Anda di halaman 1dari 55

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat serta
anugerah-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Hubungan Antara Jenis Kelamin Dan Durasi Bermain Gadget Terhadap
Gangguan Tajam Penglihatan Pada Pasien Poli Mata Rsud Dr Wahidin Sudiro
Husodo Kota Mojokerto Pada Bulan Januari Sampai Dengan Maret 2019” ini
dengan baik dan dalam bentuk yang sederhana. Semoga Makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
mengenai pengetahuan dasar mengenai kesehatan.
Harapan kami semoga makalah ini menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, walaupun kami akui masih banyak kekurangan
dalam penyajian makalah ini karena ilmu yang kami miliki masih sangat kurang.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini, dari awal sampai akhir hingga
menjadi sebuah makalah. kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk pembuatan makalah berikutnya, terimakasih.

Mojokerto, 23 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..............................................................................................3

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................3

D. Manfaat Hasil Penelitian ……………………………………………..………..4

BAB II PEMBAHASAN

A. Mata .............................................................................................................5
B. Kelainan Refraksi ................................................................................................ 6

C. Jenis Kelainan Refraksi ...................................................................................... 7

D. Kelainan Refraksi dan Faktor Pencetusnya………………………..…..…24

E. Konsep Gadget ………………………………………………..………....25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual ........................................................................................ 29

B. Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 30

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian……………………………………..……………...32

ii
B. Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………….……32

C. Populasi dan Sampel Penelitian………………………….………………32

D. Variabel Penelitian………………………..……………………………...33

E. Definisi Operasional………………………………………………..…… 34

F. Prosedur Penelitian……..……………………………………………….. 35

G. Teknik Pengolahan Data……………………..…………………………..37

H. Analisis Data……………………………………………..………………38

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Pengaruh jenis kelamin Terhadap Kelainan Refraksi ..………………….40

B. Pengaruh Durasi Bermain Gadget Terhadap Kelainan Refraksi…………42

C. Hasil Penelitian…………………………………………………………..43

BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………………..44

BAB VII KESIMPULAN……..…………………………………………………47

KUSIONER………………………………………………………………………48

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..………………..51

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Panca indera manusia ada 5, yaitu mata, telinga, hidung, kulit dan lidah.

Panca indera mempunyai fungsi dan tugasnya masing-masing. Salah satu panca

indera yang terpenting pada tubuh manusia adalah mata. Gadget tidak hanya

digunakan oleh kalangan remaja dan dewasa, tetapi juga digunakan oleh kalangan

anak usia sekolah, permainan anak lebih disarankan pada permainan fisik,

keterampilan intelektual, fantasi serta terlibat dalam kelompok atau tim

(Suherman, 2012).

Penggunaan gadget yang salah serta frekuensi penggunaan gadget yang

berlebihan, posisi yang tidak benar dan intensitas pencahayaan yang tidak baik,

akan berdampak terhadap penurunan tajam penglihatan akan berakibat kesulitan

untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Semakin bertambahnya penurunan

tajam penglihatan, maka akan meningkatkan resiko komplikasi pada mata.

Ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan yang sering dikeluhkan pengguna

gadget (Triharyo, dalam Widea Irnawati, 2015).

Survei dilakukan oleh America Optometrist Association (AOA)

menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta pemeriksaan mata per tahun di Amerika

Serikat dilakukan untuk masalah penglihatan oleh penggunaan perangkat

elektronik (Jurisna Maria Pangemanan, 2014). Menurut hasil Riskesdas tahun

2013 proporsi pengguna kacamata atau lensa kontak penduduk umur di atas 6

1
tahun di Indonesia adalah sebesar 4,6%, proporsi penurunan tajam penglihatan

sebesar 0,9%. Proporsi pengguna kacamata atau lensa kontak pada penduduk

dengan umur di atas 6 tahun di provinsi Jawa Timur adalah sebesar 4,8%,

proporsi penurunan tajam penglihatan sebesar 1,0%.

Para ahli mengatakan bahwa smartphone semakin sering di produksi

dengan layar lebih cerah digunakan siang dan malam, dan kemungkinan akan

lebih sering terjadi. Menggunakan smartphone di tempat tidur dan dalam gelap

dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan. Peningkatan penggunaan

smartphone di era sekarang ini menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat

tentang efek negatif radiasi sinar smartphone terhadap kesehatan salah satunya

fungsi penglihatan (Christo F.N. Bawelle, 2016).

Visual Display Terminal (VDT) atau yang biasanya di sebut monitor

adalah bagian yang biasanya di tatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata

pada penggunanya. Jika di lihat dari penggunaannya, penggunaan tablet computer

semakin menjadi paling banyak digemari. Hal ini dikarenakan harga tablet

computer yang semakin terjangkau. Di segi lain penggunaan tablet computer lebih

fleksibel karena memudahkan para pengguna untuk di bawa ke mana-mana

(Pangemanan, 2014).

Faktor – faktor yang berperan untuk terjadinya kelainan refraksi seperti

faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud disini

adalah aktifitas melihat dekat seperi membaca buku, menulis, menonton televisi,

menggunakan komputer, bermain game, penggunaan HP dan lain – lain. Beberapa

2
kegiatan tersebut merupakan aktifitas lazim yang dilakukan oleh semua kalangan.

Dalam hal ini perkembangan teknologi informasi yang pesat mengharuskan

seseorang menggunakan gadget ( komputer dan hp) sebagai salah satu media

pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara durasi bermain gadget terhadap kelainan refraksi

pada pasien dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin

Sudiro Husodo Kota Mojokerto?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara durasi bermain gadget terhadap kelainan

refraksi pada pasien dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata

RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis faktor risiko jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada

pasien dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin

Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

b. Menganalisis faktor gadget terhadap kelainan refraksi pada pada pasien

dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin

Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

3
D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai upaya mengembangkan pengetahuan dalam pelaksanaan

penelitian, penulisan hasil penelitian dan menambah wawasan serta bekal

pengetahuan dalam bekerja di masyarakat.

2. Manfaat Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan bagi RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo dalam menekan

dan mencegah angka kejadian kelainan refraksi di Kota Mojokerto atau

kota lain yang memiliki karakteristik serupa dengan Kota Mojokerto.

3. Manfaat Bagi Masyarakat

Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat

khususnya pengaruh gadget terhadap kelainan refraksi pada pasien dengan

gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin Sudiro Husodo

Kota Mojokerto.

4. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai sumbangan

pemikiran dan bahan pertimbangan untuk mencegah kelainan refraksi dan

menurunkan angka terjadinya kelainan refraksi

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mata

1. Definisi

Mata merupakan indera penglihatan. Mata manusia dapat

dijelaskan analognya dengan kamera, sehingga cahaya atau sinar jatuh

pada retina dan cahaya dibiaskan oleh sebuah lensa. Mata berbentuk

seperti bola, terletak di dalam rongga mata. Dinding rongga mata terdiri

dari tulang-tulang tengkorak, sehingga sangat keras. Hal ini berfungsi

untuk melindungi mata yang lunak dari bentukan maupun trauma. Bola

mata mempunyai garis tengah kira-kira 2,5cm (Haeny, 2015).

Mata merupakan salah satu alat indera pada manusia yang

berfungsi untuk mengantarkan cahaya yang di tangkap oleh mata yang

kemudian dihantarkan pada otak. Mata menangkap semua objek yang

dekat dan jauh serta menghasilkan sebuah gambar yang nyata dan

kontinu(Haeny, 2015).

Mata di susun dari bercak sensitive dan cahaya primitive pada

permukaan intevertebra. Dalam selubung perlindungannya, mata

mempunyai lapisan reseptor yaitu system lensa untuk membuat cahaya

focus. System saraf pusat mengantarkan impuls pada mata agar dapat

membentuk bayangan yang jatuh tepat pada retina, tidak menjauh ataupun

mendekat (Haeny, 2015).

5
6

B. Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi merupakan kelaina pembiasan sinar pada mata, sehingga

pembiasaan sinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Pada kelainan

refraksi terjadi ketidakseimbangan system optik pada mata sehingga

menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa

membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina sedangkan pada

kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan terpat pada retina akan tetapi dapat di

depan atau di belakang retina atau mungkin tidak terletak pada satu titik yang

tajam (IIyas, 2016). Angka kejadian kelainan refraksi di dunia cukup tinggi yaitu

sekitar 80%. Di Indonesia angka kejadian kelaianan refraksi , yaitu sebesar 24,7

dan pada anak-anak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indonesia

(Ahmad, 2015). Kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling

sering terjadi. Miopia adalah salah satu kelainan refraksi pada mata yang memiliki

prevalensi tinggi di dunia. Dalam pengamatan selama beberapa dekade terakhir

menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi miopia telah mengalami peningkatan dan

ada epidemi miopia di Asia (Jurnal Kesehatan Andalas, 2016).

Manusia memiliki mata disebelah kiri dan kanan. Kehilangan atau

kerusakan salah satu bola mata dapat mengganggu penglihatan. Berdasarkan data

WHO (2012) terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami gangguan

penglihatan, dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta orang

mengalami penglihatan kurang (low vision). Tajam penglihatan sudah dikatakan

low vision dengan visus 6/18. Secara global, gangguan penglihatan tersebut

disebabkan oleh kelainan refraksi 43%, katarak 33% dan glaukoma 2%. Meskipun

6
7

demikian, bila dikoreksi dini sekitar 80% gangguan penglihatan dapat dicegah

maupun diobati (Jurnal Kesehatan Andalas, 2014).

C. Jenis Kelainan Refraksi

1. Miopi (Penglihatan Dekat)

a. Definisi

Kata miopia pertama kali dikenal pada abad ke-2, yang terdiri

dari dua kata yaitu meyn yang berarti menutup, dan ops yang

berarti mata. Makna ini berarti menggambarkan bahwa ciri dari

myopia salah satunya sering menyipitkan mata ketika melihat

sesuatu yang kurang jelas, karena dengan cara menyipitkan mata

akan terbentuk debth of focus didalam bola mata sehingga titik

fokus yang tadinya berada didepan retina akan bergeser kebelakang

mendekati retina. Hal ini akan terlihat pada penderita miopi yang

koreksinya tidak sempurna atau tidak dikoreksi sama sekali

(Sulistiana 2011).

Miopia adalah kelainan refraksi pada mata dimana bayangan

jatuh di depan retina ketika mata tidak dalam keadaan

berakomodasi. Hal ini digambarkan dengan keadaan tanpa

akomodasi, kondisi refraksi dimana cahaya yang sejajar dari suatu

objek yang masuk ke dalam mata akan jatuh di depan retina.

Manifestasi klinis dari miopia yaitu penglihatan yang kabur jika

melihat jauh atau istilah populernya adalah “nearsightedness”

(IIyas, 20016). Miopia merupakan kelainan mata paling umum di

7
8

dunia. Pada keadaan refraksi ini, retina terletak di belakang bidang

focus sehingga lensa konkaf atau lensa negatif dibutuhkan untuk

memindahkan bidang focus kembali terletak pada retina. Definisi

myopia bervariasi namun pada umumnya mata dianggap myopia

bila memerlukan lensa negatif 0.50 dioptri untuk mengembalikan

penglihatan normal (Young, 2013).

b. Etiologi

Miopia terjadi akibat sinar sejajar yang datang dari jarak

tak terhingga yang masuk ke dalam mata, dibiaskan di depan retina

dalam keadaan mata tanpa akomodasi. Akomodasi adalah

kemampuan mata untuk mengubah daya bias lensa dengan

kontraksi otot siliar yang menyebabkan penambahan tebal dan

kecembungan lensa sehingga bayangan pada jarak yang berbeda-

beda akan terfokus tepat di retina. Penderita miopi tidak dapat

melihat objek atau benda dengan jarak yang jauh, namun akan

terlihat jelas apabila objek atau benda tersebut berada dalam jarak

yang dekat (Suhardjo, 2015).

Mata miopia memiliki sumbu bola mata lebih panjang dan

ruang vitreus lebih dalam, yang disebabkan oleh peregangan

dinding bola mata (sklera, koroid dan retina). Pemanjangan sumbu

bola mata terjadi karena abnormalitas pertumbuhan dan kerentanan

(susceptibility) terhadap kenaikan tekanan intra okular (TIO). Pada

8
9

mata dengan kondisi demikian sering didapatkan penipisan serabut

saraf retina (SSR) dan abnormalitas lamina cribrosa serta disfungsi

vaskuler. Perubahan-perubahan akibat pemanjangan sumbu

bolamata membuat mata miopia lebih rentan terhadap perubahan

glaukomatosa (Suhardjo, 2015).

Beberapa hal yang berkaitan sebagai etiologi miopia adalah:

1) Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu

2) Penyakit mata

3) Gangguan pertumbuhan

4) Lingkungan

5) Kerja dekat yang berlebihan

6) Pemakaian kacamata yang tidak sesuai

7) Sikap tubuh yang tidak sesuai.

c. Klasifikasi

Menurut American Optometric Assosiation (2006), miopia

secara klinis dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Miopia Simpleks

Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu

panjang atau daya bias kornea dan lensa kristalina yang terlalu

kuat.

2. Miopia Nokturnal

Miopia yang terjadi Karena pencahayaan yang redup.

3. Pseudomiopia

9
10

Diakibatkan oleh peningkatan daya bias mata karena

rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi

sehingga terjadi kekejangan pada otot siliar yang menyangga

lensa kristalina.

4. Miopia Degeneratif

Miopia derajat tinggi dengan perubahan degeneratif pada

segmen posterior mata yang dikenal dengan miopia degeneratif

atau miopia patologis. Perubahan degeneratif tersebut dapat

menyebabkan fungsi penglihatan yang tidak normal, seperti

penurunan koreksi ketajaman visual atau perubahan lapang

pandang. Terkadang terdapat gejala lain yaitu ablasio retina

maupun glaukoma.

5. Miopia Induksi

Miopia yang didapat akibat paparan dari zat-zat farmakologis,

variasi kadar gula darah, sklerosis lensa kristalina atau kondisi

tidak normal lainnya. Miopia ini sering hanya sememtara dan

bersifat reversibel.

d. Patofisiologi

Kata kunci dari konsep miopia adalah pada dua masalah yang

jelas bebeda. Pada satu masalah, adanya masalah penglihatan yang

lemah dalam memfokuskan cahaya dikarenakan dari

ketidakselarasan antara panjang aksial dari bola mata dan lensa

10
11

yang membentuknya (kornea dan lensa kristalina). Pada masalah

yang satunya, myopia merupakan salah satu dari masalah

kedokteran yang belum diketahui penyebab pastinya yang terjadi

lebih sering pada orang-orang dengan dengan kondisi patologis

seperti retinal detachment (terlepasnya retina), glaukoma,

perdarahan macular, katarak, ataupun keempatnya (Francisco, et

al., 2015).

Gambar 1 Patofisiologi Miopia

Penelitian di China menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah

yang memiliki waktu tidur yang kurang pada malam hari akan memiliki

prevalensi yang lebih tinggi untuk mendapatkan sleep disorder. Kaitannya

dengan terjadinya miopia pada anak adalah, terdapat ketumpang-tindihan

antara jalur biologi yang mengatur waktu tidur dengan perkembangan

penglihatan pada anak. Tidur merupakan pekerjaan fisiologis tubuh yang

diatur oleh irama Sirkadian, yang mana pada saat itu terjadi sintesis

melatonin. Proses sintesis melatonin ini dikontrol oleh suatu hubungan

11
12

timbal balik dengan dengan jalur dopaminergik dari retina (retinal

dophaminergic pathways). Bersamaan dengan itu, jalur dopaminergik ini

juga beperan dalam perkembangan dari mata, sehingga apabila terjadi

kekacauan dalam regulasi irama Sirkadian sudah pasti akan menyebabkan

gangguan pula pada perkembangan dari penglihatan (Zhou, et al., 2015).

Singkatnya normal miopia yaitu miopia dengan derajat dioptri kurang dari

6 atau panjang aksial bola mata kurang dari 26 mm, sedangkan untuk high

miopia atau dikenal dengan nama magna, degeneratif, progresif, or

maligna miopia yang dicirikan dengan bola mata yang semakin panjang

selama hidup si pasien. Progres ini menyebabkan atrofi pada jaringan mata

seingga bisa berakhir menjadi kebutaan.

Menurut Ilyas (2015), terdapat dua pendapat yang

menerangkan penyebab miopia:

1. Berhubungan dengan faktor herediter dan keturunan

2. Berhubungan erat dengan faktor lingkungan.

e. Manifestasi Klinis

Pada penderita miopia, keluhan-keluhan yang dialami

meliputi pengelihatan yang kabur ketika melihat objek yang

jaraknya jauh, namun mata tetap berfungsi baik untuk melihat

objek-objek yang jaraknya dekat. Keluhan sakit kepala dan mata

merasa cepat lelah yang sering disertai dengan juling dan celah

kelopak mata sempit merupakan manifestasi-manifestasi klinis

12
13

yang juga kita biasa temukan pada seseorang yang menderita

miopia. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan menyempitkan

matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan

efek pinhole. Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik

terjauh yang masih dapat dilihat dengan jelas) yang dekat sehingga

mata selalu dalam keadaan konvergensi. Hal ini yang akan

menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan

mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau

esotropia (Sidarta, 2014).

f. Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis miopia, harus dilakukan

dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesa, pasien mengeluh penglihatan kabur saat melihat

jauh, cepat lelah saat membaca atau melihat benda dari jarak dekat.

Pada pemeriksaan opthalmologis dilakukan pemeriksaan refraksi

yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara subjektif

dan objektif. Cara subyektif dilakukan dengan menggunakan

optotipe dari Snellen dan trial lenses; dan cara objektif dengan

opthalmoskopi direk dan pemeriksaan retinoskopi.

Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak

pemeriksa dan pasien sebesar 6 meter sesuai dengan jarak tak

terhingga, dan pemeriksaan harus dilakukan dengan tenang, baik

13
14

pemeriksa maupun pasien. Pada pemeriksaan terlebih dahulu di

tentukan tajam penglihatan atau visus (VOD/VOS) yang

dinyatakan dengan bentuk pecahan. Jarak antara pasien dengan

optotipe Snellen: Jarak yang seharusnya dilihat oleh pasien dengan

visus normal. Visus yang terbaik adalah yaitu pada jarak

pemeriksaan 6 meter dapat terlihat huruf yang seharusnya terlihat

pada jarak 6 meter.

Bila huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat terlihat,

maka pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita

menghitung jari pada dasar putih, pada bermacam-macam jarak.

Hitung jari pada penglihatan normal terlihat pada jarak 60 meter,

jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 2 meter, maka besar

visusnya adalah 2/60. Apabila pada jarak terdekatpun hitung jari

tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara

pemeriksa menggerakan tanganya pada berbagai arah dan meminta

pasien mengatakan arah gerakan tersebut pada berbagai jarak.

Gerakan normal pada mata normal dapat terlihat dari jarak 300

meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 1 meter, maka

visus pasien tersebut 1/300. Dan apabila gerakan tangan tidak

dapat terlihat pada jarak terdekat sekalipun, maka pemeriksaan

dilanjutkan dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter

pemeriksa dan mengarahkan sinar tersebut pada mata pasien dari

segala arah dengan salah satu mata ditutup. Pada pemeriksaan ini

14
15

penderita harus dapat melihat arah sinar dengan benar, apabila

masih dapat melihat arah sinar dengan benar, maka fungsi retina

bagian perifer masih baik dan dikatakan visusnya 1/~ dengan

proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat melihat sinar dan

tidak dapat menentukan arah dengan benar atau pada beberapa

tempat tidak dapat terlihat maka berarti retina tidak berfungsi

dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi buruk. Bila cahaya

senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi

kerusakan dari retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan

visus 0 (nol) atau buta total.

Ketajaman penglihatan yang kurang baik dapat dikoreksi

dengan menggunakan lensa sferis + (S+), sferis - (S-), dan silindris

+/- (C+/-). Pada kelainan refraksi miopia, ketajaman penglihatan

dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis negatif terkecil

yang memberikan ketajaman penglihatan terbaik tanpa akomodasi.

Pemeriksaan oftalmoskopi, pada kasus yang disertai kelainan

refraksi akan memperlihatkan gambaran fundus yang tidak jelas

terkecuali jika lensa koreksi pada lubang penglihatan oftalmoskopi

diputar. Sehingga dengan terlebih dahulu memperlihatkan keadaan

refraksi pemeriksa, maka pada pemeriksaan oftalmoskopi besar

lensa koreksi yang digunakan dapat menentukan macam dan besar

kelainan refraksi pada penderita secara kasar. Pada penderita

miopia, pada segmen anterior tampak bilik mata dalam dan pupil

15
16

lebih lebar dan kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol

(Sidarta, 2013).

g. Penatalaksanaan

Beberapa strategi seperti penggunaan alat-alat optik

merupakan hal yang sudah lama dilakukan untuk mengurangi

perkembangan miopia. Pada dasarnya pasien yang menderita

miopia dan tidak melakukan koreksi apapun pada matanya akan

meningkakan progresi dari miopia yang dideritanya. Secara umum

penatalaksaan miopia dapat dibagi menjadi dua, yaitu penggunaan

alat-alat optik seperti kacamata dan kontak lensa serta cara

pembedahan. Pada pemakaian kacamata atau terapi optikal, miopia

dikoreksi dengan kacamata sferis negatif atau lensa kontak

sehingga cahaya yang sebelumnya di fokuskan didepan retina

dapat jatuh tepat di retina (American Academy of Opthalmology,

2010).

Ilyas (2015) mengemukakan bahwa pada saat ini terdapat

berbagai cara pembedahan pada miopia seperti:

1. Keratotomi radial (radial keratotomy –RK)

Pada keratotomi radier dilakukan sayatan radier pada

permukaan kornea sehingga berbentuk jari-jari roda.

Bagian sentral kornea tidak disayat. Bagian kornea yang

disayat akan menonjol sehingga bagian tengah kornea

16
17

menjadi rata. Ratanya kornea bagian tengah akan

memberikan suatu pengurangan kekuatan bias kornea

sehingga dapat mengganti lensa kacamata negatif.

2. Keratotomi fotorefraktif (Photorefractive keratotomy –

PRK)

PRK merupakan cara yang mempergunakan sinar eximer

untuk membentuk permukaan kornea. Sinar pada eximer

akan memecah molekul sel kornea.

3. Laser assisted in situ interlamelar keratomilielusis (Lasik)

SMILE (Small Incision Lenticule Extraction) adalah salah

satu altenatif terbaru yang bisa menjadi pilihan untuk pembedahan

mata yang mengalami kelainan refraksi. SMILE adalah suatu

prosedur operasi yang menggunakan laser femtosecond yang mana

laser femtosecod ini akan menembus permukaan kornea tampa

membuat sayatan (flap free) dan fokus pada bagian kornea yang

diseut lenticule. Keuntungan menggunakan smile dibanding lasik

adalah hasilnya yang dapat meminimalisasi mata kering dan juga

lebih aman digunakan pada kornea yang tipis dan sensitif.

2. Hipermetropia

a. Pengertian

17
18

Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun

dekat. Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan

pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan

sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula lutea.

Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat

akibat sukarnya berakomodasi. Keluhan akan bertambah dengan

bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk

akomodasi dan berkurangnya kekenyalan lensa.

b. Etiologi

Kekuatan optik mata terlalu rendah (biasanya karena mata terlalu

pendek) dan sinar cahaya paralel mengalami konvergensi pada titik di

belakang retina. Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya

bola mata yang lebih pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek

bayangan benda akan difokuskan di belakang retina atau selaput jala.

c. Patofisiologi

1. Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari

normal

2. Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih

lemah dari normal

3. Hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebih rendah dari

normal (Ahmad Yani, 2015).

18
19

Gambar 2 Patofisiologi Hipermetropia

d. Tatalaksana

1. Hiperopia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa dengan

memakai kaca mata atau lensa kontak.

2. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki

hipermetropia dengan membentuk semula kurvatura kornea.

Metode pembedahan refraktif termasuk:

• Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)

• Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)

• Photorefractive keratectomy (PRK)

• Conductive keratoplasty (CK)

e. Komplikasi

1. Blefaritis atau chalazia

2. Accommodative convergent squint

3. Ambliopia

4. Predisposisi untuk terjadi glaucoma sudut tertutup

19
20

3. Astigmatisma

a. Pengertian

Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada

kurvatur kornea atau lensa pada meridian yang berbeda yang

mengakibatkan berkas cahaya tidak difokuskan pada satu titik

(Ilyas 2015).

Astigmatisma merupakan akibat bentuk kornea yang oval

seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmat

mata tersebut. Dan umumnya setiap orang memiliki astigmat yang

ringan (Ahmad 2011).

b. Etiologi

Penyebab umum astigmatisma adalah kelainan bentuk

kornea. Lensa kristalina juga dapat berperan untuk timbulnya

astigmatisma. Astigmatisma paling sering disebabkan oleh terlalu

besarnya lengkung kornea pada salah satu bidangnya.

Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan

terlalu erat (Ilyas 2015).

c. Patofisiologi

Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung

teratur akan memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma,

pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada

20
21

astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada

retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar

dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain

difokuskan di belakang retina.

Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5 (Ilyas dkk,

2015), yaitu:

1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh

didepan retina

2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik

jatuh di belakang retina

3. Astigmaticus miopicus simplex, dimana 2 titik

masingmasing jatuh di depan retina dan satunya tepat

pada retina

4. Astigmaticus hipermetropicus simplex, dimana 2 titik

masingmasing jatuh di belakang retina dan satunya tepat

pada retina

5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh

didepan retina dan belakang retina

21
22

Gambar 3 Patofisiologi Astigmatisma

d. Diagnosis

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan

fisik. Pasien akan datang dengan gejala klinis seperti yang tersebut

di atas. Pada pemeriksaan fisik, terlebih dahulu dilakukan

pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen.

Periksa kelainan refraksi miopia atau hipermetropia yang ada,

tentukan tajam penglihatan. Dengan menggunakan juring atau

kipas astigmat, garis berwarna hitam yang disusun radial dengan

bentuk semisirkular dengan dasar yang putih merupakan

pemeriksaan subyektif untuk menilai ada dan besarnya derajat

astigmat. Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh

kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, derajat

astigmat dapat diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk

mendapatkan tajam penglihatan terbaik hanya dibutuhkan lensa

sferis saja (Ilyas 2015).

22
23

f. Tatalaksana

Astigmatisma ringan, yang tidak mengalami gangguan

ketajaman penglihataan (0,5 D atau kurang) tidak perlu dilakukan

koreksi. Pada astigmatsma yang berat dipergunakan kacamata

silinder, lensa kontak atau pembedahan.

1. Kacamata Silinder

Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan

silender negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (90o

+/- 20o) atau dengan selinder positif dengan sumbu

horizontal (180o +/- 20o). Sedangkan pada astigmatism with

the rule diperlukan koreksi silinder negatif dengan sumbu

horizontal (180o+/- 20o) atau bila dikoreksi dengan silinder

positif sumbu vertikal (90o+/- 20o). Pada koreksi

astigmatisma dengan hasil keratometri digunakan hukum

Jawal:

a. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada

astigmatism with the rule dengan selinder minus

180 derajat, dengan astigmatisma hasil keratometri

yang ditemukan ditambahkan dengan ¼ nilainya

dan dikurangi dengan 0,5 D.

b. Berikan kacamata koreksi astigmatisma pada

astigmatism againts the rule dengan selinder minus

90 derajat, dengan astigmatisma hasil keratometri

23
24

yang ditemukan ditambahkan dengan ¼ nilainya

dan ditambah dengan 0,5 D.

2. Lensa Kontak

Pada penderita astigmatisma diberikan lensa rigid, yang

dapat menetralisasi astigmat yang terjadi di permukaan

kornea.

3. Pembedahan

a. Photorefractive Keratectomy (PRK), laser

dipergunakan unutk membentuk kurvatur kornea.

b. Laser in Situ Keratomileusis (lasik), laser digunakan

untuk merubah kurvatur kornea dengan membuat

flap (potongan laser) pada kedua sisi kornea.

c. Radial keratotomy, insisi kecil dibuat secara dalam

dikornea.

D. Kelainan Refraksi dan Faktor Pencetusnya

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan

sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik

kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin

tidak terletak pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi dikenal dalam

bentuk miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas 2015).

Kelainan refraksi dipicu oleh makin canggihnya teknologi visual

yang merangsang penggunaan indera penglihatan terus menerus dan gaya

24
25

hidup masyarakat yang menuntut penggunaan penglihatan secara terus

menerus. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata, dan

kurangnya kemaupan datang memeriksakan diri ke rumah sakit. Faktor

lain yang berpengaruh, ketidakmampuan untuk membayar biaya

pemeriksaan atau operasi, serta ketakutan jika harus menjalani operasi.

Faktor-faktor risiko kelainan refraksi ada dalam lingkungan kita. Ada pula

faktor-faktor medis yang dapat mempengaruhi kemampuan penglihatan

seperti penyakit-penyakit sistemik, trauma yang menyebabkan lepasnya

lensa mata dari tempatnya atau laserasi kornea dan kelainan-kelainan

kongenital.

E. Konsep Gadget

1. Pengertian Gadget

Handphone (HP) atau disebut dengan gadget adalah alat

komunikasi masa kini, alat komunikasi yang mudah di bawa ke

mana-mana tanpa harus menyambungkan terlebih dahulu pada

sambungan portable. Gadget di era sekarang merupakan

penegmbangan teknologi tetepon dari masa ke masa, perangkat

gadget tersebut digunakan sebagai perangkat mobie sebab bisa

berpindah-pindah tempat dan waktu dengan mudah, penyampaian

informasi dari satu pihak ke pihak lain menjadi lebih efisien dan

efektif (Handriani, 206).

25
26

Gadget merupakan sesuatu yang penting bagi kelangsungan

hidup mnusia di era sekarang. Banyak aplikasi di dalam gadget

yang memudahkan manusia dalam melakukan semua aktifitas

maupun pekerjaan. Gadget juga merupakan alat pencari nafkah

atau bisnis bagi sebagian kalangan. Di dalam gadget semua

manusia dapat menyimpan file ataupun dokumen penting tanpa

harus membawa alat tulis seperti buku untuk mencatat (Handriani,

206).

2. Manfaat Gadget

Menurut (Pangestu dkk,2014) manfaat gadget meliputi :

1) Mengakses Informasi

Gadget dapat digunakan sebagai alat untuk menari

informasi. Informasi tersebut dapat mempermudah

pekerjaan, serta untuk memberikan berita dan peristiwa

yang baru terjadi

2) Memperlancar komunikasi

Tujuan utama dai gadget ini merupakan alat untuk

mempermudah dan memperlancar komunikasi dengan

seseorang yang bahkan sedang dalam jarak jauh dan ttidak

bisa terlampui. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama

untuk menyampaikan sebuah pesan.

3) Sebagai media hiburan

26
27

Selain digunakan sebagai media komunikasi, gadget juga

digunakan sebagai media penghibur di saat sedang merasa

bosan dan penat dengan berbagai pilihan maupun aplikasi

yang sudah disediakan gadget.

4) Menambah wawasan

Selain sebagai sarana mengakses informasi, komunikasi

maupun media hiburan. Gadget juga berfungsi sebagai

sarana untuk menambah wawasan serta pengetahuan

pemakainya. Sebab, di dalam gadget tersedia semua

informasi yang dibutuhkan penggunanya dengan cepat dan

mudah.

5) Gaya hidup

Di masa sekarang gadget bukan hanya sebagai sarana

kebutuhan dan penunjang aktifitas manusia. Gadget

digunakan juga sebagai lifestyle manusia di era modern

seperti sekarang.

3. Dampak Gadget

Dalam segi pendidikan di Indonesia damapk yang diberikan

gadget tergolong menjadi dua, yaitu dampak positif dan negative

(Estanda,2014)

27
28

` 1) Dampak Positif

a. Menambah informasi dan mempermudah manusia untuk

mengakses informasi di seluruh dunia

b. Mempermudah komunikasi dengan orang lain meskipun jarak

sangat jauh sehingga komunikasi menjadi lebih cepat dan

biaya yang dikeluarkan dapat diminimalisir.

c. Menampah pengetahuan untuk mengkases kebutuhan

pelajaran.

2) Dampak Negatif

a. Mengganggu kesehatan

Cahaya yang ditimbulkan dari gadget memncarkan radiasi

yang dapat membuat mata merasakan perih dan secara

perlahan akan mengalami kekaburan jika radiasi yang

ditimbulkan gadget sangat tinggi penggunaanya dan dalam

jangka panjang mata akan mengalami penurunan

penglihatan bahkan gangguan ketajaman penggihatan.

b. Mempengaruhi perilaku manusia menjadi lebih posesif,

kasar maupun mudah tersinggung sebab menurut mereka

tidak ada hal penting selain gadget. Gadget akan membawa

satu sama lain menjadi acuh serta tidak peduli dan

kurangnya rasa empati maupun toleran sesame manusia.

c. Rawan kejahatan

28
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan

atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati atau

diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Gadget Jenis Kelamin Faktor Ketajaman Penglihatan :

Macam-macam
Macam-macam 1. Durasi
Durasiwaktu
waktumelihat
melihat
gadget:
gadget : 2. Tingkat pencahayaan
1.1. Smartphone Smartphone 3. Ukuran objek
2. Tablet
3.2. Laptop
Tablet Perempuan > Refraksi 4. Kekontrasan
Kelainan
3. Laptop Laki-laki
 Miopi
 Hipermetropia
Semakin lama
 Astigmatisme
Ukuran diameter retina
pada laki-laki lebih besar Semakin melemahkan
dari pada perempuan otot siliaris mata
sehingga mengganggu
otot untuk melihat jauh

Penurunan Ketajaman Penglihatan Pada Cahaya radiasi


gadget dapat
Pasien RSUD dr. Wahidin Sudiro merusak retina
Husodo dengan proses
Kelainan Refraksi : penetrasi ke dalam
 Miopia pigmen macula
sehingga terjadi
 Hipermetropia
degenerasi sel
 Astigmatisme
 Presbiopia

Gambar III. Kerangka Konsep Penelitian

5
6

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Penjelasan :

Faktor resiko pemicu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan

adalah penggunaan gadget. Gadget memiliki beberapa faktor positif, meliputi

Menambah informasi, mempermudah komunikasi, menambah pengetahuan

dan dampak negatif meliputi, mempengaruhi perilaku, rawan kejahatan rawan

tindakan kejahatan serta mengganggu kesehatan mata. Faktor kelelahan mata

dapat di picu dengan dua faktor yaitu, faktor individu dan faktor lingkungan.

Faktor individu meliputi kelainan refraksi dan faktor lingkungan meliputi

tingkat pencahayaan, ukuran objek, bentuk objek, kekontrasan, lama waktu

melihat objek.

Penanganan penurunan ketajaman penglihatan karena penggunaan

gadget salah satu upayanya adalah dengan kontrol orangtua masing-masing

anak. Sebab, waktu anak lebih banyak di rumah daripada di sekolah. Pada

penelitian ini diteliti mengenai hubungan antara durasi bermain gadget

terhadap kelainan refraksi pada pasien dengan gangguan tajam penglihatan di

poli mata RSUD Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian atau

rumusan masalah.

6
7

H0 = Tidak ada hubungan antara jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada

pasien dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin Sudiro

Husodo Kota Mojokerto.

H1 = Ada hubungan antara durasi bermain gadget terhadap kelainan refraksi pada

pasien dengan gangguan tajam penglihatan di poli mata RSUD Wahidin Sudiro

Husodo Kota Mojokerto.

7
8
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan

rancangan studi cross sectional. Rancangan studi kasus kontrol tanpa

penyetaraan yaitu untuk mempelajari hubungan antara jenis kelamin dan

durasi bermain gadget terhadap tajam penglihatan. Dengan cara

membandingkan kelompok kasus (Kelainan Refraksi) dan kelompok kontrol

(usia 6-78) tahun di RSU DR Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSU DR Wahidin Sudiro Husodo Kota

Mojokerto.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 Januari – 8 Maret 2019.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Pasien dengan kelainan refraksi di

Poli Mata RSU DR Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto.

9
10

2. Besar dan Cara Pengambilan Sampel

a. Besar Sampel

Terdiri atas 42 pasien kelainan refraksi usia antara 6 - 78 tahun

b. Teknik Pengambilan Sampel

42 pasien dengan kelainan kelainan refraksi di Kota Mojokerto

tahun 2019 yang bertempat tinggal di Kota Mojokerto. Seluruh

pasien (42 orang) diambil semua sebagai sampel penelitian.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas atau disebut dengan variabel independen adalah

variabel yang bila variabel tersebut berubah akan mengakibatkan

perubahan variabel lain. Pada penelitian ini, variabel bebas adalah jenis

kelamin dan durasi bermain gadget terhadap kelainan refraksi.

2. Variabel tergantung (Variabel Dependen)

Variabel tergantung atau disebut juga variabel dependen adalah

variabel yang berubah akibat perubahan variabel bebas. Pada penelitian

ini, variabel tergantung adalah kejadian kelainan refraksi.

10
E. Definisi Operasional
Tabel IV.1 Definisi Operasional Penelitian

Cara Skala
No Variabel Definisi Operasional Hasil pengukuran
Pengukuran Ukur

1. Kelainan Refraksi,

bila di rekam medis


Kelainan refraksi
didiagnosis
merupakan responden
mengalami kelainan
yang dinyatakan
refraksi
Kelainan mengalami kelainan Rekam
1 2. Tidak kelainan Nominal
Refraksi refraksi dengan Medis
refraksi, bila di
pemeriksaan yang
rekam medis tidak
kemudian dituliskan
didiagnosis
dalam rekam medis
mengalami kelainan

refraksi

Usia merupakan usia


Kartu
responden berdasarkan 1. > 6 tahun
2 Usia identitas Nominal
KTP yang ditunjukkan 2. ≤ 78 tahun
pasien (KTP)
responden

Jenis kelamin Kartu

Tingkat responden berdasarkan identitas 1. Perempuan


3 Nominal
Pendidikan KTP yang ditunjukkan pasien ( 2. Laki-laki

responden KTP)

34
35

F. Prosedur Penelitian

Gambar IV.1 Alur Penelitian

35
36

1. Prosedur penelitian

a. Persiapan penelitian dengan menyiapkan lembar kuesioner dan

formulir-formulir lain yang diperlukan

b. Memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian kepada

sampel

c. Penandatanganan informed consent bersedia menjadi responden

d. Apabila anggota sampel menolak (tidak bersedia menjadi subyek

penelitian) dicarikan pengganti dari populasi yang memenuhi kriteria

inklusi

e. Pengisian kuesioner

f. Editing data mentah (dalam kuesioner) apabila kurang lengkap

g. Pengolahan data

h. Analisis data

i. Penyusunan laporan

2. Kualifikasi dan jumlah tenaga pengumpul data

Jumlah petugas yang secara formal yang memilki kompetensi dalam

pengukuran data penelitian antara lain :

a. Petugas RSU DR Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto

b. Kader di RSU DR Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto

c. Dokter Muda yang melakukan penelitian sebanyak 5 orang.

3. Jadwal Waktu Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret tahun 2019.

36
37

Tabel IV.2 Jadwal Waktu Pengumpulan Data

No Jenis kegiatan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

1 Persiapan

2 Pelaksanaan

3 Penyusunan

laporan

4 Seminar

Sumber : Survei Penelitian, 2019.

4. Bahan dan alat

a. Kuesioner sejumlah 42 set

b. Alat tulis yaitu pulpen dan buku.

G. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah semua data kuesioner terkumpul.

Menurut Nazir (2005) dalam agenda Suparyanto (2011) Setelah data

terkumpul, maka dilakukan pengolahan data melalui tahapan Editing, Coding,

Scoring, dan Tabulating.

1. Editing

Adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk meneliti kembali apakah

isian pada lembar pada pengumpulan data (kuesioner) sudah cukup baik

sebagai upaya menjaga kualitas data agar dapat diproses lebih lanjut. Pada

37
38

saat melakukan penelitian, apabila ada soal yang belum oleh responden

maka responden diminta untuk mengisi kembali dan apabila ada jawaban

ganda pada kuesioner maka dianggap salah.

2. Coding

Adalah mengklasifikasikan jawaban dari responden menurut

kriteria tertentu.

3. Scoring

Adalah penentuan jumlah skor, dalam penelitian ini menggunakan

skala ordinal. Kemudian dipresentasekan dengan cara jumlah jawaban benar

dibagi jumlah soal dan dikalikan 100%.

4. Tabulating

Tabulasi adalah penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi (Budiarto, 2002).

H. Analisis Data

1. Analisis Data Univariat

Analisis data univariat bertujuan untuk mendeskripsikan variabel-

variabel dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis

bivariat lebih mendalam.

2. Analisis Data Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable

independen dengan variable dependen. Variable independen dalam

peneltian ini adalah, jenis kelamin dan durasi bermain gadget. Variabel

38
39

dependen adalah angka kejadian kelainan refraksi pada usia 6-78 tahun di

RSU DR Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto. Analisis bivariat juga

akan memberikan hasil mengenai pembuktian hipotesis yang diajukan.

Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua variabel tersebut di uji

statisti chi-square (Uji Chi-kuadrat) kemudian diajukan dengan Odds Ratio

(OR).

39
40

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Pengaruh jenis kelamin Terhadap Kelainan Refraksi

Pengaruh jenis kelamin Terhadap Kelainan Refraksi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna

antara jenis kelamin terhadap kelainan refraksi. Astigmat 60%, Miopia

35%, Hipermiopi 5%. Berdasarkan analisis data dengan uji Chi-Square,

dimana didapatkan nilai p ≥ 0,05 (p = 0.551), yang berarti tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kelainan refraksi (H0

diterima dan H1 ditolak).

Tabel 5. 1 Distribusi Kategori Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 14 33,3%

Perempuan 28 66,6%

Jumlah 42 100

Dari 42 responden, responden terbanyak dalam penelitian ini yaitu

perempuan dengan jumlah 28 orang (66,6%) dan laki-laki dengan jumlah 14

orang (33.3%)

40
41

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-


Value df sided)

Pearson Chi-Square 1.193a 2 .551

Likelihood Ratio 1.207 2 .547

Linear-by-Linear Association 1.064 1 .302

N of Valid Cases 42

41
42

B. Pengaruh Durasi Bermain Gadget Terhadap Kelainan Refraksi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna

antara durasi bermain gadget terhadap kelainan refraksi. Astigmat 60%, Miopia

35%, Hipermiopi 5% tertera pada Gambar 5.2 Distribusi Hubungan Durasi

Bermain Gadget Terhadap Kelainan Refraksi. Berdasarkan analisis data dengan

uji Chi-Square, dimana didapatkan nilai p < 0,05 (p = 0,000). Pengambilan

keputusan pada uji Chi-Square analisa diterima jika p ≤ α.

Tabel 5.2 Distribusi Durasi Bermain Gadget

Durasi Bermain Frekuensi %

Gadget

Jarang 2-3 jam/hari 11,9%

Sering 3-4 jam/hari 28,5%

Selalu >4jam/hari 59,6%

Jumlah 42 100

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2-

Value df sided)

Pearson Chi-Square 36.279a 4 .000

Likelihood Ratio 23.327 4 .000

Linear-by-Linear Association 2.408 1 .121

N of Valid Cases 42

42
43

C. Hasil Penelitian (Hubungan Antara Jenis Kelamin Dan Durasi Bermain

Gadget Terhadap Kelaian Refraksi)

1. Faktor Jenis Kelamin Terhadap Kelainan Refraksi

Dari data yang diperoleh 28 orang (66,6%) berjenis kelamin Perempuan

dan 14 orang (33,4%). Berdasarkan analisis data dengan uji Chi-Square, dimana

didapatkan nilai p ≥ 0,05 (p = 0.551), yang berarti tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara jenis kelamin dan kelainan refraksi (H0 diterima dan H1 ditolak).

2. Faktor Durasi Bermain Gadget Tehadap Kelainan Refraksi

Dari data yang diperoleh 5 orang (11,9%) termasuk dalam kategori jarang

bermain gadget (2-3jam/hari), 12 orang (28,5%) termasuk dalam kategori sering

bermain gadget (3-4jam/hari), dan 25 orang (59,6%) termasuk dalam kategori

selalu bermain gadget (>4jam/hari). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

seseorang dengan kategori selalu bermain gadget memiliki faktor resiko terbanyak

menderita kelainan refraksi. Berdasarkan analisis data dengan uji Chi-Square,

dimana didapatkan nilai p < 0,05 (p = 0,000). Pengambilan keputusan pada uji

Chi-Square analisa diterima jika p ≤ α.

Jarang
12%

Sering
Selalu 29%
60%

Gambar 5.1 Distribusi Hubungan Durasi Bermain Gadget Terhadap Kelainan

Refraksi.

43
44

BAB VI

PEMBAHASAN

Kelainan refraksi merupakan kelaina pembiasan sinar pada mata, sehingga

pembiasaan sinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Pada kelainan

refraksi terjadi ketidakseimbangan system optik pada mata sehingga

menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa

membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina sedangkan pada

kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan terpat pada retina akan tetapi dapat di

depan atau di belakang retina atau mungkin tidak terletak pada satu titik yang

tajam. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering dan

dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk bola mata.

Faktor-faktor risiko kelainan refraksi ada dalam lingkungan kita. Ada pula

faktor-faktor medis yang dapat mempengaruhi kemampuan penglihatan seperti

penyakit-penyakit sistemik, trauma yang menyebabkan lepasnya lensa mata dari

penggantungnya atau laserasi kornea dan kelainan-kelainan kongenital.

Cahaya yang ditimbulkan dari gadget memancarkan radiasi yang dapat

merusak retina dan terjadi penertasi ke dalam pigmen macula sehingga terjadi

proses degerasi sel yang akan menyebabkan kelainan tajam penglihatan, dimana

semakin lama seseorang bermain gadget maka semakin tinggi keparahan dari

kelainan refraksi terebut. Penelitian yang dilakukan oleh Fakrin dkk, mengatakan

bahwa menggunaan gadget dalam waktu yang lama dapat menyebabkan

melemahnya otot siliaris mata sehingga mengganggu otot untuk melihat jauh.

44
45

Semakin lama durasi menggunakan gadget maka semakin tinggi gangguan

penglihatan yang diderita.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang

bermakna antara jenis kelamin terhadap kelainan refraksi. Hal ini dikarenakan

sampel yang digunakan terlalu sedikit sehingga tidak memenuhi kriteria

penelitian, rentang usia yang terlalu jauh dan jenis pekerjaan yang tidak

dicantumkan oleh sampel.

Dimana dari uji Chi-Square (p = 0.551) p≥0.05. Hasil statistic deskriptif ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anastasia Fanny Launardo di Makassar

tahun 2011, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin

dengan kelainan refraksi (p=0.546). Hasil ini sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh Imam Tiharyo, Wasidi, dan Gunawan di Yogyakarta tahun 2008,

bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kelainan refraksi hal ini

dibuktikan dengan nilai (p=0.64).

Berdasarkan data di atas, peneliti berpendapat bahwa tidak ada hubungan

antara jenis kelamin terhadap kelainan refraksi, kelainan refraksi dapat terjadi dan

dipengaruhi oleh beberapa factor selain jenis kelamin yaitu

genetic,ras,lingkungan, aktifitas seperti bermain game, membaca dll.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara durasi bermain gadget terhadap kelainan refraksi. Dari data yang diperoleh

5 orang (11,9%) termasuk dalam kategori jarang bermain gadget (2-3jam/hari), 12

orang (28,5%) termasuk dalam kategori sering bermain gadget (3-4jam/hari), dan

45
46

25 orang (59,6%) termasuk dalam kategori selalu bermain gadget (>4jam/hari).

Berdasarkan analisis data dengan uji Chi-Square, dimana didapatkan nilai p <

0,05 p = 0,000. Pada penelitian yang dilakukan oleh Putri, didapatkan hubungan

yang signifikan antara durasi bermain gadget terhadap nilai visus mata pada

penderita dengan nilai p= 0.001<α 0.05.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang dengan kategori selalu

bermain gadget memiliki faktor resiko terbanyak menderita kelainan refraksi.

Tertera pada Gambar 5.2 Distribusi Pengaruh Durasi Bermain Gadget Terhadap

Kelainan Refraksi. Semakin lama seseorang menghabiskan waktunya di luar

ruangan, maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut mengalami kelainan

refraksi. Sementara itu, semakin lama durasi seseorang bermain gadget maka

semakin beresiko mengalami kelainan refraksi dikarenakan cahaya yang

ditimbulkan dari gadget memancarkan radiasi yang dapat membuat mata

merasakan perih dan secara perlahan akan mengalami kekaburan jika radiasi yang

ditimbulkan gadget sangat tinggi penggunaanya dan dalam jangka panjang mata

akan mengalami penurunan penglihatan bahkan gangguan ketajaman penglihatan.

46
47

BAB VII

KESIMPULAN

Penelitian dengan 42 responden didapatkan 28 orang (66.6%) responden

perempuan dan 14 orang (33.4%) respon laki-laki. Tidak didapatkan hubungan

yang bermakna antara jenis kelamin dengan kelaina refraksi. Hal ini dikarenakan

sampel yang digunakan terlalu sedikit sehingga tidak memenuhi kriteria

penelitian, rentang usia yang terlalu jauh dan jenis pekerjaan yang tidak

dicantumkan oleh sampel. Didapatkan peningkatan persentase penurunan tajam

penglihatan seiring bertambahnya jumlah durasi bermain gadget. Dengan rincian

5 orang (11,9%) termasuk dalam kategori jarang bermain gadget (2-3jam/hari), 12

orang (28,5%) termasuk dalam kategori sering bermain gadget (3-4jam/hari), dan

25 orang (59,6%) termasuk dalam kategori selalu bermain gadget (>4jam/hari).

Terdapat hubungan yang signifikan antara durasi bermain gadget dengan

gangguan tajam penglihatan. Cahaya yang ditimbulkan dari gadget memancarkan

radiasi yang dapat merusak retina dan terjadi penertasi ke dalam pigmen macula

sehingga terjadi proses degerasi sel yang akan menyebabkan kelainan tajam

penglihatan, dimana semakin lama seseorang bermain gadget maka semakin

tinggi keparahan dari kelainan refraksi terebut. Penelitian yang dilakukan oleh

Fakrin dkk, mengatakan bahwa menggunaan gadget dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan melemahnya otot siliaris mata sehingga mengganggu otot untuk

melihat jauh. Semakin lama durasi menggunakan gadget maka semakin tinggi

gangguan penglihatan yang diderita.

47
48

KUSIONER

A. IDENTITAS RESPONDEN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : …………………………………………………………….
Usia : ……… tahun.
Jenis Kelamin : L / P (Lingkari yang sesuai)

Menyatakan bersedia / tidak bersedia (lingkari yang sesuai) menjadi responden


dalam penelitian ini.
Responden,

(……………………)

48
49

B. PERTANYAAN

Berilah tanda ( X ) pada pilihan jawaban yang tersedia atau isilah titik-titik di
bawah ini yang sesuai dengan kondisi Anda :
1. Apakah Anda menggunakan kacamata?
ᴏ Ya
ᴏ Tidak

2. Apakah mata Anda minus?


o Ya
o Tidak
Jika Ya, berapa ukuran minus mata Anda? (Misal minus ¼, minus ½, minus
¾,….dan seterusnya)
a. Mata kanan : ……..
b. Mata kiri : ……..

3. Apakah penglihatan Anda kabur saat melihat jauh?


ᴏ Ya
ᴏ Tidak

4. Apakah Anda merasa pusing saat membaca atau melakukan kegiatan jarak
dekat?
ᴏ Ya
ᴏ Tidak

5. Apakah Anda memiliki penyakit mata selain mata minus?


ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, sebutkan …… (Pilihan jawaban boleh lebih dari satu)
o Glaukoma (mata seperti tertekan)
o Strabismus (mata juling)
o Astigmatisme (mata silindris atau penglihatan berbayang)
o Katarak (lensa mata keruh)
o Dan lain-lain …………………

6. Apakah Anda suka membaca?


ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, Anda membaca dalam sehari selama …....jam
ᴏ 2-3jam/hari
ᴏ 3-4 jam/hari
ᴏ >4 jam/hari

49
50

7. Apakah Anda suka bermain video games?


ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, Anda bermain video games dalam sehari selama ……. jam.
ᴏ 2-3jam/hari
ᴏ 3-4 jam/hari
ᴏ >4 jam/hari
8. Apakah Anda suka bermain komputer, laptop, handphone, tablet atau
iPad?
ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, Anda bermain komputer, laptop, handphone, tablet atau iPad dalam
sehari selama ….. jam.
ᴏ 2-3jam/hari
ᴏ 3-4 jam/hari
ᴏ >4 jam/hari
9. Apakah Anda suka menonton TV?
ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, Anda menonton TV dalam sehari selama …... jam.
ᴏ 2-3jam/hari
ᴏ 3-4 jam/hari
ᴏ >4 jam/hari
10. Apakah Anda suka bermain di luar ruangan?
ᴏ Ya
ᴏ Tidak
Jika Ya, Anda bermain di luar ruangan dalam sehari selama ..…. jam.
ᴏ 2-3jam/hari
ᴏ 3-4 jam/hari
ᴏ >4 jam/hari

50
51

DAFTAR PUSTAKA

1. Ristya, Devi (2018). HUBUNGAN PENGGUNAAN GADGET

DENGAN KETAJAMAN PENGLIHATAN PADA SISWA KELAS VII.

Jurnal Universitas Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia

Medika Jombang.

2. Ihsanti, Della, dkk (2014). HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN

DENGAN DERAJAT KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI RS

MATA CICENDO BANDUNG. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas

Islam Bandung.

3. American Optometric Association (AOA), 2006. OPTOMETRIC

CLINICAL PRACTICE GUIDLINE: CARE OF THE PATIENT WITH

MYOPIA. AOA Consensus Committe.

4. Santosa, Angga, dkk. (2018). HUBUNGAN ANTARA DURASI

BERMAIN GAME ONLINE DENGAN GANGGUAN TAJAM

PENGLIHATAN PADA ANAK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

(SMP) DI KOTA

DENPASAR.E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.8 Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

51

Anda mungkin juga menyukai