atau kamar laktasi.
j. Mengawasi sumbangan susu formula serta menolak sumbangan yang tidak memiliki label,
kemasan yang rusak, bahasa yang tidak dipahami pengguna, batas kadaluarsa (minimal 6
bulan sebelum tanggal kadaluarsa).
k. Jika ibu bayi tidak ada (meninggal), ibu sakit berat, atau ibu tidak dapat menyusui lagi, maka
kepada bayi diberikan alternatif lain yaitu:
Mencari kemungkinan donasi ASI dari ibu yang sedang menyusui.
Khusus untuk bayi 0-6 bulan dapat diberikan susu formula, dengan menggunakan cangkir
dan tidak boleh menggunakan botol atau dot. Susu formula diberikan sesuai dengan
petunjuk penggunaan.
Susu formula harus dipersiapkan dengan menggunakan air masak.
Tidak dianjurkan diberikan makanan lain.
Susu kental manis tidak boleh diberikan pada bayi (<1 tahun).
4. Identifikasi Cara Pemberian Makanan Bayi dan Anak
a. Identifikasi Sederhana
Memiliki beberapa kelebihan antara lain:
Mudah dilakukan
Dilakukan secara individu
Tidak diperlukan keterampilan medis atau gizi
Dapat menentukan apakah dalam waktu singkat bayi berisiko kekurangan makanan
Hasil identifikasi sederhana akan menentukan apakah pasangan ibu dan bayi perlu dirujuk
atau mendapat identifikasi lengkap.
b. Identifikasi Lengkap
Biasanya dilakukan di tempat fasilitas kesehatan untuk mengetahui:
Apakah posisi ibu dan bayi saat menyusui sudah benar ?
Apakah perlekatan bayi pada payudaya ibu sudah benar ?
Apakah ibu percaya diri dalam menyusui ?
Apakah produksi ASI cukup dan lancar ?
Apakah pemberian makanan bayi dan anak baduta sesuai umur ?
Keadaan gizi dan kesehatan bayi dan anak baduta ?
5. Penanganan Gizi Darurat pada Kelompok Usia >24 bulan
Upaya penanganan gizi darurat pada bayi usia >24 bulan pada umumnya dilakukan untuk
mencegah memburuknya status gizi dan untuk meningkatkan status gizi masyarakat di
pengungsian. Upaya ini juga ditujukan untuk memantau perkembangan status gizi pengungsi
melalui kegiatan surveilans, menyelenggarakan pelayanan gizi sesuai dengan tingkat masalah
gizi (tingkat kedaruratan), dan untuk mewujudkan koordinasi lintas program dan lintas sektor.
Upaya ini ditujukan bagi masyarakat pengungsi terutama kelompok rawan yaitu balita, ibu
hamil, ibu meneteki dan usia lanjut.
Prinsip penanganan gizi darurat terdiri dari 2 tahap yaitu tahap penyelamatan dan tahap
tanggap darurat.
6. Tahap Penanganan Gizi Darurat
Tahapan di dalam penanganan gizi darurat, antara lain:
a. Fase Pertama (Fase I) adalah saat:
Pengungsi baru terkena bencana
Petugas belum sempat mengidentifikasi pengungsi secara lengkap
Belum ada perencanaan pemberian makanan terinci sehingga semua golongan umur
menerima bahan makanan yang sama.
Khusus untuik bayi dan baduta harus tetap diberikan ASI dan MP-ASI.
Fase ini maksimum sampai dengan hari ke-5, fase ini bertujuan memberikan makanan
kepada masyarakat agar tidak lapar. Sasarannya adalah seluruh pengungsi, dengan
kegiatan:
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas kesimpulan nya bahwa manajemen pengungsi sangat berperan
penting dalam suatu tindakan kebencanaan baik dari segi kesehatan maupun segi lain yang terdiri
dari air sanitasi, hunian, bantuan non pangan, yankes, pangan dan gizi.
Daftar Pustaka
1. Peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008 badan
nasional penanggulangan bencana (BNPB)
2. kepala badan nasional penanggulangan bencana nomor 7 tahun 2008 tentang pedoman
tata cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
3. Shelterparameters_indonesia
4. buku pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana kementrian
kesehatan republik indonesia. mengacu pada standar international