Anda di halaman 1dari 19

ARTIKEL KEKERASAN KDRT

Selama hampir empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan
nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini melarang tindak KDRT
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau
penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud
adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga
serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Domestic violence atau KDRT [Kekerasan Dalam Rumah Tangga] juga dikenal sebagai tindakan
pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan
dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1994,
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah penyiksaan terhadap
istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim yang mengarah
pada sistimatika kekuasaan dan kontrol, dimana penyiksa berupaya untuk menerapkannya
terhadap istrinya atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual
dan ekonomi. Disebutkan pula bahwa seorang perempuan dalam situasi mengalami kekerasan
dalam rumah tangganya, dapat saja disiksa oleh suaminya, mantan suami, pacarnya, mantan
pacarnya, pasangan hidupnya, mantan pasangan atau seseorang dengan siapa dia mempunyai
seorang anak. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua bentuk-bentuk kekerasan dalam relasi
hubungan intim berlangsung antara seorang penyiksa laki-laki terhadap seorang perempuan
(korban), penyiksaan terjadi pula diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay), meskipun
mayoritas kasus domestic violence dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan[1] (PBB, 1993)


membagi ruang lingkup terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan atas 3 lingkup, yaitu di
keluarga atau domestic, di masyarakat atau public domain serta dilakukan oleh negara atau state.
Pembagian ruang lingkup ini yang kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi
dan ter-‘lindungi’ dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan
dalam keluarga yang terakhir ini dikenal dengan sebutan domestic violence atau kekerasan dalam
rumah tangga.

Tercatat sejumlah negara telah lebih dahulu memberlakukan Undang-Undang mengenai


domestic violence ini diantaranya Malaysia memberlakukan Akta Keganasan Rumah Tangga
(1994), Selandia Baru, Australia, Jepang, Karibia, Meksiko dan beberapa negara bagian di
Amerika Serikat. Di Malaysia, tindak penderaan [penganiayaan] fisik terhadap perempuan cukup
tinggi jumlahnya, penderaan tersebut dilakukan oleh suami atau teman lelaki korban. Di tahun
1989 diperkirakan sebanyak 1.800.000 (36%) perempuan Malaysia yang berumur diatas 15
tahun telah pengalami pemukulan secara fisik oleh suami atau teman lelakinya.[2]

Bagaimana tindak KDRT ini di Indonesia? Sejauhmana penegakan hukum terhadap UU


Penghapusan KDRT diterapkan di negara kita? Tulisan berikut ini akan membahas topik tersebut
diatas.
Fakta KDRT di Indonesia

Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT. Pencatatan
data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana
diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat
bahwa di tahun 2006 sebanyak 22,512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258
lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di
Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus)[3]. Lembaga-lembaga tersebut termasuk
RPK [Ruang Pelayanan Khusus] atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian,
Pusat Krisis Terpadu & Pusat Pelayanan Terpadu [PKT & PPT] di Rumah Sakit atau Layanan
Kesehatan, Women’s Crisis Centre (WCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang
menyediakan layanan pendampingan bagi Korban serta Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama.

Data tahun 2007 Mitra Perempuan WCC mencatat 87% dari perempuan korban kekerasan yang
mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan
mantan suaminya (82,75%). Fakta tersbut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban
kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba
bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Diagram-
diagram berikut adalah Statistik kasus yang didampingi oleh Mitra Perempuan WCC (2004-
2006).

Diagram 1
Diagram 2
Bentuk-bentuk Kekerasan yang dialami 336 Perempuan Dampingan Mitra Perempuan
WCC, 2006:

Diagram 3
Perbandingan Dampak Kekerasan terhadap Kesehatan Psikis dan Reproduksi Perempuan
Dampingan Mitra Perempuan WCC, 2004-2006:
Dampak tindak perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap kesehatan perempuan yang
mengalami kekerasan sangat memprihatinkan karena berdampak pada kesehatan perempuan
secara menyeluruh, karena kekerasan seksual selalu disertai dengan kekerasan fisik dan psikis.

Salah satu dampak yang menimbulkan masalah serius adalah dampak secara khusus pada
kesehatan reproduksi perempuan, di samping gangguan atau kesakitan fisik, gangguan kesehatan
mental bahkan potensial terjadi kematian atau korban bunuh diri. Gangguan kesehatan
reproduksi yang dialami perempuan yang mengalami perkosaan diantaranya Infeksi Saluran
Reproduksi, Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk infeksi HIV dan AIDS, kehamilan yang
tidak dikehendaki, abortus spontan, pemaksaan abortus, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR),
kecacatan pada bayi dan kerusakan organ genital atau reproduksi.

Memaksakan dilanjukannya kehamilan yang tidak diinginkan oleh Korban Perkosaan akan
meningkatkan resiko kehamilan perempuan. Tekanan psikis dan trauma yang dialami oleh
perempuan hamil tersebut akan membayangi kehidupannya.

Diagram 4
Perbandingan Jumlah Kasus Percobaan Bunuh Diri Perempuan Korban Kekerasan
Dampingan Mitra Perempuan WCC, 2004-2006:

Penegakan Hukum Kasus KDRT

Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di
samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim,
juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT
ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak
sebelum persidangan dimulai.
Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda

Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan
Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah
diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004
diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami
menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak
kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana
penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi
KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352,
285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82
UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum
ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal
sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.

Penerapan Pidana Tambahan

Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan
terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU
tersebut mengatur:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam
jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak
korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di
samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan
untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya.
Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah
dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi
terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang
dibutuhkan.

Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata
dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan
suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang
dilakukan oleh suaminya selama perkawinan[4].
Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan
korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah
perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38
UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi
perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat
permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan
dalam bentuk lisan atau tulisan.

Pasal 29 UU ini mengatur:

”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

a. korban atau keluarga korban;


b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping;atau
e. pembimbing rohani.”

Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak
hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008
ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat
penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang
dari 7 (tujuh) hari.

Kesimpulan dan Saran

Beberapa catatan atas penegakan hukum dan penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT selama hampir 4 (empat) tahun terakhir, cukup memberikan gambaran
bahwa upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan
membutuhkan penegakan hukum yang konsisten.

Sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta


informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan
kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik.

Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan
perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan
penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia
sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi.

Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap
dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang
terkait.
Daftar Pustaka

Jurnal Perempuan, edisi 26, Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2002.

_______, edisi 53, Kesehatan Reproduksi: Andai Perempuan Bisa Memilih, Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan, Jakarta: 2007.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2007.

Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre:
Laporan 2007, factsheet, Jakarta: Mitra Perempuan, 2007.

_______, Informasi Tahunan 2007, Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga, factsheet, Jakarta:
Mitra Perempuan, 2007.

Rashidah Abdullah et all, Kes Memukul Wanita di Malaysia: prevalens, masalah dan sikap orang
awam, Selangor Darul Ehsan Malaysia: WAO, 2000.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

_______, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga

_______, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

_______, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam


Rumah Tangga.

United Nations, Declaration on the Elimination of Violence against Women, Vienna: 1993.

End Note:
[1] The United Nations Declaration on the Elimination of Violence against Women, 1993.

[2] Rashidah Abdullah et all, Kes Memukul Wanita di Malaysia: prevalens, masalah dan sikap orang
awam (Selangor Darul Ehsan Malaysia: WAO, 2000), hal. 6.

[3] Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Catatan Tahunan tentang kekerasan Terhadap
Perempuan, Jakarta, 7 Maret 2007, hal. 5.

[4] Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan & Layanan Women’s Crisis Centre:
Laporan 2007, hal. 2.
MAKALAH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)

Disusun Oleh:

TM.RINALDI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga
memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin
keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan
anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam
keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi
sebaliknya.

Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal
yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa
konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga
pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal
tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila
masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran
yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap
anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat
terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar
permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik
akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai
pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul
perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini
dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
b. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
c. Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
d. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah tangga.
b. Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
c. Mengetahui faktor-fartor apa saja yang menjadi penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
d. Mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam Rumah Tangga.

PEMBAHASAN

A. Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-
undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan
sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran
hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus
dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus
mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan
atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu
dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat
dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356
yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas
luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam
atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
istri.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak
memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).

C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai
berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu
mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri)
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi
hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan
dalam rumah tangga.
d. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki
untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi
tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau
ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga
Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara
anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga.
Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah
sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga
seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi
dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

KESIMPULAN

Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku
yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang
sakinah, mawaddah dan warahmah.

Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya
kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan
psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan.
Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.

Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling
percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk
melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang
kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang
sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin
takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas.
Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang
memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.

Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar
tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik
di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita
berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan
perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.
CONTOH KASUS

Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang terjadi dimasyarakat :


Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici
Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa
itu sendiri berawal ketika Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba mengejar
mobil suaminya hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang
Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga
menyerempet Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan seperti bekas
tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan
itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya
menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila
sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi
apa bila sang istri menanyaka secara baik baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan
lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004,


Kenapa Laki-Laki Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?
http://www.erwinmiradi.com/kenapa-laki-l... #erwinmiradi.com
Kekerasan pada Istri dalam rumah tangga
http://maureenlicious.wordpress.com/2011/04/28/kekerasan-pada-istri-dalam-rumah-tangga/
KDRT Cici Paramida, Suheaby diperiksa Polisi
http://syscomnet.info/kdrt-cici-paramida-suhaeby-diperiksa-polisi.html/
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
http://student.eepisits.edu/~wily/kewarganegaraan/KEKERASAN%20PADA%20ISTRI%20DALAM%RUM
AH%TANGGA.html/
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=14
Tips menanggulangi KDRT menurut Islam
http://ilalang.wordpress.com/2007/01/08/tips-menanggulangi-kdrt-menurut-islam/

Anda mungkin juga menyukai