Anda di halaman 1dari 14

Penerapan Terapi Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, dan

Social Skill Training pada Pasien Isolasi Sosial

Zakiyah1, Achir Yani S. Hamid 2, Herni Susanti 3


1
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Binawan, Jl. Kalibata Raya No. 25-30
2,3
Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Jalan Prof. Dr. Bahder Djohan Depok 16424
Email: zakiyah.mista@gmail.com

Diterima: 27 Agustus 2018 Disetujui: 28 September 2018

Abstrak
Latar Belakang:Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif skizofrenia.
Isolasi Isolasi sosial adalah kondisi menyendiri yang dialami seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam. Masalah sosial seringkali merupakan sumber utama
keprihatinan keluarga dan penyedia layanan kesehatan, karena efeknya lebih
menonjol daripada gejala kognitif dan persepsi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penerapan Terapi
Generalis (TG), Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS), dan Social Skill
Training (SST) pada pasien isolasi sosial.
Metode: Metodelogi Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif melalui stusi
kasus kepada 35 pasien di ruang Bratasena Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor. Tanda dan Gejala isolasi sosial diidentifikasi sebelum dan setelah
penerapan GT, TAKS, dan SST menggunakan instrument tanda dan gejala isolasi
social yang dimodifikasi terdiri dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku,
dan social.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada penurunan tanda dan gejala isolasi
social (75,75%), dan peningkatan kemampuan pasien dalam bersosialisasi (TG:
68,57%, TAKS: 83,90%, SST: 70,29%).
Simpulan: Berdasarkan hasil dari penerapan ketiga terapi diatas, perlu
direkomendasikan integrasi tindakan keperawatan generalis individu dan
kelompok serta terapi spesialis social skill training pada pasien isolasi social
agar perawatan pasien dengan isolasi sosial efektif.

Kata Kunci: skizofrenia; isolasi sosial; terapi generalis; terapi aktivitas


kelompok; social skill training

Rujukan artikel penelitian:

Zakiyah., Hamid, A. Y. S., Susanti, H. (2018). Penerapan Terapi Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi, dan Social Skill Training pada Pasien Isolasi Sosial. Jurnal Ilmiah Keperawatan
Indonesia. Vol. 2 (1): 19- 32.

19
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
The Implementation of Generalist Therapy, Group Activity Therapy, and Social Skill
Training in Social Isolation Patients

Abstract
Background: Social isolation is one of negative symptoms of schizophrenia.
Social isolation as a solitary experience of a person and shyness toward others as
something negative or threatening circumstances. Social problems are often a
major source of concern families and health care providers, because the effect of
social isolation is more pronounced than cognitive and perception symptoms.
Aim: The purpose of this study was describe the implementation of General
Therapy (GT), Socialization Activity Group Therapy (SAGT) and Social Skill
Training (SST) toward social isolation clients.
Methods: The methodelogy of this study was quantitative descriptive using case
study to 35 selected clients at Bratasena’s ward dr. Marzoeki Mahdi Bogor
Hospital. Sign and symptoms of social isolation identified before and after
implementation of GT, SAGT, and SST using modified social isolation mark and
symptoms that consisted cognitive, affective, psysiological, behavior, and social
aspects.
Results: there were reductions in symptoms of social isolation (75,75%) and
increase in the client's ability to socialize (GT:68,57%), SAGT: 83,90%, SST:
70,29%).
Conclusion: Based on the result of the implementations, it is recommended to
integrate the general therapy, socialization activity group therapy and social skill
training in order to make an effective social isolation care.

Key Words: Schizophrenia; social isolation; general therapy; activity group


therapy; social skill training.

PENDAHULUAN
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) merupakan salah satu masalah
kesehatan jiwa berat di Indonesia. Riskesdas (2007) menyebutkan prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 4,6 permil, dan Riskesdas 2013
menyebutkan prevalensi gangguan jiwa berat Indonesia sebesar 1,7 permil. Pasien
gangguan jiwa berat terbesar di Indonesia adalah Skizofrenia yakni 70%
(Balitbang Depkes RI, 2008). Kelompok skizofrenia juga menempati 90% pasien
di rumah sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006). Di Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi (RSMM) Bogor semester I Tahun 2016, angka pasien skizofrenia
menempati urutan pertama di unit rawat jalan psikiatri, unit rawat inap psikiatri,
dan Instalasi Gawat Darurat psikiatri.

20
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
Stuart (2016) menyebutkan kebanyakan orang dengan gangguan jiwa berat
terisolasi dari sekitarnya dan kesulitan memiliki serta menjaga hubungannya
dengan orang lain. Videbeck (2011) menyebutkan bahwa isolasi sosial sering
terlihat pada pasien skizofrenia.
Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis yang berat dan terus
menerus (Stuart, 2016), dimana gejala skizofrenia dibagi dalam dua kategori
utama: gejala positif atau gejala nyata, yang mencakup waham, halusinasi, dan
disorganisasi pikiran, bicara, dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala negatif
atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri
dari masyarakat atau rasa tidak nyaman (Videbeck, 2011). Gejala negatif menarik
diri dari masyarakat dan disfungsi sosial merupakan konsekuensi hubungan
respon neurobiologis maladaptif. Stuart (2016) menyebutkan masalah sosial
seringkali merupakan sumber utama keprihatian keluarga dan penyedia layanan
kesehatan. Perilaku langsung dari masalah sosial meliputi ketidakmampuan untuk
berkomunikasi koheren, hilangnya dorongan dan ketertarikan, penurunan
keterampilan sosial, kebersihan pribadi yang buruk, dan paranoid. Perilaku lain
yang terjadi adalah harga diri rendah berhubungan dengan prestasi akademik dan
sosial yang buruk, merasakan ketidaknyamanan, dan yang paling sering terjadi
adalah isolasi sosia.
Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam (NANDA, 2015-2017). Ancaman yang dirasakan dapat
menimbulkan respons. Respon kognitif pasien isolasi sosial dapat berupa merasa
ditolak oleh orang lain, merasa tidak dimengerti oleh orang lain, merasa tidak
berguna, merasa putus asa dan tidak mampu membuat tujuan hidup atau tidak
memiliki tujuan hidup, tidak yakin dapat melangsungkan hidup, kehilangan rasa
tertarik kegiatan sosial, merasa tidak aman berada diantara orang lain, serta tidak
mampu konsentrasi dan membuat keputusan.
Respon afektif pasien dengan masalah keperawatan isolasi sosial berupa
merasa bosan, afek tumpul, dan kurang motivasi. Respon fisiologis yang terjadi
pada pasien isolasi sosial berupa wajah murung, sulit tidur, gelisah, lemah, kurang
bergairah, dan malas beraktivitas. Respon perilaku pasien isolasi sosial

21
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
ditunjukkan dengan pasien menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau
jarang melakukan komunikasi tidak ada kontak mata, kehilangan minat, malas
melakukan kegiatan sehari-sehari atau aktivitas sosial, berdiam diri di kamar,
menolak hubungan dengan orang lain, dan tidak mau menjalin persahabatan.
Respon Sosial yang dapat ditemukan pada pasien isolasi sosial berupa
ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain, acuh dengan lingkungan,
kemampuan sosial menurun, dan sulit berinteraksi (Stuart, 2013; Townsend,
2009).
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan masalah
isolasi sosial adalah tindakan keperawatan Generalis, Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi (TAKS), dan psikoterapi sebagai terapi spesialis dalam hal ini Social
Skill Training (SST). Terapi generalis sosialisasi individu pada pasien isolasi
sosial berpengaruh terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien
skizofenia (Nurfitiana, 2011). Terapi aktivitas kelompok memiliki pengaruh
terhadap peningkatan keterampilan sosial dasar pada pasien skizofrenia dengan
adanya kenaikan skor keterampilan dasar dan masing-masing subyek merasakan
manfaat dari terapi aktivias kelompok (Hartono, 2015). SST memiliki pengaruh
positif terhadap kesulitan interpersonal, gejala depresi, dan harga diri rendah pada
pasien skizofrenia. SST dapat meningkatkan kemampuan interpersonal, harga diri,
dan menurunkan gejala depresi pada pasien skizofrenia (El Malky, Attia, & Alam,
2016). Penelitian lainnya dilakukan oleh Renidayati, Keliat, dan Helena (2008)
menunjukkan hasil bahwa SST memberikan pengaruh terhadap peningkatan
kemampuan bersosialisasi pada pasien dengan isolasi sosial di rumah sakit jiwa.
Pemberian tindakan generalis pasien, TAKS, tindakan generalis keluarga, latihan
keterampilan sosial dan psikoedukasi pada keluarga lebih tinggi penurunan tanda
dan gejala serta peningkatan kemampuan sosialisasi dibandingkan yang tidak
diberikan tindakan keperawatan generalis pasien, TAKS, generalis keluarga dan
latihan keterampilan sosial (Martina, Keliat, & Putri, 2014). Berdasarkan hal
tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian tiga terapi
(terapi generalis, terapi aktivitas kelompok sosialisasi, dan social skill training)
terhadap penurunan tanda dan gejala dan kemampuan pasien skizofrenia yang
mengalami isolasi social.

22
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif melalui
studi kasus dengan menerapkan terapi generalis, TAKS, dan SST kepada 35
pasien isolasi sosial di ruang Bratasena RSMM Bogor, mulai tanggal 13
September-18 November 2016. Bahan yang digunakan untuk mengidentifikasi
tanda dan gejala isolasi sosial sebelum dan sesudah penerapan terapi generalis,
TAKS, dan SST menggunakan instrument tanda dan gejala isolasi sosial yang
dimodifikasi dari berbagai sumber. Jumlah item pertanyaan 33 item yang terdiri
dari 7 item aspek kognitif, 8 item aspek afektif, 4 item aspek fisiologis, 7 item
aspek perilaku, dan 7 item aspek sosial.
Penerapan terapi generalis dilakukan pada 35 pasien dengan melibatkan
Perawat Penanggung Jawab Pasien (PPJP) dan mahasiswa praktikan D3
keperawatan dan Ners yang bertanggung jawab terhadap masing-masing pasien.
Penerapan terapi generalis menggunakan pedoman asuhan keperawatan diagnosa
gangguan jiwa dengan pendekatan Strategi Pelaksanan (SP) yang ditetapkan di
RSMM. SP yang dilakukan pada pasien masing-masing terdiri dari 4 (empat) SP.
Pertama, melatih pasien mengenal masalah isolasi sosial; kedua, melatih pasien
berkenalan dengan perawat atau pasien lain; ketiga, melatih pasien berkenalan
dengan 2 orang atau lebih; keempat, berinteraksi dengan kelompok. Jumlah
pertemuan terapi generalis pada masing-masing pasien berbeda. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi dan kemampuan tiap pasien yang berbeda. Selama
penerapan terapi generalis, peran sebagai narasumber dan pendidik sering
dilakukan, dimana informasi yang pernah didapatkan pasien pada perawatan
sebelumnya dan di ruang perawatan sebelumnya tentang cara mengatasi isolasi
sosial dieksploitasi, dilatih, dan dikembangkan setiap kali interaksi untuk
membantu pasien menyelesaikan masalahnya secara mandiri.
Penerapan TAKS juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial . 35 pasien
yang dilakukan TAKS sebelumnya telah diseleksi dan memenuhi persyaratan
untuk mengikuti TAKS, pasien setidaknya telah dilakukan SP 1 dan SP 2 terapi
generalis. Hal ini dilakukan agar terapi yang dilakukan terintegrasi, efektif dan
waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah pasien lebih cepat. Pelaksanaan
TAKS dilakukan selama 5-6 hari setiap minggunya pada satu kelompok yang

23
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
terdiri dari 6-7 pasien isolasi sosial. TAKS yang dilakukan terdiri dari 7 sesi
sesuai dengan panduan TAKS yang dibuat oleh Keliat & Akemat (2010). Sesi 1
dan 2 dilakukan pada satu kali pertemuan, dilanjutkan dengan sesi berikutnya
sampai sesi 7. Selama penerapan TAKS, peran sebagai pemimpin dan narasumber
sering dilakukan untuk memimpin, membantu dan memfasilitasi pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dan demokratis dalam kegiatan kelompok dan
memberikan informasi yang dibutuhkan setiap anggota kelompok TAKS selama
TAKS berlangsung.
Penerapan SST juga dilakukan pada 35 pasien isolasi social dengan
mengacu pada Modul Terapi Keperawatan Jiwa (2016). Jumlah pertemuan terapi
pada tiap pasien berbeda tergantung kemampuan pasien dalam memahami proses
terapi. SST yang terdiri dari 4 sesi latihan, maksimal dilakukan 6 kali pertemuan.
Sesi pertama melatih pasien berkenalan dengan sikap dan cara bicara yang baik
dan jelas. Sesi kedua melatih pasien menjalin persahabatan, sesi ini yang
memerlukan jumlah pertemuan lebih banyak oleh sebagian besar pasien, sesi
ketiga melatih pasien untuk bekerjasama dalam kelompok. sesi ini juga
memerlukan latihan berulang-ulang sehingga pasien mampu melakukannya secara
alamiah. Pemberian terapi SST dilakukan dengan mengintegrasikan pelaksanaan
SP pada terapi generalis, minimal setelah pasien mampu mengenal masalah isolasi
sosial dan memperkenalkan diri dengan perawat atau pasien lain, baik individu
maupun dalam kelompok melalui TAKS.

HASIL DAN BAHASAN


Hasil dari tahap identifikasi didapatkan karakteristik pasien semuanya
berjenis kelamin laki-laki (100%), berusia dewasa (89%), berpendidikan SD
(28,57%), tidak bekerja (89%), belum/tidak kawin (69%), sakit > 5 tahun (51%),
dan pertama kali dirawat di RSMM (46%). Penyebab pasien dirawat dari faktor
biologis adalah riwayat gangguan jiwa sebelumnya (91,43%), penyebab
psikologis adalah konsep diri yang negatif (77,14%), dan penyebab sosio kultural
karena penghasilan kurang (94,29%). Faktor pencetus pasien dirawat dari aspek
biologis adalah putus obat (88,57%) pencetus psikologis terbanyak adalah

24
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
pengalaman yang tidak menyenangkan (100%),dan pencetus sosiokultural adalah
penghasilan kurang (97,14%).
Tanda dan gejala yang dilihat pada pasien terdiri dari aspek kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Hasil identifikasi didapatkan tanda dan
gejala kognitif pasien adalah tidak mampu menerima nilai dari orang lain, tidak
mampu memenuhi harapan dari orang lain, dan tidak mampu membuat tujuan
hidup (91%), tanda dan gejala afektif pasien memiliki afek datar (86%), tanda dan
gejala fisiologis pasien memiliki kurang bergairah (97%), tanda dan gejala
perilaku pasien adalah negativism, banyak melamun, dan dipenuhi dengan pikiran
sendiri ( 94%), tanda dan gejala sosial yang paling menonjol adalah acuh terhadap
lingkungan (94%).
Setelah diberikan terapi generalis, TAKS, dan SST pada pasien terjadi
perubahan pada tanda dan gejala isolasi sosial dan peningkatan kemampuan
pasien dalam bersosialisasi. Perubahan tanda dan gejala isolasi sosial sebelum dan
setelah diberikan terapi dapat dilihat pada tabel 1. Perubahan kemampuan pasien
dalam bersosialisasi sebelum dan setelah diberikan terapi generalis dapat dilihat
pada tabel 2, perubahan kemampuan pasien sebelum dan setelah diberikan terapi
aktivitas kelompok sosialisasi dapat dilihat pada tabel 3, dan Perubahan
kemampuan pasien dalam bersosialisasi sebelum dan setelah diberikan social skill
training dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 1
Perubahan Tanda dan Gejala isolasi Sosial
No Tanda & Gejala Pre % Post % Penurunan %
1 Kogitif 5,4 77,14 1,55 22,14 3,85 71,30
2 Afektif 4,23 52,88 0,99 12,38 3,29 77,78
3 Fisiologis 2,51 62,75 0,85 2,43 1,65 65,73
4 Perilaku 5,51 78,71 1,51 21,57 4 72,60
5 Sosial 5,31 75,86 0,45 6,43 4,85 91,33
Total 22,96 69,47 5,35 12,99 17.64 75,75

25
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
Tabel 2
Kemampua Pasien dalam Terapi Generalis
No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %

1 Mengidentifikasi penyebab isolasi


23 66 33 94 10 29
sosial
2 Menyebutkan Keuntungan
8 23 31 89 23 66
berinteraksi
3 Berkenalan 22 63 35 100 13 37
4 Berbicara dengan orang lain saat
1 3 34 97 33 94
melakukan aktifitas
5 Berbicara dengan lebih dari 2
0 0 34 97 34 97
orang dalam kegiatan kelompok
6 Berbicara sosial saat meminta
4 11 35 100 31 89
sesuatu dan menjawab pertanyaan
Rata-rata 9,7 27,71 33,7 96,29 24 68,57

Tabel 3
Kemampuan Pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok
No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %
1 Memperkenalkan Diri 13 31,14 35 100 22 62,85
2 Berkenalan 13 31,14 35 100 22 62,85
3 Bercakap-cakap 6 17,14 32 91,43 26 81,25
4 Bercakap-cakap topik tertentu 1 2,85 28 80 27 96,43
5 Bercakap-cakap masalah
0 0 26 74,29 26 74,29
pribadi
6 Bekerjasama 0 0 31 88,57 31 88,57
Rata-rata 5,5 13,72 31,17 89,04 25,67 83,90

Tabel 4
Kemampuan Pasien dalam Social Skill Training
No Kemampuan Pre % Post % Peningkatan %

1 Bersosialisasi 10,23 29,23 33,23 94,95 23 65,71


2 Menjalin Persahabatan 0,21 0,6 28,58 81,65 28,37 81,05
3 Bekerjasama dalam
0 0 25 71,43 25 71,43
kelompok
4 Menghadapi situasi sulit 0 0 22 62,85 22 62,85
Rata-rata 2,61 0,75 27,21 77,75 24,60 70,29

26
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
Dari keempat tabel di atas menunjukkan bahwa terapi generalis, TAKS, dan SST
dapat menurunkan tanda dan gejala isolasi sosial dan meningkatkan kemampuan
pasien dalam bersosialisasi.

Bahasan
Hasil pelaksanaan terapi generalis, TAKS, dan SST menunjukkan adanya
penurunan terhadap tanda dan gejala isolasi sosial dan meningkatkan kemampuan
pasien. Penerapan terapi generalis dilakukan pada 35 pasien dengan melibatkan
PPJP dan mahasiswa D3 dan Ners yang bertanggung jawab terhadap masing-
masing pasien. Penerapan terapi generalis menggunakan pedoman asuhan
keperawatan diagnosa gangguan jiwa dengan pendekatan Strategi Pelaksanan (SP)
yang ditetapkan di RSMM. SP yang dilakukan pada pasien masing-masing terdiri
dari 4 (empat) SP. Pertama, melatih pasien mengenal masalah isolasi sosial;
kedua, melatih pasien berkenalan dengan perawat atau pasien lain; ketiga, melatih
pasien berkenalan dengan 2 orang atau lebih; keempat, berinteraksi dengan
kelompok. Jumlah pertemuan terapi generalis pada masing-masing pasien
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan kemampuan tiap pasien yang
berbeda.
Penerapan TAKS juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial. Stuart
(2016) menyebutkan kelompok menawarkan berbagai hubungan antara anggota
karena setiap anggota kelompok akan berinteraksi satu sama lain dengan
pemimpin kelompok. anggota kelompok berasal dari berbagai latar belakang dan
masing-masing memiliki kesempatan untuk belajar dari orang lain di luar
lingkaran sosialnya. 35 pasien yang dilakukan TAKS sebelumnya telah diseleksi
dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti TAKS, pasien setidaknya telah
dilakukan SP 1 dan SP 2 terapi generalis. Hal ini dilakukan agar terapi yang
dilakukan terintegrasi, efektif dan waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah pasien lebih cepat. Terapi generalis pada pasien isolasi sosial ditujukan
untuk melatih keterampilan sosial pasien sehingga merasa nyaman dalam situasi
sosial dan dapat melakukan interaksi sosial dengan orang lain serta
lingkungannya. Keliat, dkk (2011) menambahkan bahwa tujuan yang diharapkan
setelah dilakukan tindakan generalis, pasien mampu membina hubungan saling

27
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
percaya dengan orang lain, menyadari penyebab isolasi sosial dan mampu
berinteraksi dengan orang lain secara bertahap. Terapi generalis sosialisasi
individu pada pasien isolasi sosial berpengaruh terhadap perubahan perilaku
isolasi sosial pada pasien skizofrenia (Nurfitriana, 2011).
Pelaksanaan TAKS dilakukan selama 5-6 hari setiap minggunya pada satu
kelompok pasien isolasi sosial. TAKS yang dilakukan terdiri dari 7 sesi sesuai
dengan panduan TAKS yang dibuat oleh Keliat & Akemat (2010). Sesi 1 dan 2
dilakukan pada satu kali pertemuan, dilanjutkan dengan sesi berikutnya sampai
sesi 7. Selama penerapan TAKS, penulis banyak berperan sebagai pemimpin dan
narasumber, yang membantu dan memfasilitasi pasien untuk berpartisipasi secara
aktif dan demokratis dalam kegiatan kelompok dan memberikan informasi yang
dibutuhkan setiap anggota kelompok TAKS selama TAKS berlangsung. Perawat
yang merupakan pemimpin kelompok harus dapat mempelajari kelompok dan
berpartisipasi di dalamnya pada waktu yang bersamaan. Pemimpin harus selalu
memantau kelompok, dan bila diperlukan, membantu kelompok mencapai
tujuannya (Stuart, 2016). Terapi dalam bentuk kelompok cukup efektif bagi
pasien yang sudah mampu berinteraksi dengan lingkungannya meskipun minimal.
Peran kelompok adalah membantu dalam penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan (Fontaine, 2009). Hartono (2015) dalam penilitiannya mendapatkan
bahwa terapi aktivitas kelompok memiliki pengaruh terhadap peningkatan
keterampilan sosial dasar pada pasien skizofrenia dengan adanya kenaikan skor
keterampilan dasar dan masing-masing subyek merasakan manfaat dari terapi
aktivitas kelompok.
Penerapan SST juga dilakukan pada 35 pasien isolasi sosial. Jumlah
pertemuan terapi pada tiap pasien berbeda tergantung kemampuan pasien dalam
memahami proses pembelajaran. SST yang terdiri dari 4 sesi latihan, maksimal
dilakukan 6 kali pertemuan. Sesi yang memerlukan jumlah pertemuan lebih
banyak oleh sebagian besar pasien adalah sesi dua (menjalin persahabatan) dan
sesi tiga (bekerjasama dalam kelompok). Kedua sesi tersebut memerlukan latihan
berulang-ulang sehingga pasien mampu melakukannya secara alamiah. Pemberian
terapi SST dilakukan dengan mengintegrasikan pelaksanaan SP pada terapi
generalis, minimal setelah pasien mampu mengenal masalah isolasi sosial dan

28
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
memperkenalkan diri dengan perawat atau pasien lain, baik individu maupun
dalam kelompok melalui TAKS. Setelah itu, pasien masuk pada terapi SST. SST
dilakukan untuk meningkatkan dan membentuk komunikasi yang fleksibel
sehingga pasien mampu berespons dengan baik terhadap situasi yang beragam.
Peran perawat disini adalah memberikan penguatan positif, menjadi role model,
tolok ukur, terapis, dan membentuk pola perilaku sosialisasi pasien yang
diharapkan (El Malky, Attia, & Alam, 2016). Perawat juga berfungsi sebagai
perencana/planner dan koordinator dari berbagai program pengobatan yang
diberikan pada pasien (Stuart, 2013). Selain itu SST ditujukan untuk
meningkatkan ekspresi, persepsi sosial dan emosional pasien dalam melakukan
ketrampilan berkomunikasi. Fokus latihan ini adalah pada latihan untuk
mengenali, mengekspresikan ketidaknyamanan, menimbulkan perasaan positif,
meminta maaf dan memaafkan dan berbagi ketakutan yang dirasakan. Stuart
(2016) menyebutkan jenis-jenis perilaku yang sering diajarkan dalam SST antara
lain mengajukan pertanyaan, memberikan pujian, membuat perubahan positif,
mempertahankan kontak mata, meminta orang lain untuk mengubah perilaku
tertentu, berbicara dengan nada dan suara yang jelas, dan menghindari sikap
gelisah.
SST adalah terapi yang berorientasi pada tugas dan membentuk perilaku
baru. Hasilnya akan efektif jika perilaku tersebut dilakukan berulang-ulang.
Pengulangan tiap sesi dilakukan di ruangan masing-masing. Keberhasilan SST
dalam merubah tanda gejala dan kemampuan pasien tertuang dalam beberapa
karya tulis ilmiah. Sukaesti, Hamid, & Wardani (2015) dalam tulisan ilmiahnya
menunjukkan bahwa SST yang dikombinasikan dengan Family Psychoeducation
(FPE) dapat menurunkan tanda dan gejala serta meningkatkan kemampuan pasien
dengan halusinasi dan isolasi sosial. Tulisan ilmiah Imelisa, Hamid, &
Mustikasari (2013) menunjukkan bahwa SST dapat meningkatkan kemampuan
dan menurunkan tanda dan gejala pasien isolasi sosial dengan melakukan
pendekatan teori social support. Sedangkan pada penelitian Putri (2012)
menunjukkan bahwa dengan SST yang dilakukan dengan pendekatan teori Peplau
dan Henderson dapat memudahkan perawat dalam berinteraksi dengan pasien
isolasi sosial. Tulisan Ilmiah Azizah, (2016) menunjukkan SST yang

29
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
dikombinasikan dengan CBSST dengan pendekatan Peplau dan Henderson dapat
menurunkan tanda dan gejala serta meningkatkan kemampuan pasien isolasi
sosial. Tulisan Ilmiah Kirana (2016) juga menunjukkan bahwa SST dapat
menurunkan tanda dan gejala serta meningkatkan kemampuan pasien isolasi
sosial.

SIMPULAN DAN SARAN


Pemberian terapi Terapi Generalis, TAKS, dan SST pada pasien
skizofrenia yang mengalami isolasi social dapat menurunkan tanda dan gejala
isolasi sosial dan meningkatkan kemampuan pasien dalam bersosialisasi.
Dari hasil penelitian, direkomendasikan untuk memberikan perawatan
pada pasien isolasi sosial dengan pendekatan secara individu, maupun kelompok
melalui terapi generalis pasien, terapi aktivitas kelompok sosialisasi, dan social
skill training.

RUJUKAN
Azizah, F.N., Hamid, A.Y.S., & Wardani, I.Y. (2016).Manajemen Kasus Spesialis
Keperawatan Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial dengan Pendekatan Teori
Hildegard E. Peplau dan Virginia Henderson di Ruang Utari Rumah Sakit
Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Karya IlmiahAkhir. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

El Malky, A.I., Attia, M.M., & Alam, F.H. (2016).The Effectiveness of Social
Skill Training on Depressive Symptoms, Self-esteem and Interpersonal
Difficulties Among Schizophrenia Patients. International Journal of
Advance Nursing Studies, 5 (1) (2016) 43-50. diunduh tanggal 1 Desember
2016.

Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing.6th edition.New Jersey: Pearson


Education.

Hartono. (2015). Pengaruh Terapi Aktifitas Kelompok Terhadap Peningkatan


Keterampilan Sosial Dasar Pada Klien Skizofrenia di RSUD Dr. RM.
Soedjarwadi Propinsi Jawa Tengah Tahun 2105.EMPHATY Jurnal Fakultas
Psikologi. Volume 3 Nomor 2 November 2015. Diunduh tanggal 4 Januari
2017.

Imelisa, R. Hamid, A.Y.S., & Daulima, N.H.C. (2013).Manajemen Asuhan


Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Klien Isolasi Sosial yang Diberikan Social
Skill Training Menggunakan Pendekatan Social Support Theory di RSMM

30
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
dan Kelurahan Tanah Baru Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu
Keperawatan UniversitasIndonesia. Tidak dipublikasikan.

Jalil, A., Hamid, Ay.,& Mustikasari. (2014). Penerapan Acceptance and


Commitment Therapy, dan Cognitive Behavioral Social Skills Training
Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Model Tidal Pada Klien
Harga Diri Rendah Kronis dan Isolasi Sosial. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Keliat, BA., Pawirowiyono, A.(2010). Keperawatan Jiwa;Terapi Aktifitas


Kelompok. edisi 2. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; Badan Penelitian dan


Pengembangan.(2008). Riset kesehatan dasar tahun
2007.http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-litbangkes/menu-
riskesnas/menu-riskesdas/147-rkd-2007.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; Badan Penelitian dan


Pengembangan.(2013). Riset kesehatan dasar tahun
2013.http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskes
das%202013.pdf.

Kirana, S.A.C., Mustikasari, & Putri, Y.S.E. (2016).Pemberian Asuhan


Keperawatan Spesialis Pada Klien dengan Isolasi SOsial dalam Menurunkan
Gejala dan Meningkatkan Kemampuan Melalui Pendekatan Model Konsep
Hildegard E. Peplau dan Konsep Stres Adaptasi Stuart di RSMM Bogor.
Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu KeperawatanUniversitas Indonesia.Tidak
dipublikasikan.

Laporan Semester I Rumah sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Tahun


2016.http://static.rsmmbogor.com/cdn/File/semester2016.pdf.

Martina, Keliat, BA.,& Putri, YSE. (2014). Penerapan Latihan Keterampilan


Sosial dan Psikoedukasi Keluarga Pada Klien Isolasi Sosial menggunakan
Pendekatan Modelling dan Role Modelling di Rumah Sakit Jiwa. Karya
Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak
dipublikasikan.

NANDA International.(2014). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2015-2017. Cetakan I. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC.

Nurfitriana.(2011). Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi Terhadap Perubahan


Perilaku Isolasi Sosial Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Naskah
Publikasi. http://lib.unisayogya.ac.id. Diunduh pada tanggal 4 Januari
2017.

31
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index
Putri, D.E. (2012). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi SOsial
dengan Pendekatan Model Konseptual Hildegard E. Peplau dan Virginia
Henderson. Ners Jurnal Keperawatan. Volume 8.Nomor 1.

Renidayati, Keliat, B.A., Helena, N.C.D. (2008). Pengaruh Terapi Social Skill
Training Pada Klein Isolasi Sosial di RS Jiwa Prof HB Saanin, Padang
Sumatera Barat.Tesis.Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Renidayati, Nurjanah,S., Rosiana, A., Pinilih, S., & Tim FIK UI. (2016). Modul
Terapi Keperawatan Jiwa. Workshop Keperawatan Jiwa X. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.Tidak dipublikasikan.

Stuart, Gail W. (2013). Principles & Practice of Psychiatric Nursing.8th ed.


Philadelphia: Elsevier Mosby.

Stuart, Gail W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan jiwa


Stuart.Edisi Indonesia.Buku 1 & 2. Singapura: Elsevier.

Sukaesti, D., Hamid, AYS,.& Wardani, IY. (2015). Manajemen Asuhan


keperawatan Spesialis Jiwa pada Klien Isolasi Sosial dan Risiko Perilaku
Kekerasan menggunakan Pendekatan Hubungan Interpersonal Peplau dan
Stuart di Ruang Gatotkaca RSMM.Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Tidak Dipublikasikan.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing; Concepts of Care in


Evidence-Based Practice.6th Edition. Philadelphia: Davis Plus Company.

Townsend, M.C. (2011). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing; care Plans


and Psychotropic Medication. 8th Edition. Philadelphia: F.A Davis
Company.

Videback, S.L. (2011). Psychiatric mental health nursing.5th edition. Philadhelpia:


Lippincott William & Wilkins.

32
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jik/index

Anda mungkin juga menyukai