Bab Ii Tinjauan Pustaka
Bab Ii Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian, yang
geologi regional dan sumberdaya geologi apa saja yang ada di daerah penelitian, yang
Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983)
telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu :
basement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan
tengahnya, batuan melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (Sukamto,
2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang kemungkinan
diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur) (Sukamto, 1975a;1975c)
pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur vulkanik) berumur Kapur Akhir
hingga pertengahan Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen
Awal dan volcanic arc (busur vulkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver
dkk, 1983). Batuan plutonik berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir
4
selama periode Pliosen hingga Kuarter Awal di bagian selatan, namun pada
2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas
fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan tempat
terpisahnya antara sekis tekanan tinggi dengan sekis temperatur tinggi, genes, dan
batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru mengandung glaukofan,
serta molasse. Pada lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh
batuan ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; dan Smith, 1983),
harzburgit dan serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan
harzburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari
tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai
Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), serta batuan sedimen pelagos dan
Berdasarkan pembagian di atas, maka daerah penelitian terletak pada Jalur Sekis
dan Batuan Terdeformasi (Central Schist Belt). Jalur ini merupakan fasies
metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari Sulawesi
Batuan malihan berderajat rendah (low grade metamorphic) ini merupakan batuan
fasies epidot-amfibolit. Batuan malihan ini terjadi karena adanya proses burial
metamorphism. Batuan penyusunnya berupa sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit,
Di atas batuan malihan itu secara tak selaras menindih batuan sedimen klastika,
diperkirakan berumur Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Meluhu tersusun dari
batusabak, filit dan kuarsit, setempat sisipan batugamping hablur. Formasi Laonti
terdiri atas batugamping hablur bersisipan filit di bagian bawahnya dan setempat
Pada Neogen tak selaras di atas kedua mendala yang saling bersentuhan itu,
Miosen Tengah. Formasi ini terdiri dari batupasir konglomerat. Formasi Langkowala
mempunyai Anggota Konglomerat yang keduanya berhubungan menjemari. Di
atasnya menindih secara selaras batuan berumur Miosen Akhir hingga Pliosen yang
terdiri dari Formasi Eemoiko dan Formasi Boepinang. Formasi Eemoiko dibentuk oleh
batugamping koral, kalkarenit, batupasir gampingan dan napal. Formasi Boepinang
terdiri atas batulempung pasiran, napal pasiran, dan batupasir. Secara tak selaras kedua
formasi ini tertindih oleh Formasi
Alangga dan Formasi Buara yang saling menjemari. Formasi Alangga berumur
Pliosen, terbentuk oleh konglomerat dan batupasir yang belum padat. Formasi
Buara dibangun oleh terumbu koral, setempat terdapat lensa konglomerat dan
batupasir yang belum padat. Formasi ini masih memperlihatkan hubungan yang
menerus dengan pertumbuhan terumbu pada pantai yang berumur Resen. Satuan
Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara yang
bagian utara hingga ke Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di
Laut Sulawesi. Jalur Sesar Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan
pergeseran lebih dari 750 km (Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak sesuai dengan
jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di bagian barat
dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan
lembah Sungai Sadang dan Sungai Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar
1975) yang berlawanan arah dengan Sesar Palu – Koro dan pola sesar sungkupnya
Sesar Matano merupakan sesar mendatar sinistral berarah barat laut – timur
memotong Sulawesi Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan kelanjutan dari
Sesar Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma akresi Tolo di Laut
Banda Utara.
9
Sistem Sesar Lawanopo berarah barat laut – tenggara, melewati Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk Bone,
seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merupakan zona
Tengah.
Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan Timur Sulawesi, merupakan
hasil dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan Sulawesi yang menyebabkan
sedangkan lipatan muda berarah baratlaut – tenggara atau barat – timur, serta ada pula
Perdaunan atau foliasi juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan
glaukofan dan serpentin yang tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara umum
perdaunan terlipat dan pada jalur sesar mengalami gejala kink banding.
berupa belahan retak (fracture cleavage). Belahan retak umumnya dijumpai dalam
batupasir malih dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah sejajar
10
atau hampir sejajar dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini
Kekar dijumpai hampir pada semua batuan, terutama batuan beku (Kompleks
Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen malih Mesozoikum, dan batuan malihan
Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia saling
bertumbukkan.
Pada Zaman Kapur, Cekungan Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur dipisahkan
oleh palung yang merupakan zona subduksi bagian barat, menghasilkan magmatisma
(Miosen Awal) di Sulawesi Barat dan metamorfisma pada bagian barat Sulawesi
Pergerakan relatif berarah baratlaut dari benua Australia pada Kala Eosen (6040
juta tahun lalu), menghasilkan perpindahan lempeng Australia, mintakat Meratus dan
Sulawesi Barat yang tumbuh oleh akresi pada saat subduksi awal lantai samudera
Pasifik (Daly dkk, 1987) sehingga menghasilkan sedimen flysch di Sulawesi Barat
arah barat dan kerak samudera menunjam ke bawah perputaran lengan Sulawesi Utara
Pada Eosen Akhir, perubahan arah gerak Lempeng Pasifik dari utara-baratlaut
Pasifik oleh transform utara-baratlaut dan zona rekahan yang merupakan zona
subduksi (Hilde dkk, 1977), diantaranya Lempeng Filipina yang memunculkan Busur
dihentikan oleh tumbukan fragmen benua Australia (Buton dan Banggai-Sula) dengan
Sulawesi Timur. Buton merupakan bagian dari orogenesa akhir Tersier di Sulawesi,
pada saat itu Sulawesi aktif membentuk sistem subduksi di sebelah timur.
Pada Miosen Awal sistem busur kepulauan antara Australia dan Pasifik mulai
langsung dengan sistem lempeng Pasifik/Filipina ke arah barat. Pada saat yang sama
pemekaran Lempeng Pasifik bertambah (Hilde dkk, 1977) dan pemekaran Lempeng
mikrokontinen Banggai-Sula dan Buton dari Kepala Burung dan terangkut ke barat
akibat rotasi Sulawesi Utara serta tarikan dari subduksi di Sulawesi Barat. Terjadinya
Sulawesi Timur dan kontaraksi dari tumbukan tersebut berakhir pada 15 juta tahun
yang lalu, sebagai bagian dari sabuk sesar naik yang ditutupi sedimen tak
terdeformasi (Kundig, 1956), lalu diikuti fase sesar mendatar mengiri berarah
timurlaut yang memotong sabuk sesar naik dan menempatkan Banggai-Sula pada
baratlaut.
tumbukan dengan arah pergerakan ke utara diawali dari Buton dan berakhir
1. Fragmen Tukangbesi dan fragmen Sula merupakan fragmen benua yang berasal
dari paparan utara New Guinea (Irian Jaya) (Visser dan Hermes, 1962;
sehingga terlepas dan bergerak ke arah barat mengikuti jalur sesar mendatar
mengiri Sorong. Australia yang bergerak ke arah utara menuju Eurasia sejak
kala Eosen (Johnson dkk, 1976; Smith dkk, 1981) mendorong terjadinya
13
dimulai pada Miosen Tengah dan terus bergerak ke utara sehingga bersentuhan
dengan lengan Timur Sulawesi pada akhir Miosen Akhir. Fragmen Sula
belum jelas bertumbukan dengan Buton pada Miosen Akhir, dan peristiwa ini
sebagai akibat dari berlanjutnya konvergensi Buton pada Miosen Tengah dan
Miosen Akhir.
3. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen benua yang pada awalnya bersatu.
platform Sula.
14
Gambar 2.
3 Rekonstruksi dinamika mintakat Tukangbesi dan Sula (Smith, 1983).
menghasilkan ofiolit di lengan Timur dan lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 2.4).
Ofiolit lengan Timur Sulawesi (segmen utara) yang dihasilkan akibat tumbukan antara
platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir
(Hamilton, 1979; Smith, 1983), merupakan sekuen ofiolit lengkap dan umumnya
Poh Head yang didominasi oleh gabro dan diabas pada bagian bawah dari unit ofiolit
Berdasarkan penanggalan radiometri K-Ar pada gabro, dolerit dan basal, ofiolit
Sulawesi Timur berumur antara 93.4±2 dan 32.2±2 yang diinterpretasikan sebagai
indikasi lantai samudera Kapur dengan gunung bawah laut berumur Eosen atau
15
samudra Kapur Akhir – Eosen pada koordinat 17-24 LS (Surono & Sukarna, 1995).
Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983) dan mélange yang dipisahkan oleh
Sesar Lawanopo dengan metamorf Sulawesi Tengah serta dipisahkan oleh Sesar
Labengke dengan sedimen karbonat paparan benua Zaman Paleogen. Ofiolit lengan
Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh serpentin hasburgit (Silver dkk,
1983), hasburgit, batugamping, chert, serpih merah dan hornblenda (Silver dkk, 1983;
Sekuen sedimen di Lengan Timur Sulawesi terdiri dari sekuen paparan benua
Trias – Paleogen yang terdiri dari sedimen klastik kaya karbonat dan kuarsa, sekuen
sedimen laut dalam yang terdiri dari rijang dan radiolaria kaya kalsilutit berumur
Kapur dan merupakan bagian dari ofiolit, serta sekuen sedimen klastik post-orogenic
Neogen atau tipe sedimen molasse yang diendapkan pada bagian atas kompleks
tumbukan dan terdiri dari material yang berasal dari kompleks basement benua yang
bentuknya saat ini dan memunculkan metamorf pada bagian leher pulaunya (Sukamto
Kejadian tektonik pada Pliosen Awal merupakan tumbukan ke arah utara dari
paparan pasif Australia dengan Palung Sunda dan muka busur Banda (Audley dan
dari utara Busur Banda di Sulawesi Selatan dan deformasi ini memotong sesar naik
yang lebih tua dan sesar mendatar berarah timur - timurlaut sebagai zona sesar Palu
dan Walanae. Kedua zona sesar tersebut berasosiasi dengan sesar naik dan struktur
ekstensional yang terletak di pusat vulkanik aktif Sulawesi (Berry dan Grady, 1986)
dan sesar Walanae bertanggung jawab untuk lahirnya Cekungan pull-apart Bone dan
Metamorf berasal dari kata “meta” yang artinya berubah dan “morf” yang
fundamental batuan yang sebelumnya telah ada (batuan beku, sedimen, dan
Proses metamorfosis adalah proses perubahan yang terjadi pada batuan asal
akibat adanya penambahan suhu (T) dan tekanan (P) yang berlangsung dalam
keadaan padat tanpa terjadi perubahan unsur-unsur kimia (isokimia) atau perubahan
dalam batas-batas tertentu dalam suhu, tekanan, dan kimiawi. Jika batuan tersebut
dikenakan suhu dan tekanan yang lebih tinggi daripada dekat permukaan, batas
kestabilan mineral dapat dilampaui, penyesuaian mekanis dan kimiawi dapat terjadi
dalam batuan membentuk mineral-mineral baru yang stabil dalam kondisi baru.
perubahan temperatur dan tekanan, meliputi daerah yang luas dan umumnya
penunjaman.
18
mineralnya :
1. Tekstur
Pada batuan metamorf tekstur dibedakan antara yang memiliki foliasi atau non
foliasi. Foliasi adalah orientasi kesejajaran mineral penyusun batuan metamorf, foliasi
harus dibedakan dengan orientasi perlapisan batuan sedimen, hal tersebut karena tidak
ada hubungan sama sekali antara foliasi dengan sifat perlapisan batuan sedimen.
Foliasi
a. Kristoblastik
Kristoblastik yaitu bila batuan asal sudah tidak terlihat lagi. Berdasarkan sifat
menjadi:
• Heteroblastik, jika terdiri lebih dari satu tekstur. Contoh Lepidoblastik dan
Granoblastik.
(piroksen).
(kuarsa).
Bentuk kristal:
b.Palimset
Blasto psamatik, bila batuan asal batuan sedimen klastik berukuran pasir
(psamitik).
• Blasto pelitik, bila batuan asal batuan sedimen klastik berukuran lempung
(argilit).
2. Struktur
• Phyllitic, foliasi sudah mulai ada oleh kepingan-kepingan halus mika, terdiri
• Schistose, foliasi sudah mulai jelas oleh kepingan mika, dengan belahan yang
merata atau menerus, terdiri dari selang seling kristal lepidoblastik dan
granoblastik.
sama (equidimensional).
kataklastik harus diamati secara langsung di lapangan. Keduanya umum terdapat pada
3. Komposisi Mineral
Jika batuan asal diberikan suatu perubahan yang lebih tinggi tekanan dan
yang mengarah terhadap sifat mekanis dan kimiawi, serta akan membentuk mineral
baru.
Pembentukan mineral baru sangat tergantung pada batuan asal dan kondisi
dari batuan asal, yaitu kuarsa, hornblende, biotit, muskovit, ortoklas, dolomit,
Konsep fasies metamorfik diperkenalkan oleh Eskola, 1915 (Bucher & Frey,
antara kumpulan mineral dan kompisisi batuan pada tingkat metamorfosa tertentu.
Dengan kata lain sebuah fasies metamorfik merupakan kelompok batuan yang
termetamorfosa pada kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan mineral yang
tetap. Tiap fasies metamorfik dibatasi oleh tekanan dan temperatur tertentu serta
dicirikan oleh hubungan teratur antara komposisi kimia dan mineralogi dalam batuan.
23
Gambar 2. 4 Diagram temperatur dan tekanan dari variasi fasies metamorfos ( Bucher
dan Frey, 1994 dan Yardley, 1989 )
Bucher and Frey (1994); Yardley (1989), membagi fasies metamorfosa regional
Tabel 2. 3 Standard metamorphic facies (Bucher and Frey, 1994 and Yardley 1989)
24
Amphibolite Hornblende + plagioclase (An > 20) in mafic rocks and kyanite in pelitic
pemahaman sejarah temperatur dan tekanan dari fasies metamorfik serta analisis
paragenesa batuan mafiknya. Mineral kelompok zeolit merupakan indicator yang baik
fasies zeolit terbentuk pada temperatur 1000C – 2000C. Kemudian zona ini diganti
oleh zona laumontit yang terbentuk pada temperatur 200 0C – 2750C. Umumnya
merupakan fase kunci dalam metabasit tingkat rendah dan berguna dalam indicator
pengganti zeolit yang terbentuk lebih awal. Dalam fasies prehnit-pumpelit dan fasies
25
Dengan meningkatnya temperatur, prehnit dan pumpelit menjadi tidak stabil dan
albit + epidot + sfen. Transisi dari sekis hijau ke fasies amfibolit adalah fasies epidot
Perubahan temperatur dan mineralogi dipengaruhi oleh tekanan dan kimia batuan,
juga adanya miscibility gap dalam Ca-amfibol dan plagioklas (peristerit gap).
Peristerit gap dalam batuan metabasit terbentuk pada tekanan rendah (2 kbar)
Mereka menemukan bahwa zona transisi terdiri atas “peristerit pairs” + epidot
temperatur 3700C – 4200C. Pada temperatur yang lebih tinggi dari sekis hijau,
kumpulan mineral ini diganti oleh zona amfibolit terdiri atas plagioklas (An20 – An50)
oleh kehadiran struktur granoblastik, dengan mineralogi terdiri atas hipersten + anortit
hornblende hadir pada temperatur 7000C – 7500C. Di bawah kondisi fasies granulit
tekanan tinggi, anortit plagioklas menjadi meningkat tidak stabil dan akhirnya mineral
tersebut ke luar. Garnet umumnya jarang teramati pada fasies piroksen hornfels
sementara pada fasies granulit umumnya dapat teramati. Perubahan dari piroksenit
26
pembawa spinel-garnet dan lerzolit terjadi dalam fasies granulit sampai fasies eklogit.
Dalam fasies eklogit, kumpulan mineralnya adalah omfasit + garnet dalam jumlah
seperti glaukofan dan krosit. Kumpulan mineral dari sekis biru mengindikasikan
kondisi metamorfisme pada temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Pada tekanan
lebih rendah dari fasies eklogit, fasies sekis biru terbentuk pada tekanan 5-8 kbar dan
(lawsonit) + sfen + albit + kuarsa + klorit + mika putih + kalsit. Sekis biru pada
tekanan lebih tinggi mengandung sedikit jadeit piroksen ke glaukofan. Banyak fasies
tinggi umumnya mengandung garnet dan amfibol sekunder seperti aktinolit atau Na-
perubahan temperatur dan tekanan, kimia fluida, perubahan fluida, rata-rata tekanan
batuan ini dapat memberikan informasi tentang evolusi geologi suatu daerah.
protolith)
undefined)
5. Batuan metamorf yang terbentuk akibat hasil dari proses struktur geologi
dapat menunjukkan asosiasi dengan tectonic setting yang terjadi di daerah tersebut.
Misalnya Calc Alkali yang menunjukkan bahwa daerah tersebut berasosiasi dengan
zona subduksi, dimana K-thoelitic basalt yang merupakan produk magma yang
umumnya terbentuk pada batas lempeng. Tetapi tidak semua elemen-elemen utama
juga dapat menunjukkan tempat batuan itu terbentuk atau tectonic setting yang terjadi
ridges, terdapat juga pada back arc basins, oceanic islands, islands arc, dan active
continental margin. Oleh karena itu juga dibutuhkan analisis elemen-elemen jejak
(trace elements) dan juga analisis isotop Sr-Nd-Pb dari batuan yang dapat
Thoelitic, Calc alkaline, dan Alkaline. Dan di tiap seri magma ini terbentuk batuan
mulai dari basal-asam. Komposisi kimia dari batuan metemorf tidak akan jauh beda
unsur-unsur volatil seperti H2O, CO2, O2 dan S. Pada batuan metamorf pelitik yang
berasal dari clay-rich shales terdapat jumlah mineral aluminious dengan konsentrasi
mineral dengan komposisi kimia unsur-unsur utama suatu batuan. Diagram tersebut
dapat menunjukan visualisasi dari suatu mineral yang dapat terbentuk pada suhu,
mineral pada pelitic rocks. Pertama kali ditemukan oleh Thomson (1957), dan
Al2O3, FeO, MgO, dan K2O. Dan 3 komponen minor unsur utama: Fe2O3, TiO2 dan
bahwa SiO2 banyak terdapat pada batuan tersebut, dan membentuk mineral-mineral
kelompok silikat lain pada batuan tersebut atau tetap mengkristalisasi sebagai kuarsa.
Karena pada batuan pelitik terdapat mineral mika putih maka digunankan AKFM
tetrahedron.
M : [MgO]
terbentuknya batuan mulai dari asal-usul atau sumber, proses primer terbentuknya
Proses primer menjelaskan bagaimana batuan itu terbentuk dan batuan asal (protolith)
sifat fisik dan kimiawinya telah berubah dari batuan asalnya (protolith). Berhubung
sebagian besar berlangsung lama (dalam skala waktu geologi) maka analisisnya
bersifat interpretatif. Analisis interpretatif tersebut berdasarkan pada data objektif atau
deskriptif hasil pemerian yang meliputi warna, tekstur, struktur, komposisi mineral