Anda di halaman 1dari 9

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH STRATEGI PERTEMUAN ISOLASI SOSIAL TERHADAP


KEMAMPUAN SOSIALISASI KLIEN DI RSKJ SOEPRAPTO PROVINSI
BENGKULU

Disusun oleh :

TITANIA AULIA PUTRI


1826010022

Dosen Pengampu : Ns.Ade Herman Surya Direja,S.Kep.,MAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan

menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian,

sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994

dalam Suryani, 2004). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai sekitar

masa remaja dan kebanyakan penderitanya adalah berjenis kelamin laki-

laki dan menjadi sakit pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada

perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25-35 tahun

(Kaplan, dkk, 1991). Gangguan kejiwaan skizofrenia ini sering

menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan

yang diperlukan untuk hidup yang menyebabkan penderita menjadi beban

keluarga dan masyarakat (Chandra, 2004).

Prabandari, dkk (2003) menyebutkan bahwa prevalensi skizofrenia

di Indonesia diperkirakan 1 permil, meski angka yang pasti belum

diketahui karena penelitian prevalensi skizofrenia secara khusus belum

dilakukan di Indonesia. Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara tahun 2009, diketahui dari 12.377 penderita yang

dirawat jalan yang menderita skizofrenia paranoid berjumlah 9.532

(96,51%) dengan berbagai tipe dan diketahui dari 1.929 penderita yang

dirawat inap yang menderita skizofrenia paranoid berjumlah 1.581

(81,96%).
Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan

psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai

dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti, kemunduran fungsi sosial,

fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan

menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi

longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala

negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk

(Forum Sains Indonesia, 2008).

Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia

ialah terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi

apabila seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam

menyesuaikan diri (adaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut

tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara

baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan

timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.

Karakteristik pasien yang mengalami gangguan dalam

berhubungan dengan orang lain dapat dijumpai karakteristik berupa

ketidaknyamanan dalam interaksi sosial, ketidakmampuan untuk

menerima pendapat orang lain, gangguan interaksi dengan teman-teman

dekat, keluarga, dan orang-orang terdekat lainnya. Gangguan ini

menyebabkan terjadinya perilaku manipulatif pada individu yakni perilaku

agresif atau melawan/menentang terhadap orang lain yang menghalangi

keinginannya atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Jika


perilaku manipulatif tidak teratasi maka akan terjadi perilaku menarik diri

yaitu usaha untuk menghindari interaksi dengan orang lain dan kemudian

menghindari berhubungan sebagai suatu pertahanan terhadap ansietas yang

berhubungan sebagai suatu stresor/ancaman (Tucker, dkk. 1998).

Hasil Penelitian Hatfield (1998) menunjukkan bahwa sekitar 72%

pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial dan 64% tidak

mampu memelihara diri sendiri. Umumnya keterampilan sosial pasien

buruk, umumnya disebabkan karena onset dini penyakitnya. Penilaian

yang salah terhadap interaksi sosial, kecemasan yang tinggi dan gangguan

pemprosesan informasi.

Kemunduran fungsi sosial yang dialami seseorang di dalam

diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah

keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama

sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Purba,

dkk. 2008). Pasien isolasi sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang

rendah karena sifatnya yang selalu menarik diri dari lingkungannya.

Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kejiwaan

seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif

dan rehabilitatif. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses

terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antar perawat dengan

klien, keluarga dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang

optimal. Proses keperawatan yaitu terlaksananya asuhan keperawatan


sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan

keperawatan menjadi optimal. Salah satu yang dapat dilakukan di dalam

keperawatan jiwa adalah dengan menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP)

dalam tindakan keperawatan. Strategi Pelaksanaan (SP) merupakan alat

yang digunakan perawat jiwa sebagai jadikan sebagai panduan ketika

berinteraksi dengan klien (Fitria, 2009)

Mengingat bahwa skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa

berat, maka penderita sering memperlihatkan berbagai gejala

psikopatologis secara nyata yang membuat mereka terlihat berbeda dalam

penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan

masyarakat sering menolak keberadaan mereka. Terjadinya pemisahan

secara sosial terhadap individu yang mengalami gangguan skizofrenia

mengakibatkan terjadinya kemunduran kehidupan sosial yang pada

akhirnya penderita akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial

disabilitas). Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia

tergantung dari tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami

penderita, dimana semakin dominan tingkah laku simptomatologik

menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin buruk juga ketidakmampuan

bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Kuntjoro (1989) menyatakan ketidak mampuan bersosialisasi

merupakan ketidakmampuan untuk bersikap dan bertingkah laku yang

dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam

kehidupannya menuruti kemauannya sendiri, tanpa mengindahkan norma-


norma sosial yang berlaku, mengganggu lingkungan dan tidak terampil

secara sosial dianggap mengalami gangguan kejiwaan atau perilakunya

menyimpang dan hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya.

Semakin berat gangguannya, maka semakin keras pula usaha masyarakat

untuk mengusir, menolak atau mengisolasi dengan alasan ketertiban,

keamanan dan ketentraman, sehingga kondisi ini menuntut suatu

penanganan yang serius dari berbagai disiplin ilmu.

Berbagai upaya perbaikan terhadap tingkah laku simptomatik yang

dialami penderita telah dilakukan di rumah sakit jiwa, salah satunya adalah

menerapkan strategi pertemuan. Strategi pertemuan adalah pelaksanaan

standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien dan

keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan

jiwa yang ditangani. Pada klien isolasi sosial, strategi pertemuan yang

dilakukan berupa berkenalan dengan satu orang, dua orang atau lebih

untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan

pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka rumusan


masalah dalam penelitian ini apakah ada “Pengaruh Penerapan Strategi
Pertemuan Isolasi Sosial Terhadap Kemampuan Sosialisasi Klien di RSKJ
Soeprapto Provinsi Bengkulu”.
C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh


penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan
sosialisasi klien di Rskj Soeprapto Provinsi Bengkulu.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien isolasi sosial di Rskj Soeprapto


Provinsi Bengkulu

b. Mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial

sebelum dan setelah pada kelompok yang mendapatkan intervensi

di Rskj Soeprapto Provinsi Bengkulu.

c. Mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial

sebelum dan setelah pada kelompok yang tidak mendapatkan

intervensi di Rskj Soeprapto Provinsi Bengkulu.

d. Mengetahui perbedaan kemampuan sosialisasi klien sebelum dan

setelah intervensi pada klien yang mendapatkan intervensi dan

tidak mendapatkan intervensi di Rskj Soeprapto Provinsi

Bengkulu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Isolasi sosial

A. Pengertian

Menurut Townsend (1998), isolasi sosial merupakan keadaan

kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap

menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Sedangkan

menurut DEPKES RI (1998) penarikan diri atau withdrawal

merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun

minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat

bersifat sementara atau menetap.

Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok

mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk

meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk

membuat kontak (Carpenito, 1998). Menurut Rawlins & Heacock

(1998) isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindari dari

interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa

kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam

berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.

Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang dialami oleh

individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai

suatu keadaan yang negatif atau mengancam kelainan interaksi sosial.

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami


penurunan atau bakan sama sekali tidak mampua berinteraksi dengan

orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,

kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan

orang lain.

B. Faktor pendukung/pencetus terjadinya isolasi sosial

C. Rentang respon perilaku


D.

E. Respon adaptif Respon


maladaptif
F.
G. Solitude Kesepian Manipulasi
H.
I. Otonomi Menarik diri Impulsif
J.
K. Bekerjasama Tergantung Narkisisme Saling tergantung

Anda mungkin juga menyukai